Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Hadir memantau situasi layaknya penjaga pantai yang ramai pengunjung. :mantap:
Semangat bung.
 
Part 4. Bonding

Inaya sedang berada di kantor guru. Jadwal pelajaran pertama dia mengajar di kelas 2 IPA 5. Kelas yang dikenal paling bandel. Inaya menarik nafas lalu menghembusnya pelan. "Semoga moodku yang lagi jelek ini gak tambah jelek karena ulah murid-muridku. Bismillah."

Dia bersiap pergi ke kelas yang akan dia ampu sebelum dicegat oleh seseorang. "Eh, mba Naya. Udah mau ke kelas?" tanya Bu Murniati.

"Iya nih, Bu. Kebagian kelas IPA 5," jawab Inaya. Bu Murniati tertawa sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Pasalnya semua guru sudah tahu bagaimana kelakuan kelas tersebut. Bahkan banyak guru yang hanya memberikan tugas lalu pergi karena tidak tahan dengan kelakuan mereka.

"Yang sabar ya, mba." Bu Murniati menepuk-nepuk bahu Inaya.

"Eh, tapi saya ke sini bukan mau nanyain mba kebagian kelas berapa. Di sini saya mau tanya. Mba tadi berangkat sama pak kepsek, ya?" tanya Bu Murniati penasaran.

Inaya terkejut, tapi berusaha sebiasa mungkin. "Iya, Bu. Soalnya kemarin saya ke rumah pak Rahmat ketemu sama istrinya. Beliau dulu yang ngasuh saya waktu kecil. Tapi pas mau pulang hujan dan saya gak bawa mantel. Jadinya saya dianter sama pak Rahmat."

"Ohhh..." Inaya panik sendiri menunggu reaksi dari Bu Murniati. Apakah dia melihat apa yang terjadi di dalam mobil?

"Ya udah kalo gitu. Saya cuma penasaran tadi, soalnya pas mobilnya berhenti, kalian lama banget gak turun-turun. Ya, kan saya jadi curiga."

Inaya semangat dibuat gelisah dan salah tingkah. "Enggak kok, Bu. Tadi saya cek hp dulu. Soalnya ada wa dari suami nanyain udah sampe apa belum," jawab Inaya berbohong.

"Iya, deh. Saya percaya. Mana mungkin kan mba Naya mau sama pak Rahmat." Bu Murniati kemudian mendekati telinga Inaya dengan telapak tangan yang berada di samping bibirnya. "Jangankan mba Naya, saya aja gak mau, xixixi..." bisik Bu Murniati seraya tertawa lirih takut yang dibicarakan dengar.

Inaya pun menghela nafas sambil geleng-geleng kepala mendengar penuturan Bu Murniati. "Yee, emang pak Rahmat mau sama situ," batin Inaya. "Eh, kok aku yang gak terima?"

Tidak mau ambil pusing, Inaya melanjutkan aktivitasnya. Meskipun terkenal berada di kelas yang nakal, Inaya tetap mengajar seperti biasa.

Di sini juga ada seorang siswa yang menyukai dirinya. Pernah suatu ketika murid tersebut menembak Inaya di depan kelas. Tentu saja Inaya menolak mentah-mentah.

Seharian dirinya dibuat dongkol. Dia mendapatkan kelas yang berisik, moodnya jelek, terus ditambah lagi kejadian pagi hari yang terus terbayang di kepala Inaya.

Jam satu siang sekolah sudah selesai. Inaya tengah bersiap-siap untuk pulang. Ponselnya bergetar tanda ada notifikasi masuk.

Pak Rahmat
"Bapak tunggu di mobil."

Inaya
"Iya, pak. Bentar lagi saya ke situ."


Inaya pun beranjak dari meja kerjanya menuju mobil pak Rahmat. Saat berjalan di koridor, tiba-tiba saja ada yang memanggil.

"Nay!" Inaya memutar tubuhnya dengan malas. Dari suaranya dia tahu siapa yang memanggil. "Ada apa, pak Ibnu?" tanya Inaya mencoba seformal mungkin.

"Udah mau, pulang?" kata Ibnu basa-basi.

"Sepertinya gitu, pak."

"Oh, ya. Dari pagi aku perhatiin kamu kayak gak semangat gitu? Kenapa? Ada masalah sama suami?" terka Ibnu.

"Kok bisa bapak seharian perhatiin istri orang? Saya rasa bapak punya lebih dari cukup pekerjaan daripada hanya untuk melakukan hal semacam itu."

"Nay. Bisa gak jangan ngomong formal kayak gitu. Kita ngomong biasa aja."

Inaya berusaha untuk tidak emosi. Tolong lah, moodnya sedang jelek. Jangan ditambah untuk membuat jengkel dirinya.

"Apa sih tujuan kamu deketin aku terus? Aku udah punya suami."

"Nay. Harusnya kamu tau kalo aku masih cinta sama kamu. Aku bakalan nunggu kamu sampai kapanpun."

Mata Inaya melotot. "Gila kamu ya, pak? Maksudnya kamu apa, nunggu? Kamu berharap aku cerai sama suami aku?"

"Enggak, Nay. Aku cuma percaya kalo takdir gak ada yang tahu. Termasuk jodoh dan maut. Dan aku nunggu keajaiban itu. Meskipun peluangnya kecil."

Inaya menggeram. Menurutnya apa yang diucapkan Ibnu seolah mendoakan dia bercerai atau suaminya meninggal.

Saat ingin merespon Ibnu, ponsel Inaya berbunyi. Itu adalah telpon dari pak Rahmat.

"Halo, pak?"

"Halo, Nay? Masih lama?"

"Emm...bentar lagi, pak. Ini ada sedikit masalah."

"Masalah apa, Nay? Mau bapak bantu?"

"Enggak usah, pak. Cuma masalah sepele, kok. Ini juga udah selesai."

"Ya udah, bapak tunggu. Sekalian ngadem di mobil."

"Iya, pak."

Inaya kemudian menutup telponnya.

"Siapa itu, Nay?" tanya Ibnu. Inaya melirik tajam. "Kepo!" Setelah itu Inaya pergi begitu saja dari hadapan Ibnu. Entah kenapa semakin hari pria itu semakin menjengkelkan. Inaya merasa cinta Ibnu padanya sudah berubah menjadi obsesi.

"Mukamu kenapa, Nay? Kok ditekuk gitu?" Pak Rahmat bertanya saat Inaya masuk ke dalam mobilnya. Dia malah terkekeh melihat bibir Inaya manyun beberapa sentimeter.

Mobil mulai berjalan. "Itu, pak. Anak buahnya bapak, si Ibnu ngeselin."

"Emangnya kenapa sama si Ibnu? Bapak rasa dia orangnya sopan."

"Enggak, dia itu loh, pak. Masa aku udah nikah, dia masih tetep mau nungguin aku. Maksudnya apa coba? Dia berharap aku cerai gitu?"

Pak Rahmat justru tertawa semakin keras, membuat Inaya bersedekap. "Oh, bapak ngerti. Jadi dia suka sama kamu tapi telat ngungkapinnya?"

"Ya, bukan telat, sih. Aku udah tau kalo dia suka sama aku sejak dulu, tapi dia kesannya gantungin aku loh, pak. Jangankan dilamar, diajakin pacaran aja enggak. Jadi aku kan ngiranya dia gak serius sama aku. Baru deh pas aku nikah dia baru bilang kalo dia gak akan nunda-nunda lagi. Kan aneh," keluh Inaya menggebu-gebu.

"Kalo gitu, sih. Kamu gak usah ladenin, Nay. Namanya cowok itu harus gercep. Apalagi sama bidadari yang ketinggalan di bumi kayak kamu. Seandainya kamu belum nikah aja, udah bapak samperin tuh ayahmu."

Inaya menoleh ke sebelah kanannya. "Eh, maksudnya gimana, nih? Kok otak aku jadi blank!" Dia sampai menelan ludahnya susah payah. "M...maksudnya gimana, pak?" tanya Inaya sambil menahan nafas.

"Ya, bapak samperin ayahmu terus ajak ngopi bareng. Kan dulu bapak juga tetanggaan sama ayahmu, hehehe..." jawab pak Rahmat sambil tersenyum jahil.

Inaya menghembuskan seluruh udara yang tercekat di paru-parunya. "Aduh, bapak! Hobi banget bikin orang jantungan, deh!" ujar Inaya seraya mencubit lengan tebal pak Rahmat.

"Hahaha...emangnya kamu mikir apa, sih?" Pak Rahmat mengusap kepala Inaya yang dibungkus jilbab coklat itu. Bibir Inaya maju beberapa sentimeter, membuatnya terlihat begitu menggemaskan.

"Bukan apa-apa. Tapi omongan bapak itu, loh. Bikin ambigu, tau! Akunya udah mikir kemana-mana, juga. Eh...taunya...malah ngajakin ngopi."

Pak Rahmat kembali tertawa. Bikin Inaya semakin merasa kalau dirinya sedang dikerjai. "Emang kamu berharapnya, apa?"

"Au ahh..." balas Inaya cuek. Dia berpura-pura merajuk. Padahal sebenarnya tidak sama sekali. Mobil terus melaju dengan dua orang di dalam yang sama-sama membisu karena tidak ada bahan obrolan.

Kemudian pak Rahmat menyeletuk. "Eh, Nay. Kita mampir ke supermarket dulu, yuk. Popoknya ibu udah tinggal sedikit. Takutnya gak sempet beli pas habis."

"Boleh deh, pak. Sekalian aku juga mau bikinin ibu kue."

"Bikin kue? Emang kamu bisa?" Nada pak Rahmat terdengar meremehkan. "Bisa dong. Aku kan SMK jurusan patiseri."

"Oh, terus kuliahnya jurusan pendidikan? Gak nyambung banget." Inaya melirik pak Rahmat yang menutupi bibirnya dengan jari jemari sedang tertawa tanpa suara.

"Iya, terus SMP-nya jurusan komputer." Inaya menimpali dengan gurauan.

"SD-nya jurusan pertanian," balas pak Rahmat lagi dengan mengacungkan jari telunjuknya ke samping.

"Eh, masih dilanjutin!" batin Inaya. "Iya, terus TK-nya jurusan otomotif," lanjut Inaya lagi.

Lalu tiba-tiba. "Hak...hak...hak..." Pak Rahmat tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban terakhir Inaya. Wanita itu sempat terkejut namun sesaat kemudian dia ikutan tertawa.

"Hahaha...bapak! Nihhh...!!!" Sial, Inaya tidak bisa menahan tawanya saat melihat pak Rahmat tertawa dengan sangat lepas. Memang kata orang kalau tawa bisa menular itu fakta.

"Bapak! Udah, pak! Perut Naya sakit, nih, ketawa terus! Aduhhh..." Inaya sampai menabok lengan pak Rahmat. Ia memegangi perutnya yang mengeras.

Inaya menghapus air mata yang tidak sengaja keluar. "Kalo beneran kamu bisa jadi montir tercantik, deh. Soalnya, kan sainganmu bandot semua, hak...hak...hak..."

Tawa Inaya yang sudah sedikit reda kembali pecah. Hal itu membuat Inaya mengelus-elus dadanya. "Udah, pak. Udah. Jangan dilanjutin. Naya gak kuat!" ucap Inaya sambil meringis meremas kedua sisi pinggangnya.

"Ya, habis kamu lucu. Oh, ya. Nanti kalo bapak mau servis mobil sama kamu aja, ya. Lumayan kan servis gratis," ujar pak Rahmat sambil terkekeh.

"Apaan sih, pak. Ihh..." Sekali lagi Inaya mencubit pak Rahmat. Kini di bagian pinggangnya yang tebalnya dua kali lipat buku skripsi miliknya.

Mobil pun berbelok menuju ke pusat perbelanjaan. Menuju supermarket yang letaknya ada di dalam sebuah mall yang cukup besar.

Wanita jika sedang berbelanja itu bisa sampai lupa waktu. Meskipun itu hanya berbelanja bahan makanan. Inaya berpikir sekalian saja dia menyiapkan bahan makanan di kulkas biar tidak bolak-balik ke supermarket.

Pak Rahmat hanya berjalan ke sana kemari mendorong troli yang sudah terisi setengah.

"Kamu suka wagyu?" tanya pak Rahmat ketika Inaya sedang memilih daging di antara dua tangannya yang ia naik turunkan seperti timbangan.

"Bukan aku, pak. Tapi suamiku yang suka. Sejak nikah aku belum pernah masakin dia wagyu. Pengin aja. Itung-itung sebagai permintaan maaf karena kemarin udah ngambek."

Pak Rahmat hanya manggut-manggut. Setelah memilih daging, mereka pergi ke bagian sayuran. Sama saja, Inaya memilih dengan cara ditimbang di kedua tangannya. Memangnya bisa pilih seperti itu? Kadang feeling wanita jauh lebih akurat daripada penelitian.

Kini mereka pergi ke bagian bahan-bahan untuk membuat roti. Kali ini Inaya tidak memilih seperti tadi. Dia langsung ambil bahan-bahan yang sudah dalam bentuk kemasan. Tepung terigu, telur, gula, susu, mentega, sudah masuk ke dalam troli.

"Udah semuanya?" Pak Rahmat menatap troli yang isinya sudah segunung. Inaya mengangguk. "He'ehh."

Mereka akhirnya pergi membayar di kasir. "Bapak bayar dulu aja. Aku bayar belakangan," ucap Inaya kepada pak Rahmat.

Iya, karena belanjaan pak Rahmat hanya popok untuk Bu Aminah dan beberapa perlengkapannya yang bisa dihitung dengan jari. Sedangkan belanjaannya cukup banyak.

"Udah, disatuin aja, Nay. Biar belanjaan kamu bapak yang bayar."

"Eh?" Inaya yang sedang mengambil kartu ATM di dompetnya pun menoleh ke pak Rahmat. "Gak usah, pak. Aku bayar sendiri aja. Belanjaanku banyak banget, loh."

Pak Rahmat tidak merespon. Dia langsung menyerahkan kartu kredit miliknya kepada kasir. "Dijadiin satu ya, mba," kata pak Rahmat. Inaya hanya terdiam mendengar ucapan lelaki paruh baya itu.

"Yah, pak. Kalo tau gitu aku gak usah belanja tadi," keluh Inaya. Sungguh dia merasa tidak enak dengan pak Rahmat. Masa semua belanjaannya dibayari.

"Mau ke mall dulu?" tawar pak Rahmat. Inaya menggeleng. "Gak usah, pak. Kita langsung pulang aja." Dia juga kasihan melihat pak Rahmat membawa dua tas kresek besar di kanan dan kirinya. Ingin membantu tapi pak Rahmat menolak.

"Kamu tenang aja. Belanjaan kita dititipin dulu di tempat penitipan. Nanti kalo udah selesai kita ambil lagi. Bapak tau tadi pas kita jalan ke supermarket kamu sempet liat stand baju, kan?"

"Hehehe...iya, pak." Jujur memang Inaya sempat melirik sebuah kios baju ketika lewat tadi. Dia tertarik dengan salah satu blazer yang terpampang di sana. "Tapi janji, bapak gak boleh bayarin lagi."

Pak Rahmat hanya mengangguk. Setelah menitipkan barang belanjaan, mereka pun pergi ke kios baju yang dimaksud.

"Yang mana tadi, ya?" Inaya mencari-cari. "Oh, itu." Sambil tersenyum Inaya menghampiri sebuah toko baju. Dia langsung mendekati blazer yang menarik perhatiannya tadi.

"Bagus gak, pak?" tanya Inaya sambil menempelkan pakaian itu di badannya. "Bagus banget. Cocok!" Pak Rahmat mengacungkan kedua jempolnya.

Inaya tersenyum mendengar respon pak Rahmat. Namun ketika ia melihat harganya, matanya langsung melotot. "Hah, serius ini harganya lima juta?! Di toko baju biasa aja paling gak sampe lima ratus ribu."

Inaya kembali menggantungkan blazer tersebut di cantolan. "Ayok, pak kita cari di toko yang lain aja." Wanita itu memeluk lengan pak Rahmat di sampingnya, kemudian menariknya keluar dari toko tersebut.

"Loh, gak jadi beli?" Inaya menggeleng. "Mahal banget, pak. Masa blazer doang nyampe lima juga." Pak Rahmat tersenyum. "Iya lah, itu kan high-end brand. Kalo kamu mau ambil aja. Nanti bapak yang bayarin."

Inaya kembali menggeleng. "Enggak usah, pak. Buang-buang duit aja. Aku gak mau utang sama orang. Eh...maaf." Inaya reflek melepaskan gandengan tangannya kepada pak Rahmat setelah sadar apa yang dia lakukan barusan.

Inaya hanya ingin secepatnya keluar dari toko itu sebelum terlalu malu. "Kita langsung pulang, nih? Serius gak mau nyari yang lain?"

"Enggak, pak. Kita langsung pulang aja. Kasihan ibu nunggu kelamaan." Pak Rahmat langsung setuju. Setelah memasukkan belanjaan mereka ke bagasi, mereka pergi meninggalkan mall tersebut.

Dalam perjalanan mereka lebih banyak diam. Pak Rahmat memperhatikan Inaya yang fokus kepada gadget di tangannya. "Ngapain, Nay? Serius banget."

"Hmm?" Inaya menoleh ke arah pak Rahmat sekilas lalu kembali fokus ke ponselnya. "Ini, pak. Aku lagi nyari resep bikin kue. Aku lupa-lupa inget. Udah lama aku gak bikin."

"Iya lupa. Orang sehari-hari dicekokin pake angka-angka doang," celetuk pak Rahmat yang tahu Inaya seorang guru matematika. Ternyata Inaya sudah kembali tenggelam ke dunianya itu dan mengabaikan pak Rahmat. "Yah, dicuekin."

Mobil sampai di rumah pak Rahmat. Inaya langsung masuk ke dalam, sedangkan pak Rahmat membawa belanjaan mereka ke dapur.

Merasa cuacanya cukup cerah, pak Rahmat memutuskan untuk sebats lebih dulu di teras rumah. Sebatang rokok lumayan untuk merilekskan pikiran.

Setelah sebatang rokok habis, pak Rahmat kembali masuk ke dalam. Dia mendengar suara cukup nyaring dari arah dapur. Pak Rahmat melihat Inaya sedang mengocok bahan adonan dengan menggunakan mixer.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya pak Rahmat dengan kedua tangan diletakkan di atas meja, tepat di depan Inaya.

"Tolong bukain tepungnya, pak. Terus tuangin ke sini," ucap Inaya. Pak Rahmat melakukan sesuai instruksi Inaya.

Namun karena pak Rahmat membuka bungkus tepungnya terlalu lebar, maka yang terjadi tepung itu terjadi itu terjatuh semuanya ke atas meja dan...

Brussss...

Tepung itu memantul mengenai muka Inaya hingga wajahnya putih belepotan tepung. "Eh, m...maaf, Nay. Pfffhhhtttt..." Antara kasihan dan ingin tertawa, pak Rahmat menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Bapakkk...!!!" seru Inaya sambil berkacak pinggang dengan mata masih tertutup karena kelopak matanya terkena tepung.

"Hahaha...maaf, Nay. Bapak gak sengaja, hahaha...tapi kamu lucu juga kek gitu. Udah cocok jadi pemeran kuntilanak, hahaha..." tawa pak Rahmat lepas.

Inaya menggerutu. "Ihhh...bapak...!!! Sebelll...!!!" Inaya sontak memeluk pak Rahmat, lalu mengusap-usap wajahnya ke pakaian dinas milik lelaki itu yang belum diganti.

"Eh...eh...ehh...Nay. Baju bapak ini mau dipake lagi besok! Eh, kok malah dikotor-kotorin?!" Pak Rahmat memegangi bahu Inaya.

"Biarin!" Inaya tidak peduli. Dia masih terus mengelapkan mukanya ke seragam dinas milik pak Rahmat.

Pak Rahmat tidak menolak sedikitpun. Bukan karena sudah terlanjur, tapi karena dia merasakan bagian empuk Inaya menekan-nekan dadanya. Entah Inaya sadar atau tidak, tapi itu membuat antena pak Rahmat menjadi berdiri.

Setelah wajah Inaya sudah cukup bersih, dia melepaskan pelukannya. "Liat, nih. Seragam bapak jadi kotor," tunjuk pak Rahmat ke bajunya sendiri.

"Biarin. Salah sendiri!" Inaya dengan jahil mengambil tepung yang berhamburan di meja depan jari telunjuk, lalu mencolek pipi pak Rahmat hingga mukanya putih.

"Naya! Muka bapak jadi cemong!" Pak Rahmat menggeram. Berbeda dengan Inaya yang malah tertawa lebar. "Hahaha...bapak mukanya lucu! Kayak Bagong! Hahaha..."

Perut buncit, muka putih. Benar sekali sudah mirip salah satu peran punakawan. "Awas kamu, ya! Sini bapak bales, kamu!"

Pak Rahmat sudah meraup segenggam tepung untuk membalas Inaya, namun wanita itu dengan cepat menghindar. Malah Inaya sempat menjulurkan lidahnya untuk mengejek pak Rahmat.

"Hahaha...sini, pak. Kalo bisa nangkep Naya. Bapak keberatan perut, tuh." Inaya berlari mengitari meja untuk menghindari pak Rahmat.

Pak Rahmat yang memang memiliki badan tambun pun kesulitan mengikuti gerakan Inaya. Namun ada satu masa ketika Inaya memilih untuk kabur ke ruang tv.

Pak Rahmat sambil mengacungkan tangannya berusaha mengejar Inaya. Pak Rahmat berlari lebih cepat dari dugaan Inaya. "Awas kamu, Nay. Bapak kasih hukuman, nih!" Hingga saat sampai di ruangan itu Inaya hampir tertangkap oleh pak Rahmat.

Namun naas, ketika berlari, pak Rahmat tidak sengaja tersandung kaki sofa sehingga terhuyung ke depan dan...

"Aduhhh...!!!"

Brukkk...!!!

Pak Rahmat jatuh menimpa Inaya.

"Heghhh...!!!" Inaya merasa seperti tertimpa pohon besar. "P...pak...!!!" pekiknya. Inaya membuka mata.

Betapa terkejutnya dia ketika melihat wajah pak Rahmat begitu dekat dengan wajahnya. "P...pak..." panggil Inaya lagi. Namun kali ini lebih lembut. Itu karena pak Rahmat sudah memindahkan sebagian besar berat badannya di kedua tangan.

Bola mata Inaya membulat. Tatapan mata pak Rahmat menyiratkan sejuta arti membuat jantungnya berdebar sangat keras. Namun, rasa itu sama sekali tak menakutkan untuk Inaya. Sebaliknya, dia justru seperti sedang dipuja oleh seorang yang begitu mendambanya.

Tidak ada seorang lelaki pun yang memandangnya sebegitu dalam. Bahkan suaminya sekalipun. Tidak pernah sedalam yang ia rasakan saat ditatap pak Rahmat.

Entah kenapa Inaya jadi lupa dengan posisinya sekarang yang sangat berbahaya. Tidak ada usaha menyingkirkan tubuh gempal itu dari atas tubuhnya.

Inaya menahan nafas ketika pak Rahmat malah memiringkan kepalanya. "Loh, eh, pak. Gak gitu juga caranya, pak!" Inaya sendiri justru memejamkan matanya erat dengan kedua tangannya tergenggam di samping pipinya.

To Be Continue...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd