Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

semangat hu...........
 
BAGIAN 18 : SESUATU YANG TAK TERBAYANGKAN


**
POV3D

Hematala..

Badai yang menerjang keseluruhan pulau sudah mereda, hujan sudah pergi entah ke mana, dan gerimis pun sudah tak memiliki sisa-sisa. Semesta kini sudah kembali dinaungi ketenangan. Angin bertiup lembut membawa aroma tanah basah. Serangga-serangga dan binatang kecil mulai keluar dari persembunyiannya. Menyambut amukan badai yang sudah berbaik hati meninggalkan semesta.

Aktivitas pun mulai menggeliat, para punggawa-punggawa Hematala mulai berusaha membersihkan sisa-sisa amukan badai. Yang laki-laki menyingkirkan dahan-dahan pohon yang bertumbangan, yang perempuan menyapu dedaunan yang berjatuhan sampai di ambang teras rumah joglo besar tersebut.

Dan di antara kesibukan tersebut, di antara banyaknya ruangan demi ruangan di rumah tersebut, ada sebuah ruangan kecil yang dihuni oleh perempuan tangguh yang merupakan salah satu dari kelima Pancabara. Dia adalah Jenar.. Jenar Maheswari.

Jenar dengan wajah datarnya terlihat tengah berdiri tanpa busana, sedang merenggangkan tubuh, baru saja bangun setelah tidur singkatnya. Dan memang sudah menjadi kebiasaannya, ketika tidur Jenar akan melepas seluruh pakaian, membuat tubuh indahnya terumbar bagi dinding-dinding dan benda-benda di dalam kamar tersebut.

Dan di tengah tidurnya ia terbangun, sebab di dalam tidurnya ia mendapat beberapa pesan penting. Dari itu, Jenar memutuskan untuk menyudahi istirahatnya.

Setelah merenggangkan tubuh, Jenar pun segera mengenakan kembali seluruh pakaiannya. Setelah itu mengikat sebagian rambutnya ke belakang, sedang sebagian lainnya ia biarkan tergerai. Setelah itu ia mengambil sebuah benda pipih yang terbuat dari kayu, panjangnya kurang lebih satu meter, dengan warna natural mengkilap. Ia segera menempatkan benda tersebut di pinggul kanannya. Setelah itu berdiri diam untuk beberapa saat.

Jenar memejamkan matanya, mengatur napasnya sesaat, barulah setelah itu ia berjalan keluar kamar dengan begitu dinginnya. Langkahnya anggun namun mengintimidasi, tatapannya datar nan teduh namun menyiratkan kengerian, bahkan setiap punggawa-punggawa maupun abdi dalam rumah tersebut tak berani mengangkat wajah, langsung menepi ketika Jenar melewati mereka.

Namun Jenar yang sudah terbiasa dengan tatap ketakutan tersebut hanya membuang napas berat, hatinya bergumam..

Semengerikan itu kah aku di mata mereka?

Batin Jenar antara sedih namun juga memendam setitik kemarahan. Dari itu, Jenar tak pernah bertegur sapa dengan punggawa-punggawa maupun abdi dalam Hematala. Bahkan untuk bertukar anggukan kepala saja ia tak pernah melakukannya, karena untuk apa? Untuk apa menganggukkan kepala kepada orang-orang yang tak pernah menggagapnya keluarga?

Jenar terus melangkahkan kaki dengan tegas, ia angkat dagunya supaya orang-orang tahu, ia tak butuh akan orang lain untuk menghargainya. Cukup beberapa saja, itu sudah lebih dari cukup.

Selasar demi selasar, Jenar pun akhirnya tiba di pintu ruangan milik sang pemuncak kuasa rumah ini, ia ketuk pintu tersebut dua kali, hingga terdengar seruan yang mempersilahkannya masuk. Dan tanpa memegang handle pintu, tubuh Jenar kembali menjelma bak kertas yang dilahap api. Terbakar tipis hingga hilang bersisa abu hitam.

Lalu di bagian dalam ruangan tersebut tubuh Jenar mulai tersusun kembali, seperti kertas yang sudah terbakar namun dibalik oleh waktu, menjadi kertas yang utuh. Setelah itu Jenar langsung menurunkan tubuhnya, memberi sembah hormat untuk Nyimas Ajeng yang tengah berdiri membelakanginya.

“Matur sembah nuwun Nyimas, maaf jika saya telah membuat Nyimas menunggu..” Ujar Jenar dalam posisi berlututnya.

Bersamaan itu Nyimas Ajeng pun memutar tubuhnya dengan lugas, menatap Jenar yang wajahnya tertunduk ke lantai.

“Berdirilah Jenar..” Ucap Nyimas pelan dan lembut. Perempuan pemegang takhta puncak pegunungan utara itu hanya mengenakan kain jarik sebatas dada untuk menutup tubuh indahnya.

Mendengar itu Jenar pun segera berdiri, ditegakkan tubuhnya, dan langsung memasang sikap.

“Maaf karena aku sudah mengganggu istirahatmu, tapi tugas ini memang hanya bisa kupercayakan kepadamu, Jenar.” Tukas Nyimas Ajeng dengan tatapan lembut, dielusnya bahu Jenar dengan pelan.

“Tidak Nyimas, jangan meminta maaf. Bagi saya ini adalah kehormatan yang amat besar.” Sahut Jenar seraya menempatkan tangan kanannya di depan dada, sedikit membungkukkan tubuhnya. Nyimas Ajeng pun tersenyum kecil, kemudian memberikan pelukan lembut pada Jenar yang baginya sudah seperti adik sendiri.

“Terimakasih, Jenar.. terimakasih karena kamu selalu mendukung segala keputusanku.” Ucap Nyimas ketika pelukannya terlepas, dan pelukan itu sedikit banyak langsung membuat hati Jenar luluh.

Bagi Jenar, hanya ada beberapa orang di Hematala yang benar-benar ia anggap keluarga. Dan Nyimas Ajeng adalah salah satunya, bagi Jenar.. Nyimas Ajeng bukan hanya sekedar ratu baginya, lebih dari itu, baginya Nyimas adalah sosok panutan dan kakak yang sangat penyayang.

“Terimakasih juga karena Nyimas selalu mengasihi saya, terimakasih karena Nyimas selalu memberikan kepercayaan kepada saya, jika bukan karena belas kasih Nyimas.. saya pasti sudah..”

“Sssstttt.. tidak usah diteruskan Jenar.. tidak usah diteruskan. Kamu layak mendapatkan itu semua, karena kamu memang berhak mendapatkannya.” Tukas Nyimas dengan lembut, membuat Jenar terdiam dan menahan haru di dadanya.

“Apa Sena sudah berangkat, Nyimas?” Tanya Jenar pendek sembari menahan napasnya, berusaha mengendalikan dirinya, Nyimas Ajeng membalas dengan anggukan pelan.
“Sudah, sekitar lima belas menit yang lalu. Sekarang mungkin dia sudah sampai di desa Gulu Ancak. Dan semoga saja ia mau menuruti perkataanku supaya tidak membebat gas motornya terlalu dalam.” Jawab Nyimas dengan senyuman merekah, yang disambut pula dengan senyuman kecil dari Jenar.
Dan setelah berbasa-basi sedikit, Nyimas pun mulai membawa pembicaraan memasuki topik utama, ke tugas yang akan dijalankan oleh Jenar.

“Ini adalah pergerakan senyap Jenar, dari itu aku meminta tolong kepadamu agar bergerak sehati-hati mungkin.” Nyimas berkata seraya berjalan ke arah meja kecil di samping ranjang pembaringannya.

“Saya akan lakukan yang terbaik Nyimas..” Sahut Jenar masih di posisinya. Nyimas Ajeng pun tersenyum, kemudian ia mengambil beberapa kelopak mawar yang yang mengambang di dalam mangkuk kecil. Langsung dimasukkan ke dalam mulutnya, dan dikunyah halus.

Untuk beberapa saat ruangan itu hening, barulah ketika Nyimas Ajeng selesai mengunyah kelopak mawar tersebut, ia kembali berjalan ke arah Jenar.

“Selain kita, tidak ada yang tahu tentang kepergianmu ini Jenar.. bahkan Sena sekalipun..” Ujar Nyimas yang sudah berdiri tepat di hadapan Jenar.

“Aku sudah memastikan keabsahan informasi ini, aku juga sudah memastikannya dengan Nawang Sukmaku. Dan memang ada titik buta yang amat besar di sana, sesuatu yang amat kuat menutup penglihatanku, tak bisa kutembus. Dan aku sangat yakin, penutup itu adalah Sasah Sukma..” Sambung Nyimas dengan raut tenang. Sedang Jenar takzim mendengarkan.

“Seperti yang sudah kusampaikan di alam tidurmu tadi, ini adalah kesempatan emas untuk kita, karena jika kita berhasil mengamankan anak itu, maka peta kekuatan akan semakin berpihak kepada kita. Dan Purantara.. Purantara akan kehilangan arahnya.” Lanjut Nyimas lagi.

“Dan aku juga harus mengingatkanmu Jenar, lakukan serapi dan sesenyap mungkin. Jangan sampai Basu Senggana yang dipenjarakan di dalam tubuh bocah itu terlepas sebelum tiba di sini. Tetapi jika memang itu terjadi, aku mohon kepadamu.. jangan memaksakan diri..” Nyimas menutup kata-katanya dengan tatapan mengembang air mata.

Sesungguhnya berat bagi Nyimas sendiri melakukan ini, mengirim Jenar -maupun Sena- ke tempat-tempat jauh dan berhadapan langsung dengan marabahaya. Sena yang akan berhadapan dengan pemilik Asta Braja, serta Jenar yang harus berhadapan dengan putra mahkota Purantara.

Sena sendiri sudah berangkat beberapa belas menit yang lalu, dan Nyimas tentunya merahasiakan hal ini -penugasan Jenar- dari Sena. Bukan hanya karena Jenar akan menghadapi marabahaya, lebih dari itu.. jalan yang Nyimas pilih untuk mengirim Jenar jugalah yang pasti akan ditentang Sena.

“Saya akan selalu mengingat pesan Nyimas, dan saya akan lakukan yang terbaik agar tidak mengecewakan amanat Nyimas ini.” Jenar berujar dengan tekad membulat di dada, berusaha mengentaskan segala kekhawatiran dan meneguhkan hati untuk menjalankan misi yang resmi ia emban saat ini.

“Kamu tidak pernah mengecewakanku Jenar, tapi aku mohon, apapun yang terjadi, kamu harus kembali.” Timpal Nyimas dengan raut wajah yang memancarkan kekhawatiran. Dan Jenar mengangguk pelan, bersamaan dengan itu Nyimas memundurkan langkahnya.

Kini kedua perempuan itu saling berhadap-hadapan dengan jarak sekitar empat meter. Jenar dengan sikap tegapnya, dan Nyimas Ajeng yang kini sudah memosisikan kedua telapak tangannya di depan dada, takzim memejamkan mata dan mulai merapalkan rapalannya.

Jenar memandang Nyimas Ajeng dalam-dalam, tersenyum kecil sebelum akhirnya memejamkan mata seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dan dari sudut mata kedua perempuan itu turun sebulir air bening yang membasah di masing-masing pipi.

Nyimas semakin dalam memejamkan matanya, rapalannya panjang belum terputus jua dalam satu tarikan napas. Dan tepat di jeda perapalannya itu, sebuah medan energi tak kasat mata langsung menyebar, mengisi sepenjuru ruangan dengan amat pekat. Tak bisa dilihat, namun bisa dengan jelas dirasakan. Membuat suasana langsung hening, tanpa suara apa-apa, senyap dan hanya bersisa denging di dalam telinga.

Lalu Nyimas Ajeng pun melanjutkan rapalannya, membuat medan energi di kamar tersebut bergerak lembut seirama dengan napas perempuan itu. Dan perlahan menyalurkan hawa hangat yang lambat laun berubah menjadi hawa pengap. Membuat bulir keringat mulai muncul di wajah kedua perempuan yang takzim terpejam itu.

Hingga di menit ke sekian, dengan kedua telapak tangan yang masih menempel di depan dada, Nyimas memutar telapak tangan kirinya ke arah bawah dengan perlahan, seraya bibirnya bergetar melafalkan rapalan terakhirnya..

“..Tut jati lub.. mongso sang hyang maha luhur.. Sun matek aji, ajiku Lawang Geni..”

Krethek.. Krethek.. Krethek.. Krethek..
Sssssrrrrrrrhhh.. Sssssrrrrrrrhhh.. Sssssrrrrrrrhhh..

Bunyi nyala api langsung terdengar ketika Nyimas menyelesaikan rapalan dengan telapak tangan kirinya sudah mengarah ke bawah, berlawanan dengan telapak tangan kanannya yang masih mengarah ke atas.

Bersamaan itu pula, setitik darah turun dari salah satu lubang hidung Nyimas Ajeng, seiring dengan rasa sesak yang teramat sakit mulai menjalari ruang-ruang dadanya kini.

Dan saat ini, tepat di rentang jarak antara tubuh Nyimas dan tubuh Jenar terdapat sebuah nyala api yang berbentuk cincin besar. Berputar cepat dengan percikan-percikan di sekeliling lingkaran api yang tegak berdiri bak portal tersebut. Dengan bagian tengahnya menghitam kelam.


e75d609bdb187415e096f436187bb5c3.jpg

LAWANG GENI

Portal api itu diberi nama Lawang Geni yang memiliki arti pintu api. Dan ajian yang tengah dipugar oleh Nyimas Ajeng saat ini berfungsi untuk membawa tubuh Jenar ke tempat tujuan yang amat jauh jaraknya. Bahkan ajian ini berada satu tingkat lebih tinggi dari ajian lipat jagat milik Purantara. Sebab jangkauan Lawang Geni tak memiliki batas.

Namun, tak seperti lipat jagat yang bisa membawa apa saja yang berada dalam sentuhan dan jangkauan sang pengendali dalam waktu singkat. Lawang Geni tidak seperti itu, ajian itu tidak secepat Lipat Jagat, dan tidak sembarang benda atau sesuatu yang bisa dibawa oleh ajian ini, karena jika tak sesuai syarat, maka benda atau sesuatu yang melewati Lawang Geni hanya akan menjadi abu sebelum sempat memasuki portal api tersebut, dan jikalau pun berhasil memaksa masuk, bisa-bisa benda atau sesuatu tersebut akan terperangkap selamanya, tak bisa keluar dari Lawang Geni sebab tersesat dalam materi gelap yang menjadi penyusun utama ajian tersebut.

Fyuhhhh..

Nyimas Ajeng menghela napasnya pelan, dan perlahan ia menggerakkan kedua telapak tangannya menjauh dari depan dada, mendorong ke depan dengan perlahan-lahan.
“Berangkatlah Jenar.. Huhhh.. doaku selalu menyertaimu..” Ujar Nyimas dengan napas berat, sesak dan sakit sudah benar-benar meraga di sekujur ruang dadanya kini.

Dan mendengar ucapan Nyimas Ajeng, Jenar pun semakin takzim dalam pejam matanya, dieratkan kepalan tangannya dan dirapalkan sesuatu dari bibirnya..

“..inti pelebur geni..” Ujar Jenar pelan sekali, dan bersamaan dengan itu.. seperti sebelum-sebelumnya, tubuh Jenar mulai mengeluarkan percikan api kecil yang melahap dari ujung kakinya. Seperti kertas yang tengah dibakar nyala api.

Sedikit demi sedikit, sampai tubuh Jenar benar-benar habis dilahap api yang ia keluarkan sendiri. Menyisakan abu-abu hitam pekat yang teronggok di lantai. Kemudian abu-abu tersebut pun mulai terangkat, melayang-layang membentuk gumpalan yang sedikit memanjang. Mirip seperti seekor ikan yang tengah berenang.

“Berangkatlah Jenar.. dan kembalilah.. apapun yang terjadi..”

WUSSSSSHHH...

Nyimas Ajeng mendorong kedua telapak tangannya ke depan dengan sentakan keras, bersamaan dengan itu pula Lawang Geni di hadapannya melesat ke depan, menabrak gumpalan abu hitam yang tengah melayang-layang.

Sssssrrrrrrrhhh.. Sssssrrrrrrrhhh... Sssssrrrrrrrhhh..

Portal api itu pun berputar kencang sekali, di setiap putarannya membuat diameter portal tersebut semakin mengecil dan mengecil, hingga pada akhirnya portal tersebut pun hanya bersisa gumpalan api sebesar kepalan tangan yang berputar kencang bak gasing. Lalu..

WUSSSSHHHHHHHHHH...

Pusaran api yang besarnya tak sampai sekepalan tangan itu pun melesat ke atas, menembus langit-langit kamar Nyimas Ajeng tanpa sedikit pun menyisakan goresan. Terbang dengan kecepatan amat tinggi menembus atap rumah joglo tua tersebut.
Melesat kencang membelah langit dingin pegunungan utara dengan kecepatan yang tak bisa dinalar.

“Howeeekk..” Nyimas terbatuk keras, bersamaan itu darah keluar dari mulutnya. Membuat gigi putih perempuan itu berbalur merah darah.

Nyimas langsung jatuh terduduk, kedua tangannya menopang tubuh dengan gemetar. Efek dari penggunaan Lawang Geni memang tak main-main, bahkan untuk seorang Nyimas Ajeng Dayana Arshavira sendiri.

Hal inilah yang membuatnya merahasiakan tentang pergerakan Jenar dari Sena, karena jika sampai Sena tahu, tentunya keponakannya itu akan menentang keras.

“Huh.. huh.. huh..” Nyimas mengatur napasnya dengan susah payah, pekerjaannya belum selesai. Ia harus memastikan bahwa Lawang Geni nya tiba di tempat tujuan. Dari itu Nyimas pun segera bersila kaki, dan tanpa membersihkan darah-darah yang keluar baik dari hidung maupun bibirnya, ia langsung mengatupkan kembali kedua telapak tangannya di depan dada, kembali takzim memejamkan mata.

**

Purantara, di waktu yang sama.


Damar berjalan cepat dengan Arum dan Bogi mengekor di belakangnya, langkah mereka terburu, dan kemelut hati mereka benar-benar sudah kalut.

“Kamu tau dimana Latumbaya bersaudara?” Tanya Damar pada Arum di tengah langkahnya yang tergesa.

“Sora dan Sura pergi bersama Gunar serta Goufar, mereka sedang mendalami informasi dari pola yang dirajah di tangan Abah.” Jawab Arum sembari berusaha mengimbangi langkah Damar.

“Maksud kamu mendalami informasi secara langsung itu apa? Apa ada yang belum aku ketahui perihal pembedahan pola di tangan Ayahmu?” Tanya Damar lagi tanpa melambatkan langkahnya.

“Iya Mas, mereka berempat pergi ke Perbatasan Parung Wetan, karena meski Divisi informasi baru bisa menelaah sebatas bagian luar pola tersebut, tapi itu udah cukup buat mereka mastiin pesan apa yang tersimpan di dalamnya.” Jawab Arum dengan napas terengah, dan seketika itu juga Damar langsung memperlambat langkahnya, menoleh dengan kedua alis tertaut kencang.

“Tunggu Rum..” Damar tiba-tiba menghentikan langkahnya seraya menahan lengan Arum, membuat perempuan itu pun ikut berhenti, juga Bogi di belakang mereka.

“Apa ini ada hubungannya dengan Masku?” Tanya Damar dengan raut wajah yang lebih lembut dari sebelumnya.

Arum pun tersenyum kecil seraya menganggukkan kepalanya pelan. Membuat Damar langsung terhenyak dalam-dalam, ia tak menyangka jika firasat yang ia sampaikan pada Anung Benawi ternyata memiliki penguat, dan penguat informasi tersebut adalah pola yang dirajah di telapak tangan sang pemilik lipat jagat, Mang Diman.

“Kita masih memiliki hara..”

“Kita bahas ini nanti, yang terpenting sekarang adalah Regan. Lagi pula itu ndak terlalu penting buatku.” Damar memotong ucapan Arum seraya berjalan cepat, meninggalkan Arum begitu saja. Berusaha mengendalikan perasaan kalutnya.

Arum terhenyak sejenak, sebelum akhirnya menghela napas dalam dan ikut melangkahkan kaki menyusul Damar yang tengah dibuntuti oleh Bogi. Hingga ketika mereka tiba di bagian tengah ruangan ini, tiba-tiba Rengganis muncul dari salah satu lorong ruangan.

“Damar..” Lembut suara Rengganis terdengar tegas di saat bersamaan, ia melangkah dengan anggun mendekati Damar yang wajahnya terlihat kalut tak karuan.

“Mba..” Sahut Damar seraya memberi anggukan kepala. Rengganis membalas pelan anggukkan tersebut, kemudian menatap ke arah Arum yang baru saja menghentikan langkah di samping Damar.

Sedang Bogi, anjing yang sedari tadi mengekor Damar segera menghampiri Rengganis. Tidak ada keceriaan di wajah anjing itu, namun jelas sekali ia berusaha menyampaikan sesuatu kepada Rengganis.

“Iya.. kamu tenang dulu ya..” Ucap Rengganis sambil memberikan elusan di kepala Bogi.

“Maaf Mba, apa aku bisa ketemu sama Mang Diman?” Tanya Damar dengan wajah masih terburu-buru napasnya sendiri. Rengganis menoleh, kemudian menggeleng pelan.

“Tapi Mba, ini sangat darurat. Ini menyangkut..” Damar berujar dengan tubuh mendekat ke arah Rengganis, namun belum sampai habis kata-katanya, Rengganis lekas memotong.

“Aku tahu, Damar..” Ucap Rengganis dengan wajah datarnya. Damar terdistrak beberapa detik, tak mengira jika kakak iparnya itu sudah mengetahui perihal kepergian Regan.

“Tapi tetap saja, kondisi Mang Diman enggak memungkinkan.” Lanjut Rengganis dengan helaan napas panjang.

Ia tahu, Damar hendak meminta tolong pada Mang Diman yang kondisinya masih belum pulih.

“Lalu kita harus bagaimana Mba? Kalau sampai Regan tiba di sana dan mendapati sisa kekacauan, itu akan sangat berbahaya. Apa yang harus aku bilang ke dia kalau sampai dia tanya dirawat dimana..”

“Damar..” Rengganis memotong kalimat Damar yang terlihat amat gusar dengan sebuah sentuhan di bahu, membuat lelaki itu langsung terdiam keluh.

“Tenangkan dirimu dulu..” Ujar Rengganis lagi sembari mengelus lengan sang adik ipar. Membuat Damar perlahan menundukkan wajahnya.

“Regan tanggung jawabku Mba.. dan harusnya aku bisa melakukan lebih dari sekedar ini.” Ujar Damar lirih, ia mengutuki sendiri kealpaannya. Serta menyesali karena ia tidak bisa melakukan apa-apa selain wara-wiri di bangunan luas yang terpendam di bawah tanah ini.

Ya.. ketiadaan Saka mau tidak mau membuat Damar harus tetap berada di “rumah utama”. Mengemban peran yang selama ini diemban oleh Saka, yaitu ujung komando Purantara. Hal tersebut membuat Damar tidak bisa berkutik, bahkan untuk sekedar mengejar sang keponakan saja ia tidak bisa melakukannya.

“Tanggung jawab kita Damar, tanggung jawab kita semua..” Timpal Rengganis dengan lembut.

“Maaf Den Ayu, Mas Damar..” Tiba-tiba dari arah lift keluar Pak Wangsa, salah seorang punggawa yang kemarin berada di dalam rombongan Purantara yang dihadang Ki Saptadi. Beliau berjalan dengan cepat namun tetap menampilkan wajah tenang.

“Bagaimana Pak?” Tanya Rengganis menyambut kedatangan Pak Wangsa dengan tatapan tenang.

“Latumbaya bersaudara sudah tiba di titik yang ditentukan, Gunar dan Goufar juga sudah bergabung dengan mereka. Perkiraan saya sore ini kita akan menerima laporan kongkretnya.” Jawab Pak Wangsa dengan nada tenangnya.

“Syukurlah, tapi tolong pastikan mereka enggak bertindak terlalu jauh ya Pak.” Tukas Rengganis dengan raut wajah tenang. Yang oleh Pak Wangsa langsung disambut dengan anggukan kepala.

“Bisa kita bahas itu nanti? Sekarang kita fokuskan dulu pada Regan. Apa Pak Wangsa Sudah bisa melacak posisi pasti keponakanku?” Tanya Damar penuh harap. Pak Wangsa segera mengalihkan pandang, kemudian kembali memberikan anggukan kepala.

“Saya mendapat laporan dari Mas Janur Gunung kalau motor Den Regan berada di daerah Situ Rebakan, terparkir di depan rumah kawannya.” Ujar Pak Wangsa yang tengah melaporkan informasi mengenai keberadaan Regan.

“Wawi..” Gumam Arum pelan menyebut nama salah satu kawan sekolah Regan.

“Ya, benar.. motor Den Regan terparkir di rumah kawan sekolahnya. Tapi baik Den Regan maupun kawannya tidak ada di rumah tersebut.” Sambung Pak Wangsa dengan intonasi tenang.

“Tunggu tunggu.. Kalau aku ndak salah, temennya yang tinggal di sana.. yang tinggi itu kan?” Tanya Damar pada Rengganis maupun Arum.

“Iya Mas, Wawi namanya.. dan seperti yang lain, catatan Wawi maupun keluarganya bersih. Enggak ada cacat sama sekali.” Jawab Arum memperjelas.

“Jadi kemungkinan besar Regan tetap melanjutkan perjalanannya, mungkin dia minta ditemani karena belum tahu arah ke Cikiridang. Karena satahu aku, Wawi itu emang sering touring Mas.” Lanjut Arum.

“Kacau.. ini benar-benar kacau..” Gerutu Damar seraya menggigiti kuku ibu jarinya, mencoba mengentaskan kegugupannya.

“Arum.. kamu punya nomor Wawi? Bisa tolong sambungin?” Rengganis bersuara dengan nada tenang, yang oleh Arum langsung dibalas anggukkan kepala.

Perempuan muda itu pun segera mengeluarkan handphonenya, mengutak-atik sebentar untuk menyambungkan telepon ke nomor Wawi yang memang ia sudah ia simpan bersama beberapa nomor kawan Regan yang lain.

“Ini Bu..” Ucap Arum seraya menyodorkan handphonenya pada Rengganis menggunakan kedua telapak tangannya, Rengganis tersenyum dan langsung menerima handphone Arum, segera ditempelkan ke telinganya.

“Tunggu.. Mba mau ngomong apa nanti ke Regan?” Damar angkat bicara melihat Rengganis yang hendak menghubungi Wawi, yang nantinya pasti akan langsung memberi akses kepada Regan di sana.

“Sedang aku pikirkan, Damar. Tapi yang terpenting Regan enggak ke sana dulu kan? Aku yakin kalau aku bilang aku udah di rumah, Regan pasti langsung pulang.” Jawab Rengganis masih dengan nada tenangnya, telefon tersebut masih belum mendapatkan jawaban.

“Tapi kalau nanti Regan nanya tentang Mas Saka piye?” Tanya Damar lagi dengan kalut.
“Sedang aku pikirkan..” Jawab Rengganis lagi seraya menjauhkan handphone Arum dari telinganya sebab telefon tersebut tak mendapat jawaban.

Damar pun akhirnya diam, hanya bisa menghela napas, sedang Rengganis kembali menyambungkan hubungan telefon untuk kedua kalinya, menempelkan lagi handphone Arum ke telinganya. Dan semua yang ada di sana hanya diam, ikut menahan napas menunggu telefon tersebut mendapat jawaban.

“Enggak diangkat Rum..” Ucap Rengganis lemah sembari menyerahkan handphone tersebut kembali kepada Arum. Arum pun menerimanya dengan kedua tangan.

“Aku pinjem bentar..” Ucap Damar seraya mengambil handphone tersebut dari tangan Arum, bersamaan dengan itu ia mengeluarkan handphonenya sendiri dari dalam saku, setelah itu ia mengutak-atik handphone miliknya sembari matanya berpindah dari layar handphone Arum ke layar handphonenya sendiri.

Damar tengah melacak posisi handphone Wawi saat ini, menggunakan handphonenya yang memang sudah biasa ia lakukan. Dan setelah beberapa saat layar handphone Damar pun menampilkan titik koordinat, yang menandakan pelacakannya sudah selesai.

“Gimana Mas?” Tanya Arum mendekatkan tubuh, namun Damar hanya menggeleng pelan.

“Posisi hapenya ada di daerah Situ Rebakan, sepertinya dia ndak bawa hape Rum..” Ujar Damar lemah sembari menyerahkan kembali handphone milik Arum. Perempuan itu pun menerimanya dengan lemas.

“Ini sangat berbahaya bagi Den Regan maupun temannya, terlebih mereka sama sekali tidak tahu kemungkinan apa yang akan mereka hadapi.” Pak Wangsa yang sedari tadi diam-diam cemas pun buka suara, wajahnya terlihat menegang lebih dari sebelumnya.

“Kalau begitu udah ndak ada jalan lain, kita harus meminta tolong pada Mang Diman Mba..” Saran Damar sembari menoleh ke arah Rengganis, namun kembali lagi, Rengganis menggeleng pelan.

“Terlalu berisiko Mas Damar, nyawa Mang Diman akan menjadi taruhan kalau tetap memaksa untuk melakukan lipat jagat di kondisinya yang sekarang.” Pak Wangsa memberikan tanggapannya, dan tentunya Damar tahu betul risiko tersebut. Namun pikirannya benar-benar buntu saat ini.

“Lalu harus pakai cara apa Pak? Punggawa-punggawa Janur Gunung dan rumah utama yang aku kirim punya gep jarak yang lumayan jauh. Punggawa utama di bawah komando Mas Anung pun ndak akan keburu. Kalau kita semakin lama berdebat seperti ini, maka akan..”

“Damar..” Rengganis memotong kembali perkataan Damar yang terlihat menggebu dan berapi-api. Membuat Damar, Pak Wangsa, Arum maupun Bogi si anjing Bulldog hitam besar yang semakin menciut diam.

“Tenangkan dirimu, aku mohon. Sebentar lagi Jenderal Utama dari pihak Militer akan bertandang ke sini. Kamu harus menyiapkan dirimu dengan baik. Aku sendiri akan menghadap ke Istana untuk berbicara langsung pada Perdana Menteri guna menjelaskan tentang anomali cuaca yang baru saja terjadi..” Sambung Rengganis sembari menghela napasnya berat. Karena tak bisa dipungkiri, ia pun merasakan kekhawatiran hebat atas lolosnya Regan dari pengawasan rumah utama.

Tetapi sebagai pucuk kepemimpinan Purantara, ia tak mungkin menampilkan kerapuhannya saat ini. Sudah cukup ia menangisi suaminya di kamar, sudah pula ia menangisi anaknya yang berhari-hari tak ia temui. Saat ini yang ia bisa lakukan adalah membereskan segala kekacauan yang terjadi. Tentunya dengan mengesampingkan ego dan emosi yang melingkupinya saat ini.

“Lalu apa kita harus berdiam diri saja Mba? Di luar sana keponakanku sedang dalam, baik bahaya dari luar maupun bahaya yang bersemayam di dalam dirinya sendiri..” Ujar Damar dengan kalutnya yang masih menguasai.

“Dia juga anakku Damar.. anakku! aku sama khawatirnya denganmu, yang lain juga sama. Tapi apa dengan mengikuti ego dan emosi seperti ini akan menyelesaikan masalah?” Tanya Rengganis dengan raut wajah muram, kedua alisnya tertaut kencang menahan gemuruh di dalam hatinya.

“Tapi Mba.. Regan di luar sana sendirian, dia tengah menjemput bahaya. Ditambah kemungkinan sisa-sisa orang Hematala masih berkeliaran. Dan yang paling aku takutkan.. kalau sampai Nyimas Ajeng mengirim salah satu Pancabara-nya untuk menyergap Regan melalui Lawang Geni yang ia kuasai. Karena jika itu terjadi, kita ndak akan punya kesempatan lagi.”

Damar menyampaikan keresahannya dengan tangan gemetar, wajahnya memerah padam memendam kemelut diri, hatinya bergemuruh membayangkan kalau sampai Regan keponakannya disergap oleh orang-orang Hematala, terlebih lagi, jika yang menyergap itu adalah punggawa-punggawa terbaik dari daerah yang tersembunyi di pegunungan utara pulau utama negeri ini.

“Aku tahu Damar.. tapi bagaimana pun, kita enggak bisa memaksakan Mang Diman dengan kondisinya yang seperti ini. Kita enggak boleh mempertaruhkan nyawa beliau untuk memperbaiki situasi ini. Aku harap kamu mengerti Damar.” Ujar Rengganis dengan raut wajah lemasnya. Dan Damar perlahan kembali menundukkan wajah, kebimbangan maha dahsyat melanda ruang-ruang perasaannya saat ini.

“Tapi kita masih bisa memakai cara yang lain untuk menggapai Regan saat ini, tanpa perlu mengorbankan nyawa punggawa kita sendiri.” Sambung Rengganis seraya menempatkan telapak tangannya di bahu Damar, membuat wajah Damar seketika kembali terangkat mendengar kata-kata Kakak Iparnya itu.

“Jangan bilang kalau..” Damar berujar dengan ujung kalimat yang menggantung, dan ucapannya tersebut langsung direspons dengan anggukan oleh Rengganis.

Bersamaan itu sesosok makhluk berjalan dari arah lorong yang tadi dilewati Rengganis. Langkah makhluk itu pelan namun terkesan sangat mengintimidasi, bahkan Pak Wangsa, Arum dan Bogi si anjing hitam menyeramkan saja sampai memundurkan langkahnya, terdistrak akan kehadiran makhluk tersebut.

Makhluk tersebut memiliki empat kaki yang menapak tegap, terangkat bergantian di tiap langkahnya. Mahluk itu juga memiliki bulu-bulu yang bersih mengkilap dengan warna senada dengan singa namun tanpa surai di lehernya, tatapannya dingin dan tajam, dan yang paling menyeramkan tentu saja taring putih besar yang menggantung di rahang bagian atas hewan tersebut. Menggantung dengan ujung taring yang jauh melewati dagu.

“Hhhrrrmmmhhh..” Eram makhluk tersebut dengan beratnya sembari terus berjalan mendekat.

Dan ya.. makhluk tersebut adalah seekor hewan purba yang sejatinya sudah lama punah di buku-buku sejarah dunia. Seekor harimau gigi pedang namun dengan ukuran jauh lebih besar dari apa yang digambarkan di buku-buku sejarah dunia, yang dengan keempat kaki menapak saja, punggung harimau pedang itu hampir sejajar dengan bahu Rengganis maupun Arum.

“Ta.. tapi Mba..” Ucap Damar dengan bibir terbata ketika harimau pedang tersebut sudah berdiri dengan gagahnya di samping Rengganis, menatap nyalak satu persatu mata yang ada di hadapannya.

“Hanya ini cara yang paling tepat untuk menggapai Regan, Damar. Kecepatan mereka akan memangkas jarak serta waktu yang kita butuhkan. Ditambah Arum juga akan membantu pengejaran ini dengan Samar Moksa nya, jadi mereka bisa bergerak dengan sangat leluasa..” Terang Rengganis seraya menolehkan wajah ke arah Kucing besar bertaring mengerikan yang sudah berdiri di sampingnya.

“Hhhhrrrmmm..” Eram Harimau pedang tersebut dengan tatapan tajam.

“Tunggu tunggu.. mereka?” Tanya Damar dengan alis tertaut, dan pertanyaan tersebut langsung direspons Rengganis dengan menatap Bogi. Membuat Damar, Arum, Pak Wangsa dan Si Harimau pedang ikut menatap anjing buldog besar tersebut.

“Heennggg..” Bogi meringkih dengan wajah masam karena ditatapi semua mata yang ada di sana, terlebih ia amat terintimidasi dengan kehadiran harimau gigi pedang yang tengah tajam menatapnya.

“Ya, mereka.. Sembawa Anggar dan Jembaka Siam..” Ujar Rengganis sembari memberikan elusan di pipi harimau tersebut. Membuat harimau itu sejenak memejamkan mata, menikmati usapan Rengganis.

Ya.. hewan besar yang berada di samping Rengganis itu bernama Sembawa Anggar, yang jika diartikan dalam bahasa lampau berarti harimau pedang.

manuel-peter-sabertooth-final.jpg

(Sembawa : Harimau, Anggar : Pedang)
Sedang Jembaka Siam sendiri adalah nama asli dari anjing jenis Bulldog yang tengah mengkerut nyalinya saat ini. Yang memiliki arti Anjing Kembar.

“Apa Sembawa Anggar saja ndak cukup Mba?” Tanya Damar sembari merapatkan tubuhnya pada Bogi.

“Hhhrrrmm.. aku setuju dengan hooman ini Den Ayu, aku bisa melakukan tugas ini sendiri, aku tak butuh anjing manja itu.. hhhrrrrmm..”
Arum dan Pak Wangsa langsung menelan ludah mereka dengan berat, saat tiba-tiba harimau pedang di hadapan mereka mengeluarkan kata-kata. Berbicara bak manusia. Dengan suara berat dan eraman yang amat dalam.

“Hengghhh..” Bogi meringkik sedih dan bersembunyi di belakang Damar. Seolah ia juga tak berani jika harus berhadapan langsung dengan harimau pedang tersebut.

“Jangan begitu Sembawa, bagaimana pun Jembaka harus ikut dalam pengejaran ini. Kalau Jembaka Siam enggak ikut, apa kamu bisa melacak jejak Regan dengan akurat?” Rengganis berucap dengan santainya, seolah tiada sedikit pun ketakutan di dalam dirinya saat ini.

“Hhhrrrrmm.. baiklah, tapi kalau sampai anjing manja ini membuat masalah atau menyusahkanku barang sedikit saja, aku tidak akan segan-segan untuk mencabut salah satu kepalanya Hhhrrrrmm..” Cibir Sembawa Anggar dengan tatapan tajam, membuat Bogi kian bersembunyi di balik tubuh Damar.

“Jembaka Siam.. kamu bersedia kan menemani dan menuntun Sembawa mengejar Regan?” Tanya Rengganis dengan tubuh dibungkukkan, mencoba menatap wajah Bogi yang masih bersembunyi di belakang Damar.

“Ciiihhh.. dasar pecundang..” Cibir Sembawa lagi dengan acuh sambil memalingkan wajah.

“Hheenngghh..” Ringkik Bogi mencoba terus menyembunyikan wajahnya dari pandangan Rengganis.

“Kamu enggak mau ya dipanggil Jembaka, maaf.. sekarang aku tanya, Bogi mau kan menemani Sembawa?” Tanya Rengganis lagi dengan suara lembutnya.

Dan perlahan-lahan, Bogi alias Jembaka Siam pun mulai memberanikan diri menunjukkan wajahnya, terlihat anjing itu berpikir sejenak, sebelum akhirnya mulai menunjukkan tubuhnya secara penuh. Keluar dari persembunyiannya di balik tubuh Damar.

“Anak pintar.. sekarang aku ingin kamu memanggil saudaramu ya..” Ujar Rengganis sembari memberikan usapan lembut di kepala Bogi, setelah itu Rengganis pun kembali menegakkan tubuhnya.

Kemudian Damar menggeser tubuhnya ke samping, memberikan ruang bagi anjing hitam tersebut. Dan bersamaan dengan itu, keempat kaki Bogi mulai melebarkan tapaknya, menapak keras dengan tubuh yang kian merendah. Tidak itu saja, tubuh anjing itu pun kini mulai bergetar seiring dengan eraman berat yang keluar dari moncong bergelambirnya. Matanya melebar dengan gigi-gigi yang bergemaratak.

“HEERRGGGHHH.. HEERRGGHH..”

Tubuh Bogi kian gemetar hebat, eramannya kian terdengar berat dan amat dalam. Keempat kakinya kian menapak tegas dan melebarkan jarak di lantai.

Melihat itu Rengganis pun lekas mengulurkan telapak tangannya ke depan, dan kabut pun mulai keluar dari telapak tangan Rengganis, mengarah ke tubuh Bogi dan menyelimuti tubuh anjing itu, tebalnya kabut Rengganis membuat tubuh Bogi benar-benar tak terlihat oleh semua mata yang ada di sana.

“ERRRGGGHHH.. OUGGGHHH... EEERRRGGGHH..”

Terdengar eraman dan gonggongan yang berat dan menyeramkan dari dalam kepulan kabut milik Rengganis, eraman dan gonggongan yang terdengar begitu dipenuhi kesakitan, begitu lirih namun mengerikan di saat yang sama.

Setelah beberapa saat lamanya, Rengganis pun menarik tangannya, menyudahi aliran kabutnya. Membuat kabut tebal yang membungkus tubuh Bogi mulai menipis secara perlahan.

Dan setelah kabut yang menutupi tubuh Bogi benar-benar hilang, sesosok makhluk yang besarnya hampir sama dengan Sembawa Anggar si harimau pedang di samping Rengganis pun terpampang dengan mengerikan, tingginya hanya sedikit lebih rendah dari Sembawa Anggar.

Dan makhluk tersebut adalah Jembaka Siam, bentuk asli dari Bogi si anjing bulldog hitam kesayangan Regan dan Damar. Namun tentu Jembaka Siam bukanlah Bogi yang lucu dan menggemaskan, sebab bentuknya yang kembali ke wujud asli benar-benar jauh dari kata menggemaskan..

Tubuh Jembaka terlihat padat berisi, otot-otot kakinya terlihat tangkas dan keras, cakarnya memanjang, punggung anjing itu pun bak anjing binaragawan, amat kekar. Namun bukan itu yang membuat Jembaka Siam jauh dari kesan Bogi si anjing manja dan menggemaskan, melainkan jumlah kepala anjing tersebut yang membuatnya terlihat mengerikan.

Ya.. kata 'Siam' yang ditempatkan di belakang nama Jembaka benar-benar mengartikan sebuah definisi kembar siam. Sebab kepala anjing itu kini berjumlah dua, ya.. anjing hitam besar berkepala dua yang mengerikan!!
“HHRRRGGHH.. OUGHH.. OUGHH..”
“HHRRRGGHH.. OUGHH.. OUGHH..”


2517475-bigthumbnail.jpg

JEMBAKA SIAM
Kedua kepala Jembaka Siam menggonggong berbarengan, tatapan masing-masing mata di kedua kepala anjing tersebut nyalak menghujam ke arah Sembawa Anggar, si harimau pedang yang masih saja terlihat santai tak terintimidasi.

“Hhrrrmm.. sekali lagi kalian menggonggong seperti itu ke wajahku, aku pastikan salah satu dari kalian akan mati di tempat ini hhhrrmm..” Sembawa berujar sembari menegakkan posisi berdirinya, kepalanya tinggi terangkat, membangun intimidasi diri.

Dan hal tersebut ternyata sudah lebih dari cukup untuk membuat Jembaka tunduk, anjing berkepala dua itu pun memundurkan kakinya dengan kedua kepala merendah, hilang sudah gonggongan anjing tersebut, hanya bersisa eraman-eraman berat.

“Hhhrrrrgghhh..”
“Hhhrrrrgghhh..”

Melihat Jembaka merunduk di hadapannya membuat Sembawa sang harimau pedang itu pun menyeringai kecil.

“Jaga sikapmu Kep..” Damar membuka suara hendak melerai ketegangan kedua hewan di hadapannya, namun kata-katanya tak selesai sebab Sembawa Anggar langsung menoleh tajam pada Damar, mengeram dengan kuku-kuku kakinya yang ditekan siap menerkam.

“Hhhrrmmhhh.. Sekali lagi kau panggil aku dengan nama itu, maka akan kucabik lehermu sampai putus!!” Sergah Sembawa seraya merundukkan tubuh, seolah bersiap menerkam Damar kapan saja.

“Cu.. cukup.. cukup!” Arum yang sedari tadi hanya terdiam keluh akhirnya pun turut buka suara, ia segera berdiri di antara Sembawa Anggar dan Damar yang juga terpancing emosinya.

Kedua tangan Arum terentang dengan kedua telapak tangan terbuka, satu telapak tangannya ia tempatkan di dada Damar. Menahan lelaki itu agar tidak terpancing lebih jauh dengan sikap angkuh sang harimau bergigi pedang itu. Sedang telapak tangannya yang lain terbuka dan berada tepat di depan wajah Sembawa.

“Raaarrrggghhh..” Sembawa mengaum dengan suara berat, tidak keras, lebih seperti auman menguap. Dan setelahnya, kucing besar tersebut pun langsung menempelkan kepala bagian keningnya ke telapak tangan Arum, mendusel-dusel di sana.

“Kurang ajar..” Gumam Damar kesal melihat kelakuan sang kucing besar tersebut yang tengah memanjakan wajahnya di telapak tangan Arum, ia hendak maju kembali, namun oleh Arum segera ditahan dengan gelengan kepala.

“Hhhrrrrmmhh.. kalau Hooman betina yang jelita dan baik hati ini bebas memanggilku apa saja, aku tidak akan mempermasalahkan.. hhhrrrmmhh..” Gumam Sembawa Anggar dengan tatapan mengejek ke arah Damar, seolah tengah berusaha mengkonfrontasi sang ujung tombak baru Purantara.

“Bangsat!” Maki Damar tertahan ketika Sembawa semakin memanjakan kepalanya di telapak tangan Arum.

“Sudah.. cukup.. mau sampai kapan kalian berdebat seperti ini? Hah? Mau sampai kapan kalian membuang-buang waktu seperti ini?” Tanya Arum lembut namun terdengar tegas kepada Damar dan Sembawa, memandang dua makhluk berbeda spesies tersebut dengan tatapan sendu.

Dan itu langsung membuat Damar redam seredam-redamnya, lelaki itu pun segera memundurkan tubuh untuk membuat jarak, langsung bersendakap dengan wajah dibuang ke samping, tak sudi menatap si harimau gigi pedang yang sudah berhasil mengkonfrontasinya.

“Hhhrrrmmhh.. tanganmu lembut sekali Teh Arum.. herrrgghh.. aku jadi mengantuk hhhoooaaammmss.. hhrrrmmhh..” Ujar Sembawa santai seraya menarik kepalanya, lalu menguap lebar. Memamerkan deretan gigi-gigi utamanya yang tak kalah runcing dengan sepasang taring pedangnya.

“Sudah, jangan membuang waktu lagi. Sembawa.. Jembaka.. bersiaplah.. Arum akan menyamarkan tubuh kalian dengan Samar Moksa.. jadi aku harap, kalian bisa mengambil jalur yang paling cepat..” Rengganis yang sedari tadi hanya menikmati 'opera' di hadapannya pun kembali buka suara, dan bak titah mati, ucapan Rengganis langsung direspons oleh Jembaka Siam dan Sembawa Anggar dengan tegakkan tubuh.

Mereka langsung berdiri sejajar, menghadap ke arah Arum yang tengah bersiap pula melalukan 'sesuatu' untuk melengkapi pengejaran Regan tersebut.

“Sampai kau menyusahkanku di sana, akan kupotong saudaramu ini hhhrrmmhh..” Bisik Sembawa kepada salah satu kepala Jembaka Siam, membuat anjing tersebut langsung mengeram tertahan, mencoba meredam dan tak meladeni intimidasi dari sang harimau gigi pedang tersebut.

Dan bersamaan dengan itu, kini Arum sudah mengangkat kedua tangannya sebatas kepala kedua hewan di hadapannya. Mata Arum terpejam dalam-dalam, bibirnya merapal-rapal pelan tak bisa didengar.

Bersamaan dengan itu, pancaran energi bening mulai mengalir dari kedua telapak tangannya. Memantulkan spektrum warna-warni selama pengaliran kekuatan tersebut.

Dan aliran energi dari Arum itu kini mulai membalut bulu-bulu kedua hewan di hadapannya, menyalurkan hawa dingin yang begitu nyaman bagi kedua makhluk tersebut.

“Hhrrrrmmhh.. tugas kalian berdua hanya menuntunku, tidak lebih, dan kalau kalian berdua sampai melambat apalagi berhenti untuk beristirahat, maka itu berarti kalian mengizinkanku memenggal leher salah satu dari kalian..” Bisik Sembawa lagi dengan usilnya kepada Jembaka Siam, membuat kedua kepala anjing itu bergerak menoleh ke arahnya dengan tatapan kesal, namun tentunya kesal yang tersalurkan.

Dan seolah pemenang dalam sebuah pertandingan, Sembawa tersenyum lebar dengan dagu yang terangkat, merasa berhasil mengintimidasi sang anjing hitam besar di sampingnya dengan amat telak.

Perlahan tubuh kedua hewan itu pun benar-benar terselimuti oleh energi bening yang dipancarkan oleh Arum dari telapak tangannya, membuat kedua tubuh hewan tersebut mulai menyamar dengan ruangan sekitarnya. Mulai transparan di penglihatan, mulai mendekati kata tak kasat mata.

Dan setelah seluruh pancaran energi dari Samar Moksa Arum menyelimuti kedua hewan tersebut, menyamarkan raga Jembaka Siam dan Sembawa Anggar secara utuh, Arum pun menurunkan tangannya. Memandang kedua hewan di hadapannya yang sudah tak lagi bisa dilihat oleh mata kepala manusia.

Tetapi untuk orang-orang yang memiliki tingkat Kanuragan tinggi, meski tidak terlihat secara jelas, namun tetap bisa merasakan kehadiran kedua hewan yang disamarkan oleh Samar Moksa Arum tersebut.

“Hoi Anjing manja.. apa yang kalian tunggu lagi? Cepat!!” Terdengar Suara Sembawa menggema di sepenjuru ruangan, menegur Jembaka Siam yang masih berdiri dengan lidah terjulur di sampingnya. Untuk mereka berdua, mereka tetap bisa saling melihat keberadaan, mata mereka tidak tersamarkan satu dengan yang lainnya.

“Herrrrgghhh..”
“Herrrggghhh..”

Kedua kepala Jembaka Siam mengeram tertahan dengan pandang tertunduk ke arah Sembawa, namun sedikit pun kucing raksasa itu tak terpengaruh, ia justru membalas tatapan Jembaka Siam dengan santai.

“Bogi.. jangan emosi seperti itu.. Baik dalam wujud kecil maupun besar, Kepin tetaplah Kepin, dia akan selalu senang mengusilimu.. hihihi.. sekarang berangkatlah.. Kepin akan selalu menjagamu..” Ucap Arum yang kini sudah membungkukkan tubuh, memandang bergantian wajah Jembaka dan Sembawa.

“Hhhrrrmmhh.. karena kau selalu baik kepadaku, jadi aku tidak mempermasalahkan panggilan menyebalkan itu. Hhrrmmhh..” Sahut Sembawa dengan nada tenang.

“Houghh.. Hougghh..” Timpal Jembaka sembari menggerak-gerakkan ekornya.
“Kami semua mengandalkan kalian, cepat temukan Regan dan bawa dia pulang ya. Kepin tau kan cara membatalkan samar moksaku?” Ujar Arum dengan senyum mengembang, dan itu langsung direspons Sembawa Anggar dengan anggukan kepala, kemudian kedua hewan tersebut langsung memutar tubuhnya, bersiap berangkat.

“Hougghh!!”
“Hougghh!!”

Jembaka menggonggong seraya mendekat ke Rengganis, dan Rengganis pun segera mengangguk sembari memberi senyuman.

“Bawa Regan pulang ya, aku yakin kalian pasti bisa melakukan tugas ini..” Ucap Rengganis penuh harap.

“Hrrrmmhh.. Den Ayu bisa mengandalkanku, tapi aku tidak tahu apakah Den Ayu bisa mengandalkan mereka berdua hhrrmmhh..” Ejek Sembawa pada Jembaka di sebelahnya. Membuat anjing berkepala dua itu mengeram sebal bukan main.

“Sembawa.. kamu itu seneng banget sih ngusilin Jembaka hihihi.. berangkatlah.. dan ingat.. kalian berdua harus bahu-membahu ya, saling menjaga satu sama lain..” Tukas Rengganis tersenyum kecil.

“HOUGH.. HOUGH..”
“HOUGH.. HOUGH..”

Kedua kepala Jembaka Siam menggonggong nyalak dan penuh semangat, seolah mengatakan bahwa mereka siap untuk menyelesaikan misi ini.

“Hhrrrmmhh.. saling menjaga atau aku yang harus menjaga mereka berdua?” Tanya Sembawa Anggar dengan keempat kaki yang mulai direndahkan, siap bertolak. Dan ucapan Sembawa hanya disambut senyum dan gelengan kepala baik oleh Rengganis maupun oleh Arum.

Dan setelah itu, kedua hewan tersebut mengeram-mengeram pelan namun terdengar berat dan dalam. Kaki-kaki mereka kompak merendah, setengah menekuk. Setelah itu mereka pun kompak meloncat kedepan dan berlari dengan kencang menuju tangga utama.
Langkah mereka terlihat lebar sekali, membuat mereka dengan cepat sudah mencapai tangga hanya dengan beberapa lompatan. Langsung berlari ke atas menyusuri anak tangga rumah utama tersebut untuk mencapai ke permukaan.

Gonggongan dari Jembaka Siam terdengar nyalak menggema, sedang Sembawa Anggar di sampingnya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengimbangi kecepatan lari anjing hitam berkepala dua itu.

Dan tak butuh waktu lama, mereka pun sudah tiba di permukaan. Langsung berlari lebih kencang dari sebelumnya. Menembus tembok tinggi penghalang rumah utama tanpa perlu melompati atau memutar jalan.

Lebar langkah mereka terlihat semakin tegas dan lebar, dan di tiap detiknya kecepatan lari mereka semakin bertambah. Mereka berlari tanpa perlu mengikuti alur jalan raya, menembus dan menerabas lurus ke titik yang tujuan. Menembus tembok demi tembok, rumah demi rumah, menerabas sembarang apa saja yang ada di hadapan mereka.

Berusaha tiba secepat mungkin, melesat dan saling mengimbangi kecepatan masing-masing, nyalak seperti tengah memburu mangsa di alam liar. Tangkas dan tegas, kompak menebas angin dan menyusur alas bumi.

*

Selepas kepergian Sembawa Anggar dan Jembaka Siam, Damar pun langsung berjalan meninggalkan yang lainnya. Langkanya cepat dan tak memedulikan apa-apa, bahkan ketika Arum bertanya hendak kemana, Damar hanya mengangkat tangannya tanpa menolehkan wajah, seolah meminta Arum untuk tidak banyak bicara.

Dan tepat ketika langkah Damar terhenti di depan lift utama, lift tersebut pun terbuka dengan seseorang keluar dari dalam sana, sempat bersitatap dengan Damar sebelum akhirnya melanjutkan langkah.

Dan Damar pun seolah tak mau ambil pusing, ia langsung masuk ke dalam lift dan menekan tombol untuk membawanya ke lantai teratas. Kemudian tepat ketika pintu lift tertutup, Damar langsung mengeluarkan handphonenya, membuka sebuah aplikasi yang langsung menampilkan background hitam dengan titik-titik berwarna hijau.

Ia perbesar beberapa kali tampilan aplikasi tersebut, sampai kemudian ia terdiam ketika mendapati titik berwarna hijau yang paling dekat dengan lokasi di kepalanya. Dan saat itu juga Damar langsung merogoh saku celananya yang lain, segera mengeluarkan ponsel lawas berwarna abu-abu dengan layar kecil dan keypad fisik bersusun. Sebuah ponsel dari pabrikan yang beberapa tahun lalu masih berjaya, Nokia.

Ia segera mengutak-atik ponsel lawas tersebut, mencari sebuah nama di buku kontaknya, dan langsung menekan tombol panggilan, langsung menempelkan ponsel tersebut ke telinganya.

Untuk beberapa detik terdengar bunyi sambungan telfon yang belum di angkat, sampai kemudian berganti menjadi suara sapaan dari seberang sana. Membuat seketika itu juga rahang wajah lelaki itu mengeras dengan urat leher yang menegang.

“Sang Hyuk-ah.. Perubahan rencana..”

**

POV REGAN

Pertengahan Jalan Raya Alasbumi..
Aku memandang kosong jalan raya di depanku yang begitu ramai, deru-deru mesin kendaraan tak henti-hentinya berlalu-lalang. Dari kendaraan roda dua, sampai truk-truk besar terlihat sibuk mengejar waktu masing-masing.

Pasca hujan angin yang sempat turun beberapa waktu sebelumnya, langit masih belum berbaik hati mengizinkan matahari untuk unjung gigi. Membuat suasana alam raya berselimut mendung yang sedikit lebih terang dari sebelumnya.

Aku menghela napasku panjang dan dalam, lalu kuhisap batang rokok garpitku yang sudah terbakar lebih dari setengahnya.

Fyyuuhhhh..

Kuhembuskan asap rokokku tinggi-tinggi ke udara, kutengadahkan kepalaku menatap langit muram.

Jagat Dewa Batara.. bagaimana keadaan Ayah, Ibu dan Mang Diman sekarang?
Hatiku gusar sendiri jadinya, apalagi kalau melihat keadaan mobil Ayah yang ada di BB-nya Dira, terbalik dan remuk di sana-sini.

Susah buatku mensugesti diriku sendiri kalau keadaan mereka baik-baik saja. Yang ada malah pikiran-pikiran buruk tentang keadaan orangtuaku saat ini.

Dibawa kemana mereka? Di rumah sakit mana mereka dirawat? Bagaimana keadaan mereka?

Arrrgghh.. bangke..

Kenapa sih? Kenapa perkara beginian aja aku enggak dikasih tau? Kenapa perkara penting kaya gini Teh Arum malah nyembunyiin ini dariku?

Tiap hari aku udah kaya orang bego ngarepin Ayah sama Ibu pulang, tiap hari aku kaya orang bego yang percaha gitu aja kalau Ayah ada penugasan lanjutan. Sumpah.. kaya orang bego banget aku.

“Minum Men..”

Di tengah lamunanku Wawi datang, ia menyodorkan teh botol ke arahku, yang segera aku terima sembari mengucapkan terimakasih. Wawi sendiri memilih teh kotak sebagai pelepas dahaganya. Setelah itu ia duduk di sampingku.

Kami sendiri saat ini berada di ujung jembatan beton yang berada di jalan raya Alasbumi. Karena entah mengapa ketika Wawi tengah dalam-dalamnya membebat gas motor, nafasku agak sesak, mungkin karena faktor shock dan penuhnya isi kepalaku. Jadi aku minta pada Wawi untuk beristirahat sejenak, aku sih bilangnya kalau mulutku asem aja, enggak bilang kalau napasku sesek.

“Lu udah ngabarin Ka Ranti?” Tanyaku pada Wawi, teringat bahwa sedari tadi ia belum terlihat ngutak-ngatik hapenya buat mengabari Kak Ranti, Kakaknya.

“Hehehe.. lupa bawa hape gua..” Jawab Wawi sambil garuk-garuk kepala, yang langsung kusambut dengan gelengan pelan.

“Kampretlah.. terus ngabarin Ka Rantinya gimana dong?” Tanyaku geregetan namun yoleh Wawi hanya direspons dengan tawa senyum kecil, ia pun langsung meneguk minumannya.

“Gampanglah.. paling gua digerutuin doang gara-gara enggak jemput dia ckckck..” Jawab Wawi enteng saja, sedang aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, enggak habis pikir kok bisa-bisanya Wawi enggak bawa hape, padahal kita kan lagi touring jauh ini.

“Udahlah enggak usah dipikirin, kita kelarin cepet-cepet, biar enggak sampe sore di sini.” Ucap Wawi lagi sembari menyenggol bahuku, aku pun mau enggak mau Cuma bisa tersenyum kuda menanggapi ucapan Wawi.
Ya mau gimana lagi? Namanya lupa kan pasti enggak inget dia.

Hufttt.. huuu...

Aku pun kembali memandang jalan raya yang ramai lalu lalang kendaraan, enggak mau nambah-nambahin beban pikiran dulu lah, udah pusing nambah pusing nanti malahan. Aku pun kembali menghisap rokokku seraya mengurut pelan keningku. Mencoba meredakan mumet dan kalut yang menyelimutiku saat ini.

“Udah.. Nyokap Bokap lu pasti baik-baik aja Men..” Ucap Wawi sembari membakar rokok keduanya.

Di jeda pembakaran rokok pertama tadi ia sempat pamit padaku untuk membeli minum di warung yang terletak di seberang jalan. Memberikanku waktu beberapa saat untuk bersendiri meresapi pemikiran-pemikiran di kepala penuhku ini.

“Hufftt.. gua juga ngarepnya gitu sih Wi, tapi beneran dah, emang dari kemaren tuh perasaan gua udah enggak enak banget, asli..” Sahutku dengan napas berat.

“Iya gua paham.. tapi lu juga harus tenang dulu Men.. jangan mikir yang enggak-enggak dulu.. siapa tau Teh Arum enggak bilang ke elu emang karena enggak mau bikin lu khawatir..” Tukas Wawi mencoba menenangkanku.

“Tapi apa harus diumpetin kaya gini Wi? Gimana juga sebagai anak, gua berhak tau kondisi Nyokap Bokap gua..” Sergahku kalut.
“Iya gua paham Men.. gua ngerti.. cuman kalo lu kebawa emosi kaya gini enggak bagus juga. Coba bayangin kalo lu lebih tenang pas tau berita ini, terus lu nanya ke Teh Arum baik-baik, dari hati ke hati, pasti Teh Arum juga bakal luluh dan ngasih tau lu tentang kondisi Nyokap Bokap lu. Kalo gitu lu kan lebih gampang buat ngecek kondisi mereka, enggak harus gambling kaya gini..” Terang Wawi kepadaku.

“Gambling gimana sih Wi?” Sergahku dengan wajah kalut.

“Ya kaya gini, kita kan gambling ini namanya. Kita enggak tau posisi nyokap bokap lu di mana sekarang kan? Efeknya apa nanti kalau kita sampe ke tkp yang tadi lu ceritain? Nanya-nanya lagi kan? Iya kalo langsung dapet lokasi pasti, kalau enggak? Berarti kita harus nyisir beberapa klinik sama RS yang ada di kisaran Pelabuhan Kanjeng kan?” Ujar Wawi menerangkan maksud perkataannya.

Aku terdiam keluh, entah mengapa aku setuju dengan Wawi. Andai tadi aku enggak kebawa emosi, dan bisa ngomong baik-baik ke Teh Arum. Sekarang pasti aku udah tau lokasi pasti Ayah sama Ibu semisalnya dirawat di mana.

Bener deh.. aku noob banget emang dalam perihal pengendalian diri..

“Sorry Men.. gua enggak maksud ngeguruin elu. Yahh.. toh udah kejadian juga, omongan gua lu pake di kemudian hari aja. Sekarang mah yang terpenting kita harus nemuin lokasi orangtua lu dirawat di mana..” Wawi berkata seraya merangkul bahuku, dan aku pun membalas Wawi dengan senyuman seraya mematikan rokokku ke tanah.

“Masih jauh enggak sih Wi?” Tanyaku pendek.
“Lumayan lah, se-jam lebih masih. Mau cabut sekarang?” Tanya Wawi balik.

“Abisin dulu aja rokok lu.” Sahutku sembari meluruskan kaki. Wawi mengangguk, dan kami pun saling berdiam untuk beberapa saat.

Sampai tiba-tiba, dua buah mobil sedan berwarna hitam menepi dan berhenti tepat di depan kami. Berhenti di belakang trail hijau milik Wawi. Beberapa orang berpakaian formal serba hitam pun keluar dari masing-masing pintu tersebut. Dan salah satunya langsung berjongkok di depan mobil yang berada paling depan. Sedang sisanya saling melempar anggukan, lalu berjalan mengitari mobil, mendekat ke arahku dan Wawi.

“Siapa Men?” Tanya Wawi menyenggol bahuku.

“Enggak tau gua” Jawabku berbisik pada Wawi.

“Regan Denta Purnama, tolong ikut kami.” Tanya salah satu orang di hadapanku. Total ada 7 orang yang mengerubungi kami saat ini. Dan hawa-hawanya sih, entah kenapa aku ngerasa enggak enak hati gitu.

“Maaf kalian siapa ya?” Tanyaku seraya berdiri, Wawi pun melakukan hal yang sama.

“Nanti akan kami jelaskan, sekarang ikut kami dulu.” Jawab orang itu lagi seraya hendak memegang tanganku, namun oleh Wawi segera ditepis.

“Maaf Mas.. ada apa dulu nih?” Tanya Wawi sembari merapatkan tubuhnya padaku.

“Maaf.. ini tidak ada urusannya sama sekali dengan anda, jadi saya harap anda tidak ikut campur.” Sahut orang itu lagi seolah menjadi wakil pembicara bagi teman-temannya.

Sedang aku sendiri sedikit tercuri perhatian dengan satu orang dari rombongan di depan kami ini yang tengah berjongkok di depan mobil. Telapak tangannya menempel ke tanah, dengan bibir berkomat-kamit enggak jelas.

“Dia temen saya Mas, urusan dia jadi urusan saya.” Ujar Wawi lagi sembari merentangkan tangannya di depan dadaku, membawaku untuk mundur selangkah bersamanya.

Dan orang-orang di hadapan kami pun diam sejenak, mereka saling pandang satu sama lain, seolah tengah berdiskusi lewat raut wajah, tanpa bicara.

“Men.. jangan-jangan ini temen-temen orang yang tempo hari bermasalah ama lu..” Bisik Wawi padaku, membuatku langsung teringat pada Si Gembyor suami Budeh Sekar yang sempat berkelahi denganku.

Tapi masa iya orang-orang ini temennya si gembyor? Atau enggak orang suruhannya? Soalnya dari setelan orang-orang ini, kok kaya bodyguard artis-artis gitu ya?

“Enggak tau gua juga, tapi emang komuk-komuknya kaya penculik Wi..” Sahutku berbisik juga.

“Mereka nafsu banget kayanya ama lu, gimana ini Men? Mau dilibas?” Tanya Wawi semakin memelankan suaranya.

“Buset yakali, kalah jumlah banget ini mah Wi, enggak bakal kebadanan..” Sahutku sembark memperhatikan satu persatu wajah orang-orang itu.

Dan mereka kini sudah saling bertukar anggukan kepala, kembali menatap kami dengan tatapan yang jauh lebih tajam.

“Mampus mukanya pada marah Men..” Bisik Wawi sudah melebarkan kaki, memasang kuda-kuda berdiri. Hal yang sama pun aku lakukan, kueratkan kepalan tanganku, mencoba memikirkan cara agar seenggaknya bisa lolos dulu dari orang-orang yang tampangnya kaya penculik ini.

“Maaf kami tidak ada waktu untuk..” Orang yang jadi juru bicara hendak maju, namun kata-katanya tak selesai sebab Wawi memotong dengan cepat.

“OKE OKE OKE.. OKE!! SAYA ENGGAK IKUT CAMPUR..” Seru Wawi seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Membuat orang-orang di hadapan kami yang tadinya hendak maju pun terhenti.

Sialan.. apa maksudnya ini? Ini maksudnya enggak mao ikut campur gimana? Apa dia mao ninggalin aku sendiri? Enggak mao bantuin aku dari muka-muka orang yang mirip sindikat penjualan organ manusia ini? Sialan Wawi..

Udahan ini orang-orang yang pada lewat enggak ada satupun yang berusaha buat nolongin lagi, kaya masa bodo gitu. Yang naik motor ama mobil lewat gitu aja. Yang jalan kaki juga enggak nengok sama sekali, kaya pura-pura enggak ngeliat kalau ada dua remaja yang mao diculik ini. Arrrgghhh..

“Saya enggak akan ikut campur.. tapi saya mohon lepasin saya oke? Bawa aja nih orang, saya juga enggak akrab-akrab banget ama dia.. terserah mao diapain juga. Tapi ijinin saya pergi. Oke?”

Bapet Wawi.. kok dia gini sih? Kok kaya bukan Wawi sih? Wawi yang selama ini aku kenal enggak kaya gini sumpah.

“Silahkan saja.. kami memang Cuma ada urusan sama dia. Anda boleh pergi.” Sahut sang juru bicara dengan tatapan dingin. Dan Wawi pun dengan cepat langsung mundur untuk mengambil kedua helm yang memang kami letakkan di tanah.

Aku pun memandang Wawi dengan enggak percaya, memandangnya dalam-dalam dengan tercekat karena enggak nyangka Wawi bakal ninggalin aku kaya gini.

“Oke oke.. saya pergi.. saya enggak akan ikut campur..” Ujar Wawi yang kini sudah kembali berdiri sejajar denganku, masing-masing tangannya sudah memegang helm tinggi-tinggi.

Buset dah.. iya aku tau dua-duanya helm dia, Cuma beneran emang mao ninggalin aku nih Si Wawi ceritanya?

“Silahkan..” Ujar sang juru bicara seraya meminta kawan-kawannya untuk membuka jalan. Wawi pun mengangguk, dan dengan tangan terangkat ia mulai melangkahkan kakinya.

“Wi..” Ucapku putus asa seraya memegang bahunya. Wawi menoleh sejenak, kemudian menyeringai kecil. Setelah itu ia pun menarik bahunya dan melanjutkan langkah.

Aku terdiam, memandangi punggung Wawi yang kini sudah berada di antara orang-orang berbaju hitam di hadapanku.
Mampus.. aku beneran sendiri dong ini ceritanya? Bajingan..

Tapi tiba-tiba..

BUGGGHH.. BUGGHH..

Mataku membelalak ketika Wawi yang berada di antara orang-orang tersebut tiba-tiba mengayunkan kedua tangannya bergantian, dengan tubuh memutar, menghantam dua orang yang berada paling dekat dengannya dengan kedua helm yang ada di tangannya, tepat di bagian kepala, telak sekali, membuat kedua orang tersebut langsung limbung dan jatuh.

Melihat dua kawannya jatuh, orang-orang yang mirip penculik itu pun langsung menerjang Wawi bersamaan. Sedang Wawi seperti kesetanan, ia ayunkan kedua helmnya untuk menghalau orang-orang tersebut sembari memundurkan tubuhnya.

Aku langsung tersadar, dan segera berlari sembari melompat ke depan. Ku arahkan kaki kananku ke satu orang yang berada di belakang Wawi, orang tersebut terlihat mengeluarkan tongkat pendek berwarna hitam mirip pentungan satpam, tapi ujungnya kaya nyala-nyala biru gitu.

Dan tepat ketika orang tersebut hendak mengarahkan bagian biru di kepala tongkatnya ke punggung Wawi, telapak kakiku langsung menghantam pinggangnya.

BUGHH..

“Aarrgghh..”

Orang itu berteriak seraya tubuhnya terlempar jauh, langsung menghantam mobil mereka dengan telak, anjay.. bisa kenceng gitu tendanganku ya? Ah masa bodolah..

Kakiku pun langsung berpijak di atas tanah, dan tanpa membuang waktu, aku langsung menundukkan kepala sebab helm Wawi masih terayun-ayun dengan bebasnya. Dalam posisi merunduk, aku langsung mengeraskan pijakanku, setelah itu langsung melonjak ke depan, menerjang satu orang yang berada di depan Wawi.

“AAAA!!!” Teriakku sembari memeluk pinggang orang tersebut seraya mendorong sekuat tenaga kakiku.

BUGGHH..

Punggung orang itu pun menghantam mobil, dan aku langsung menegakkan tubuhku seraya mengambil jarak sedikit, kemudian..

BAGGHH..

“AARRRGGGHH..” Teriaknya kesakitan sebab aku mengadu keningku dengan hidungnya sekuat tenaga, membuat orang tersebut langsung berkejat-kejat memegangi hidungnya.

Tapi sialan.. sakit juga coy jidatku ini..
Tapi belum sempat aku meresapi kesakitanku, tiba-tiba leherku langsung dikunci dari belakang, seraya kurasakan tarikan kuat memaksaku mundur. Aku pun tak berusaha menahan tarikan tersebut, malah kudorong kakiku ke belakang dengan cepat dan bergantian, sampai orang yang mengunciku itu kewalahan sendiri. Setelah itu aku berikan hantaman siku di perutnya dua kali.

BUGH.. BUGH..

“Aarrgghh..” Teriak orang yang mengunciku sembari berkelit, kunciannya pun terlepas, dan aku segera memutar tubuhku seraya mengayunkan kepalan tangan sekuat tenaga.

BAGGGHH..

Kepalan tanganku telak mendarat di telinga orang itu, membuatnya langsung terpelanting dan jatuh ke samping. Setelah itu aku langsung mengarahkan kakiku ke salah satu dari dua orang yang tengah menyudutkan Wawi. Menjejak lutut belakangnya sampai orang tersebut berlutut di hadapan Wawi.

Setelah itu aku mengunci seorang lainnya yang sedang mengarahkan tongkat hitam berkepala biru ke Wawi. Kutarik orang tersebut seraya berusaha menghindari ujung tongkat hitamnya yang sepertinya mengalirkan listrik.

BAAGGHH..

Wawi yang mendapatkan ruang bernapas langsung menghantamkan helmnya ke kepala orang tersebut. Seolah tengah menggetok paku dengan palu. Setelah itu ia tendang orang yang masih spaneng di hadapannya dengan keras, membuat orang itu langsung terjatuh ke belakang.

Wawi tersenyum ke arahku, ia langsung melemparkan salah satu helmnya dengan sekuat tenaga, kaya lagi nimpuk mangga gitu.

Dan aku pun mengerti, aku langsung berlindung sembari mengarahkan orang yang berada dalam kuncianku ke arah datangnya helm yang dilempar Wawi.

BAGGHHH..

“AAAA..” Teriak orang tersebut ketika kepalanya terkena lemparan helm, kencangnya lemparan Wawi plus ketidaksadarannya akan ancaman dari arah depan membuat orang yang berada dalam kuncianku itu telat melindungi kepalanya.

Aku pun langsung membanting tubuh orang itu ke samping. Setelah itu aku langsung berlari melangkahi tubuh-tubuh yang bergelatakan di tepi jalan itu. Menuju Wawi yang sudah berada di atas motor trailnya.

“CEPET MEN!!” Teriak Wawi seraya menggeber knalpot motornya. Aku pun terus berlari sembari sesekali mengayunkan kepalan tanganku ke salah satu orang berbaju hitam yang tengah berusaha bangun.

Setelah itu aku langsung melompat ke atas boncengan motor Wawi, yang oleh Wawi langsung direspons dengan melepas koplingnya kasar. Langsung melonjakkan motornya ke depan dan membebat gas motornya dalam-dalam.

Aku yang berada di boncengan pun menoleh ke belakang. Memperhatikan satu orang dari rombongan agen penjualan organ itu yang tadi enggak ikut pertarungan sama sekali. Itu loh orang yang jongkok di depan mobil sambil nempelin tangannya ke tanah, dia sama sekali enggak nyoba buat nahan kami, tetep fokus sama kegiatannya, enggak berusaha nolong temen-temennya juga.

Dan aku sempat bersitatap dengan orang itu, dan tatapannya sama sekali enggak nampilin kemarahan, malah sebaliknya, dia kaya sedih gitu, karena abis itu dia langsung nundukin kepala.

“WOY ANYING!!” Makiku kaget dan reflek langsung menghadap ke depan lagi, tanganku langsung memeluk pinggang Wawi, karena barusan badanku kaya mao kejengkang ke belakang. Si Wawi nyalip kasar gitu.

“DUDUK LU BIAR BENER MEN!!” Teriak Wawi seraya terus membabat gas motornya dalam-dalam.

“MAO JATOH GUA ASU..” Makiku sembari membenarkan posisi duduk dan melepas pelukanku di pinggang Wawi. Yakali aku meluk dia terus, emangnya homo apa hihh..

“ANJING!! LU BENERAN ENGGAK KENAL AMA TUH ORANG-ORANG??!!” Seru Wawi seraya terus mengendarai motornya dengan ugal-ugalan. Menyalip kendaraan demi kendaraan di depannya dengan perhitungan yang aku yakin alakadarnya aja.

“PENCULIK PASTI ITU, SINDIKAT PERDAGANGAN ORGAN PASTI!” Sahutku berusaha menenangkan napasku sendiri. Engap coy asli..

“MANA MUNGKIN.. TUH ORANG-ORANG KENAL LU MASALAHNYA..” Teriak Wawi mencoba mengalahkan bising suara angin dan knalpotnya sendiri.

“YA TAPI GUA BENERAN ENGGAK KENAL AMA TUH ORANG-ORANG..” Sahutku tak kalah lantang seraya sesekali menoleh ke belakang, memastikan apakah orang-orang itu mengejar kami apa enggak.

“DAHLAH.. HELM NIH..” Seru Wawi sembari melepas satu pegangan tangannya pada setang, memintaku mengambil helm yang sedari tadi emang belom dia pake, Cuma disangkutin di sikut aja.

“TERUS GIMANA INI?” Tanyaku setelah berhasil mengambil helm dari siku Wawi. Langsung kutempatkan di siku tangan.

“KITA NYARI TEMPAT NGASOH DULU, YANG JAUH DARI JALANAN, BIAR BISA MIKIR BENTAR MEN..” Jawab Wawi seraya membebat gas motornya lebih dalam lagi, melaju semakin cepat.

Aku setuju, dan kueratkan pegangan tanganku pada bagian belakang motor Wawi. Dengan enggak lupa sesekali nengok ke belakang. Mastiin kalo orang-orang tadi enggak ngikutin kami lagi.

**​
 
Terakhir diubah:
**​

Setelah membebat gas motornya dengan kesetanan, Wawi tiba-tiba menyalip sebuah truk besar yang tengah melambat, yang ternyata di depan truk tersebut ada sebuah angkot yang tengah menurunkan penumpang.

Tanpa memberi aba-aba padaku, Wawi langsung membanting setangnya ke kiri, berbelok dan masuk ke sebuah jalan kecil yang berada tepat di depan angkot tadi.

“COK!!” Makiku pada Wawi yang hanya ia respons dengan kebisuan. Ia terus memacu motornya dengan bar-bar menuruni jalanan aspal yang lebarnya enggak sampe dua meter ini.

Wawi ini udah kaya atlet motor cross sumpah, paten banget bawa motornya asli.

Dan setelah melewati rumah-rumah serta pemukiman, kami memasuki areal kebun yang cukup luas. Beranekaragam tanaman sayur mayur menghiasi kanan kiri kami, dengan orang-orang yang sibuk memanen hasil palawijanya.

Wawi pun menghentikan motornya di sebuah warung kecil yang berada di tepian jalan. Aku pun lekas turun, setelah itu aku pun langsung duduk di balai bambu yang tersedia di depan warung tersebut. Sedang Wawi malah memarkirkan motornya di belakang warung, setelah itu ia pun memesan minum untuk kami berdua.

“Duduknya di belakang aja Men, jangan di sini..” Ucap Wawi padaku, yang aku tanggapi dengan tatapan bingung.

“Jaga-jaga aja, takutnya orang-orang yang tadi ngejar sampe sini..” Sambung Wawi seolah menangkap kebingunganku.

Bener juga sih, kadang-kadang emang cara pikirnya Wawi ini selalu selangkah di depanku. Hehehe..

Aku pun akhirnya mengikuti Wawi yang sudah berjalan lebih dulu ke belakang warung, kemudian kami duduk berselonjor kaki di atas rerumputan, melepas lelah dan menenangkan diri dari kejadian tak terduga yang kami alami beberapa saat yang lalu.

“Keren juga ya Wi kita tadi? Bisa menang telak gitu hahaha..” Ocehku dengan mata memandang rimbun perkebunan di hadapanku.

“Lumayanlah.. enggak ancur-ancur banget..” Sahut Wawi seraya menyodorkan bungkus garpit yang sudah terbuka ke arahku. Aku pun mengambil sebatang, langsung menyulutnya. Hal yang sama dilakukan oleh Wawi.

Untuk beberapa detik kami saling diam, mencoba meresapi ketenangan yang dihadirkan oleh asupan asap tembakau di dada kami masing-masing.

Dan pikiranku pun langsung terarah ke sekelompok orang tadi. Mereka siapa ya sebenarnya? Masa beneran penculik sih? Atau yang jauh lebih serem.. masa iya mereka sindikat penjualan organ tubuh manusia? Hihhhh..

Untung duetku sama Wawi lumayan paten, enggak kebayang kalo aku duetnya sama Dito tadi, bisa-bisa abis digulung hahaha..

“Fyuhhh.. tapi lu beneran enggak kenal sama mereka Men?” Wawi bertanya dengan wajah sudah diarahkan kepadaku. Aku pun menoleh, lalu mengangkat bahuku.

“Lu yakin mereka bukan temen-temen atau orang kiriman dari orang yang kemaren bermasalah ama lu?” Tanya Wawi lagi dengan raut 'pemikirnya'.

“Yakin enggak yakin sih Wi.. cuman kaya mustahil gitu.. lagian pas gua berantem kemaren, gua enggak ngenalin nama gua ke dia kali. Rada enggak make-sense sih..” Gumamku sembari berpikir keras siapa sebenarnya orang-orang tadi.

“Dan lebih enggak make-sense nya, mereka bisa tau posisi gua. Sedangkan ini aja kita kesini kan dadakan..” Sambungku semakin bingung.

“Ada yang lebih aneh dari dua hal itu sih Men menurut gua..” Sahut Wawi menatapku dalam-dalam.

“Mereka pake mercy?” Tebakku asal.

“Bukan..” Jawab Wawi menggeleng pelan. Aku pun diam sejenak.

“Lu sadar enggak sih Men, tadi mereka enggak ngasih perlawanan sama sekali?” Wawi berujar dengan wajah seriusnya, membuatku langsung tersadar akan keanehan yang Wawi sampaikan. Karena emang tadi kok kayanya gampang banget gitu ngelarin mereka semua.
Padahal mereka banyak loh, 7 dari 8 orang yang gedebak-gedebuk sama kami.

“Lu emang enggak kena pukul sama sekali Wi?” Tanyaku memastikan kebingunganku. Wawi menggeleng pelan.

“Mereka Cuma berusaha nyergap gua doang, tapi enggak berusaha nyerang sama sekali..” Jawab Wawi.

Aku terdiam dalam-dalam, kalo dipikir-pikir, emanga tadi mereka enggak berusaha ngelawan sama sekali. Mereka Cuma berusaha nangkep Wawi yang menggila dengan kedua helm di tangannya.

“Tapi tadi mereka ngeluarin pentungan gitu Wi, kaya alat setrum gitu..” Selorohku pada Wawi. Yang langsung ditanggapi Wawi dengan anggukan kepala.

“Ya makanya gua bilang mereka Cuma berusaha nyergap kita doang, berusaha ngelumpuhin doang. Aneh kan? Padahal kalo mereka all-out.. kaya yang lu bilang, kita enggak bakal kebadanan.” Ucap Wawi terlihat ikut pusing.

“Iya juga ya.. eh tapi bisa aja emang itu biar badan kita enggak kenapa-kenapa, secara kalo sindikat penjual organ kan emang harus bagus kondisi mangsanya.” Celotehku asal yang langsung membuat Wawi geleng-geleng kepala.

“Anjinglah.. dari tadi penjual organ penjual organ mulu pikiran lu..” Oceh Wawi terlihat lelah. Dan aku hanya bisa garuk-garuk kepala saja. Ya abis gimana.. aku enggak ada ide buat ngejulukin mereka apaan.

“Serius dikit lah Men.. lu enggak ngeliat tangan gua ampe gemeter kaya gini apa?” Tanya Wawi sembari menunjukkan jemarinya yang sedikit gemetar, membuat puntung rokok di tangannya seperti kena gempa tremor.

“Ya abis gua beneran enggak tau mereka coy..” Ujarku memasang senyum keterpaksaan. Dan Wawi hanya menimpali nya dengan senyum geleng-geleng kepala.

Bersamaan dengan itu ibu penjaga warung pun datang membawakan kami dua gelas minuman dingin berwarna kuning, aku menerimanya dengan tak lupa mengucapkan terimakasih. Setelah itu Ibu warung pun pamit kembali.

“Apaan nih? Ekstra Jos?” Tanyaku memandangi minuman kuning yang berada di genggamanku. Tapi baunya bukan kaya ekstra Joss sih.

“Temu lawak..” Jawab Wawi sambil menyeruput minumannya.

“Jamu?” Tanyaku masih ragu.

“Et dah.. bukanlah.. namanya doang itu..” Sahut Wawi seraya meletakkan gelas yang tersisa setengah di atas rerumputan. Aku pun akhirnya mencoba menyeruput minuman tersebut, dan rasanya..

Ah mantap..

Kirain rasanya aneh, ternyata lumayan enak. Kaya minuman-minuman energi, Cuma rasanya agak lain aja. Sama kadar sodanya dikit banget.

“Sekarang gua mao ngasih saran nih Nggan ke elu, tentang rute kita abis ini.” Ujar Wawi dengan wajah dibuat serius banget, beneran deh.

“Sok mangga..” Ucapku pendek sambil meletakkan gelasku di atas tanah.

“Setelah gua pikir-pikir, gua nyaranin perubahan rute, kita enggak langsung belok ke Cikiridang, tapi kita muter lewat jalur utama, lewat Cigagak.”

“Lah lah lah.. bukannya muternya jauh banget Wi?” Potongku sedikit heran dengan rencana perubahan rute yang dicanangkan Wawi.

Bukannya apa nih, Cikiridang sama Cigagak ini sama-sama jalan akses menuju Pelabuhan Kanjeng, Cuma bedanya Cigagak itu jalur utama, sedang Cikiridang itu jalur alternatif.

Di mana secara fasilitas kata Wawi memang Cigagak lebih bagus dan lebar jalanannya, jalur penghubung antara kabupaten Alasbumi dengan Propinsi Lemah Kidul soalnya, biasa dilewatin kendaraan-kendaraan besar. Sedang Cikiridang ini jalur kecil kata Wawi, dan lebih berkelok serta curam tracknya, sempit pula jalannya, makanya jarang yang lewat sana, kecuali yang udah tahu.

Tapi kedua jalan ini bakal berujung ke jalur yang sama, jalur tepi pantai Pelabuhan Kanjeng. Ya tapi masa harus muter lewat Cigagak, terus di Pelabuhan Kanjeng balik lagi ke Cikiridang gitu? Bisa tepos pantatku asli.

“Gini.. kaya yang gua bilang kan, Jalur Cikiridang ini kan jalur alternatif ya, panjang banget sumpah. Dan di jembatan tadi gua udah tanya-tanya tentang lokasi pasti longsor yang lu ceritain, tapi satu pun enggak ada yang tau, mereka enggak denger sama sekali tentang longsor yang lu ceritain.”

“Masa sih Wi..” Potongku enggak percaya, maksudku.. masa sih beritanya belum sampe sini?

“Yehhhh.. jangan dipotong dulu malih..” Protes Wawi padaku.

“hehehee.. sorry-sorry.. sok dilanjut..” Ucapku nyengir-nyengir kuda.

“Jadi gua mikirinya kaya gini Nggan, kalau pun emang nyokap bokap lu jadi korban kaya yang lu bilang. Otomatis kan mereka pasti dibawa ke rumah sakit, atau klinik lah minimal. Nah setau gua, di Cikiridang itu jarang banget pemukiman. Nah, setau gua juga, rumah sakit sama klinik-klinik gitu baru ada di Pelabuhan Kanjeng..”

“..Terus kalau misal kita tetep lewat Cikiridang, terus ternyata sampe di tkp longsor jalan ditutup, kita enggak bakal bisa lewat kemana-mana lagi. Padahal kita pasti ujung-ujungnya mau ke Pelabuhan Kanjeng kan? Otomatis apa jadinya? Harus puter balik kan? Sama juga intinya..”

“Nah mendingan kita langsung lewat Cigagak aja, di sana nanti kita sisir Pelabuhan Kanjeng dulu, pokoknya kita cek beberapa rumah sakit sama klinik di sana, kira-kira ada korban yang dievakuasi ke sana atau enggak..”

“Tapi Wi.. gua mao ke tkp dulu.. gua pengen liat langsung kondisi itu tempat..” Aku menyela Wawi yang tengah menjelaskan panjang lebar, sebab entah kenapa aku ngerasa harus ngecek pake mata kepalaku sendiri lokasi di foto yang aku liat dari BB-nya Dira.

“Iya gua paham.. tapi kan yang penting kita nemuin nyokap bokap lu dulu. Nanti kalo emang rumah sakit sama klinik yang kita sisir enggak ada, baru kita ke lokasi kejadian. Atau pun kalau misal kita nemu nyokap bokap lu di salah satu tempat yang kita sisir tapi elu masih penasaran mau liat ke tkp, ya enggak apa-apa, kita ke sana..”

“Lagian gua nyaranin ini juga karena takutnya orang-orang yang tadi emang udah tau kita mau kemana, buktinya mereka bisa tau posisi kita tadi. Kan kalau kita muter kemungkinan buat ketemu mereka lagi lebih kecil Men, jadi kita enggak perlu was-was..” Ujar Wawi menutup penjelasannya, aku pun diam sejenak, menimang saran Wawi yang mulai terdengar masuk akal.

Dan akhirnya aku pun mengiyakan saran Wawi, tapi dengan catatan kalau aku tetap harus ngeliat tkp kejadian pada akhirnya. Wawi pun setuju, dan kami pun sepakat untuk berangkat sekarang juga.

Kami habiskan minuman kami masing-masing, kami tandaskan rokok kami juga, setelah itu kami berjalan ke depan warung dengan Wawi yang mendorong trailnya.

Kami langsung Membayar minuman yang kami pesan dan Wawi pun sempat bertanya mengenai kejadian longsor di Cikiridang ke Ibu penjaga warung, tapi ternyata Ibu itu enggak tau kalau ada longsor di Cikiridang, beliau malah nanya balik ke kita.

Jadi yaudahlah, mungkin emang beritanya emang belum sampe sini.

“Lu apa gua yang pake helm?” Tanya Wawi padaku sebelum naik ke atas motornya. Dan aku pun baru inget kalau satu helm Wawi ketinggalan di jembatan tadi, bikin aku langsung enggak enak hati jadinya.

“Hehehe.. sorry Wi, helm lu enggak kebawa yang tadi” Ujarku enggak nyambung dengan apa yang ditanyakan Wawi.

“Elah.. udah enggak usah dipikirin, kaya helm gua mahal aja. Dah nih pake..” Ucap Wawi sembari menyerahkan helm kepadaku, namun aku tolak.

“Otak gua lagi ngebul, kalo dihelmin bisa-bisa meledak entar. Lu aja yang pake..” Ujarku sambil naik ke jok depan, menggantikan Wawi dalam mengemudikan trail hijaunya.

Ya walaupun enggak tau jalan, kan nanti Wawi bisa ngarahin. Plus ini sebagai tanda permintaan maafku juga karena udah nyustahi dia hari ini, nyusahin banget malahan.

Tanpa mendebat lagi, Wawi pun langsung naik ke boncengan. Aku lekas menyalakan motornya, menakar gas trail milik Wawi untuk beberapa saat, menjejaki kedalaman kopling motor ini juga, barulah setelah itu aku mulai menjalankan motor ini kembali menuju jalan raya.

Dengan meminta Wawi untuk mengarahkanku dengan baik, maksudnya kalau mau belok bilang dari jauh-jauh gitu. Jangan kaya cewek, kalau udah mepet baru bilang belok, kan bikin kagok.

*

Setelah perjalanan yang amat panjang, kelokan demi kelokan dan jalur naik-turun yang rasanya enggak abis-abis, aku dan Wawi pun sampai di geliat utama daerah Pelabuhan Kanjeng, secara administratif ini masih masuk ke wilayah Kabupaten Alasbumi.

Daerahnya pun ramai, di sebelah kiri jalan raya langsung disajikan landskap laut selatan yang terlihat membiru indah, dengan debur ombak yang terlihat sedap dipandang. Warung-warung berjejer di pinggir jalan, penginapan-penginapan, dan perahu-perahu Nelayan yang tertambat di tepian.

Di bagian kanannya sendiri langsung berbatasan dengan perbukitan, dengan sejumput sawah berundak yang tak seberapa luas. Huuhhhh.. akhirnya kami sampai juga, setelah pantatku rasanya pedes banget, bijiku rasanya nyer-nyeran bukan main, asli.

“Itu Men..” Di tengah perasaanku yang tengah menikmati deburan pantai di kiri jalan Wawi tiba-tiba menepuk bahuku seraya menunjuk ke arah depan, ke sebuah plang rumah sakit yang berdiri di kanan jalan.

Aku pun mengangguk dan segera memberikan sign ke arah kanan, berpindah jalur ke tengah jalan, siap berbelok.

Setelah memastikan jalur potongku aman, aku pun segera membelokan motor Wawi ke arah rumah sakit tersebut, rumah sakit yang sebenarnya enggak gede-gede amat kalo di kotaku, Cuma kalau di sini kata Wawi sih ini itu rumah sakit terbesar.

Setelah memarkirkan motor, kemudian aku dan Wawi pun segera bergegas menuju pintu utama rumah sakit tersebut, langsung menuju loket informasi yang dijaga oleh seorang perawat perempuan muda berpakaian suster warna hijau pudar.

“Selamat siang.. ada yang bisa saya bantu?” Tanya perawat tersebut sambil berdiri di balik mejanya, ia melempar senyum hangat ke arahku.

“Siang juga Sus, maaf apa di sini ada pasien bernama Anggana Raras Rengganis dan Saka Agra Aliendra?” Tanyaku tanpa basa-basi lagi.
“Baik mohon ditunggu ya, saya cek sebentar..” Sahut perawat tersebut ramah seraya duduk kembali di kursinya dan langsung mengutak-atik keyboard komputer di hadapannya.

“Pasien korban longsor di daerah Cikiridang kemarin Sus..” Sambung Wawi kepada perawat tersebut, yang langsung membuat wajah perawat itu terangkat, bingung menatap kami berdua.

“Longsor?” Gumam perawat itu dengan bingungnya.

“Iya Sus, mereka kedua orangtua saya, korban longsor di daerah Cikiridang kemarin..” Jawabku cepat seraya menempelkan tubuh pada meja informasi.

Perawat itu pun kian menampilkan wajah bingung, ia memandang rekan perawat di sampingnya, seolah bertukar kebingungan dan bertukar gelengan kepala.

“Punten A, setau saya enggak ada kejadian longsor kemarin..” Tanya perawat tersebut kembali memandang kami.

Aku pun langsung dibekap kebingungan lagi, dan langsung memandang Wawi yang sekarang juga udah mandangin aku, kita sama-sama bingung dengan semua ini.

Masalahnya perawat ini bukan orang pertama yang bilang kalau enggak ada longsor, masa iya infonya belom sampe ke sini?

Padahal kalau kata Wawi, ini rumah sakit terdekat yang bisa diakses dari Cikiridang.

“Coba dicari dulu Sus, barangkali emang dibawa ke sini..” Ucap Wawi lagi dengan cepat kepada perawat tersebut, yang langsung disambut anggukan kepala, langsung sibuk kembali dengan komputernya.

“Aneh..” Gumam Wawi pelan dengan alis tertaut, aku mengamini ucapan Wawi di dalam hati.

“Lu yakin beneran ada longsor di Cikiridang Men?” Tanya Wawi tiba-tiba dengan wajah pemikirnya.

“Yakin Men, bokapnya Dira sendiri kok yang bilang, gua juga ngeliat sendiri foto-fotonya..” Jawabku yakin dengan mata tegas menatap Wawi.

“Tapi kenapa enggak ada yang tau kalo ada longsor ya Men? Padahal nih rumah sakit posisinya paling deket ke Cikiridang..” Gumam Wawi sembari menyilangkan tangannya di depan dada.

“Maaf A.. saya sudah cek beberapa kali, dan enggak ada pasien dengan nama yang Aa sebutin.” Di tengah diskusiku dengan Wawi perawat yang tadi pun menyampaikan hasil analisisnya, dan itu benar-benar membuatku semakin bingung.

“Suster yakin? Apa bisa dicek sekali lagi Sus?” Tanyaku dengan napas yang mulai pendek-pendek.

“Sangat yakin A, saya udah cek empat kali, dan emang enggak ada.” Jawab perawat itu dengan wajah simpatiknya.

Aku dan Wawi pun saling berpandangan dalam, saling menggeleng tanpa bicara, saling bertukar kebingungan.

“Punten A.. mengenai longsor yang tadi Aa maksud, setau saya enggak ada kejadian longsor di Cikiridang. Karena kebetulan rumah saya juga di Cikiridang bagian luar. Tapi emang dari kemarin jalan raya di daerah saya ditutup, katanya ada perbaikan jalan besar-besaran di wilayah tengah, di perbukitan sawitnya.” Perawat itu kembali berbicara kepada kami, posisinya kini sudah kembali berdiri, dan wajahnya juga entah kenapa kelihatan ikut bingung, sama kaya kami.

“Serius Sus?” Tanyaku semakin kalut dan bingung dengan situasi yang terjadi saat ini.
Ayahnya Dira bilang ke Dira kalo ada longsor di sana, aku juga ngeliat langsung foto yang dikirim Ayahnya Dira ke Dira. Terus kok bisa miss informasi gini ya? Kalau emang ada longsor pasti nya orang-orang sekitar daerah sini tau dong? Tapi kenapa suster ini taunya Cuma ada perbaikan jalan?

Aneh ini.. ada yang enggak bener ini kayanya..

“Yaudah Sus, makasih ya informasinya.. yok Men..” Wawi tiba-tiba mencengkeram pergelangan tanganku dan langsung menarikku menjauh dari meja informasi, aku pun hanya bisa mengikuti langkah Wawi hingga akhirnya kami sudah kembali tiba di parkiran rumah sakit.

Ia pun melepas cengkeraman tangannya dan langsung menatapku dengan wajah lelah dan bingung.

“Ada yang enggak bener nih Men.. sumpah..” Ujar Wawi dengan resahnya. Aku pun menganggukkan kepala dan melempar kunci motor kepada Wawi.

“Kita enggak perlu cek ke klinik atau rumah sakit laen Wi, kita ke tkp langsung aja. Perasaan gua makin enggak enak soalnya.” Ucapku dengan dada diliputi keresahan bukan main, Wawi pun mengangguk dan segera naik ke motornya, langsung mengenakan helm.

Aku pun lekas naik ke boncengan, dan tanpa bicara lagi Wawi segera menjalankan motornya keluar dari areal rumah sakit, langsung berbelok ke arah kiri, kembali ke jalan yang tadi kami lewati, namun kali ini tujuan kami adalah Cikiridang. Tepatnya seperti yang disampaikan suster tadi, bagian tengah yang menurut Wawi memang ada perkebunan sawit luas.

Motor trail Wawi pun gesit membelah jalan raya, menyalip satu persatu kendaraan di depannya, menggeber gahar dengan ban penggaruk aspalnya. Bisu melingkupi kami berdua saat ini.

Hingga di sebuah pertigaan jalan, aku melihat plang besar terpampang. Di mana jika belok ke kanan kami akan kembali ke daerah Cigagak, sedang jika lurus akan menuju daerah Cikiridang. Wawi pun tanpa memperlambat laju motornya langsung lurus dengan bar-bar, tak memedulikan padat kendaraan yang mengantre hendak lewat di pertigaan tersebut.

“MEN..” Seru Wawi dari kursi depan. Aku pun lekas memajukan kepalaku, hendak mendengar apa yang akan disampaikan Wawi.

“KALAU NANTI JALANNYA BENERAN DITUTUP KAYA YANG DIBILANG SUSTER TADI GIMANA?” Tanya Wawi dengan suara kencang, mencoba beradu bising dengan angin yang menabrak kami.

“ENGGAK TAU WI, BAIKNYA GIMANA MENURUT LU?” Tanyaku balik.

“TRABAS AJA KALI YA? KALO PERLU KITA NGETRAIL LEWAT JALAN PERKEBUNAN SAWITNYA.” Seru Wawi seraya mengoper persenelingnya, aku mengacungkan jempolku ke depan, yang disambut anggukan oleh Wawi.

Bersamaan dengan itu Wawi pun menambah kecepatan motornya, sebab memang jalanan tak seramai sebelum masuk pertigaan tadi. Hanya saja memang lebar jalannya sedikit lebih sempit, dan hanya beberapa motor saja yang kami temui berlalu lalang.

Menit demi menit berlalu, pemukiman-pemukiman kecil sudah terlewat, kami sudah benar-benar memasuki wilayah Cikiridang sepertinya. Jalanannya pun semakin berkelok parah, curam dan naik turun tikungan tajam.

Di kanan jalan terdapat rimbun hutan perbukitan yang membentuk tebing, sedang di kirinya langsung jurang dalam yang bagian bawahnya beneran enggak keliatan. Ini harus Ekstra hati-hati banget asli, selip dikit bisa hilang dari peredaran kami.

Ditambah, suasana jalan yang sudah benar-benar sepi, tidak ada kendaraan lain yang kami temui, baik yang searah maupun yang datang dari arah berlawanan. Sepertinya memang benar, ada penutupan jalan akses di bagian tengah daerah perbukitan ini.

“MEN.. MEN!!” Tiba-tiba kurasakan Wawi memperlambat laju motornya dengan cukup drastis, seraya memanggilku kencang, kemudian ia memintaku melihat ke arah depan dengan gesture kepalanya, aku pun segera menuruti Wawi.

Dan seketika itu juga aku terhenyak diam, di hadapan kami sekarang banyak sekali mobil-mobil berplat militer yang terparkir sembarang, dari mobil jeep, 4X4, hingga double cabin, mobil-mobil tersebut terparkir sembarang sampai menutup akses jalan, terlihat juga kerucut-kerucut berwarna orange yang berserak enggak jelas, kaya abis ditrabas gitu sama sesuatu.

“Kayanya udah deket Men..” Ujar Wawi seraya menurunkan kakinya ke aspal, sudah berhenti motor trail yang kutunggangi ini.

“Tapi kok sepi ya Wi?” Tanyaku bingung, mataku sendiri terus menerus terpusat pada deretan mobil jeep militer yang terparkir tanpa seorang pun menjaga di sana.

“Iya sih.. tapi bukannya bagus Men? Kita bisa langsung trabas ke depan, enggak perlu nyari jalan setapak lagi.” Ucap Wawi sembari menoleh ke arahku. Dan aku sempat terdiam sejenak, bukan karena perkataan Wawi, tapi karena perasaanku makin enggak enak.

Apalagi aku ngerasain hawa di sini rada pengap, enggak kaya pas di bawah tadi. Dan ini beneran sepi banget soalnya, kaya enggak ada orang sama sekali.

“Gimana Men? Lanjut apa PB?” Tanya Wawi yang masih menunggu saranku.

(PB : Putar Balik)

“Ayolah tanggung, tapi pelan-pelan aja Wi..” Jawabku sembari menghela napas dalam, Wawi pun mengangguk dan kembali menjalankan motornya.

Kami melewati bagian tengah jalan, melewati mobil-mobil militer yang terparkir dan ditinggalkan sembarang ini. Beneran ditinggalin gitu aja coy, enggak ada yang jagain sama sekali.

“Pada kemana sih orang-orang?” Tanyaku bingung sambil menoleh ke kanan kiri, bingung sendiri dengan hawa perbukitan ini yang mendadak kaya hutan mati.

“Iya Men, kok rada aneh ya? Harusnya mau longsor atau pun Cuma pengaspalan jalan, seenggaknya enggak sesepi ini, ini mah kok malah kaya horor ya?” Gumam Wawi sambil mengendarai motornya dengan kecepatan pelan, sesekali menoleh spion untuk memperhatikan mobil-mobil yang sudah tertinggal di belakang kami.

“Perasaan gua enggak enak Wi..” Gumamku sembari membuang napas berat.

Sumpah.. aku jarang banget ngerasa merinding kaya gini, tapi ngeliat kondisi di sini bener-bener.

Aku tak henti-hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan baik-baik areal sekitar sini, karena entah kenapa rasanya ada yang janggal sama tempat ini. Engapnya enggak ketulungan.

CIITTTTT..

“Setdah!!” Seruku reflek karena tiba-tiba Wawi mengerem total laju motornya, membuatku terdorong ke depan menghimpit tubuhnya.

“Ga.. Gan..” Wawi berucap dengan terbata, wajahnya tetap menoleh ke depan, dan aku pun ikut memusatkan pandang ke arah yang sama.

Dan betapa aku pun langsung ikut terperangah dengan apa yang ada di hadapan kami saat ini, bukan.. bukan tanah longsor ataupun semacamnya seperti yang ada di pikiranku, melainkan kekacauan yang bener-bener enggak bisa dinalar sama sekali.

Tubuh-tubuh manusia berbalut seragam loreng khas militer tergeletak di atas aspal yang sudah enggak berbentuk, retak di sana sini. Dahan-dahan pohon berserakan acak, dengan asap mengepul di beberapa titik, seperti habis terbakar.

Satu.. dua.. lima.. delapan.. dua belas.. shit.. saking banyaknya tubuh-tubuh yang bergelatakan aku sampe enggak bisa menghitung jumlah pastinya.

Dan yang paling membuatku terhenyak adalah.. tiga mobil berwarna hitam yang sudah terbalik posisinya, dan salah satu mobil tersebut adalah mobil ayahku!

Sialan.. apa yang sebenarnya terjadi di sini? Ada apa sebenarnya? Ke.. kenapa tempat ini jadi seperti ini? Seperti habis ada perang hebat di sini.

“Ngan!” Seru Wawi padaku karena aku langsung turun dari motor, berjalan cepat ke salah satu tubuh yang posisinya paling dekat denganku, posisi tubuh itu tengkurap, udah enggak bergerak.

Aku pun segera berjongkok, langsung membalikkan tubuh prajurit militer itu dengan hati-hati, dan betapa terdistraknya aku ketika sudah kubalikan tubuh tersebut.

Jakunku seperti tercekat hebat, telapak tanganku gemetar bukan main sebab kondisi tubuh prajurit tersebut yang amat mengerikan. Bagian leher prajurit di tanganku ini sudah dipenuhi darah, matanya terbuka lebar namun jelas ia sudah tak bernyawa, sebab luka robek di lehernya menganga lebar, dengan seragam bagian depan yang hangus terbakar.

Apa ini? Kenapa bisa begini? Apa sebenarnya yang terjadi di sini?

“Shit!” Suara Wawi langsung menyadarkanku, ia mengumpat seraya membuang wajah dan menutup bibirnya. Mundur beberapa langkah.
Aku pun segera meletakkan kembali tubuh di tanganku ini, kuusap wajahnya untuk menutup mata orang tersebut, kemudian bangkit berdiri seraya menyapu pandang ke sekeliling.

Enggak ada yang bergerak, tubuh-tubuh prajurit yang bergelimpangan di sini semuanya diam, membuat perasaanku teriris sendiri.
“Fix ini ada yang enggak beres Men..” Seru Wawi yang juga tengah memutar-mutar kepalanya, menyapu ke segala arah. Wajahnya terlihat kalut, sama sepertiku, dengan langkahnya yang mondar mandir enggak karuan.

Sedang aku hanya terdiam keluh, tubuhku gemetaran hebat mendapati semua kekacauan ini.

“Kita harus telpon polisi Men!” Tukas Wawi lagi seraya mendekat padaku, aku hanya memandangnya dengan tatapan lelah.
“Mao nelpon pake apa Wi? Lu enggak bawa hape kan? Hape gua juga masih di servisan.” Ujarku pasrah yang oleh Wawi langsung direspons dengan helaan napas berat.

“Terus gimana Men? Apa kita balik ke Pelabuhan Kanjeng dan ngelaporin ini ke kantor polisi dulu?” Tanya Wawi dengan gesture cemasnya. Aku terdiam sejenak, kemudian menghela napasku dalam-dalam.

“Periksa satu-satu Wi, mungkin masih ada yang bisa diselametin.” Ucapku yakin sembari berjalan mendekati tubuh yang lain, Wawi pun mengangguk dan melakukan hal yang sama, mengecek satu persatu belasan tubuh yang bergelimpangan tersebut.

Aku tempelkan jemariku di leher tiap tubuh tersebut, satu demi satu. Hingga aku tiba di tubuh keempat, aku masih bisa merasakan denyutan di leher prajurit tersebut. Kemudian aku beralih ke tubuh-tubuh berikutnya, satu demi satu, sampai tiba-tiba aku terhenti tatkala Wawi berlari ke arahku.

“Gua nemu dua yang masih napas Men..” Ucap Wawi dengan tatapan yakinnya. Tangannya menunjuk ke dua tubuh yang sudah ia pisahkan. Aku mengangguk pelan.

“Gua nemu empat, kita evakuasi mereka dulu.” Sahutku pada Wawi yang olehnya langsung disambut anggukan kepala.

“Berarti enam yang masih bisa diselametin..” Gumam Wawi pelan.

“Kemungkinan lebih, gua belom ngecek semuanya.” Sahutku dengan helaan napas berat. Sialan.. seumur-umur aku enggak pernah ngadepin situasi kaya gini.

“Terus kita evakuasinya pake apaan?” Tanya Wawi bingung.

“Lu ambil mobil yang di depan tadi, gua liat tadi koncinya masih pada nyantel. Pilih yang bisa nampung banyak. Gua lanjutin ngecek sisanya.” Tukasku pada Wawi, ia segera mengangguk tanpa banyak bertanya, langsung berlari meninggalkanku, kembali ke mobil-mobil militer yang tadi terparkir sembarang.

Aku tahu Wawi bisa nyetir mobil, dari itu aku akan meminta dia buat evakuasi tubuh-tubuh ini.

Dan sepeninggalnya Wawi, aku pun melanjutkan pengecekan ini. Dan di tiap aku mengecek tubuh yang terbaring di atas aspal, dadaku pasti bergemuruh hebat, napasku sesak bukan main.

Luka-luka dan darah yang diderita prajurit-prajurit ini benar-benar mengerikan buatku. Sayatan lebar, luka tusuk, dan luka bakar adalah yang paling dominan.

Sumpah.. aku enggak pernah ngalamin beginian sebelumnya.

Dan tepat setelah aku selesai mengecek ke seluruhan, Wawi datang dengan mobil bermerk “Mitsubishi” besar, berjenis double cabin. Ia segera memutar balikkan arah mobil itu, sedang aku segera mendudukkan salah satu tubuh, langsung kugendong di punggung dan berjalan cepat ke arah Wawi yang langsung membuka bagian bak belakang mobil itu, membantuku.

“Ada dua lagi yang masih napas, jadi totalnya ada delapan. Kira-kira muat enggak Wi?” Tanyaku sembari menaikkan tubuh di gendonganku.

“Muat-muatin aja udah, yang penting kebawa semua.” Sahut Wawi yang kini sudah berada di atas bak mobil tersebut, memosisikan tubuh pertama dengan hati-hati.

Setelahnya kami pun bahu membahu mengevakuasi tubuh-tubuh prajurit yang masih memiliki denyut nadi tersebut. Pertama-tama kami letakkan di bak belakang, setelah itu dikursi baris penumpang, dan barulah di kursi samping kemudi.

Di bak belakang ada empat orang, di kursi baris penumpang diisi tiga orang, dan di kursi sebelah kemudi satu orang, setelah selesai aku segera meminta Wawi untuk masuk ke kursi kemudi. Sedang aku memasangkan sabuk pengaman di beberapa tubuh tersebut.

“Lu di mana Men? Belakang?” Tanya Wawi setelah menyalakan mesin mobil.

Aku yang masih berdiri di samping pintu kemudi segera menggelengkan kepala.
“Lu sendiri bisa kan? Gua mao ngecek ke depan lagi, siapa tau masih ada yang lain.” Ujarku dengan napas terengah.

“Men..” Wawi segera memprotes kecil, mempermasalahkan ucapanku.

“Jalan Men.. nanti kalo emang enggak ada korban yang lain gua nyusul bawa motor lu.” Tukasku cepat pada Wawi, dan sejenak ia terdiam keluh. Seperti berat hati memenuhi permintaanku.

“Kita balik lagi aja ntar Men..” Bujuk Wawi dengan wajah memelas, namun aku segera memugar senyum.

“Jalan Men, makin cepet lu nyampe ke rumah sakit makin besar kemungkinan mereka selamet.” Ujarku sembari memegang bahu Wawi, dan ia terlihat menghela napasnya dalam, kemudian dengan berat hati menganggukkan kepala.

“Tapi lu janji ama gua, kalo emang situasinya gawat, langsung caw. Enggak usah macem-macem, abis nganterin mereka gua bakal mampir dulu ke kantor polisi. Oke?” Tukas Wawi yang napasnya makin terlihat memburu, aku pun tersenyum dan langsung memundurkan langkahku, bersamaan itu Wawi langsung memasukkan perseneling, menekan-nekan gas sejenak.

Setelah itu ia memandangku, memberikan anggukan kepala, aku membalasnya, kemudian Wawi pun mulai menjalankan mobil tersebut, melaju meninggalkanku yang masih berdiri memperhatikan bagian belakang mobil. Sampai mobil tersebut hilang di tikungan, aku baru berbalik badan, menatap sisa-sisa kekacauan di depan mataku ini.

Dan entah kenapa, air mataku menetes begitu saja, aku kesal dan begitu marah melihat keadaan ini. Terutama mendapati tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa tergeletak di atas aspal. Padahal aku tak mengenal mereka sama sekali, tapi entah kenapa rasanya begitu sakit melihat hal ini.

Sunyi.. itu saja yang sekarang aku rasakan.
Fyuhh.. melihat kekacauan ini, entah kenapa perasaanku makin enggak enak. Aku makin mengkhawatirkan Ayah dan Ibuku, kira-kira bagaimana kondisi mereka saat ini?

Jagat Dewa Batara.. sebenarnya apa yang terjadi di sini?

Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan, terasa kebas sekali rasanya.

Tenggorokanku pun rasanya tercekat dan sulit untuk menelan liur sendiri.

Fyuhh.. bener-bener aku makin enggak karuan memikirkan kondisi Ayah dan Ibuku.

Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini, harus!

Aku pun mulai melangahkan kakiku lagi, berjalan hati-hati melewati satu persatu tubuh prajurit yang tak lagi memiliki sukma. Aku menyongsong ke depan, berusaha mencari jawaban atas segala keanehan dan kekacauan yang terjadi di tempat ini.

Meski sejujurnya, aku maupun memiliki kekhawatiran, ketakutan serta keraguan, sebab aku memiliki firasat, bahwasanya aku tengah mendekat pada sebuah hal yang mungkin akan berbahaya bagiku.

Namun berdiam diri pun enggak ada gunanya, aku harus mencari jawaban atas kondisi ini.
Kepalaku penuh, memikirkan hal-hal janggal serta keanehan yang terjadi selama perjalananku dan Wawi menuju tempat ini, di mulai dari orang-orang yang hendak menculikku tadi, lalu disambung dengan fakta bahwa enggak ada masyarakat di sekitar daerah ini yang mengonfirmasi kejadian longsor, serta kejanggalan-kejanggalan lainnya, termasuk tubuh-tubuh yang bergelimpangan tadi, tentunya membuat aku merasa harus mencari jawaban untuk menjabarkan segala situasi yang tengah kami hadapi sekarang ini.

Langkah demi langkahku pun terayun pelan, derup jantungku berdebar-debar dengan hebatnya.

Kosong.. tiap langkah yang tertinggal justru membawaku pada kekosongan. Kekacauan semakin terasa tertinggal, dan tak seorang pun yang kutemui selama derap langkahku ini.
Aneh.. ini sangat aneh.. mengapa bisa sesepi ini?

Hingga di langkah ke sekian, di pijakan kaki yang tertinggal, aku terhenti ketika mendapati situasi yanh semakin enggak bisa dinalar, seperti ada sebuah anomali yang aneh.

Enggak.. aneh banget tepatnya.

Bagaimana enggak aku bilang aneh, di depanku sekarang kaya ada garis pembatas yang rapih banget antara tempatku berdiri, dengan jalanan di depanku inii.

Dimana dari tempatku berdiri ke belakang, lokasinya sudah berantakan dan porak poranda, tapi di depanku justru sebaliknya, kaya enggak terjadi apa-apa. Rapih gitu, kaya kekacauannya Cuma sampe di sini aja.

Di depan ku ini jalanan aspalnya mulus, rerumputan maupun pepohonan di kanan kiri jalan juga terlihat hijau dan rapih berjejer, bener-bener kontras. Kaya ada kaca raksasa yang menjadi penyekat, yang bikin kedua sisi tempat ini berbeda 180°, aneh.. dan ini benar-benar membuatku semakin dirundung kemelut kalut.

Aku diam sejenak, menghela napasku dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku dulu.

Fyuhh..

Aku pun kembali melangkahkan kakiku, dan tepat saat langkahku terayun, membawa tubuhku maju, aku kaya ngerasain hawa yang sangat janggal melewtiku, atau tepatnya.. aku seperti melewati sesuatu yang tak kasat mata, kaya: blupp gitu.. apa Cuma perasaanku aja?

Tapi beneran deh, aku kaya ngelewatin sesuatu, dan sesuatu itu rasanya dingin-dingin aneh, kaya ada yang mencurigakan dan kaya ada energi aneh gitu, rasanya kaya nyelimutin keseluruhan tubuhku.

Hingga tepat ketika telapak kakiku memijak tanah, tiba-tiba seluruh pandanganku berubah, apa yang tadinya di hadapanku terlihat rapih kaya enggak terjadi apa-apa langsung berubah 180°, langsung berubah dalam sekedipan mata!

Aspal yang tadinya terlihat normal dan mulus, berubah menjadi alas dari kekacauan yang jauh lebih parah dari apa yang ada di belakang tadi.

Asap-asap hitam membumbung, api berkobar di kanan kiri, beberapa tubuh terjerambap, dan beberapa yang lainnya terlihat tengah bergelut peluh satu sama lain.

Berdenging.. telingaku tiba-tiba berdenging hebat..

Di hadapanku terlihat orang-orang berjas hitam tengah beradu pukulan dan tendangan dengan orang-orang berjaket kulit. Dua.. tiga.. lima.. tujuh..

Shit.. ada tujuh orang di hadapanku sekarang, empat di antaranya mengenakan jas hitam, tiga sisanya mengenakan jaket kulit. Sedang beberapa tubuh sisanya baik yang berjaket hitam maupun yang mengenakan jas sudah terkapar diam di atas aspal maupun di tepian semak belukar yang terbakar.

Dari tujuh orang tersebut, enam di antaranya terlihat berhadap-hadapan, merekalah yang terlihat tengah beradu pukulan dan tendangan, melompat ke sana kemari, menyerang dan bertahan di saat bersamaan.

Sedang satu orang lainnya yang berjas hitam terlihat berjongkok agak jauh dari gelanggang utama, ia terlihat menempelkan telapak tangannya di atas aspal, dengan bibir, hidung dan pelipis yang mengucurkan darah.

Napasnya terlihat kembang kempis, dan sesekali terbatuk darah. Hingga di detik kesekian, orang yang tengah menempelkan tangannya di atas aspal itu seperti tersadarkan akan sesuatu, langsung menoleh ke arahku, dan wajahnya langsung terkejut serta lemas di waktu bersamaan.

Pun aku.. aku kaya langsung terpaku gitu. Mungkin akumulasi kebingungan dan ketakutan yang kurasakan saat ini.

Tapi bentar.. orang itu.. itu orang yang sama ama yang tadi hendak nyergap aku di jembatan.

Ya! Orang-orang berjas hitam itu adalah orang-orang yang sama dengan yang tadi.

“MUNDUR!!!” Teriak orang yang tengah menempelkan tangannya di aspal secara tiba-tiba. Lantang dan penuh kengerian begitu sampai di telingaku.

Dan suaranya langsung membuat orang-orang yang tengah berjibaku pukul terhenti, langsung melompat mundur dari arena.

Tiga orang berjaket kulit langsung melompat ke belakang, pun orang-orang berjas hitam yang langsung melompat mundur ke arahku, langsung berdiri bersisian membelakangiku.
Napas mereka terlihat terengah, dengan wajah dan pakaian yang sudah berantakan parah.

Sedang aku hanya terkesiap saja, aku pun refleks memundurkan kakiku selangkah, napasku tiba-tiba kian memburu hebat, detak jantungku pun semakin cepat dan rapat.

Shitt.. kenapa aku malah ketemu sama sindikat penjualan organ ini? Mati aku.. aaarrgghh..

Bersamaan dengan gerutuan di hatiku, orang yang sedari tadi menempelkan tangannya di atas aspal pun dengan cepat berdiri, langsung melompat dengan ringannya dan mendarat di hadapanku dengan posisi membelakangi, bergabung dengan tiga kawannya yang sudah lebih dulu.

Apa ini? Kenapa mereka bisa di sini? Apa ini benar seperti dugaan Wawi kalau mereka sudah mengetahui tujuanku ke sini, makanya mereka bisa berada di sini sekarang?

Terus.. kenapa mereka bisa tawuran begini? Apa sebenarnya tujuan mereka? Apa mereka juga yang udah ngebantai orang-orang militer tadi?

Dan yang terpenting.. siapa mereka sebenarnya? Kenapa cara mereka bertarung terlihat asing sekali? Enggak pernah aku melihat gaya bertarung yang aneh seperti tadi.

Melompat kesana sini seolah tubuh mereka mampu melawan gravitasi bumi, pun ketika berpindah posisi ke depanku sekarang, mereka hanya melakukannya dengan satu kali lompatan, melayang begitu aja.

Sial.. sebenarnya siapa mereka semua?

“Den Regan.. tolong segera pergi dari sini, saya mohon.. uhuk..” Ucap orang yang tadi menempelkan tangannya di aspal, ia berucap tanpa sedikitpun menolehkan kepalanya ke arahku.

Den? Hah? Den? Siapa sih mereka? Kok manggil aku pake embel-embel Den segala?
Terus kok hawa mereka beda kaya tadi pas di jembatan? Ini mereka enggak jadi nyulik aku apa gimana?

“Apa yang Aden tunggu? Cepat pergi dari sini, kami akan mengulur waktu!” Bentak orang itu lagi dengan sudah menolehkan wajahnya, sedang tiga rekannya sudah memasang kuda-kuda setengah kaki, langsung mengeluarkan sesuatu dari balik jas masing-masing.

Ada yang mengeluarkan sepasang pisau model belati yang bergerigi, ada yang mengeluarkan senjata aneh berbentuk kaya kuku macan gitu yang nekuk ke bawah, bahkan ada yang ngeluarin kujang kembar. Biadab ini.. mereka mau ngoperasi aku di sini apa gimana?

Dan yang paling nyebelin, kenapa orang ini terus manggil aku pake panggilan Aden coba?

“HOHOHO.. TERNYATA TANPA PERLU DICARI BOCAH ITU MUNCUL DENGAN SENDIRINYA HAHAHA..” Di tengah kebingunganku tiba-tiba salah satu dari tiga orang berjaket kulit di kejauhan sana berteriak dengan nada menyebalkan, seolah bahagia dan sangat situasi ini, dan matanya.. mata orang itu tertuju ke arahku.

Sialan.. siapa yang dia panggil bocah? Aku kah? Bangcattt..

“HOOYY.. KENAPA DIAM? SUDAH HABIS KI’ KALIAN HAH? SAMPAI HARUS MENGELUARKAN SENJATA-SENJATA NDAK BERGUNA ITU? HAHAHAHA..”

“APA SI PEREDAM KI’ ITU SUDAH KEHABISAN KI’ NYA SENDIRI? HAHAHAHA..” Timpal rekannya yang lain dengan tawa selalu mengiringi.

Ki’? Mereka ngomongin apa sih? Dan ki’ yang mereka maksud itu apa? Sialan.. ini apa sih!

“BERARTI KEADAAN SEKARANG BERBALIK YA? KALIAN YANG HARUS BERSIAP-SIAP, KARENA SETELAH MEMBINASAKAN KALIAN, MAKA NDAK ADA LAGI YANG BAKAL MENGHALANGI KAMI MENCENGKERAM LEHER BOCAH LAKNAT ITU HAHAHAHA..”

Bangsat.. sekarang malah ditambahin laknat lagi. Siapa sebenarnya mereka-mereka itu? Dan kenapa sepertinya mereka enggak suka banget sama aku? Sampe bilang kalau aku ini bocah laknat? Bajingannnn..

“Sial.. tanpa ki’ saja mereka sudah meluluhlantakkan kita, apalagi sekarang. Ditambah dengan keadaan ki’ kita yang sudah habis. Berapa lama lagi kita bisa bertahan?” Gumam orang yang berdiri paling kiri.

“Aku tidak memiliki ki’ yang cukup untuk meredam kekuatan mereka, tapi aku masih memiliki sedikit sisa Ki’ untuk membantu kalian, tentunya ini akan mengorbankan pertahanan kita. Jadi akan lebih baik jika sisa ki’ yang kumiliki ini kugunakan untuk melapisi senjata-senjata kalian. Bagaimana?” Sahut orang yang berada tepat di hadapanku dengan berangnya.

Orang tersebut adalah orang yang menempelkan telapak tangannya tadi ini sepertinya menggantikan posisi pembicara, sebab aku lihat orang yang banyak bicara ketika di jembatan tadi udah enggak ada.

“Pertahanan terbaik adalah menyerang, bukan?” Sahut seorang berjas lainnya.

“Tapi seberapa lama kita mampu menahan mereka? Saat ki’ mereka diredam saja mereka masih bisa meluluhlantakkan kita.” Tanya seorang lainnya dengan bahu naik turun menghela napas.

“Tidak..” Tukas sang juru bicara dengan kedua kaki dileberkan, merendahkan tubuhnya sedikit. Ketiga rekannya pun langsung menoleh bersamaan, heran.

Sama herannya kaya aku saat ini. Bedanya kalau aku terheran sebab segala situasi yang enggak bisa dinalar ini. Sumpah.. kalo ini mimpi, aku beneran mao cepet-cepet bangun aja. Sesek banget rasanya sekarang napasku, dan jujur.. ada ketakutan yang hebat yang berkobar di inti perasaanku.

“Kita tidak akan menahan mereka, tapi kita akan mengalahkan mereka.” Sambung sang juru bicara dengan kepala sedikit ditolehkan ke arahku, wajahnya melempar setitik senyum.

“Pergilah ke alamat ini, itu tempat yang aman bagi Aden, tunggulah di sana, nanti akan ada orang-orang yang menjemput Den Regan.” Ujar orang tersebut dengan nada serius, seraya menyerahkan sebuah kartu nama kecil berwarna putih, aku menerimanya dengan tangan gemetar, memandang sejenak kartu nama tersebut.

Di sana tertera nama sebuah yayasan yatim piatu, lengkap dengan alamat dan nomor telefon.

Alamat yang tertera di sana ada di daerah Herang, yang berarti masih sangat jauh dari sini? Kenapa aku disuruh ke sini? Dan apa maksudnya ini?

“HOOOYY!!! SUDAH SELESAI BELUM NGOBROLNYA, KAMI BOSAN MENUNGGU LOH.” Teriak salah satu orang berjaket kulit di depan seraya merentangkan tangannya ke samping, seperti tengah melakukan perenggangan.

“Pergilah Den..” Ujar sang juru bicara lagi dengan wajah dipenuhi kekhawatiran.

“Bentar.. bentar.. saya beneran enggak ngerti ama situasi ini. Kalian sebenarnya siapa? Kenapa sekarang nyuruh saya pergi padahal tadi kalian mao nangkep saya? Terus kenapa tempat ini bisa sekacau ini? Dan mereka semua.. mereka semua siapa?” Aku yang kepalang pusing pun mengeluarkan seluruh kebingungan yang ada di kepalaku, membuat orang yang sedari tadi seperti juru bicara langsung menghela napas dalam.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan Den, tapi yang perlu Den Regan tau, kita berada di pihak yang sama. Selebihnya nanti akan ada orang yang datang dan menjelaskan..”

“Tapi..” Gumamku meragu.

“Percaya sama kami Den, kami di sini untuk melindunginya Den Regan.” Potongnya lagi yang membuat pikiranku semakin blingsatan bukan main.

Melindungi? Melindungiku? Dari apa? Emangnya aku butuh dilindungi?

“Di belakang sana, ada mobil Ayah saya yang terbalik. Dan saya kesini buat dapetin jawabannya. Saya ke sini buat nyari jawaban tentang kondisi orangtua saya.” Ujarku dengan napas berderu, suaraku serak memberat bukan main.

“Kami mengerti Den, tapi bagaimana pun Aden harus segera pergi dari sini, harus.” Ucap nya lagi dengan suara terengah.

Shit.. anjing.. anjing..

Pikiranku kalut, antara menuntut jawaban atas kekhawatiran nasib orangtuaku, serta ketakutan yang berkecamuk di dalam kepalaku.

Huh.. huh.. aku emang takut dengan keadaan dan situasi ini, tapi entah kenapa, aku lebih takut kalo ngebayangin Ibu sama Ayah kenapa-kenapa, dan yang lebih parah.. aku enggak tahu apa-apa tentang kondisi mereka.

“HOYY.. SUDAH BELUM? KAMI SUDAH SIAP LOH INI!!”

Kembali, salah satu dari ketiga orang berjaket kulit di depan sana berseru dengan lantang, membuat aku seketika memandang lagi ke arah depan. Pun keempat orang di depanku.

Dan betapa tercekatnya tenggorokanku ketika mendapati ketiga orang di depan sana sudah mengeluarkan senjata mereka. Dan bentuk senjatanya pun aneh-aneh, ada yang berbentuk mirip keris, ada yang mirip golok tapi lebih kecil dan agak ramping, dan ada yang memegang sepasang tongkat besi dengan ujung seperti kail pancing.

Namun bukan itu yang membuatku tercekat, melainkan karena senjata dari orang-orang berjaket kulit tersebut memerah nyala, seperti besi yang habis ditempa.

Dan enggak itu aja, beberapa detik kemudian api mulai menyelimuti senjata mereka, membuat mataku seketika membelalak lebar.
Sial.. kok bisa gitu? Apa mereka abis nyiramin senjata mereka pake bensin? Kok bisa nyala gitu? Dan yang lebih anehnya lagi, mereka kok kaya tenang banget megang senjata mereka, kaya enggak terpengaruh sama nyala api yang semakin detik semakin berkobar nyata.

“Mungkin ini akhir pengabdian kita, dan meski kita bukanlah punggawa utama, tapi kita harus berbangga karena bisa menjadi garda terdepan untuk situasi segenting ini. Dan kalau memang ini adalah pertarungan terakhir kita, maka ini akan menjadi suatu kehormatan bagi kita semua.” Sang juru bicara berucap dengan nada tenang, seolah enggak ada kegentaran di hatinya saat ini.

Setelah itu ia merentangkan tangan kirinya, dan kembal.. napasku seketika terasa tercekik ketika dari telapak tangan kiri orang tersebut, keluar kepulan mirip asap berwarna hitam pekat, namun keliatannya itu lebih tebel gitu, kaya asap tapi lebih pekat, dan kaya stabil banget gitu.

Aku pun reflek kembali memundurkan langkahku, napasku berderu, keringatku mengucur deras, berkali-kali aku menelan ludah dengan berat, bener-bener enggak ngerti ama situasi ini.

Apa ini mimpi? Kalo mimpi aku mao cepetan bangun. Tapi kalo pun ini nyata, apa penjelasan dari semua ini? Apa mereka ini siluman? Dan kekuatan macam apa yang keluar dari telapak tangan si pembicara itu?

Dan yang lebih anehnya, kepulan energi berwarna hitam itu langsung menyelimuti tiap-tiap senjata rekan-rekannya. Nyelimutin gitu. Sumpah.. ini enggak bisa dinalar sama sekali!
Apa ini “Ki” yang tadi mereka bicarakan? Tapi ini enggak bisa dinalar. Atau ini Cuma ilusi mata? Apa aku terlalu lelah sampe ngeliat yang enggak-enggak kaya gini?

“OHH.. MASIH MAU NGASIH PERLAWANAN YA? YOWESLAH.. KALAU GITU KALIAN SEMUA BAKAL KAMI BANTAI!”

SRRRIIINGGG..

Aku menahan napasku seketika itu juga, tatkala orang yang memegang sepasang besi dengan ujung seperti kail pancing itu melemparkan satu dari dua besinya ke arah kami, seperti menombak buruan.

Dan besi itu.. besi itu melaju deras dengan api menyelimuti, kencang mengarah ke posisiku. Pupil mataku melebar, kakiku langsung kaku enggak bisa bergerak. Anjing.. anjing banget ini..

Salah satu dari empat orang di hadapanku langsung melompat ke depan, dia orang yang memegang kujang kembar di tangannya, dan dengan ringannya ia langsung menangkis luncuran besi tersebut. Mementahkannya ke samping dengan kedua kujangnya.

TRAAANGGGGG..

Bunyi peraduan besi dan percikan api langsung tersaji di hadapanku, bersamaan dengan tubuh orang tersebut yang langsung terpelanting kencang ke samping, langsung berdebum menghantam tebing.

“BANI!!” Teriak orang di hadapanku yang membawa belati seraya menerjang ke depan. Menyongsong tubuh sang pembawa kujang yang sudah terlentang di tanah.

Sedang dua sisanya langsung bersiaga, sang pembicara pun langsung mengeluarkan sesuatu dari jaketnya, dan yang dikeluarkan sang pembicara itu adalah sebuah stik besi yang bentukannya mirip stik drum, tapi dengan ujung runcing seperti mata tombak, dan stim itu pun langsung terselimuti dengan kepulan hitam yang amat pekat.

Sialan sialan sialan.. ini mereka siapa sih sebenarnya?

“Pergi Den.. saya mohon..” Ujar Sang pembicara dengan suara berat tanpa menatapku, dan entah kenapa aku pun langsung menyetujuinya. Langsung menganggukkan kepala dan segera memundurkan langkah.

“HOY BOCAH LAKNAT!! MAU PERGI KEMANA KAMU??” Seruan lantang dari si pemegang keris terdengar memekakkan telingaku. Ia menatapku tajam dengan senyuman bengis yang mengerikan sekali di mataku.

“Jangan hiraukan Den, pergilah.. cepat!” Tukas sang pembicara seraya menoleh ke arahku, aku mengangguk lagi, dan segera membalikkan tubuhku. Namun tiba-tiba..

“MENYEDIHKAN SEKALI KAMU BOCAH!! KETIKA AYAHMU BEGITU PERKASANYA MENGORBANKAN NYAWA, TAPI ANAKNYA JUSTRU JADI PENGECUT SEPERTI INI!!!”

Deeeggg..

Jantungku seperti berhenti berdetak seketika itu juga, langkahku langsung terhenti saat itu juga. Helaan napasku yang sedari tadi udah enggak teratur pun semakin memburu, mataku membelalak dengan lebarnya.

Dia bilang apa tadi? Dia bilang apa tentang ayahku tadi? Mengorbankan nyawa? Apa maksudnya itu?

“TUTUP MULUTMU BAJINGAN!!!” Terdengar teriakan dari sang juru bicara yang sedari tadi berkomunikasi denganku, dan setelah itu disusul suara bising yang begitu nyaring. Gedebak-gedebuk yang begitu riuh.

Suara-suara peraduan senjata, dan suara-suara pukulan serta berdebum kuat, semuanya terdengar begitu bising di belakangku. Riuh langsung mencekam sekelilingku.

Orang tadi bilang apa? Ayahku mengorbankan nyawa? Apa artinya itu? Apa artinya kata-kata itu? Ayah.. ayah mengorbankan nyawa? Tapi untuk apa dan untuk siapa? Apa kata-kata itu memiliki arti lain? Apa itu hanya kiasan? Atau memang itu memiliki arti yang sebenar-benarnya?

Enggak.. pasti itu Cuma kiasan.. pasti Cuma kiasan!!

BAG.. BUG.. BAG.. BUG..
TRANG.. TRING.. TRANG.. TRING..
BUGG.. DEBUM.. TRANGG..

Riuh, riuh sekali terdengar di areal belakangku. Pertarungan.. itu pertarungan mereka.

“KENAPA DIAM BOCAH? KAMU NDAK TERIMA KALAU AKU BILANG PENGECUT? HAH?!!”

“DI NERAKA SANA SI BANGSAT SAKA PASTI SEDANG MENANGIS MELIHAT ANAKNYA SEPECUNDANG INI.. HAHAHA..”

“AYAHNYA SEORANG KSATRIA HEBAT YANG RELA MENGORBANKAN NYAWA UNTUK PASUKANNYA, SAYANG SEKALI ANAKNYA TERNYATA CUMA SAMPAH!! HAHAHA”

“HOY CAH ASU.. KAMU NDAK MAU NGUMPULIN ABU AYAHMU YANG TERPANGGANG DI SINI HAH??!!”

“TUTUP MULUTMU BANGSATTT!!!”

NGIIIIIIINNNNGGGGGGGG...

Berdenging.. telingaku berdenging hebat bukan main. Jantungku benar-benar seperti berhenti total saat ini, dan entah kenapa, sebulir air mata tiba-tiba turun begitu saja di pipiku.

Timpah menimpah kalimat di belakangku terasa begitu penuh mengisi gendang telinga. Kupejamkan mataku erat-erat, mencoba buat enggak percaya dengan kalimat-kalimat bangsat di belakangku, tapi semakin keras kupejamkan mataku, semakin terngiang-ngiang juga kalimat-kalimat itu, berulang-ulang dan terus berulang.

Aku enggak mau percaya, bener-bener enggak mau percaya. Aku enggak mau percaya!!!!
“AAARRRGHHH..”

Setelah beberapa detik hanya bisa berdiri keluh dan menundukkan wajah dengan mata terpejam, sebuah teriakan parau penuh kesakitan langsung menyadarkanku, aku pun segera membuka mataku dan sekejap itu juga pandanganku langsung mengabur.

Lagi? Ini terjadi lagi.. Keadaan ini.. keadaan ini terjadi lagi..

Pandanganku.. pandanganku kembali kehilangan fragmen warna seperti ketika di sekolah beberapa hari yang lalu, pandanganku kembali monokrom. Tapi bedanya, saat ini enggak diiringin rasa sakit.

Hitam putih.. semuanya terlihat hitam putih lagi.

Pohon-pohon.. jalan aspal.. langit.. awan.. semuanya.. semuanya berubah hitam putih..

BUGGHH..

“AAARRGGHH..”

Kembali terdengar teriakan kesakitan di belakangku, dan aku amat yakin itu berasal dari orang-orang berjas hitam yang sedari tadi memintaku pergi dari sini.

Tapi apa aku bisa pergi begitu saja? Bukankah orang-orang berjas hitam yang bilang kalau mereka berada di pihak yang sama denganku?

Dan mereka juga bilang kalau ki’ mereka sudah habis? Bukankah kata-kata mereka mengandung keraguan akan pertarungan ini?
Lalu apa aku bisa pergi begitu saja?

Meninggalkan mereka tanpa bisa melakukan apa-apa? Apa aku akan lari seperti pengecut dan pecundang kaya yang dibilang orang-orang berjaket kulit tadi?

Enggak.. walaupun aku enggak tau apa yang menyebabkan situasi ini terjadi, hal apa yang membuat mereka bertarung seperti itu, dan enggak tau apa yang jadi permasalahan utamanya, tapi apa itu berarti aku harus lari gitu aja? Enggak.. aku enggak bisa kaya gini.. aku enggak bisa lari kaya gini.

Dan bukankah orang-orang berjaket kulit tadi menyerukan kalimat-kalimat tentang Ayahku? Yang berarti mereka memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan keresahan yang ada di dalam pikiranku?

Bukankah aku harus mengonfirmasi itu? Mengonfirmasi kata-kata mereka yang bilang kalau Ayahku hangus terpanggang di sini?

Bukankah harusnya aku mengonfirmasi itu? Bukannya lari tanpa jawaban seperti ini?
Cukup.. aku enggak boleh ketakutan seperti pecundang seperti ini!!

Kuhela napasku dalam, kutegakkan kepalaku, mencoba beradaptasi dengan penglihatan monokrom yang tengah terjadi di mataku saat ini. Kemudian aku pun membalikkan badan dengan perlahan.

Dan pemandangan mengerikan kembali kudapati, orang-orang berjas hitam yang tadi berdiri membelakangiku sudah bertumbangan, hanya tersisa satu orang, yakni sang pembicara.

Itu pun kondisinya benar-benar memperhatikan, ia tengah berlutut di hadapan tiga orang berjaket kulit yang menenteng senjata tajam berbalut api, salah satu dari tiga orang tersebut bahkan tengah menjambak rambut sang pembicara itu, memaksa orang itu agar mengangkat wajahnya.

Dan ketiga orang itu kini sudah memandangku dengan seringaian, seolah mereka tengah memamerkan kemenangan mereka padaku.
Sialan.. apa aku bisa lari setelah melihat semua ini? Apa aku akan diam saja melihat apa yang terjadi di hadapanku ini?

“Bagus.. tetaplah berdiri di sana cah bagus, jangan kemana-mana.. setelah menyelesaikan sampah kecil di tanganku ini, selanjutnya kamu yang akan kami selesaikan.” Ujar orang yang tengah menjambak rambut sang pembicara itu dengan dingin.

Sialan.. aku benci ini.. aku benci sekali dengan orang-orang sombong seperti ini..

“LARI DEN! PERGI DARI..”

DUG..

Sang pembicara itu berseru padaku dengan lantang, namun orang yang menjambaknya langsung membenturkan kepala sang pembicara ke lutut, mengadu wajah pembicara itu dengan keras, dan kembali dijambak serta dipaksa tertengadah.

“Jangan banyak bicara asuu..” Maki orang yang menjambak itu dengan geram.

“Fuck Hematala..” Terdengar ucapan lirih dari sang pembicara yang langsung membuat ketiga orang di hadapannya langsung merubah raut wajah, merah padam dibakar amarah.

Dan orang yang menjambak itu pun segera mengangkat belatinya tinggi-tinggi, siap menghujamkan belati tersebut ke orang yang berada dalam jambakannya.

Anjing ini.. persetan dengan segala situasi aneh ini, persetan dengan segala kejanggalan ini!

“LEPASKAN DI.."

BUGGGGHHH

Baru saja aku hendak berlari menyongsong kedepan kurasakan sesuatu menabrak tubuhku dengan keras, membuatku langsung terpental kebelakang dengan telaknya, jatuh tertelungkup di atas aspal yang sudah tercerai berai ini.

Dan bersamaan dengan itu terdengar suara kegaduhan yang amat sangat ramai. Dan sayup-sayup aku seperti mendengar suara eraman hewan dan gonggongan yang sahut menyahut bersama gedebukan yang terjadi di depan sana.

Sialan.. apa itu tadi?

“Heikkhh..” Aku tercekat, napasku pun sesak saat kurasakan sesuatu menekan punggungku, seperti ada seseorang yang tengah menginjak punggungku saat ini, namun bukan itu aja, aku ngerasa kaya ada sesuatu yang tajam menusuk tipis kulit punggungku.

Bangsat ini.. apa lagi ini??

“Hhhrrrmmmhhh..” Terdengar suara eraman yang amat berat, dan eraman tersebut terdengar begitu menakutkan bagiku, jauh lebih menakutkan dibanding ketakutan-ketakutan sebelumnya.

Sialan.. sekarang bahkan kepalaku juga ikut diinjak, membuat wajahku yang tadinya hendak terangkat langsung mencium dan menempel ke aspal. Kulit kepalaku juga tertekan sesuatu tajam rasanya.

Bajingan.. kaki macam apa yang rasanya seberat palu Godam ini?

“OUGGGHH!! GGGRRRHHH..”
“ARRGGGHH..”
“OUGGHHH!! GGGRRRHHH..”
“AAAAAA...”

Ramai.. ramai banget asli di depan sana. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana nasib sang pembicara tadi? Arrrgghh.. aku harus bangun! Harus bangun!!

“Heiikkhh..” Aku kembali menahan napasku, ketika aku mencoba bangun justru injakan di punggung dan kepalaku seperti semakin dikeraskan, membuat wajahku benar-benar menempel dengan aspal dengan telak.

Anjing, posisinya enggak enak banget ini. Hidungku yang lagi masa penyembuhan malah bisa patah total ini!! Aarrgghh..

“hrrmmhh..” Sialan.. eraman kembali terdengar di telingaku. Ngeri banget ini, masa iya di sini ada macan? Aarrgghh..

Senyap, aku baru menyadari bahwa keributan yang sempat terjadi sudah mereda. Enggak terdengar suara apapun selain suara eraman berat. Sialan.. sialan.. sialan..

“Kerja bagus anjing manja hhrrrmmhh..”
Mataku mendelik lebar-lebar di balik peraduan dengan aspal, suara macam apa yang bisa semenyeramkan itu? Suaranya berat seperti orang tua, tapi dibarengi dengan getar eraman khas hewan buas di tv-tv. Anjing.. apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa banyak banget hal aneh hari ini?

“OUGGHH!!”
“OUGGHH!!”

Terdengar suara gonggongan anjing berada dekat sekali denganku, sialan.. anjing apa yang punya gonggongan semenyeramkan itu? Dan yang lebih mengerikannya adalah, sepertinya ada dua anjing buas yang ada di dekatku.

“Te.. terimakasih..”

Degg..

Jantungku kembali berkejat ketika sebuah suara terdengar berjarak dekat sekali denganku, itu suara si pembicara yang tadi berada dalam jambakan orang berjaket kulit yang siap menghunuskan belatinya.

Dia selamat? Orang itu ternyata selamat!!

“Hrrrmmhh.. kalian semua lemah, tidak berguna hhrrmmhh..” Suara eraman terdengar membalut kata-kata yang keluar.

“Ma.. maaf..” Ujar si pembicara terdengar gemetar. Sialan.. kenapa dia kedengaran ketakutan gitu? Siapa sebenarnya yang tengah berbicara dengannya? Arrgghh anjinglah ini.
Ini yang nginjek kepalaku sama punggungku enggak berniat buat pindah gitu? Sesek loh ini.. bajingan..

“Hrrmmhh.. sekarang cepat kumpulkan rekan-rekanmu yang masih bisa diselamatkan, kita harus segera pergi dari..”

BUGHHHH..

Terdengar suara hantaman keras yang disusul dengan suara ringkik keras serta gonggongan yang sahut menyahut, dan bersamaan dengan suara hantaman itu pula, kurasakan injakan di tubuhku hilang, sepertinya orang yang menginjakku tadi dihantam sesuatu yang amat keras.

Dan aku pun segera mengangkat wajahku seraya berusaha berdiri dengan napas terengah dan penglihatan yang masih hitam putih. Dan tepat saat aku tengah merangkak hendak bangkit, pupil mataku langsung melebar tatkala di depanku.. sialan.. bangsat..
Jagat dewa batara!! Apalagi sekarang???

“HOOUUGGHH!!”
“HOOUUGGHH!!”
“RRAAARGGHH!!”

Aku yang hendak berdiri seketika terdiam dalam posisi merangkak setengah bangun, lagi dan lagi.. tenggorokanku rasanya tercekat hebat bukan main.

Gimana enggak.. di depanku kini terlihat dua ekor makhluk menyeramkan yang berdiri membelakangiku, satu sepertinya berwarna hitam, dan satu lagi berwarna putih gelap, namun karena penglihatanku yang hitam putih, aku amat yakin warna makhluk yang satunya buka putih.

Dan kepalaku langsung mencocoklogikan warna makhluk itu dengan warna kuning rerumputan kering, di kepalaku langsung membayangkan warna singa di padang rumput Afrika.

Tubuh kedua hewan itu tinggi besar, bahkan jauh lebih besar dari singa ataupun harimau yang pernah aku lihat di kebun binatang ketika darma wisata zaman SMP dulu.

Pun tubuh kedua hewan itu bahkan terlihat kekar berotot, dengan kaki-kaki yang menekuk setengah, memasang sikap siaga. Tapi bukan itu aja yang bikin badanku gemeteran sekarang, tapi karena salah satu dari hewan di hadapanku sekarang ini benar-benar enggak masuk dinalar.

Iya! Enggak masuk dinalar!

Dari perawakannya yang kokoh kekar, bulu-bulu nya yang menghitam kelam, aku justru dibuat tercekat ketika mendapati bahwa kepala hewan tersebut berjumlah dua buah.

Iya! Kepala hewan berwarna hitam itu ada dua! Anjing!!!! Apalagi yang sekarang aku lihat ini bangsat!!

Prok.. prok.. prok.. prok..

Dan kini, mataku beralih ke titik paling depan, ke titik yang sama dengan kedua hewan tersebut tengah pandangi.

Dan di sana.. di sana berdiri seorang perempuan yang tengah bertepuk tangan pelan, wajah perempuan itu terlihat tenang. Dan jika kutaksir, usianya pasti sudah di atas Teh Arum.

Tapi anehnya, gaya busana perempuan itu terlihat sangat mencolok, karena ia berbusana seperti pendekar-pendekar di serial laga lawas.

Dan seolah enggak terdistrak dengan keanehan di depannya, perempuan itu justru tersenyum kecil sembari memandangi satu persatu yang berada di hadapannya. Hingga kemudian pandangannya berhenti ketika bertemu tatap denganku.

Seketika itu juga senyuman langsung hilang di bibirnya, berganti dengan tatapan tajam yang terasa menusuk ke ulu hatiku.

“Ah mata itu.. kamu akan menjadi milikku!!” Ucapnya datar seraya mengacungkan jari telunjuknya ke arahku, dan dengan cepat pula, kedua makhluk di hadapanku langsung merapatkan tubuh, menutup jalur pandangku ke perempuan itu.

“Aku akan mencabikmu sebelum kau sempat menyentuh bocah tengik di belakangku ini hhrrrmmh..”

Anjing! Babi! Keparat! Sialan.. madekipeh bangsat enggak ketulungan!

Babi ini.. babi!! Aku pasti lagi mimpi ini, pasti lagi mimpi! Keparat.. sialan.. kiamat ini, ini tanda-tanda kiamat pasti! Anjing!!!

Makhluk itu bicara cookkk!! Makhluk yang warna bulunya mungkin mirip bulu singa di hadapanku itu bisa bicara cok!! Bajingan alang-alang!!

“Sembawa Anggar.. suatu kehormatan besar bisa bertemu dengan sang penguasa benua kering.” Terdengar suara perempuan di depan sana melaung memecah kebisuan semesta.

“Cihhh.. makhluk hina dina sepertimu tidaklah pantas memanggil namaku hrrrrmmhh..”
Anjing ini.. babi babi.. ini macan di depanku ini beneran bisa ngomong cokk!! Sialan!!

“Hey bocah tengik..”

Degg..

Aku tercekat tatkala suara hewan itu terdengar berat terarah kepadaku, dengan kepalanya yang sedikit menoleh ke belakang, memamerkan taring panjang yang menjuntai keluar dari rahang atasnya, sampai melewati dagunya. Mata hewan itu terlihat tenang namun tajam di saat bersamaan.

Harimau gigi pedang!! Itu harimau gigi pedang!! Bajingan.. bagaimana hewan itu bisa berada di sini? Saat ini? Bukankah hewan tersebut sudah punah berabad-abad yang lalu? Dan yang paling membuatku rasanya pengen meninggoy adalah..

Kenapa harimau pedang ini bisa berbicara cok??!!

Tapi entah kenapa, ketika mataku beradu dengan mata hewan tersebut, aku seperti merasa enggak asing dengan tatapannya. Seperti sudah sering melihat tatapan ini sebelum-sebelumnya.

“Senang masih bisa melihatmu memasang wajah bodoh seperti itu hhrrrmm..”

Glek.. bangsat bangsat bangsat!! Ini aku udah gila pasti.. sumpah.. udah gila beneran pasti aku ini, bangsat!!!!!




POV 3D

“Hohoho.. ternyata insting si gila Damar masih tajam.. deabak!!” Dari balik rimbun pepohonan sawit yang berjejer di sisi tebing jalan raya, seorang lelaki dengan wajah oriental dan setelan rapih serta rambut kelimis tersenyum kecil, ia tengah berjongkok di balik pohon sawit besar.

Aksen bicaranya terdengar asing, namun jelas ia sudah menguasai betul bahasa negeri yang tanahnya tengah ia pijak saat ini. Ya, lelaki itu berasal dari negeri yang amat jauh, namun sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggal di negeri ini.

Kedua tangan lelaki klimis itu sibuk menyiapkan peralatan yang ia bawa di sebuah tas punggung kecil. Tangan kirinya memegang sebuah senapan serbu berlaras pendek, dengan warna hitam pekat. Senapan itu dilengkapinya dengan pelontar granat di bawahnya.

Sedang tangan kanan lelaki itu memegang sebuah sapu tangan, dan dengan sapu tangan itu ia mengelapi senjatanya seperti tengah membelai hewan peliharaan.

“Menyusahkan saja..” Ucap lelaki itu pendek pada dirinya sendiri, sembari terus mengelapi senjatanya, senyum kecilnya tersungging dengan begitu santainya. Napasnya tenang, dan sorot matanya pun terlihat santai tanpa tekanan sama sekali.

“Ah.. manis sekali.. muaachh..” Ucapnya lagi sembari mengecup pucuk laras senjatanya, lalu memasukkan tangannya ke dalam tas, sembari telinganya terus awas, memasang sikap waspada tingkat tinggi demi kelancaran misi dadakannya ini.



Bersambung..
 
Terakhir diubah:
Hallo semuanya, terimakasih untuk segala supportnya, terimakasih banget malahan. Maaf ya kalau sempet macet, dan maaf juga kalau updae kali ini kerasa kurang memuaskan, kerasa kentang atau semacamnya, beneran minta maaf banget deh, sumpah beneran.

Silahkan dinikmati, paragrafnya nanti akan saya rapihkan pelan-pelan ya. Terimakasih sekali lagi suhu-suhu dan seluruh pembaca yang selalu memberikan supportnya pada saya, terimakasih juga doa-doanya, ditunggu saran, masukan serta tanggapannya ya.

terimakasih terimakasih dan terimakasih pokoknya 🙏🙏
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd