Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Kisah Ndoro dan Genduk (BDSM)

Status
Please reply by conversation.

pejantansarap

Semprot Kecil
Daftar
8 Apr 2013
Post
75
Like diterima
55
Bimabet
PROLOG:
20 Tahun Yang Lalu.

Cerita yang telah usang tapi tidak akan hilang dari ingatan. Ya, 20 tahun yang lalu ketika semua ini berawal. Saat itu adalah minggu pertama di salah satu universitas swasta di Surabaya. Sebuah kampus yang tidak terlalu favorit namun terletak hampir di tengah kota yang berisi mahasiswa/i yang gagal masuk universitas negeri favorit, ketika aku melihatnya. Seorang kakak senior yang tidak terlalu mencolok penampilannya, wajah dan fisik biasa saja namun tatapan matanya ketika tanpa sengaja beradu pandangan denganku membuat tubuh ini terasa bergetar.

Tatapan awal itu hanya beberapa detik namun terbawa dalam pikiranku. Terulang di jam istirahat keesokan harinya, saat kembali kami beradu pandangan walau dari kejauhan. tubuh ini kembali bergetar, aku merasakan sensasi lain yang tidak pernah aku rasakan hingga tiba-tiba…
“Sarah! hei… Sarah….” seorang teman dekatku memanggil dari salah satu sudut kantin. Aku beranjak menghampirinya sambil tersenyum.

“Apa yang kamu lihat Sarah? Jangan melamun kau, nanti kerasukan” sambung Diana, teman sekelasku yang luar biasa cantik, seksi dan selalu punya segudang topik pembicaraan.

“Nggak ada yang penting, hanya kakak senior diujung lapangan itu” jawabku sambil melihat ke arah lapangan basket dan ternyata dia sudah tidak ada disana.

“Yang mana?” tanya Diana dengan cepat, dia sudah punya banyak kenalan kakak-kakak senior sejak hari pertama masuk kampus.

“Ah…lupakan Di, sudah pergi sepertinya."

Aku menjawab sekenanya dengan perasaan aneh. Semacam perasaan kecewa karena dia sudah tidak ada disana dan memperhatikanku.

Kembali ke kelas dengan pikiran kosong, aku mulai memikirkan dia yang namanya pun aku tidak tahu, apalagi dari jurusan apa, yang aku tahu, dia kakak senior karena jas almamaternya sudah tidak baru lagi, dan ini sudah satu bulan berlalu, setiap saat kejadian selalu sama. Dia hanya menatap tajam dari kejauhan dan aku hanya bisa diam dan tidak berani berbuat apa-apa. Seolah-olah aku takut melakukan kesalahan atau perbuatan yang dia tidak suka.

Kuliah dalam kelas berlalu begitu saja tanpa ada yang mampu aku pahami dan terasa sangat lama. sampai akhirnya bel tanda perkuliahan berakhir membuyarkan semua pikiran tentang dia. Pikiran yang selalu memenuhi kepalaku di kampus maupun di rumah. Pikiran tentang kakak senior yang hanya menatap tajam di jam istirahat dan tidak pernah mendatangiku tapi telah membuatku kalut dan tidak memahami perasaan yang sedang aku alami.

“Sarah, kita makan bakso dulu yuk?”

Diana mengajak sambil menarik tanganku pastinya. Lebih kearah paksaan daripada ajakan sebenarnya dan aku hanya mengangguk sambil berlari kecil mengimbangi semangatnya yang entah dari mana setelah seharian perkuliahan tetap saja enerjik.

Sampai di tempat yang dituju, aku langsung memilih duduk di pojok dan membiarkan Diana memesan semangkuk bakso untukku.

“Kuahnya sedikit aja Di, dan tanpa mi!”
Teriakku ke Diana yang akan memesan bakso sesuai seleranya.
Banyak kuah dan ekstra mie.

“Oke oke, seperti biasa ya”
Lebih ke pernyataan dari pada pertanyaan yang dilontarkan Diana. Dan aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman kemudian kembali melanjutkan membaca sebuah novel sambil menunggu pesanan datang.

Baru beberapa baris isi novel itu kembali aku baca, tiba-tiba ada sesseorang yang duduk di sebelahku dan aku tahu bukan Diana. Agak enggan, aku memaksa diriku menoleh sambil memindahkan tas di meja, dan...
Blarrr...! Betapa terkejutnya aku hingga aku terdiam tak mampu bergerak. Dia….kakak senior yang mengganggu pikiranku, ternyata duduk merapat disebelahku sambil memandang tajam ke arahku. Aku kemudian buru-buru memindahkan tas dan bergeser lagi ke arah tembok di kananku. Karena sempit, akhirnya aku meletakkan tas di pangkuan, menutup novel dan memasukkannya ke dalam tas. Jantungku berdegup kencang, aku memilih menunduk setelahnya sambil memegang tas di pangkuanku.

Tiba-tiba…

“Jangan bergerak dan jangan bersuara” dia berbisik ke arahku sambil tangannya meraba rokku, menariknya dan meraba samping pahaku dengan tangannya yang terasa hangat namun kasar, seperti tangan seseorang yang terbiasa bekerja keras, khas tangan laki-laki yang tidak mempedulikan perawatan.

Aku terkejut tapi tak mampu bersuara. Hanya diam dan kembali menunduk dan berharap pesanan segera datang atau Diana kembali ke dalam untuk duduk menemaniku. Namun aku hanya mendengar suara Diana di kejauhan sedang bercanda dengan beberapa mahasiswa kampus kami yang aku juga tidak terlampau kenal. Suara Diana terdengar makin jauh dan aku tiba-tiba mulai berkeringat dan tidak mampu bergerak, hanya membiarkan dia terus meraba pahaku dan menarik rokku makin ke atas. Akupun hanya diam dan tidak berusaha mencegahnya sedikitpun.

“Ah…kalian sudah saling kenal?” tiba-tiba suara Diana mengagetkanku dan aku mendongak sambil menjawab

“Be...belum kok” bersamaan dengan dia yang menjawab “Sudah doong...” sambil tangannya yang tadi dipaha, tiba-tiba merengkuh kepalaku dan mencium keningku.

“Waaaaahhhh, sepertinya aku melewatkan sesuatu niiih” kata Diana melihat perbuatan senior itu yang bahkan aku belum tahu namanya namun aku tak kuasa untuk menolak apapun yang dilakukannya padaku.

“Aku Diana, Desain Visual, teman Sarah” ujar Diana sambil mengulurkan tangannya mengajak kakak senior itu berkenalan.

“Benny, Broadcasting” ujarnya membalas perkenalan Diana.

“Sarah, kau ini ya…ternyata sudah jadian sama kakak senior..” ujar Diana saat meletakkan mangkok bakso di hadapanku sambil tertawa kecil kearah mas Benny. Ya, akhirnya aku tahu namanya. Dan aku hanya tersenyum sambil melihat ke arah mas Benny.

“Cerita dong..kapan jadiannya?” lanjut Diana sambil duduk dihadapanku. Tiba-tiba mas Benny menjawab “Sudah sejak minggu pertama kalian masuk disini” sambil dengan santainya mengambil minumanku dan menghabiskannya.

“Waah…aku ingat. Itu kan saat kau sering melamun di lapangan, ya kan?” Diana menimpali sambil tertawa senang. Aku hanya bisa diam dan senyum, seakan-akan sepakat dengan jawaban mas Benny sembari melanjutkan makan bakso dengan perlahan.

Saat aku hendak memesan minuman lagi, mas Benny mencegah “Nggak usah, nanti saja dirumah”.

Terkejut aku menatap kearahnya dan hendak berargumen tapi mas Benny sudah berdiri dan menarik tanganku sambil berkata

“Di, kami pulang dulu ya” sembari meletakkan selembar 20 ribuan.
“Baksonya tolong dibayarin ya, makasih Di”
Diana hanya tersenyum menggoda serta mengangguk tanpa menjawab karena mulutnya sedang penuh bakso, lalu kami bertukar lambaian tangan.

Walau enggan, aku tetap mengikuti mas Benny. Sampai di tempat parkir yang sepi dan relatif gelap, aku menghentikan langkahku. Aku ingin penjelasan dari sikap mas Benny terhadapku. Walau aku tidak yakin apakah aku membutuhkannya. Menyadari aku diam, mas Benny pun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku, menatap tajam ke arahku, membuatku menunduk dan tidak kuasa memandangnya.

“Apa maksud mas tadi?” dengan lirih dan nada sedikit bergetar, aku memberanikan diri bertanya pada mas Benny tanpa berani menatap wajahnya.

“Kamu milikku, sejak pertama aku melihatmu dan jangan pernah membantah aku lagi. Kamu milikku dan akan menyenangkan aku tanpa perlu bertanya apapun. Hanya kepatuhan yang aku mau” mas Benny membisikkan itu di telingaku sambil menarik kepang rambutku dengan keras sehingga kepalaku terhentak kebelakang dengan keras dan aku langsung memejamkan mataku.

“Paham?” mas Benny bertanya dengan suara keras di telingaku dan aku menjawab lirih “I...iya mas”.

“Bagus, sekarang masuk mobil dan lepas celana dalammu sebelum masuk mobil” mas Benny memberikan perintahnya, meskipun ragu dan tidak memahami apa yang sedang terjadi, aku tetap mematuhi perintahnya. Dengan tubuh masih bergetar dan jantung berdegup keras, akupun masuk ke dalam mobil. Mas Benny melemparkan tasku ke bangku belakang dan memutar untuk masuk ke sisi pengemudi.

“Tarik rokmu lebih tinggi, aku mau lihat paha putihmu.”

Sekali lagi mas Benny memberi perintah dan akupun langsung menurutinya. Kemudian mas Benny mulai berkonsentrasi mengemudikan mobil sedan berwarna putih dengan kaca nyaris tanpa kaca film. Saat berhenti di traffic light aku menyadari beberapa pengendara motor melihat ke dalam mobil, karena saat berhenti, tangan mas Benny akan mulai meraba paha bagian dalam dan terus naik ke atas. Antara takut, malu, dan entah perasaan apalagi tapi semakin lama aku merasakan hangat disela-sela pahaku dan mulai memejamkan mata.

“Jangan tutup mata, tetap lihat ke depan dan duduk tegak” tiba-tiba suara berat mas Benny mengejutkanku dan membuyarkan semua rasa itu serta membuat aku memperbaiki posisi duduk dan kembali menatap lurus ke jalanan di depan yang ramai.

“Mas, kita kemana? Ini kan bukan jalan ke rumahku?”

“Kita memang tidak ke rumahmu, tapi ke rumahku” jawab mas Benny datar. “Nggak usah banyak tanya, diam dan tetap lihat ke depan”. Lanjut mas Benny sebelum aku sempat membuka mulut untuk bertanya mengapa mas Benny tidak mengantar aku pulang.

Dalam kebingunganku, aku memilih untuk diam dan tidak membantah mas Benny. meski berbagai pertanyaan berkecamuk termasuk apa yang harus aku jelaskan pada kedua orangtuaku nanti. Meskipun aku tidak perlu kuatir tidak bisa masuk rumah semalam apapun aku pulang karena aku selalu membawa kunci sendiri. Namun mereka pasti akan bertanya bila aku pulang terlambat.

Jalanan makin ramai, makin banyak pengendara motor yang mencuri-curi pandang ke arah dalam mobil. Aku merasa mas Benny sengaja memilih jalanan yang padat dan banyak melalui persimpangan. Sekitar satu jam, sampailah kami di sebuah perumahan di kawasan Surabaya Barat yang sepi namun merupakan kawasan perumahan elit. Memasuki sebuah kluster perumahan, mas Benny terus melaju makin jauh ke dalam perumahan yang makin sepi dan tidak ada kendaraan lain lalu lalang ataupun pejalan kaki. ingin rasanya aku minta diantar pulang saja, namun setiap melihat mas Benny yang sedang serius mengemudi, keinginan itu sirna, berganti dengan keraguan dan takut untuk membantah perintahnya agar aku tidak bertanya apapun.

Kemudian mobil berhenti di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar dengan pagar kayu tinggi yang menutupi sebagian besar bagian rumah sehingga hanya terlihat bagian atapnya saja. membunyikan klakson tiga kali, kemudian pintu di buka oleh seorang penjaga laki-laki yang bertubuh besar dan memberi salam kepada mas Benny. Sampai di halaman, aku baru menyadari bahwa rumah ini memiliki model jawa dengan halaman luas di bagian belakang yang terlihat dari sela-sela pendopo di bagian depan rumah.

“Turun!”

“Tas serta rokmu tinggal saja di mobil” kembali mas Benny memberi perintah dengan suara beratnya yang datar.
“Tapi…” belum selesai aku dengan kalimatku, mas Benny langsung menyela “Turun dan jangan membantah!”.

Dengan takut dan bingung, aku melepas rok dan menarik-narik kemeja atasanku yang untungnya cukup panjang sehingga menggantung tepat menutup area pribadiku. Dengan gugup, aku melangkah menjauh dari mobil dan mengikuti mas Benny yang berjalan cepat menuju pendopo yang remang-remang, walau saat itu masih siang tapi karena rindangnya pohon beringin di samping pendopo, cukup menghalangi sinar matahari. sampai di pendopo, seorang penjaga rumah yang lain memberi salam kepada mas Benny yang hanya dijawab dengan anggukan dan akupun berjalan makin dekat ke mas Benny dan menunduk malu.

Jantungku berdegup makin kencang dan tanpa aku sadari air mata mulai meleleh. aku ketakutan dan mulai menangis tanpa suara walau tetap berjalan mengikuti mas Benny tanpa ada keberanian untuk menolak ataupun berbalik arah dan meminta pertolongan.

Sampai di bagian belakang rumah yang agak terpisah dari rumah utama, mas Benny berhenti, mengelurkan kunci dari saku dan menghadapku.

“Kamu adalah milikku dan akan patuh serta menyenangkan aku saja, tidak ada bantahan dan pertanyaan, apalagi keluhan. Namun aku akan menjagamu. Mulai sekarang sampai selama aku masih menginginkanmu, panggil aku Ndoro dan kamu adalah genduk”

“INGAT, tidak ada bantahan, pertanyaan, atau keluhan, hanya boleh bertanya atau bicara padaku saat aku tanya atau aku ijinkan. Setiap hal yang kamu lakukan harus seijin aku, sekecil apapun itu, paham?” dan aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.

“Jawab!” tiba-tiba mas Benny berteriak sambil menampar mulutku cukup keras untuk membuatku terkejut dan menangis tapi tidak sampai membuatku terluka secara fisik.

“I...iya mas” jawabku terba-bata disela isakan perlahan dan rasa panas di mulut.

“Salah!”

“Jawab yang benar!” kembali mas Benny bersuara keras di hadapanku.

Terkejut dan ingat bagaimana aku harus menyebut mas Benny sekarang, aku mengulang jawabanku “Iya Ndoro, genduk paham”

Mas Benny tersenyum tipis dan tiba-tiba meludah di wajahku, dia berkata “Genduk pintar..”

“Sekarang buka kancing kemejamu dan jangan coba-coba membersihkan wajahmu”

Ndoro berbalik dan membuka pintu yang terdiri dari 2 kunci dan 1 gembok. Tertunduk dengan tangan makin gemetar dan sesenggukan, aku mulai membuka kancing kemejaku.

“Masuk!” Ndoro memerintahkan aku memasuki ruangan yang cukup besar, tanpa jendela, dengan dinding bata dan lantai beton yang sangat kasar.

Melangkah masuk dengan perasaan campur aduk, aku memberanikan diri untuk melihat sekeliling ruangan. Ruangan yang cukup besar ini, sedikit lebih besar dari kamar kedua orangtuaku hanya memiliki sedikit perabotan. Tempat tidur kayu model kuno dengan tiang-tiang, sebuah lemari kayu besar di salah satu sisi dan aku baru menyadari ada semacam area kamar mandi terbuka dengan lantai keramik putih yang terdiri dari toilet, bathtub, serta shower yang hanya dibatasi pagar besi berwarna hitam untuk memisahkan dengan area kamar.

“Lepas kemejamu dan gantung di belakang pintu”

Aku melepas kemejaku dan menggantungkannya di belakang pintu seperti Ndoro perintahkan dan hanya tinggal memakai bra berwarna putih.

“Jalan jongkok kesini”

Aku berbalik dan aku lihat Ndoro berdiri di samping tempat tidur. dengan jantung makin berdegup kencang, air mata yang terus meleleh, takut, namun merasakan dorongan kuat untuk mematuhi semua perintah Ndoro. Aku jongkok dan mulai melangkah perlahan ke arah Ndoro.

Makin dekat, aku merasakan area privatku menghangat dan lembab, aku seperti tidak memahami diriku sendiri. Aku seperti menjadi orang yang sangat berbeda.

Setelah dekat, aku bisa melihat berbagai benda yang tampak asing dan menakutkan ada di tempat tidur. membuatku tertegun dan menghentikan gerakanku. namun dorongan untuk mematuhi Ndoro lebih kuat aku rasakan. aku kembali mendekat ke arah Ndoro. kemudian Ndoro meraih rambut panjangku yang selalu aku kepang di belakang, melepaskan ikatan serta kepangannya dan membiarkan rambutku yang hitam panjang tergerai. Ndoro kemudian mengambil gunting, karena terkejut, refleks aku bergerak menjauh.

“Diam, jangan bergerak, aku tidak akan memotong rambutmu” Ndoro berkata datar kemudian dengan cepat memotong tali-tali bra aku tanpa aku sempat melakukan perlawanan. Menariknya lepas dan mencabik-cabik braku dengan gunting. Tiba-tiba aku menangis ketakukan.

“DIAM! hentikan tangisanmu” Ndoro berteriak keras tanpa menghentikan kegiatan mencabik-cabik braku dan membiarkannya berserakan di lantai.

Berusaha keras menghentikan tangisanku tanpa berani mengusap wajahku, akhirnya aku tinggal sesenggukan saat Ndoro selesai dengan kegiatannya. Ndoro berjalan ke arah samping tempat tidur dan mengambil seonggok tali pramuka dan berjalan kembali ke arahku

“Apakah kamu masih perawan?” tiba-tiba Ndoro bertanya

“Iya Ndoro, genduk masih perawan” jawabku lirih dengan jantung makin berdegup kencang. Entah pemikiran atau firasat dari mana, aku tahu bahwa Ndoro menghendaki keperawananku saat ini dan anehnya, walaupun takut, aku tidak berusaha sama sekali untuk menghindar atau menolak.

Perlahan, Ndoro membantuku berdiri, membimbingku ke ujung tempat tidur kayu yang berpagar kombinasi kayu dan besi. Setelah berdiri, aku baru melihat ada semacam gelang kulit yang memiliki rantai tergantung di masing-masing tiang. Menempatkan aku di bagian tengah, Ndoro kemudian mengangkat tangan kananku dan menariknya ke atas. walau kebingungan, aku tidak menolaknya sedikitpun, kemudian memasangkan gelang kulit di pergelangan tangan kanan dan melakukan hal yang sama dengan tangan kiriku.

“Buka kakimu lebar-lebar” Ndoro memberikan perintahnya lagi.

“Lebih lebar lagi” dan sekali lagi aku menggerakkan kakiku ke kiri dan kanan sesuai perintah Ndoro.

Kemudian memasang tongkat besi yang diikatkan di pergelangan kakiku kiri kanan sehingga tidak memungkinkan aku menutup kakiku. Ndoro kemudian bergerak ke samping tempat tidur dan aku mendengar suara gemerincing rantai dan merasakan ikatan di pergelangan tanganku makin kencang. kebingungan, aku mendongak keatas, ternyata Ndoro menarik rantai yang mengikat gelang kulitnya, aku berusaha berontak, menarik gelang itu tanpa berani bersuara namun tarikan itu semakin kuat sampai terasa sakit dan aku terpaksa berjinjit untuk mengurangi rasa sakitnya.

Saat aku berjinjit, Ndoro kembali menarik rantainya. hingga akhirnya aku benar-benar tinggal berjinjit diujung jempol kaki.

“Sakit nduk?” Ndoro bertanya dengan lembut sambil mengusap payudaraku yang berukuran 34E dengan tangannya yang kasar.

“Iya Ndoro, sangat sakit” jawabku sambil meringis menahan sakit dan tegang di betis.

“Bagus…aku suka kalau kamu merasakan sakit” ujar Ndoro sambil tiba-tiba menarik dan memelintir kedua putingku dengan keras.

“Aaaaaggggghhhhh, sakiiiit” aku berteriak dengan kencang tanpa kendali dan berontak dengan keras. Bukannya berhenti, Ndoro menarik dan memelintir putingku makin keras.

“Ingat, tidak ada bantahan, tidak ada pertanyaan, tidak ada keluhan namun sesekali aku akan mengijinkan teriakan dan tidak akan ada yang mendengar karena kamar ini kedap suara” Ndoro berbisik perlahan sambil mulai mengendorkan tarikan di putingku.

Sesenggukan, aku menjawab “iya Ndoro, maaf Ndoro” dan Ndoro tiba-tiba menciumku dengan penuh nafsu sambil meremas kedua payudaraku, dan entah dorongan darimana, tiba-tiba akupun membalas ciuman itu dan serta merta Ndoro berhenti. Ketakutan, aku kemudian hanya menunduk dan tidak berani menatap wajah Ndoro

Ndoro meraba area privatku dan berkata “Mulai sekarang, tidak boleh ada rambut di bawah sini. Hari ini akan aku bersihkan dan aku tidak mau mendengar ada teriakan sedikitpun” dan Ndoro kemudian mulai mencabuti rambut bawahku dengan brutal tanpa ampun

Menahan kesakitan yang luar biasa tanpa aku sadari aku mulai berontak dan menghentakkan tangan di tiang kayu tempat tidur. Bukannya berhenti, Ndoro makin cepat dan brutal mencabuti rambut kewanitaanku.

Entah berapa lama, rasanya seperti berjam-jam tiada henti, tenggorokanku sudah sakit karena aku berusaha teriak namun tidak berani bersuara, hanya seperti erangan lirih yang panjang selama proses itu berlangsung dan lenganku serta betis sudah mati rasa.Tiba-tiba Ndoro berhenti dan berdiri, menciumku sekilas dan berjalan kearah salah satu lemari besar.

Berusaha menenangkan diri, aku mengikuti Ndoro dengan mata yang kabur karena air mata dan saat Ndoro membuka pintu lemari itu. ketakutan luar biasa menyeruak, mendapati isi lemari itu. berbagai macam cambuk, sabuk, rantai dan tongkat-tongkat berbagai jenis dan ukuran serta dildo dengan berbagai ukuran ada di dalamnya. aku makin berontak dan akhirnya berteriak

“A....ampun Ndoro…ampun…” teriakku sekuat tenaga dengan nada parau putus asa.

Tersenyum menghadapku, Ndoro sepertinya sudah memutuskan mengambil sebuah cambuk dan sabuk serta semacam gelang yang ada tali kulit di kiri kanannya. Berjalan ke arahku yang terus berontak dan mengerang, Ndoro tiba-tiba melontarkan sebuah cambukan yang sangat keras.

“AAAAGGGHHHHHH!!!!” kembali aku berteriak dengan sangat keras, lebih semacam lolongan kesakitan yang luar biasa dan tanpa aku sadari, dengan cepat Ndoro bergerak ke arahku, memasukkan cincin besi ke dalam mulutku dan mengikat talinya di belakang kepala dengan keras, sehingga aku tidak mungkin lagi menutup mulutku dan hanya bisa mengeluarkan suara lolongan yang makin lama makin pelan karena tenggorokan yang sakit.

“Tenang, hemat tenaga dan suaramu”

“Malam ini kamu tetap akan pulang ke rumah, apa yang akan kamu jelaskan ke orangtuamu bila kamu kehilangan suara” Ndoro berkata lembut di telinga sambil mengusap area bekas cambukan tadi dengan lembut.

“Malam ini aku akan mengajarkan sebagian hukuman yang akan kamu dapatkan bila tidak patuh dan jangan berani mengelurkan suara sedikitpun serta ucapkan terima kasih saat aku berhenti...” lanjut Ndoro setengah berbisik di telingaku.

Kemudian mulailah aku merasakan cambukan luar biasa keras dengan cemeti kulit, sakit dan panas tak tertahankan aku rasakan tiap kali cemeti kulit itu mendarat di tubuhku, di payudara, perut dan paling banyak di area paha. Namun entah mengapa, akupun berusaha keras untuk tidak bersuara hanya berusaha berontak yang aku tahu hanya sia-sia belaka. Ndoro menghitung hingga enambelas kemudian berhenti dan serta merta tanpa tahu dorongan dari mana aku berkata

“Terima kasih Ndoro” dengan suara yang tidak jelas akibat cincin besi yang ada di dalam mulutku. Namun sepertinya Ndoro paham karena Ndoro tersenyum dan mengangguk. Namun…. tidak berhenti disitu.

Ndoro meletakkan cemetinya dan meraih sebuah sabuk kulit dengan paku-paku besi serta kepala sabuk dari besi yang cukup besar dan berkata

“Sekarang, delapan belas kali aku akan mencambuk vaginamu dengan sabuk ini, hitung dengan cermat..!”

Terbelalak ketakutan, aku berusaha berteriak namun Ndoro sudah menyumpalkan kain kedalam mulutku yang memang tidak bisa menutup karena gelang besi yang terpasang melintang di dalam, memaksa mulutku terus terbuka lebar.

“Ingat…patuhi. Aku akan membuka kain dan gelang besi ini tapi aku tidak mau mendengar teriakan atau keluhan selain yang aku perintahkan, paham?”

Aku hanya mengangguk lemah. Kemudian perlahan Ndoro melepas kain dan gelang besi dari mulutku.

“Tiap cambukan katakan ‘Satu kali, terima kasih Ndoro’ , ‘Dua kali, terima kasih Ndoro’ dan selanjutnya. Kalau kamu salah menghitung, aku akan memulai dari awal lagi” Ndoro menjelaskan perintah selanjutnya.

Tanpa memberi aba-aba, Ndoro langsung mencambuk vaginaku yang masih terasa sakit dan pedih setelah di cabuti rambutnya dan Ndoro mencambuknya dengan bagian sabuk yang ada paku-pakunya tepat di tengah

Ctaarrr....!… “satu kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!…. “dua kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!….”tiga kali, terima kasih Ndoro” kepalaku mulai berputar merasakan sakit luar biasa di area vagina

Ctaarrr....!….”empat kali, terima kasih Ndoro” aku mulai menyadari suaraku yang mulai pelan dan aku mulai tidak bisa melihat dengan jelas, mataku penuh dengan air mata akibat menahan sakit yang tak tertahankan sembari membayangkan apakah sanggup menjalani hingga delapan belas cambukan.

Ctaarrr....!….”ehm… delapan kali”

“Salah..!!” tiba-tiba aku tersadar karena teriakan Ndoro, aku merasa sesaat tidak sadarkan diri, tidak ingat apa yang terjadi dan kembali aku diludahi oleh Ndoro

“Kamu salah menghitung, sekarang dimulai dari awal lagi”
Dan Ndoro kembali melakukan cambukan di vaginaku yang sudah terasa luar biasa pedih dan panas

Ctaarrr....!….” Satu kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!…” Dua kali, terima kasih Ndoro” kali ini aku berusaha konsentrasi, melupakan rasa sakit dan berusaha menghitung dengan benar.

Ctaarrr....!….” Tiga kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!….” Empat kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!….” Lima kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!…” Enam kali, terima kasih Ndoro."

Sungguh, sakitnya makin tak tertahankan, suaraku makin lirih, keringat bercucuran karena menahan sakit yang luar biasa. namun aku merasakan hal aneh terjadi. area dalam vaginaku terasa hangat dan basah. badanku seperti kaku dan seakan-akan mengejan

Ctaarrr....!…” Tujuh kali, terima kasih Ndoro” aku kembali berusaha konsentrasi dan tidak mau salah menghitung

“Lebih keras suaramu..!!” teriak Ndoro.

Ctaarrr....!“. Delapan kali, terima kasih Ndoro” berusaha tidak menghiraukan teriakan Ndoro, aku mengeraskan suaraku dan mencoba terus berkonsentrasi pada hitungan

Ctaarrr....!….”Aagghh.... Sembilan kali, terima kasih Ndoro”
Kali ini terselip erangan terlepas dari mulutku, Ndoro ternyata berganti menggunakan kepala sabuk dari besi untuk mencambuk

Ctaarrr....!…”Uugghh.. Sepuluh kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!….”uuggh...Sebelas kali, terima kasih Ndoro” berusaha keras tidak merasakan sakit di sekujur tubuhku dan terus berkonsentrasi

Ctaarrr....!…” Duabelas kali, terima kasih Ndoro” sedikit lagi, aku berusaha menyemangati diriku sendiri

Ctaarrr....!…” Tigabelas kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!….”Empatbelas kali, terima kasih Ndoro”

Ctaarrr....!…” Limabelas kali, terima kasih Ndoro” eranganku mulai hilang, entah karena Ndoro mencambuk tidak terlalu keras, atau vaginaku yang sudah mati rasa

Ctaarrr....!…Ctaarrr....!…Ctaarrr....!… tiba-tiba Ndoro mencambuk dengan sangat keras tiga kali berturut-turut tanpa jeda untuk aku menghitung namun aku tetap menghitung “Enambelas kali, terima kasih Ndoro”, “Tujuhbelas kali, terima kasih Ndoro” , “Delapanbelas kali, terima kasih Ndoro”

“Bagus...!!, genduk pintar.” Sambil mencium bibirku sekilas segera setelah aku selesai menghitung sembari melepas seluruh ikatan di pergelangan tanganku dan aku terjatuh lemas dalam pelukan Ndoro yang berbisik perlahan,

“Malam ini belum selesai untukmu.”

Ndoro kemudian mengarahkan aku untuk mengambil posisi menunduk membentuk sudut 45 derajat menghadap pagar tempat tidur dan kembali mengikat pergelangan tanganku. Dengan kaki masih terbuka lebar karena pipa yang terbentang di antara kedua pergelangan kakiku, hanya kali ini aku tidak perlu berjinjit, aku hanya bisa pasrah dengan apapun yang Ndoro lakukan

Aku sudah tidak mampu berpikir apa yang akan terjadi dan sudah tidak mampu merasakan sakit di sekujur tubuhku dan tidak tahu sudah berapa jam ada di dalam kamar itu. Aku hanya berharap, ini semua segera selesai tanpa berani membantah atau bertanya. Sembari pasrah dengan persiapan yang Ndoro lakukan, aku tetap merasa kebingungan tentang apa yang terjadi pada diriku, mengapa aku tidak punya keberanian untuk membantah dan memilih untuk patuh pada Ndoro sejak awal di tempat bakso tadi.

Sambil memelukku dari belakang, aku merasakan Ndoro sudah tidak berbusana, aku bisa merasakan milik Ndoro yang terasa asing menempel di kulitku.

Ndoro berbisik “Ini akan sakit dan kamu harus bisa menikmati dan jangan tegang, karena akan makin sakit.”

“I..Iya Ndoro” aku menjawab, sambil mengangguk lemah.

Sesaat aku merasakan sesuatu yang dingin di lubang anusku, dan sebelum aku sempat berpikir, Ndoro sudah berusaha memasukkan miliknya ke lubang anusku. Aku berusaha berontak namun Ndoro menekan kedua bahuku ke pagar tempat tidur.

“Rileks, jangan tegang, longgarkan otot-otot anusmu”

Berusaha tenang, aku mencoba tidak memikirkan apa yang sedang Ndoro lakukan. Setelah beberapa saat berusaha dan aku merasakan sakit yang luar biasa. Ndoro akhirnya berhasil memasukkan miliknya. Satu tangan menekan punggungku dan tangan lainnya menggenggam rambutku dan menariknya hingga aku terpaksa mendongak. Ndoro bergerak makin cepat menginvasi anusku , makin cepat dan makin brutal, entah berapa lama, tubuhku terbentur-bentur di pagar tempat tidur. Ndoro melepas rambutku dan berpindah memegang tenggorokanku dari belakang dan menariknya sehingga aku seperti tercekik, kesulitan bernafas, sembari tangan kirinya tetap menekan punggungku dengan kuat

Kemudian...

“Aaaaggghhhhhh!” tiba-tiba Ndoro mengerang dengan sangat kencang dan aku merasakan hangat di dalam anusku, sesaat kemudian Ndoro menarik miliknya serta melepaskan tangannya dari tubuhku. aku merasakan lega dan berpikir akhirnya selesai. namun aku salah besar.

Ctar…ctar…ctar… !!!

Entah berapa kali cambukan dengan cemeti serta sabuk bergantian mendarat di pantat dan paha dan tanpa aku sadari aku berteriak-teriak keras sampai akhirnya tidak ada lagi suara yang keluar dan Ndoro berhenti.

“Itu akibatnya jika ada teriakan keluar dari mulutmu saat aku cambuk”

“Tidak ada ampun sampai kamu berhenti teriak atau suaramu habis” Ndoro berkata dengan nada tinggi, dan aku hanya bisa mengangguk lemah, tersadar dari kebodohan yang aku lakukan”

“Baik Ndoro, genduk akan belajar mengingatnya. Tidak ada bantahan, tidak ada pertanyaan, tidak ada keluhan, hanya kepatuhan total serta selalu minta ijin dalam segala hal” aku kembali mengulang apa yang Ndoro sampaikan.

“Bagus! Genduk makin pintar” ujar Ndoro sambil mengusap paha dan pantatku dengan lembut sembari melepas semua ikatan termasuk pipa di kaki dan merebahkanku di tempat tidur. Ndoro berjalan ke arah pintu, mengambil baju kemejaku dan memerintahku untuk memakainya.

“Pakai kemejamu. Aku akan mengantarmu pulang”

“Tidak ada makan malam hari ini, sampai rumah hanya boleh minum, karena aku akan sampaikan ke orangtuamu bahwa kita habis makan malam bersama, paham?”

“Baik Ndoro, genduk paham” jawabku lirih.

Tanpa diberi kesempatan untuk istirahat, atau minum, atau membersihkan badan, Ndoro sudah membuka pintu dan menarikku keluar kamar berjalan tertatih-tatih berusaha mengimbangi langkah Ndoro dengan tubuh yang luar biasa sakit dan hanya mengenakan kemeja, aku melewati ruang karyawan dan penjaga. Sepintas aku melihat jam dinding, sebersit rasa lega karena ternyata masih jam delapan malam.

Sampai di dalam mobil…

“Pakai rokmu dan besok jangan pakai celana dalam ke kampus!”

Ndoro memberikan perintahnya, aku hanya menjawab pelan

“Iya Ndoro, besok Genduk ke kampus tanpa celana dalam” kemudian senyap.

Ndoro berkonsentrasi mengantar aku pulang dan aku tidak paham, entah bagaimana Ndoro bisa tahu alamat rumahku.

Setelah proses berpamitan dan menjelaskan mengapa aku pulang terlambat kepada orang tuaku, Ndoro pun pulang dan aku segera masuk kamar.

Di dalam kamarku, setelah berusaha membersihkan tubuh yang terasa pedih dan berbilur-bilur disana-sini akupun mencoba merebahkan diri perlahan-lahan. Anusku terasa seperti dirobek paksa.

Hmmm, rebahan dikasur kamarku sendiri membuatku berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Mengapa aku bisa begitu patuh pada Ndoro? walau berusaha berontak atas perlakuan kasarnya, aku berhasil memaksa diri ini untuk mematuhinya, dan aku berusaha memahami perasaan aneh yang timbul saat aku merasakan area pribadiku menghangat dan lembab, sempat terasa basah saat Ndoro mencambukku delapan belas kali tadi.

Sungguh, kejadian ini membuatku bingung dan seakan-akan tidak mengenali diriku sendiri. aku yang biasanya selalu tegas dan aktif di banyak komunitas, dikenal oleh banyak orang, tiba-tiba menjadi patuh pada seorang laki-laki yang baru aku tahu namanya dan memperlakukan aku dengan brutal, merendahkan aku dengan berulang kali meludahi wajahku dan mempermalukan aku di muka umum.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku dan aku tak mampu menjawabnya hingga aku akhirnya tertidur.


Lanjutan di Page 3
 
Terakhir diubah:
Lanjoottt huuu...
Keren..
Fantasi q otomatis lgs bekerja nih huu👏👍
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Thanks, tapi ini kan flashback om..? Awal dari segalanya....masa iya masuk underage..?

updatenya luar biasa bro... emang yang dimaksud teman2 diatas itu kategori underage itu bro... sayang sekali kl ditutup bro.. cerita bagus begini.. dipercepat aja flashbacknya tau2 udah kuliah aja bro.

keep ur good work ... masuk salah satu thread fav ane nih :beer:
 
cerita awal aja dah keren

gak sabar untuk baca lanjutannya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd