Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Part 5. Curahan Hati Pak Rahmat

"Nayaaa...!!!" Suara itu menyadarkan keduanya dari situasi yang mereka alami. Inaya membuka mata melihat begitu dekat wajah pak Rahmat, bahkan kepala pak Rahmat sudah dimiringkan ke samping.

Pak Rahmat juga sama. Dia kemudian bangkit dari tubuh Inaya. "Ibu manggil!" ungkap Inaya sembari membersihkan pakaiannya dari debu tepung lalu beranjak masuk ke dalam kamar Bu Aminah.

"Naya kamu gak papa, kan?" ucap Bu Aminah panik ketika Inaya masuk ke dalam. Inaya juga bingung. Tadi dia pergi meninggalkan Bu Aminah ke dapur dalam keadaan tertidur. Tapi sekarang tiba-tiba dia menanyakan keadaannya.

Inaya duduk di samping Bu Aminah seraya menenangkan wanita yang terlihat begitu cemas. "Naya gak papa kok, Bu. Naya baik-baik aja."

"Astaghfirullah, Nay. Barusan ibu mimpi kamu hampir aja dimakan buaya," ucap Bu Aminah. Inaya berpikir sejenak. "Dimakan buaya?" Spontan dia langsung teringat kepada pak Rahmat.

"Buayanya gede gak, Bu?" tanya Inaya dengan nada sedikit bercanda. "Iya, Nay. Buayanya gede banget."

"Terus kumisan?" Kini Inaya terkekeh membuat Bu Aminah sedikit heran. Inaya merebahkan tubuh Bu Aminah lagi di atas tempat tidur. "Udah, Bu. Gak usah terlalu dipikirin. Naya baik-baik aja, kok. Ini buktinya."

"Iya, Nay. Untuk sekarang, tapi entah nanti atau kapan, apapun bisa terjadi. Kamu yang hati-hati, ya. Firasat ibu gak enak." Bu Aminah menumpuk telapak tangannya di atas punggung tangan Inaya.

Inaya terdiam. Iya, diam-diam dia merasa bersalah pada Bu Aminah. Mungkin kejadian itu memang seharusnya tidak boleh terjadi. Inaya tampak merenung.

"Nay. Kamu gak papa, kan? Kok mukamu pucet?"

"Ha, pucet? Enggak kok, Bu. Naya baik-baik aja. Sekarang ibu tidur lagi, ya."

Bu Aminah mengangguk. Dia pun kembali tertidur. Inaya keluar dari kamar dengan perasaan tidak menentu.

Inaya terkejut saat membuka pintu, pak Rahmat sudah berada di tepat di depannya. "Ibu tadi kenapa, Nay?" tanya pak Rahmat.

Inaya menunduk. "Ibu tadi cuma mimpi, pak. Tapi sekarang udah tidur lagi." Dia mengatakan tanpa melihat ke arah pak Rahmat.

Situasi barusan membuat mereka sama-sama canggung. Terlebih perasaan pak Rahmat yang ingin mencium bibirnya dengan sengaja membuat dia memandang berbeda lelaki itu sekarang. Inaya juga merasa bersalah kepada Bu Aminah.

"Naya bersih-bersih dapur dulu, abis itu Naya mau pamit pulang. Takut suami Naya nyariin." Inaya pergi melewati pak Rahmat begitu saja.

Inaya membersihkan dapur yang berantakan karena ulah mereka. Acara membuat kue yang dia rencanakan jadi kacau. Tapi bukan itu masalahnya. Inaya bingung, apa yang ada dipikiran pak Rahmat tadi. Dan apa yang ia lakukan hanya diam seolah memberikan jalan pak Rahmat untuk melakukan hal yang lebih kepadanya.

Oke, sebelumnya memang bibir mereka sempat saling bersentuhan. Tapi itu konteksnya tidak sengaja. Cium pipi sekiranya masih wajar jika dilakukan oleh ayah dan anak, tapi ciuman bibir?

"Astaghfirullah, aku kenapa, sih?" Inaya masih tidak habis pikir dengan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

"Sini bapak bantu, Nay." Pak Rahmat datang menawarkan bantuan. Namun hal itu langsung ditolak oleh Inaya. "Gak usah, pak. Ini juga udah selesai, kok."

Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi candaan. Suasananya begitu canggung. Inaya pamit. "Pak, saya pulang dulu, ya."

"Nay. Kamu gak papa, kan? Sama kejadian tadi. Maaf bapak terbawa suasana." Inaya tersenyum lalu menggeleng. Senyum yang terkesan palsu itu mengiringi Inaya saat keluar dari rumah pak Rahmat.

Di sepanjang perjalanan pulang, Inaya terus memikirkan kejadian tadi. Jujur, ia merasa nyaman berada di dekat pak Rahmat, tapi hanya sebatas layaknya ayah dan anak. Kini dia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika mereka kembali lagi bertemu.

"Kenapa, sih. Pak Rahmat? Kenapa dia mau cium bibir aku? Apa itu tanda sayang? Apa dia juga ngelakuin itu sama Dina? Tapi tatapannya itu, loh! Dalem banget!"

"Duh, pusing!" Inaya memasukkan motornya ke dalam garasi motor. Untung suaminya belum pulang. Masih ada beberapa jam, Inaya putuskan untuk membuat masakan kesukaan suaminya.

Hitung-hitung sekalian untuk mengalihkan perhatiannya pada apa yang terjadi di rumah pak Rahmat. Inaya pun sudah bersiap dengan celemek dan alat-alat memasak.

Pukul lima sore Bara pulang kerja. Ketika masuk rumah dia langsung disuguhi dengan aroma masakan yang begitu menggugah selera.

"Nay?!" panggil Bara. Tidak ada sahutan. Dia kemudian pergi ke dapur, ke tempat dimana aroma sedap itu berasal.

Di sana Bara tersenyum melihat Inaya berada di depan wastafel sedang mencuci piring. Dia bersenandung menggumamkan sebuah lagu lirih. Ternyata Inaya mengenakan earphone di dalam hijabnya. Pantas saja dia tidak dengar Bara pulang.

Pria itu mendekat langsung memeluk Inaya dari belakang. "Ihhh...pak Rahmat!" Sekejap senyum yang terukir di bibir Bara langsung lenyap berganti dengan kerutan di dahinya. Inaya menoleh hingga kedua pandangan mereka bertemu. Inaya panik karena kelepasan bicara.

"Pak Rahmat?!" Bara tertegun mendengar Inaya menyebut nama itu. "Eh, mas! Ngagetin aja!" Inaya berusaha untuk tidak terlihat panik. Dia tersenyum sambil menggandeng tangan Bara.

"Mas, sini deh. Aku udah buatin makanan kesukaan mas. Wagyu." Bara tidak merespon tetapi tetap mengikuti Inaya.

"Kamu yang masak? Dalam rangka apa?"

"Gak dalam rangka apa-apa, sih. Cuma aku mau minta maaf aja. Kemarin aku kekanak-kanakan banget. Padahal aku yang salah tapi malah aku yang ngambek," ucap Inaya penuh penyesalan.

"Iya udah gak papa. Aku juga minta maaf kalo kemarin udah marahin kamu terlalu keras." Inaya mengukir senyum saat mendengar Bara meminta maaf.

Mereka lalu berpelukan. "Makasih, mas. Udah jadi suami yang pengertian. Aku juga mau berusaha jadi istri yang terbaik buat mas."

Bara mengangguk lalu mencium puncak kepala Inaya. Mereka berbaikan. Walaupun dalam hati Bara masih mempertanyakan reflek Inaya yang memanggil pak Rahmat. Tapi Bara tidak bisa menghancurkan suasana yang baik ini.

"Sayang," panggil Bara lirih di telinganya saat mereka sudah berada di tempat tidur.

Inaya sedang asik menggulir ponselnya sambil rebahan dengan bantal yang cukup tinggi. Sebuah kacamata tersemat di atas hidungnya.

"Yang," panggil Bara lagi. "Hmm?" Inaya hanya menjawab dengan gumaman. "Lagi ngapain, sih? Serius banget."

"Ini mas. Lagi ngecek jadwal besok. Kelas sama materi yang harus aku ajarin di kelas."

"Oh," balas Bara singkat. Dia mengelus perut rata Inaya dari luar pakaian tidurnya. Laga-laganya Bara sedang ingin meminta jatah kepada Inaya. Kemarin hasratnya sudah menggebu namun berakhir mereka saling ngambek.

Inaya menoleh melihat senyuman mesum dari suaminya. Inaya bukannya tidak tahu apa yang diinginkan Bara. Ketika suaminya menarik Inaya untuk rebahan, Bara mengendus leher jenjang Inaya.

"Mas, ihhh..." Inaya menggeliat. Dia copot kacamatanya dan menaruhnya di atas nakas. Bara meremas-remas gunung kembar Inaya yang kemarin gagal ia nikmati.

"Ssshhh...emmhhh..." Inaya memejamkan mata sambil mendongak agar Bara lebih bebas mengekspor bagian lehernya.

Sedangkan tangan Inaya bergerak melepaskan kancing-kancing bajunya satu persatu. "Emhhh...aku kangen sama bau kamu, Nay."

Inaya hanya bisa merespon dengan tindakan. Setelah semua kancing bajunya terbuka, dia pun menaikkan cup bra-nya ke atas. Sontak kesempatan yang diberikan Inaya itu tidak disia-siakan oleh Bara. Dia langsung mencaplok ujung nipple Inaya yang berwarna pink yang sangat wangi.

"Ssshhh...aaaccchhh...masss..." desah Inaya saat puting payudaranya dijepit oleh sepasang bibir suaminya. Bara pun menyusu dengan sangat lahap, meskipun tidak mengeluarkan apapun.

Inaya mendesah sambil memeluk dan mencengkeram rambut bara. Rasanya begitu geli namun ada sengatan-sengatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Lepas ya, Nay." Inaya mengangguk. Setelah mendapatkan persetujuan dari istrinya, Bara langsung beringsut ke bawah. Dia tarik celana tidak berserta dalamannya.

Boom...

Kewanitaan Inaya yang sedikit tembem dan berbulu halus di bagian atasnya terlihat begitu indah. Mata Bara tidak habis-habisnya menatap pemandangan yang sangat mengagumkan.

Jujur, Bara merasakan seks pertamanya bukan dengan Inaya. Dia seorang polisi. Sudah banyak wanita-wanita yang pernah menghangatkan ranjangnya.

Tapi baru Inaya yang mampu membuat Bara tergila-gila. Berawal ketika Inaya kena tilang gara-gara lupa memakai helm, Bara langsung kepincut wajah manis wanita itu.

Setelah Inaya dibebaskan secara cuma-cuma olehnya, Bara semakin gencar melakukan pendekatan. Hanya bermodalkan perkenalan selama tiga bulan, Bara memantapkan hati untuk melamar Inaya.

Selang tiga bulan kemudian mereka pun memutuskan untuk menikah dan membuat gempar seluruh penjuru sekolah, terutama Ibnu yang sudah mencintai Inaya sejak lama namun tidak pernah mengambil langkah yang nyata seperti Bara.

Dan di sinilah mereka berada. Di bawah kungkungan Bara, Inaya merintih sambil melebarkan kedua pahanya. Di atasnya, Bara terus memompa pinggulnya mengaduk-aduk kewanitaan Inaya yang sangat legit dan menjepit.

Inaya adalah wanita yang polos. Berbanding terbalik dengan Bara yang sudah lebih banyak makan asam garam dalam hal bercinta.

"Aaaccchhh...masss...engghhh..." lenguhan kenikmatan Inaya menambah semangat Bara dalam memacu kejantanannya.

"Ouhhh...Nayyy, sempit banget, Nay. Nikmatnyaaa..." Bara menurunkan wajahnya demi memagut bibir manis milik istrinya.

Cuppp...

Inaya yang semula memejamkan mata menikmati suasana sontak membuka matanya. "Pak Rahmat!" Tiba-tiba nama itu terlintas di pikirannya.

"Hah, kenapa, ini? Kenapa bisa aku malah bayangin pak Rahmat waktu ciuman sama mas Bara?"

Tapi hal itu justru menambah sensasi yang berbeda. Dengan pak Rahmat, dia benar-benar menahan agar tidak terjadi hal demikian, namun dengan Bara dia bebas mengekspresikan apa yang ingin dia lakukan.

Bibir 'pak Rahmat' terus memagut bibirnya. Inaya membalas ciuman itu dengan sangat menuntut. Bahkan lidahnya kini ikut menari-nari mengikuti gerakan lelaki itu.

Bara heran karena tidak biasanya Inaya mengambil inisiatif dalam melakukan french kiss. Biasanya dia hanya diam saat Bara melakukan apapun di tubuhnya.

Respon Inaya membuat Bara sangat senang. Kini dia tidak hanya merasa menginginkan tapi juga diinginkan. Pompaan di pinggulnya semakin lama semakin kuat.

Inaya meresponnya dengan mengikat pinggang Bara dengan kedua kakinya. "Emmhhh...Nayyy...aku mau keluar..." ucap Bara di sela-sela persenggamaan mereka.

"Ssshhh...aaaccchhh...iya masss..." Inaya juga sebentar lagi akan mencapai sesuatu yang dianggap sebagai surga dunia.

Dan...

"Aaarrrgggccchhh...!!!"

Crottt...crottt...crottt...crottt...

Bara menembakan bermiliar-miliar sperma ke dalam rahim Inaya dibarengi dengan rintihan penuh kenikmatan dari Inaya.

"Aawwwnggghhhh...!!!"

Serrr...serrr...serrr...serrr...

Inaya terkulai lemas di bawah tubuh Bara yang ambruk. Bara kemudian melepaskan penyatuan di antara mereka dan bergeser ke samping. Inaya merasakan lelehan sperma suaminya mengalir keluar dari inti tubuhnya.

"Makasih, sayang. I love you," ucap Bara seraya mengecup kening Inaya yang basah karena keringat. "Iya, mas," balasnya sambil tersenyum.

Inaya mengambil tisu lalu mengelap lelehan sperma itu sampai bersih. Bara sudah terlelap tidur di samping Inaya. Ketika Inaya hendak pergi ke kamar mandi, ponselnya tiba-tiba saja berbunyi.

Setelah dicek ternyata itu dari pak Rahmat. "Nay, maafin bapak soal yang tadi siang, ya." Inaya hanya membacanya tanpa ada niat untuk membalas.

•••

Pagi hari wajah Inaya tampak sangat cerah. Semalam dia tidur dengan pulas setelah merengkuh kenikmatan bersama suaminya. Beberapa guru melintas menyapa Inaya.

"Selamat pagi Bu Naya."

"Selamat pagi pak Agus."

Inaya tersenyum sambil membungkukkan badannya sopan. "Selamat pagi, Nay." Inaya menoleh. "Selamat pagi pak Ibnu," balas Inaya.

"Kok kayaknya kamu lagi seneng banget? Ada apa?"

"Nanti kamu juga tau kalo udah nikah." Inaya menyunggingkan senyum yang penuh arti. Ibnu tahu maksud ucapan Inaya.

Entah itu betulan atau Inaya hanya ingin memanas-manasi dirinya. "Makanya nikah, dong," lanjut Inaya.

"Yah, mau gimana lagi. Orang yang pengin aku ajak nikah malah udah nikah sama orang lain."

"Di dunia ini wanita gak cuma satu. Contohnya tuh Bu Ani. Dia itu suka sama kamu, loh. Kenapa gak coba aja, siapa tau cocok."

"Nay. Cinta gak bisa dipaksain. Aku cuma cinta sama kamu. Aku rela ngapain aja demi bisa sama kamu lagi, Nay."

Inaya menghela nafas pelan. Dia tidak mau moodnya jadi jelek pagi ini. "Pak Ibnu, gak semua apa yang kita inginkan harus kita dapetin. Kadang kita harus mengikhlaskan sesuatu yang berharga demi bisa hidup bahagia."

"Nay. Bahagiaku cuma sama kamu. Aku gak tau lagi gimana caranya aku hidup tanpa kamu."

Inaya hampir saja muntah mendengar ucapan Ibnu yang terlalu mengada-ada. Buktinya, sekarang dia masih hidup meskipun tanpanya. Merasa tidak ada lagi yang perlu di bicarakan, dia pun melangkahkan kakinya menuju ruangan kantor meninggalkan Ibnu.

Di saat memasuki ruangan tanpa sengaja dia bertemu dengan pak Rahmat. Wajahnya langsung berubah. Dia menunduk tidak berani menatap wajah pak Rahmat.

"Selamat pagi Bu Naya?" sapa pak Rahmat. Inaya terpaksa berhenti. "Selamat pagi pak Rahmat."

"Semalem kenapa wa bapak cuma dibaca?" Inaya menelan ludahnya dengan susah payah. " Maaf, pak. Semalem saya ngantuk banget jadi gak sempet bales," ucap Inaya mencari alasan.

"Oh, gitu. Emm...bisa kita bicara sebentar di ruangan bapak?" Inaya sempat bingung. Tapi sorot mata pak Rahmat yang penuh harap membuat dia akhirnya menganggukkan kepala.

"Mau bicara tentang apa, pak?" tanya Inaya ketika mereka sudah berada di dalam ruangan kepala sekolah.

Pak Rahmat diam sejenak. Raut wajah penuh dengan keputusasaan. "Bapak cuma mau minta maaf atas kejadian siang kemarin," ujar pak Rahmat terus terang.

"Bapak akui kemarin bapak khilaf. Maaf, Nay. Ini bapak mau jujur ya sama kamu. Meskipun ini kayaknya kurang etis kalo dibicarain dan mungkin bukan urusanmu juga. Tapi bapak pengin sedikit sharing. Kamu tau sendiri kan, ibu kena penyakit stroke udah hampir satu tahun. Sejak itu aktifitas seksual kita menurun, bahkan sekarang udah gak pernah lagi. Bapak masih laki-laki normal, Nay. Bapak butuh penyaluran. Bapak stress. Bapak tersiksa. Sebenernya bapak gak ada niatan sama sekali untuk ngelakuin hal negatif atau manfaatin kamu. Tapi kemarin itu situasinya bener-bener salah. Bapak menyesal banget."

Inaya yang mendengarkan alasan pak Rahmat pun jadi merasa prihatin. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu pak Rahmat. Mana mungkin kan dia membantu urusan yang terbilang sangat privasi seperti itu? Inaya terdiam dengan isi pikirannya sendiri.

"Gak usah dipikirin, Nay. Ini bapak cuma curhat, loh. Biar kamu tau alasan bapak kemarin hampir mau cium kamu. Bapak gak mau apa-apa dari kamu." Pak Rahmat tersenyum.

"Eh, kok pak Rahmat bisa baca pikiranku, sih?" batin Inaya. "Enggak kok, pak. Naya gak mikirin apa-apa." Inaya menggelengkan kepalanya.

"Ya udah, Nay. Kalo gitu kamu bisa balik ke meja kamu," ucap pak Rahmat.

Inaya mengangguk. "Iya, pak. Kalo gitu saya permisi dulu," kata Inaya sembari berjalan keluar ruangan kepala sekolah.

To Be Continue...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd