Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Malinksss

Guru Semprot
Daftar
16 Mar 2020
Post
596
Like diterima
32.807
Bimabet
Halo para suhu semuanya. Berhubung MSJ sudah tamat, saya selaku author malinksss hadir dengan cerita baru.

Kalo ditanya apa ada hubungan antara MSJ dan cerita KLDS. Jawabannya, semua cerita yang saya buat masih berada di satu universe. Tinggal bagaimana soal timeline masih dirahasiakan. Apakah duluan MSJ atau KLDS. Semua akan terungkap seiring berjalannya waktu.

Tapi dijamin cerita ini adalah cerita yang fresh dan tidak membawa konflik yang ada di MSJ sama sekali.

Terimakasih 🙏

 
Terakhir diubah:
Part 1. Kepala Sekolah Baru

Inaya baru saja masuk kerja setelah mengambil cuti beberapa hari lantaran sedang melangsungkan pernikahan. Sudah seminggu ia resmi menjadi istri dari pria tampan bernama Bara yang berprofesi sebagai polisi.

Dengan menggunakan baju dinas coklat dan kerudung berwarna senada, Inaya masuk ke kantor sekolah SMA Dirgantara. Ia langsung disambut oleh rekan kerjanya.

"Ciyeee...ada pengantin baru, nih. Ehem...keliatannya happy banget. Pasti semalam gerah, ya?" sambut seorang guru bernama Bu Murniati.

Inaya tersipu malu tapi tidak bisa menyembunyikan senyumannya. "Ah, ibu bisa aja. Jangan ngomong gitu, ihh. Malu."

Inaya celingak-celinguk. Jaga-jaga siapa tau ada yang menguping pembicaraan mereka, terutama bapak-bapak guru rekan kerjanya yang kadang sering cari perhatian kepadanya.

Mendengar kabar pernikahan Inaya adalah sebuah hari patah hati di sekolah itu. Terutama bagi seorang guru laki-laki yang sudah menyukai Inaya sejak lama.

"Hehehe…gak papa. Saya juga pernah ngalamin, kok. Jadi mba Naya gak perlu sungkan buat cerita sama saya. Kalo perlu mba Naya bisa konsultasi soal posisi-posisi yang uenak tenan," ujar Bu Murniati dengan gamblang. Dia memang guru yang suka ceplas-ceplos. Umurnya memang tidak muda lagi, tapi soal jiwa, dirinya lebih muda daripada guru-guru yang lain.

Mata Inaya membulat. "Ya, ampun! Ibu ini ngomong apa, sih? Posisi apa? Striker atau kiper? Sialnya aku paham lagi dia lagi bahas soal apaan," batin Inaya.

Menurutnya, hal-hal berbau ranjang terlalu vulgar untuk diceritakan kepada orang lain. Meskipun itu sesama wanita. Inaya tetap saja tidak nyaman.

Belum sempat Inaya menjawab pertanyaan Bu Murniati, rekan kerjanya yang lain datang dengan sebuah berita.

"Eh, udah pada tau belum? Hari ini kepala sekolah yang baru mau dateng," ucap Bu Ani penuh antusias.

"Terus kenapa kalo dateng hari ini?" Seminggu yang lalu juga udah dikasih info sama pihak yayasan," jawab Bu Murniati acuh.

"Aku cuma penasaran kepala sekolah yang baru itu ganteng, badan tegap atau gimana?" Bu Ani berkhayal sambil memegangi kedua pipinya yang memerah.

"Huh. Yang dipikirin cuma itu. Dasar perawan tua." ujar Bu Murniati dalam hati. Biarkan saja. Bu Ani memang sedang gencar-gencarnya mencari pasangan hidup mengingat usianya sudah kepala tiga.

Tapi mau gimana lagi kalo tipe yang dicarinya terlalu berlebihan soal fisik. Maunya yang masih muda terus badannya berotot. Nikah aja sama pegulat UFC kalo gitu.

Guru yang lain tidak menanggapi dan memilih untuk pergi. Inaya juga berjalan menuju meja kerjanya. Tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan akan segera dilangsungkan upacara bendera karena hari ini adalah hari senin.

Para siswa-siswi berbaris di lapangan upacara. Saat upacara bendera, disitulah diperkenalkan kepala sekolah baru. Semua orang baik guru maupun siswa begitu antusias melihat kedatangannya. Mereka berharap kepala sekolah yang baru bisa lebih bijaksana dan tidak galak.

Saat aba-aba pembinaan upacara memasuki tempat upacara, di situlah kepala sekolah yang baru hadir di antara mereka.

Tampak raut cemberut dari Bu Ani ketika melihat sosok kepala sekolah yang baru. Inaya malah menahan tawanya melihat rekan gurunya itu menunjukkan wajah kecewa. Kemunculan kepala sekolah baru sangat jauh dari harapan Bu Ani.

Dia tua. Rambutnya botak di bagian depan dan beruban di bagian belakang. Kumis lebat dan perut buncit. Wajahnya juga tidak bisa dibilang tampan. Inaya merasa familiar ketika melihat wajah kepala sekolah tersebut. Meski pada akhirnya dia gagal mengingat siapa pria paruh baya itu.

Kepala sekolah memperkenalkan diri. Namanya Rahmat Budiman. Lelaki yang memiliki perut buncit itu mulai berbicara kepada audiens. Ia bersyukur bisa diterima di sekolah barunya ini. Ia pun berjanji akan bekerja sekeras mungkin demi menyukseskan sekolah barunya. Sebuah pidato yang membosankan bagi sebagian siswa.

Upacara selesai, para siswa kembali ke kelasnya masing-masing. Guru-guru juga kembali ke ruangan mereka.

Di kantor guru, kepala sekolah kembali menyampaikan pengarahan. Aturan yang berlaku dalam kepemimpinannya ke depan. Semua guru dan staf mendengarkan dengan penuh perhatian.

Tapi sesaat kemudian, kepala sekolah menoleh ke arah Inaya dan melakukan kontak mata dengannya lama. Cukup lama sampai membuat Inaya menoleh ke kanan-kiri nya salah tingkah.

"Duh, itu pak kepsek ngeliatin siapa, sih?" gerutu Inaya dalam hati.

Pupil matanya lebar. Ekspresinya tenang serta suaranya berat. Auranya mengintimidasi dan memerintah. Benar-benar sosok pemimpin yang ideal.

Pengarahan pagi berakhir. Pak Rahmat berjalan menuju meja Inaya sambil terus menatap wanita itu. Inaya melirik sekilas, saat dia tahu pak Rahmat mendekatinya sambil menatap wajahnya, buru-buru dia berlagak seperti orang sibuk. Menulis si kertas kosong yang diisi tanda tangan ngawur.

"Waduh, pak kepsek malah ke sini lagi. Aku harus ngapain ya biar gak ditegur," pikir Inaya.

"Hai Naya, ya? Lama banget gak ketemu. Gimana kabar kamu sekarang?" Sapa Pak Rahmat yang membuat Inaya terkejut.

Inaya secara refleks mengangkat kepalanya. Dia pikir kepala sekolahnya yang baru tau namanya dari melihat name tag yang ada di dadanya. Tapi saat itu dia lupa tidak memasangkannya.

"Baik pak. Eh maaf, apa sebelumnya kita pernah kenal, ya? Saya gak inget," ujar Inaya sambil tersenyum canggung dengan perasaan tidak enak.

Pak Rahmat terkekeh membuat Inaya semakin penasaran. "Naya, kamu gak inget sama saya? Saya ayahnya Dina, teman SD-mu dulu."

Tiba-tiba mata Inaya melebar. Diperhatikannya baik-baik wajah pak Rahmat. Yah, wajahnya terlihat sangat familiar. Inaya ingat, wajah yang diukir itu adalah wajah ayah sahabat pertamanya.

Dia segera berdiri dan membungkuk. "Ya ampun! Iya! Maaf pak, bapak bikin pangling. Udah lama banget ya pak. Gimana kabar sekeluarga?" Inaya bangkit lalu menangkup kedua tangannya di depan sebagai rasa hormat.

Pantas saja Inaya pangling. Dulu jaman masih sekolah TK sampai SD Inaya selalu main di rumah Dina karena ayah ibu Inaya sibuk bekerja. Pak Rahmat ini bapaknya Dina yang sering mengajak mereka pergi jalan-jalan.

Beliau menyayangi Inaya seperti menyayangi putrinya sendiri. Ketika Dina mendapatkan A maka dia juga mendapatkan A. Ketika Dina dapat B dia juga dapat B. Pak Rahmat tidak pernah membeda-bedakan antara mereka berdua.

Dulu bahkan Inaya sangat suka digendong oleh pak Rahmat. Kadang-kadang sambil dicium pipinya gemas yang membuat Dina menangis karena iri. Begitu juga sebaliknya, Inaya akan menangis merengek ketika Dina digendong dan dicium pipinya oleh pak Rahmat. Yang kalau diingat-ingat sekarang benar-benar membuat Inaya malu.

Dulu penampilan pak Rahmat tidak seperti sekarang. Dulu pak Rahmat memiliki badan yang tegap, gagah, kekar, maskulin. Bahkan perutnya membentuk sixpack. Itu Inaya suka tertawa dengan Dina dan sering menyebutnya duren karena bentuknya seperti duren dibelah.

Pak Rahmat terkekeh menjawab. "Sekeluarga baik. Dina juga udah nikah, udah punya anak satu. Tapi dia ikut sama suaminya di balikpapan."

"Oh, kalo ibu?" tanya Inaya lagi. Tidak dipungkiri dia memang begitu dekat dengan keluarga sahabatnya itu dulu. Tiba-tiba wajah pak Rahmat berubah jadi sendu.

"Ibu di rumah. Tapi sekarang enggak bisa apa-apa karena kena penyakit stroke."

"Astaghfirullah." Inaya mengelus dadanya sendiri begitu sedih mendengar kabar tersebut. Teringat dulu Inaya sering dimandikan oleh ibunya Dina yang bernama Bu Aminah, dimasakkan, didandani sama seperti Dina. Beliau sangat baik kepadanya.

"Iya, sekarang di rumah sendirian. Kadang bapak minta tolong sama tetangga dekat rumah buat jagain pas bapak lagi kerja."

Inaya mengangguk sembari menatap lantai putih kotak-kotak dengan wajah sendunya. Memorinya terbang ke masa lalu dimana dia begitu dekat dengan istri pak Rahmat itu. Bagaimanapun Bu Aminah sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri.

"Ibu pasti seneng kalo kamu bisa tengokin dia. Dulu kan ibu sayang banget sama kamu." Inaya mengangkat wajahnya.

Kalau dipikir-pikir benar juga. Inaya pun kangen dengan sosok Bu Aminah. Malah dulu dia lebih dekat dengannya daripada ibu kandungnya sendiri.

"Boleh, pak. Nanti saya cari waktu dulu, deh."

"Kalo nanti sore, gimana? Setelah pulang kerja."

"Duh, kalo nanti sore saya gak bisa pak. Saya belum ijin sama suami saya, juga udah ada janji mau pergi sama dia."

Pak Rahmat sedikit terkejut. "Oh, jadi kamu udah nikah. Maaf, bapak gak tau." Inaya hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Pengantin baru, pak. Hehehe..." celetuk Bu Salma di sebelah meja Inaya yang membuat wanita cantik itu bersemu merah.

Eh, diam-diam ada yang menguping pembicaraan mereka. Inaya melirik tajam ke arah Bu Salma yang ember itu.

Inaya malah menunduk dengan kedua tangannya tertaut di bawah seperti orang sedang kena omel. Dia tidak enak saja dengan pak Rahmat kalau harus membahas kehidupan pernikahan yang baru seumur jagung itu.

"Oh, pengantin baru toh." Pak Rahmat manggut-manggut. "Ya, sudah. Kamu ijin dulu sama suami kamu. Nanti kabarin bapak, ya," ujar pak Rahmat kemudian.

Inaya hanya tersenyum sambil membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. Setelah itu bel berbunyi tanda pelajaran pertama akan segera di mulai.

Inaya sedang menyiapkan beberapa buku materi yang akan dibawanya ke kelas. Sampai di situ Bu Salma mendekat.

"Aduduh, baru hari pertama udah ada koalisi sama kepala sekolah. Ehem...ehem..." celetuk Bu Salma dengan nada sindiran.

Inaya hanya melirik sekilas lalu kembali menyiapkan buku-bukunya. "Beliau itu ayahnya sahabat saya waktu SD dulu, Bu," jelas Inaya singkat.

Bukannya dia tidak suka dengan rekan kerjanya itu. Tapi sifatnya yang sering sekali iri dengan orang lain membuatnya malas menanggapi obrolannya.

Tidak ada waktu untuk bicara karena dia harus segera mengajar. Inaya pun berjalan ke arah kelas yang dia ajar. Namun saat sedang menaiki tangga tiba-tiba ada orang yang memanggil.

"Naya," sapa orang itu. Inaya yang merasa dipanggil pun menoleh. Tampak seorang lelaki gagah berseragam coklat menghampirinya.

Inaya pun mundur selangkah. Wajahnya berubah tegang menatap sosok pria di hadapannya. "Kamu udah berangkat?" tanya lelaki itu.

Namanya Ibnu. Dia adalah lelaki yang paling gencar mendekati Inaya dari para guru-guru yang lain. Dan kabar mengenai pernikahan Inaya benar-benar membuat hatinya hancur.

Terakhir kali mereka berbicara adalah di telfon saat malam sebelum Inaya melangsungkan pernikahan. Waktu itu mereka berdebat cukup lama. Sebelumnya Ibnu merasa Inaya memberikannya harapan kepadanya, tapi berakhir dengan Inaya yang menerima pinangan dari pria lain.

Sampai saat ini juga sorot matanya masih sama. Masih menatap Inaya dengan penuh cinta. Walaupun sekarang dia terus mencoba untuk berdamai dengan keadaan.

Inaya hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. "Selamat atas pernikahannya, yah. Maaf aku gak bisa dateng ke acara pernikahanmu," ujar Ibnu setengah berbohong.

Dia memang tidak bisa datang, lebih tepatnya tidak sanggup. Bagaimana mungkin dia sanggup melihat wanita yang ia cintai bersanding di pelaminan bersama lelaki lain?

"Iya, gak papa kok," jawab Inaya singkat. Jujur dia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Situasi ini membuatnya terpojok.

Sebenarnya Inaya juga memiliki perasaan terhadap Ibnu. Dia bukan wanita yang sembarang membuka hati kepada semua pria. Tiga tahun saling mengenal bukan waktu yang singkat bagi mereka.

Namun sikap Ibnu yang lamban dan terkesan menggantungnya membuat Inaya akhirnya menjatuhkan pilihan kepada lelaki lain yang melamarnya duluan.

"Kalo gitu aku permisi dulu. Ada jam pelajaran yang harus aku isi," pamit Inaya demi menghindari interaksi yang membuat hatinya tidak karuan.

Sama halnya dengan Ibnu yang hanya menatap punggung Inaya yang semakin menjauh dan menghilang. Dia termenung. Memang salahnya sendiri yang tidak bergerak cepat.

Inaya wanita yang cantik. Banyak yang ingin menjadikannya pasangan hidup. Wanita itu tidak akan menunggu seorang lelaki yang bahkan tidak pernah menyatakan perasaannya secara resmi, atau sekedar mengajaknya pacaran.

•••

Hari kerja pun berakhir. Inaya pulang dengan mengendarai motor matic kepunyaannya. Kaca helm bogo miliknya dibuka saat memasuki teras rumahnya.

"Assalamualaikum," sapa Inaya. Dia langsung disambut oleh suaminya yang memang memiliki hari cuti yang lebih panjang.

"Waalaikumusalam." Inaya dengan hormat mencium punggung tangan suaminya itu.

Saat menikah, Suaminya memang sudah mempersiapkan hunian agar mereka bisa langsung pisah tinggal dengan orang tua. Menurutnya itu adalah salah satu kunci hubungan rumah tangga yang harmonis.

"Gimana hari pertama masuk kerja lagi? Ada yang godain, gak?" ujar Bara, suami Inaya sembari tersenyum geli.

Inaya menjatuhkan bokongnya di sofa ruang tamu, tepat di sebelah suaminya. Merebahkan kepalanya di pundak sang suami.

"Biasa, mas. Ibu-ibu yang kepo. Malah ada yang mau kasih tau posisi-posisi yang uenak," jawab Inaya yang membuat Bara tertawa.

"Hahaha...kalo gitu udah tau, dong? Mau coba praktek?" goda Bara seraya menaik turunkan alisnya.

"Mas, ihh...!!!" Inaya memukul lengan suaminya kesal.

"Hehehe...kalo yang itu?" Bara berkata lagi.

"Yang itu?"

"Mantan pacar kamu itu."

"Siapa?"

"Si Ibnu," ujar Bara kini mulai serius.

Tiba-tiba raut wajah Inaya berubah. "Dia bukan mantan pacarku, kok. Orang cuma temen."

"Tapi dia suka sama kamu, kan?" kejar Bara lagi.

"Ih, mas Bara. Jangan bahas soal itu terus ngapa." Inaya mencebikkan bibirnya kesal. Namun wajah terlihat sangat lucu.

"Iya-iya, maaf. Mukamu gemesin kalo lagi ngambek gitu." Bara mencoba mencium bibir istrinya, namun Inaya yang masih kesal buru-buru menghindar. Alhasil hanya ujung bibirnya yang terkena.

Bara tidak tinggal diam. Ditariknya rahang Inaya hingga menghadap ke arahnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Bara yang langsung memagut bibir istrinya itu.

Awalnya Inaya diam saja mengatupkan bibirnya erat. Namun lama kelamaan dia pasrah juga dan membalas ciuman suaminya.

"Mmmhhh...sssppp...mmmhhh..."

Inaya mendorong dada Bara hingga tautan bibir mereka terlepas. Inaya menghapus jejak bibir suaminya menggunakan punggung tangan.

Dia belum terbiasa bibirnya bersentuhan dengan bibir orang lain, meskipun itu suaminya sendiri. Maklum sebelum menikah Inaya benar-benar awam soal begituan. Malam pertamanya saja Bara harus ekstra bersabar menghadapi istrinya itu. Belum dimasukkan saja Inaya sudah berteriak heboh.

Namun ciuman yang dilakukan Bara cukup manjur. Terbukti kini Inaya sudah tidak marah lagi, malah wajahnya berubah merah karena malu.

"Eh, mas. Aku mau cerita." Inaya mulai menegakkan badannya, hingga ada jarak di antara mereka.

"Cerita apa, sayang?"

"Tadi kepala sekolah yang baru dateng. Terus mas tau gak dia siapa? Ternyata dia pak Rahmat, ayahnya Dina. Sahabat kecil aku."

Bara menganggukkan kepalanya. Dia pernah diceritakan oleh Inaya tentang sahabatnya itu. "Jadi Dina itu udah nikah terus ikut sama suami di luar kota, aku lupa kota apa tadi pak Rahmat bilang. Terus di rumah pak Rahmat cuma berdua sama istrinya. Kasian istrinya kena penyakit stroke. Dulu dia yang ngurusin aku waktu kecil."

Bara mendengarkan dengan seksama ucapan Inaya. "Terus?" ujar Bara menanyakan kesimpulan dari cerita istrinya itu.

Sejenak Inaya menatap suaminya dengan cemas. "Emm...besok boleh gak kalo semisal pulangnya aku mampir ke rumah pak Rahmat. Aku mau jengukin Bu Aminah. Aku juga kangen sih sama dia. Pasti dia kesepian karena anaknya jauh."

Bara mulai berpikir. Inaya menampilkan senyum terbaiknya untuk merayu Bara agar mengijinkan dirinya untuk menjenguk Bu Aminah.

"Ya udah, tapi pulangnya jangan malem-malem, ya. Besok aku juga udah mulai berangkat kerja."

Inaya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Dia pun memeluk Bara yang disambut oleh suaminya itu. "Makasih, mas."

"Sekarang cium lagi, dong," pinta Bara sambil memonyongkan bibirnya. Tapi Inaya menolak.

"Jangan sekarang, mas. Aku baru pulang, belum mandi. Masih bau acem. Entah malem aja ya. Aku kasih lebih, deh," ucap Inaya masih malu-malu.

"Hmm...ya udah deh kalo gitu." Akhirnya Bara pasrah. Ketika Inaya hendak bangkit dari duduknya, Bara sempat meremas payudara kiri Inaya, membuat wanita itu menepis tangan suaminya secara reflek. Tapi setelah itu Inaya justru tersenyum mengingat yang meremas payudaranya adalah suaminya sendiri, bukan lelaki lain.

"Nanti malem, ya mas," balas Inaya seraya menoel ujung hidung Bara.

To Be Continue...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd