Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Bimabet
BAGIAN TIGA - TIGA RATU

Lembar 1 - Darah Muda




Akhir tahun ketujuh.

Tahun ini terasa berat. Unit kerja baruku ternyata memang butuh momentum dan bentuk baru. Bagi para pembaca yang banyak terlibat di urusan pemerintahan khususnya di daerah, pastinya paham betul betapa bobroknya pola dan budaya kerja di sini. Bagi yang mendalami di bagian budgeting, masalahnya lebih runyam lagi, belibet dengan rantai birokrasi yang naudzubillah panjangnya. Ruwet karena beririsan dengan begitu banyak urusan dan kepentingan kanan-kiri, atas-bawah. Terlebih yang kukelola ini adalah unit baru, divisi yang belum ada jejak dan contoh di masa lalu. Ini divisi rintisan, dengan masa depan yang sebenranya juga tak pasti.

Terbatasnya anggaran di tahun ini, memaksaku berkreasi, mencoba cara-cara baru. Salah satunya dengan menggandeng mitra baru. Beruntung, beberapa kolegaku cukup aktif di gerakan sosial, organisasi profesi, dan sebagian lain berasal dari kalangan akademisi. Khusus poin terakhir, kudapatkan beberapa mitra penting dari satu kampus swasta di kota pelajar. Sebagian pengajar di sana kebetulan adalah teman kuliahku dulu, bahkan seorang di antaranya adalah kakak angkatan saat studi lanjut, sebut saja Bung Yona. Jadilah kampus itu kusasar sebagai pilihan utama. Nota kerjasama segera kami susun. Dalam masa yang tak terlalu lama, kami telah berstatus mitra kerja. Untuk kelancaran urusan, beberapa kali pejabat pemerintah dan pengurus kampus bertemu, tentu saja aku yang mengatur. Sedangkan dari pihak kampus, beruntung kutemukan (lebih tepatnya atas rekomendasi Yona) seorang pengurus fakultas yang bisa kuandalkan, dosen muda jelang 30, cerdas dan visioner, lulusan program doktoral dari luar negeri, cantik, berambut pendek, panggil saja Yuni. Kuberi nama Yuni karena perawakannya memang tak beda jauh dengan Yuni Shara, versi muda ya, yang masih mirip-mirip KD.

Kisah dengan Yuni?

Ada.

Sementara kusimpan dulu. Masih belum kuputuskan apakah akan kutulis di sini atau di tempat lain. Mungkin pembaca bisa memberi masukan?

Tidak hanya dengan satu kampus itu, beberapa kerjasama lain sempat pula aku jajaki. Kesibukanku berkeliling jawa, menjadi rutinitas baru yang harus aku dan Ais terima. Waktuku bersama Ais terhimpit di kondisi yang makin sulit. Kami praktis hanya bisa bertemu sebulan sekali, saat reuni bulanan dengan teman-teman ex-kantor lama. Tawaran Ais untuk liburan kemarin, akhirnya tak pernah bisa kami wujudkan. Setidaknya untuk tahun ini.

Suami Ais tampak lebih protektif beberapa waktu belakangan. Jam edar perempuan berkerudung itu diatur betul-betul. Jam lima sudah harus sampai rumah. Telat sedikit saja, siap-siap ditelepon dengan penuh nada curiga. Hal yang makin menyulitkan kami untuk mencari waktu. Satu yang agak mengkhawatirkan, sang suami tak segan mencari info tentang teman sekantor Ais. Mungkin takut kecolongan seperti kejadian yang lalu. Di satu waktu, Ais pernah bercerita, suaminya tau semua nama teman laki-laki sekantor Ais. Dan semua pria itu dicurigainya sebagai 'buaya' yang siap menerkam Ais. Berlebihan.

Waktu Ais nyaris tak tersisa lantaran ibunya diagnosa mengidap penyakit berbahaya. Satu penyakit yang butuh perawatan intensif. Satu perkara yang secara sadar atau tidak, berpengaruh ke psikis Ais. Di pesan singkatnya, sering kali wanita itu berbagi soal rasa sayangnya untuk ibunda, juga letihnya saat harus merawat beliau yang makin renta. Bahkan, tidak jarag Ais harus izin kantor untuk mengantar ibunda kontrol atau periksa lanjutan. Alasan tak terbantahkan yang mempersempit kesempatan kami bertemu.

Waktu pertemuan terbatas.

Kesibukan tak berjeda.

Suami posesif.

Lengkap sudah derita Ais. Derita Kami.

.

..

...

Bulan Desember tahun ketujuh.

"Dia ngajak nikah mas." kata Ais

Aku tersedak. Memuntahkan sebagian latte dingin yang barusan kusesap.

...

..

.

Beberapa Jam sebelumnya.

Di akhir tahun ini, aku mendapat tugas, mengikuti sebuah workshop lima hari tentang pengelolaan keuangan, di salah satu hotel terkenal di kotaku. Seperti biasa, jadwal workshop bisa dinego. Panitia kegiatan berhasil kami yakinkan untuk memadatkan jadwal. Di hari ke empat, semua agenda sudah terlaksana. Sebagian besar peserta workshop berasal dari luar kota, memilih untuk berkeliling mencari oleh-oleh. Jalan-jalan sekaligus liburan. Aku memilih stay di hotel, menunggu kabar dari Ais.

Pagi tadi kukirimkan pesan itu, pesan ajakan untuk berbuat 'sesuatu' siang ini. Jadwalku kosong seharian, kamarpun tersedia. Situasi yang nyaris sempurna. Tinggal menunggu kesediaan Ais.

Satu pesan darinya akhirnya masuk, jelang tengah hari.

"Aku bisa mas. Aku langsung ke situ ya? Ruang berapa?"

Ah. Sip.

Segera kukirimkan nomor kamar yang akan jadi saksi pertarungan kami.

Sejam kemudian aku dan Ais sudah di kamar itu. Kami berpelukan.

Lama.

Sekian waktu kami berjauhan. Nyaris tiga bulan kami tak bersentuhan. Aku merindukan hangat dan wangi tubuhnya yang sedemikian familiar dan memabukkan.

"Aku kangen," ucapnya. Masih dalam posisi berpeluk.

"Aku nggak," godaku.

Dilepaskannya pelukan itu.

Bibirnya manyun. Tampang bete.

Segera kusosor bibir itu. Kulumat permukaannya yang hangat dan lembut, juga basah, tanpa ampun. Ais membalas, tak kalah liar. Kami nikmati momen itu dalam-dalam. Berusaha mencari kenikmatan yang lama tak kami jangkau.

Cukup lama, hingga akhirnya kurasa cukup. Ada yang menginginkan Ais, lebih dariku.

Segera kuturunkan celana boxer warna merah yang kupakai.

Batang penisku terpampang. Tegang menantang.

"Dia yang kangen," kataku.

Ais tersipu. Wajahnya manis sekali.

"Kok udah tegang sih? Belum diapa-apain juga"

"Udah sedari pagi itu. Mbak lama sih"

"Aiihh, susah nyari alasan buat kabur jam kerja gini". Tangan Ais mulai mengelus penisku. Elusan gemas, makin lama makin kasar.

"Suka mbak?"

"Banget".

"Kok cuma dielus?"

Ais tersenyum genit, sepertinya paham apa yang kuinginkan. Segera dia berlutut, bersimpuh, masih dengan pakaian kerja lengkap.

Batang itu digenggamnya, dielus perlahan. Lembut, matanya tampak mengamati benda kaku itu. Entah apa yang sedang dipikirkan Ais. Mungkin mencari titik pendaratan, awal mula serangan pertama.

Ais memilih area bawah, dekat bola naga. Dijilatinya kulit kisut di area itu, telaten, dengan tempo sedang.

Aku bergidik. Nuansa geli segera menjalar ke sekujur badan.

"Hmmmm.... Sssshhh..."

Sesekali kubelai rambut Ais, masih dari luar hijabnya. Satu sikap memuji, mengapresiasi, sekaligus pendorong yang membuat Ais makin bersemangat. Aksi pujian yang sekali lagi membuktikan bahwa perempuan lebih pandai menangkap sinyal-sinyal tersembunyi.

Benar saja, segera dikeluarkan ajian sakti dari wanita bersuami itu: menyapu seluruh batang, dari bawah hingga ujung kepala penis. Pelan, sensual, penuh hayat. Kontolku berkedut, membuatnya kaku seketika, ngaceng maksimal. Satu lumatan Ais, membenamkan penisku dalam mulut hangat dan basah. Tandas. Ludes kontolku dicaplok perempuan laknat itu.

"OOhhhhhh... Sayang..... aaahhh... shit...."

Aku mengerang hebat.

Menjamah kenikmatan yang selalu berhasil membuatku menggila. Tidak hanya aku, kupikir Ais sudah menggila sejak tadi.

Lidah Ais bergerak-gerak saat mengulum, seakan-akan memijat dan meremas batang kakuku.

Ah, asu tenan.

Tanganku reflek menahan kepala Ais, mencengkeram bagian belakang kepalanya agar setia menyervis penis. Gerakan halus mulut Ais, maju-mundur, mengocok pusaka itu perlahan, makin membuat birahiku tak terbendung.

"Aduh, gak kuat aku mbak...keluar duluan gapapa ya..."

"Hmmm...hemmmm" jawab Ais.

Aku kira Ais bakal menolak.

Kupikir ia bakal menghentikan aksi persepongan itu.

Aku, nomor sebelas Liverpool. Aku salah.

Ais justru makin kalap.

Dikocoknya kontol tegang itu. Mulutnya makin heboh memompa. Maju-mundur, kadang sedikit dipelintir, ada sensasi diputar. Ah gak ngerti lagi sudah.

"Cplokkk.... cplokkkk...clokkkks....cplokssss..."

Kedua tanganku tak terkontrol. Gearakannya random. Kadang menjewer kuping Ais. Kadang membelai hijab. Kadang meremas, memijat kepala sampai leher. Kadang pasrah saja, bertumpu di pundak dan sekitaran bahu.

Sesekali kupandangi aksi Ais di bawah sana. Perempuan dengan pakaian muslimah lengkap, wajahnya cantik, kacamata yang masih dikenakannya tidakmengurangi sedikitpun aura elegan dan anggun yang dimiliki Ais. Wajah itu memerah karena birahi, juga karena antusias, semangat bergelora. Ais tengah mengoralku, didera nafsu.

Sensasi saat mulut nakalnya menghisap penisku kuat-kuat. Enak. Nikmat. Membahagiakan.

Aduh, mati aja sudah.

Sensasi itu memuncak. Maksimal. Di ujung.

"Aku mau keluar... " ucapku, spontan.

Ais mempercepat pompaan mulutnya. Tepat sesaat sebelum puncak, Aku mengerang.

"Oooohhhhhh....."

Ais segera melepaskan sergapan, berganti peran, kali ini tangannya yang menahan penisku di ujung perjuangan. Wajah manisnya mendongak, matanya terpejam, seolah penuh harap. Sang pusaka diarahkannya ke wajah itu, tepat beberapa centi di atas hidung, mengarah di antara kedua mata. Mulut Ais juga menutup, ada seberkas senyum tipis yang kutemui, sekilas.

Aku sampai.

Crrrotttt......cruuuttt.....crrrrrotttttt....."

Sperma menyembur, cipratan terbesar mendarat di jidat, sedikit mengenai alis, aku hapal betul bagian ini.

Sebagian lain muncrat di berbagai sudut, akibat wajah Ais yang terus bergerak, menyambut semprotanku. Sebagian acak mengenai kelopak mata, hidung, pipi, juga menyasar ke ujung hijab biru Ais.

Aku terkulai, ambruk di bed, tepat di belakangku.

Lemah.

Tidak sampai sepuluh menit, aku kalah.

Tapi nikmatnya luar biasa.

Boleh jadi ada perasaan yang terlibat di sana, tetap harus kuakui ada perasaan yang tertinggal, mungkin karena rinduku telah terbalas.

...

Pasca pertempuran, berita buruk datang.

Ais tengah mens.

Oh, shit.

Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hari ini?

"Baru mulai pagi ini," kata Ais.

Sedikit kecewa. Satu hal yang nanti akan kuceritakan di bagian-bagian lain. Ada yang unik soal itu. Tunggu saja.

Tak apa, aku menghibur diri. Setidaknya hari ini kami bisa menghabiskan waktu berdua. Toh badanku lemas sekali selepas permuncratan tadi. Mungkin karena faktor U, staminaku tak bisa lagi diandalkan. Soalan ini, nanti juga akan kuceritakan di bagian lain.

Menjelang sore, setelah pillow talk dan cuddling manja sesiang tadi, kami memutuskan mencari makanan kecil di resto atas, bagian rooftop.

Hotel ini tergolong mewah. Jika bukan karena acara negara, kurasa tak mungkin aku menyempatkan diri ke sini. Berbagai ornamen kemewahan bercita rasa seni tinggi menghiasi sudut-sudutnya. Bagian rooftop memberi nuansa lain, lebih adem sekaligus intens. Dilengkapi taman-taman indah, dan area bermain anak di satu sisi, dan kolam renang di sisi yang lain. Di bagian ujung ada semacam cafe yang cukup luas, dilengkapi meja bar dan panggung kecil di mana terdapat beberapa instrumen alat musik akustik. Cocok untuk acara makan malam bersama keluarga, pasangan atau rekan sejawat. Kuduga, pasti ramai saat malam.

Karena masih kuatir ada yang memergoki, kami memilih datang ke tempat itu sekitar jam empat, waktu di mana bagian tempat itu relatif sepi. Sebelum Maghrib, aku berharap kami sudah kembali ke kamar.

Benar saja, begitu sampai di lokasi, kulihat hanya area kolam renang dan taman bermain yang cukup ramai. Mayoritas diisi keluarga dan anak-anaknya. Sementara area cafe, masih sepi pengunjung. Sebagian meja bahkan belum disiapkan. Sempurna.

.

..

...

"Dia ngajak nikah mas." kata Ais

Aku tersedak. Memuntahkan sebagian latte dingin yang barusan kusesap.

Kaget luar biasa.

Cerita Ais yang ini, sungguh mengagetkan. Aneh, berlebihan, di luar dugaan.

Ais sebelumnya bercerita banyak hal tentang kerjaan, lalu merembet ke teman kerjanya yang sebagian besar adalah anak-anak muda di awal 20-an, brondong. Semua tampak biasa, hingga beberapa bulan terakhir ini ada satu anak muda yang, bagaimana istilahnya ya, mungkin istilah yang mendekati adalah 'terbosesi', atau 'tergila-gila' dengan Ais. Berkali-kali menyatakan cinta. Berkali memberi hadiah, yang kubilang sih cukup mewah, perhiasan emas dan jam tangan mewah. Bahkan saat ini, pemuda itu tengah membangun rumah, tidak jauh dari tempat tinggal Ais, disiapkan untuk dia dan Ais.

Bobby, sebut saja nama pemuda itu Bobby. Pegawai kontrak yang sebenarnya punya sambilan mroyek di beberapa tempat lain bahkan sebelum bekerja bersama Ais.

Yang lebih gila, minggu lalu sang pemuda mengajak Ais menikah. Memintanya untuk meninggalkan sang suami, bercerai untuk kemudian menikah dengannya. Gila.

Ais sempat menunjukkan beberapa skrinsyut percakapan.

Nggilani.

Dihiasi kata-kata lebay yang alamaaaaak, cupu kali.

"Aku nggak bisa hidup tanpamu"

"Kamu selalu hadir di mimpi-mimpiku"

"Ada kamu di setiap doaku"

"Aku rela melakukan apapun demi kamu"

"Beri Aku kesempatan untuk membahagiakanmu"

Cuiiihhh.

Lebih mirip tulisan di bak truk.

Ada satu bagian yang paling aneh. Satu kali, pernah Ais menolaknya, dengan bahasa yang kasar. Bobby mengancam akan pergi dari hidup Ais. Yang terjadi kemudian, Bobby bolos kantor seminggu tanpa kabar, untuk kemudian masuk lagi, seakan-akan menjauh dari Ais, tak mengganggu Ais lagi. Tapi hanya sebentar, lalu kambuh lagi, lengkap dengan rayuan dan SSI-nya.

Coeg.

Norak dan kekanak-kanakan.

Aku tidak terlalu heran dengan kehadiran orang semacam Bobby, mungkin juga bajingan-bajingan lain yang tak kuketahui siapa. Kumaklumi sekaligus kuapresiasi upaya setiap orang yang mendekati Ais. Sah-sah saja. Ais memang punya pesona perempuan dewasa yang menggoda, bahkan sekalipun ditutup dengan penampilan anggun dan serba tertutup. Wajar jika banyak pria tertarik. Wajar mereka berusaha mendapatkannya.

Setiap hubungan percintaan, atau dalam hal ini perselingkuhan, selalu melibatkan setidaknya dua pihak. Dalam kasus Ais, tentunya Ais dengan makhluk lain, serigala berbulu domba. Biarkan saja serigala dengan manuver dan aksinya masing-masing. Yang penting Ais tidak menanggapi. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Tidak sesederhana transaksi jual beli. Serigala berusaha keras menjual, Ais tidak melengos pergi, dia melihat situasi, seakan menimbang-nimbang opsi, terkesan akan membeli.

Aku jadi ingat belasan tahun lalu, saat istriku masih di bangku sekolah. Ada seorang teman (aku lupa senior atau seangkatan) yang serius ingin meminangnya. Istriku tidak menolak dengan tegas waktu itu. Alih alih memberi keputusan dengan pilihan ya atau tidak, dia justru memberikan jawaban multitafsir. Jawaban menggantung yang bagi kami kaum pria, bisa diartikan begini: dia menolak untuk saat ini, tapi masih ada kesempatan di waktu mendatang. Jadilah sang pria itu berusaha keras, tamat sekolah, lanjut pendidikan tinggi, dan ketika kariernya cukup mapan meminang istriku kembali. Timingnya salah, karena waktu itu kami sudah merencanakan pernikahan.

Aku tak bisa membandingkan secara setara kedua situasi di atas. Tentu banyak perbedaan, kondisi wanita yang belum menikah dan sudah menikah. Tapi tetap saja, bagiku langkah penolakan Ais untuk Bobby terasa kurang tegas. Mungkin memang begitulah perempuan, selalu memberi harapan, selalu menawarkan kesempatan. Mereka merasa berhak memilih. Saat satu pria tak bisa mencukupi kebutuhan, mudah saja beralih pada pilihan lain, para pemain cadangan yang sedari awal menunggu kesempatan.

Tunggu dulu, mungkin tidak hanya perempuan. Mungkin begitulah fitrah setiap manusia. Selalu bersiap dengan rencana cadangan.

Bagiku, Ais adalah pemain cadangan. Pemain yang bisa memberikan opsi lain yang tidak bisa diberikan pemain utama.

Bagi Ais, aku mungkin juga demikian. Lalu Bobby, mungkin cadangan selanjutnya. Darah muda potensial yang sengaja dipertahankan, tak rela dilepas ke tim lain. Jaga-jaga jika pemain lain memang tak bisa digunakan.

Sepertinya kehidupan memang tak pernah berhenti memberi kejutan, sekaligus memberi pelajaran.


...bersambung...
 
Terakhir diubah:
Bagi yang mendalami di bagian budgeting, masalahnya lebih runyam lagi, belibet dengan rantai birokrasi yang naudzubillah panjangnya. Ruwet karena beririsan dengan begitu banyak urusan dan kepentingan kanan-kiri, atas-bawah.

Iya, suhu. Ane juga mengalami. Bikin pra KUA-PPAS, sinkronisasi, tambah kurang, RDP dg dewan (kepentingan politik & fee proyek mulai menampakan taringnya). Deal dg dewan, bikin RKA, konsultasi dll..belibet dah
 
Cerita ini sekedar intermezzo, atau side story, atau apapun istilah yang anda sematkan, bebas saja. Cerita tentang rangkaian keberuntungan, datang sambung menyambung, untuk kemudian tenggelam, hilang begitu saja. Cerita tentang aku dan Yuni.


Intermezzo - Yuni dan Kedua Anaknya.



Tahun ketujuh.

Aku mengenal Yuni karena urusan kerjaan. Perawakannya kecil, mungil, dengan badan sedikit berisi. Tingginya hanya sepundak, wajahnya oriental, kulitnya putih bersih, menurut pengakuannya masih ada darah tionghoa dari kakek. Menghabiskan masa kecil di tanah kelahirannya, wilayah timur-utara Indonesia, Yuni yang ambisisus terobsesi untuk menjadi pengacara. Nasib berkata lain, satu ketidakberuntungan membawanya menjauh lalu berlabuh ke takdir baru, sebagai pengajar di kampus swasta terkenal di Jawa bagian selatan.

Kisah tentang Yuni adalah soal hoki. Hoki buatku, entah apa buat dia.

Seharusnya bukan dia yang ingin kutemui di awal minggu itu. Harusnya seorang pengurus fakultas yang menemuiku di kampus sore itu. Satu urusan keluarga membuat janji temu itu batal terlaksana. Seorang kawanku, Yona, bisalah dibilang semacam makelar, perantara untuk jalinan kerjasama kantorku dengan kampus itu, mengusulkan untuk bertemu orang lain. Satu dosen muda yang baru sebulan kembali dari studi di luar negeri. Kata sang kawan, urusan akan lebih cepat jika perempuan itu mau diajak bergabung. Aku tak mau pulang dengan tangan kosong, tidak banyak opsi yang kupunya, kuiyakan saja usul itu.

Beruntung, sang dosen muda belum ada kesibukan berarti, belum ada jadwal mengajar, belum juga mendapat tanggung jawab akademik yang lain. Itu keberuntungan pertama.

Malam itu kami bertiga akhirnya bertemu, di restoran hotel, lantai dasar tempatku menginap, tak jauh dari kampus.

"Cathy," kata perempuan dengan senyum manisnya. Ia menggunakan nama depan, nama yang biasa digunakan sebagai paggilan di lingkungan kerja. Nama yang kemudian tak pernah kami gunakan.

Pertemuan malam itu sedemikian cair. Tidak ada kecanggungan di obrolan kami. Interaksi mengalir nyaris tanpa hambatan. Lucu, ada kesan dewasa sekaligus kekanakan di setiap kata yang diucapkannya. Juga leawt ekspresi dan bahasa tubuh yang ia pakai. Ibu Catherine termasuk dosen termuda di kampus. Muda, potensial, bergelar doktor dari universitas bergengsi di Asia, karier akademiknya pastilah cerah. Secerah wajah oriental, yang selalu dihiasi mimik ceria itu. Setiap kali tersenyum, giginya yang gingsul di satu sisi makin menghangatkan aura kedekatan yang beredar di meja makan kami. Cantik, cerdas, dewasa sekaligus kekanakan. Kesan itu yang kutangkap malam itu.

"Dia single bro," kata Yona, beberapa saat setelah melepas kepergian perempuan berambut pendek itu di lobby hotel.

"Pernah menikah, nggak sampai tiga tahun, suaminya selingkuh, katanya..." lanjut Yona. "Lalu cerai. Mungkin karena ingin mencari suasana lain, dia lanjut S3. S3 karena S3"

"Apa maksudnya?"

"Iya S3: Setelah Suami Selingkuh" tukas Yona.

Kami tertawa hampir bersamaan.

Janda cantik menggemaskan di umur yang belum genap 30. Inilah keberuntungan selanjutnya.

...

Minggu-minggu selanjutnya adalah tentang kami berdua, aku dan Yuni.

Lewat obrolan telpon, yang awalnya basa-basi dengan kata-kata khas pembuka urusan gawe, makin lama makin akrab dan dekat. Dia tak mau dipanggil dengan panggilan biasa. Lebih suka dipanggil nama tengah, nama yang biasa dipakai oleh kerabat dekat. Aku tak membantah, kuturuti saja apa yang dia mau. Yui, begitu aku memanggilnya kini.

Beberapa kali kami bertemu di kotanya, lebih sering berdua saja. Kadang di resto, kadang di cafe, kadang di kampus. Tempat terakhir tak terlalu sering, seingatku hanya dua-tiga kali, itupun saat harus bertemu beberapa pejabat. Untuk urusan lain yang lebih teknis, Yuni meminta untuk bertemu di tempat lain, di luar jam kerja. Seperti hari itu, akhir minggu di pertengahan tahun ketujuh.

Aku membawa mobil sewaan, berniat menjemput Yuni di kampus. Kami berencana untuk menghabiskan sore hingga malam di satu tempat semacam coworking space di pinggiran kota. Ada banyak dokumen yang perlu kami periksa dan teliti bersama. Sampai di kantornya sekitar jam tiga, Yuni belum tampak. Siang ini dia memang ada kelas dengan kelompok riset mahasiswa. Kutengok halaman pesan di HP, pesanku sudah centang biru, tapi belum juga dibalas.

Kuamati sekitaran. Rupa-rupa mahasiswa menghiasi kampus itu. Banyak mahasiswi dengan penampilan yang modis tapi tetap casual. Mungkin memang beginilah kehidupan kampus sekarang. Tampak lebih segar dan cerah, beda dengan kampusku dulu yang lebih banyak diisi cecunguk dan berandalan jarang mandi.

"Sudah lama mas?" satu suara perempuan membuyarkan lamunan.

"Eh... Iya... Nggak sih, baru sampai juga ini" jawabku. Entah sejak kapan Yuni berdiri di sebelah.

"Aku beres-beres dulu ya. Tunggu di dalam aja yuk" ajaknya.

"Sip"

Kami masuk ke ruang kerja itu. Cukup luas, sekitar 20-25 meter persegi. Dingin, AC dibiarkan menyala saat ruangan kosong. Aku menggigil. Yuni sigap, diambilnya remote di meja kerja di bagian ujung.

"Kedinginan ya? Hehehe.. Maaf, maaf, aku gampang basah soalnya.... "

"Ha???"

"Eh, gampang keringetan. Gampang gerah maksudku." sambungnya. Mukanya tampak memerah, menahan malu karena salah ucap sesaat sebelumnya.

"Oh, sehat lah berarti. Gampang keingetan juga?" ucapku, berusaha mengurangi canggung akibat kalimat blunder Yuni.

Yuni tersenyum, senyum yang mengawali tawa renyah.

Aduh senyum itu manis sekali, senyum dengan menampakkan gigi gingsul andalannya.

"Gampang keingetan juga, apalagi sama yang indah-indah" katanya kemudian.

"Berarti pertemuan kita harus menyisakan kenangan indah. Harus dibikin biar indah. Biar bisa keingetan terus," kataku.

Lagi-lagi senyumnya merekah. Pandangan Yuni tersembunyi, diarahkan ke beberapa dokumen dan barang-barang yang tengah ia bereskan, padahal aku ingin memandang sorot matanya yang tak kalah indah.

Yuni tau aku sudah beristri, tapi cara komunikasi kami seakan kami adalah teman lama yang tidak peduli latar belakang dan status sosial. Umur yang berjarak beberapa tahun, nyatanya memudahkan interaksi kami. Banyak pengalaman hidup yang kubagi dengannya, demikian juga Yuni tak segan bercerita tentang kehidupan pribadinya.

Selama beberes, obrolan kami berlanjut. Yuni memang tipikal orang yang selalu rapi, mungkin cenderung perfeksionis, bahkan sebelum pulang, meja kerja yang tadinya cukup berantakan itu dirapikannya dengan cermat.

"OK. Clear. Kita berangkat sekarang?" katanya seraya menenteng satu tas jinjing penuh.

"Sure, Mam" jawabku seraya bangkt dari sofa hitam. "Eh sebentar, aku pinjam toilet ya."

"Ya, di belakang sini" Yuni menunjuk lorong kecil di sudut ruang kerja itu, di belakang meja kerja, ternyata ada lorong menuju toilet, semacam toilet pribadi di ruangan itu. Aku bergegas menuju ke sana. Ruang itu cukup besar ternyata, kelengkapannya juga baik. Wastafel dengan cermin bundar lebar menyambut di sebelah pintu masuk.

Aku yang selesai menunaikan hajat, berhenti sejenak di depan cermin itu. Membasuh tangan dan muka.

Sesaat mata kupejamkan saat mukaku dibasahi air dingin. Segar. Begitu mata kubuka, kaget kurasakan.

Ada Yuni yang menyusul, kini berdiri tepat di belakangku. Kubalikkan badan, berniat segera keluar dari sana, berprasangka mungkin Yuni juga ingin ke toilet.

Salah, prasangkaku salah.

Begitu badan kuputar, kami berhadapan. Senyum hendak kuberikan, membuka satu kalimat.

Sebelum kalimat itu keluar, mulutku telah ditutup, Yuni yang menutupnya. Dengan satu ciuman.

Mendadak.

Tiba-tiba.

Aku pasrah saja saat ciuman itu makin liar.

Yuni memagut dengan semangat.

Ciuman bernafsu.

Badannya lalu mendekat, menempel di badanku.

Tangan Yuni merangkul tubuhku bagian atas, seakan mengunci kepalaku agar meneruskan permainan.

Aku terpengaruh.

Tanganku kini mengelus perut Yuni, rata, kencang.

Tangan itu terus bergerak di sekitar tubuhnya hingga akhirnya memeluk tubuh bagian bawah, tepat di atas tulang ekor.

Aku belum berani lanjut ke sekitar pantat, menunggu kode lanjutan.

Ciuman itu hangat, gerakannya halus, bibir Yuni lembut, tapi aksi itu nakal. Gerak ciuman yang baru sekali itu kualami.

Menggairahkan.

Membangkitkan birahi.

Aku keenakan. Sumpah, gak ada obat.

Nafas Yuni menambah seru adegan ciuman itu, memburu, merangsang betul.

Suara desahan tertahan.

"Ehhhhhh...hmmm sssshhh...hhmmmm..."

Yuni tampak menikmati adegan dewasa di ruang kerja itu.

Aduh, sudah gila perempuan ini.

...

"Kenapa?" tanyaku.

"I don't know. Penting kah?"

"Mmmm... Tidak juga"

"So??"

Aku kehabisan kata. Berusaha mencari argumen lanjutan. Kupandangi sekitar, tak banyak orang, banyak kursi kosong. Pandanganku asal menyapu tempat itu, terang dan banyak pepohonan, ada wangi bunga yang juga bisa kucium dengan jelas.

Tempat semacam cafe ini cukup asri, mengusung tema natural, coworking space yang sangat layak dipakai, fasilitas juga cukup lengkap.

Aku berusaha melakukan positioning.

Di mana sesungguhnya hubungan kami berada?

Di level apa?

Akan sejauh apa?

Pertanyaan yang baru bisa terjawab jika, menurutku, ada titik awal yang kami sepakati.

Ada keterbukaan perasaan, ada komunikasi yang dalam.

Yuni tidak sependapat, baginya itu tidak penting. Baginya ini adalah dunia orang dewasa dengan kehendak bebas. Pilihannya adalah ya atau tidak. Mengajak dan diajak. Konsensus untuk melakukan atau tidak. Simpel.

Aku juga adalah orang dengan pemikiran yang simpel. Tapi menurutku ini terlalu simpel. Cara hidup yang 'gak gue banget'.

Buat Yuni, adegan ciuman panas sore tadi, yang baru berhenti saat suara langkah kaki OB mendekat ke ruangan itu, adalah soal pilihan melakukan atau tidak. Tidak penting motivasi dan alasan di baliknya. Toh aku tidak menolak, toh Yuni bersedia. Que sera, sera.

Masa lalu dan masa depan, tidak pernah akan relevan. Yang penting adalah sekarang, saat ini. Inikah nilai-nilai budaya yang Yuni pegang? Ataukah akibat pengaruh budaya tempatnya belajar tiga tahun lampau?

Aku tak mau berspekulasi.

Aku putuskan untuk menerima kondisi Yuni apa adanya.

Benar, ini adalah hubungan orang dewasa. Ciuman tadi, awal hubungan fisik perselingkuhan kami. Pilihannya hanya lanjut atau tidak. Fakta bahwa kami tetap bertemu di tempat ini, setelah kejadian sore tadi, tentu anda juga paham pilihan apa yang kupilih.

Sejurus kemudian, kami telah disibukkan dengan urusan kerja. Meneliti berbagai dokumen, menyusun draft2 kesepakatan, menyiapkan rencana kerja, jangka pendek dan menengah. Yuni tampak tak terpengaruh dengan perdebatan singkat tadi, dia bersikap biasa, seakan kejadian di ruang kantornya tidak berarti.

Kami menyibukkan diri di laptop masing-masing. Sesekali kucuri-curi pandang ke arahnya. Yuni tampak cantik saat tengah serius. Elegan dengan penampilan wanita karier yang kekinian. Kulitnya wajahnya putih cerah bercahaya akibat terpaan cahaya terang dari berbagai sudut tempat itu. Cantik bak artis.

Aku bahagia.

Malamku ditemani wanita secantik ini.

"Mas di sini sampai kapan?" tanya Yuni. Waktu sudah menjelang jam sembilan malam. Kami putuskan untuk berhenti bekerja. Dia ingin menikmati suasana tempat ini tanpa urusan kerja. Aku setuju. Jumat malam ini terlalu cerah untuk dihabiskan hanya dengan kerja.

"Senin mungkin, asal urusan ini kelar. Setelah bertemu pengurus fakultas pastinya."

"Besok ada agenda?"

"Belum ada"

"Oooh..." Yuni lalu meminum air es di depannya.

"Kamu besok ke gereja?" tanyaku lagi. Aku membaca kode soal 'agenda' tadi. Mungkin Yuni ingin bertemu denganku lagi. Mungkin saja.

"E-em..." Yuni menggeleng, sedotan masih tertancap di mulutnya. "Minggu aku biasanya".

"Mau nemenin aku gak?" tanyaku kemudian. Mataku tajam memandang wajah cantiknya. Kubumbui senyum tipis.

Yuni meneguk minuman dingin itu. "Kemana?"

Aku beringsut mundur.

"I don't know. Penting kah?"

"Mmmm... Tidak juga"

"So??"

Kami tertawa. Malam itu kami berencana untuk pergi tanpa rencana, besok.

...


Berbekal googlemaps, kendaraan sewaan itu melaju, menembus pinggiran kota, untuk lanjut ke arah pantai di bagian selatan. Lalu berbelok menyusuri jalan yang tak terlalu lebar, menuju satu resort di bukit. Ornamen khas jawa mataraman menyambut kami berdua.

"Kamu pernah ke sini?" tanyaku.

"Belum. Baru kali ini. Mas?"

"Sama"

Senyum manis Yuni kembali merekah. Ah, cantik.

Selepas proses check in, kami segera menuju ke kamar, sebentar saja, untuk kemudian mencari lokasi menikmati sore.

"Kita menginap malam ini?" Tanya Yuni, sesaat setelah kami menemukan tempat duduk, semacam gazebo. Pemandangan di depan kami luar biasa indah, laut dan pantai, dan bentang alam yang sedemikian memukau. Anginnya juga luar biasa kencang. Bisa masuk angin jika terlalu lama di sini.

"Iya" kataku tegas. Tatapan tegasku mungkin tak bisa Yuni lihat, terhalang kacamata hitam. Tapi nada tegasku, kupikir pasti bisa ia rasakan. "Gimana?"

"OK" Yuni tersenyum, sambil manggut-manggut kecil.

Aduh bos, senyum itu, senyum bidadari. Adakah bidadari berambut pendek?

"You got it" katanya. Pandangannya tidak ke arahku, lurus ke pemandangan di depan sana.

Aku tak merespon dengan ucapan. Aku tak tahan.

Kucium pipinya.

Satu kecupan.

Sudah.

Pipinya merona. Yuni tampak malu-malu. Tak berani menatapku, senyum simpulnya bertahan di wajah manis itu.

Cukup basa-basinya. Birahiku tak tertahan.

Kutarik tangan mungil Yuni.

"Ikut aku..." kataku, setengah memerintah.

"Kemana?" Yuni beranjak, tanpa menolak.

"I don't fuckin' know. Penting kah?"

Kami tertawa hampir bersamaan, seiring langkah kaki menjauh dari tempat itu.

Segera kubawa Yuni ke kamar, satu ruangan di posisi ujung. Beruntung, tempat itu terasing dari kamar lain, tak terusik dengan kehadiran tamu lain. Bagian depan kamar dihiasi ornamen bata ekspose, batu alam dan aksen kayu yang tegas. Kulalui saja bagian teras dengan dua kursi itu, kami segera menuju kamar.

Ciumanku mendarat di bibir Yuni sesaat setelah pintu kamar kukunci dari dalam.

Nafsuku minta dipuaskan.

Yuni menyambut pagutanku dengan cara yang tak kalah panas. Permainan lidah yang jempolan.

Iya, dia lebih jago dariku. Aku yang menyerang pertama, aku juga yang akhirnya mengikuti tempo permainan Yuni. Aku dikuasainya dengan mudah. French Kiss renyah, terlampau renyah.

Lenguhan tertahan Yuni lagi kudengar, indah dan merangsang.

"Sssshhh... mmmhh...eehhmm..mmhhmmmemmmm...bbmmemmm..."

Berpadu dengan kecipak suara mulut kami yang bertarung. Lama pergumulan itu, hingga satu dorongan Yuni menjatuhkanku ke tempat tidur. Baru aku sadar, aku sudah bertelanjang dada, sementara jeansku setengah terbuka, zippernya turun, sabuk lepas, menampakkan celana dalam warna putih, juga tonjolan yang tampak mendesak. Entah sejak kapan aku dalam kondisi ini.

Di sisi lawan, kancing di kemeja kedodoran Yuni sebagian besar sudah lepas, hanya itu hasil seranganku.

Yuni meraih celanaku, menariknya sekuat tenaga. Lepas sudah. Berlanjut, diciuminya area sekitar selangkangan, paha juga perut. Dijilati area itu. Ah, geli dan lembut. Dia tampak menikmati, tentu saja aku juga. Aku ingin melihat pemandangan itu dengan jelas, badanku yang terbaring berusaha bangkit. Gagal, Yuni tak membiarkan badanku bangun, kembali dia dorong badanku hingga terhempas.

"Gak usah ikut campur, mas nikmati saja permainanku"

Instruksi Yuni jelas. Aku taat. Kucari bantal untuk menopang kepalaku, sekadar mencari kenyamanan sekaligus spot terbaik menyaksikan aksi perempuan berwajah oriental.

Celana dalamku, perlindungan terakhirku, ditariknya pula.

Kini aku telanjang bulat.

Yuni tampak memandangi penisku yang mengacung. Ada senyum aneh kulihat. Entah senyum bahagia, entah senyum meremehkan. Iya, iya, aku tau punyaku nggak besar-besar amat.

Dia tidak segera menemaniku di ranjang, diambilnya handphone amerika dari tas di ujung dekat pintu. Memencet benda itu beberapa kali. Suara musik terdengar, semakin keras. Musik Hip Hop atau apalah, aku tak terlalu paham. Yang jelas dentuman dan temponya sedang, seperti detak jantung. Diletakkannya benda itu di meja kecil di dekat ranjang. Yuni lalu duduk di ranjang tepat di samping tubuhku yang terlentang, gerakannya halus, seperti perawat yang hendak memeriksa pasiennya.

Di menyibak rambut pendek yang sedikit berwarna kemerahan itu, tersenyum dengan senyuman yang membius, tatapannya indah, tatapan penuh cinta, seakan menelisik setiap sudut mataku. Wajahnya mendekat ke wajahku, kami kembali berciuman, kali dengan gerakan lembut. Lembut dan membuai. Mataku terpejam menikmati momen intens ini.

Luar biasa perlakuan Yuni. Pro.

Adegan itu tidak lama.

Yuni bangkit dari posisinya. Masih dengan pandangan yang semakin nakal, lurus ke arahku.

Yuni kemudian membuka kancing bawah kemejanya. Melepaskan penutup tubuhnya yang lain, satu per satu, dengan gerakan yang teramat menggoda, setengah berdansa menurutku, mengikuti irama musik dari alat pemutar di meja samping.

Waghelaseh.

Bahkan tanpa sentuhan, birahiku meninggi. Penisku berkedut menyaksikan aksi erotis perempuan itu.

Apalagi saat tubuh Yuni tak lagi tertutup satu benangpun. Terpampang dengan jelas keindahan dan moleknya bentuk Yuni. Putih bersih. Bentuk proporsional, masih kencang, mungkin akibat hobi olahraga yang dia tekuni. Payudaranya tampak kencang, bulat menggoda, ukurannya pas, sedang, tidak sebesar punya Ais. Putingnya keras mengacung, indah dan menantang.

Bulu-bulu halus menghiasi liang senggama di bagian bawah, terawat dengan baik. Bentuk mekinya menurutku berbeda dengan wanita lain yang pernah kutemui, ada semacam jengger di sana, warnanya merah muda, pinky. Seksi, tak sabar aku menjamah tubuh indah itu.

Belum selesai aku mengagumi tubuh indah itu, Yuni kemudian menindihku.

Seperti penunggang kuda, Dia naik dengan gerakan yang juga indah, untuk kemudian turun mendekap tubuhku.

Tubuh kami menempel, hangat. Penisku agak sakit, tertahan oleh tubuhnya.

Aksi dimulai. Diciumi dan dijilatinya sekujur badanku. Ujung rambut ke ujung kaki.

Geli dan terangsang hebat aku sejadi-jadinya.

Desahan dan erangan kekeluarkan tanpa tedeng aling-aling.

"OOOhhhgghh.....uughhhh...awwwww.....hhhhmmmmssshhh...."

Coeg.

Aku terangsang hebat, bahkan penisku belum disentuhnya.

Habis sudah aku. Tubuhku bermandikan air liurnya, aku dibuat mandi kucing.

Tubuhku yang lemas akibat aktivitas itu, makin lemas saat mulut Yuni menyasar di selangkangan.

Menjilat.

Menyapu.

Mengurut.

Mengulum.

Menghisap.

Meludahi.

Kembali dicaplok.

Mengulum lagi.

Kontolku merintih, kaku sekeras-kerasnya.

Ah gila. Ini perempuan sudah gila.

Ternyata ada yang lebih gila dari itu.

Jilatan Yuni tak berhenti di sekitar penis, sapuannya lanjut turun ke bawah, ke lubang anus!

Diubek-ubek lubang itu, tanpa jijik.

Diangkat kakiku tinggi-tinggi.

Pantatku jadi bulan-bulanan Yuni.

Aku mengerang hebat saat lidahnya menusuk ke lubang anal. Bagian itu diperawani Yuni, pakai lidah!

Untung perbuatan laknat itu tak berlangsung lama, Yuni kembali menjilati bola pingpong untuk kemudian mengemut penisku, kuluman terakhir kali, sebelum akhirnya bangkit dari posisinya. Bersiap WOT.

Dalam kondisi lemas, aku teringat sesuatu.

Penting.

"Mau pakai kondom gak?" tanyaku.

Yuni menggeleng. Nafasnya kulihat tak teratur, sudah dikuasai birahi tinggi.

"Nggak enak. Kurang berasa. Polosan ajah... " katanya.

WHAT THE...???

Well..., tadi pertanyaan basa-basi juga sebenarnya. Aku tidak pernah membawa persediaan kondom.

Dituntunnya batang keras yang basah itu ke arah liang senggama.

Geli geli hebat saat palkon digesek-gesekkan di sekitar mulut gua. Makin geli akibat tersentuh rumput ilalang yang menghiasi sekitaran, tidak telalu lebat, rapi, halus, lembut, warnanya agak kemerahan, senada dengan warna rambut Yuni.

Sesekali ujung rudal itu menyentuh bagian bibir vagina yang menjuntai, kulit kisut yang entah apa namanya. Hal yang membuat Yuni kegelian, badannya bergetar ringan, lalu desahan dan lenguhan itu keluar tanpa kendali.

"OOOhhhhhh... Aaaahhhhh... Sssshhhh... HHMmmmpp... sssshhh... ooougghhggghh..."

Sembari Yuni memejamkan mata, seakan menyesap nikmat yang ditimbulkan aksi solonya. Aku mengamatinya dengan perhatian penuh. Wajah Yuni makin seksi saat terbawa arus nikmat. Penisku makin kaku, berkedut minta jatah. Tak sabar aku jadinya.

Tiba-tiba ingatanku membuka memori lama, tentang film erotis korea, love lesson. Wajah seksi janda berambut pendek yang tengah beraksi di depanku ini megingatkanku pada sang pemeran utama perempuan.

Wajahnya memerah, meringis, menggigit bibir bawah, mungkin tak kuasa menahan sensasi geli.

Lagu berganti untuk kesekian kali, kali ini aku tau, milik Ariana Grande.

Seakan dikode, Yuni memulai gerakan baru, dimasukkan penisku perlahan. Mekinya sudah basah, memudahkan batang itu menelusup sedikit demi sedikit, masuk inci demi inci. Baru masuk setengah. Yuni seperti bersiap mengambil nafas beberapa kali. Kupikir bakal dimasukkan sekali dorong.

Perkiraanku salah, Yuni malah merubah posisinya lagi, menjilat dan mengulum penisku kembali, meludahinya dengan kasar, mengocok dengan liar, lalu mengulumnya kembali. Gerakannya kasar tapi terukur, penisku seakan dibasahinya lagi.

Seakan tergesa, Yuni kembali ke posisi WOT, mengarahkan mekinya untuk tepat di atas penis basahku. Tubuh Yuni turun perlahan, sedikit lebih cepat dari gerakan awal tadi. Gerakan yang membuat payudaranya ikut bereaksi. Sekali hentakan tubuhnya, akupun berupaya mendorong penisku naik sedikit saja.

Sleppp...

Blesss....

"Aaaahhhhh...." kami melenguh hampir bersamaan.

Masuk kontolku, semuanya. Memenuhi rongga basah itu.

Hangat. Lembut. Enak.

Sempit sekali meki ini.

Ada kedutan-keduta kecil, seperti memijat.

Aduh, gila, enak banget sumpah.

Rasanya benar-benar lain.

Terbaik.

Belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti ini.

Yuni kemudian terkulai menindihku, menciumi wajah, leher, kuping, lalu kembali memberikan french kiss dahsyat seperti di awal permainan.

Tanganku bergerak tanpa komando, meremas payudaranya.

Kencang, ukurannya pas segenggam.

Putingnya keras di satu bagian, sisi kiri. Sisi sebelah masih lunak. Tak berimbang. Aneh sekali.

Setiap kali remasan, aksi ciuman Yuni makin nakal.

Pelan-pelan, tubuhnya bergoyang, seperti mengikuti ritme lagu.

Sensasinya luar biasa.

Kontolku dikocok dengan tempo sedang, tempo pas yang melenakan.

Makin sulit kuremas payudara itu karena badan Yuni yang menempel ketat tubuhku. Terpaksa kupindahkan sasaran ke bagian pantat. Bulat, kencang, ukurannya sedang, tidak semok, tidak seheboh Ais.

Aku sudah kewalahan mengikuti permainan lidah Yuni. Pasrah saja lah.

Goyangan Yuni makin menggila, seiring lagu yang berganti irama, lagu dengan tempo yang tak beda jauh dari lagu sebelumnya, aku tak ingat lagu itu.

Gerakan pinggulnya beraneka macam, kadang naik turun, kadang memutar. Badan Yuni bangkit, tangannya menopang ke dadaku, memainkan putingku di sana.

Aduh geli nggak enak.

"Jangan, nggak enak" kataku, di sela-sela erangan lirih.

Yuni menurut, Tangan mungilnya lalu berpindah, turun ke sekitar perut. Tangan kirinya menuntun tanganku untuk meremas susu yang menggantung.

Siap laksanakan!

Kuremas kedua gundukan kencang itu, imut dan menggemaskan.

Yuni mendesah hebat saat kombinasi sodokan dan remasan mendera tubuh mungilnya.

"Iyesss... Ohhhh... yessss.. hmmmmm... ooh oohh...ohhh... "

Lama kami dalam posisi itu.

Gerakan tubuh Yuni menunjukkan wawasannya yang luas, sedemikian variatif, dengan pose yang baru kali itu kutemui. Pengetahuan sex nya, jauh di atasku.

Saat tubuhnya berbalik, membelakangiku, sensasi yang kurasakan lain lagi. Seakan ditarik-tarik penisku itu, dipaksa untuk melar makin panjang.

Lagu dari pemutar musik telah berganti entah berapa kali, mungkin belasan. Yuni kubiarkan saja berekspresi sesuai yang ia mau, aku tak terlalu ikut campur.

Aneh, penisku seakan dimanjakan dengan servis kelas satu, tapi hingga malam menjelang tak juga kurasakan puncak, aku belum mau crot, belum bisa. Entahlah, aku menduga Yuni punya cara untuk membuatku tetap bertahan selama ini. Dari teknik gerakannya mungkin.

Liang senggama itu sudah luar biasa basah, sempat beberapa kali diusap dengan tisu dan kadang selimut (iya agak menjijikkan menurutku). Yuni tak juga lelah.

"Sini isepin pentilku" perintahnya, untuk kemudian menarik tubuhku, mengarahkan kepalaku ke payudaranya yang putih, tepat ke puting keras warna ungu.

Aku yang sebelumnya rebahan, mematuhi perintah sang putri.

Enak.

Imut.

Puting itu kecil, kenyal.

Tangan kiri masih kubiarkan meremas-remas bukit di sebelah.

Yuni menggelinjang hebat, membuat tubuhnya makin semangat memompa penis.

"Aku keluar lagi..." ucapnya.

Ada cairan deras yang kurasakan, beberapa kali sudah aku menemui sensasi yang sama di pergumulan itu. Sensasi yang tak pernah kutemui di perempuan lain.

Hmmm. iya, aku harus mengaku, tak pernah paham apa itu orgasme wanita. Bagian ini kusimpan untuk cerita di bagian lain, kita kembali ke pergumulan.

Gerakan pinggul Yuni makin cepat. Aku ikut berusaha mengimbangi, mendorong penisku lebih ke dalam saat pinggulnya turun. Momentum bertemunya dua organ reproduksi, menciptakan gelombang nikmat yang menjalar ke seluruh bagian tubuh, energi ragawi yang meletup-letup. Keringat makin bercucuran. Desahan dan erangan memenuhi ruangan itu, beradu dengan musik tempo cepat.

Geli hebat. Aku mau muncrat.

"Keluarin dimana?" tanyaku.

Sesaat tak ada jawaban. Desahan Yuni tak menjawab pertanyaan itu.

"Dalam atau luar?" kembali kupertegas pertanyaan.

"Hmmm...," jawab Yuni. "Dalam. Aku sudah minum obat"

Aku tak perduli kata-kata terakhirnya. Aku fokus ke satu kata di depan. "Dalam".

Sudah tak bisa kukendalikan, sudah di ujung.

Croooorrtttttttt.... cruuttt.... crrrrottt.....

Aku keluar di dalam.

Liang senggama membanjir, spermaku menyembur di bagian dalam.

"OOOOgggghhhhh.........." Mengerang aku tak terkendali. Kupejamkan mata. Menikmati momen indah sore itu. Fokus di satu titik senggama, tak bisa kudengar suara dan hawa sekitar. Hanya nikmat dan nikmat, dan nikmat.

Badanku lemas, ambruk.

Yuni turut ambruk, masih dalam pelukanku.

Badan kami terkulai, tanpa daya. Terhempas di ranjang, dalam suasana awal malam yang dingin, dengan suasana kamar yang tak terlalu terang.

Indra penciumanku pulih sedikit demi sedikit. Aroma rambut Yuni, wangi dan menggoda. Cantik, wangi, tubuh indah, dominan di ranjang. Beruntungnya aku.

...


Hari sudah pagi, kami baru saja selesai sarapan.

Mencoba menikmati suasana dari teras, berdua. Yuni memakai kaus putih, celana pendek. Merokok.

Iya, baru sekali itu kulihat dia merokok.

Sempat menawariku berbagi rokok, kutolak halus, kubilang aku sudah berhenti.

Kuamati noda di leher Yuni, sedikit menjorok ke punggung. Tattoo. Yuni bertattoo. Kucing dengan sedikit ornamen bunga.

Aku mengingat datu foto di meja kerjanya kemarin, ada foto Yuni yang tenag tersenyum menggendong kucing dan anjing.

"Kedua anakku" katanya, beberapa saat setelah kutanyakan tentang foto itu.

Yuni kembali menghisap batang tembakau terbakar itu. Asap mengepul tak lama kemudian. Aromanya kukenal, rokok murahan, favorit sejuta umat.

"Anjing itu milik mantan suami, memilih tinggal denganku daripada ikut majikannya. Kalau kucing entah dari mana, tiba-tiba saja datang ke rumah, langsung akrab sama si anjing," ucapnya.

Aku tak telalu paham soal dunia binatang. Tak pernah benar-benar berniat memelihara juga, merepotkan, tak bermanfaat. Setauku anjing dan kucing tiak bisa akrab. Kudengarkan saja cerita Yuni.

"Aneh ya, kucing dan anjing bisa berteman, Berbeda tapi bersama. Berbeda tapi bersatu" terangnya lagi. "Suku, latar belakang, agama, warna kulit, sifat. Selalu ada perbedaan di semua hal. Melekat begitu saja. Unik dan kodrati. Aku tak pernah menganggap itu sebagai sekat, ragam saja. Seperti pasangan. Kemarin dengan si anu, lalu si itu, lalu dia, sekarang aku di sini, bersama pak ****** ******* (nama lengkap beserta gela akademikku)"

Aku tertawa dibuatnya. Yuni hanya tersenyum, disesapnya kembali benda berasap di jarinya yang mungil.

Setiap kalimat yang diucapkan wanita berkulit putih itu selalu bernuansa sepi. Ada kesepian yang menghinggapi kehidupan Yuni, menemaninya bertualang ke belahan bumi utara beberapa tahun lalu, mungkin juga sejak dia kecil. Entah, aku tak mau tau. Yang jelas, posisiku semakin jelas.

Aku hanya satu stasiun yang dilewatinya, berjajar di antara stasiun-stasiun lagi. Yuni hanya singgah sementara, mungkin terlalu sebentar, lalu berpindah ke tempat lain. Jelas sudah bentuk hubungan kami. Yang aku tidak tau, bagaimana masa depan hubungan itu. Satu hal yang baru kuketahui saat mengalaminya langsung, beberapa minggu ke depan.

....

Liburan singkat kami di penginapan bukit itu ditutup dengan pergumulan di ranjang jelang siang. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, hanya mencoba beberapa posisi, tidak seperti semalam saat aku "pasrah-mlumah". Tapi satu yang kuingat, reaksi Yuni memang tidak sepanas malam tadi, mungkin WOT memang gaya favoritnya.

Crot di mana? Di dalam pastinya.

Yuni sempat menawariku untuk bermain anal. Kutolak mentah-mentah, jijik, aku tak suka. Penolakan yang di kemudian hari aku sesali.

Siangnya kami berangkat pulang. Sempat singgah di beberapa titik wisata, sekedar untuk menghabiskan waktu. Menjelang maghrib, kami telah sampai di rumah Yuni, daerah pinggiran kota.

Seharian ini, kami banyak berdiskusi soal interaksi antar manusia. Lebih khusus soal laki-perempuan.

Ada perspektif baru yang dia bagi untukku, satu hal yang akan mempengaruhi cara pandangku hingga kini. Menurutnya, atribut setiap manusia harus dilepaskan jika berbicara soal bercinta. Atribut status, umur, anatomi tubuh, profesi, bahkan gender. Bahkan jenis kelamin. Laki-perempuan tidak relevan dengan kebutuhan biologis itu. Faktanya, ada perempuan yang juga tertarik dengan perempuan. Laki dengan laki. Spesifik urusan seksual dan bisa diterapkan secara umum untuk segala bentuk interaksi sosial, bagi Yuni keterbukaan adalah kunci, komunikasi dua arah menjadi penting dan fundamental. Apa yang kita suka, apa yang kita tidak suka, harus disampaikan dengan gamblang, rinci, detail ke pasangan. Demikian sebaliknya. Lalu dicari kompromi-kompromi. Mana yang bisa dipraktekan, mana yang tidak. Fantasi tidak boleh disimpan, justru harus dibuka lebar-lebar. Hal itu yang membuka arah eksplorasi.

Pengalaman Yuni dengan beberapa orang (iya, dia mengaku sudah pernah ML dengan belasan orang berbeda latar belakang), sebagian justru malu untuk mengakui fantasi. Dan benar, dalam upaya eksplorasi diri itu, Yuni menemukan bahwa dirinya adalah sosok dominan yang ingin mengatur pasangannya. Suka mendominasi, tidak suka didominasi. Simpel.

Yuni mengaku, baru kali ini bercinta dengan suami orang.

Di halaman depan rumah itu, dua makhluk dari jenis berbeda tampak girang menyambut sang tuan rumah. Senyuman dan lambaian Yuni melepas kepergianku. Bibir tipis, senyum manis, wajah cantiknya, tubuh mungilnya. Ah aku pria beruntung.

Beruntung bisa mengenalnya.

Beruntung bisa menikmati tubuhnya.

Dari kaca spion, kulihat Yuni tampak riang menyambut kedua anak berbulu itu, si kucing dan si anjing.

....

Hari itu adalah kali terakhir aku dan Yuni bisa bersama, beberapa bulan berikutnya, pola hubungan kami tidak sedekat itu. Sebatas hubungan antar mitra kerja. Beberapa kali ajakanku untuk bertemu ditolaknya halus. Pernah sekali kami makan malam, itupun rame-rame dengan beberapa pejabat penting. Tidak pernah lagi ada kesempatan untuk berbincang santai dengannya. Entah kemana hilangnya sosok Yuni yang kukenal di weekend lalu, seakan sosok itu lenyap, menyisakan sosok baru yang berbeda. Bisa dibilang ini keberuntungan juga, aku tak bisa membagi hati ke tiga wanita. Hati mungkin bisa, waktu yang sulit.

Yuni terkesan menghindar. Aku menduga dua kemungkinan.

Pertama, mungkin memang demikian caranya memaknai hubungan kami. Dekat lalu memuncak saat bercinta, lalu stop. Berhenti, dicukupkan, tidak dimasukkan hati, sekadar jadi memori. Berpisah tanpa pamit.

Kedua, mungkin dia kecewa, ngewi ku nggak enak.

Coeg.

...bersambung...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd