Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Bimabet
Part 7. Sebuah Pelepasan

"Aaccchhh...ssshhh...iyaahhh...terus..."

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...

Dua anak manusia saling tindih, saling gesek, saling memberikan kenikmatan satu sama lain. Si pria menghujamkan senjatanya ke dalam inti tubuh si wanita dengan sangat menggebu-gebu.

"Aaccchhh...yanggg...aku mau nyampeeee...!!!"

Bukannya mendorong agar tautan kelamin mereka terpisah, si wanita justru semakin memeluknya erat dan...

Crottt...crottt...crottt...crottt...

Sperma yang sudah terkumpul di ujung kejantanan pria itu muncrat ke dalam rahim si perempuan. Mereka terkulai dengan nafas yang memburu.

"Uhhh...nikmat sayanggg..." desah wanita itu saat merasakan rahimnya basah di siram oleh lelaki yang menggagahinya barusan.

Setelah puas, lelaki itu melepaskan penyatuan di antara mereka berdua. Dia dengan acuh mengabaikan pasangan yang baru saja ia senggamai.

"Mau kemana, sayang?" tanya wanita itu sambil menggeliat di atas ranjang. Tidak ada jawabannya, dia kembali bertanya. "Bar, mau kemana?"

"Mau pulang, nemuin istri gue," jawabnya singkat. Wanita itu pun protes. "Bar, lu anggap gue apaan? Cuma buat pelampiasan lu?"

"Ras. Dari awal kita ngelakuin ini tanpa ada komitmen. Kita udah setuju itu, kan?"

"Iya, tapi gak kayak gini juga. Ini sama aja kayak lu anggap gue ini perek lu!"

Bara, iya. Dia orangnya. Pria itu tersenyum sinis ke arah wanita pemuasnya. "Bukannya emang bener, ya? Bedanya, lu yang minta dan ngemis-ngemis ke gue."

Mata wanita itu membulat. Dirinya merasa tersinggung dengan ucapan Bara. Setelah Bara pergi dari kamar hotel yang mereka booking, dia pulang ke rumah.

Bayang-bayang kejadian dia berbuat kekerasan terhadap Inaya masih saja menghantui dirinya. Bukan menampar, bahkan dia sampai memukul wajah istrinya itu sampai memar. Bara sungguh sangat menyesal. Dia ingin memperbaiki semua yang telah dia lakukan.

•••

Tokkk...tokkk...tokkk...

Pintu kamar rumah sakit itu terbuka. Hal itu membuat aktivitas terlarang yang ada di dalam sontak berhenti.

Perawat yang datang dengan meja dorong membawa makanan itu berhenti sejenak. Pak Rahmat langsung berdiri. Dengan tubuh gempalnya, dia menutupi keadaan Inaya yang berantakan.

Hal itu dimanfaatkan Inaya untuk mengancingkan bajunya kembali. "Ada apa, sus?" tanya pak Rahmat. "Maaf, saya membawakan makan siang untuk nyonya Aminah, sekalian mau cek trombositnya."

Pak Rahmat mengangguk. "Baik, silahkan." Lelaki itu mempersilahkan suster tersebut melaksanakan tugasnya.

Bu Aminah terbangun karena akan diperiksa. Inaya berdiri di belakang pak Rahmat sambil memakaikan kembali maskernya. Debaran jantungnya masih kuat karena apa yang terjadi antara dia dan pak Rahmat.

Setelah check up terakhir pada hari itu, Bu Aminah akhirnya diperbolehkan untuk pulang karena kondisinya sudah stabil.

Pukul empat sore Bu Aminah, pak Rahmat, dan Inaya pulang ke rumah. Ketika mendengar cerita Inaya yang diperlakukan kasar oleh suaminya, orang pertama yang menggaungkan kata cerai adalah Bu Aminah.

Dia merasa tidak terima wanita yang sudah ia anggap seperti anaknya itu diperlakukan dengan cara yang kejam.

"Inaya, percaya deh sama ibu. Suami kamu bukan suami yang baik. Kalo udah ngelakuin kekerasan, lebih baik kamu minta cerai aja langsung. Yang namanya sifat manusia, mau minta maaf berkali-kali pun dia gak akan berubah," ujar Bu Aminah di kamarnya.

Di sana Inaya terpaksa membuka maskernya. Bu Aminah begitu terkejut melihat kondisi sudut bibirnya yang membiru. Inaya pun menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya.

"Gak tau deh, Bu. Aku bingung. Usia pernikahan aku baru jalan seminggu lebih. Masa minta cerai?"

Bu Aminah menggeleng. "Justru itu, Nay. Mumpung pernikahanmu belum begitu lama. Gak susah untuk urus perceraian. Kamu juga belum punya anak, gak akan ada yang namanya perebutan hak asuh."

Inaya tampak memikirkan ucapan Bu Aminah. Berbeda sekali dengan pak Rahmat yang selalu berpikir seribu langkah ke depan, Bu Aminah cenderung langsung memutuskan apa yang harus dilakukan.

"Memangnya ibu sama bapak gak pernah berantem?" tanya Inaya penasaran.

Bu Aminah sejenak terdiam lalu tersenyum. "Yang namanya pernikahan pasti ada kalanya cekcok, atau bertengkar. Tapi bapak itu beda, jangankan mukul ibu, bentak ibu pun sama sekali tidak pernah. Waktu lagi marahan bapak lebih banyak diam sampe emosinya sama-sama reda. Baru pas udah gak emosi lagi bapak bicarain masalahnya baik-baik sama ibu. Cari solusi sama-sama. Begitulah seharusnya suami yang baik, Naya."

Inaya mendengarkan penjelasan Bu Aminah dengan baik. Dia semakin kagum dengan sosok pak Rahmat. Inaya memang melihat pak Rahmat sebagai sosok yang punya kepemimpinan tinggi. Tidak mudah terpancing emosi, berbanding terbalik dengan Bara yang mudah sekali marah.

Salah dia juga terlalu cepat mengambil keputusan dengan menerima pinangan Bara tanpa tahu lebih dalam tentang sifatnya. Inaya jadi membayangkan bagaimana rasanya memiliki suami seperti pak Rahmat. Pasti hidupnya akan bahagia. Diperlakukan bag ratu dalam rumah. Seperti yang dia lihat dari Bu Aminah.

Meskipun dalam keadaan sakit seperti ini dan tidak bisa berbuat apa-apa, pak Rahmat selalu setia menemani dan merawat Bu Aminah dengan sabar. Jarang sekali Inaya menemukan sosok seperti pak Rahmat.

•••

Bara pulang dengan dengan dada yang sesak karena rasa bersalahnya. Dia masuk ke rumah dan mencari Inaya.

"Nay! Kamu dimana?" Diam, sepi. Tidak ada sahutan dari siapapun di sana. Inaya tidak ada di rumah. Bara mulai cemas. Dia kemudian mencoba menelpon Inaya..

Bara menggeram frustasi saat teleponnya tidak tersambung. Inaya mematikan ponselnya. Bara membanting ponselnya. Dia marah kepada Inaya karena kabur tanpa pamit, tapi jika mengingat apa yang sudah dia lakukan, dia lebih menjadi merasa bersalah.

"Inaya, kamu dimana? Maafin aku. Tolong kasih aku satu kesempatan lagi," gumam Bara.

Satu-satunya tempat yang paling masuk akal adalah rumah pak Rahmat. Tapi lagi-lagi Bara menggeram karena dia tidak tahu rumah lelaki itu.

•••

Inaya keluar kamar setelah Bu Aminah tertidur. Sekarang pukul delapan malam. Selain dilarang pulang oleh Bu Aminah, dirinya juga belum siap untuk bertemu dengan Bara. Dia masih trauma dengan apa yang telah dilakukan suaminya itu kepada dirinya.

Inaya melangkahkan kakinya ke dapur. Membuat dua cangkir teh hangat sebagai penghangat di malam yang dingin ini. Dia membawa dua cangkir itu ke ruang tengah. Ada pak Rahmat yang sedang serius menatap laptop di depannya. Sebuah kacamata terpasang di atas hidungnya menghiasi wajah pak Rahmat.

Wanita itu duduk di sebelah pak Rahmat. Menaruh salah satu cangkir di atas meja dan masih memegangi yang satunya. Fokus pak Rahmat teralihkan oleh wajah Inaya yang natural tanpa make up sama sekali.

Inaya tersenyum. "Serius banget, pak. Lagi ngerjain apa? Diminum dulu tehnya."

"Makasih. Ini bapak lagi bikin proposal pembangunan gedung laboratorium fisika. Kan yang sekarang fasilitasnya kurang memenuhi standar. Perlu adanya upgrade."

Inaya memperhatikan garapan pak Rahmat sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah lelaki itu. Ada yang aneh. Dari tadi pak Rahmat bersikap pasif dan cenderung lebih pendiam. Apakah ada yang salah?

"Bapak kenapa?" tanya Inaya blak-blakan. Pak Rahmat menoleh. Hanya beberapa detik sebelum kembali fokus ke layar laptopnya.

"Enggak papa. Bapak cuma ngerasa gak enak aja sama kamu. Bapak khilaf lagi tadi siang. Maafin bapak, ya," ucapnya seraya mengusap wajahnya sendiri.

Inaya tersenyum tipis. "Pak, apa Naya keliatan kayak orang menyesal dan kecewa dengan perbuatan bapak?"

Pak Rahmat menatap Inaya yang tersenyum semakin lebar. "Justru aku yang minta maaf, pak. Soalnya tadi bapak belum plong, kan? Susternya malah udah masuk duluan," kata Inaya seraya tertawa kecil mengingat kejadian di rumah sakit.

"Apa kamu serius, Nay? Bapak gak mau kamu menyesal. Bapak juga gak mau kalo kamu ngelakuin itu atas dasar balas budi sama bapak."

Inaya menggeleng. "Aku gak ngelakuin itu karena merasa balas budi kok, pak. Aku ngelakuinnya karena aku pengin bantu bapak aja. Aku gak mau bapak tersiksa terus dan malah nyari pelampiasan di luar sana. Tapi kalo bapak gak mau, aku bisa ngerti kok."

"Bapak mau!" jawab pak Rahmat cepat, melebihi kecepatan cahaya. Inaya mengulum bibirnya antara menahan tawa dan rasa malu yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.

Pak Rahmat menurunkan layar laptop itu agar cahayanya tidak mengenai mereka. Lelaki itu mulai mengabaikan pekerjanya karena ada pekerjaan lain yang menuntutnya harus diprioritaskan.

"Nay," panggil pak Rahmat lirih di telinga Inaya. Tangan kanan pak Rahmat merangkul punggung Inaya yang saat itu mengenakan baju tidur pinjaman milik Dina.

Tubuh Inaya bergetar kala jari jemari pak Rahmat turut meremas bahunya. Namun tidak ada niatan sama sekali untuk setidaknya menghindar. Justru Inaya semakin memangkas jarak kepada pak Rahmat hingga bahu kirinya menempel di dada pak Rahmat yang menggelambir.

"Sayang," panggil pak Rahmat lagi. Bulu roma Inaya meremang saat kata itu terucap. Entah kenapa dia merasa kata tersebut terdengar sangat tulus dan penuh makna. Berbeda dengan kata sayang yang diucapkan oleh suaminya.

Pak Rahmat mulai mengecup telinga Inaya yang terbungkus hijab instan berwarna coklat. "Emhhh...pak..." gumam Inaya seraya meremas paha pak Rahmat. Inaya menggigit bibir bawahnya kala pak Rahmat mengecup telinga dan perlahan berpindah ke pipinya.

Inaya menengadahkan kepalanya ketika ciuman pak Rahmat bergerak ke atas dagunya. Lelaki itu menarik dagu Inaya hingga mereka berhadapan. Mereka saling menatap sejenak. Wajah Inaya begitu memerah tapi itu bukan tanda dia ingin menyudahi aktivitas mereka, justru ini pertanda dia siap untuk ke tahap selanjutnya.

Pak Rahmat memiringkan wajahnya lalu tanpa keraguan sama sekali dia mengecup bibir Inaya. Bibirnya yang lembut membuat hasrat pak Rahmat menjadi terbakar. Namun kali ini Inaya terlebih dahulu yang membuka mulutnya dan melahap bibir pak Rahmat yang dihiasi kumis tebal di atasnya.

"Mmmssscccppp...nyyycccppp..." Mereka terlibat dalam ciuman yang dalam dan menuntut. Inaya tidak diam saja. Dia mendorong wajahnya sendiri ke depan. Membuat ciuman itu semakin erat dan lekat.

Tangan kanan Inaya yang berada di atas paha pak Rahmat mulai naik ke atas. Dengan sedikit malu-malu dia menekan-nekan tonjolan yang ada di balik celana pak Rahmat dengan menggunakan jari telunjuknya.

Pak Rahmat paham. Dia lalu membuka resleting celananya dan dengan satu kali mengangkat bokongnya, dia berhasil menurunkan celana itu beserta dengan dalamannya.

Wanita itu membelalak melihat kejantanan pak Rahmat. Wajahnya semakin panas. Oh, tidak! Dia sangat malu saat itu, karena untuk pertama kalinya dia melihat kejantanan seseorang yang dia anggap sebagai ayahnya sendiri.

Inaya langsung melepaskan bibir mereka lalu membenamkan wajahnya di ceruk leher pak Rahmat. Bibirnya maju beberapa sentimeter seperti orang sedang merajuk.

Pak Rahmat terkekeh melihat respon Inaya. Pria paruh baya itu tahu jika Inaya tidak benar-benar merajuk. Dia hanya malu telah melihat bagian intim dari lelaki lain yang tidak pernah ia sangka.

"Hehehe...kenapa, Nay?" tanya pak Rahmat seraya mengelus bagian belakang kepala Inaya.

"Iiihh...bapak! Itunya kok berdiri, sih?!" rajuknya sambil memukul-mukul dada pak Rahmat dengan genggaman tangannya.

Pak Rahmat sampai tidak tahan dengan respon Inaya yang sangat menggemaskan. "Ya kan bapak laki-laki normal, Nay. Tentu aja berdiri.

Bisa dilihat jika Inaya memaksakan diri untuk melihat benda keras itu yang letaknya di antara selangkangan pak Rahmat.

Inaya meringis melihatnya. Bengkok ke kiri, dan berurat. "Kenapa, Nay? Kok ngeliatinnya kayak gitu?"

"Hah?!" Inaya mengalihkan pandangannya ke wajah pak Rahmat. "Kok aku geli ya pak ngeliatnya." Inaya membungkam mulutnya sendiri sambil tersenyum malu-malu.

"Coba pegang, Nay," pinta pak Rahmat. "Emang boleh pak?" tanya Inaya. Dia tahu jika itu pertanyaan konyol. Dia hanya sedikit gerogi. Tidak sedikit sih, lumayan banyak geroginya.

Pak Rahmat tidak menanggapi ucapan Inaya dengan kata-kata. Dia balas dengan sedikit memiringkan pinggulnya sebagai kode untuk Inaya.

Inaya menggigit kuku jari tangannya. Lalu perlahan dia sentuh bagian bawah penis itu. Baru begitu saja pak Rahmat sudah memejamkan mata.

Sesaat kemudian Inaya memegang benda itu penuh. Pak Rahmat langsung mendesah. "Ouhhh...nayaaa..." Pak Rahmat menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak menyangka jika tangan yang waktu kecil sering ia genggam saat jalan-jalan kini tengah menggenggam miliknya.

"Acchhh...ssshhh, Nayyy..." Pak Rahmat tiba-tiba saja menggenggam dan meremas payudara Inaya. Wanita itu sedikit terkejut namun tidak ada upaya untuk menyingkirkan tangan itu dari tubuhnya.

Pak Rahmat meremasnya dengan cukup kuat. Pak Rahmat kembali menarik tengkuk leher Inaya untuk berciuman. "Emmmhhh...sssppp..."

Mereka kembali berciuman. Tangan Inaya yang semula pasif kini mulai bergerak mengocok penis pak Rahmat yang tegak seperti tongkat.

Mereka melakukan french kiss. Bertukar saliva hingga air liur mereka menetes si sela-sela bibir mereka.

Tangan pak Rahmat menggerayangi tubuh Inaya kemanapun dia bisa menjangkaunya. Inaya sedikit risih tapi perlahan rasa itu menguap berganti dengan rasa ingin semakin disentuh.

Hingga pada suatu saat tangan pak Rahmat mendarat di gundukan tembem di antara selangkangan Inaya. Tangan wanita itu melepaskan kejantanan pak Rahmat untuk menahan tangan lelaki itu.

Ciuman mereka pun terlepas. Mereka saling berpandangan. Inaya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Pak Rahmat langsung mengerti. Itu adalah batasan dari Inaya yang tidak seharusnya dia lewati.

Ya, Inaya tidak ingin disentuh di bagian itu. Mungkin memang pak Rahmat berekspektasi terlalu tinggi, tapi dia sadar dan tidak ingin memaksakan diri. Pak Rahmat ikut mengangguk.

Tangan yang tadinya menyentuh apem milik Inaya kini berpindah ke payudaranya lagi. Meremasnya lagi dan lagi. Dia puas namun seperti menginginkan tanpa henti. Tubuh Inaya benar-benar membuatnya menjadi candu.

Tidak ada gestur penolakan dari Inaya. Dia justru mulai melepaskan kancing baju tidur itu satu persatu, sama seperti waktu di rumah sakit. Bedanya kini dia melepaskan semuanya hingga kancing paling bawah.

Pak Rahmat menyingkap baju tidur Inaya hingga turun dari bahunya. Pandangannya terpaku pada bra warna krem yang dipakai Inaya. "Nay, kamu pake bh punya ibu?"

Inaya mengangguk. "Iya, pak. Ibu minjemin bhnya. Soalnya aku gak bawa dalaman sama sekali. Punya Dina udah dibawa semua."

"Kamu jadi mirip ibu waktu muda," ujar pak Rahmat. Kini pandangannya turun ke bra Inaya.

"Mau nyusu, pak? tanya Inaya malu-malu. Pak Rahmat seperti anak kecil yang ditawari mainan pun mengangguk dengan antusias.

Inaya mengulum bibirnya. Mengangkat cup bra tersebut ke atas dan boom...!!!

Payudara yang sekal itu terlihat seperti memantul ke atas. Mata pak Rahmat membulat sempurna. Dia sudah melihat benda itu sebelumnya. Namun ketika melihatnya lagi, reaksi yang sama ditunjukkan olehnya.

Inaya menggenggam kedua payudaranya lalu menyodorkan kepada pak Rahmat. Lelaki itu tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sangat indah tersebut.

Dia langsung mencaploknya dan meremas yang satunya. "Engghhh...pak!" desah Inaya disertai dengan ringisan saat puting payudaranya dimainkan oleh lidah basah pak Rahmat. Digerak-gerakan layaknya analog stick PS.

"Ssshhh...aduhhh..." Inaya bag cacing kepanasan. Tak dipungkiri rangsangan itu membuat tubuhnya bereaksi. Memanas dan terbakar birahi.

Dia kembali menggenggam kejantanan pak Rahmat. Mengocoknya dengan intensitas yang semakin meninggi. "Ssshhh...aaaahhh...!!!" Inaya mendesah penuh birahi.

Kewanitaannya super gatal, tapi dia tidak boleh melebihi batas. Tujuannya jelas, ingin membantu pak Rahmat menuntaskan kebutuhan biologisnya.

Inaya membetulkan hijabnya. Dengan wajah sudah memerah padam, dia terus berusaha mengendalikan diri. Mengocok kejantanan pak Rahmat yang ujung pink-nya sudah sangat membesar pertanda sebentar lagi dia muncrat.

Namun tantangan Inaya bukan soal itu. Dia sendiri sedang berperang dalam birahinya sendiri. Cumbuan pak Rahmat di area dadanya membuat dia hampir kehilangan akal sehat dan menyerah.

"Duh, udah belum sih, pak! Naya udah gak tahan, nih!" Inaya masih berusaha bertahan. Dia mencoba mengatur ritme nafasnya agar nafsunya tidak semakin naik.

Kocokannya dipercepat. Pak Rahmat yang diberikan akses seratus persen dadanya betul-betul memanfaatkan situasi sebaik mungkin.

"Aaaccchhh...Nayyy, bapak mau nyampeee...!!!" desah pak Rahmat. Lelaki itu sudah tidak mencumbu nipplenya. Kini pak Rahmat mendekap tubuh Inaya sangat erat hingga membuat wanita itu sesak.

Pak Rahmat mulai fokus dengan pelepasan pertamanya setelah berbulan-bulan.

"Aaaccchh...Nayyy...Nayyy...Nayyy...!!!"

Crottt...crottt...crottt...crottt...

Pak Rahmat memeluk Inaya seraya mengangkat pinggulnya ke atas mengiringi muncratnya lahar panas yang sudah lama tersimpan di ruang penyimpanan.

Cairan itu muncrat sangat jauh bahkan sampai melewati laptop yang ada di depan mereka. Hingga pada semprotan terakhir mengenai punggung tangan Inaya.

Pak Rahmat menghela nafas lega. Kepalanya yang pusing dan berat karena beban biologis yang tidak tersalurkan menjadi ringan. Pak Rahmat bersandar terkulai di atas sofa.

Inaya mengangkat tangannya yang berlumuran sperma pak Rahmat. Menatapnya sambil mengangkat batang hidungnya. Terlihat seperti jijik namun sama sekali tidak.

Wanita itu lalu mengambil tissue yang berada di atas meja dan mengelap mulai dari punggung tangannya, lalu ke meja yang terkena muncratan pak Rahmat.

"Nay. Makasih, ya," ucap pak Rahmat dengan mata sayu namun senyuman tersungging di wajahnya.

Inaya mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia kembali membetulkan pakaiannya yang berantakan serta mengancing baju tidurnya.

To Be Continue...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd