Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Part 9. Kesempatan dan Harapan

Sore harinya Inaya tetap memutuskan untuk pulang. Dia tidak bisa terus menghindari masalah ini. Jika memang harus berpisah Inaya sudah pasrah. Terus terang saja jika dirinya masih trauma dengan apa yang dilakukan oleh Bara. Bayang-bayang dirinya yang dipukul oleh suaminya itu masih menghantui langkahnya.

Alasan Inaya memutuskan untuk pulang adalah nasihat dari pak Rahmat. Lelaki itu juga ikut mengantar Inaya untuk menjadi penengah dalam mediasi antara Inaya dan suaminya.

"Nay, kamu udah siap? Bapak akan berusaha semaksimal mungkin biar masalah kamu bisa selesai dan gak akan terulang lagi," ucap pak Rahmat seraya meletakkan tangannya di atas punggung tangan Inaya. Inaya tersenyum. Dia merasa dirinya akan baik-baik saja jika bersama pak Rahmat. Ketakutan kepada suaminya berkurang drastis. Kini dia siap menghadapi Bara.

Pukul lima sore, mobil pak Rahmat sampai di rumah Inaya. Rumah terlihat minimalis, sangat jauh dengan rumah pak Rahmat yang terkesan mewah. Mereka kemudian turun. Jantung Inaya berdebar-debar namun pak Rahmat berhasil mengendalikan kegugupannya dengan menepuk bahunya.

Tok...tok...tok...

Pintu rumah itu terbuka dari dalam. Bara muncul dengan wajah kacau, namun ketika melihat siapa yang datang, matanya langsung membulat.

"Sayang, kamu pulang," ucap Bara. Dia berusaha memeluk istrinya yang amat sangat ia rindukan.

Tapi Inaya menolak. Dia justru bersembunyi di belakang tubuh pak Rahmat. Wajahnya menampakkan ketakutan. Tidak bisa dipungkiri dirinya masih trauma dengan apa yang dilakukan oleh Bara.

Suaminya menatap dengan penuh rasa bersalah. Dia kembali berusaha meraih tangan Inaya sebelum wanita itu menyembunyikan tangannya ke belakang.

"Maaf mas Bara. Di sini saya mau jadi mediator untuk membantu menyelesaikan masalah antara anda dan juga Inaya," ucap pak Rahmat yang merasakan remasan Inaya di ujung bawah bajunya.

"Maaf, anda siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya?" sindir Bara dengan wajah yang terlihat emosi.

Namun pak Rahmat bukannya ikutan emosi menghadapi sikap tidak sopan dari suami Inaya itu. Dia justru tersenyum sambil menyorotkan pandangan yang membuat nyali Bara menjadi ciut.

Pak Rahmat mengulurkan tangannya. "Kenalkan, nama saya Rahmat Budiman. Saya orang yang mengasuh Inaya saat kecil, dan saya tidak akan membiarkan orang lain menyakiti Inaya barang seujung kuku pun!" tegas pak Rahmat.

Bara tertegun mendengar ucapan yang amat lantang itu. Bara pun berpikir jika pak Rahmat bukanlah orang sembarangan. Akhirnya Bara mengijinkan pak Rahmat untuk masuk ke rumahnya beserta Inaya.

Pak Rahmat duduk di tengah sedangkan Bara dan Inaya duduk di sebelah kanan dan kiri. Pak Rahmat mulai membicarakan mengenai masalah rumah tangga yang tengah dihadapi oleh Inaya dan juga Bara.

Pria paruh baya itu mengungkapkan dengan pandangan yang objektif. Meskipun pak Rahmat mencintai Inaya, tapi dia sama sekali tidak menggiring opini agar Bara dan Inaya bercerai. Justru dia menasehati Inaya untuk mencoba memaafkan Bara, dan mewanti-wanti Bara agar tidak melakukan kesalahan itu lagi.

Bara yang sebelumnya tersulut emosi hanya bisa menunduk menyesali perbuatannya. Dia salah menilai pak Rahmat. Dia pikir lelaki itu akan membuat Inaya semakin membencinya, tapi dia salah.

"Nay, aku bener-bener minta maaf. Aku khilaf. Aku janji gak akan ngelakuin hal itu lagi," ucap Bara dengan penuh penyesalan.

Inaya diam tak bergeming. Dalam hati masih takut jika emosinya meledak-ledak. Namun pak Rahmat tiba-tiba menyentuh punggung tangannya.

"Nay, suamimu udah minta maaf. Gimana perasaanmu sekarang? Gak baik menyimpan dendam sampe berlarut-larut."

Ucapan pak Rahmat seolah-olah menghipnotis dirinya sehingga tanpa sadar ia mengangguk. Bara yang melihat anggukkan Inaya pun tersenyum lega. Dia harus banyak-banyak berterima kasih kepada pak Rahmat.

"Makasih, Nay. Kamu udah mau maafin aku." Inaya menatap Bara lalu menarik sudut bibirnya dengan susah payah.

"Ya sudah. Kalo begitu bapak pulang dulu. Untuk kamu Bara, sekali lagi bapak tau kamu berbuat kasar sama Naya, bapak akan ambil tindakan yang lebih tegas daripada ini."

Bara menunduk ketakutan sambil mengangguk kecil. Ya mau bagaimana? Aura pak Rahmat benar-benar seseram itu. Dia jamin tidak ada seorangpun yang berani macam-macam terhadap pak Rahmat, meskipun secara fisik lelaki itu kalah jauh.

Setelah kepergian pak Rahmat, Inaya langsung pergi beranjak dari tempat ia berdiri. "Inaya," panggil Bara. Wanita itu menoleh. Dia juga tidak tahu mengapa rasanya masih sangat canggung.

Bara mendekati Inaya sambil sedikit terisak. "Maaf, Nay. Kamu udah maafin aku, kan?" Inaya tersenyum sambil mengangguk.

"Aku udah maafin kamu, mas." Bara tersenyum, hanya sesaat sebelum Inaya kembali melanjutkan kata-katanya. "Tapi luka yang kamu berikan gak akan bisa menghapus trauma di hati aku, mas."

"Itu artinya kamu belum maafin aku," sanggah Bara.

"Kalo aku belum maafin kamu, aku gak akan pulang ke rumah ini. Itu juga bujukan dari pak Rahmat. Tapi buat balik lagi kayak dulu aku masih butuh waktu." Setelah menyelesaikan ucapannya, Inaya berjalan ke dalam kamar.

Jujur saja, dia sebenarnya masih belum sepenuhnya memaafkan Bara. Inaya benar-benar benci dengan pria yang kasar terhadap wanita. Terlebih lagi dia merasakan kehadiran sosok pak Rahmat betulan mampu membuat dirinya tenang dan aman. Kini malah dia kembali ke rumah yang membuatnya trauma.

Merenung beberapa saat, tiba-tiba notifikasi pesan di HP-nya berbunyi. Inaya tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tertarik keluar melihat pesan yang baru saja masuk.

Pak Rahmat.
"Gimana, Naya? Suami kamu udah gak berani macem-macem, kan?"

Jari jemari Inaya secara otomatis menari-nari di atas layar sentuh miliknya.

Inaya.
"Gak berani lah, pak. Emang bapak gak liat tadi mukanya mas Bara keliatan pucet pas bapak kasih peringatan tadi?"

Pak Rahmat.
"Hahaha...masa sih? Dia kan polisi. Masa digituin doang takut."

Inaya.
"Iya soalnya bapak mukanya kayak diktator," balas Inaya dengan diakhiri emot lidah menjulur ke samping.

Pak Rahmat.
"Iya, diktator. Diktator yang siap melindungi tuan putri Inaya." Pak Rahmat membalas dengan emot cium dengan tanda love.

Dada Inaya berdegup kencang. Dia membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangan agar tidak terlihat senyuman lebar di wajahnya.

Ya ampun. Digombali begitu saja Inaya sampai klepek-klepek. Hati Inaya tampak berbunga-bunga. Dia seperti gadis yang sedang merasakan kasmaran. Inaya sampai lupa dengan kondisinya sekarang.

"Nay." Sebuah panggilan membuat Inaya terkejut. Ponselnya tanpa sengaja jatuh. Untung masih di atas kasur.

"Iya kenapa, mas?" Inaya buru-buru mematikan layar HP-nya.

"Besok kamu habis ngajar gak ada acara, kan?" Bara duduk di sisi Inaya yang kini duduk bersimpuh saat sebelumnya terungkap.

Inaya hanya menggelengkan kepalanya untuk merespon pertanyaan Bara. "Besok jalan-jalan mau, ya? Itung-itung sebagai penebusan dosaku." Bara menatapnya dengan penuh harap.

"Boleh deh, mas," jawab Inaya. Bara pun tersenyum kegirangan. Lagi-lagi Inaya memaksakan untuk tersenyum. Perasaan cintanya terhadap Bara seperti menguap entah kemana.

Malam harinya Bara mengajak Inaya untuk bercinta. Sesekali Bara memeluk Inaya dari belakang sembari mengendus-endus leher jenjang wanita cantik itu.

Biasanya ketika Bara sudah melakukan serangan seperti itu, Inaya langsung berbalik dan dengan senang hati menyerahkan seluruh tubuhnya untuk suaminya nikmati.

Tapi untuk kali ini Inaya belum bergeming sama sekali. Dia lebih memilih untuk memejamkan mata sembari berpura-pura tidur. Kontak fisik yang terjadi di antara merekapun seperti sangat hambar. Inaya tidak terangsang. Sentuhan Bara tidak dapat memicu gairah Inaya. Padahal sebelumnya hembusan nafas Bara di tengkuknya pun mampu membuat Inaya bergairah.

Inaya meremas bantal yang ia tiduri ketika tangan Bara mulai bergerak menangkup payudaranya. Bukannya terangsang, Inaya justru seperti merasa risih dengan apa yang dilakukan Bara. Inaya seperti tidak rela dirinya dijamah oleh suaminya sendiri.

Inaya pun dengan terpaksa berbalik. Bibirnya langsung disambar oleh Bara dengan penuh nafsu. Wanita hanya pasrah menerima ciuman di bibirnya.

"Yank, aku kangen banget sama kamu, emmmhhh...sssppp..." ungkap Bara. Inaya diam saja dan hanya memejamkan mata erat.

Tubuhnya seperti menolak segala upaya yang dilakukan Bara. Sampai suaminya melucuti semua pakaiannya. Bara menatap Inaya penuh nafsu. Dia sungguh-sungguh sangat merindukan istrinya itu.

Mereka berdua akhirnya melakukan hubungan suami istri kembali, tetapi ada berbeda. Inaya sama sekali tidak terangsang. Ada sesuatu dalam dirinya yang menahan cairan cintanya untuk keluar. Hingga yang ia rasakan hanya sakit saat Bara melakukan penetrasi terhadap inti tubuhnya.

"Ahhh...masss...sakittt...!!!" Inaya menangis sambil memukul-mukul bahu Bara. Tetapi lelaki itu sama sekali tidak menggubrisnya. Nafsu setannya sudah menguasai hingga hanya ada kepuasan yang ia kejar pada malam itu.

Sampai suatu titik Bara tak mampu lagi untuk menahan ledakan spermanya dan menyemprotkan bermili-mili benih ke dalam rahimnya. Setelah menuntaskan hasratnya, Bara langsung tertidur pulas meninggalkan Inaya yang terisak sambil memegangi kewanitaannya yang lecet.

Keesokan harinya, Inaya sudah berada di ruang makan menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga sangat suami.

Sungguh, jika saja hari itu bukan hari masuk kerja, Inaya lebih memilih untuk tidur seharian di atas ranjang. Bagaimana tidak, rasa sakit yang ditimbulkan oleh aktivitas semalam terasa semakin kuat. Bahkan Inaya tidak mampu berjalan seperti biasanya.

"Sayang, kamu kenapa jalannya begitu? Apa karena semalem? Punya mas kegedean, ya?" ucap Bara dengan senyum menggoda.

Inaya menghela nafas dalam sambil memaksakan tersenyum. Padahal dalam hatinya sangat ingin menyentil mulut suaminya yang ngomong sembarangan.

"Gede darimananya? Sama pak Rahmat mah jauh!" ujar Inaya dalam hati. Namun sedetik kemudian Inaya terkejut dan menelan salivanya. Kenapa tiba-tiba dia malah membandingkan milik suaminya dengan milik pak Rahmat.

Bara bangkit dari duduknya. Melingkarkan tangannya di pinggang Inaya. "Nanti malem lagi, yah." Bara berusaha mencium bibir Inaya namun secepat kilat wajah wanita itu melengos. "Jangan dulu, mas. Punyaku masih sakit."

"Masa? Sesakit itu, kah? Baru gak ml sehari udah rapet lagi aja," ucap Bara seraya mengusap kepala Inaya.

Inaya menggerutu dalam hati. "Dasar! Ini gara-gara mas mainnya kasar! Mana posisi kering lagi punyaku!"

"Ya, udah. Kalo emang sakit mending gak usah berangkat dulu. Nanti aku minta ijin ke sekolah." Inaya langsung menggeleng. "Jangan, mas. Aku udah ambil cuti lama loh, masa harus ijin lagi. Enggak papa kok, aku baik-baik aja."

"Bener, kamu baik-baik aja?" Inaya mengangguk. "Ya, udah kalo gitu. Aku anter kamu, ya ke sekolah. Nanti pulangnya mas jemput."

Wanita itu tidak dapat berbuat apapun selain mengangguk menuruti ucapan suaminya. Kalau dia terus-terusan menolak bisa-bisa Bara malah curiga.

Sesampainya di sekolah, Inaya pamit dengan Bara. Dia bergegas masuk ke ruangannya. "Mba Naya kenapa? Kok jalannya agak ngangkang gitu?"

Inaya terkejut mendengar ucapan dari Bu Ani. "Eh, ibu. Bikin kaget aja. Gak papa kok Bu. Saya cuma keseleo," jawab Inaya berbohong.

"Aihhh...ibu Ani belum nikah, jadi maklum aja, mba Nay kalo beliau enggak tau," timpal Bu Murniati. Wanita paruh baya itu langsung mendapatkan tatapan sinis dari Bu Ani. Ya, julukan si perawan tua yang melekat pada dirinya selalu menjadi olok-olok bagi sesama guru. Mentang-mentang belum menikah dirinya masih dianggap polos, padahal sebenarnya memang iya sih.

Jangankan merasakan berhubungan seks, merasakan pacaran saja belum pernah. Bu Ani kemudian pergi begitu saja karena merasa tersinggung.

"Eh, mba Naya. Semalem gimana nih ceritanya? Kok bisa sampe jalan ngangkang gitu, hihihi..." tanya Bu Murniati kepo.

"Duh, ibu ini. Privasi aku itu, Bu," protes Inaya. Dia lebih memilih menyiapkan buku-buku materi yang hari ini akan ia ajarkan daripada menjawab pertanyaan aneh itu.

"Ih, mba Naya gak usah sungkan sama saya. Saya juga pernah muda. Apalagi suami mba Naya kan polisi. Duh, pasti perkasa banget ya, mba." Bu Murniati malah membayangkan yang tidak-tidak.

"Kalo ibu mau, nanti saya bilangin ke suami saya. Ati-ati aja Bu, suami saya mainnya kasar, loh. Emang ibu tahan?"

"Hahhh?!" Bu Murniati sampai terkejut mendengar jawaban Inaya yang di luar dugaan. Iya, saking kesalnya dia menimpali topik Bu Murniati sampai-sampai dia keceplosan berbicara ngawur.

"Maaf, Bu. Saya mau setoran absensi siswa dulu sama pak kepala sekolah. Permisi." Inaya berdiri, sambil membungkukkan badan dia melewati Bu Murniati dengan sopan.

Tok...tok...tok...

Inaya mengetuk pintu ruangan pak Rahmat. Dua detik kemudian mendapat sahutan dari dalam untuk menyuruhnya masuk.

"Pagi pak." Seperti biasa Inaya selalu menampilkan senyum terbaiknya ketika masuk ke ruangan kepala sekolah.

"Pagi sayang." Pak Rahmat menimpali dengan senyuman yang sama. Namun ukiran bibir Inaya yang melengkung sirna dan berganti dengan tatapan mata bulatnya ke arah pak Rahmat.

Wajahnya berubah jadi merah. Ia menunduk. Tak terasa sudut bibirnya kembali naik ke atas. "Ih, bapak kok manggil sayang, sih! Duh, harus cepet-cepet periksa jantung, nih aku!" ungkap Inaya dalam hati.

Inaya malah jadi salah tingkah. Fantasinya berkeliaran. Kata-kata yang sudah disiapkan di ujung bibirnya mendadak hilang tertiup angin. Apalagi ketika pak Rahmat memangkas jarak dengannya hingga wajah mereka berhadapan.

"Bengong?" ucap pak Rahmat. Satu kata itu mampu membuyarkan lamunan Inaya. "Eh, maaf pak. Aku mau nyerahin data absensi siswa."

Inaya langsung menyerahkan berkas yang dari tadi ia pegang sambil menunduk. Pak Rahmat tidak langsung mengambil berkas itu namun justru menatap wajah Inaya yang sudah mirip seperti kepiting rebus.

Merasa kumpulan kertas itu tidak berpindah tempat, Inaya mendongakkan kepalanya. Bibirnya sedikit terbuka kala melihat pria paruh baya itu tersenyum ke arahnya.

"Duduk dulu, Nay." Pak Rahmat lalu menggenggam telapak tangan Inaya dan memegangi punggung wanita itu untuk dituntun ke kursi di depan mejanya.

Inaya pun menurut saja. Kalau dilihat sekilas seperti sepasang kekasih yang hendak candle light dinner. Jelas saja Inaya semakin salah tingkah dengan sikap pak Rahmat yang sangat manis padanya.

Mereka kemudian duduk berhadapan. "Semalem kamu gak papa?" tanya pak Rahmat dengan kedua tangan dilipat di atas meja.

"Semalem?" Inaya mengernyitkan keningnya. Pak Rahmat mengangguk. "Kamu jalan udah kayak orang mau lahiran kali, Nay," balas pak Rahmat sambil terkekeh. Dikiranya Inaya telah mengalami malam panas yang begitu menggelora, tapi nyatanya semua orang salah kaprah.

Inaya menggembungkan pipinya. Entah kenapa dia merasa kesal melihat tidak ada raut cemburu sama sekali dari pak Rahmat. Atau dia kerjai saja lelaki di hadapannya ini?

Tiba-tiba saja Inaya mendapatkan ide. "Oh, jelas, pak. Yah, namanya habis marahan terus baikan pasti kita gak bakalan nyia-nyiain waktu. Bapak liat sendiri kan keadaanku sekarang. Semalem gak habis-habisnya mas Bara minta. Sampe subuh!" jelas Inaya sambil sesekali melirik pak Rahmat. Siapa tau ada perubahan raut wajahnya.

Tapi nyatanya pak Rahmat justru terkekeh mendengar penjelasan Inaya yang terkesan vulgar itu, membuat gembungan pipi Inaya semakin besar.

"Ya, bagus dong. Hubungan kalian jadi mesra lagi. Tapi kok mukanya cemberut gitu?"

"Tau, ahh...bapak gak peka!" gerutu Inaya dalam hati. "Enggak papa, kok. Iya, bagus, lah. Ini semua kan 'berkat bapak'!" ucap Inaya dengan menekankan kata 'berkat bapak' seolah menyindirnya.

Inhale exhale. Inaya mengelus-elus dadanya berusaha menetralisir rasa kesal di dadanya. Wanita itu heran, sebenarnya pak Rahmat betulan cinta dengan dia atau tidak sih? Kenapa malah senang jika dirinya justru balikan dengan Bara.

Inaya mulai meragukan ketulusan cinta pak Rahmat. "Mungkin pak Rahmat bilang gitu buat menghibur aku aja kali, yah."

"Huh, dasar cowok bisanya cuma mainin perasaan cewek doang,"
batin Inaya sambil bangkit dari duduknya.

"Kalo gitu saya permisi dulu, pak. Ada jam pelajaran yang saya ampu." Inaya membungkuk sekilas sebelum berbalik pergi.

"Nay," panggil pak Rahmat. Inaya sontak menoleh. Lelaki itu segera menghampiri Inaya.

Wanita itu begitu terkejut saat pak Rahmat tiba-tiba saja memeluk pinggulnya dan mencium ... bibirnya!

Mata Inaya membulat sempurna, namun otaknya terlalu lemot untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Dia diam membeku saat bibir ranumnya sedang berinteraksi dengan bibir lelaki paruh baya itu.

Bahkan sesaat kemudian matanya berubah sayu kala pak Rahmat mulai memperdalam ciuman itu. Tanpa disadari bibirnya mulai terbuka menyambut atau lebih tepatnya mengundang lidah pak Rahmat untuk bertamu ke dalam rongga mulutnya.

Mendapati lampu hijau dari Inaya, pak Rahmat menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Inaya. Perempuan cantik di hadapannya membalas dengan menjepit benda lunak itu menggunakan rentetan gigi bagian atas dan lidahnya sendiri.

"Ehemm...ssslllrrrppp...sssscccppp..." Kini keduanya sudah sama-sama memejamkan mata menikmati momen yang tidak terduga.

Inaya bingung dengan dirinya sendiri. Ciuman yang seharusnya tidak terjadi tapi dia malah menginginkannya lagi dan lagi. Candu bibir pak Rahmat membuatnya kini justru mengalungkan tangannya di leher lelaki botak dan tambun itu.

"Ammhhhsssppp...ssshhh...mmmhh..." Mereka berdua seperti tidak peduli dimana mereka melakukan hal tidak pantas itu. Yang ada hanya deru nafas yang semakin memburu.

"Emmmhhh...ssss..." Tangan kiri Inaya meremas lengan tebal pak Rahmat yang dipenuhi oleh lemak itu ketika telapak tangannya mendarat di bokong Inaya.

Mendorong benda bulat itu hingga pinggul mereka bertabrakan. Dapat Inaya rasakan sebuah tonjolan di balik celana pria itu. Dia pun jadi bergidik ngeri.

Tiba-tiba saja Inaya mendorong dada pak Rahmat hingga ciuman itu terlepas. Campuran saliva mereka tersambung antara kedua bibir mereka sebelum Inaya mengusapnya dengan punggung tangan.

Wajahnya tampak sangat memerah. Inaya mundur menjaga jarak. "Nay."

"Stop, pak!" Inaya memperingati saat pak Rahmat hendak melangkahkan satu kakinya ke depan.

"Maaf, Nay. Bapak ngelakuin ini karena bapak jatuh cinta sama kamu." Raut wajahnya berubah menyesal.

"Aku gak bisa bedain antara jatuh cinta dan nafsu, pak." Inaya menyunggingkan senyum misterius.

"Aku bingung, pak. Di satu sisi bapak bilang cinta sama Naya, tapi di sisi lain bapak malah berusaha menyatukan Naya sama suami Naya lagi. Kenapa?" tanya Inaya seraya menggelengkan kepalanya.

"Nay, bapak cinta sama kamu, bapak pengin kamu bahagia, tapi bapak gak yakin kamu punya perasaan yang sama seperti bapak. Dan mana mungkin kamu mau sama bapak? Suamimu ganteng, masih muda, beda jauh sama bapak yang udah tua."

"Apa bapak pikir Naya liat fisik dalam mencintai seseorang? Apa bapak mikir Naya serendah itu?" Ucapan Inaya benar-benar membuat pak Rahmat tertegun.

"M...maksud kamu apa, Nay? K...kamu punya perasaan yang sama kayak bapak?" Pak Rahmat yang biasanya berwibawa dan tenang mendadak terbata-bata.

Inaya tersenyum seraya menghela nafas dalam. Wanita itu menggeleng. "Gak tau lah, pak. Aku pusing mikirin hubungan yang rumit ini." Inaya sempat mengusap wajahnya kasar.

Bibir basah pak Rahmat masih terbuka, dia bengong. Apakah ini adalah kode yang harus diterjemahkan oleh algoritma seorang wanita?

"Nay. Jujur lah. Apa bapak ada kesempatan buat bisa sama kamu?" Mata pak Rahmat fokus ke arah wajah Inaya yang cantik dan anggun, meski tampak sedikit berantakan.

Inaya menaikkan kedua bahunya sekilas. "Tergantung effort bapak, dan buktikan kalo yang bapak rasakan itu beneran cinta, bukan nafsu. Soalnya cinta dan nafsu itu beda tipis." Inaya menyelesaikan kata-katanya dengan menengok jam di pergelangan tangannya.

"Udah dulu, pak. Aku ada jam. Permisi." Inaya membungkuk lalu berbalik pergi dari ruangan kepala sekolah.

Pak Rahmat meletakkan kedua tangannya di atas meja sambil berdiri. Tangannya bergetar, jantungnya berdetak sangat kencang.

Bukan, bukan karena marah atau emosi, tetapi karena euforia di dalam dadanya seperti hendak meledak. Jika saja dirinya tidak berada di sekolah, mungkin dirinya sudah melompat-lompat kegirangan.

"Inaya, bapak janji akan memperjuangkan cinta kita!" ucap pak Rahmat dalam hati.

To Be Continue...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd