Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Lembah Merpati ( Chung Sin )

Bimabet
10.02 Kepedulian Cong-lam-pay

Kepandaian Koo San Djie pada waktu itu telah mencapai ketaraf yang tertinggi, dengan hanya tenaga ini, mana dapat melukainya. Dengan menarik sedikit napas Bu-kiat-hian-kang, ia melindungi seluruh tubuhnya. Dengan cepat ia berbalik dan berkata:

“Totiang tidak dapat diajak berunding, apa tidak menurunkan derajat saja?”

Yun Mong Tjie telah menggunakan tenaga penuh, menyerang dengan ilmu Cui-sim-ciang yang dibanggakan, masih tidak dapat melukai lawan, dia menjadi kememek.

Pukulan Cui-sim-ciang adalah kepandaian simpanan dari golongan Cong-lam-pay, tapi lawannya yang hanya seorang anak kecil saja, sedemikian mudahnya menerima pukulan ini dan masih bisa berbicara. Mana ia tidak menjadi kaget?

Mendadak, dari belakang terdengar satu suara yang seperti genta:

“Budha yang pemurah. Tuan kecil ini berapa kali menyebut ingin menemui pinto, entah ada urusan penting apakah?”

Itulah suara ketua partai Yun Shia Tjie sendiri yang berkata, keluar menghampiri Koo San Djie.

Koo San Djie mendongak, melihat Yun Shia Tjie sebentar, dilihatnya orang ini bermuka panjang, dengan jenggotnya yang melambai-lambai. Pembawaannya agung tapi perkataannya sangat ramah tamah.

Maka dengan segera Koo San Djie mengunjuk hormatnya dan berkata:

“Aku mendapat pesan yang terakhir dari Yun Yan Tjie untuk membawa beberapa barang yang harus diserahkan kepada totiang.”

Yun Shia Tjie menjadi terkejut, senyumnya hilang dari mukanya. Dengan mengangkat tangannya ia menyilahkan Koo San Djie masuk.

“Di sini bukan tempat untuk berbicara. Silahkan siaoya berdua masuk ke dalam untuk kita bicara lebih leluasa.”

Yun Shia Tjie minggir menyilahkan Koo San Djie berdua masuk.

Setelah sampai di dalam ruangan tamu, Koo San Djie sudah menyerahkan pedang dan tanda cap Yun Yan Tjie kepada ketua partaynya ini, Yun Shia Tjie.

Lalu diceritakan juga tentang kejadian bagaimana Yun Yan Tjie mengejar dua murid durhakanya dan bagaimana diserang dari belakang oleh seorang pemuda.

Yun Shia Tjie sangat sayang kepada adik-adik seperguruannya, apa lagi terhadap Yun Yan Tjie. Begitu mendengar kabar tentang kematiannya yang mengenaskan, biarpun ia mempunyai pelajaran Budha yang dalam, juga tidak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya.

Setelah sekian lama Yun Shia Tjie bersedih, baru ia berkata:

“Terima kasih atas bantuan siaoya yang budiman. Dengan susah payah, jauh-jauh telah datang kemari untuk memberi kabar kepada kami. Tentang kesalah pahaman yang tadi, harap sioaya jangan taruh di dalam hati.”

“Ah itu urusan kecil, tidak menjadi apa,” sahut Koo San Djie merendah.

Lalu Yun Shia Tjie menanyakan tentang perguruannya Koo San Djie, dan telah diceritakan oleh Koo San Djie dengan sejujurnya.

Yun Shia Tjie menghela napas keheranan dan berkata:

“Guru yang ternama telah mendidik murid yang pandai. Tidak heran jika siaoya mempunyai kepandaian yang menakjubkan.”

“Totiang memuji terlalu tinggi,” jawab Koo San Djie merendah.

Yun Shia Tjie menghela napas, kemudian berkata lagi:

“Dalam beberapa tahun ini, dari berbagai macam partai telah keluar murid-murid durhaka yang berkhianat terhadap perguruannya. Maka golongan Siauw-lim-pay yang selalu dihormati oleh berbagai macam golongan, telah mengirim undangan ke berbagai macam partai untuk mengundang ketuanya masing-masing dan merundingkan tentang kejadian-kejadian ini. Jika siaoya ingin mengetahuinya, boleh juga turut pergi sekalian ke sana.”

Mendadak, kentongan tanda bahaya telah berbunyi dengan nyaring sekali.

Yun Shia Tjie menjadi kaget:

“Apa siaoya masih mempunyai kawan lagi?” dia bertanya.

Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepalanya, menyangkal.

“Mari kita pergi melihat!” mengajak Yun Shia Tjie.

Koo San Djie bersama Tjeng Tjeng mengikuti di belakang Yun Shia Tjie, berjalan keluar.

Dari jauh sudah terlihat ada seorang tauto yang beroman galak, tauto itu sedang berhadapan dengan Yun Mong Tjie.

Yun Shia Tjie menyebut beberapa kali perkataan memuji sang Budha, lalu berkata:

“Oh, yang datang itu Kiu Kong Tauto? Entah ada urusan apa, tiba-tiba membuat huru hara di sini?”

Kiu Kong Tauto dengan kasar menjawab:

“Ada seorang gadis yang bernama Oey Bwee Bwee, dengan tidak sebab musabab telah mati di gunung Cong-lam. Seluruh tubuhnya tidak terdapat luka. Tentang kepandaian yang dapat melukai orang dengan tidak berbekas, kecuali ilmu Cui-sim-ciang dari Cong-lam, orang lain tidak ada yang mempunyai lagi. Hm, hm, apakah kau Cong-lam-pay dapat membersihkan diri?”

Yun Shia Tjie mengkerutkan kening. Ia tahu bahwa Kiu Kong Tauto ini kejam dan galak, tidak mudah orang melayaninya. Kedatangannya ini berarti kesukaran baginya. Maka, dengan menahan kesabarannya ia berkata:

“Pernah apakah kau dengan nona Oey Bwee Bwee itu? Mungkin kejadian ini adalah salah paham. Pinto dapat menanggung, bahwa kejadian itu bukannya dari golongan kami yang melakukannya.”

Kiu Kong Tauto tertawa dingin:

“Enak saja kau mencuci tangan. Terus terang kukatakan kepadamu, ini hari, jika kau tidak dapat menemukan pembunuhnya, aku akan membasmi seratus tosu dari golongan Cong-lam-pay.”

Terdengar Yun Mong Tjie membentak keras:

“Kiu Kong, kau jangan mencari gara-gara saja. Apa kau kira Cong-lam-pay mudah dihina?”

Kiu Kong Tauto tertawa congkak:

“Telah lama aku mendengar tentang kemasyhuran ilmu pukulan Cui-sim-ciang, kini aku ingin melihat sampai di mana tingginya?”

Yun Mong Tjie yang berangasan sudah tidak dapat menahan sabarnya:

“Jika kau memang bermaksud mencari setori janganlah menyalahkan Cong-lam-pay berani menghina kepada kawan sendiri.”

Yun Shia Tjie yang melihat keadaan ini menjadi runcing sudah lantas berkata:

“Tunggu sebentar......”

Kemudian, dengan sabar ia menghadapi Kiu Kong Tauto:

“Oey Bwee Bwee itu sebenarnya dari golongan apa? Mungkin juga dia mempunyai musuh? Dan musuhnya itu yang telah membunuhnya. Kami golongan Cong-lam-pay tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengannya, tidak mungkin kami akan mengganggu.”

Kiu Kong Tauto yang masih marah-marah berkata:

“Yun Shia Tjie, kau harus bertanggung jawab. Terus terang kukatakan kepadamu, bahwa nona Oey Bwee Bwee ini mempunyai asal-usul yang tidak dapat dibuat gegabah. Jika sampai saudara-saudara seperguruannya marah, partaimu, Cong-lam-pay akan diubrak-abrik dan dihancur leburkan.

Betul-betul Yun Shia Tjie mempunyai kesabaran yang sempurna. Biarpun Kiu Kong Tauto sedari tadi sudah membentak-bentak, tapi ia masih tidak menjadi marah. Dengan kalem ia berkata:

“Tidak perduli, bagaimana kuatnya golongan seperguruannya, urusan tentu akan menjadi terang sendiri. Tapi, kau sudah memastikan bahwa golongan Cong-lam-pay yang berbuat, tidakkah keburu napsu?”

Kiu Kong Tauto tertawa iblis,

“Tidak usah kau banyak rewel. Dengan jiwanya ketua partaimu inilah untuk menggantikan jiwanya Oey Bwee Bwee.”

Mendadak ia telah melancarkan pukulannya dari sebelah, memukul dengan hebat sekali.

“Omong kosong!” bentak Yun Mong Tjie, dari tadi dia menahan sabar.

Dari samping, ia sudah memapaki serangannya. Dua buah pukulan telah terbentur hebat, hingga mengeluarkan seruan keras.

Yun Mong Tjie kesakitan dan mundur dua tindak. Kiu Kong Tauto dengan mata beringas masih tetap berdiri di tempatnya.

Dua kali Yun Mong Tjie mendapat kekalahan pada hari ini. Karena marah, berewoknya sudah berdiri semua, dengan berteriak keras, ia sudah mulai menyerang lagi secara bertubi-tubi

Kiu Kong Tauto terkenal karena kekuatan tenaganya yang kuat. Tubuhnya berdiri di sana seperti gunung, hanya menggerakkan tangannya yang besar, ia menangkis serangan berantai Yun Mong Tjie. Dengan tenang, ia telah memaksa Yun Mong Tjie berputaran di sekitarnya

Yun Shia Tjie menyaksikan kejadian itu, ia sudah mengetahui bahwa adik seperguruannya bukan tandingan si Tauto jahat. Ia bermaksud untuk menggantikannya, tapi takut menimbulkan nama jelek Cong-lam-pai. Dan lagi yang penting, ia sendiripun belum tentu dapat memenangkan ini Tauto jahat.

Sementara itu, Yun Mong Tjie sudah tidak dapat menahan kekuatannya Kiu Kong Tauto, mendadak, ia memperdengarkan suara jeritan tertahan. Badannya tampak tergoyang-goyang dan mundur beberapa tindak.

Empat orang tosu yang berdiri di belakang sudah maju untuk memimpin Yun Mong Tjie.

Kiu Kong Tauto tertawa puas. Dengan lagaknya yang sombong ia berkata:

Orang mengatakan Cong-lam Sam-cie dapat menggetarkan dunia. Ilmu Cui-sim-ciang masing-masing belum mendapat tandingan. Tidak disangka hanya sebegitu saja....... ha, ha, ha.......”

Yun Shia Tjie mengerutkan alisnya, lalu berkata:

“Jangan sombong. Pinto akan minta beberapa petunjuk darimu.”

Ia sudah maju bertindak untuk mengadu peruntungannya.

Koo San Djie sejak tadi sudah memperhatikan segala-galanya. Dari kepandaian Yun Mong Tjie sampai Yun Shia Tjie dan Kiu Kong Tauto. Pikirnya, majunya Yun Shia Tjie ini masih bukan tandingan Kiu Kong Tauto yang kuat. Maka dengan perlahan ia sudah berkata:

“Totiang, silahkan istirahat saja. Biar boanpwee yang meminta beberapa jurus pelajaran darinya.”

Yun Shia Tjie telah mengetahui, sepasang muda mudi ini tidak dapat dipandang enteng maka setelah menasehatkan agar Koo San Djie berhati-hati ia sendiri sudah mundur ke belakang.

Koo San Djie maju ke depan, sambil mengangkat kedua tangannya, ia berkata kepada Kiu Kong Tauto.

“Kepandaian taysu memang mengagumkan orang, hingga akupun ingin meminta beberapa jurus pelajaran dari taysu.”

Kiu Kong Tauto melihat yang maju hanya seorang anak kecil, hatinya menjadi dongkol.

“Yun Shia Tjie, apa kau tidak malu mengantarkan seorang anak kecil ke depanku...... Hmm......!” katanya marah.

Ia kibaskan lengan bajunya, sambil membentak Koo San Djie:

“Lekaslah kau menggelinding pergi.”

Tenaga kibasan lengan baju ini paling sedikit juga ada empat-limaratus kati, ia mengira, bisa membuat si anak kecil di depannya terpental jauh.

Tidak disangka, kibasannya ini tidak membawa hasil. Jangan lagi orangnya, malah baju si anak kecil itupun tidak bergerak sama sekali. Koo San Djie masih tertawa-tawa, berdiri di tempat semula.

Dalam terkejutnya, Kiu Kong Tauto kehilangan kesombongannya. Tapi ia masih penasaran, ia membentak:

“Kau pernah apa dengan Cong-lam-pay ini? Siapa namamu?”

“Aku bernama Koo San Djie. Di sini hanya menjadi tamu dari Cong-lam-pay. Semua urusan boleh kau perhitungkan dengan aku saja!”

Tjeng Tjeng yang melihat Kiu Kong Tauto yang galak ini sudah menjadi tidak puas. Sedari tadi ia sudah ingin mengusirnya.

Kini, ia melihat Koo San Djie masih menghormat dan menghadapi si Tauto jahat, sudah menjadi tidak sabaran. Dengan keras ia berkata:

“Koko San, lekas usir dia pergi, aku sudah sebal melihat tampangnya!”

Tapi teriakan ini telah menimbulkan hati jahat Kiu Kong Tauto. Dengan tertawa dingin, badannya sudah maju dua tindak, tangan kirinya memukul tiga kali, lengan kanannya mengibas empat kali, dua macam aliran yang keras dan lembek, menyerang dari dua jurusan

Koo San Djie sengaja, agar Kiu Kong Tauto tahu diri, maka Bu-kiat-hian-kangnya ditahan, tidak untuk menyerang, menunggu sampai dua aliran tadi datang dekat sekali, baru dilepas dengan sekuat tenaganya.

Kiu Kong Tauto baru saja kegirangan, karena melihat serangannya hampir berhasil, tidak disangka, akan adanya tenaga yang besar datang memukul balik serangannya. Maka ia sudah terpental jauh ke belakang.

Masih untung, lawannya tidak berniat membunuh, biarpun demikian, ia juga sudah menjadi kelabakan. Inilah yang pertama kalinya ia melihat ilmu yang seaneh ini, bahkan dikeluarkan oleh seorang anak kecil.

Hatinya menjadi kaget dan marah, tapi ia tidak dapat berbuat suatu apa, kepandaiannya masih terpaut jauh. Maka dengan rasa benci, ia menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata:

“Anjing kecil, hati-hati akan datangnya pembalasan.”

Demikianlah, dengan membalikkan badannya Kiu Kong Tauto sudah angkat kaki dari situ dan turun gunung.

Yun Shia Tjie kagum bukan main, ia telah melihat dengan mata sendiri, bagaimana Koo San Djie menggunakan ilmunya yang hebat dan mengusir pergi si Tauto jahat tadi.

Ia melihat Yun Mong Tjie yang terluka parah, dengan muka pucat duduk sambil memejamkan kedua matanya, lalu memberi perintah kepada empat orang tosu:

“Lekas bawa susiok masuk ke dalam!” Empat tosu adalah murid-muridnya.

Koo San Djie cepat menggoyangkan tangannya.

“Tunggu!” ia mencegah.

Lalu, ia duduk di sebelah Yun Mong Tjie, dengan setengah berbislk, ia berkata sambil memegang bahunya:

“Totiang awas, aku akan segera membantumu.”

Yun Mong Tjie sedang mengumpulkan tenaganya, dengan seluruh kekuatan yang ada, dia hendak memulihkan tenaganya yang rusak. Mendadak, dia merasakan datangnya tenaga bantuan yang segar, memasuki tubuhnya dan membantu mengalirkan jalan darahnya yang mampet. Maka, dengan cepat ia mengatur jalan darahnya, dan sebentar kemudian, luka dalamaya telah sembuh sama sekali.

Yun Mong Tjie membuka kedua matanya, dan dilihatnya yang menolong adalah bocah angon yang pernah dipersulit untuk menemui ketuanya. Maka dengan tidak terasa, ia menjadi malu sendiri.

Koo San Djie tahu akan perasaan hatinya, maka ia sudah segera meminta diri:

“Urusan telah selesai, aku akan segera meneruskan perjalanan.”

Yun Shia Tjie dengan cepat berkata:

“Siaoya jauh-jauh telah mencapaikan diri untuk memberi kabar kepada kami. Dan lagi hari ini telah menolong kami mengusir musuh, sebenarnya adalah merupakan suatu pertolongan yang besar bagi Cong-lam-pay. Biar bagaimana juga harus menginap semalam di sini, pinto masih ada sedikit perkataan yang akan disampaikan kepada Siaoya.”

Yun Mong Tjie biarpun berangasan tapi mempunyai hati yang jujur, maka ia juga turut menahan:

“Budi tidak dapat dilupakan. Harap Siaoya dapat menerima permintaan ketua partai kami.”

Koo San Djie malu hati, dan menerima baik permintaan tersebut.

Dengan menggandeng tangan Tjeng Tjeng, ia sudah masuk kembali.

Pada malam itu Yun Shia Tjie telah menjamu dua tamunya.

Sewaktu makan-makan, mendadak Koo San Djie ingat urusan Oey Bwee Bwee yang telah mati misterius. Maka, ia sudah menanyakan urusan ini kepada Yun Shia Tjie!

“Tadi, Kiu Kong Tauto mengatakan bahwa Oey Bwee Bwee mati karena terkena ilmu pukulan Cui-sim-ciang, tapi totiang percaya, hal ini bukan perbuatannya dari Cong-lam-pay. Jika betul dia bukan terkena pukulan Cui-sim-ciang, tentu telah memakan sebangsa racun. Pada waktu aku menaiki gunung, Oey Bwee Bwee terburu-buru sekali, dan pernah mengatakan bahwa dia masih ada urusan yang sangat penting. Oey Bwee Bwee ini, jika tidak salah adalah orang dari Lembah Merpati. Tapi mengapa Kiu Kong Tauto datang membelanya? Apa Kiu Kong Tauto juga telah menggabungkan diri kepada Lembah Merpati?”

Yun Shia Tjie juga menganggap perkataannya Koo San Djie benar. Ia merasa tertarik juga tentang anak ini yang dapat mengetahui sedemikian banyak urusan tentang Lembah Merpati, dengan memanggut-manggutkan kepalanya ia berkata:

“Siaoya dapat menduga dengan tepat. Jika Oey Bwee Bwee adalah orangnya Lembah Merpati, tidak heran kalau Kiu Kong Tauto membelanya. Yang menjadi pertanyaan ialah, siapakah yang telah meracuni Oey Bwee Bwee ini?

Koo San Djie bingung mendengar pembicaraan Yun Shia Tjie.

“Totiang mengatakan tidak heran, kalau Kiu Kong Tauto membela Oey Bwee Bwee. Apakah yang menjadi sebabnya?” ia bertanya.

“Apakah Siaoya tidak mengetahui, meskipun letak dan ketua dari Lembah Merpati belum diketahui orang, tapi maksud tujuannya telah menjadi terang?”

Setelah terdiam sejenak, Yun Shia Tjie melanjutkan:

“Menurut penuturan orang, Lembah Merpati telah mengundang empat tokoh ternama dari golongan hitam untuk dijadikan duta-duta di empat penjuru. Juga telah mengunakan kawanan penjahat pelarian-pelarian dari berbagai golongan untuk dijadikan begundal-begundalnya. Kiu Kong Tauto berkelakuan jelek, sudah tidak heran, jika dia telah bernaung di bawah panji Lembah Merpati.”

Setelah terdiam, dan melihat Koo San Djie tidak mengutarakan suatu apapun, ia sudah melanjutkan penuturannya tentang keadaan yang ia ketahui:

“Masih ada satu soal yang nyata, ialah belakang ini, banyak sekali orang terkemuka yang jujur telah kedapatan dibunuhi. Dan banyak juga anak-anak muda dari berbagai macam golongan telah berkhianat pada perguruannya, lari menuju ke Lembah Merpati yang hanya dalam khayalan saja. Cong-lam-pay yang sedang apes juga kerembet-kerembet dan dua orang muridnya yang murtad sampai menyebabkan kematian sute Yun Yan Tjie.”

Setelah memberi keterangan yang panjang lebar berkali-kali Yun Shia Tjie menghela napas panjang.

Baru sekarang Koo San Djie berkata:

“Kejadian-kejadian ini aku juga mendapat dengar sedikit,” jawab Koo San Djie. “Yang sukar ialah orang tidak dapat mengetahui, di mana letaknya tempat Lembah Merpati itu. Jika saja ada orang yang dapat memberitahukan jalan yang menuju ke dalam lembah, ini tidak sukar untuk ditumpasnya.”

Yun Shia Tjie pernah menyaksikan kepandaian Koo San Djie tentu saja percaya akan perkataannya.

“Ada yang mengatakan, kini sudah ada orang yang akan dijadikan petunjuk jalan ke dalam Lembah Merpati. Maka telah direncanakan pertemuan para ketua partay dari berbagai macam golongan yang akan diadakan di kuil Siauw-lim-sie di gunung Siong-san. Jika siaoya tidak ada urusan penting, tidak ada salahnya untuk ikut pergi bersama-sama ke sana.”

Koo San Djie yang mendengar ada orang yang akan dijadikan petunjuk jalan untuk ke dalam Lembah Merpati, tentu saja menjadi girang. Dalam hatinya ia berpikir:

“Jika telah diketahui letak tempatnya, urusan tentu akan menjadi beres.”

Maka ia nyatakan bersedia untuk pergi bersama Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie ke gunung Siong-san.
 
BAB 11.01 Pertemuan Ketua Partai

Hawa udara pada bulan sembilan...... tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Langit biru yang terang telah mengusir awan gelap yang hanya dapat mendatangkan hujan. Keadaan yang seperti inilah yang sedang dicari-cari orang perantau untuk pergi keluar kota.

Ruangan tamu dari kuil Siauw-lim di gunung Siong-san waktu itu telah penuh dengan berbagai macam orang yang datang bersembahyang.

Di antara demikian banyaknya orang sembahyang, tidak jarang terdapat juga beberapa tosu atau pendekar, dengan cepat mereka sudah diajak masuk ke dalam ruangan belakang oleh para pelayan. Hanya karena saking banyaknya orang yang datang, maka kedatangan orang-orang ini tidak begitu menyolok mata.

Setelah waktu mendekati lohor, para tamu telah banyak yang pulang. Dari jalan pegunungan, mendadak telah mendatangi dengan terburu-buru dua orang tosu dengan mengajak dua anak, laki dan perempuan.

Karena takut ketinggalan waktu, maka seorang tosu yang berewokan telah berkata:

“Para tamu yang bersembahyang kelihatannya sudah pulang, lebih baik kita menambah kecepatan jalan.”

Ini memang yang sedang diharap-harapkan oleh si anak perempuan berbaju merah. Tidak sampai menunggu jawaban, sambil tertawa, ia telah mendahului terbang ke muka. Tidak terlihat bagaimana ia menggerakkan tubuhnya, bagaikan kupu-kupu saja ia telah lewat terbang dari samping dua tosu tadi dan menghilang di muka.

Si anak laki seperti tidak puas melihat kelakuan kawannya ini, maka ia dengan cepat telah memanggil.

“Adik Tjeng, tunggu sebentar......”

Ia juga telah menggerakkan tubuhnya lari untuk mengejar.

Dua tosu adalah orang ternama juga di kalangan Kang-ouw, tapi mereka masih tidak dapat mengetahui, dengan gerakan apa anak ini telah lenyap dari mata mereka. Hanya terasa ada angin yang lewat di antara mereka dan lenyaplah dua anak ini. Dalam hati meraka telah timbul perasaan jengah.

Dua tosu ini adalah Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie.

Dua kanak-kanak adalah Liu Tjeng dan Koo San Djie.

Koo San Djie takut kepada Tjeng Tjeng yang sembrono nanti menerbitkan onar pula di kuil Siauw-lim, maka ia sudah buru-buru mengejar kepadanya.

Kuil Siauw-lim di gunung Siong-san adalah menjadi pusat dari kalangan rimba persilatan. Tidak henti-hentinya mengeluarkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Inilah tempat bersembunyikan macan dan naga berkaki dua (pendekar).

Kali ini Siauw-lim-pay yang telah mengundang para ketua partay dari berbagai macam golongan, tentu saja telah membuat penjagaan yang kuat. Ialah untuk menjaga agar jangan sampai orang luar dapat mencuri dengar perundingan-perundingan mereka dan membuat malu nama baik Siauw-lim.

Dua anak tadi yang sedang barkejar-kejaran telah dapat diketahui oleh orang tingkatan tua dari golongan Siauw-lim-sie. Hweshio-hweshio itu kaget juga, melihat kepandaian ilmu meringankan tubuh mereka yang sedemikian gesitnya. Dan ia mengetahui juga ilmu kepandaian yang digunakan oleh kedua anak ini berbeda dari ilmu-ilmu partai yang diundangnya.

Orang tua ini adalah satu-satunya orang tingkatan tua dari Siauw-lim-pay yang bernama Kong Tie.

Tapi Kong Tie tidak mau menahan mereka saling kejar, ia hanya memperhatikan saja dari jarak jauh.

Mendadak, dari atas gunung, bagaikan burung saja terbang seorang yang telah menahan majunya dua anak muda yang sedang berkejar-kejaran itu. Dengan merangkapkan kedua tangannya di atas dada, ia berkata:

“Dua saudara kecil, harap berhenti sebentar.”

Koo San Djie dan Tjeng Tjeng merasakan ada benda yang telah menahan dada mereka. Maka kedua-duanya telah menurunkan badan. Dilihatnya yang menghadang itu adalah seorang sepantaran umurnya dengan mereka, tapi berupa hweeshio yang berkepala gundul, bibirnya yang merah dan giginya yang putih terlihat karena ia sedang tertawa-tawa.

Tjeng Tjeng yang sedang enak-enak lari telah ditahan olehnya, sudah tentu menjadi tidak senang. Dengan menjebikan bibirnya ia berkata:

“Kami semua datang kemari untuk mengikuti perundingan, apa artinya kau menahan kami?”

Hweeshio kecil itu tertawa pula, dengan mengunjukan giginya yang putih. Katanya:

“Memang aku bersalah. Entah saudara-saudara apa telah mendapatkan undangan?”

Koo San Djie sudah mendahului Tjeng Tjeng berkata:

“Kami orang sedang mengikuti ketua partay dari Cong-lam-pay, Yun Shia Tjie.”

Hweeshio kecil dengan masih menghormat berkata pula:

“Tidak salah. Bagaimana jika menunggu Yun Shia Tjie datang dan jalan bersama-sama.”

Tjeng Tjeng tidak mau mengerti. Dengan berbuat demikian, ia merasa si Hweeshio seperti menghinanya. Maka dengan tidak senang ia berkata:

“Mengapa harus menunggunya? Apa kami orang tidak berhak mengikuti perundingan? Aku mau naik terlebih dahulu.”

Dengan kasar ia mau menerjang naik.

Si Hweeshio kecil merasa susah juga menghadapi anak perempuan yang nakal ini. Dengan memalangkan kedua tangannya ia berkata:

“Aku juga mempunyai kesukaranku sendiri, harap adik kecil suka bersabar. Sebentar lagi Yun Shia Tjie totiang juga datang.”

Tjeng Tjeng sudah mengibaskan lengan bajunya.

“Minggir!” bentaknya marah.

Ia dalam keadaan gusar telah mengeluarkan ilmu Sari Pepatah Raja Woo, ajaran ayahnya.

Hweeshio kecil telah merasakan tenaga dorongan dari si gadis cilik ini sangat keras sekali. Ia menjadi kaget juga, dengan cepat ia mengeluarkan ilmu memberatkan badannya, berdiri dengan teguh, dengan masih tetap tertawa ia berkata:

“Adik kecil, mengapa harus tergesa-gesa begini?”

Hweeshio kecil ini bernama Siauw Kong. Ia menjadi kepala dari golongan muda Siauw-lim. Ia sangat disayang oleh kakek dalam perguruannya, Kong Tie, yang sering memberi petunjuk-petunjuk kepadanya.

Biarpun Siauw Kong masih kecil, tapi kepandaiannya berada di atas dari susiok atau supek-supeknya.

Tjeng Tjeng dengan kibasannya masih tidak dapat menggeserkan tubuhnya Siauw Kong, dalam hati menjadi kaget juga.

Semua kejadian tidak lolos dari pandangan mata Koo San Djie. Ia takut Tjeng Tjeng nanti keterlepasan menggunai tangannya, maka dengan cepat sudah menyelak di antara mereka dan berkata:

“Adikku yang tergesa-gesa ini telah mengganggu suhu kecil, harap suka memaafkannya.”

Siauw Kong sudah memperlihatkan pula giginya yang putih ketawa, katanya:

“Jika adik kecil ini tidak mempersalahkan kepadaku, aku sudah merasa beruntung sekali.”

Lalu ia memberi hormat kepada Koo San Djie dan menanyakan nama jago cilik kita.

Koo San Djie merasa dari tangannya Siauw Kong yang menjura sudah mengeluarkan tenaga yang lembek, mendorong orang sehingga seperti mau terbang ke langit. Koo San Djie mesem. Sambil mengeluarkan sedikit Boe-kit Hian-kang ia berkata:

“Aku yang rendah bernama Koo San Djie. Dan bagaimana dengan panggilan suhu kecil?”

“Aku bernama Siauw Kong, harap siaoya dapat sering-sering memberi petunjuk-petunjuk yang berharga.”

Kiranya, Siauw Kong sedang menjajal kekuatan Koo San Djie. Tapi, bagaikan mengukur dalamnya air laut, ia tidak mendapatkan suatu hasil. Demikian juga di antara mereka telah terjalin tali persahabatan yang pertama.

Biarpun Tjeng Tjeng telah marah, tapi melihat orang hanya tertawa-tawa saja dan mengalah, di dalam hatinya si lincah ini telah timbul rasa senangnya juga. Dan ia telah merasakan kepandaian atau tingkah laku dari si hweeshio ini boleh juga. Maka lenyaplah hawa marahnya.

“Mengapa dua totiang itu belum datang juga? Sungguh menjengkelkan sekali.” Tiba-tiba Tjeng Tjeng berkata kepada Koo San Djie.

Siauw Kong yang menghadap ke depan gunung sudah menunjukkan tangannya dan berkata:

“Bukankah itu mereka telah datang?”

Betul saja, dua tosu dari Cong-lam dengan terburu-buru telah mendatangi ke arahnya.

Siauw Kong yang melihat betul mereka adalah Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie sudah berkata kepada Tjeng Tjeng:

“Adik kecil jika ingin buru-buru, bagaimana jika kita bertiga berjalan lebih dahulu?”

Ia tadinya membelakangi pintu gunung. Dengan tidak membalikkan badannya lagi, kedua pundaknya hanya digerakkan sedikit, tubuhnya sudah melesat tinggi ke udara, bagaikan anak panah lepas dari busurnya sudah meluncur ke arah pintu gerbang.

Tadi ia tidak dapat menyelami kekuatan tenaganya Koo San Djie, kini ia mau mencoba kekuatannya mereka.

Tjeng Tjeng yang sudah tidak mau kalah, dengan menggunakan kecepatan mengejar bintang, sudah mau pergi menyusulnya, tapi keburu di tarik tangannya oleh Koo San Djie.

“Mari kita jalan bersama!” sang kawan mengajak.

Dengan mengikuti bayangan Siauw Kong, mereka mengintil di belakang. Tiga bintang baru dari rimba persilatan, dengan jarak yang tidak berubah, bagaikan tiga kapal udara meluncur naik ke atas gunung.

Di balik ini telah membuat orang tingkatan tua dari Siauw lim, yaitu Kong Tie Siansu mengangguk-anggukkan kepala, dangan tersenyum puas. Ia telah mendidik Siauw Kong sedemikian rupa, sehingga menurut perhitungannya akan dapat menandingi semua orang. Tidak disangka, hanya dua anak muda saja telah berada di atas Siauw Kong.

Tapi hati Kong Tie Siansu tidak bersifat jahat. Ia tidak memandang tinggi rendah, kalah menangnya barang sesuatu. Dan paling suka ia menuntun anak muda, inilah satu ujian bagi Siauw Kong agar ia dapat lebih tekun lagi belajar ilmu silatnya.

Kembali pula kepada Siauw Kong yang mengira dengan menggunakan tipu silat kebanggaannya yang bernama Goresan Pit melewati Sungai, dapat menundukkan dua lawannya. Tidak dikira sesudah sampai di depan gunung, sewaktu ia menoleh dan melihat ke belakang, dilihat Tjeng Tjeng dengan tangan menarik-narik Koo San Djie tunjuk sana tunjuk sini seperti orang yang baru melihat barang aneh saja. Tidak terdapat tanda-tanda orang yang baru habis berlari-larian. Sudah dapat diduga bahwa mereka masih belum menggunakan seluruh kepandaiannya, maka di dalam hatinya Siauw Kong sudah memuji.

Dengan segera ia sudah mengajak mereka memasuki ruangan tamu. Sambil menghadapi dua tamunya ia berkata:

“Silahkan duduk sebentar. Setelah menunggu Yun Shia Tjie totiang dua saudara, baru memasuki ruangan dalam.”

“Memang sudah seharusnya,” sahut Koo San Djie dengan menganggukkan kepala.

Tidak lama kemudian, Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie sudah datang menyusul.

“Ombak yang di belakang selalu mendorong yang di depan, kepandaian kau berdua, telah membuat kami mundur teratur,” kata Yun Shia Tjie tertawa.

Koo San Djie sudah bangun berdiri dan berkata:

“Totiang terlalu memuji orang.”

Kemudian, Siauw Kong sudah mengajak mereka memasuki ruang dalam. Di dalam ruangan belakang, semua ketua partay dari berbagai macam golongan telah tiba.

Yang menduduki tempat tertinggi ialah ketua partai dari golongan Siauw-lim-pay, yaitu Hwi-kak Siangjin. Di kedua belahnya, terlihat para ketua dari lain golongan, seperti ketua partay Bu-tong-pay Ceng Yang Cinjin, ketua partay Ngo-bie-pay Hay Ouw Cie, ketua partay Tiam-cong-pay Ong Thian Ie, ketua partai Ceng-shia-pay Gouw Tiang Bun dan lain-lain.

Yun Shia Tjie sudah memperkenalkan Koo San Djie dan Tjeng Tjeng kepada para ketua partai dan berbagai macam golongan. Hwi-kak Siangjin dari Siauw-lim-pay tidak percuma menjabat ketua dari pertemuan ini. Melihat Yun Shia Tjie sangat memandang tinggi kepada dua anak kecil ini, tentu ada sebab-sebabnya. Maka, seperti menerima para ketua partai lainnya, ia telah memberi hormat.

Tapi yang lain-lainnya tidak sehormat ketua Siauw-lim-pay. Ada yang sudah lantas mengerutkan keningnya, ada yang menggoyang-goyangkan kepalanya dan ada lagi yang sampai tidak memperdulikan sama sekali. Kejadian ini membuat Yun Shia Tjie tidak puas dan menyebabkan perut Yun Mong Tjie ham-pir meledak saking mendongkol.

Gouw Tiang Bun yang menjadi ketua partai Ceng-shia-pay, mendadak dengan dingin berkata:

“Urusan yang sedemikian pentingnya telah mengundang dua orang anak kecil datang ke mari, sungguh keterlaluan sekali.”

Ong Thian Ie, ketua partay Tiam-cong-pay menggoyangkan kepalanya berkata:

“Memang kami dianggap main-main saja?”

Yun Mong Tjie yang berangasan sudah tidak dapat menahan sabarnya. Dengan keras ia berkata:

“Ilmu sastra dan silat semua orang juga dapat mencapai ke tingkat yang tertinggi. Siapa yang tidak memandang mata kepada dua saudara kecil ini, percuma saja untuk menjabat ketua partai.”

Ketua partai Ngo-bie-pay Hay Ouw Cie tertawa berkakakan:

“Jika demikian, tentunya Cong-lam Sam-cie adalah sangat memandang tinggi kepadanya.”

Yun Shia Tjie berdiri dari tempat duduknya, dengan tenang ia menjelaskan:

“Boleh dikata juga demikian. Jika dihitung menurut tingkatan derajatnya tidak berada di bawah kalian yang duduk di sini semua. Terus terang kukatakan kepadamu, bahwa saudara kecil yang laki-laki ini adalah ahli waris satu-satunya dari locianpwe Pendekar Berbaju Ungu.”

Tangannya sambil menunjuk ke arah Koo San Djie.

Sesudah keterangan ini keluar dari mulut Yun Shia Tjie, ruangan menjadi panik. Ada kaget dan ada juga yang tidak percaya.

Tentu saja mereka tidak percaya. Si Pendekar Berbaju Ungu telah lama tidak muncul di kalangan Kang-ouw. Paling sedikit juga sudah lebih dari empatpuluh tahun mereka tidak mendengar kabar beritanya. Semua orang juga telah menganggapnya ia telah meninggal dunia, tidak disangka dapat menghasilkan seorang murid yang masih kecil.

Koo San Djie melihat suasana repot karena hal dirinya, diam-diam merasa tidak enak, maka ia sudah maju ke tengah ruangan, sambil memberi hormatnya keempat jurusan berkata:

“Jika para locianpwe tidak leluasa, karena ada kami berdua disini, kami akan segera meninggalkan ruangan.

Tjeng Tjeng dengan tidak puas menyelak:

“Hm, berani tidak memandang mata kepada kita, perlu apa memandang mata pada, mereka? Baru mempunyai umur yang lebih tua saja sudah demikian sombongnya. Koko San, mari kita segera berangkat!”

Yang paling tidak enak ialah Yun Shia Tjie dan Yun Mong Tjie, mereka berdua juga sudah berdiri dan siap untuk meninggalkan pertemuan itu.

Sebagai tuan rumah, Hwi-kak Siangjin juga sudah jadi bingung. Ia tidak berhak untuk memaksa para ketua partai menerima dua tamu kecilnya. Dalam keadaan yang serba sulit baginya ini, tiba-tiba terdengar suara Koo San Djie membentak:

“Siapa yang sembunyi di sana?”
 
11.02 Jejak Iblis Memasuki Gunung Siong-san

Suaranya ditujukan ke atas. Meskipun sedang tidak puas atas perlakuan para ketua partay itu, tapi mata dan kuping Koo San Djie selalu berada dalam keadaan siaga. Cepat sudah dapat mengetahui bahwa di atas genteng ada orang yang mencuri dengar pambicaraan mereka.

Tjeng Tjeng yang dadanya penuh dengan perasaan kemurkaan yang tidak dapat dilampiaskan mendahului melesat ke atas genting.

Semua orang hanya melihat bayangan merah berkelebat dan lenyaplah anak perempuan kecil yang berada di hadapan mereka. Kini barulah mereka merasa kaget. Ternyata bahwa dua anak kecil ini mempunyai kepandaian yang luar biasa.

Berbareng pada waktu Tjeng Tjeng naik ke atas genteng, sebuah benda putih telah melayang masuk dan langsung mengarah Hwi-kak Sangjin.

Hwi-kak Siangjin tidak menjadi kaget, dengan menggunakan dua jari tangannya, ia menjepit benda yang datang ke arahnya tadi. Sewaktu ditegasi, ternyata itu adalah sebuah sampul surat.

Dengan sampul surat yang setipis itu, diterbangkan dari tempat yang jauh jaraknya, dengan mengeluarkan suara mengaung, bahkan telah membuat Hwi-kak Siangjin yang menerimanya tergetar olehnya, teranglah kepandaian orang yang datang sebagai mata-mata itu adalah sangat tinggi.

Di atas sampul surat tercetak sepasang burung merpati, ini surat hanya terdiri dari beberapa perkataan:

“Jika berani melawan Lembah Merpati. Itulah berarti membentur batu.”

Sewaktu dilihatnya Koo San Djie dan Tjeng Tjeng, dua anak ini juga telah lenyap dari pandangan mata mereka. Dengan tidak terasa, jago Siauw-lim-pay itu telah menghela napas panjang. Kemudian diperlihatkannya surat tersebut kepada mereka yang hadir di situ.

Ketua partai Tiam-cong-pay, Ong Thian Ie dengan marah berkata:

“Ini berarti, Lembah Merpati telah menantang perang. Menurut pendapatku, sebaiknya segera kita berangkat ke sana esok hari, karena kita telah mengetahui, di mana letak tempat Lembah Merpati.”

Ketua partai Ceng-shia-pay, Gouw Tiang Bun juga sudah lantas menyetujuinya:

“Aku tidak percaya, dengan tenaga kita yang telah tergabung boleh takut kepada Lembah Merpati.”

Ketua partay dari Bu-tong-pay, Cek Yang Cinjin setelah memikir sebentar, baru mengeluarkan pendapatnya

“Dengan kepandaian yang telah diperlihatkan orang tadi kepada kita semua, ternyata Lembah Merpati adalah tempat berkumpulnya macan dan naga berkaki dua. Jalan yang terbaik ialah kita berunding dulu dengan mengumpulkan tenaga yang telah ada, kemudian baru kita menyerangnya secara serentak.”

Yang diartikan dengan kata-kata macan dan naga berkaki dua adalah para jago-jago silat dari segala macam aliran.

Ketua partay Ngo-bie-pay, Hay Ouw Cie tertawa berkakakan dan berkata:

“Sebagai ketua partai masih dapat dibikin takut oleh selembaran kecil, apa tidak takut ditertawakan dunia. Cepat atau lambat, tokh harus bertempur juga dengan Lembah Merpati. Menurut pendapatku, pada waktu mereka sekarang belum berjaga-jaga, kita segera pergi menerjangnya.”

Ong Thia Ie dan yang lain-lain sudah menyetujui usul ini:

Hwi-kak Siangjin dan Ceng Yang Cinjin yang bersifat sangat hati-hati, melihat lebih banyak orang yang setuju dengan usul ini, juga tidak dapat mengatakan sesuatu apa pula.

Demikianlah, pada waktu malam itu juga, mereka berangkat dan menuju ke tempat yang disebut Lembah Merpati.

Rupanya, sudah nasibnya rimba persilatan yang harus mengorbankan orang-orang ini, di sana karena kesalah pahaman, sehingga mereka jauh-jauh, mengantar diri untuk menerima kematian, satupun tidak ada yang terluput dari mara bahaya. Tertawalah ketua Lembah Merpati yang sebenarnya, karena melihat ketololan mereka.

◄Y►

Untuk sementara cerita Hwi-kak Siangjin dan kawan-kawan kita tangguhkan di sini dan menengok ke arah lain.

Mari kita mengikuti Koo San Djie, bersama-sama Tjeng Tjeng yang sudah mengikuti jejak bayangan iblis yang berani memasuki gunung Siong-san dan memberi peringatan kepada para ketua partay yang sedang berunding di dalam kuil Siauw-lim yang angker.

Koo San Djie melihat Tjeng Tjeng sudah mendahuluinya, maka ia juga membentangkan sayap baju, dan pergi mengikuti di belakangnya Tjeng Tjeng, dengan kecepatan yang tidak kalah darinya.

Dari jauh telah terlihat bayangan putih yang berlari-lari di antara jalan kecil pegunungan Siong-san.

Koo San Djie dan Tjeng Tjeng mana dapat begitu saja melepaskannya. Bagaikan dua bintang sapu yang jatuh ke bumi, mereka mengejar bayangan putih tadi. Sayang, sedari mulai lari, mereka telah ketinggalan sedetik, inilah yang telah menyebabkan mereka susah untuk menyusul.
Koo San Djie telah mulai menambah kecepatannya ilmu Awan dan Asap Lewat Di mata sampai sekuat tenaga, bersama-sama dengan Tjeng Tjeng, sebentar saja telah dapat melewati semua penjagaan gelap yang diadakan oleh Siauw-lim-pay. Sehingga menyebabkan mereka yang melihatnya pada meleletkan lidah. Tidak ada satupun dari mereka yang dapat menahan kepergian sepasang muda mudi itu.

Demikianlah mereka kejar mengejar sehingga sampai di luar daerah gunung Siong-san. Si baju putih yang lari di depan, kiranya adalah seorang wanita, karena tidak bisa meloloskan diri dari pengajaran Koo San Djie dan Tjeng Tjeng, dia membalikkan badan dan membentak:

“Budak kepingin mampus, mengapa mengejar-ngejarku?”

“Aku mau melihat ilmu kepandaianmu?” mengejek Liu Tjeng.

Tangan kecilnya disodorkan keluar, segera angin dingin yang lebih tajam dari jarum, dengan cepat menyerang lawan.

“Iiiiih!” wanita baju putih itu menjerit keheranan.

Ia cepat menghindarkan serangan ini, kedua tangannya tidak tinggal diam, cepat sekali, berbalik menjambret dua kuncirnya Tjeng Tjeng.

Si nona memindah-mindahkan kakinya, dua tangan bergantian menyerang sampai tujuh kali. Serangan-serangan ini, yang satu lebih cepat dari pada yang lain.

Lawannya, dengan baju putihnya yang melambai-lambai tertiup angin, dengan gesit menyingkir dari tujuh serangan ini. Tapi semakin lama, hatinya menjadi semakin keder. Ia merasa seperti mengenal jurus-jurus kepandaian ini. Ia heran juga, mengapa anak kecil ini dapat mempergunakan kepandaian perguruannya, bahkan lebih banyak perubahannya dan lebih sempurna?

Demikianlah wanita baju putih harus melayani serangan-serangannya Tjeng Tjeng, ia harus menggunakan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani si nona cilik yang lihay.

Waktu itu Koo San Djie juga telah sampai. Dilihatnya dua buah bayangan putih dan merah tengah berguling-gulingan. Ia dapat melihat kepandaian dua orang ini, seperti berasal dari satu perguruan atau setidak-tidaknya juga dari satu aliran. Hanya bedanya, perobahan-perobahan Tjeng Tjeng ada lebih sempurna dari pada lawannya.

Koo San Djie menyaksikan wanita baju putih itu mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada si pelajar baju kuning yang pernah diketemuinya di dalam pesanggerahan Liong-sun-say. Bajunya yang berwarna putih, demikian rapih sekali, sehingga kelihatannya sangat bersih. Tapi sayang, mukanya sangat pucat, biarpun ada sangat putih, seperti tidak mengandung darah sama sekali. Sikapnya dingin! Lebih dingin dari pada es, sehingga siapa yang melihatnya tentu akan mundur teratur. Inilah disebabkan dari sifat pembawaannya yang tidak mengenal kasihan.

Mereka berdua telah bertarung lebih dari sepuluh jurus, biarpun kenyataannya seperti seimbang, tapi sebenarnya Tjeng Tjeng sudah di atas angin.

Tiba-tiba, dari hutan yang lebat di sebelah kiri terdengar suara siulan yang panjang, wanita baju putih dengan cepat menyerang dua kali dan lantas loncat keluar kalangan, lari masuk ke dalam hutan, dengan kecepatan yang luar biasa.

Tjeng Tjeng hendak mengejar, sayang sudah tidak keburu ia hanya dapat membanting-banting kakinya karena amat mendongkol.

Terdengar Koo San Djie berkata:

“Orangnyapun entah telah pergi, buat apa kau menjadi sibuk tidak keruan?”

Tjeng Tjeng dengan cemberut menjawab:

“Apa kau tidak dapat melihat, bahwa kepandaian perempuan tadi ada sangat mirip sekali dengan kepandaian ayahku? Dia tentu mempunyai hubungan yang rapat dengan salah satu dari dua pelayan ayahku yang telah melarikan diri itu. Aku ingin menangkap dia dan meminta keterangannya. Mengapa kau tidak membantu menghalang-halangi untuk menangkapnya?”

Koo San Djie melengak. Ia juga diam menyesal, cepat ia menghibur:

“Sebelum ketahuan menang kalahnya, mana aku dapat mengetahui dia akan melarikan diri?”

“Hm, jika aku diberi sedikit waktu lagi, tentu dapat mengalahkannya. Kau percaya, tidak?” Tjeng Tjeng berkata dengan perasaan tidak puas.

“Tentu saja percaya. Anak mas dari pendekar Merpati, siapa yang tidak percaya?” Koo San Djie bergurau sambil tertawa.

Tjeng Tjeng juga jadi tertawa.

“Cis, siapa yang suruh kau mengumpak-umpak.”

“Inilah keadaan yang sebenarnya. Siapa yang mengumpak?”

Koo San Djie dengan perkataan-perkataannya ini telah dapat menghilangkan rasa kesal Tjeng Tjeng. Sebentar ia, sudah menjadi riang kembali seperti sedia kala.

Setelah Koo San Djie berhasil membuat Tjeng Tjeng tertawa, mendadak, ia ingat perundingan tadi. Ia merasa tidak seharusnya pergi tanpa pamit. Biarpun betul, ada beberapa orang yang tidak menyukai kehadirannya, ketua partai Siauw-lim-pay, Hwi-kak Siangjin dan juga Yun Shia Tjie beberapa orang, tidak dapat dikatakan tidak hormat adanya. Maka, dengan menarik tangannya Tjeng Tjeng ia berkata:

“Mari kita kembali ke kuil Siauw-lim dulu. Biarpun kita tidak mau mencampuri urusan mereka, tapi kita tokh harus pamit dahulu.”

Tjeng Tjeng sudah tidak suka dengan segala perundingan ini. Tapi Koo San Djie mau pergi juga, ia tidak dapat tidak turut pergi.

Maka mereka berdua telah balik kembali ke gunung Siong-san. Baru saja mereka menaiki kaki gunung, mendadak Tjeng Tjeng telah berteriak:

“Siapa itu yang datang?”

“Aaaaa, dia adalah Tiauw-toako,” jawab Koo San Djie cepat.

“Dengan umurnya yang demikian tua, masa menjadi kau punya toako?” bertanya Tjeng Tjeng heran.

Koo San Djie hanya tertawa saja, ia tidak leluasa untuk menceritakan jalan perkenalannya.

Orang yang datang dengan cepat telah sampai di hadapan mereka. Koo San Djie dengan cepat telah maju menyongsong dan bertanya:

“Toako ada baik? Dari mana saja kau selama ini?”

Tiauw Tua dengan menganggukkan kepalanya sudah membalas hormatnya, katanya:

“Masih beruntung. Baik-baik saja.”

Tapi matanya sudah memandang Tjeng Tjeng yang tidak dikenal. Maka Koo San Djie cepat sudah memperkenalkan mereka, katanya:

“Inilah...... toako Tiauw Tua.”

Sebenarnya, ia sudah mengatakan locianpwe, namun dengan nama pendekar Merpati yang tinggi, maka anaknya memanggil toako kepada Tiauw Tua ini juga tidak keterlaluan, maka ia tidak merobah panggilannya menjadi toako.

Tjeng Tjeng dengan kedua kuncirnya di belakang bergoyang dengan lucu, telah memanggilnya

“Toako.”

Tiauw Tua dalam hatinya merasa lucu juga. Tidak disangka, dalam usia tuanya ia telah mendapat panggilan toako, dari dua orang anak yang lebih pantas menjadi cucunya.

Tapi waktu Koo San Djie memperkenalkan bahwa nona kecil adalah anak tunggalnya dari si pendekar Merpati hatinya merasa terkejut dan heran.

Maka ia merasa senang dengan panggilan toako dari Tjeng Tjeng, biarpun tidak kalah taruhan untuk memanggil toako dari Koo San Djie. Anaknya pendekar Merpati juga sudah pantas memanggilnya toako, apa lagi ada pertaruhan, maka paling tepatlah panggilan ini.

Koo San Djie tidak membuang waktu lagi, dituturkan tentang rapat perundingan di dalam kuil Siauw-lim.

Ternyata, Tiauw Tua lebih tahu diri dari padanya, setelah mendengar penuturannya, ia sudah berkata:

“Tidak usah pergi ke sana lagi, mereka semua telah berangkat menuju Lembah Merpati.”

Koo San Djie juga kaget. Dengan rasa setengah percaya ia menanya:

“Apa betul mereka telah mengetahui letaknya Lembah Merpati?”

Tiauw Tua sambil menggoyang-goyangkan kepalanya menjawab:

“Untuk sementara, kau tidak usah memusingkan soal ini. Aku rasa, tidak semudah ini mereka dapat menemukan tempat Lembah Merpati. Aku masih ada urusan penting yang harus dirundingkan kepadamu.”

Koo San Djie lantas menanyakan urusan penting itu.

Tiauw Tua tidak menjawab pertanyaannya. Ia sudah menarik tangannya dan berkata:

“Mari kita duduk-duduk dahulu, untuk membicarakannya.”

Lalu, mereka bertigapun duduk. Dengan ringkas Tiauw Tua telah menceritakan, pengalamannya selama setahun ia berpisah.

◄Y►

Ternyata, meskipun di mulutnya Tiauw Tua mengatakan ia tidak percaya akan obrolan si hweeshio alis panjang yang telah meramalkan kesusahan-kesusahannya Koo San Djie, tapi ia juga sudah mengetahui, bahwa Koo San Djie yang masih belum mempunyai pengalaman, pasti memerlukan tuntunan. Maka ia sudah mengikuti Koo San Djie untuk membantu mencari kabar tentang encie Hoe Tjoe nya, sehingga sampai di pesangrahan Liong-sun-say.

Belakangan setelah mendapat kabar bahwa Ong Hoe Tjoe telah ditolong oleh orang lain dan ternyata Koo San Djie telah kuat untuk berdiri sendiri, baru ia berani meninggalkannya untuk pergi ke tempat kawan kentalnya, ini adalah orang yang telah menolong Hoe Tjoe dan kini menjadi gurunya. Orang itu adalah seorang nikouw (padri wanita).
 
11.03 Anak Murid Pay-hoa Kui-bo

Nikouw ini beserta si Pendekar Berbaju Ungu dan Sepasang pendekar Merpati yang menjadi ayah ibunya Tjeng Tjeng adalah orang-orang yang terkenal pada masa yang lampau. Dengan Tiauw Tua adalah setengah kawan dan setengah guru.

Tiauw Tua telah mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, setelah mendapat beberapa petunjuk yang penting dari si nikouw, dengan, cepat ia telah dapat meyakinkan ilmunya dengan masak. Hatinya yang masih memikirkan keselamatannya Koo San Djie, lalu meminta diri dari kawannya itu dan terus mencarinya Koo San Djie lagi.

Setelah beberapa lama ia menyerap-nyerapi kabar, ia mendengar Siauw-lim-pay telah mengundang para ketua partai dari berbagai macam golongan. Ia menduga Koo San Djie tentu datang kemari, dan betul juga ia berhasil untuk menemuinya.

“Koo San Djie mendengar Tiauw Tua telah menemukan Ong Hoe Tjoe, lantas menanyakan tentang keadaannya si nona:

“Toako apa tahu juga telah berapa lama dia turun dan kini berada di mana?”

“Soal urusan inilah maka aku mencarimu,” Tiauw Tua menjawab. “Menurut penuturan, dia telah turun gunung dan menemukan seorang dari Lembah Merpati. Dia sedang ke utara mengejar orang tadi. Semua kabar ini adalah toa-sucie yang memberikan kabar kepadaku......”

Koo San Djie sudah lompat dari duduknya dan memotong pembicaraan Tianw Tua:

“Apa dia tidak mendapat kesukaran? Lebih baik kita segera pergi menyusulnya.”

Tiauw Tua berkata lagi:

“Di sebelah utara sana adalah daerah Pay-hoa Kui-bo (nenek setan seribu bunga). Jika Pay-hoa Kui-bo ini telah ditarik oleh Lembah Merpati, maka lebih sukarlah kita ini.

Untuk Tjeng Tjeng, yang dipentingkan hanyalah keramaian, apa lagi Ong Hoe Tjoe adalah orang yang sering disebut oleh koko San nya. Tentu saja terhadap keselamatan Ong Hoe Tjoe ia turut menguatirkannya juga.

Dengan menarik tangannya Koo San Djie, ia sudah berkata kepada Tiauw Tua.

“Toako, ijinkan kami berdua berangkat terlebih dahulu. Kau dapat menyusul kemudian.”

Tidak sampai menunggu jawaban lagi, ia sudah menarik Koo San Djie dan terbang turun gunung. Ia takut Tiauw Tua nanti seperti Cong-lam Sam-cie lagi yang tidak dapat berlari cepat, maka ia sudah mendahului mengangkat kakinya agar dapat lebih leluasa melepas kecepatannya. Ia mana tahu, bahwa ilmu mengentengi tubuhnya Tiauw Tua tidak dapat dibandingkan dengan Cong-lam Sam-cie?

Melihat kemesraan dari dua anak ini, Tiauw Tua menggeleng-gelengkan kepalanya sampai beberapa kali. Ia tahu, mereka yang masih berumur kecil tidak dapat merasakan suatu apa, tapi setelah lewat satu atau dua tahun lagi, ombak asmara tentu akan saling susul.

Diceritakan Tjeng Tjeng yang menarik tangannya Koo San Djie, mereka lari meninggalkan gunung Siong-san, semakin lama menjadi semakin cepat. Mungkin juga ia sudah merasa bosan akan kesempatan penghidupan kecilnya yang hanya dikurung di dalam lembah, maka begitu ia mendapat kesempatan keluar, ia telah menggunakan kesempatan ini untuk melampiaskan sepuas-puasnya. Ia senang berlari-larian seperti ini. Ia paling senang di waktu terbang melayang melewati dua tebing yang tinggi.

Keluar dari daerah pegunungan adalah sebuah jalan raya. Koo San Djie takut dapat mengejutkan orang yang berlalu lintas, maka sudah mangendorkan langkahnya.

Biarpun demikian, ada juga orang yang melihat. Dari jauh, orang ini telah berteriak-teriak memanggil:

“Adik San, apa kau dapat menemukan Ong Hoe Tjoe?”

Koo San Djie melengak, setelah menegasi, ternyata yang memanggil-manggilnya adalah Tju Thing Thing. Hampir saja ia tidak dapat mengenalinya lagi.

Tju Thing Thing memakai pakaian yang rebo, make up yang berlebih-lebihan, rambutnya disisir tinggi, dengan lenggang lenggoknya sudah datang ke arahnya.

Apakah ini Tju Thing Thing yang pernah jalan bersama-sama dulu itu? Koo San Djie hampir tidak dapat mempercayai matanya sendiri. Baru saja mereka berpisah dua atau tiga tahun, ia sudah berubah sampai begini. Bukankah satu kejadian yang mustahil?

Tju Thing Thing yang melihat ia hanya melengak di tempatnya dengan tidak mengatakan suatu apa, sudah manjadi tertawa terpingkal-pingkal.

“Siapa yang kesudian menjadi kawannya?”

Ia merasa heran mengapa kokonya dapat mempunyai kawan yang seperti ini?

“Aduh! Baru dapat kawan baru, kau telah melupakan kawan lama.”

Koo San Djie menggoyangkan kepalanya dan berkata:

“Bukan begitu. Apa kau telah...... ikut orang?”

Tju Thing Thing tertawa cekikikkan. Badannya sudah dijatuhkan ke arah Koo San Djie. Dengan tertawa ia berkata.

“Aduh! Kau telah membuat aku hampir mati tertawa. Dasar anak dusun yang tidak mempunyai pengalaman, aku punya sucie, sumoy semua juga berpakaian seperti ini. Mengapa telah dikatakan telah kawin?”

Yang diartikan sucie dan sumoy ialah kakak beradik seperguruan dari guru barunya.

Di depannya Tjeng Tjeng, Tju Thing Thing berani berbuat seperti ini, Koo San Djie sudah tidak puas, dengan perlahan ia mendorongnya dan berkata:

“Jangan begini. Mari kukenalkan pada seorang kawan......”

Tapi Tjeng Tjeng sudah keburu berteriak sambil membalikkan badannya:

“Aku tidak suka.......!”

Tju Thing Thing menambah goyang kibulnya, dia mendekati Tjeng Tjeng dan berkata:

“Aduh, adik kecilku, mengapa besar ambek?”

Tjeng Tjeng dengan muka merah padam dan membanting-banting kaki berkata:

“Jika kau berani sembarangan berkata di hadapanku, awas, akan kuhajar di sini.”

Koo San Djie takut juga Tjeng Tjeng betul-betul melaksanakan gertakannya, maka akan celakalah Tju Thing Thing ini. Maka dengan cepat ia sudah maju memisah.

“Dia adalah Ciecie Tju Thing Thing yang menjadi murid Thian-mo Lo-lo, kita semua adalah orang sendiri.”

Tjeng Tjeng dengan membuang muka sudah berkata:

“Pey! Biarpun muridnya dewapun, tidak nanti kuladeni. Tidak disangka, kau mencari kawan yang sebangsa siluman.”

Koo San Djie takut, nanti Tju Thing Thing marah, maka dengan cepat menarik tangannya Tjeng Tjeng, supaya jangan mengoceh terus.

Tidak disangka, Tju Thing Thing tidak menjadi marah. Ia tetap dengan lakunya yang seperti tadi, dengan tertawa cekikikan berkata:

“Aduh, tidak disangka, pandangan adik kecilku ini begitu tinggi. Boleh juga, anggap saja aku sebangsa siluman. Kalian hendak pergi kemana?”

Tjeng Tjeng dengan mengibaskan bajunya, berkata dengan tidak menoleh lagi:

“Perduli apa dengan kami mau pergi kemana? Untuk selanjutnya, jangan kau panggil adik kecil lagi padaku.”

Tju Thing Thing telah merasakan adanya sebuah tenaga yang mendorongnya. Maka dengan hanya memiringkan sedikit saja tubuhnya, telah terjatuh ke dalam pelukannya Koo San Djie, tangannya telah merangkul leher si pemuda. Mulutnya tidak mau berhenti berteriak-teriak:

“Aduh tolong...... adik kecilmu memukul orang.”

Koo San Djie mengimpipun tidak akan menyangka, Tju Thing Thing berani berbuat sedemikian rupa. Dengan sikap sungguh-sungguh ia berkata:

“Berbuat aturanlah sedikit. Mengapa kau menjadi begini?”

Tju Thing Thing dengan perlahan-lahan memisahkan tubuhnya. Seperti tidak pernah berbuat apa-apa ia berkata:

“Baiklah. Jika kau tidak suka. Aku kini telah pindah masuk ke dalam golongan Pay-hoa Kui-bo, untuk belajar silat. Inilah maksud dari guruku sendiri.”

Koo San Djie dengan kaget berkata:

“Pay-hoa Kui-bo? Baik atau jahatkah dia itu?”

“Tidak baik dan juga tidak jahat. Aku sendiripun tidak mengetahui dengan pasti. Yang perlu, aku belajar silat dari padanya, sudah cukup bukan?”

Tju Thing Thing menjawab dengan seenaknya.

Koo San Djie menjadi tercekat hatinya. Dalam hatinya berpikir:

“Sekali mengangkat guru berarti seperti orang tua. Mana boleh dia sembarangan mengangkat guru dengan tidak memikir-mikir lagi?”

Dari Pay-hoa Kui-bo ia teringat akan Ong Hoe Tjoe yang pergi ke utara mengejar orang. Hatinya menjadi kuatir juga. Lagi pula, ia sudah sebal, melihat Tju Thing Thing yang telah berobah seratus persen. Maka dengan mengajak Tjeng Tjeng yang masih monyongkan mulut, ia berkata:

“Adik Tjeng, mari kita berangkat!”

Rasa simpatinya terhadap Tju Thing Thing telah tersapu bersih, karena tingkah laku terhadapnya sekarang ini.

Tjeng Tjeng lebih tidak sabaran lagi. Tidak menunggu sampai habis perkataan sang kawan, ia sudah medahului melesat pergi.

Koo San Djie sudah dengan tidak ragu-ragu mengambil selamat berpisah kepada kawan lamanya yang telah berobah ini:

“Ciecie Thing Thing selamat berpisah.”

Badannya juga bagaikan kilat saja telah lenyap dari pandangan mata Tju Thing Thing.

Kini tinggallah Tju Thing Thing saja yang masih berdiri bengong.

◄Y►

Apa betul Tju Thing Thing telah berobah sedemikian tidak tahu malu? Tidak! Ini bukan maksud hati aslinya. Ia telah menjadi korban dari Thian-mo Lo-lo yang telah menuruti sifat yang ceroboh dan kukuh.

Thian-mo Lo-lo masih tidak mau melepaskan keinginannya untuk membalas dendam kepada bekas kekasihnya yang telah pergi meninggalkannya, tapi ia tahu, dengan hanya mengandal kepandaiannya yang dapat dipelajari tidak mungkin untuk membalas dendam. Ia telah memeras seluruh otaknya mencari jalan untuk dapat melaksanakan niatannya ini. Tapi semua daya upayanya telah menemui jalan buntu.

Dengan badannya yang telah sampai di akhir usia, biarpun ia meyakinkan ilmu lagi, sampai matipun masih tidak dapat menandingi si Phoa An Berhati Ular, sang murid yang disayang Tju Thing Thing yang diharapkan dapat membantu dirinya belum tentu memenuhi harapan. Kepandaian si gadis tidak lebih darinya.

Waktu tidak mengenal prikemanusiaan, memakan usia manusia yang lengah, orang yang tidak bisa mempertahankan diri.

Masa subur Thian-mo Lo-lo termakan oleh waktu-waktu ini.

Demikianlah, dengan tidak memikir akan akibatnya lagi, dia membawa Tju Thing Thing ke tempat Pay-hoa Kui-bo, tokoh silat yang terkenal dengan ilmunya yang diberi nama Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat.

Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat adalah semacam ilmu gaib di jaman dahulu kala, dengan menggunakan alat tabuhan atau siulan, pikiran lawan bisa dapat dibuat kacau. Dan pada waktu inilah, musuh dapat dijewer atau diperlakukan semau-maunya.

Apa lagi, ilmu ini dimainkan oleh kaum wanita, dengan diperalat dengan aneka macam make-up yang berlebih-lebihan, dengan disertai goyang pinggul yang ditonjol-tonjolkan, musuh mana yang tidak jatuh di bawah kaki gaunnya?

Thian-mo Lo-lo menganggap langkah yang diambil olehnya itu sangat tepat.

Tju Thing Thing dipaksa berguru kepada Pay-hoa Kui-bo.

Tidak disangka, jalan satu-satunya inipun mengalami jalan buntu, kasihan, Thian-mo Lo-lo mengantarkan sang murid ke dalam lembah kegelapan dan lumpur kehinaan.

Sedari Pay-hoa Kui-bo dapat merampas gunung Pay-hoa, dia merubah tempat ini menjadi markas besarnya, menganggap dirinya sebagai orang yang tertinggi. Bukan saja ia memuji kepandaiannya yang tinggi, bahkan dalam soal obat-obatan, dan segala macam racun, dia mempunyai pengetahuan yang luas, semua murid perempuannya diharuskan memakan butir pil 'penenang hati', agar mereka dapat menimbulkan kembali sifat kebinatangannya.

Peraturan yang pertama ini dinamakan olehnya 'Pengembalian, asal asli manusia`.

Inilah peraturan gila!

Kemudian, diantarkannya mereka ini kepada muridnya yang telah masuk terlebih dahulu, katanya diuji. Setelah lulus dalam ujian, baru dapat diterima menjadi muridnya.

Ujian gila!

Tju Thing Thing berguru pada Pay-hoa Kui-bo, ia mempunyai kepandaian yang lumayan, lagi pula mempunyai rupa yang cantik, maka tidak sukar untuk ia berguru. Tidak lama kemudian, ia telah lulus dan diperbolehkan turun gunung.

Biarpun obat-obatan telah membuat ingatannya setengah linglung, tapi ia bersifat manusia. Semua gadis-gadis tidak akan lupa kepada laki-laki yang pertama dapat memasuki hatinya. Tidak terkecuali juga dengan Tju Thing Thing ini.

Tidak pernah ia lupa kepada Koo San Djie. Ia seperti dapat hidup kembali, jika pada waktu mengingatnya. Tidak disangka, orang yang setiap hari dipikirinya telah berbuat sedemikian kejam, dalam anggapannya sendiri, tidak memperhitungkan kelakuannya yang menyebalkan.

Koo San Djie telah menggandeng si kepang dan pergi meninggalkannya. Mungkinkah untuk selama-lamanya.

Tju Thing Thing menangis.

Ia tidak dapat menggunakan pikirannya, mengapa orang sedemikian membenci kepadanya? Lebih-lebih lagi, ia tidak dapat memikirkan, mengapa ia tak dapat menjadi berubah sedemikian rupa?

Ia menggigit jari, berdiri terpaku. Dengan hanya dapat memaki di dalam hati, ia melihat bagaimana dua bayangan kecil itu lenyap dari pemandangan.

Ia benci Koo San Djie yang tidak mengenal cinta, ia benci Tjeng Tjeng yang tidak memandang mata.

Tidak salah jika orang mengatakan 'Di belakang Cemburu, Datanglah Cinta, Dibalik Cinta Timbullah Duka, Di akhir Duka Keluarlah Kebencian’.

Ia cemburu kepada Tjeng Tjeng, karena cinta kepada Koo San Djie. Karena ia cinta kepada Koo San Djie maka ia berduka memikirkan nasibnya yang tidak dapat sambutan dari Koo San Djie, maka ia telah membencinya.

Mendadak, ia menangis seperti gila. Ia tertawa karena duka. Ketawanya lebih seram dari pada tangisnya, sehingga dapat membangunkan bulu roma kepada siapa yang mendengar.

Ia tertawa, tertawanya telah dapat memikul sebagian kedukaannya.

Mendadak, ia tertawa dingin. Angkara murka telah meliputi dirinya. Ia mengangkat kakinya dan terbang mengejar.
 
BAB 12.01 Jebakan Barisan Pay-hoa Kui-bo

Koo San Djie takut Tju Thing Thing dapat mengejar dan mengganggunya pula, maka setelah lama juga mereka tancap gas, baru dengan perlahan-lahan mengendorkan langkah mereka. Sebenarnya mereka juga tidak dapat meneruskan larinya, karena di depan telah terlihat sebuah kota.

Tjeng Tjeng dengan mencubit-cubit perut tertawa, dia berkata:

“Sudah waktunya untuk kita menangsal ini, aku sudah sangat lapar.”

Koo San Djie bersenyum, Mereka lalu memasuki rumah makan dan memilih tempat duduk yang bagus.

Yang masuk ke rumah makan ini tidak banyak. Kecuali sudah ada beberapa orang di situ, terdapat pula seorang nikouw setengah umur.

Nikouw ini telah memesan makanan, dengan sendirian saja, perlahan-lahan ia memakannya. Dilihat kelakuannya ia bukan bermaksud makan, mungkin juga ia sedang menunggu orang, dengan perlahan-lahan ia melewatkan waktunya.

Koo San Djie kini telah mempunyai pengalaman yang lumayan. Dalam rumah makan itu hanya nikouw ini yang menyolok mata. Maka dengan diam-diam ia telah memperhatikan nikouw setengah umur itu.

Nikouw itu seperti mempunyai pembawaan yang sangat agung. Mukanya yang dingin, tidak mempunyai rasa. Semua seperti tidak mempunyai hubungan dengannya, belum pernah ia memandang atau memperhatikan kepada siapapun juga.

Koo San Djie sedang memperhatikan orang, tapi orangpun sedang memperhatikan dirinya. Dari tindak tanduknya nikouw itu dapat memastikan, siapa adanya anak muda ini. Dan tidak terkecuali juga dengan Tjeng Tjeng yang duduk di sebelahnnya. Dalam pikirannya telah menganggap anak perempuan kecil ini sangat menyenangkan.

Demikian ia telah menjadi menguatirkan akan satu orang. Waktu adalah obat satu-satunya bagi hati yang terluka. Tapi waktu juga, racun bagi kekasih yang terpisah. Perhubungan yang terlalu rapat adalah bibit dari timbulnya cinta.

Ia ingin dapat tahu tentang hati si pemuda, dengan perlahan-lahan ia melagukan syairnya:

Kacang merah terdapat di selatan,
Setahun hanya tumbuh sekali,
Hati-hatilah untuk memilih,
Dia sebagai kenangan mata.

Ucapan perlahan, tapi terang. Jika bukannya orang yang mempunyai latihan puluhan tahun, tidak nanti dapat mendengar perkataan ini. Orang hanya menyangka, ia sedang berkemak kemik membaca doa.

Tapi Koo San Djie telah dapat memakan Kodok Mas dan Capung Kumala yang mempunyai khasiat luar biasa, ia dapat mendengar syair itu. Bagaikan genta yang terpukul, hatinya berdebaran dengan keras. Dalam hatinya bertanya:

“Seorang nikouw yang telah keluar dari keduniawian mengapa masih dapat membuat syair cinta yang melibat diri?'“

Kecuali satu jawaban baginya, ialah orang yang mempunyai hubungan rapat dengan Ong Hoe Tjoe .

Ia tahu bahwa Ong Hoe Tjoe telah mengangkat seorang nikouw yang bernama Bie Kiu Nie sebagai gurunya dan mempunyai saudara seperguruan Biauw Hian, Biauw Giok dan lain-lain, mereka terdiri dari kaum nikouw.

Apa mungkin Ong Hoe Tjoe menceritakan juga tentang pemberian kacang merahnya kepada nikouw ini?

“Ai, mana kau orang tahu hatiku yang rindu kepadanya?” Koo San Djie berkata dalam hati.

Tjeng Tjeng memperhatikan Koo San Djie yang memberhentikan sumpitnya di tengah jalan sedang melamun di tempatnya, karena itu ia tertawa. Dengan mengetok meja, ia berkata:

“Hei, apa semangatmu telah kena terbetot oleh siluman tadi?”

Koo San Djie kaget. Dengan keren ia menjawab:

“Janganlah kau sembarang berkata. Ciecie Thing Thing dulunya juga seperti kau, jujur, entah mengapa, mendadak dia dapat berobah menjadi seperti itu? Kurasa tentu ada sebab-sebabnya. Mungkin juga dia telah dipaksa oleh orang.”

“Yang sudah pasti, kau sedang dalam keadaan melamun,” Tjeng Tjeng tertawa.

Koo San Djie menggelengkan kepala seperti seorang melamun lagi.

Mendadak Tjeng Tjeng menepok kedua tangan, seolah-olah telah mendapatkan jawaban yang tepat. Katanya:

“Aku tahulah. Tentu kau sedang memikirkan Ciecie Ong Hoe Tjoe?”

Koo San Djie baru saja mau membuka mulut keburu dipotong lagi oleh Tjeng Tjeng:

“Kau jangan mungkir lagi. Sebuah syair kacang merah telah membuat penyakit rindumu kambuh kembali. Lekaslah habiskan makanan ini, setelah habis makan, kita harus segera melanjutkan perjalanan.”

Ternyata, biarpun Tjeng Tjeng tidak dapat mendengar, apa yang dikatakan oleh nikouw tapi sedari melihat Koo San Djie memperhatikan si nikouw, ia juga telah turut memperhatikan. Dilihatnya mulut si nikouw yang berkemak-kemik. Dari gerakan-gerakannya ini, ia telah dapat menebak, apa yang dikatakan olehnya. Maka, sewaktu tadi Koo San Djie sedang melamun kemana, ia juga sedang memikir, apa artinya syair ini.

Koo San Djie tidak mau mengadu mulut, percuma saja untuk ia melawan, ia masih bukan tandingannya. Maka setelah cepat-cepat menyelesaikan makanannya, sambil melemparkan sumpit, ia berkata:

“Aku telah menjadi kenyang. Tapi hari masih siang, kita masih mempunyai banyak waktu. Mari kita mencari penginapan terlebih dahulu!”

Setelah dua orang ini berlalu, si nikouw telah mendapat jawabannya. Terhadap kekuatiran tadi tidak beralasan sama sekali.

Maka, dengan diam-diam ia juga telah berlalu dari situ. Ia mau membawa kabar ini kepada seseorang. Orang ini tidak lain ialah Ong Hoe Tjoe.

Sang malam telah mengurung, seluruh jagat, keadaan sunyi senyap. Dua bayangan hitam terlihat keluar dari pintu kota, dengan kecepatan yang pesat sekali.

Di antara sinar bintang yang remang-remang terlihat bayangan dua kali berkelebat, dua bayangan sudah maju jauh ke depan, menuju ke arah pegunungan Pay-hoa.

Salah satu dari bayangan tadi, yaitu seorang anak perempuan kecil, mendadak mendekati kawannya, dengan perlahan ia berkata:

“Koko San, apa betul Ciecie Hoe Tjoe berada di atas gunung Pay-hoa ini? Jika dia tidak berada di sini, kita harus bagaimana?”

Kawannya, yaitu Koo San Djie menjawab:

“Kita hanya menyerapi saja. Jika dia tidak berada di sana. kita akan segera pulang kembali. Biarpun Pay-hoa Kui-bo bukan orang baik, tapi, sebelum terbukti dia kaki tangan Lembah Merpati, kita tidak usah menganggunya. Dan lagi dia adalah menjadi gurunya Tju Thing Thing.”

Tjeng Tjeng marah karena mendengar disebutnya pula nama Tju Thing Thing. Dengan ngambek ia berkata:

“Hm, kembali kau telah ingat kepada siluman itu tadi. Jika kau berani bersama lagi, aku tidak mau memperdulikanmu.”

Koo San Djie dengan menghela napas berkata:

“Adik Tjeng, jangan kau berkata seperti itu. Jika kau mengenal dia sedari dulu, tentu kau tidak akan berkata demikian. Sebenarnya dia seorang gadis baik.”

Tjeng Tjeng hanya diam saja. Ia tidak mengatakan menyetujui perkataannya dan juga tidak membantah.

Jarak antara kota dan gunung Pay-hoa hanya tiga sampai empatpuluh lie saja. Dengan kecepatan kaki Koo San Djie dan Tjeng Tjeng sebentar kemudian, mereka telah sampai di sana.

Dua orang, bagaikan asap saja, terbang melewati hutan yang lebat dan menuju ke dalam istana Pay-hoa Kui-bo.

Dari jauh sudah terlihat istana yang berkelak kelik, jaraknya sudah menjadi sedemikian dekatnya. Waktu itu, mereka telah memasuki daerah yang banyak betul dengan tidak teratur.

Mendadak, Tjeng Tjeng menghentikan langkahnya dan berkata:

“Tunggu! Gunung-gunung ini gunung palsu. Bahkan mereka seperti telah mengatur suatu tin (barisan) di sini.”

Biarpun Koo San Djie telah merasakan keanehannya batu-batu yang tidak teratur seperti gunung itu, tapi ia tidak dapat mengetahui sebab musababnya.

Tjeng Tjeng mempunyai darah turunan ayahnya, Pendekar Merpati yang berpengalaman luas, terhadap macam-macam barisan, mana dapat mengelabui matanya. Dan lagi, otaknya yang tajam, dengan cepat ia telah dapatkan cara untuk memecahkan persoalan itu.

Ia memandang keempat penjuru sebentar, dan mengetahui, harus memilih jalan yang mana. Dengan mengluarkan jengekan dari hidung, ia berkata:

“Barisan semacam ini? Huh! Apa guna? Mereka masih berani mengeluarkan untuk menakut-nakuti orang.”

Maka, dengan menarik sebelah tangan Koo San Djie, berliku-liku mereka masuk ke dalam batu yang tidak teratur. Sebentar saja, mereka berdua telah dapat masuk ke dalam tengah-tengah batu itu.

Jika dilihat dengan kepandaian mereka, ditambah dengan kepintarannya Tjeng Tjeng yang dapat memecahkan barisan tin, biarpun sampai masuk ke dalam istana juga, tidak ada yang mengetahuinya.

Tapi, keadaan pada waktu itu harus dikecualikan. Sedari mereka keluar kota, mereka telah diikuti seseorang, orang ini tidak lain ialah Tju Thing Thing adanya.

Karena cintanya tidak terbatas, Tju Thing Thing menjadi penasaran. Ia menjadi membenci Koo San Djie dan Tjeng Tjeng berdua.

Ia tahu, bahwa mereka tentu akan datang naik ke gunung Pay-hoa dengan maksud mencari kabar Ong Hoe Tjoe, dan kebetulan, guru barunya ini tidak berada di gunung, maka ia sudah memikir untuk menggunakan Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat mengurung mereka di dalam barisan tersebut.

Demikianlah, setelah melihat mereka dapat berhasil memasuki ke tengah-tengah barisan, ia sudah mulai menjalankan akal bulusnya.

Pay-hoa Kui-bo, Si nenek Setan Ratusan Kembang, sengaja membuat barisan Kiu-kang-hun yang tidak sukar untuk dipecahkan orang, maksudnya ialah agar lebih mudah memancing musuh. Sudah menjadi kebiasaan dari sifat orang yang selalu mau menang, setelah melihat barisan itu seperti barisan kanak-anak tidak mengandung perubahan-perubahan yang aneh, tentu mereka tidak heran, maka masuklah orang yang mau membuktikan tentang pengalaman-pengalamannya yang luas, dan akan jatuhlah dia ke dalam perangkap Pay-hoa Kui-bo.

Pay-hoa Kui-bo membuat barisan tin ini bukan dengan maksud untuk mengurung orang, yang penting adalah kelanjutannya.

Sewaktu Tjeng Tjeng menarik tangan Koo San Djie memasuki tengah-tengah tin, mendadak di empat penjuru terdengar suara deru tambur dipukul, dari celah-celah gunung-gunungan batu itu, mengepul asap tebal.

Asap-asap inilah yang menyesatkan pandangan mata orang, semacam bau harum semerbak menyerang sepasang muda mudi itu.

Dibarengi oleh munculnya bayangan-bayangan orang, mereka adalah wanita-wanita berpakaian minim, dengan tarian yang luwes, hendak melupakan keadaan lawan.

Tjeng Tjeng tertawa dingin, katanya:

“Mereka hendak apa?”

Koo San Djie juga tidak mengerti, dengan menggelengkan kepala dia berkata:

“Entahlah.”

Disaat inilah, mereka merasakan sesuatu, kepalanya mulai pusing, hati berdebar-debar dengan pukulan jantung yang mendengung-dengung, obat perangsang yang ditaburkan oleh asap itu mulai menyerang.

Inilah hasil dari ilmu yang dinamakan Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat itu!

Beruntunglah Koo San Djie memiliki tenaga dalam yang luar biasa, mengetahui keanehan tadi cepat-cepat dia mengempos tenaga.

Tjeng Tjeng masih terlalu kecil untuk mengetahui hubungan pria dan wanita, ia tidak sadar, bahwa dirinya telah berada di ujung kehancuran, dengan mulut yang dijebirkan, ia berkata:

“Aduh, sial. Begitu banyak siluman-siluman bergoyang kibul, bagaimana kita bisa mengusir satu persatu?”

Dengan keras, Koo San Djie membentak:

“Lekas gunakan ilmu pernapasan.”

Siapa yang memegang peranan di belakang layar?

Dia adalah gadis sakit hati Tju Thing Thing.

Beruntung Tju Thing Thing tidak menyebar obat 'Penenang hati' yang banyak. Jika sampai terjadi, walau Koo San Djie dan Liu Tjeng bertahan sekeras mungkin, belum tentu mereka dapat menguasai keberahian mereka.

Kini Tju Thing Thing mengganti acara, 'Rayuan cinta' belum berhasil, dia merobah barisan tin.

Mendadak, suara lagu-lagupun lenyap, nada tabuh-tabuhan berganti. Seluruh gunung diliputi oleh suara-suara pembunuhan, para penari mengundurkan diri, terganti dengan suara derap kaki kuda di medan perang.

Telinga Koo San Djie dan Liu Tjeng dirasakan pekak, banyak sekali suara-suara makian, bentakan, jeritan, tangisan dan suara lainnya.

Tjeng Tjeng naik darah, tangannya disodorkan, dengan lima jari kecil, dia menyerang barang-barang jejadian-jejadian itu.

Tidak berhasil, semua bayangan-bayangan lenyap mendadak, dari kiri dan kanannya, datang pula bayangan-bayangan yang lebih banyak.

Koo San Djie menyilangkan tangan, dia juga menyerang ke empat penjuru.

Kosong. Semua bayangan-bayangan itu terlalu cepat, mereka lenyap atau mengundurkan diri, bila mendapat serangan, dan mereka muncul tampil kembali dikala serangan sudah mengendor.

“Semakin lama, suara jeritan-jeritan itu semakin hebat, bayangan-bayangan semakin banyak, serangan dan tekanan asap semakin gencar.

Koo San Djie dan Liu Tjeng hampir menjadi gila. Percuma saja mereka menyerang dan memukul, semua hanya bayangan yang tidak berwujud.

Dibiarkan kejadian ini berlangsung terus, pasti mereka celaka.

Beruntung, Pay-hoa Kui-bo tidak berada di gunung, sedangkan Tju Thing Thing belum berhasil memahirkan ilmu sihir yang lebih hebat, hanya terbatas kepada kemampuannya.

Bilamana Pay-hoa Kui-bo yang menggerakkan barisan tin ini, orang-orang yang berada di dalam kurungan asap hilang ingatan, mereka bisa saling bunuh dan saling terkam, sampai masing-masing babak belur, jiwa hancur.

Koo San Djie dan Liu Tjeng masih menempur bayangan-bayangan mereka. Belum puas dengan tangan kosong, masing-masing mengeluarkan senjata, bergebrak pula.

Koo San Djie menggunakan Pit Badak Dewa. Sedangkan Liu Tjeng menggunakan kalung pusaka yang biasa digunakan oleh almarhum ibunya.

Hasilnyapun terlihat, tanpa disadari, mereka telah mengisolasi suara tabuhan- tabuhan itu, racun asap yang menyerang mereka tertahan di luar, pikiran kedua muda-mudi inipun agak jernih.

Terdengar suara teriakan Tjeng Tjeng:

“Koko San, mengapa kita berhantam seperti ini? Setengah harian kita pontang panting, mengapa tidak ada yang terluka.”

Koo San Djie juga sadar, katanya:

“Kita ditipu mereka. Tentu suara tabuhan itu yang mengacau.”

“Mari kita menerjang.” Liu Tjeng memberi usul.

Disaat ini......

Terdengar suara orang yang membaca doa, diiringi oleh suara tak, tak, tok, tok inilah suara bok-hie dipukul.

Bok-hie adalah alat sembahyang dari kaum suci, biasanya digunakan oleh para hwesio dan para nikouw.

Suara ramainya perang telah terhenti. Siliran angin gunung yang dingin telah meniup pergi asap putih tadi, sebentar kemudian, langit menjadi terang kembali. Pemandangan malam yang indah, bagaikan sebuah lukisan besar tercetak di alam semesta.

Seorang nikouw dengan lengan bajunya yang lebar, dengan tangan mengetok Bok-khie, bersama dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggungnya berjalan mendatangi.

Koo San Djie sudah dapat mengenali nikouw yang datang adalah si nikouw yang pernah menyairkan syair kacang merah di dalam rumah makan.

Sewaktu matanya menoleh ke arah gadis yang berdiri di sebelahnya, seketika hatinya hampir meloncat keluar, kini ternyata, yang datang itu adalah Ong Hoe Tjoe. Dengan tidak terasa, ia telah berteriak:

“Oh Ciecie Hoe Tjoe......”

Badannya bagaikan terbang saja sudah melesat, menghampiri dan menyekal sebelah tangan Ong Hoe Tjoe. Saking girangnya, sampai ia tidak dapat mengatakan suatu apa.

Dua pasang mata berpandangan. Rasa suka dan duka bercampur menjadi satu. Sekian lama mereka berpandang-pandangan.

Pandangan matanya jauh lebih berarti dari pada banyak bicara. Hanya dengan pandangan mata ini telah melunasi hutang rindu mereka.

Ong Hoe Tjoe mempunyai pikiran yang lebih dingin. Dengan perlahan-lahan ia menolak tangan Koo San Djie dan berkata:

“Adik San, mari kuperkenalkan, inilah suciku yang bernama Biauw Hian.”

Koo San Djie dengan cepat sudah memberi hormatnya.

Biauw Hian merangkapkan kedua tangannya, ia membalas hormat Koo San Djie dan berkata:

“Siaoya tidak usah banyak hormat.”

Lalu ia membalikkan badannya dan berkata kepada Ong Hoe Tjoe :

“Sumoy boleh bersama siaoya ini menjelajah Kang-ouw, aku akan segera kembali ke atas gunung.”

Kemudian ia menganggukkan kepalanya kepada Koo San Djie dan Tjeng Tjeng. Hanya terlihat baju jubahnya yang besar berkibar, lenyaplah ia dari pemandangan.

Tjeng Tjeng melihat Biauw Hian sampai lenyap dari pandangan matanya, mendadak, ia seperti mengingat sesuatu apa, lalu menubruk ke dalam pelukan Hoe Tjoe katanya:

“Ciecie Hoe Tjoe kau, tentu tidak kenal kepadaku, tapi aku setiap hari memikirkan tentang keadaanmu.”

Adik kecilnya yang baru ini dalam pandangan Hoe Tjoe ada sangat menyenangkan, ia sudah mengulurkan tangannya, dan mengelus-elus rambut si adik baru yang hitam, sambil tujukan pandangan matanya ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie baru ingat, maka ia lekas memperkenalkannya:

“Inilah adik Tjeng Tjeng yang menjadi anak kesayangan dari Pendekar Merpati, supek Liu Djin Liong suami isteri.”

Ong Hoe Tjoe baru saja mau bicara kepadanya, mendadak, di belakangnya telah terdengar suara bentakan:

“Dari mana datangnya anak-anak liar yang bernyali besar ini, berani datang kemari bercinta-cintaan? Apa kau sudah bosan hidup?”

Entah kapan datangnya empat pengiring pribadi dari Pay-hoa Kui-bo telah berdiri di belakang mereka dan mengambil sikap mengurung.

Yang bicara adalah si Hakim Neraka yang berbadan tinggi besar, kepalanya bundar lebar dengan kumis dan jenggotnya berdiri seperti bulu landak, tampak galak sekali.

Yang berdiri di sebelah timur ialah si Muka Kuda, di sebelah barat Sapi Celaka dan di belakangnya si Babi Tertawa.

Yang satu lebih jahat daripada yang lain, dengan rupa mereka yang galak persis seperti julukannya.

Koo San Djie memperhatikannya satu persatu, baru ia berkata:

“Berani hanya menyerang dengan cara menggelap, apa sudah menjadi peraturan kalian semua?”
 
12.02 Di Antara Cinta Dan Kenyataan

Si Hakim Neraka dengan suara yang menyeramkan sudah menjawab:

“Itu hanyalah permainannya para budak perempuan saja.”

Mendadak, dari gunung-gunungan palsu tadi telah keluar pula seorang perempuan yang berpakaian rebo dengan suaranya yang nyaring berkata:

“Itulah perbuatanku. Aku benci...... aku sudah benci sekali padamu....... ingin sekali aku dapat mengorek hatimu...... Ini kali gagal, karena datangnya si nikouw sialan itu. Tapi, lihat saja kemudian, aku mesti dapat membunuhmu......”

Sampai pada perkataannya yang terakhir, suaranya sudah menjadi serak. Tapi ia masih mencoba meneruskannya juga.

Koo San Djie dapat melihat, yang datang itu adalah Tju Thing Thing, hatinya sudah seperti diiris-iris. Di dalam hati dia berkata:

“Dia telah menjadi seperti ini, itulah karena perbuatannya sendiri. Mengapa harus menyalahkan kepadaku?”

Pandangannya tidak berani membentur sinar matanya Tju Thing Thing yang mengandung kedengkian.

Berbeda dengan perasaannya Tju Thing Thing, Koo San Djie tidak dapat menyalahkan bekas kawannya ini. Biarpun Tju Thing Thing memaki-maki akan membunuhnya, tapi ia tidak lantas benci kepadanya. Bahkan sebaliknya, ia menjadi lebih sayang. Hatinya pedih, seperti saudaranya sendirilah yang mengalami kejadian ini.

Ia hanya terdiam saja di tempat.

Tapi, Tjeng Tjeng sudah mengeluarkan kepalanya dari dalam pelukan Ong Hoe Tjoe . Ia sudah meloncat sambil menuding-nudingkan tangan berkata:

“Ternyata, yang ingin membuat kita celaka adalah siluman ini. Jika saja koko San tidak mengatakan bahwa kau dulunya seorang baik, aku akan segera membunuhmu......”

Koo San Djie dengan menghela napas berkata:

“Adik Tjeng, jangan memaki lagi. Dia harus dikasihani......”

Tju Thing Thing mendengar Tjeng Tjeng memakinya sebagai siluman, sudah tertawa sepert orang gila:

“Ha, ha, ha...... siluman......? Ha, ha, ha...... siluman, Ha, ha, ha, ha......”

Bagaikan benar-benar gila saja ia sudah pergi meninggalkan tempat itu.

Si Hakim Neraka yang melihat kelakuannya ini tidak menjadi heran, ia menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata:

“Di pegunungan Pay-hoa ini tidak mengijinkan orang-orang sembarangan berkeliaran. Mengapa kau tidak lekas membuang senjata dan menyerahkan diri?”

Koo San Djie sedang girang karena dapat menemukan encie Ong Hoe Tjoe, sudah tidak mau terlibat terlalu lama di sini. Dengan cepat-cepat ia berkata,

“Jika kau ingin bertarung, lekaslah kau maju semua. Aku hanya dapat melayani dalam satu pertandingan saja.”

Si Hakim Neraka berempat yang biasanya hanya berbuat sewenang-wenang di daerahnya, sudah menjadi besar kepala, karena belum pernah ada orang yang berani melawan mereka. Maka bajingan ini sudah merasa bahwa merekalah yang mempunyai ilmu tertinggi, jika tidak melihat Koo San Djie dan Tjeng Tjeng memecahkan barisan tin yang lihay tadi belum tentu mereka mau melayani. Tidak disangka, Koo San Djie berani menyuruh mereka berempat maju bersama, inilah satu penghinaan besar. Maka sambil membentak keras, si Hakim Neraka berkata:

“Bocah ingusan, jangan sombong.......”

Dibarengi oleh serangannya yang pertama, menyerang ke arah dada Koo San Djie.

Koo San Djie menyingkir ke samping, meloloskan serangan. Tidak keburu ia membalas menyerang, karena di saat yang sama dua tangan yang kecil putih datang menyelak. Tjeng Tjeng, bagaikan sedang memperebutkan mustika saja, berteriak-teriak:

“Koko San, jangan kau turun tangan. Biarkan aku saja yang sikat semua!”

Ong Hoe Tjoe di belakang Tjeng Tjeng juga sudah turut berkata:

“Adik Tjeng, kasihkan padaku. Aku masih ada pertanyaan yang harus ditanyakan kepada mereka.”

Si Hakim Neraka dengan tertawa berkata:

“Siapa yang maju pun sama saja, cepat atau lambat, tokh tidak dapat lari juga.”

Tjeng Tjeng tidak mau mengalah, ia sudah bersedia maju pula, tapi pikirannya mendadak berobah, ia ingin juga mengetahui, sampai di mana ilmu kepandaian Ong Hoe Tjoe yang belum pernah dilihatnya ini.

Ong Hoe Tjoe dengan tenang maju ke muka dan berkata:

“Belakangan ini, apa betul ada seorang tua berjubah merah yang datang ke gunung Pay-hoa ini?”

Si Hakim Neraka, biarpun keluaran golongan rimba hijau, hatinya yang keras tidak takut ia berterus terang.

Yang diartikan dengan golongan rimba hijau atau Liok-lim adalah sebangsa perampok atau penjahat.

“Jika betul bagaimana?” jawabnya.

Ong Hoe Tjoe kembali berkata dengan tertawa:

“Kepergiannya Pay-hoa Kui-bo tentu mempunyai hubungan dengan orang tua berjubah merah ini?”

Si Hakim Neraka sudah menjadi tidak sabar. Sambil membentak keras ia berkata:

“Jangan banyak cingcong lagi. Anggaplah saja dia mempunyai hubungan. Apa yang kau ingini?”

Tangannya tidak tinggal diam, ia sudah lantas menyerang.

Dengan tenang, Ong Hoe Tjoe melompat ke samping. Tangannya sudah mencabut pedang yang menggemblok di bebokongnya. Dengan menunjuk ke arah lawannya ia berkata:

“Lekas keluarkan senjatamu. Aku akan segera menyerang.”

Si Hakim Neraka tertawa terbahak-bahak:

“Hm......! Hanya menghadapi orang seperti kau ini, harus menggunakan senjata?”

Sambil membuka lima jari tangannya, ia sudah mencengkeram lawannya.

Ong Hoe Tjoe menuruti arah pedang, meneruskan serangannya. Di antara sinar bulan malam, terlihat bayangan sinar pedang, bagaikan serentetan rantai saja sambung menyambung. Dalam beberapa jurus saja, ia telah membuat si Hakim Neraka kelabakan setengah mati.

Si Hakim Neraka bukannya orang sembarangan, ia berkelana di kalangan Kang-ouw sudah puluhan tahun. Ia tidak sangka, ilmu pedang yang ternama yaitu ilmu Pedang Penumpas Iblis, dapat digunakan oleh seorang anak perempuan. Biarpun badannya sudah terkurung di dalam sinar pedang tapi hatinya masih tidak gentar. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk merebut kemenangan.

Tjeng Tjeng menonton dua lawan itu bertarung. Kemudian memalingkan kepalanya dan bertanya pada Koo San Djie:

“Koko San, dapatkah Ciecie Hoe Tjoe memenangkan si Landak Neraka ini?”

Sengaja dia menyebut Hakim Neraka menjadi Landak Neraka.

“Tunggu saja sebentar. Tidak berapa jurus lagi, tentu ia akan berhasil, kau lihat......” jawab Koo San Djie.

Mendadak, warna biru berkelebat, sinar pedang berkilat. Si Hakim Neraka sudah berteriak keras, karena jari kelingking kanannya telah tertebas dan terbang ke tengah udara. Darah masih menetes keluar dari lukanya ini.

Ong Hoe Tjoe menyimpan kembali pedangnya dengan tenang berdiri di pinggiran.

Tjeng Tjeng sudah bertepok tangan memuji, “Ilmu pedang yang bagus!”

Dibarengi oleh majunya si Muka Kuda dan si Sapi Celaka, mereka berdua sudah lantas membentak:

“Jangan sombong!”

Tjeng Tjeng sudah menjadi gatal tangan, bagaikan seekor burung, ia menubruk ke arahnya si Muka Kuda. Dan si Sapi Celaka sudah mendapat perlawanan dari Ong Hoe Tjoe. Babi Tertawa yang tidak mau tinggal diam, juga sudah maju ke arahnya Koo San Djie dan membentak:

“Kau juga jangan berpeluk tangan, he!”

Maka, datanglah serangan ke arah Koo San Djie, siapa lalu memiringkan badannya uutuk menyingkir dari serangan. Dalam hatinya berpikir:

“Begitupun ada lebih baik, dari pada membuang-buang waktu.”

Biarpun kepandaiannya Babi Tertawa ada berimbang dengan hakim Neraka tapi ia ada lebih licin dari yang tersebut duluan.

Koo San Djie tidak mau sembarangan melukai orang, setelah membiarkan, lawannya menyerang beberapa jurus, mendadak, ia memanjangkan tangannya dan mencekal lengan si Babi, dengan menggunakan sedikit tenaga, ia telah mengeraskan cekalannya dan melepaskan kembali di pinggiran.

Babi tertawa tidak salah mempunyai banyak ketawanya. Biarpun ia merasa malu juga akan kekalahannya ini, tapi ketawanya masih tidak hilang dari sang muka. Seraya menjura ia berkata:

“Tuan memang mempunyai kepandaian yang sempurna, aku ada sangat mengagumi. Setelah ketua gunung kita Pay-hoa Kui-bo kembali, silahkan tuan kembali pula.”

Artinya jelas sekali ialah biarpun ia telah dikalahkan oleh Koo San Djie, tapi masih ada Pay-hoa Kui-bo yang belum kembali. Pada waktu itu, apa lawannya masih berani kembali lagi?

“Pay-hoa Kui-bo telah menggetarkan dunia. Setelah ia kembali, aku juga akan meminta pelajaran darinya,” jawab Koo San Djie.

Lalu ia memanggil Tjeng Tjeng dan Ong Hoe Tjoe yang sedang bertarung, teriaknya kepada kedua gadis itu:

“Berhentilah! Mari kita berangkat.”

Ong Hoe Tjoe segera sudah menarik kembali pedangnya. Tapi Ceng Cmg yang nakal, malah menyentilkan jarinya dengan keras dan telah membuat sebuah lobang kecil di baju si Muka Kuda.

Tiga bayangan kecil, bagaikan bintang saja mencelat ke bawah gunung.

Empat orang ternama yang menjadi pengiring pribadinya Pay-hoa Kui-bo hanya bisa berpandangan saja. Mereka kemaluan karena jadi pecundang di kandang sendiri, hanya Si babi yang masih dapat tertawa:

“Hm, untuk sementara biarkanlah mereka pergi. Jika ketua gunung kita telah kembali baru, mereka tahu rasa......”

Koo San Djie bertiga kembali ke dalam kota, dengan diam kembali ke kamarnya. Tjeng Tjeng sudah lantas menarik tangan Ong Hoe Tjoe dan diajak masuk ke kamarnya. Mereka berdua kasak kusuk sehingga terang tanah.

Memang sukar diduga, biarpun Tjeng Tjeng tidak suka kepada Oey Bwee Bwee dan Tju Thing Thing, tapi terhadap Ong Hoe Tjoe yang baru saja dilihatnya ini, sudah demikian cocok.

Sedari kecil ia sudah ditinggalkan ibunya, juga tidak mempunyai saudara, maka perasaannya terhadap Ong Hoe Tjoe sudah menjadi sedemikian akrabnya. Perasaannya ini ada berbeda dengan kasih sayangnya kepada Koo San Djie, yang sedikit mengandung cinta. Tapi perasaan terhadap Hoe Tjoe adalah kasih sayang terhadap saudara yang lebih tua dicampur dengan rasa sayangnya kepada ibu, karena ia belum pernah menerima kasih sayang ini dari ibunya almarhum.

Tentu saja, Ong Hoe Tjoe mempunyai daya tarik sendiri. Biarpun ia dilahirkan dalam keluarga nelayan, tapi ia juga mempunyai pembawaan sendiri yang agung. Biarpun ia berpakaian sederhana, tidak bermake-up, tapi semua ini tidak dapat mengurangi kecantikannya yang asli. Biarpun umurnya tidak tua, tapi ia mempunyai pembawaan sebagai saudara tua.

Tentu saja Tjeng Tjeng yang melihatnya menjadi suka.

Koo San Djie kembali ke kamarnya, lantas melatih pernapasannya. Tapi biar bagaimana juga, kali ini ia tidak dapat menenangkan diri.

Sebentar memikirkan tentang perobahan Tju Thing Thing, sebentar memikirkan tentang kenakalannya Tjeng Tjeng dan kemudian, memikirkan bertemunya kembali dengan Ong Hoe Tjoe yang tampaknya lebih cantik dari tempo hari mereka bergaul.

Dendam keluarga Ong Hoe Tjoe. Kesengsaraan gurunya yang disebabkan oleh saudara seperguruannya yang jahat, dua pesuruh Pendekar Merpati yang melarikan diri, dan lain-lain, harus diselesaikannya satu persatu.

Pikirannya tidak tenang, sebentar saja merasakan datangnya pagi. Ong Hoe Tjoe dan Tjeng Tjeng juga telah keluar dari kamarnya masing-masing.

Mereka bertiga dengan riangnya telah mulai dengan sarapan pagi. Baru pada waktu itu, Ong Hoe Tjoe dapat menuturkan pengalamannya:

Ternyata pada waktu Koo San Djie keluar untuk membantu ayahnya menangkap ikan, Ong Hoe Tjoe pergi ke belakang untuk membantu ibunya memasak nasi, telah datang masuk seorang wanita yang mengaku bernama Oey Bwee Bwee dan memuji-muji Ong Hoe Tjoe yang mempunyai bakat bagus. Lalu mengajaknya untuk pergi bersama-sama ke dalam Lembah Merpati untuk belajar ilmu silat, katanya. Tidak lupa, Oey Bwee Bwee memuji-muji tentang kebagusannya Lembah Merpati.

Ong Hoe Tjoe tidak gampang-gampang dipancing, dengan hanya menggunakan beberapa perkataan saja. Ia mengatakan, segala urusan baiknya dirundingkan setelah ayahnya dengan Koo San Djie kembali dari menangkap ikan.

Tiba-tiba Oey Bwee Bwee telah menotok jalan darahnya dan membawa ia pergi meninggalkan rumah. Ibunya yang coba menahan sudah dibanting mati.

Bagaimana ia dibawa ke dalam pesanggrahan Liong-sun-say untuk menunggu Koo San Djie, yang akan sama-sama dibawa ke dalam Lembah Merpati.

Dan pada waktu itu, berbarengan dengan datangnya Koo San Djie, Hu-hay Sin-kun sekalian, ia telah ditolong oleh Biauw Hian dan dibawa ke atas gunung untuk diberi pelajaran ilmu silat.

Gurunya sangat sayang kepadanya, maka dengan dapat bantuan obat-obatan ia mendapat kemajuan pesat sekali dalam waktu singkat.

Pada bulan yang baru lalu, ia diperbolehkan turun gunung, dengan diikuti oleh toa-sucienya Biauw Hian untuk menjaganya dalam sewaktu-waktu menemui kesulitan.

Di tengah jalan, ia telah berjumpa dengan seorang tua berjubah merah, maka ia balik ke utara mengikuti jejaknya orang ini.

Ia pernah mendengar cerita gurunya yang mengatakan bahwa orang dari Lembah Merpati yang mempunyai kepandaian tertinggi ialah orang yang berpakaian merah dan putih.

Orang tua ini dengan umurnya yang lebih dari tujuhpuluh tahun masih mengenakan jubah merah ada sangat janggal sekali, maka ia telah menyangka akan orang dari Lembah Merpati.

Tidak disangka orang tua berjubah merah ini mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, maka ia tidak berani terlalu dekat mengikutinya. Karena inilah sehingga sampai di daerah Ho-pei ia telah kehilangan jejak orang tua tersebut.

Di daerah Ho-pei ini adalah Pay-hoa Kui-bo yang mempunyai kekuasaan terbesar, siapa tidak mempunyai nama baik di kalangan Kang-ouw. Maka kemungkinan besar sekali jika nenek itu telah ditarik masuk menjadi anggota Lembah Merpati, dan besar sekali kemungkinannya orang tua berjubah merah tadi datang kemari.

Maka ia telah naik ke gunung Pay-hoa untuk mencari tahu keadaannya.

Tapi di tengah jalan ia telah mendapat kabar dari toa-sucinya bahwa Koo San Djie juga sedang menuju ke gunung Pay-hoa. Maka mereka berdua, dengan diam-diam telah mengikuti dari belakang.

Setibanya mereka, kebetulan sekali Koo San Djie dan Tjeng Tjeng berdua sedang terkurung oleh Cit-ceng-siauw-hun-tay-hoat, maka dengan membaca doa telah menolong mereka.

Baru sekarang Koo San Djie mengetahui bahwa yang menjadi algojo ialah Oey Bwee Bwee. Sambil menghela napas ia berkata:

“Yah, akhirnya si algojo telah binasa juga. Tapi heran mengapa dia mati tanpa sebab?”

Oey Bwe Bwee mati karena terlambat makan obat panjang umur.

Terdengar Hoe Tjoe berkata,

“Yang benar-benar menjadi musuhku ialah ketua Lembah Merpati, ini yang menjadi biang keladi. Guruku pernah mengatakan, bahwa yang tersangkut, bukannya aku seorang, masih banyak orang lain yang menerima nasib sama. Mengharapkan kita berdua, dengan bantuan tenaga orang terkemuka dari berbagai macam golongan, membasmi Lembah Merpati yang menjadi pusat keonaran.”

Setelah berhenti sebentar dan melihat Tjeng Tjeng yang duduk di sebelahnya dengan asyik sekali mendengarkan, ia lalu melanjutkan penuturannya:

“Yang sering keluar di kalangan Kang-ouw seperti Oey Bwee Bwee dan kawan-kawannya hanyalah sebangsa pesuruh dari Lembah Merpati saja. Sebelum mereka keluar dari Lembah Merpati, mereka diharuskan menelan semacam pil beracun, jika tidak kembali pada waktu yang telah ditetapkan, maka racun ini dapat menjalar dan membinasakan. Oey Bwee Bwee mungkin juga mati karena racun itu.”

“Kiranya begitu! Yang sial adalah Cong-lam-pay, golongan ini dipaksa menanggung jawab atas kematiannya.”

Koo San Djie terdiam sejenak. Tapi mendadak, ia lompat dari tempatnya, membuat Tjeng Tjeng menjadi kaget. Sambil mendorong tubuh sang kawan, ia berkata

“Hai. Apa yang kau pikirkan? Kau membuat orang menjadi kaget saja.”

Koo San Djie berkata:

“Ciecie Hoe Tjoe bukan telah mengatakan, kecuali ketua lembah, orang yang berbaju merah dan putih adalah yang mempunyai kepandaian tertinggi? Barusan, wanita berbaju putih yang bertempur denganmu yang kau sangka ada hubungannya dengan pelayan-pelayan ayahmu yang telah melarikan diri dengan membawa barang-barang, mungkin sekali pelayan-pelayan itu telah menjadi orang Lembah Merpati.”

“Betul!” jawab Tjeng Tjeng. “Aku juga telah curiga kepada mereka. Kepandaian Sari Pepatah Raja Woo, kecuali mereka berdua orang tidak dapat menggunakannya.”

Demikianlah, mereka bertiga bicara tentang bermacam-macam urusan dan juga tujuan selanjutnya.

Tjeng Tjeng mengusulkan agar mereka segera menyusul para ketua partai yang kini sedang menuju ke dalam Lembah Merpati.

Ong Hoe Tjoe tidak mengeluarkan pendapat apa-apa tentang usul ini. Tapi Koo San Djie yang ingat akan Tiauw Tua, mengusulkan agar mereka mencari Tiauw Tua terlebih dahulu, baru menetapkan perjalanan dengan minta petunjuk orang tua itu.

Pada waktu mereka belum mendapat kepastian, mendadak di luar telah terdengar suara orang yang tertawa terbahak-bahak. Dibarengi dengan terpentangnya pintu, tampak ada dua orang yang berjalan masuk.

Yang pertama adalah Tiauw Tua, di belakangnya mengikuti Sastrawan Pan Pin yang sudah lama tidak bertemu dengan Koo San Djie.

Sastrawan Pan Pin yang jenaka, begitu memasuki ruangan sudah membuka suara:

“Selamat, selamat...... selamat kepada saudara kecilku......” sedang matanya terus mengawasi Ong Hoe Tjoe .

Koo San Djie tertawa. Ia tahu dirinya sedang digoda oleh Sastrawan Pan Pin, maka lalu berkata:

“Locianpwe sangat keterlaluan. Baru saja ketemu, sudah menggoda orang.”

Tjeng Tjeng pelototkan kedua matanya yang kecil jeli, sehingga membuat Sastrawan Pan Pin menjadi mengkeret, perkataan yang sudah sampai ditenggorokannya telah ditelannya kembali.

Tiauw Tua dengan tidak memutar-mutar lagi sudah memberi laporan:

“Barusan si sastrawan miskin ini telah mendapat kabar bahwa betul sembilan ketua Partai dari berbagai macam golongan sudah mendapatkan jalan menuju ke tempat Lembah Merpati. Biarpun kita tidak mengetahui betul atau tidaknya Lembah Merpati ini paling baik kita segera pergi menyusul.”

Beberapa patah perkataan ini telah menentukan tujuan mereka. Pada hari itu juga, segera mereka berlima berangkat, pergi menyusul sembilan ketua partai yang menuju ke tempat yang dikatakan Lembah Merpati.

Siapa sangka, perjalanan mereka berlima ini bukannya menemui letaknya Lembah Merpati yang tulen, malah melihat suatu pemandangan yang dapat membangunkan bulu roma.
 
BAB 13.01 Jago-jago Ulung Bertempur di Dalam Rimba

Koo San Djie dan kawan-kawan, mulai berangkat, sebagai pelopor ialah sastrawan Pan Pin, yang katanya mengetahui, di mana tempat letaknya Lembah Merpati yang termashur itu. Demi keselamatan sembilan orang yang menjabat ketua-ketua dari sembilan partai, mereka tidak membuang-buang waktu lagi.

Di tengah perjalanan. Tjeng Tjeng yang tahu diri sudah memisahkan dirinya dari Koo San Djie dan Ong Hoe Tjoe, agar mereka berdua yang telah berpisah lama mempunyai kesempatan yang banyak untuk membicarakan soal dan kejadian-kejadian selama perpisahan. Setiap hari, ia merengek-rengek pada si Sastrawan Pan Pin untuk menceritakan pengalamannya.”

Sastrawan Pan Pin, yang sudah lama berkelana di kalangan Kang-ouw, selalu bergembira, belum pernah ia mengenal apa yang dinamakan susah. Kini mendapat kawan seperjalanan sebagai Tjeng Tjeng yang lincah dan menyenangkan, mana ia tidak menjadi gembira.

Tapi ia juga ada sedikit takut akan kawan kecil yang nakal dan banyak lagunya ini. Jika bukan ditarik jenggotnya, tentu dikitik sampai ia tertawa terpingkal-pingkal.

Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari gangguan ini dan juga tidak dapat memasang muka asam, sebagai orang lebih tua, orang yang paling celaka, ia melakukan perjalanan ini.

Setelah Tjeng Tjeng menjauhi Koo San Djie tentunya Koo San Djie dapat lebih leluasa jika berbicara dengan Ciecie Hoe Tjoe nya. Tapi kenyataannya tidak demikian, terhadap Koo San Djie, Ong Hoe Tjoe menjadi adem saja, bagaikan kawan biasa, tidak menunjukan perasaan-perasaannya yang berlebih-lebihan. Ia berusaha untuk mendekati Tiauw Tua, dengan meminta petunjuk ini dan itu sehingga tidak memberi kesempatan untuk Koo San Djie bicara banyak.

Tentu saja Tiauw Tua tidak dapat tidak melayani setiap hari, dengan teliti ia memberi penjelasan-penjelasan. Dari ilmu silat sampai kebermacam-macam partai yang berada di dunia dan pantangan-pantangannya.

Sikap Ong Hoe Tjoe telah berubah banyak. Ini bukan sifat yang aslinya, ia kini telah berobah menjadi adem, seperti tersiram oleh air es saja. Mengapa ia harus berobah seperti ini? Inilah satu penderitaan bagi para wanita jaman itu yang masih terkena racunnya peraturan-peraturan kuno. Biarpun ia ada sangat mencintai kekasihnya, tapi ia harus memelihara sopan santun yang sudah ditetapkan.

Mereka tidak berani melanggar peraturan-peraturan kuno ini, mereka tidak berani terang-terangan menunjukkan perasaan cintanya. Perasaan mereka ini telah dapat dilihat dari pandangan mata atau gerak gerik.

Ada kalanya, mereka memperlakukan kekasih mereka lebih kejam dari pada terhadap laki-laki lainnya. Mereka menganggap seperti tak kenal atau tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Inilah seperti suatu kejadian yang tidak masuk diakal.

Hoe Tjoe sebagai anak nelayan, sebenarnya tidak mempunyai sifat-sifat yang seperti ini, itulah karena gurunya yang telah menyuruh membaca kitab-kitab yang penuh segala macam peraturan-peraturan tentang bagaimana caranya sebagai seorang wanita membawa diri. Dan tentu saja cara-cara itu adalah cara-cara kuno.

Dan disamping buku-buku peraturan kuno ini, iapun diharuskan mencontoh kelakuan-kelakuan Biauw Hian, sang toa-suci yang sebagai satu perawan tua mencukur dirinya sebagai nikouw.

Maka, demikianlah kekangan peraturan-peraturan kuno telah menutupi cintanya terhadap sang kekasih.

Tapi biarpun demikian, dalam hati kecilnya ini, ingin sekali ia dapat menarik tangannya Koo San Djie, setiap hari bergandengan berdua.

Koo San Djie yang tidak tahu, mana dapat merasakan perasaannya ini? Ia hanya merasa Ciecie Hoe Tjoe nya telah berobah jauh, berobah sehingga hampir saja tidak mau mengenalnya. Saking kesal rasa hatinya, sifat kerbaunya telah kambuh pula.

Selalu ia bergumam:

“Hm, mereka sekarang sudah tidak mau mengenalku lagi. Tunggu saja sampai urusannya dengan Lembah Merpati telah selesai, baru kutanyai mereka.”

Maka, setiap hari ia berjalan di paling buntut. Dengan berjalan perlahan-lahan, ia selalu meninggalkan diri dari mereka.

Pada suatu hari, selagi ia berjalan di belakang sambil melamun, kupingnya yang tajam dapat menangkap suara bentakan dan dibarengi oleh suara berkisarnya banyak baju yang seperti lewat di sampingnya.

Tidak ada waktu untuk memberi kabar kepada Tiauw Tua, dengan sekali berkelebat, tubuhnya sudah turun naik masuk ke dalam rimba.

Pada suatu tempat kosong di dalam rimba, terlihat dua orang yang sedang berhadap-hadapan. Yang satu dengan rambut riap-riapan, muka biru dan mempunyai caling yang besar keluar dari sela-sela mulutnya. Yang satu lagi adalah seorang tua berbaju kuning dan biru dengan kepalanya memakai kopiah yang berwarna kuning emas.

Koo San Djie menjadi bercekat. Inilah orangnya yang telah merebut peta jalan Lembah Merpati. Dan bukankah ia menjadi musuh besarnya dari supeknya?

Terdengar si orang bercaling yang berambut riap-riapan berkata:

“Kim Ting Sa, jika betul kau telah mendapatkan itu ilmu Sari Pepatah Raja Woo, aku si Kepala Setan Srigala, akan meminta bagiannya.”

Orang tua berkopiah mas mendongak ke atas berkakakan:

“Tidak salah. Sari Pepatah Raja Woo, memang betul berada di badanku. Tapi kau Kepala Setan Srigala tidak mempunyai bagian sama sekali.”

Kepala Setan Srigala tertawa dingin:

“Kau mengandalkan berapa ilmu kepandaian itu untuk melawan kepadaku? Tapi kau juga tentu tahu adatnya dari Kepala Setan Srigala yang tidak dapat dirobah. Sedari ini waktu jangan harap kau dapat bekerja tenang.”

Perkataan ini dibarengi oleh serangannya yang bertubi-tubi.

Kim Ting Sa tertawa dingin, badannya melompat ke kanan dan ke kiri, menghindarkan empat kali serangannya Kepala Setan Srigala.”

Caling-caling dari Kepala Setan Srigala beradu beberapa kali, sambil meluruskan kedua tangannya disodorkan maju ke depan.

Si Kopiah Mas Kim Ting Sa tangannya tidak mau tinggal diam, ia juga telah memapaki datangnya serangan Kepala Setan Srigala.

Bau busuk lantas tersebar kemana-mana, karena beradunya dua pukulan tadi. Dua lawan itu juga telah terpental mundur dari tempatnya masing-masing.

Kepala Setan Srigala mempelototkan kedua matanya, ditambah dengan caling gigi yang menakutkan sehingga semakin galak. Ia sudah bersedia maju kembali, mendadak, terdengar suara orang ketiga yang menyelak:

“Tunggu dulu! Aku Pay-hoa Kui-bo juga mengingini barang itu.”

Di tengah lapangan segera telah bertambah seorang nenek kurus kering yang berambut merah.

Dengan menggunakan tongkatnya, si nenek kurus kering yang hampir terlihat tulang-tulangnya, mengetok ke tanah dan berkata lagi:

“Kim Ting Sa, berani kau menentang usulku?”

Perkataan Pay-hoa Kui-bo jika bukannya diucapkan pada waktu itu, Kim Ting Sa tentu sudah menyerangnya. Tapi di sini, ia tidak berani berbuat demikian, dua musuh yang berada di depannya bukan musuh sembarangan. Ia tidak akan dapat menahan serangan dari mereka berdua. Maka dengan tertawa terpaksa ia berkata:

“Aku Kim Ting Sa, sebenarnya belum pernah mengalah kepada orang lain, tapi ini kali karena gara-gara buku rombeng ini, harus menelan hinaan-hinaan orang. Demi keselamatannya kita semua, kurasa......”

Koo San Djie sampai di sini tidak dapat menahan sabarnya lagi. Ia sangat curiga tentang kitab Sari Pepatah Raja Woo, yang sedang diperebutkan mereka. Kitab Sari Pepatah Raja Woo, adalah milik supeknya, mengapa Kim Ting Sa juga dapat mempunyainya? Ia sedari tadi sudah ingin keluar dari tempatnya, sewaktu melihat Kepala Setan Srigala menyerang, ia membatalkan niatannya. Kemudian dilihatnya juga si nenek Setan Ratusan Kembang Pay-hoa Kui-bo juga telah datang kemari, dengan sekejap mata saja mereka bertiga akan berserikat, mana ia tidak menjadi sibuk? Maka dengan cepat ia sudah lompat keluar, untuk memutuskan pembicaraan mereka.

“Tunggu dulu,” kata Koo San Djie. “Aku ingin mengetahui, dari mana kitab Sari Pepatah Raja Woo ini didapat?”

Kim Ting Sa melihat pada Koo San Djie sebentar, tapi ia tidak melayaninya, Kepala Setan Srigala malah tidak mau melihatnya sama sekali.

Tidak demikian dengan Pay-hoa Kui-bo, dengan mengetrukkan tongkatnya, ia membentak:

“Kau siapa? Berani bicara di sini?”

“Aku Koo San Djie!” jawabnya marah.

Lalu dihadapinya Kim Ting Sa dan berkata:

“Kim Ting Sa, jika kau tidak mau mengatakannya, jangan harap kau dapat pergi dari sini!”

Pay-hoa Kui-bo menjadi marah, karena ia tidak diladeni, dengan sekali angkat, tongkatnya sudah mengarah ke jurusan Koo San Djie.

Koo San Djie bagaikan sebuah gunung kecil, berdiri menahan serangan tiga kali serangan tongkat Pay-hoa Kui-bo.

Tetapi ia masih tidak mau melayaninya terus. Dengan sekali loncat saja ia sudah berada di depan Kim Ting Sa kembali. Dengan keras ia membentak,

“Apa kau tuli, tidak mendengar pertanyaanku?”

Kim Ting Sa mempunyai derajat yang tidak rendah di kalangan Kang-ouw dan juga kepandaiannya tidak berada di bawah sepasang pendekar Merpati Liu Djin Liong suami istri. Tadi ia telah mengalah kepada Kepala Setan Srigala dan Pay-hoa Kui-bo karena terpaksa. Mana ia dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Koo San Djie membentak-bentaknya?

Dengan mendadak, mukanya telah berobah. Seiring dengan kibasan lengan bajunya, sebuah aliran yang dahsyat telah datang menyerang ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie sudah tahu bahwa tenaga lawan barunya ini besar sekali, ia tidak berani terlalu memandang rendah kepadanya. Dengan sekuat tenaganya jurus Ombak menyapu Ribuan Sampah dikeluarkan memapaki datangnya serangan.

“Beleduk”. Dua tenaga saling bentur. Koo San Djie tidak tahan untuk tidak mundur setindak.

Kim Ting Sa tergetar hatinya, satu anak kecil berani mengadu kekuatan dengannya?

Matanya menjadi beringas, karena badannya tergetar juga menerima pukulan tadi. Dengan cepat, ia menyerang tiga kali beruntun, ia tidak mau membuang-buang tenaga lagi, tiga pukulan ini dikeluarkan dengan tenaga penuh. Ia merasa dan mengharapkan dengan tiga pukulannya yang keras ini, dapat membinasakan anak kecil yang kurang ajar.

Koo San Djie sekali menerima kerugian, sudah ingin maju kembali untuk menyerang, disaat ini, tiga pukulannya Kim Ting Sa bagaikan gunung saja menindih kepalanya.

Maka, dengan menggertak gigi, ia obral semua kepandaiannya, Langit dan Bumi Pandang Memandang, Hujan Angin Menderu-deru dan Sungai dan Laut Sambung Menyambung, hampir berbareng keluar dari telapak tangannya. Tapi biar bagaimanapun, ia masih kalah setingkat dengan Kim Ting Sa yang telah kawakan.

“Duk, duk, duk,......” Ia harus mundur tiga kali. Terasa dadanya bergolak dan semua isi dalamnya telah terluka.

Kim Ting Sa juga merasakan pening di kepala. Justru karena inilah yang menambah keinginannya untuk dapat membunuh mati anak yang di hadapannya.

Dengan membuka suaranya seperti genta, ia berteriak:

“Bocah kurang ajar, sambut lagi pukulanku ini.”

Sebelah tangannya dimajukan pula ke depan, dengan kekuatan yang masih ada padanya, Kim Ting Sa memukul pula.

Koo San Djie yang baru saja mengatur pernapasannya untuk dapat mengembalikan kembali tempat letaknya dari isi dalamnya, telah melihat juga, ia akan menerima serangan maut. Tapi ia tidak diberi kesempatan untuk berpikir, maka dengan merangkapkan kedua tangannya, disodorkan ke depan untuk menahan serangan ini dengan sebisa-bisanya.

Terdengar suara gemuruh yang seperti geledek, dibarengi oleh terangkatnya batu dan pasir yang berada di situ. Koo San Djie bagaikan orang yang sedang mabok keras, sempoyongan dan mundur lagi ke belakang. Dadanya seperti diiris-iris oleh pisau yang tajam. Ia tahu, inilah berarti semua isi dalamnya telah berpindah tempat dari asalnya.

Kim Ting Sa biarpun telah berhasil dengan pukulan geledeknya ini membuat Koo San Djie terluka parah, tapi ia sendiri juga tidak mudah mendapat untung darinya. Dirasakan kedua tangannya kesemutan, dadanya juga dirasakan agak sesak. Di sekelilingnya terdapat musuh-musuh yang tangguh, ia tidak meneruskan serangannya dan juga tidak berani menunjukkan lukanya. Dengan tenang, ia memaksa tertawa. Tapi dengan cepat ia mengatur jalan darahnya.

Tapi Kepala Setan Srigala dan Pay-hoa Kui-bo bukannya anak kemarin, mata mereka mana dapat dikelabui? Dengan tertawa dingin Kepala Setan Srigala sudah maju berkata:

“Kim Ting Sa, beraninya hanya terhadap anak kecil saja. Lekaslah bereskan urusan kita orang. Jika tidak, hm, nanti jangan salahkan aku Kepala Setan Srigala keterlaluan.”

Kim Ting Sa seperti tidak mendengar perkataan ini, ia hanya mengatur pernapasannya dengan menutup kedua mata.

Pay-hoa Kui-bo tertawa dingin, tongkatnya diangkat tinggi, dengan kecepatan yang luar biasa, sudah dipukulkan ke arah Kim Ting Sa.

Dari suara angin, Kim Ting Sa sudah mengetahui akan datangnya bahaya, dengan segera ia sudah membuka matanya dan membentak keras:

“Jangan kau tidak memandang mata kepadaku.”

Dua lengan bajunya dikibaskan dengan keras, bagaikan dua gunting saja, sambaran angin ini memotong datangnya serangan. Tidak menunggu sampai tongkatnya Pay-hoa Kui-bo yang kedua kalinya turun menyerang, ia sudah mendahului memukul beruntun tiga kali.

Pukulan Kim Ting Sa dahsyat sekali, Pay-hoa Kui-bo terpaksa harus mundur ke belakang. Tapi ia masih penasaran, matanya yang tadinya hampir tidak terlihat karena keriputan, kini telah dibuka lebar-lebar. Tongkatnya sudah dipalangkan, bersedia menyerang dengan lebih hebat lagi.

Tapi, mendadak dari udara terdengar suara seorang wanita:

“Pay-hoa Kui-bo, tunggu dulu. Masih ada aku Selendang Merah yang masih......”

Dibarengi oleh sinar merah yang berlelebat, seorang wanita berbaju merah yang cantik berada di antara Pay-hoa Kui-bo dan Kim Ting Sa.

Kim Ting Sa melihat orang yang datang ini menjadi lebih berkuatir. Dalam hatinya berpikir:

“Orang-orang ini mempunyai telinga yang tajam sekali.”

Pay-hoa Kui-bo yang sudah naik darah mana mau mengerti. Ia sudah menjadi semakin kalap saja, dengan galak ia membentak:

“Urusanku jangan kau coba campur tahu?”

Tongkatnya dikeprak ke depan mengarah tubuh Kim Ting Sa.

Mendadak, sinar merah berpecah, tongkatnya Pay-hoa Kui-bo yang sedang mengarah pinggang Kim Ting Sa sudah terlibat oleh selendang merahnya si Selendang Merah.

Selendang Merah tertawa berkikikkan:

“Nenek setan, buat apa kau terburu napsu?”

Tangannya Pay-hoa Kui-bo yang memegang tongkat menjadi bergetar. Maka dengan cepat ia sudah menarik kembali tongkatnya dan membentak:

“Hai, selendang Merah, mengapa kau membantunya?”

Si Selendang Merah sudah tertawa, bagaikan sekuntum bunga yang sedang mekar. Setelah tertawa sekian lama, baru terdengar ia menjawab pertanyaan si nenek:

“Semua mesti mendapat bagian. Aku juga ingin melihat kitab Sari Pepatah Raja Woo yang terkenal.”

Waktu Koo San Djie dengan diam-diam sudah dapat memulihkan kembali isi dalamnya. Sambil memuntahkan darah matinya, ia berkata:

“Dasar bangsa kurcaci yang tidak tahu malu, barang colongan saja harus diperebutkan setengah mati.”

Pemuda itu bertindak maju sampai di hadapannya Kim Ting Sa dan bertanya:

“Kim Ting Sa, aku hanya bertanya satu pertanyaan kepadamu, apa betul itu kitab Sari Pepatah Raja Woo kau dapatkan dari Makam Merpati?”

Semua orang iang berada di situ menjadi melengak. Mereka memuji anak gembala yang mempunyai nyali besar dan latihan sempurna ini. Biarpun ia telah terkena pukulan Kim Ting Sa sehingga mendapat luka dalam, tapi masih demikian gagahnya, tidak mengenal takut akan si kuat.

Kim Ting Sa tertawa sombong

“Hei, bocah, kau pernah apa dengan Liu Djin Liong? Meskipun betul kitab ini miliknya, kau bisa apa?”

Koo San Djie menjawab dengan tegas:

“Sepasang pendekar Merpati adalah supekku. Aku berhak untuk mengambil pulang kitab itu. Kau jangan harap dapat pergi, sebelum mengembalikan kitab curianmu.”

Kim Ting Sa tertawa dingin:

“Dengan kepandaianmu ini masih belum cukup untuk meminta pulang kitabnya. Kau boleh pulang dan katakan kepadanya bahwa betul kitab Sari Pepatah Raja Woo telah kuambil. Jika betul dia laki-laki, boleh datang ke tempatku lembah Sin-sa untuk mengambil pulang barangnya. Dan katakan juga aku masih ada urusan lama yang akan diselesaikan kepadanya.”

Koo San Djie menjadi marah.

“Aku tidak percaya tidak dapat menandingimu!” teriaknya.

Ia mengangkat sebelah tangannya, dari ke jauhan menengok ke arahnya.

Terdengar suara si Kepala Setan Srigala, berteriak:

“Bocah, jangan sembarangan mengacau?”

Ia maju dua langkah dan juga mengeluarkan tangannya, menahan datangnya serangan yang ditujukan ke arah Kim Ting Sa. Ia sudah dapat melihat bahwa kepandaian Koo San Djie tidak rendah, ia takut Kim Ting Sa nanti terlibat olehnya dan mengganggu urusan di antara mereka.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd