Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 25 - Buntung Beruntung


"Kayaknya kita butuh liburan bareng deh."

Ais mengucapkan kalimat itu dengan bertopang dagu. Kami duduk berhadapan, tapi pandangannya tidak ke arahku, menerawang ke arah lain, entah apa yang sedang dilihatnya.

Kopi di cangkirku sudah habis. Teh tarik di sisi sebelah juga tinggal separuh. Masih ada sisa remahan roti bakar di tengah meja. Tanganku meraih satu bungkus cemilan renyah, persis di samping piring roti itu.

Mulutku berusaha mencerna kerupuk berukuran mini itu. Sebagaimana otakku yang berusaha mencerna arah omongan Ais. Jujur saja, aku kesulitan menerjemahkan maksud perempuan cantik itu.

"Krausss.... krausss.... "

Aku terus meyemil, memecah keheningan tempat ngopi terbaru kami, yang posisinya tak tepat di pinggir jalan, sedikit masuk ke area dekat persawahan. Angin sore melengkapi suasana cozy yang kurasakan sejak pertama menjejak warung sederhana itu.

Posisi duduk Ais tak berubah. Mungkin dia menunggu respon dariku.

"Bang, minta air putih, hangat ya," pesanku sembari mengacungkan jari pada pria kurus di dekat tembok, penjaga warung.

"Ok boss." Jawabnya.

Posisi tubuh Ais berubah, pandangan dialihkannya ke tempat lain, kali ini ke jari-jarinya di atas meja yang sibuk memainkan kunci motor.

"Liburan gimana maksud Mbak?" Aku segera menanyakan hal itu. Pikiranku tak sanggup menerjemahkan kalimat pertama tadi jika tanpa petunjuk lain. "Ke Bali nginep tiga hari gitu maksudnya? Atau gimana?"

"Ya liburan aja, istirahat dari rutinitas."

"Rame-rame gitu?"

"Ya berdua lah."

Hmm... Ais minta liburan. Berdua.

Sulit.

"Bulan depan suamiku meeting di Jakarta, seminggu." lanjut Ais.

Oh, aku paham sekarang.

Karena ada kesempatan itulah, Ais mendapat ide liburan. Baru ide kasar, ide awal, kurasa belum ada detail yang ia siapkan.

Obrolan kami sejak tadi memang tak terlalu banyak menyoal hubungan yang kami jalani ini. Sebagian besar hanya di sekitar urusan kantor, humor receh, dan meng-ghibah teman-teman yang kami kenal. Obrolan ala-ala sahabat. Ini jadi salah satu faktor yang membuatku tak bisa melepaskan Ais. Komunikasi kami terlampau intens dan dekat, aku kadung nyaman saat berinteraksi dengannya. Bagi sosok gagap bergaul sepertiku, hal ini tentu jarang ditemui. Bahkan komunikasiku ke istri, tidak seakrab ini. Lebih dari itu, sejak terbongkarnya aib kemarin, keakraban kami justru meningkat.

Aku bahkan pernah berucap padanya bahwa dalam kejadian kemarin sebenarnya aku turut punya andil. Keputusan untuk menyingkir dari Ais dulu, kurasa menjadi pemicu bagi Ais untuk mencari pria lain. Ais kesepian, aku tahu itu, dan aku abai. Bisa dibilang, aku ikut bersalah. Tentu saja hal itu tidak kuyakini benar, sekadar untuk meringankan perasaan bersalah Ais, membagi beban kesalahan. Juga, berusaha menempatkan kami dalam satu sisi yang sama, menegaskan bahwa Ais tidak sendirian, ada aku di pihaknya yang siap membantu. Tentu aku tak ingin ia terpuruk berlarut-larut. Ada hal yang masih kubutuhkan dari Ais, hal yang yang tidak bisa diberi istriku.

Bahwa teman untuk berbagi, seberapapun brengseknya orang itu, tetaplah patut dihargai, karena bersedia menampung segala sesuatu yang kita beri. Berbekal keyakinan itu, jadilah kuposisikan diriku di tempat yang Ais butuhkan saat ini, menjadi teman Ais yang siap menampung segala keluh kesah dan frustasi yang dia alami. Tanpa protes, tanpa menyalahkan, kadang tanpa solusi, kadang malah menambah emosi. Kusediakan diriku. Cukup diam dan dengarkan.

Ah, ternyata perempuan hanya butuh orang seperti itu.

"Wah kesempatan ya, hehehe... " kataku, pura-pura bego.

Ais merajuk. Pandangan gemasnya segera tertuju ke arahku.

"Mas tuh yang sibuk. Susah bener punya waktu buat aku" ucapnya. Bibirnya agak maju, mirip bebek. Manja betul.

"Ya maap. Tim ku baru, banyak yang perlu diurus lah. Kiri kanan atas bawah..."

"Bodo..." katanya, memotong penjelasan ala kadar yang kuberi. Diseruputnya teh tarik yang masih tersedia.

Entah kenapa, adegan saat mulut Ais menghisap sedotan itu tampak sensual.

Bibir Ais mencaplok sedotan. Pipinya kisut saat menghisap silinder plastik berongga itu.

Otak mesumku bereaksi.

Enaknya disedot Ais. Enaknya menjelajah liang basah dan lembut itu.

Aceng seketika.

Oh God...

"Sekarang aja yuk..." kataku tiba-tiba.

Ais tampak kaget.

"Apanya?" ucapya.

...

Aku kepayahan. Posisiku sudah nyaman sebenarnya, duduk nyender di kursi kemudi. Nafas kucoba atur baik-baik, sulit. Nikmat ini tak terbendung.

Tanganku sesekali membelai kepala Ais, kadang menjewer kupingnya yang masih tertutup hijab warna hijau muda, kadang kuremas payudara wanita itu yang juga masih terlindungi baju kerja.

Ais sedang sibuk mengoralku, di dalam mobil. Menyervis dengan gerakan liar, nakal, dan sedikit kasar.

Sudah hampir seperempat jam aku di posisi ini.

Segala macam jurus dikeluarkan sang perempuan berkulit putih.

Menjilat.

Menghisap.

Mengemut.

Mengulum.

Menggelitik.

Menyedot.

Lidah itu berkeliaran tanpa kekang.

Mengamuk.

Menjangkau setiap bagian.

Membaluri batang kejantananku dengan cairan dari mulut nakalnya.

Membuat sang pusaka makin basah, makin licin, makin keras.

Aku dibuai kenikmatan yang melenakan.

Mari kita akui saja, tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya disepong perempuan cantik nan binal, yang setiap gerakannya penuh dengan penghayatan. Aliran penghayat paling mulia.

Semua serpihan surga ini terjadi karena kebetulan, mungkin lebih tepatnya kombinasi antara kesialan dan kemujuran.

Kami tadinya berencana ngamar di satu penginapan terdekat. Ngamar adalah satu-satunya terjemah yang bisa kupahami dari kata-kata Ais di warung kopi sebelumnya.

Sayang, sial, tempat yang kami tuju sudah penuh. Wajar saja, akhir minggu di masa liburan sekolah, tidak ada hotel kosong.

Singkat cerita, kami putuskan untuk batal saja. Kami sepakat untuk mengakhiri pertemuan sore ini.

Kami sengaja satu mobil, jaga-jaga jika memang harus menyambangi tempat-tempat yang tak direncanakan. Sementara, mootor Ais masih terparkir di kantor.

Sepanjang jalan menuju kantor Ais, pikiranku butek. Tanggung sekali, pikirku. Harusnya bisa kutemukan cara lain. Saat itulah kulihat lampu indikasi BBM menyala, mobil ini minta minum. Segera kubelokkan ke SPBU terdekat.

Antiran mengular di Pom itu. Sebagian besar adalah angkutan barang, kendaraan yang wajar ditemui di jalan antar kota.

"Aku ke toilet dulu mas," kata Ais, mungkin bosan karena harus menunggu antrian. Sedari tadi, ekspresi Ais tak bisa kubaca jelas, kupikir dia kecewa karena batal kugauli, batal kusemprot. Mungkin saja kan.

"Ya. Nanti kujemput di sana," kutunjuk satu tempat parkir di pojokan, sedikit tertutup oleh gedung pengelola, dekat dengan toilet yang berjajar.

Ais tak menjawab, dia melengos pergi.

BBM terisi, mobil kuparkir di tempat yang kujanjikan.

Ais belum juga kelihatan di tempat itu. Apa mungkin, saking bete-nya, dia kabur? pakai ojek atau becak mungkin?

Prasangkaku tak terbukti, sekian menit kemudian Ais tampak keluar dari toilet.

"Jlekkkkhh..." suara pintu ditutup Ais.

"Aku mens" katanya kemudian.

Ah, bisa jadi sikap aneh Ais sehari ini akibat hormon yang tengah bergejolak, konon satu hal yang harus dimaklumi para kaum pria. Pun kebetulan, seandainya kami jadi bergumul hari ini, pastinya bakal Zonk.

"Mbak bawa pembalut?"

"Iya. Kan memang selalu pakai. Mau lagi dapet atau nggak, tetep pakai."

"Emang udah jadwalnya ya?"

"Nggak tahu, jadwal mens ku gak pernah teratur kan. Mungkin itu sebabnya aku belum bisa hamil sampai sekarang."

Aku tak menduga arah pembicaraan basa basi itu akan berakhir di topik itu. Aku tidak suka topik itu.

"Mas..." ucapnya.

"Ya"

"Aku mau ini." Tangan Ais meraih bongkahan di selangkanganku. Singa tidur yang masih tertutup jeans.

"Hah? sekarang?" kaget aku. Memastikan kebenaran ucapan Ais kadang butuh upaya ekstra, tapi ucapan tadi terlalu jelas, terlalu frontal.

"He em... " Ais mengangguk ringan beberapa kali. "Mau kuemut gak?"

Wah, ya jelas mau donk cantik.

...

Badanku lemas, manuver mulut, bibir dan lidah Ais makin menggila. Di luar, langit semakin gelap, sebentar lagi malam.

Tempat itu spot yang cukup tersembunyi, mungkin fungsinya memang bukan sebagai ruang parkir, tidak ada garis parkir, tidak ada lampu penerangan juga. Samar dan jauh dari jalur lalu lalang. Mengamankan kami yang sedang bermesum di dalam mobil. Keberuntungan.

Selangkanganku basah kuyup.

Teknik permainan Ais memang tiada tanding. Aku tak mengerti cara kerjanya. Penisku dibuat tegang, dimainkan dengan tempo naik turun, dengan gerakan yang seakan acak. Nyatanya, setiap aksi itu selalu membawa sensasi baru. Kadang membuat penisku tegang maksimal, meninggi, memaksa birahiku memuncak, bersiap memnuntahkan lahar. Lalu gerakan lain, membuat api itu padam, menurunkan tensi, menjaga syahwatku tidak kebablasan, membatalkan atau tepatnya menunda ejakulasi.

Begitu terus, berulang-ulang, hampir setengah jam.

Entah dari mana dia belajar teknik itu. Sempat pikiran jahat terlintas, mungkin diajari buaya sebelumnya.

Aku kepayahan. Aku mengaku kalah. Tak kuasa lagi kutahan semburan itu.

"Mbak..., aku mau keluarrrr.... "

Ais melepaskan hisapannya, kini tangannya mengocok batang kakuku.

"Keluarin di mulutku aja ya" ucap sang lonte.

Mulutku tak menjawab. Tanganku yang menjawab. Dipaksanya kembali kepala berhijab itu untuk mencaplok kontolku yang memerah. Ais tak melawan, memang itu yang ia inginkan.

Ngaceng maksimal. Hangat, basah, nikmat. Semprotan sudah diujung. Kupejamkan mata.

"Cruuuutt....crruuuttthhh...cruuutthhh.....criiiitt...crtttuuuutt..."

Keluar sudah.

Nikmatku di puncak tertinggi.

Lepas sudah beban dunia.

Pejuku menyembur di mulut Ais. Memenuhi mulut itu dengan cairan cinta dengan debit dan volume yang luar biasa.

Ais tampak kepayahan menampung, sebagian merembes keluar, menetes di sekitar paha, celana, dan sekitaran lokasi pertempuran.

Segera diraihnya beberapa lembar tisu.

Ais memuntahkan sperma yang kusemprotkan tadi di lembaran tisu.

"Gak ditelan sayang?" tanyaku, terengah-engah, berusaha mengatur nafas.

Ais menggeleng.

"Kewanyakanh... Akoo mauw munthahhh..."

...bersambung...
 
Makasih up date nya hu.Via ada lg g hu entar? :adek: :genit:

Wah ada fansnya Via.

Cuma sekali itu suhu. Kami memang sahabatan, jadi ya nggak nyari2 juga. Gak baper juga. Lagian sekarang kami tinggal di tempat yang berjauhan. Beda kota, beda provinsi. Bertemu pun jarang, hanya setahun sekali. Justru anak2 kami yang sering video call-an.
Tidak pernah ada lagi pikiran untuk ML dengan Via.

Ya, kecuali kalau khilaf.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd