Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KELUARGA UMMI NADHIRA (Side Story ASRAMA SYAHAMAH)

Status
Please reply by conversation.
Setelah hiatus lama karena berbagai alasan, cerbung ini akan ane lanjutin, rencana update seminggu sekali, semoga lancar. Terima kasih untuk agan-agan yang masih menanti lanjutan kisah ini, dan terima kasih juga untuk om momod yang sudah berbaik hati membuka kembali trit ini, :ampun::ampun:

BAGIAN TIGA -- RENANG PAGI

Di taman belakang rumah Umi Nadhira.
Umi Nadhira dan Ukhti Tati masih mengobrol berdua sambil menunggu teh mereka habis. Maklum ibu dan anak itu memang terhitung sudah lama tidak bertemu, makanya sekalinya bertemu mereka langsung mengobrol tanpa henti. Dalam obrolan mereka Ukhti Tati banyak menanyakan soal hubungan antara laki-laki dan perempuan.
“Umi, dulu umi sama abi cerita awal pertemuannya gimana sih?”
Umi Nadhira tersenyum. “Abimu belum cerita?”
“Ya belum lah Umi, lagian kan enakan umi yang cerita.”
“Hihihi, gamau ah, umi gamau cerita. Ketahuan melankolis nanti umi.”
“Kan contoh buat Tati, Umi, Tati kan pengagum abi,” Ukhti Tati diam sejenak. “dan Umi.”
Umi Nadhira tertawa lepas. “Besok kamu cari pria seperti abimu ya, sayang, ganteng, jantan, setia, pengertian, kaya.”
“Lengkap ya, mi.” Ukhti Tati diam sejenak. “Eh, tadi umi bilang jantan…” dia mengedip-kedipkan matanya menggoda.
“Aduh, umi kelepasan.” Umi Nadhira balas menggoda. “untung kelepasannya dikit, kalau banyak nanti anak umi makin cepet pengen segera nikah…”
“Umi iniiii,” Ukhti Tati memandang ibunya gemas. Keduanya lalu sama-sama tertawa lepas.
“Harus hati-hati sama pria zaman sekarang ini, sayang.” Sambung Umi Nadhira setelah tawa mereka sudah berhenti. “Banyak yang hanya mengincar enak-enakan doang.”
“Iya, umi, Tati juga tahu kok. Makanya Tati pengen denger cerita pertemuan umi sama abi dulu.”
Umi Nadhira menatap anaknya sambil senyum-senyum.
“Iiih umi, malah senyum-senyum.” Ukhti Tati mencubit ibunya.
“Hihihi.” Umi Nadhira berkelit. “Umi ini sedang ngebayangin anak umi yang satu ini pasti jadi rebutan cowok-cowok yang kesengsem, bentuk tubuhnya itu lho, umi yang wanita saja bisa kesengsem, apalagi kaum pria hidung belang.” Umi Nadhira mengedipkan matanya menggoda. “Makanya harus hati-hati.”
“Dulu itu ya, sayang, umi sama abi gak pacaran.” Demikian Umi Nadhira menyambung perkataannya. Lalu Umi Nadhira menceritakan pertemuan awal antara dia dengan Ustaz Mahsyur sampai kemudian mereka berdua bisa menikah. Bagaimana dulu di awal menikah kondisi ekonomi mereka pas-pasan, tapi kemudian setelah berusaha dengan tekun bisa seperti sekarang. Ukhti Tati mendengarkan cerita ibunya dengan sungguh-sungguh. Sesekali dia menyela cerita ibunya.
“Jadi Abi itu malu-malu ya, umi, dulu?”
“Iya,” Umi Nadhira tertawa. “Bayangkan saja butuh waktu dua tahun sebelum dia berani meminta umi menjadi istrinya, padahal semua orang sudah tahu lama bahwa dia memang ingin menikahi umi.”
Ukhti Tati mengangguk-angguk. “Padahal tadi kata Umi Abi tu jago bicara di depan orang banya ya mi?”
“Nah itu anehnya. Dia terkenal orator ulung, pandai menggerakkan orang banyak. Makanya di partai juga jabatannya kan naik terus. Lha tapi berbicara ke orangtua umi kok ketakutannya minta ampun.”
Ukhti Tati tampak terdiam. Umi Nadhira yang mengira itu disebabkan Ukhti Tati ketakutan memikirkan momen calon suaminya nanti menghadap abinya kemudian melanjutkan dengan setengah berseloroh: “Tenang saja, nanti abi sama umi akan pasang senyum terus kalau ada calon menantunya datang kok.” Dia kemudian mengedipkan matanya.
“Iiiiiiih umi inii, Tati belum ada calon kok.”
“Oya? Apa harus Abi sama Umi yang cariin? Jangan-jangan maksudnya belum ada calon yang pas karena terlalu banyak yang daftar?”
Ukhti Tati tak menjawab, ia kembali mencubit umi Nadhira sementara sang umi mencoba berkelit sambil tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba hp Umi Nadhira berbunyi, layarnya menampakkan panggilan dari nomor berakhiran 874. “Sssst, abimu,” bisik Umi Nadhira. “Yayang umi,” lanjut dia sambil mengedipkan mata menggoda. Diangkatnya panggilan telpon itu. “Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Umi, abi ada kabar gembira nih. Coba tebak.”
Umi Nadhira mengerlingkan matanya ke anaknya sambil menjawab. “Apa ah abi ini, malu nih ditonton sama Tati.”
“Lhooo, Tati udah di rumah?” Suara suaminya terdengar gembira. “Abi dua hari lagi pulang, Mi.”
“Syukurlah. Semua beres kan, bi?” Nada suara Umi Nadhira terdengar khawatir.
“Beres kok, mi, tenang saja. Nanti Abi bawain oleh-oleh ya.”
Keduanya kemudian mengobrol selama beberapa menit sebelum kemudian panggilan itu ditutup. Sepanjang uminya mengobrol dengan ibunya itu Ukhti Tati hanya menonton saja sambil senyum-senyum. Tak ada yang tahu makna senyum itu kecuali Tati, ibunya sendiri bahkan hanya menduga bahwa anaknya itu senyum-senyum bahagia melihat kedua orangtuanya tetap rukun sampai usia sekarang, padahal sekarang ini sangat musim perselingkuhan menimpa pasangan-pasangan setengah baya.
Pagi itu memang cerah. Setelah panggilan telepon itu Umi Nadhira dan ukhti Tati melanjutkan obrolan-obrolan santai yang tadi terputus. Tentu saja keduanya tidak menyadari deru birahi di taman belakang rumah sebelah antara Marwan dan Fatma.
“Aduh,” suatu saat tiba-tiba Umi Nadhira berseru kaget setelah dia melirik jam di hp-nya.
“Kenapa umi?” tanya Ukhti Tati.
“Umi lupa, ini jadwal kajian sekaligus arisan di rumah Umi Rosyidah.” Memang ukhti Tati juga tahu bahwa uminya itu ikut arisan dengan ibu-ibu komunitas kajian agama. Tempat untuk arisannya rutin diadakan bergantian seminggu sekali di rumah masing-masing anggotanya. Umi Rosyidah rumahnya lumayan jauh dari rumah Umi Nadhira.
“Yaudah umi berangkat sekarang saja. Belum telat kan?”
“Belum kok. Iya deh umi siap-siap dulu, ya.” Umi Nadhira kemudian menghabiskan tehnya, mencium dahi anak perempuannya itu, kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Ukhti Tati meneruskan membaca bukunya setelah mereguk tehnya.
Sepuluh menit kemudian, dia kembali mereguk tehnya. Ternyata itu adalah regukan penghabisan. Tanpa membereskan meja taman itu, dia kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.
Mendadak Ukhti Tati teringat adiknya, Fahri. Dia kemudian menghampiri kamar adiknya itu dan mengetuk pintu. “Fahri, Fahri,” panggil dia pelan. Setelah ada jawaban adiknya dia kemudian memutar pegangan pintu dan masuk ke kamar.
“Lhoo, kamu mau ke mana, ri?” Tanya dia heran melihat adiknya tampak sudah rapi. Tasnya juga tampak sudah dikemas seperti akan bepergian. Ukhti Tati duduk di ranjang adiknya. Fahri tampak mengikuti gerak kakaknya itu, matanya sembunyi-sembunyi menatap tonjolan luar biasa di dada kakaknya yang tetap tampak meski saat itu kakaknya memakai jilbab lebar selutut. Lalu dia menjawab:
“Mau piknik, kak. Minta bekal dong.”
“Ah masa gitu caranya minta bekal,” Ukhti Tati pura-pura cemberut. “Minta baik-baik dong. Emang mau piknik ke mana?”
“Ada deeh,” jawab Fahri dengan mata menggoda. Lalu dia mendekati kakaknya, mencium dahinya, lalu berkata: “kakak Fahri yang cantik, Fahri minta bekal dong.”
Ukhti Tati tertawa. “Udah jago gombal ya, kamu. Awas kalau nanti kamu godain cewek tetangga.”
Fahri cuma nyengir.
“Kamu berangkat sama umi?”
Fahri menggeleng. “Enggak, kak, orang kumpulnya di rumah Hamid kok, deket.”
Bagi Ukhti Tati tentu saja jawaban itu agak aneh. Tapi dia tak memperpanjang, lagipula dia tidak tahu juga bahwa sebenarnya rumah Hamid tidak terlalu dekat juga dari rumahnya. Dia kemudian keluar dari kamar adiknya dan pergi ke kamarnya, mengambil dompetnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang dari dalam untuk bekal adiknya. Tentu saja Ukhti Tati tidak tahu soal cerita Fahri yang menyetubuhi Umi Nadhira di asrama syahamah. Dia lalu kembali ke kamar adiknya dan menyerahkannya ke Fahri.
“Horeee, kakak cantiiik, makasih banyak ya kak.” Fahri kembali mencoba mencium pipi kakaknya. Ukhti Tati agak terkejut, tapi tentu saja dia tak menganggap itu masalah, toh Fahri adalah adiknya. Dia kemudian cuma berpesan: “hati-hati ya Ri, jangan macem-macem pas piknik.”
Fahri mengangguk lalu berangkat keluar rumah. Tidak lama setelah Fahri keluar rumah, Umi Nadhira juga pergi mengendarai mobil, ke arah yang berlawanan.

*

Selepas kepergian adik dan ibunya, Ukhti Tati kembali masuk ke kamarnya. Sebelumnya pintu rumah sudah dia kunci, kuatir kalau ada orang tak diundang yang masuk ke rumah itu.
“Jam segini kok sudah gerah,” keluh dia. Dia berdiri di depan cermin dan menatap penampilan fisiknya. Ukhti Tati memang berparas cantik, dan tubuhnya seksi. Tentu saja dia bukannya tak sadar akan hal itu. Sambil senyum-senyum sendiri di depan cermin, dibukanya pakaian satu demi satu sampai akhirnya dia telanjang bulat. Ukhti yang selalu berpenampilan tertutup itu kini telanjang bulat, menampilkan tubuhnya yang sedang mekar-mekarnya. Payudaranya mengkal kencang bahkan tanpa disangga apapun, ke bawah, perutnya tampak rata, lalu di bawah perut, pada pangkal pahanya, belahan yang masih perawan dikitari oleh hutan yang tidak terlalu rimbun tapi juga tidak gundul.
Ukhti Tati mematut-matut tubuhnya depan cermin, berlenggek-lenggok seperti sedang berlatih menggoda kaum pria. Dia tahu keindahan dua tonjolan dadanya selalu menimbulkan gairah pada kaum pria yang memandangnya, karena tahu itu pulalah maka dia selalu mengagumi keindahan fisiknya sendiri lebih daripada orang lain.
Setelah puas, dia keluar dari kamarnya lalu sambil telanjang bulat dia berjalan-jalan di rumahnya. Entah sejak kapan memang Ukhti Tati memiliki kesenangan tersendiri dengan beraktivitas dengan telanjang seperti itu, yang jelas tidak ada seorang pun yang mengetahui kebiasaannya itu, apalagi orang-orang yang selama ini mengenalnya sebagai akhwat saleha yang selalu mengenakan gamis kombor dan kerudung lebar selutut.
Hari itu, Ukhti Tati memiliki satu ide yang lebih gila selain hanya berlenggek-lenggok telanjang di depan cermin. Selama ini idenya itu sudah sering melintas di pikirannya, tapi dia belum berani melakukannya, atau lebih tepatnya belum ada kesempatan untuk mencobanya. Kini ia ingin mencobanya. Diintipnya dari jendela ruang depan: di luar jalanan sepi, maklum depan rumahnya bukanlah jalan raya melainkan jalan area kompleks perumahan itu. Perlahan dibukanya pintu rumahnya, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. Diambilnya high heels dari kamarnya dan dipakainya, lalu sambil telanjang bulat, mengenakan high heels, dia melangkah keluar dari pintu depan.
Terang mentari menyambut tubuh telanjangnya. Dia berdiri di teras rumah ibunya itu, telanjang bulat. “Betapa segarnya merasakan tubuh telanjang diterpa udara bebas,” pikir dia. Pikiran semacam itu mungkin muncul karena dalam kesehariannya dia selama ini selalu mengurung tubuhnya dengan gamis panjang dan jilbab lebar, maka sekali dia memperoleh kesempatan menanggalkan keduanya dia merasa benar-benar bebas.
Setelah melihat kondisi sekitar dan yakin tak ada orang lalu lalang, dia kemudian melangkah turun ke halaman depan. Memang halaman depan perumahan itu tidaklah luas, ditelusurinya halaman itu, disentuhnya bunga-bunga yang ada di tepi pagar ditanam oleh ibunya. Tubuhnya terasa segar sekali. Sesekali dipetiknya bunga lalu disentuh-sentuhkannya ke puting susu dia, dan dia mengikik geli sendiri.
Ukhti Tati membuka gerbang pintu pagar. Ditolehkannya kepalanya ke luar, jalan depan perumahan. Sepi memang. Hanya ada dua anak kecil bermain-main di depan rumah yang terpaut agak jauh dari rumah ibunya. Dia tak peduli dengan anak kecil, yang penting tak ada orang dewasa. Lalu dengan hati-hati dia melangkah keluar gerbang. Jantungnya berdetak makin kencang, dan entah kenapa dia merasa ada kenikmatan tersendiri merasakan ketegangan itu.
Tiba-tiba…dilihatnya di rumah yang terpaut beberapa rumah darinya seorang bapak-bapak keluar. Ukhti Tati berdiri telanjang dengan berdebar mengamati bapak-bapak itu melangkah membuka garasinya, tampaknya dia akan memanaskan mesin mobilnya dan tak sempat menoleh ke arah Ukhti Tati. Setelah berdiri mengamati beberapa saat, Ukhti Tati memutuskan untuk kembali masuk ke rumah. Untuk sementara petualangan telanjangnya dicukupkan dulu, begitu pikir dia. Toh dia sudah merasa lumayan puas. Dia berencana nanti akan sesering mungkin melakukannya, dengan tambahan ide-ide lain yang lebih gila.

*

Saat Ukhti Tati sedang melakukan kenakalannya, Fahri sedang berjalan hendak pergi ke rumah Hamid. Agak jauh sebenarnya, tapi dia punya alasan tersendiri mengapa dia tak mau bepergian semobil dengan ibunya. Dia masih rikuh, dan gak enak, meski di satu sisi dia juga sadar bahwa akhir-akhir ini penisnya sering tegak ketika dia membayangkan apa yang terjadi dengan ibunya itu di asrama syahamah kemarin-kemarin itu. Ada rasa benci dalam hatinya terhadap Ustazah Aminah, tetapi pikirannya juga mengingat dengan jelas kenikmatan yang didapatkannya dari tubuh ustazah alim pengasuh Asrama Syahamah itu, kemudian tubuh mungil umi kandungnya sendiri…
Tanpa disadari Fahri, sebuah mobil melaju pelan-pelan mendekatinya dari belakang, lalu berhenti di sampingnya. Kaca jendela depan dibuka, dan seseorang menyapa lembut dari belakang stir: “Fahri.”
Fahri berhenti berjalan dan menoleh. “Eh, ibu.”
Ibu Surtiningsih. Ibu Surtiningsih adalah ibu gurunya di sekolah. Usianya seumuran Umi Nadhira, meski bedanya dandanannya modis bahkan terkadang tampak seksi, jilbab yang dikenakannya juga tipe jilbab yang gaul. Ibu surtiningsih juga rutin menjaga bentuk tubuhnya sehingga membuat tubuh itu tampak lebih muda dari usianya. Anak-anak nakal di sekolah Fahri punya julukan sendiri untuk ibu guru yang satu ini: ibu rasu, singkatan dari ratu susu. Memang, ukuran buah dada ibu surtiningsih terbilang luar biasa untuk memancing birahi, kalau dibandingkan dengan buah dada Ukhti Tati maka agak besaran dikit punya Ibu surtiningsih, meski kalau dibandingkan dengan buah dada ustazah Aminah maka keduanya masih tetap kalah besar.
“Mau ke mana Fahri? Kok jalan kaki?”
“Ini bu, mau ke rumah Hamid.”
“Oh, sini ikut saja sekalian, ibu lewat rumah Hamid kok.” Rumah Ibu Surtiningsih memang hanya terpaut sedikit dengan rumah Hamid.
Merasa tak enak menolak, Fahri kemudian naik ke mobil. Semula dia ingin naik ke belakang, tapi Ibu Surtiningsih berkomentar: “di depan saja, kamu kira ibu supir taksi.” Maka akhirnya Fahri duduk di jok samping Ibu Surtiningsih.
Sepanjang perjalanan, Ibu Surtiningsih menanyakan keperluan Fahri pergi ke rumah Hamid. Fahri tentu saja jujur menjawab. Entah kenapa pula Fahri merasa ibu surtiningsih menyetir mobilnya dengan sangat perlahan.
Tiba-tiba hp Fahri berdering. Fahri mengangkatnya: “Ada apa, Mid, aku otw ke rumahmu, ini bentar lagi sampai.”
Sementara Fahri menanggapi panggilan telepon dari Hamid, Ibu Surtiningsih melirik wajah muridnya itu. Terlihat tampan. Dia sebenarnya sudah lama menyukai wajah muridnya yang satu itu, tapi di sekolah selama ini muridnya itu selalu tampak sopan, ramah, tapi tetap menjaga jarak dengan kaum wanita. Baru beberapa hari inilah dia melihat bahwa muridnya itu berubah dan seringkali menatap tonjolan buah dadanya saat dia berada dalam kelas. Diam-diam dia tersenyum sendiri.
Fahri menutup hpnya, kemudian menarik nafas panjang.
“Ada apa, Ri?” tanya ibu Surtiningsih.
Fahri kembali menarik nafas panjang sebelum menjawab: “Hamid ada urusan mendadak, pikniknya dicancel, teman-teman yang lain juga sudah pada setuju pikniknya diundur.”
“Lho, lho, lho,” Ibu Surtiningsih memasang wajah simpatik. Tapi kemudian dia menyambung, “sekarang karena Fahri sudah telanjur ikut ibu, mending bantu ibu sekalian kalau begitu.”
“Maksud ibu?” Tanya Fahri heran.
“Ibu masih harus memeriksa hasil ulangan, banyak sekali. Fahri bantu ibu saja deh, ikut ke rumah ibu. Nanti ibu bikinin kue enak.”
Fahri tampak merenung sejenak. Bukan hal yang susah untuk diputuskan sebenarnya. Terus terang saja akhir-akhir ini di sekolah memang Fahri seringkali mencuri-curi pandang ke dada Ibu Surtiningsih lebih lama dari biasanya. Semua itu gara-gara pengalamannya di asrama syahamah. Di benaknya terbayang kira-kira ukuran dada itu lebih besar sedikit dari punya ibunya. Beberapa kali juga dia beronani sambil menonton foto-foto ibu Surtiningsih di facebook.
“Baiklah, bu,” jawab Fahri sambil mengangguk.
“Nah gitu. Sekarang Fahri ibu belanja dulu ya, bentar kok.” Kali itu ibu Surtiningsih menjalankan mobilnya dengan lebih cepat daripada tadi. Di bibirnya tampak seulas senyum membayang, sementara dalam otaknya satu rencana mulai tersusun.

*

Di rumah Umi Nadhira.
Merasa gerah, Ukhti Tati kembali pergi ke belakang, ke taman. Rencana dia tentu saja mengubek-ubek kolam renang. Membayangkan berenang di pagi hari itu akan terasa sangat segar. Masih dengan tubuh telanjangnya, Ukhti Tati berjalan ke taman belakang. Diletakkannya hpnya dan handuk di meja.
“Byurrrr,” air kolam renang muncrat ke atas ketika tubuh telanjang ukhti Tati menimpa permukaannya. Seperti anak kecil yang lama tak bermain air, Ukhti Tati berenang dengan berbagai gaya sepuasnya. Dia memang sangat suka berenang dan sudah bisa berenang dari usia yang sangat dini. Tak heran jika dia menguasai berbagai gaya renang.
Setelah lumayan puas, dia naik dari kolam renang, lalu diambilnya handuk yang tadi diletakkannya di meja. Sambil senyum-senyum sendiri, diambilnya juga hp lalu sembari duduk di kursi yang tadi didudukinya saat mengobrol dengan uminya, dibukanya aplikasi whatsapp, lalu dipencetnya satu nomor kontak.
Video call.
Tak menunggu lama, panggilannya disambut. Kamera hpnya diarahkannya pada wajahnya saja. Sambil tersenyum, ukhti Tati menyapa mesra orang di seberang: “Hai sayang, Tati habis berenang nih.”
Laki-laki di seberang membalas cepat: “kok hanya wajah. Ah, pengen lihat bawahnya. Pasti belum pake baju kan?”
“Hihihi, mau? Serius?” digerak-gerakkannya kameranya dengan cepat dari atas ke bawah, sehingga orang di seberang bisa melihat bagian tengah tubuhnya yang telanjang samar-samar.
Tak ada yang tahu memang selama ini bahwa Ukhti Tati yang selalu bergamis tertutup dan kombor serta selalu mengenakan jilbab lebar itu ternyata punya sisi binal semacam ini. Tentu saja saat itu pun bukan kali pertama dia melakukan video call seks semacam itu.
“Aaaaaah, sayang, diemin dong kameranya,” rengek lawan bicaranya.
Ukhti Tati mengedip-kedipkan matanya menggoda. Lalu diubahnya setelan kursinya menjadi kursi baring, seperti kursi-kursi tempat berjemur di pantai. Perlahan tangannya yang tak memegang hp bergerak meremas susunya yang mengkal padat besar, lalu diarahkannya kamera hpnya ke susunya itu.
“Pengen ini gak, sayang?” Nada suaranya terdengar sangat menggoda.
“Pengen!” jawab laki-laki di seberang singkat. Lalu wajahnya lenyap dari pandangan dan tak lama langsung berganti gambar penis tegang.
“Ihhh, saru,” kata Ukhti Tati, masih dengan nada manja. “Kok baru lihat ini saja sudah tegang sihh, gimana kalau lihat ke bawahnya coba.”
“Mana? Mana? Pengen lihat bawahnya.” Gambar kontol kembali berganti wajah mupeng.
Ukhti Tati ganti meremas-remas susunya satunya lagi. Lalu perlahan kameranya diarahkannya ke perut, semakin ke bawah, lalu ke atas lagi menampakkan wajahnya. Jelas dia suka mempermainkan lawan bicaranya, membuat penasaran.
Lawan bicaranya tampak memasang wajah jengkel, dari gerak tubuhnya yang agak bergoyang tampaknya dia sedang mengocok-kocok penisnya.
“Sayang onani ya?” Kata-kata vulgar itu keluar dari mulut ukhti Tati. “Sayang jorok ihh.”
“Iya, habis sama kamu gak pernah dikasih….”
“Dikasih apa, sayang? Ini?” Ukhti Tati membuka pahanya mengangkang dalam posisi tidur bersandar di kursi. Diarahkannya kameranya ke vaginanya yang tampak dikelilingi hutan rapi. Dengan jemari tangan satunya, dielus-elusnya hutan itu, lalu agak direkahkannya dan dielus-elusnya bibir vaginanya.
“Uhhhh, iya sayang, pengennn.”
“Nanti ana kasih deh, tapi syaratnya permintaan ana harus dituruti.” Ukhti Tati menjilat jemarinya, lalu kembali mengusap-usapkan jemarinya di sekitar vaginanya.
“Iya. Nanti kukasih. Janji ya. Ah, tak sabar ini.” Si laki-laki tampak makin kesetanan mengocok penisnya.
“Janji ya,” Lalu dengan wajah tampak mesum, Ukhti Tati mendesah-desah, jemarinya mengelus-elus klentitnya. Diletakkannya hpnya di meja dengan kamera merekam sekujur tubuhnya yang berbaring di kursi. Dengan tangan yang satu ukhti itu meremas-remas payudaranya sementara dengan tangan satunya lagi diusap-usapnya klentitnya.
Video call seks antara kedua orang itu makin lama makin panas, dibumbui oleh kata-kata mesum yang tak mungkin dibayangkan orang akan keluar dari ukhti alim seperti ukhti Tati. Video call itu baru berakhir ketika lawan bicaranya memekik bahwa dia orgasme, lalu tampak close up penis yang berlumuran sperma. Ukhti Tati membalas dengan menjulurkan lidahnya menjilat bibir, lalu dijilat-jilatnya juga jemarinya yang berlumuran cairan vaginanya.
“Ana tunggu janjinya sayang.”
“Iya, sayang,” jawab lawan bicaranya yang tampak kelelahan meski juga tampak makin penasaran. Ukhti Tati hanya senyum-senyum menggoda. Lalu dimatikannya sambungan itu. Ukhti Tati lalu berdiri dari kursinya. Dia pergi ke dapur dan mengambil sirup dingin dari kulkas. Sambil berjalan-jalan di sekitar taman itu, sesekali diminumnya sirup itu. Tubuh telanjangnya yang kembali berkeringat tampak berpadu dengan suasana taman itu yang asri. Betapa bebasnya. Inilah kehidupan yang dia inginkan, tak perlu mengenakan gamis dan jilbab dan bisa merasakan tubuh telanjangnya bersatu dengan alam. Setelah puas, diletakkannya kemasan sirup dingin itu di meja, lalu dia kembali meloncat ke kolam renang, membasuh tubuh indahnya dan menyegarkan tubuhnya. Dia tahu bahwa tak setiap saat dia bisa mengalami kebebasan seperti itu.
Ukhti Tati tentu saja tidak tahu bahwa semua kegiatannya itu ditonton dengan penuh gairah oleh Marwan melalui lubang pada pintu yang menghubungkan taman itu dengan taman belakang rumah Marwan. Apa yang diketahui hanya oleh Ukhti Tati adalah bahwa dia merasakan kebebasan dan bahwa dia menanti permintaannya dipenuhi oleh nomor yang baru saja melakukan video call seks dengannya, nomor yang sama dengan nomor yang tadi menelepon uminya, nomor berakhiran 874.

*

Welcome back suhu, sangat ditunggu sekali ini. Semoga alif sama umi aminah juga dilanjut. Salam ngatjeng suhu
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd