Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Komba-2

McDodol

Semprot Holic
Daftar
6 Aug 2012
Post
340
Like diterima
188
Bimabet
KOMBA-2 (Keluarga 'Open-Marriage' Baru-2)
oleh: McD (McDodol)

NB: no 'SARA', it's only a fictitious story emerged from my
dirty mind.

Cerita ini lanjutan dari cerita terdahulu
'KOMBA' yang juga lanjutan dari
'Satu Hilang... Satu datang' -

Tapi dapat dibaca tersendiri tanpa ada gangguan yang
berarti.


Bagian 1

Dido sambil menyandang keker digital-nya yang masih baru, menyusuri tepian pematang padang rerumputan yang menghijau. Lahan ini dahulunya adalah sawah, tetapi sekarang tanahnya telah mengering serta mengeras karena sudah lama tidak mendapatkan pasokan air lagi. Beruntung bukan tanaman ilalang yang tumbuh disana tetapi keburu keduluan bertumbuh subur rerumputan yang tebal dan menghijaukan lahan yang lumayan cukup luas itu.

Sejenak terhenti langkah-langkah kaki Dido. Dengan heran Dido menatap dikejauhan didepannya, disekitar tempat yang terletak ditengah-tengah lahan rerumputan itu. 'Sedang ngapain tuh anak... berdiri dibelakang seekor kerbau betina yang sedang diangonnya itu?', Dido bertanya-tanya didalam hatinya. Ya... bagaimana tidak mengherankan, anak lelaki yang menurut perkiraannya baru berumur sekitar 14 tahunan itu sedang berdiri dengan tangan kirinya mengacung keatas dan... eh... apa pula yang ada dalam genggaman didalam telapak tangan kirinya itu. Oh... he-he-he... rupanya sedang menggenggam HP yang diarahkan pada pertemuan antara bagian belakang kerbaunya dan bagian depan tubuhnya sendiri. Sedangkan pinggul anak lelaki tanggung itu sedang gencar-gencarnya bergerak maju-mundur. 'Buset... deh! Kirain lagi ngapain...? Ternyata... rupanya tuh anak lagi 'gituin' kerbaunya sendiri! Kenapa pula pakai direkam segala?!'.

Buru-buru Dido merunduk dan kedua lututnya menjejak diatas tanah yang sedang dipijaknya. Dengan cepat Dido mengenaksn keker digital-nya didepan kedua matanya dan diarahkan kesana ketempat dimana kegiatan 'bestiality' yang sedang berlangsung itu. Setelah disetel seperlunya, barulah keker digital itu memberikan gambaran yang sangat jelas sekali, seakan kegiatan itu berlangsung pas didepan matanya.

(NB: bestiality = kegiatan ngesek seseorang dengan hewan)

'Wow... lumayan besar dan panjang juga penis anak tanggung itu... pas deh... untuk 'jatah' si kerbau betina yang jadi 'sparring partner' ngeseks-nya itu', Dido mengomentari dalam hati kegiatan yang sedang berlangsung itu. Tak sampai hati Dido merekam semuanya itu... biarlah itu menjadi rahasia dua makhluk itu. Yang pasti sang kerbau betina pastilah 'pandai' menyimpan rahasia itu, entahlah dengan si anak lelaki tanggung itu, kecuali... kalau memang 'urat malu'-nya sudah putus, he-he-he...

Dengan merunduk-rundukkan tubuhnya rendah-rendah, Dido mengambil arah kekanan menjauhi tempat itu, menuju ke satu rumah gedung dikejauhan nun disana, jauh jaraknya dari tempat dia berada sekarang.

***

Akhirnya sampai juga Dido dirumah kakeknya, Dartowan namanya. Rumah ini masih saja lengang dan sepi seperti kemarin ketika Dido pertama kalinya menjejakkan kakinya disini. Dido merenggangkan badannya yang sekarang baru terasa pegal-pegal, ternyata berjalan sambil merunduk-rundukkan badannya tadi itu cukup membuat penat sekujur tubuhnya. Dido menegakkan lagi tubuhnya dan berbalik badan...

"Oh My God...!", seru Dido kaget tiba-tiba dan melompat mundur kebelakang. Banyak kejutan yang dialaminya hari ini. "Aduh... mak! Bikin kaget saja...!". Bagaimana tidak kaget... didepannya telah berdiri seorang anak gadis manis tanpa suara yang kedua tangan mungilnya menjulur kedepan sambil memegang sesuatu dikedua tangannya itu. "Aduh dik... kakak jadi kaget sekali... kok diam-diam saja sih...?". Diperhatikan benda yang tengah disodorkan padanya ohhh... bukankah itu dompetnya? Kok bisa berada di tangan anak gadis ini?

"Ketemu dimana dik... dompet itu?", tanya Dido lembut setelah dengan cepat menipis rasa kagetnya.

"Maafkan Dina oom... si oom jadi kaget begitu... hi-hi-hi...", kata gadis itu dengan suara serasa merdu sekali di telinga Dido, yang ternyata bernama Dina itu sambil menahan tawa yang tertahan di kerongkongannya... khawatir si 'oom'... tersinggung hatinya. "Dompet itu tergeletak diatas tanah didekat pohon Ketapang sana", jelas Dina perihal penemuan dompet itu. Ya... tempat dimana Dido memergoki anak lelaki tanggung itu dari kejauhan.

"Aduh neng geulis... jangan panggil aku dengan sebutan 'oom' dong, kakak masih berumur 18 tahun lho... jadi belum pantas dipanggil dengan kata 'oom'... kan? Sedang dik Dina kan masih berumur 12 tahun ya?", kata Dido asal tebak saja sembari sebelumnya minta diralat panggilan terhadap dirinya.

"Bukannya 'masih' oom... eh kak", kata Dina dengan suara merdu. "Tapi... 'sudah' berumur tig... eh... empat belas kurang kok...".

"Itu sih... namanya tiga belas lebih neng... belum genap empat belas tahun dong...", kata Dido sedikit protes sembari tangannya mengambil kembali dompet yang ada di tangan lentik gadis itu. "Terima kasih ya dik sudah bersusah payah mengembalikan dompet kakak... adik sungguh seorang anak gadis yang sangat jujur sekali". Bagaimana tidak bergejolak gembira hatinya, wong... semua asset harta benda miliknya semua ada didalam dompetnya itu. Kelak dia harus lebih berhati-hati lagi dengan dompetnya itu... jika memang tidak ingin sengsara nantinya...

"Ya sama-sama... terima kasih kembali oom eh... kak", jawab Dina tersenyum. "Tapi... si oom eh... kakak yang salah eh... tidak ding... kakak keliru menerka umur Dina... yang benar adalah empat belas kurang...", jawab Dina pasti. "Orang kata... kurangnya cuma seminggu lagi... kok", kata Dina tetap bersikukuh mempertahankan pernyataannya.

"Iya deh... dik", kata Dido lembut mengalah serta buru-buru mengeluarkan BB-nya sembari mengetikkan sesuatu catatan pada BB itu. "Jadi dik Dina akan berulang tahun yang ke-empat belas nanti pada tanggal 10 mendatang... iya kan?", tanya Dido kembali.

Rupanya diantara mereka berdua, kekakuan suasana telah mencair seketika.

"'Tul... 'ner... 'kul... 'nger... hi-hi-hi...", jawab Dina sembari berkelakar ceria.

"He-he-he...", Dino ikut-ikutan tertawa tanpa tahu makna perkataan anak gadis itu. Seketika Dino sadar akan dirinya dan bertanya pada anak gadis itu. "Pantun itu artinya apa toh... kakak kok tidak mengerti sih? Maklumlah kakak kan tidak bersekolah disini...".

"Ini bukannya pantun oom... eh salah lagi deh... kak...!", kata Dina yang rupanya rasa canggungnya belum surut-surut juga. "Itu cuma kelakar diantara teman-teman Dina ketika berada diluar kawasan sekolah kok... artinya... tapi jangan tersinggung ya... kak", jelas Dina yang masih merasa canggung saja. "Itu artinya... artinya yaitu... itu adalah betul dan bener tapi kalau kena pukul pasti kelenger... hi-hi-hi...", kata Dina mulai ceria kembali.

"Ha-ha-ha... bisa saja kamu...", Dino ikut-ikutan tertawa tapi kali ini dia tahu apa yang sedang ditertawakannya. "Kalau begitu kita berkenalan dulu dong", kata Dido selanjutnya seraya menyodorkan tangan kanannya mengajak Dina untuk bersalaman kenal, yang disambut dengan jabatan tangan mungil Dina.

"Dido...".

"Aku Dina kak...".

"Sudah tahu kok...", jawab Dido santai.

Hening sejenak... keduanya telah ber-inisiatif sendiri, mengambil kursi masing-masing (memang ada beberapa kursi didepan beranda rumah sunyi itu) dan mengatur kursi-kursi itu saling berhadapan dan duduk diatasnya. Tidak terlalu dekat sih... kira-kira berjarak sekitar 2 meteran.

Tiba-tiba Dina memecah keheningan diantara mereka dengan berkata. "Lucu deh kak... tadi dekat pohon Ketapang yang rindang disana itu... melihat cara kakak tadi disana berjalan sambil mengendap-ngendap... bagaikan nyemot yang sedang belajar berjalan... hi-hi-hi...", kata Dina sambil mengikik tertawa dan segera menutupi mulutnya dengan telapak tangan mungilnya supaya suara tawanya tidak terlalu keras terdengar (NB: nyemot = monyet).

"Masak sih berani ngeledek yang lebih tua-an sih... kurang ass... eh... enggak kok!", Dodi membungkamkan mulutnya untuk sementara.

"Bercanda... kak, lagi pula... kita kan masih dalam satu generasi lho", jawab Dino mulai bernada serius.

"Generasi apaan?", Dido bertanya dengan heran.

"Ya 'generasi belasan' lah... masak sih 'generasi tua'... gitu lho", jawab Dina serius.

"Iya juga sih...?", akhirnya Dido menjawab dengan singkat.

Hening sejenak... kemudian tiba-tiba Dido dikejutkan lagi oleh seruan agak keras yang keluar dari mulut Dina yang mungil.

"Hayooo... tadi kakak mau ngomong kata 'asem' ya...", tanya Dina spontan. "Orang Dina sudah mandi kok tadi pagi... jadi tidak asem lagi dong...!".

"Lha apa hubungannya 'asem' dengan 'mandi'...?", komentar Dido dongkol.

"Mana Dina tahu...?! Mungkin 'hubungan'-nya jatuh disana ngkali... dekat pohon Ketapang itu hi-hi-hi...", lanjut Dina lagi.

Dodi yang terpojok hanya bisa nyengir saja dan berpikir keras untuk membalasnya... tidak pakai lama sih... 'Nah ini dia yang bakalan gadis belia ini akan susah menjawabnya, he-he-he...', sebersit ide yang dianggapnya cemerlang oleh Dido muncul seketika di benaknya.

Dina yang sedang asyik menekuni wajah ganteng Dido, menjadi tak mengerti arti senyuman Dido itu. "Kok kakak senyum-senyum sendiri sih?", Dina bertanya heran.

Spontan Dido berkata dengan bersemangat. "Nah... ketahuan ya...! Kamu tadi disana lagi ngintipin tuh anak lagi bercengkrama dengan kerbau-nya ya... ha-ha-ha...", kata Dido sambil tertawa mengakak lepas.

Tapi yang sedang ditertawai Dido malah menjawab dengan santainya, "Keliru lagi kak... hi-hi-hi... disana itu bukan anak... melainkan kakak lelaki Dina kok... dia sudah berumur 15 tahun lebih... hi-hi-hi...".

Kagum juga Dido melihat ketenangan Dina menghadapi sindirannya. Secara serampangan Dido melanjutkan tanpa pikir panjang lagi. "Kalau begitu... Dina sudah di-'keboin' ya... sama kakaknya...".

Tertegun seketika Dina mendengarkan perkataan Dino yang sembrono itu. "Iiih... kak Dido... kok ngomongnya begitu sih...!", jawab Dina mulai sewot.

Sekarang malah berbalik justru Dido yang tertegun menyadari perkataannya yang super sembrono itu. Dengan cepat Dido menutupi mulutnya dengan telapak tangan kirinya dan seketika disambung dengan gerakan cepat tangan kanannya yang menampar keras punggung tangan kirinya. <Plakkk...!> <plakkk...!>, terdengar sangat keras sekali di telinga Dina.

"Kok mukulin diri sendiri sih... kak?", kata Dina terkejut mendengar dan menyaksikan ulah aneh Dido itu.

"Maafkan kakak... Din, kadang mulut kakak ini suka nyerocos tanpa dipikir dahulu...", kata Dido memelas minta dimaafkan.

"Ya... sudah deh... tapi suara keras itu sungguh mengagetkan jantung Dina... lho", kata Dina itu sambil merapatkan telapak tangan kirinya yang terbuka menempel ketat pada dadanya... akibatnya... terlihatlah bahwa ternyata... dada itu lumayan menonjol...

Tertegun Dido menekuni dada Dina itu... rupanya tatapan mata Dido jadi terpaku disitu...

Dina yang jeli dan cerdas segera membuka pembicaraan lagi sambil berdehem keras memecah konsentrasi pandangan mata Dido yang genit pada dadanya itu. "Hehh-mmm...! Hehh-mmm...! Hai kak... kalau lagi ngomong, pandangi mata lawan bicaranya dong...!".

Gelagapan Dido menjawabnya. "Sorry... Din, kakak tidak menganggap Dina sebagai lawan bicara kok... cuma sebagai teman bicara... lho", jawab Dido berkelit karena telah 'tertangkap-basah'.

"Kalau mau melihat susu Dina... bilang saja dengan baik-baik... tidak apa-apa... kok", kata Dina senyum-senyum dengan santainya.

"Ah... tidak kok...", jawab Dido singkat karena risih dan malu.

"Yakin deh... Dina tidak akan marah... Dina maklum kok...", kata Dina yang nadanya sekarang berlagak dewasa.

"Ya... boleh deh...", jawab Dido harap-harap cemas... penisnya seketika dialiri darah dengan deras dan... menjadikannya tegang sempurna. Horny deh dia sekarang jadinya.

"Boleh apanya...? Kalau ngomong yang jelas dan mudah dimengerti Dina dong... jadi bingung nih, yang dimaksudkan kakak itu apa siiih...? Tidak usah takut-takut... kan Dina tadi sudah bilang tidak akan marah...", ujar Dina pura-pura tidak mengerti sambil tersenyum tenang, masih saja dengan lagaknya seperti wanita dewasa.

"Itu lho...", kata Dido berhati-hati. Setelah menghirup napas yang dalam, kemudian menghembuskannya spontan berupa satu kalimat tanya yang mantap. "Boleh ya... kakak melihat susunya Dina... kan sudah diijinkan lho... tadi", tanya Dido 'to the point'.

"Emangnya... kakak mau nenen yaaa...? Kan sekarang sudah gede...! Tidak boleh! Hi-hi-hi...", jawab Dina tenang dan diikuti dengan kata terakhirnya yang bernada tegas disambung dengan tawanya yang renyah.

Mendengar itu mendadak Dido tertawa terpingkal-pingkal. "Ha-ha-ha...! Kurang asseeem...! Ternyata aku bisa dikerjain juga sama anak kecil...!".

Dina yang masih tetap saja bersikukuh dengan usianya mulai melancarkan protes. "Aku bukan anak kecil lagi kak... aku sudah berumur 14 tahun kurang sedikit saja kok...!". Lanjutnya lagi, "Sudah ah... kak, jangan ngomongin yang begituan ya... ingat lho... kita kan baru saja berkenalan...".

"Setuju...", jawab Dido singkat dan tegas.

Selanjutnya... jadilah mereka mengobrol ngalor-ngidul dengan asyiknya tanpa menghiraukan waktu...

***

Hari tanpa terasa telah menjelang sore, langit pun makin meredup saja.

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh senandung lagu yang dilantunkan dengan suara merdu oleh seorang wanita ayu yang kayaknya sih tidak terlalu tua... yang herannya... kok dekat sekali dengan mereka yang sedang duduk-duduk santai sambil mengobrol itu.

('Marilah Kemari' Ciptaan: T.t.k *us**)

Marilah kemari... hei hei oh kawan...
Aku lah disini... hei hei oh kasih...
Marilah bergembira... bersama-sama...
Hilangkan hati... duka lara...

Boleh berdua-duaan...
Asal dalam lingkaran...
Asal jangan pergi berduaan...
nenek bilang itu berbahaya...

Aaha... aaha... aaha... aaha...


Kemudian muncullah sesosok tubuh wanita...

'Oh... mbak Lestari toh rupanya... ngagetin aja...!', ngedumel Dido kesal dalam hatinya.

Benar, itu senandung suara bu Lestari (nama lengkapnya sih cukup keren... Lestari Ayuningsih), tetangganya pak Dartowan, yang rumahnya kurang lebih 100 meteran arah selatan dari rumah kediaman pak Dartowan itu. Maklum saja letak rumah didaerah sekitar kediaman pak Dartowan, jarang-jarang dan tidak terlalu banyak. Jarak 100 m bisa dibilang sebagai tetangga dekat.

Bu Lestari belum terlalu tua, umurnya baru saja masuk 32 tahun, seorang janda muda yang ditinggal mati oleh suaminya yang meninggal karena kecelakaan lalu-lintas di jalan tol. Semasa hidupnya suami bu Lestari itu bekerja sebagai supir truk pengangkut barang antar kota. Ibu janda muda yang masih saja kelihatan ayu dan cantik itu mempunyai 2 puteri juga ayu serta juga cantik, yang sulung bernama Nani (17 tahun) yang saat ini sedang menemani pak Dartowan bepergian bersama-sama ke ibukota beberapa hari untuk keperluan sesuatu. Sedangkan puteri bungsu-nya, Naning (14 tahun) tinggal bersamanya dirumah mereka.

Kegiatan bu Lestari sekarang adalah sebagai housekeeper dan lain-lain dirumah kediaman pak Dartowan, kadang kala juga sebagai kekasih bila dibutuhkan pak Dartowan. Bekerja rangkap bermacam-macam tapi gaji tidak rangkap alias tunggal... Namun penghasilan bu Lestari yang didapat dari bekerja pada pak Dartowan itu, cukup besar dirasakannya, lebih dari cukup untuk membiayai seluruh keperluan yang dibutuhkan oleh keluarga kecil 'single-parent' itu.

"Maaf den Dido... hari mendekati waktu maghrib... pulangin deh anak orang ini... entar dicariin sama orangtuanya lho...", bu Lestari mengingatkan Dido.

'Dasar nenek comel... lha iyalah... masak sih anak kebo...', ngedumel lagi Dido yang masih betah mengobrol dengan Dina yang imut dan manis itu.

"Ayo Din... benar juga kata mbak Les, kakak antar kerumahmu... ya", kata Dido lembut pada anak gadis itu.

"Oh... terimakasih kak... tak usah deh... kan tadi datangnya juga tidak diantar... iya kan?", jawab Dina menolak halus tawaran Dido itu dengan lembut juga.

"Iya tadi memang tidak diantar kakak... tapi kamu kan ngintil dibelakang kakak...? Ayo ngaku! Sampai... kakak hampir semaput karena kaget...", Dido mengingat pengalaman 'pahit'-nya tadi.

"Hi-hi-hi... maafkan Dina deh kak... tapi... Dina kan... bermaksud baik... itu lho... untuk mengembalikan dompet kakak yang tercecer... iya kan?", jawab Dina membela diri.

"Oh itu... benar juga... terimakasih sekali lagi ya Din... kamu sungguh gadis yang baik", jawab Dido tanpa menyebutkan lagi kata 'anak gadis' lagi, khawatir nanti di-protes lagi oleh Dina yang kayaknya sekarang sedang sensitif dengan sesuatu hal yang berhubungan dengan umurnya itu.

"Oke deh... setuju kak dan... permisi mb... bu Les, Dina pamit pulang... ya", sapa Dina pada bu Lestari untuk berpamitan.

"Iya deh neng... dan titip salam untuk ibumu ya...", jawab bu Lestari.

'Emangnya... dia kenal dengan ibuku apa...?', tanya Dina heran dalam hati. 'Barangkali cuma untuk sok ramah aja... kali'.

(Bersambung ke Bagian-2}
 
Terakhir diubah oleh moderator:
haisshh.. diborong.
ane minyak tanah saja dahh
:banzai:


ane belum pernah bc yg di link. .
bc dulu ya suhu
:kopi: :baca:
 
:pandaketawa:
Hyahaha..
itu paduka Duryodana
sama Tuan Renyah udah
pada nangkring saja disana..
ini sich, gara-gara pesona Dina
sang daun muda nan menggoda
:)

ane baca ya..:kopi::baca:
 
Bagian-2

Seperempat jam kemudian, Dido sudah sampai kembali dirumah kakeknya lagi. Terlihat didalam rumah, bu Lestari berjalan hilir-mudik. Kalau dilihat pada mimik wajahnya yang ayu dan cantik itu... rupanya dia agak kesal menunggu Dido kembali. Begitu bu Lestari melihat sosok tubuh Dido yang tegap itu datang mendekat, maka nyeletuklah kata-kata dari mulutnya yang sexy itu.

"Chk-chk-chk... akhirnya sang perjaka tong-tong pun... datang juga... Pasti pakai acara sun pipi kiri... sun pipi kanan... iya kan?", kata bu Lestari asal.

"Emangnya seperti di Amerika tempat aku belajar sekarang apa...? Nah ketahuan nih ya... kesal menunggu ya mbak? Sorry deh... sini deh... Dido kasih sun pipi kiri dan pipi kanannya, biar redaan rasa kesalnya... eh... tunggu dulu mbak Les... jangan bergerak dulu... kayaknya... kayaknya...".

Bu Lestari jadi kesal menunggu tuntasnya perkataan Dido yang dianggap rada lelet itu. "Ayo kayak apaan...! Kayak nenek gombel ya...?!".

Belum juga bu Lestari habis berbicara, buru-buru balas dipotong oleh Dido. Katanya dengan cepat, "Maksud Dido... kalau mbak lagi marah-marah begini... kayaknya makin cantik aja deh...".

Bu Lestari mukanya langsung bersemu merah muda mendengarkannya, maklum saja karena kulitnya yang putih bersih itu, malu bercampur senang. "Bisa aja kamu... lagi ngerayu mbak ya...? Apa lagi ngegombalin mbak?!".

"Benar mbak... 'swear' deh! Pasti puteri-puterinya... juga secantik mbak Les deh! Orang kata... 'pabrik'-nya saja mulus begini...".

"Hussh... disamain dengan pabrik lagi... sana mandi dulu... mana belum makan siang lagi? Tuh lihat di meja makan... piring dan makanannya masih utuh...", kata bu Lestari masih sedikit kesal. 'Kalau ketahuan sama pak Dartowan, perihal cucunya ini... wah... bisa berabe deh...!'.

"Sorry deh mbak... tadi keasyikan mengobrol...", kata Dido pelan seperti merasa bersalah sembari melangkahkan lagi kakinya menuju kamarnya untuk mengambil baju salin yang bersih, kan... mau mandi.

"Eh-eh...! Dido...! Mau kemana?", seru bu Lestari tiba-tiba.

Seketika jadi berhenti langkah kaki Dido mendengarnya. 'Katanya... disuruh mandi... kasihan deh... masih muda begini sudah pikun... kali', pikir Dido cepat disambung dengan perkataan. "Kata mbak Les... Dido disuruh mandi dulu...".

"Itu benar... tapi kamu ingkar ya...?!", kata bu Lestari yang kadar kesalnya mulai menaik lagi.

"Ingkar mengenai apaan... mbak?", terheran-heran Dido bertanya.

"Mengenai sun pipi kiri dan sun pipi kanan itu... mana...? Itu namanya ingkar... tahu!", ujar bu Lestari rada ketus... jadi makin manis saja dipandang matanya Dido.

"Oh iya...!", jawab Dido seketika. 'Kenapa aku jadi lupa begini ya... padahal ini kan... suatu hal yang sangat mengasyikkan!'.

Dengan segera Dido bergegas kembali mendekati bu Lestari yang sedang diam berdiri dan tengah memperhatikannya terus dengan seksama. Saking terlalu cepatnya, ketika memeluk tubuh depan bu Lestari dan ingin mendaratkan kecupan pada pipi kiri bu Lestari... tersenggollah tangan kanan Dido tepat pada puncak buahdada bu Lestari yang sebelah kiri... 'Wah... empuk sekaligus kenyal... mana montok lagi... kok rasanya seperti nggak pakai BH... sih?', pikir Dido mulai ngeres sembari meresapi gesekan nikmat pada lengan kanannya itu.

"Eheeemmm... mana dong...!", pinta bu Lestari yang telah menyodorkan pipi kirinya dengan memalingkan wajahnya sedikit kekanan.

'Asyik nih... tidak ada protes sedikitpun mengenai senggolan pada susunya yang kiri...', pikir Dido tambah berani serta makin ngeres saja.

<Muahh...!> <Muahh-muahh-muahh...!>, bunyi suara kecupan itu pada pipi kiri bu Lestari... bukannya hanya sekali... tapi berkali-kali...

Bu Lestari pun merasa seperti ada kejanggalan, kok tidak seperti biasanya. 'Apa ini namanya kecupan model terbaru...! Kecupan model tahun 2015... kali?', bu Lestari bertanya-tanya dalam hati... heran!

Sedang Dido sekarang sudah bertekad bulat menerjang resiko... mengalihkan kecupan gencarnya dari pipi kiri bu Lestari berpindah ke pipi kanannya. Secara refleks, bu Lestari memalingkan wajahnya sedikit kekiri.

Segera Dido mendaratkan lagi kecupan-kecupan di pipi kanan bu Lestari sembari tidak lupa menekankan dengan sengaja lengan kirinya pada buahdada bagian kanan milik bu Lestari. Usai mendaratkan kecupan-kecupan itu... dengan cepat Dido menegakkan kepalanya dan berkata, "Dan ini... tambahan bonus dari Dido...". Langsung saja mulutnya menyosor ke mulut bu Lestari yang merah dan sexy itu.

Kaget mendapat perlakuan ini, serta-merta bu Lestari setengah meronta ingin menghindar. "Hhhmm-mmmhh...", desahnya.

Tetapi Dido tetap saja menempelkan bibirnya pada bibir bu Lestari malahan disusul dengan serbuan lidahnya yang mulai menerobos masuk kedalam mulut... terjadilah awal sesi 'French Kiss' yang populer, umumnya bagi pasangan berlainan gender yang sedang memadu kasih.

Merasa tidak ada penolakan yang berarti... bahkan dirasakan Dido malahan lidah bu Lestari ikut-ikutan saling membelit lidahnya, maka tangan Dido pun mulai menyusup masuk dari bagian bawah blus bu Lestari (saat itu bu Lestari berbusana blus dan rok)... menuju keatas dan menemukan... bungkahan besar dan montok susu bu Lestari bagian kanan. Sekarang tangan kiri Dido sibuk meremas-remasnya serta tidak lupa memelintir puting yang yang tidak terlalu besar tapi sudah tegang menonjol itu.

Tersentak tubuh bu Lestari kebelakang merasakan plintiran jari telunjuk dan jempolnya Dido pada pentil susu bagian kanan itu... disitulah terletak daerah sensitif-nya yang bila dirangsang cukup lama bisa menimbulkan birahinya yang tinggi seketika.

"Aduh Dido sayang... nakal sekali kamu... oooh... enaknyaaa...", kata bu Lestari disertai desahannya, dengan cepat kedua tangannya yang tadinya memeluk tubuh Dido, sekarang memegang bagian bawah blus-nya dan langsung diangkat keatas sampai ke lehernya yang jenjang itu. "Jangan diplintir keras-keras dong... sakit tahu...! Mendingan juga... nenen nih... sama mbak...!".

Dido segera memenuhi permintaan bu Lestari, memang inilah yang sedang ditunggu-tunggu Dido.

Dengan cekatan mulut Dido langsung menyergap puting dari buahdada yang montok yang disodorkan pemiliknya itu... sesuatu asset milik bu Lestari yang berharga dan indah... serta bisa membangkitkan gairah birahi seketika bagi pria siapapun yang seberuntung seperti dirinya.

Mulut Dido yang rakus mencucupi puting-puting indah yang membangkit selera birahinya. Kalau puting kiri yang dikenyot, maka buahdada yang kanan diremas-remas dengan tangannya, sebalik saat puting kanan yang dikenyot, maka buahdada yang kiri yang diremas-remasnya... Sungguh bersemangat sekali anak muda ini.

Semuanya dilakukan kedua insan ini sembari berdiri, pria-nya agak merunduk sedikit (maklum saja Dido mempunyai tinggi 172 cm, sedang bu Lestari tingginya 162 cm) mencumbui buahdada montok dan sekal itu. Sedangkan wanita-nya yang sedang dicumbu, tubuhnya rada doyong kebelakang sembari meliuk-liukkan tubuhnya merasakan kenikmatan itu. Erotis sekali... tampaknya. Bu Lestari tidak takut tubuhnya bakal ambruk kebelakang, karena selalu dipeluk erat oleh sebelah tangan Dido yang kekar. Kalau tangan kanan Dido yang sedang meremas-remas buahdada kiri maka tangan kiri Dido yang mendapat giliran memeluk erat tubuh bu Lestari, demikian pula bila tangan kiri yang meremas buahdada yang kanan, maka giliran tangan kanan Dido yang memeluk erat tubuh bu Lestari. Mulut Dido yang bertugas mengemut pentil-pentil indah itu menjalankan fungsi dengan mudah dan cekatan... tidak perlu dibantu tangan-tangannya yang juga lagi sibuk, ini dimungkinkan karena buahdada milik bu Lestari itu memang masih sekal sekali, sehingga pentil-pentilnya tidak terlalu sering berayun-ayun.

Sampai juga ke batas maksimal gairah yang sudah tidak mampu lagi ditanggung bu Lestari berlama-lama, kalau dibiarkan terus keadaan ini... bisa-bisa dia mendapatkan orgasme-nya... sambil berdiri! Dibisikkannya ke telinga Dido dengan suara gemetar serta menjauhkan dadanya dari mulut Dido yang 'rakus' itu, "Sssudahh... sssudahh... sayang! Aayooo... kita tuntaskan saja dikamarmu saja...!".

Sampai dikamar Dido, tanpa malu-malu lagi, bu Lestari melucuti sendiri pakaiannya... mumpung gairah seks-nya masih menggebu-gebu... bahkan sekarang sudah sampai keubun-ubunnya!

Terpampanglah... sesosok tubuh telanjang wanita yang molek... bak tubuh seorang bidadari yang elok-jelita dan sempurna... Dido dengan mulutnya melongo serta matanya tanpa bisa berkedip... menyusuri setiap senti permukaan tubuh wanita yang cantik jelita ini... Maklum saja, ini pertama kalinya bagi Dido bisa menikmatinya dari dekat... hanya sejangkauan tangannya saja jaraknya... lagi pula tanpa perlu memakai keker digital-nya yang canggih itu. Sungguh terpesona Dido memandanginya, buahdada yang montok, sekal dan masih mancung kedepan, ditambah... itu lho... vagina segaris yang klimis...

"Eeehhh... sayang... tubuh mbak, tidak untuk dipandangi saja... kasihan si Naning nanti yang sedang menunggu mbak pulang! Ayoo... sini mbak bantu bukain bajunya deh... biar cepat selesai jadinya...!", kata bu Lestari tidak sabar ingin dipuaskan gelora seks-nya yang lagi tinggi-tingginya itu.

Segera bu Lestari membukai seluruh pakaian Dido, ketika membuka CD-nya Dido rada sulit karena tersangkut sesuatu... Begitu CD itu terlepas... bu Lestari berkata hampir setengah teriak, "Aduh biung...! Gagahnya... kok kontolmu besarnya sama dengan punyanya kakekmu.... uupppss... tidak ding... lupakan saja!". Hampir saja bu Lestari membuka tabir affair-nya dengan boss-nya yaitu pak Dartowan, kakeknya Dido itu. Lain kali dia harus hati-hati berbicara... agar supaya rahasianya tidak jadi berita skandal.

Sedang Dido mana mau memperhatikan perkataan bu Lestari secara seksama, dia kini sedang memperhatikan tubuh sintal bu Lestari yang telanjang dengan keseriusan tingkat tinggi.

"Hayooo... sayang, cepat naik ketempat tidur. Telentang saja ditengah-tengah, pokoknya... terima nikmat saja... dari mbak", kata bu Lestari yang merasa sempitnya waktu yang dipunyai. 'Mudah-mudahan aku tidak disambut dengan ambekan lagi dari Naning...', demikian selalu dialaminya jikalau telat sampai dirumahnya. Masaalahnya Naning tidak suka berlama-lama sendirian dirumah, lain halnya kalau dia ditemani kakaknya, Nani. Tapi kan... Nani sekarang sedang bepergian bersama pak Dartowan... sudah 2 hari.

Begitu Dido membaringkan tubuhnya terlentang ditengah-tengah tempat tidurnya sesuai petunjuk bu Lestari, langsung saja bu Lestari berjongkok didepan penisnya Dido yang panjang dan keras.
'Ukuran boleh sama tapi kerasnya itu lho...! Berbeda jauh dengan kontol kakeknya yang rasanya lebih lunak dari kontol Dido yang tengah kupegang ini... ampun biung... keras sekali!', pikir bu Lestari memberi penilaian.

Langsung tangan lentik bu Lestari memegang penis Dido dan tanpa menunda-nunda lagi... langsung saja mengarahkannya pada vagina-nya, segera diturunkan pinggul mulusnya sambil menekannya kebawah... <bleeesss...!> masuk sudah seluruh batang penis Dido yang keras itu. "Aduh biung...! Nikmatnyaaa...!", ujar bu Lestari setengah berteriak.

Lain pula dengan Dido yang penisnya baru pertama kali dijepit ketat oleh vagina... apalagi vagina wanita secantik bu Lestari ini. Secara refleks Dido mengangkat-angkat pinggulnya tinggi-tinggi dengan maksud ingin menghunjamkan penisnya lebih jauh kedalam vagina milik bu Lestari yang dirasakan Dido sangat legit dan... nikmat!

"Ooohhh... nikmatnya memek mbak Les ini...", kata Dido dengan keras.

"Huuushhh... ngomongnya jangan keras-keras! Kan mbak sudah ngomong tadi, kamu terima nikmat saja", kata Bu Lestari sembari menaruh kedua telapak tangan diatas perut Dido yang rata dan berotot sambil menekannya agar Dido tidak menggoyang-goyangkan pinggulnya lagi. Serta kegiatan otot-otot vagina yang tadinya mengurut-urut batang penis Dido yang berada seluruhnya didalam vaginanya ikut dihentikannya.

Hal ini mengundang protes dari Dido yang kenikmatan yang dirasakan tadi... terhenti seketika. "Ayo dong mbak... jangan siksa Dido dong... lanjutkan lagi ya... mbak-ku yang cantik...", pinta Dido sembari merayu.

Bu Lestari yang merasa berada diatas angin langsung mengambil alih kendali permainan. "Janji...! Ikuti petunjuk mbak, biar... sama-sama merasa nikmat dan cepat mencapai puncak... Kamu tidak tertarik sama susunya mbak ini... apa? Tadi aja waktu diluar kamar, lengan kamu sengaja ditekan-tekan ke susunya mbak... iya kan?! Emangnya mbak nggak tahu apa? Sekarang kamu mainin susunya mbak, biarkan mbak yang ngurusin kontolmu yang nakal ini...".

"Iya deh... mbak! Dido turuti, tapi... yang nikmat ya mbak-ku sayang...", Dido mulai merayu lagi.

"Huussshhh... banyak komentar deh kamu. Soal nikmat dan lebih nikmat... itu sih... tergantung sama kontolmu sendiri... dasar kontol bandel!", kata bu Lestari yang mulai sewot lagi... maklum saja, waktu kan terus berjalan...

"Aku bukan kontol mbak... aku Dido, yang kontol itu... yang ada didalam memek mbak yang legit...", kelakar Dido.

Bu Lestari tidak menjawabnya. 'Buang-buang waktu saja', kata bu Lestari dalam hati. Segera saja mengeraskan dan mengendorkan otot-otot elastis vaginanya seakan sedang mengemut-emut ketat sekujur batang penis Dido, seraya memutar-mutarkan pinggul seksi-nya itu.

Ini adalah ilmu andalan bu Lestari dalam hal bersenggama. Orang-orang yang doyan ngeseks menyebutnya 'empotan ayam'. Tidak ada yang bisa bertahan lama menghadapinya, kecuali... suami almarhumnya seorang...! Tapi yang tidak diketahui oleh bu Lestari sampai sekarang adalah... kepiawaiannya ini mengusik gengsi suaminya sebagai seorang lelaki dan suami. Diam-diam tanpa sepengetahuan isterinya yang tercinta, dia (suaminya bu Lestari) sebelum melakukan senggama dengan isterinya, 15 menit sampai 30 menit sebelumnya mengkonsumsi satu pil perangsang ereksi 'C.al.s'. Pil itu didapatnya dari anak majikannya yang sudah dewasa dan sangat doyan ngeseks... memberinya 1 botol penuh masih bersegel dan gratis! 1 botol itu berisi 100 pil tablet. Mungkin saja pemakaian rutin pil ini mempunyai dampak buruk yang bisa saja mengganggu daya konsetrasi seseorang pada saat situasi membutuhkan daya konsentrasi secara maksimal... Tapi... nasib seseorang siapa yang tahu?

Sementara itu pergumulan nikmat antara Dido dan bu Lestari sudah berlangsung 15 menit... kayaknya hampir mendekati akhir.

Dido merem-melek keenakan. Sedangkan bu Lestari terus-terusan selalu mengingatkan Dido agar jangan henti-hentinya meremas dan mencumbui buahdadanya yang montok itu. Hanya dengan cara ini mereka bisa mencapai klimaks dengan cepat dan... syukur-syukur dengan waktu bersamaan.

Tiba-tiba Dido menggeliatkan pinggul serta mendorong keatas... tidak memperdulikan lagi larangan bu Lestari. "Oohhh... mbakkk...! Aku sampaiii...!", jerit nikmat Dido dan... <crrooottt...> <crrooottt...> <crrooottt...> menyembur-nyembur air mani Dido didalam vagina bu Lestari membanjiri ruang dalam vaginanya yang belum disesaki oleh batang penis Dido yang cukup panjang itu.

Saking kencangnya semburan itu... langsung memicu bu Lestari mendapat orgasmenya seketika. "Ooohhh... sayangku... sungguh nikmat ngentot dengan perjaka yang perkasa... seperti kamu Do...! Benar-benar nikmat...!', jerit bu Lestari.

Sedangkan otot-otot vaginanya masih saja berkedut-kedut... seakan memeras batang penis Dido sampai tetes air mani yang penghabisan. Lalu diangkatnya pinggulnya yang sexy itu... terlepas sudah penis Dido dari jepitan kuat otot-otot vaginanya. Penis Dido yang masih tegang itu, langsung ditangkap dengan tangannya yang lentik serta segera dimasukkan ke mulutnya dan disedot-sedotnya. 'Tuman...! Ini air mani perjaka... obat awet muda yang mujarab', kata bu Lestari dalam hati. Setelah itu barulah dilepas penis Dido yang mulai melunak dari mulutnya.

"Mbak sungguh puas... ngentot denganmu Do, kapan-kapan kita akan lanjutkan lagi... itu pasti...! Tapi tidak malam ini... mbak pulang nanti pasti diambekin Naning deh... tapi tidak apa-apa deh... setimpal bahkan lebih... kenikmatan yang didapat mbak darimu", kata bu Lestari memuji keperkasaan Dido.

Buru-buru bu Lestari turun dari tempat tidur Dido, untuk mengenakan pakaiannya lagi, tapi terlambat... keburu ditangkap kembali oleh tangan-tangan kekar Dido. Dido menarik kembali tubuh bu Lestari menindih tubuhnya serta mencium mulut bu Lestari dengan penuh nafsu kemudian dilepas sejenak hanya untuk membisiki bu Lestari.

"Mbak sayang... menginap saja disini bersama Dido ya...", bujuk Dido dengan penuh gairah.

"Tidak bisa sayang... kasihan Naning sendirian dirumah", kata bu Lestari menampik dengan halus.

"Kalau begitu satu ronde lagi deh... ya mbak", pinta Dido dengan harap-harap cemas.

Buru-buru bu Lestari melepaskan diri dan segera turun menyambar pakaiannya.

"Tidak Do... kan masih banyak waktu besok", tolak bu Lestari lagi.

"Bagaimana kalau mbak pulang dan membujuk Naning untuk menginap saja disini...?", usul Dido penuh daya tawar.

"Sudah pernah mbak mencobanya, dalam keadaan hatinya senang saja, Naning tidak mau diajak menginap disini... apalagi sekarang... dia lagi ngambek berat pasti dia tidak mau deh...!", jelas bu Lestari perihal Naning, puteri bungsunya itu.

Melihat wajah Dido yang memelas dan kecewa berat itu, bu Lestari berkata lagi, "Sudah deh... catat saja nomor HP kamu di kertas, nanti kalau berhasil... sebelum kembali lagi kesini bersama Naning... mbak akan menelponmu deh... Tapi jangan terlalu berharap banyak, kalau dalam satu jam kedepan tidak ada telpon dari mbak... sudah deh tidur saja, sebelumnya mandi dan makan dulu. Tuh sudah mbak siapkan di meja makan. Sudah cape-cape dimasakin... kok tidak dimakan sama sekali. Naning tadi ikut membantu memasak lho. Kamu belum ketemu dengan Naning sih... jadi tidak menghargai tenaganya... tenaga dari seorang anak gadis ting-ting lho...!". Sambil berkata itu bu Lestari mengenakan pakaiannya kembali dengan segera.

Setelah rapi, bu Lestari menanyakan kertas catatan nomor HP Dido. Setengah melompat masih dalam keadaan telanjang bulat, Dido segera membuka tasnya. Mengambil sehelai kertas kecil dari bundel buku notes dan menulis nomor HP-nya dan memberikan pada bu Lestari beserta sebentuk benda kecil, segenggaman besarnya.

"Apaan nih Do?", tanya bu Lestari.

"Itu senter mbak, siapa tahu gelap dijalan nanti dan... tidak usah dikembalikan... Dido ada dua kok", jelas Dido.

"Oh begitu...", kata bu Lestari sembari memencet-mencet senter itu tspi tidak jugs memsncarkan cahaya. "Bagaimana cara menghidupkan Do, jangan-jangan baterainya habis lagi", tanya bu Lestari.

"Itu tidak memakai baterai mbak, juga tidak perlu disetrum seperti HP... mbak", jelas Dido sambil mendekati bu Lestari. "Ini tombolnya, tapi geser dulu kekanan sedikit lalu tekan sekali saja untuk ON kalau ingin mematikan tekan sekali lagi... lalu geser kembali tombolnya kekiri... untuk pengaman... biar awet... takut tidak sengaja kepencet didalam tas dan supaya cahayanya tetap terang".

Dido memperagakan caranya pada bu Lestari, diarahkannya senter kecil itu ke tembok didepannya. <Byaar...> senter itu menyala sangat terang pada permukaan tembok itu. "Kalau nanti mulai redup cahayanya, biasanya terjadi kalau dipakai terus-menerus selama seminggu. Cukup diguncang-guncang pelan saja mbak, nih seperti begini... tapi sebaiknya senternya dimatikan dulu", Dido menjelaskan cara pemakaian senter kecil itu pada bu Lestari.

Diguncang-guncangkannya senter itu pelan-pelan, tidak terlalu lama, cukup 10 detik saja. Diarahkan kembali senter itu pada tembok tadi. <Byaar...> menyala kembali setelah tombol kecilnya ditekan. Lebih terang cahayanya dari yang tadi, bahkan sekarang sedikit menyilaukan mata, saking terangnya.

"Wow...! Terang sekali...!", kata bu Lestari sambil berdecak kagum.

"Dan kalau mau lebih terang lagi... begini caranya...", kata Dido yang masih saja bertelanjang bulat, secepat kilat menempelkan mulutnya pada pentil susu bu Lestari yang kiri lalu dikenyot-kenyotnya dengan keras dan bersemangat... yang basah tentu saja blusnya bu Lestari.

"Aduh...! Nakal nih... ngagetin mbak saja!", teriak bu Lestari tanpa sempat menghindar.

"Emangnya sakit ya mbak... maafkan Dido deh...", kata Dido melepaskan sergapannya itu.

"Bukannya sakit... kaget tahu!", kata bu Lestari sembari mencubit dengan pelan penisnya Dido.

"Aahh... jangan dicubit disitu, mbak... entar nggak bisa dipakai... lagi", kata Dido sambil buru-buru menarik mundur pinggulnya.

"Hi-hi-hi... biar tahu rasa!", ejek bu Lestari sembari tertawa. "Udah ah...! Kunci lagi pintu ini", ujar bu Lestari, senter telah dinyalakan, menerangi jalan yang akan dilaluinya.

Setelah kepergian bu Lestari pulang kerumah, sunyi dan sepi kembali rumah besar kediaman Dartowan, kakeknya ini. Buru-buru Dido berbalik badan melangkah kekamarnya untuk segera mandi, untuk membersih tubuhnya dari keringat birahi dari persetubuhan perdananya dengan bu Lestari yang jelita.

(Bersambung ke Bagian-3}
 
Terakhir diubah:
NB: Dalam 'sub-episode' (KOMBA-2 Bagian-3) kali ini, memang
tidak ada... adegan ngeseknya... rehatkan sejenak 'organ
vital' para pembaca yang budiman, he-he-he... hanya
ditengarai oleh 'pikiran ngeres' dari bu Lestari yang
ikut-ikutan nimbrung dalam percakapan mesra antara sang ibu
(bu Lestari) dengan puteri bungsunya (Naning) yang tercinta.
Mohon maaf yang besar ya... please! But the show must go on!
Selamat membaca...


Bagian-3

Sambil berdendang dalam hati, bu Lestari menyusuri jalan setapak yang gundul... karena keseringan diinjak-injak oleh kaki-kaki orang yang berlalu-lalang disitu... mana mau lagi sang rumput bertumbuh disana... mendingan juga tumbuh ditempat lain yang lebih aman. Juga tidak ada tanaman pohon yang besar dikiri dan dikanan jalan setapak itu, hanya dipenuhi dengan tanaman perdu dan bebungaan saja... jadi suasananya cukup aman... lagi pula daerah disekitar situ memang aman-aman saja kok, kekurangannya cuma satu... yaitu tidak ada lampu penerangan... apa lagi kalau itu cuma jalan setapak, iya kan? Didaerah sekitar sini, listrik negara hanya diperuntukkan untuk rumah-rumah hunian saja dan... tidak untuk jalan setapak.

Bu Lestari sudah mendekati rumahnya, berkat senter kecil canggih didalam genggamannya itu, yang menyala sangat terang... menyoroti jalan setapak didepannya, membuat langkah kaki bu Lestari menjadi mantap. Disorotnya pintu depan rumahnya itu, tak lama kemudian pintu itu berderik terbuka... bayangan sesosok tubuh gadis yang bertubuh sintal terlihat... disorot oleh cahaya lampu didalam rumah yang cukup terang.

"Mama ya...? Pakai apaan tuh... terang banget! Iiih... bandel nih mama...! Jangan disorot ke Naning dooong...! Silau niiihh...!", teriak Naning, puteri bungsu bu Naning.

Buru-buru bu Lestari mengalihkan sorot senter itu kembali ke permukaan jalan kembali. "Iya sayang... ini mama datang!", seru bu Lestari agar supaya Naning tidak berlama-lama was-was. 'Tumben suara Naning tidak bernada ngambek malam ini, kan... seharusnya aku pulang 2 jam lalu... apa karena pesona senter ajaib ini? Wah... bagus nih gelagatnya... Bakalan bisa ngentot lagi nih sama Dido, si setengah perjaka yang ganteng dan perkasa itu, kan... aku belum tuntas 'mengikis' habis keperjakaannya, hi-hi-hi...', cekikikan senang sisi nakal dalam pikiran bu Lestari... mesum!

Selewat pintu depan itu dan melangkah masuk kedalam rumah, segera pintu itu ditutup dan dikunci kembali oleh anaknya. Naning segera berbalik dan berhadap-hadapan dengan ibunya serta menatap heran penuh tanda tanya diwajahnya yang muda, ayu dan manis itu. Bagaimana tidak heran, ibunya masih tetap saja tersenyum-senyum. Ini ditanggapi Naning keliru dengan bertanya pada ibunya yang tercinta, "Kok senyum-senyum saja dari setadi ma? Nah... ketahuan yaaa... mama senang karena habis dikasih THR sama pak Darto ya...?! Hayo ngaku... deh! Benar kan?".

"Astaganaga...! Anak mama ini, ingatannya cuma duittt... melulu! Apa kamu lupa? Pak Dartowan kan pergi ke ibukota... bersama Nani, kakakmu. Lupa yaaa...? Aduh... kacian deh anak mama ini, masih muda... cantik lagi... kok mulai suka lupaan ya?", kata bu Lestari riang sambil mengecup mesra dahi mulus anak gadisnya itu.

"Ooohh... iya... bener! Sampai lupa Naning...! Jadi kenapa dong senyum-senyum terus...?", tanya Naning masih penasaran.

Ibunya tidak menjawabnya, hanya menyodorkan senter kecil itu ke tangan Naning. "Nih... salam perkenalan dari Dido, cucunya pak Dartowan", kata ibunya singkat, mulai menjalankan taktiknya untuk membujuk hati anaknya itu.

"Kok salam perkenalannya pake benda ini sih... ma? Aneh ya?!", kata Naning sembari mengamati benda kecil itu dengan kagum. 'Mengherankan sekali...! Benda sekecil ini, kok cahayanya bisa terang sekali ya?', berdecak kagum Naning didalam hatinya.

"Eh... jangan salah sangka lho Ning... mungkin saja memang begitu kali... kebiasaan di Amerika...".

"Kok mama jawabannya nyasar kemana-mana sih...? Pake Amerika segala... emangnya mama baru dari Amerika... apa!?", kata Naning rada heran.

"Eehhh... anak mama ini... tidak percayaan sama mamanya...! Dido itu yang baru datang dari Amerika... bukannya mamamu sayang... Ning... kamu tahu tidak? Dido itu usianya masih muda sekali lho... umurnya cuma 3 tahunan saja lebih tua darimu... Kan kamu bakalan berumur 15 tahun... bulan depan. Heran ya... Dido yang masih berumur 18 tahun itu sudah kuliah kedokteran di Amerika sana... semester dua lagi...!", kata bu Lestari mempromosikan Dido, berondong mudanya itu pada puteri bungsu, anak kesayangan-nya. "Pasti cerdas sekali si Dido ini... kalau tidak mana mungkin bisa...! Lagi pula sesuai kali... dengan perhitungan pak Dartowan yang pintar... tidak sia-sia rupanya beliau mengeluarkan biaya seluruhnya untuk semua keperluan Dido di Amerika sana...", kini giliran pak Dartowan, boss-nya yang dipuji-puji.

"Masak sih...? Tapi mungkin benar juga kali...", kata Naning mulai mempercayai semua cerita ibunya itu. "Kalau tidak salah ingat... kan mama pernah bercerita sama Naning. Pak Dartowan punya anak perempuan, Desrita namanya yaitu ibunya Dido... yang juga seorang dokter... iya kan?", kata Naning mengingatkan ibunya.

"Eeeh... benar itu! Ternyata anak kesayangan mama ini... ingatan kuat juga...!", jawab ibunya memuji dan sekaligus membujuk Naning, puteri bungsunya ini.

Jarum menit pada jam dinding berjalan terus, sudah 15 menit berlalu sejak bu Lestari tiba dirumahnya ini. Sekarang waktu pada jam dinding itu menunjukkan pukul 20.15.

"Jadi gimana nih... Naning-ku sayang?", tanya ibunya tiba-tiba.

"Gimana... bagaimana? Maksud mama apaan sih...?", kata Naning, tidak mengerti apa yang dimaksudkan ibunya itu.

"Aduhh... tega-teganya kamu mempermainkan mama lagi... 'gimana' itu artinya adalah 'bagaimana', 'gimana' itu adalah bahasa gaulnya dari kata 'bagaimana'... kamu orangnya... tidak gaul sih, udah... pake bahasa sekolahan aja deh, biar lebih... keren! Yang dimaksudkan mama adalah 'salam kenal'-nya Dido diterima tidak?", kata bu Lestari menjelaskan, khawatir waktu 1 jam seperti yang dikatakannya pada Dido tadi... terlewati! 'Wah... si Dido bisa tidur nihh... bisa nggak jadi ngentot deh malam ini...', kata sisi buruk bu Lestari dalam hati yang mulai dirambati kekhawatiran.

"Oh itu... toh!", jawab Naning mulai paham. "Ini sudah diterima dengan baik, masih ada ditangan Naning... dijamin deh tidak disia-siakan...".

"Aduh biung...! Anak mama yang ayu... cantik... botoh... nggak ngerti-ngerti juga sih?! Kasihan tuuhhh... cucunya pak Dartowan... pasti lagi ketar-ketir... menunggu kita berdua!", kata ibunya, tanpa berani menunjukkan kesebalan pada anak gadisnya ini, takut anaknya malah jadi ngambek... lagi. Yang dilanjutkan dengan pikirannya yang genit. ('Nggak tahu apa? Dido itu kan berondongnya mamamu...! Hi-hi-hi...', kata sisi nakal dalam dirinya yang ikut-ikutan mengomentari).

"Kok berdua ma...?", tanya Naning lagi pada ibunya.

"Lhaaa... iyaaalah...! Apa kamu berani pergi sendiri apa?!", kata ibunya lagi sambil menahan rasa kekinya.

"Aaaahh... nggak deh ma... sekarang kan sudah malam untuk acara berkenalan... besok pagi saja yaa...?", kata Naning menawar. Sebenarnya gadis belia yang ayu dan cantik ini menolak karena sungkan dan rasa malunya saja. Memang Naning adalah gadis yang sangat pemalu, tidak seperti si Dina yang hampir selalu mengawali pembicaraan (NB: lihat pada Bagian 1 cerita ini).

"Aduh mak... sayangku... yang cantik dan ayunya melebihi mamanya... sekarang kan baru pukul 8.20 malam, bukannya sudah tengah malam sayang...! Apalagi besok kamu kan libur sekolah, biasanya juga... kamu baru tidur jam 12.00 tengah malam. Asyik menonton filem di TV yang nggak jelas jalan ceritanya itu...", kata ibunya lembut (tapi... sebel!) sembari membujuk anak bungsunya itu.

"Bagaimana ya ma...?", jawab Naning agak ragu, dia menghela napas panjang dan mendorongnya keluar bersama rasa ragunya. "Iya deh ma... Naning dandan dulu yaaa...", katanya menyerah dengan... sangat terpaksa.

"Ooohh... tidak-tidak... keburu tidur deh... si Dido... lagi pula dia tidak terlalu suka sama gadis yang suka berdandan... Dido adalah seorang pria muda pemuja kecantikan yang alami... seperti dirimu ini Ning... dan jangan pula pake minyak wangi segala, sebab wangi yang kamu sukai... belum tentu orang lain menyukainya... mama tidak bohong lho! Buktinya... kenapa begitu banyaknya ragam dan mereknya... mungkin ratusan lebih... semuanya tidak ada yang sama wanginya...! Jangan sampai wangi yang kamu sukai... membuat orang lain didekatmu menjadi mual-mual. Nanti orang lain disekitarmu itu... men-cap kamu egoist. Camkan nasehat mama ini... gratis kok!", nasehat ibunya sambil berkelakar kecil.

'Iya juga sih...', kata Naning dalam hati, mengenai minyak wangi ini dia sependapat dengan mamanya. "Jadi... apa begini aja...? Malu nggak ya... nanti?", kata Naning masih agak bimbang.

"Yaaa... enggak lah yao...!", komentar mamanya yang mulai agak kesal atas keluguan puteri bungsunya ini. ('Lugu... kok dipelihara...! Dido saja tadi nggak pake dandanan segala... alias telanjang bulaaatt...!', pikiran nakal bu Lestari ikut-ikutan nimbrung berkomentar).

"Iiddiihh... mama ngomongnya kayak anak muda aja sih... hi-hi-hi...", kata Naning tertawa mengikik senang.

"Memang benar...! Mamamu ini masih muda kok...!", jawab ibunya pendek saja.

"Ingat ma! Jangan malam-malam ya...", kata Naning mengingatkan ibunya.

"Iya... gimana nanti saja deh...", sudah malas ibunya menanggapinya panjang lebar lagi... yang penting Naning sudah mau bersamanya kerumah pak Dartowan.

***

Ibu dan puteri bungsunya itu sambil jalan seiring dan saling merangkul mesra menyamping, sudah tiba dekat pintu depan rumahnya pak Dartowan. Dido yang sekarang menjadi tuan rumahnya langsung saja membuka pintu depan rumah dan mempersilahkan tamu-tamunya masuk kedalam. Dido kemudian menutup pintu itu dan menguncinya kembali.

'Cantik sekali anak ini', komentar Dido dalam hatinya. Jantung-nya selalu berdetak lebih kencang setiap kali dia memandang paras ayu dan cantik gadis muda usia itu.

Dido menyodorkan tangan kanannya mengajak bersalaman kenal pada
gadis itu. Yang disodori tangan eh... malahan secara refleks langsung memundurkan tubuhnya sedikit kebelakang. Jadi heran sekali Dido melihat Naning ini, yang dipandang... malah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan cepat Dido yang calon dokter itu meng-analisa situasi ini secara ilmu kedokteran. 'Ohhh... anak ini super malu sekali toh...!", inilah kesimpulan awal Dido mengenai gadis cantik didepannya ini.

"Jangan takut dik... kakak sudah jinak... kok", kata Dido sedikit bergurau untuk mencairkan suasana.

Bu Lestari yang menyaksikan semua itu tersenyum, 'Terang aja sudah jinak... kontolmu itu lho... Do...! Kan sudah mendapat jatah dariku... hi-hi-hi...!'. Dia tidak mau mempermalukan anaknya didepan orang lain dengan mendiktenya. Biarlah semuanya terjadi secara normal saja menurut karakter mereka masing-masing, kecuali... kalau puteri bungsunya itu terang-terangan meminta saran darinya. Sementara ini dia hanya pasif saja... tidak mau ikut campur, meskipun sekarang ini dia sebagai penonton sangat aktif sekali... mengawasi dengan seksama kedua orang remaja itu... yang sedang melakukan proses perkenalan awal.

'Lebih baik aku ke dapur saja membereskan semua piring kotor yang sedari siang belum sempat dikerjakan', pikir bu Lestari yang mulai 'normal' kembali.

"Do...! Mbak ke dapur dahulu ya...", kata bu Lestari.

"Sebenarnya yang jadi 'tuan rumah' bukannya aku lho... mbak! Dido mana tahu segalanya, kan baru sampai kesini kemarin sore. Lagi pula opa Darto sudah memberitahu Dido melalui telepon bahwa segala sesuatunya tanya dan minta saja sama mbak Les...", kata Dido menjelaskan semuanya. 'Termasuk... minta ngeseks, kan... semuanya disuruh minta sama mbak he-he-he...', sambung Dido dalam hati... nakal!

"Kenapa kamu tidak memberitahu juga opa-mu tentang kamu berpuasa tadi siang... tidak makan...", timpal bu Lestari mulai rada sewot lagi kalau mengingat semuanya itu.

"Eehhh... jangan marah dulu dong, mbak", kata Dido lembut. "Dido ditelepon opa, ketika masih di Amerika sana, baru mau siap-siap berangkat ke Indonesia kok...", kata Dido memberitahu, agar jelas bagi bu Lestari.

"Ooohh... gitu toh? Pantesan... mbak diminta opa-mu untuk menginap disini sementara beliau bersama Nani ke ibukota... sekarang mbak baru mengerti...", kata bu Lestari mulai paham akan instruksi pak Dartowan, boss-nya itu. Jadi lega deh hatinya sekarang (lega... kenapa ya...? Cuma bu Lestari sendiri yang tahu...).

Sementara itu Naning menyimak semua percakapan itu dengan seksama... menyimpulkan, 'Wah... aku juga harus ikut-ikutan menginap nih... disini'. Naning tidak menyapa ibunya mengenai hal ini... bukan karena takut, tapi lebih disebabkan karena malu... 'Habis kak Dido... gantengnya banget-banget sih... pintar lagi kuliahnya...', demikian penilaian Naning yang baru saja mengalami peristiwa 'jatuh-hati' pada pandangan pertama, dalam hal ini ibunya ikut andil juga... yang mempromosikan Dido langsung pada puteri bungsunya ini.

Rupanya ada benih-benih cinta muncul dari 'pandangan pertama' didalam hati gadis lugu yang super malu ini! Memang demikianlah kenyataan pada umumnya bagi seorang gadis pemalu yang biasanya lebih cepat 'jatuh hati' ketimbang dari gadis yang tidak pemalu... Apalagi bagi Naning yang super malu ini, benih-benih cinta pada 'pandangan pertama' sangat cepat bertumbuh... subur lagi! Bertolak belakang kejadiannya pada gadis-gadis muda yang gaul, kalau cinta pertamanya diterima... ya... syukurlah! Kalau ditolak... ya... kebangetan amat sih... tanpa harus ditangisi sampai berhari-hari... buang-buang energy saja!

Kedua remaja itu berdiri diam saja ditempat berhadap-hadapan... diselimuti keheningan suasana. Tapi setelah merasakan kaki mereka mulai dirambati sedikit rasa kebas... tanpa disadari... mereka sekarang sudah duduk dikursinya masing-masing... masih tetap berhadap-hadapan, cuma dipisahkan oleh meja tamu berkaca tebal yang berbentuk elips. (NB: elips = lonjong}

Sepintas kelihatan kedua sikap mereka sama... tapi berbeda penyebabnya. Kalau Naning lebih disebabkan rasa malu yang kadarnya sudah super, sedang Dido sedang memutar otaknya... menyusun strategi jitu untuk mengatasi keadaan serta berupaya keras mencairkan suasana diantara mereka berdua yang terasa 'kaku' itu.

Naning masih saja menundukkan kepalanya dalam-dalam... duduk diam ditempat.

Tiba-tiba Dido berdiri, lalu membungkuk dan... mengangkat meja tamu itu... dipindah dan ditaruh lagi sampai mepet ke tembok yang terdekat.

Sekilas Naning terkejut dan mengangkat wajah melihat semua ulah Dido itu, ketika Dido kembali lagi menuju kursinya tadi, Naning buru-buru menundukkan kepalanya lagi.

Dido menghenyakkan tubuhnya di kursi... diam sejenak. Tiba-tiba Dido merangkak dengan kedua lutut dan kedua telapak tangannya menjejak di lantai. (NB: seperti guguk... gitu lho... Maaf ya... Do!). Ini memang disengaja, semuanya harus dilakukan secara 'tiba-tiba', tujuannya sebagai 'shock therapy' untuk mengundang perhatian dari Naning yang kalau dinilai sekarang secara psikologis, rasa malu-nya itu sudah parah sekali! Itulah strategi yang dijalankan Dido yang sedang berupaya keras mencairkan kekakuan suasana diantara mereka.

Naning yang masih duduk dan menundukkan kepala, melihat dengan jelas kemunculan sosok tubuh Dido sekonyong-konyong dibawah di lantai didepan dirinya itu, refleks mencetuskan kalimat seru yang lumayan keras, "Aduhh mama...!", lalu segera mengatupkan kedua lututnya rapat-rapat (saat ini Naning berbusana blus atasan dan rok bawahan yang tidak terlalu pendek sih... malah rasanya agak kepanjangan... begitu).

"Sorry... kaget ya...? Kakak cuma mau ikut membantu mencari-kan... apaan ya... yang sudah jatuh ke lantai? Sebab... dari tadi kakak melihat kamu sibuk melihat-lihat terus ke lantai...", kata Dido sambil merundukkan kepalanya... celingukan... menoleh kekiri dan kekanan seakan-akan sedang mencari sesuatu...

Naning tanpa suara, tangannya menyodorkan senter kecil itu dalam genggaman telapak tangannya yang putih mulus... kan dia anak ibunya...

Dido melihatnya dengan rasa sangat senang, ternyata... strategi-nya mulai mendapat respons dari gadis pemalu ini. Diambil dengan segera senter kecil itu yang tadinya diberikannya pada bu Lestari, ibunya Naning. "Kakak pinjam dulu ya dik... senternya", setelah menyalakan senter itu langsung saja Dido tiarap dan memasukkan kepala dan sebagian tubuhnya di kolong sofa yang ada didekat situ.

Sedang Naning hanya menyaksikan saja dengan diam dan... heran!
'Apa dia tahu apa yang telah jatuh dari dariku... aku jatuh hati padamu... kak! Dasar tidak tahu sih...!', rintih Naning dari lubuk hatinya yang lugu dan murni... masih bersih dari coretan-coretan kisah kasih...

Naning masih saja terus mengawasi tingkah-polah Dido dengan seksama. Dilihatnya tangan kanan Dido nongol dari kolong sofa, lalu merogoh-rogoh saku belakang dan saku depan pada jeans coklat yang dikenakannya itu, seakan-akan sedang mencari sesuatu. Kemudian tangan itu masuk lagi kedalam kolong sofa.

Dilihat Naning, tubuh Dido diam sejenak tidak bergerak. Tak lama kemudian Dido menarik keluar seluruh tubuhnya dari kolong sofa itu, seraya berkata dengan nada gembira, "Sudah ketemu... dik!".
Dido menyodorkan kembali senter yang menindih secarik kertas. "Ini senternya dik... sama kertas catatan adik yang jatuh tadi...".

Naning menerima semuanya yang disodorkan itu dengan malu-malu sambil bertanya-tanya dalam hatinya, 'Apa benar itu catatan milikku...? Jangan-jangan miliknya mama yang jatuh tercecer... kali?'.

Segera Naning memegang senter kecil dalam genggaman tangan kirinya dan... memegang kertas itu dengan jari telunjuk dan jempol tangan kanannya dan... membaca isi catatan pada secarik kertas itu.

SUDAH DIK... KAKAK SUDAH MENEMUKAN 'HATI'-MU
YANG JATUH TADI... KAKAK SIMPANKAN DAHULU YA
SEKARANG KITA KENALAN... DAHULU... YUK...

Seketika Naning mengangkat wajahnya... menatap nanar pada Dido, seakan sedang ngelamun... "Kok kakak... bisa tahu sih...??!", tercetus spontan... tanpa disadarinya.. keluar begitu saja... dari mulutnya yang mungil... sexy dan... sedikit bergetar.

Buru-buru Dido menyodorkan tangan kanannya, mengajak bersalaman kenal. Sekarang... secara refleks Naning pun ikut-ikutan menyodorkan tangan kanannya kedepan, maka... bertemulah kedua telapak tangan insan yang berbeda gender itu...

"Dido...".

"Eh... Naning...".

"Kirain nama adik adalah Nani...", kata Dido berpura-pura tidak tahu.

"Itu sih... nama kakaknya Naning... kak...", kata Naning dengan lembut dan cukup pelan.

"Kalau begitu... sekarang Nani berada dimana?", tanya Dido, yang masih saja berpura-pura tidak tahu.

"Kan... sudah 2 hari ini... pergi bersama opa-nya kakak ke ibukota... masak sih kakak tidak diberitahu lewat telepon sama opa-nya?", kata Naning masih tetap lembut dan pelan.

Interaksi diantara keduanya tampaknya... semakin lancar saja. Seakan-akan tulisan pada secarik kertas itu bagaikan 'mantera yang ampuh' yang bisa 'memecah' rasa malu Naning... dengan seketika dan... sirna!

"Kelupaan kali... dia, kakak hanya dipesankan bahwa segala sesuatunya tanya atau minta pada mama-nya dik Naning...", kata Dido... kali ini dia berbicara dengan jujur. "Jadi sebenarnya kakak adalah tamu dirumah ini... kebetulan saja jadi cucu-nya pak Dartowan. Kan mama-nya Naning yang diberi mandat untuk mengurusi semuanya... kalau kakak sih tidak tahu apa-apa mengenai rumah ini...", Dido mengulangi penjelasannya seperti tadi telah diutarakannya pada bu Lestari.

"Seharusnya dik Naning dong... yang menjadi 'guide' bagi tamunya yang malang ini...", Dido mulai melancarkan rayuannya ala 'Western Americana'.

"Hi-hi-hi...", Naning tertawa mendengar kata-kata Dido barusan sambil menutupi mulut sexy-nya dengan tangannya yang mulus. "Emangnya... kak Dido lagi... menderita ya sekarang...? Hi-hi-hi....!", mulai nyaring tawa Naning kedengaran di telinga Dido.

"He-he-he... melihat dik Naning jadi luntur deh... rasa malang-nya", kata Dido masih tetap melancarkan rayuannya. "Bukannya sekarang... kakak dalam 'guiding'-nya dik Naning apa? Iya kan...?", masih saja berlanjut rayuannya si Dido ini...

(Bersambung ke Bagian-4)
 
Terakhir diubah:
:cool:
mengalir... ringan... gokil...
:jempol:
index-index
jangan lupa... e-eh... masih pejwan ya
:D
lancroott-kan imajinasi ente, brad.​
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Waduuhh...! Om slametjogya90, makasih... banget! Seumur-umur McD menulis di forum Semprot ini... baru kali inilah ada yang sudi mengirimkan 'cendol segar' pada McD. Ini adalah 'cendol segar' perdana bagi McD...! Beneeerr... lho...! Sekarang McD jadi bersemangat lagi...
 
Terakhir diubah:
Halo... om thealvino, apa kabar...? Sebenarnya peran yang ada didalam cerita-cerita yang McD tulis... ada lho... yang hamil...! Cuma McD tidak sampai hati untuk membeberkannya di forum sini... habis ini adalah skandal sedarah sih...
McD kasih bocoran nih... sedikit... hanya untuk om thealvino seorang. Dido itu bukanlah cucunya pak Dartowan, tetapi adalah anak yang di-'create' bersama Desrita, puteri tunggalnya sendiri... tidak disengaja memang... Sepandai-pandainya tupai melompat... akhirnya... hamil juga! Dari itu kenapa Dido disekolahkan di 'uncle Sam' sana...
 
Terakhir diubah:
waw... :ngiler:
Ceritaaaa nya asik banget MCdodol :dansa:
Mcdodol kenapa cerita yang lagi 'hamil' nya engga di postingkan? Padahal postingkan aja, biar tau alur cerita nya :)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd