Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Lembah Merpati ( Chung Sin )

05.1. Pertarungan Dua Tokoh Tua



Koo San Djie beserta Tju Thing Thing, telah meninggalkan pulau Hay-sim, dengan menggunakan ilmu mengentengi tubuh mereka yang bisa lari pesat. Ini karena menguatirkan keselamatannya Ong Hoe Tjoe, maka sebentar saja, sudah lewat lebih dari seratus lie. Hanya kasihan Tju Thing Thing telah mandi keringat, dengan napas yang sengal-sengal, ia berteriak-teriak:

“Dapatkah kau menahan sedikit langkahmu? Apa kau mau membuat orang mati lelah?”

Koo San Djie sudah menahan langkahnya. Dilihatnya Tju Thing Thing sedang mengurut-urut dada, berhenti dengan napas senen-kemis. Selebar mukanya telah menjadi merah, bagaikan warna apel yang matang. Keringat ketel-ketel turun dari atas jidat gadis itu.

Koo San Djie baru engah akan kecepatan kakinya. Ia lupa kawan di sebelahnya ini adalah seorang wanita, dan lagi kepandaiannya tidak setinggi dirinya. Tentu saja orang tidak tahan seperti ia yang lagi dengan tidak mengenal lelah. Maka dengan sangat menyesal ia berkata:

“Karena ingin cepat-cepat menolong enci Ong Hoe Tjoe, aku menyesal, telah lari begitu cepat sehingga menyebabkan Ciecie menjadi demikian lelah, harap kau jangan marah......”

Dengan cepat ia sudah mengeluarkan sapu tangan dan maju untuk membantu mengelap keringat kawannya.

Tapi saputangan ini belum sampai di atas jidat Tju Thing Thing, bau asam lelaki telah menyerang hidungnya. Maka dengan ketakutan si nona sudah membuang muka.

“Bau asam, aku tidak mau. Kau gunakan sendiri saja,” katanya ketawa.

Sambil mengeringkan keringat dengan tertawa sang nona berkata lagi:

“Ong Hoe Tjoe mu itu dari golong mana? Cantikkah dia itu?”

Koo San Djie tidak bermaksud jelek, ia hanya ingin membantu mengelap keringatnya.

Sebentar ia mencium saputangan sendiri, dalam hatinya berkata:

“Sapu tangan tidak bau dikatakan bau asam?”

Ia mana tahu, perasaan wanita lebih tajam dari padanya. Tju Thing Thing yang sudah menjadi dewasa, mana mau mengijinkan sembarang lelaki membentur badannya.

Biarpun di muka ia mengatakan tidak suka, dalam hatinya merasa puas juga dengan tindakan pemuda itu.

Lelah dan letih baginya tidak menjadi soal, yang sangat ingin diketahuinya adalah asal usulnya Ong Hoe Tjoe dan hubungannya dengan anak muda.

Koo San Djie mendengar ia menanyakan pada Ong Hoe Tjoe, maka, wajah si gadis nelayan terbayang-bayang kembali. Bulu matanya yang lentik panjang, sepasang mata bola yang memancarkan sinar kepintaran, rambut hitam yang dikepang menjadi dua...... dan tidak lupa, tingkah lakunya sangat memperhatikannya dalam segala soal...... Semua itu telah terbayang di matanya Koo San Djie.

Hanya waktu yang pendek inilah ia menikmati kesenangan rumah tangga, suatu waktu yang bahagia, waktu yang sukar dilupakan......

Kesenangan ini telah dibikin buyar oleh datangnya tangan yang jahat. Lebih kejam dari sesuatu, lebih sedih dari rumah tangganya sendiri dirusak.

Lama kelamaan, hatinya yang panas bergolak, api kebencian telah membakar tubuh Koo San Djie, dan mengepal-ngepal tangannya, penuh kegusaran, sehingga ia lupa menjawab pertanyaannya nona Tju.

Tju Thing Thing melihat begitu, ia hanya menanyakan soal kehilangan Ong Hoe Tjoe maka Koo San Djie lantas seperti yang kehilangan semangat, hatinya tidak senang. Entah bagaimana, hatinya merasa cemburu dan jelus.

“Hai, apa kau tidur? Mengapa tidak menjawab pertanyaanku?” akhirnya ia menegur.

Bagaikan baru bangun tidur, Koo San Djie menghela napas dan menjawab:

“Ia hanya seorang anak nelayan yang tidak mempunyai kepandaian. Tapi keluarganya sangat baik kepadaku. Mereka sangat manis budi, mengenal aturan...... Ini kali, akulah yang telah merembet-rembet mereka, sehingga.......”

Mendengar Ong Hoe Tjoe hanya seorang anak nelayan yang tidak berkepandaian, hati Tju Thing Thing merasa senang. Mengapa hatinya menjadi demikian? Ia sendiripun tidak dapat menjawabnya. Dalam hatinya ia memikir:

“Jika demikian, mungkin nelayan yang baik hati terbawa-bawa oleh urusannya, sehingga mengalami nasib jelek, menyebabkan ia tidak enak hati dan terburu-buru hendak menolong nona itu.”

Maka, dengan setengah menghibur dia berkata:

“Kau jangan sibuk sendiri. Ong Hoe Tjoe yang baik tentu tidak akan mengalami kejadian apa-apa. Hanya biar bagaimanapun, kita akan berusaha untuk menolongnya.”

Bagaikan orang yang belum pulih ingatan, Koo San Djie memanggut-manggutkan kepalanya . Tapi mendadak dengan kaget ia berkata:

“Hei, coba dengarkan, di sana ada orang bertarung?”

Tju Thing Thing mendengarkan dengan teliti, tapi apapun tidak terdengar olehnya, lalu bertanya:

“Di mana? Mengapa aku tidak dapat dengar?”

Koo San Djie menggandeng lengannya Tju Thing Thing, katanya:

“Mari kita melihat!”

Mendadak, badannya lompat melesat tinggi pergi ke arah tebing sebuah gunung yang agak menurun curam.

Tju Thing Thing merasa seperti dibawa terbang ke awan-awan, ia mengikutinya dengan kaki tidak membentur tanah. Hatinya menjadi kaget dan gembira. Ia kaget, melihat umur kawan itu yang demikian muda, ia kaget atas kepandaian yang begitu tinggi, sampaipun gurunya sendiri, Thian-mo Lo-lo juga tidak nempil. Ia gembira, karena telah mendapatkan kawan muda yang berkepandaian sangat tinggi dan parasnya tampan menawan hati.

Hanya dalam sekejapan saja, berdua sudah mencapai ke atas tebing gunung yang tinggi. Tju Thing Thing tertawa berseri-seri, baru dia mau mengatakan perkataan memuji, tapi keburu distop oleh Koo San Djie, dengan menggoyang-goyangkan kedua tangannya, sembari menunjuk ke sebelah bawah mereka, ia berkata dengan perlahan:

“Di bawah tebing, ada dua orang berkepandaian tinggi sedang mengadu kekuatan. Jangan sampai kita mengganggu mereka.”

Tju Thing Thing menujukan pandangan matanya ke arah bawah, dan betul, dilihatnya seorang tua berbaju kuning berkepala botak sedang mengadu kekuatan dengan seorang hweshio beralis panjang. Tapi pandangannya tak setajam Koo San Djie, maka dengan menggerendeng ia minta datang ke tempat yang lebih dekat lagi.

Koo San Djie tidak membantah, maka dengan hati-hati mereka sudah turun mendekati, lalu duduk di sebuah batu besar, dengan tidak menimbulkan suara, menonton pertempuran tadi.

Tidak lama kemudian, Koo San Djie sudah menjadi begitu tertarik oleh kepandaian yang istimewa dari kedua orang tadi. Inilah untuk pertama kalinya, ia melihat orang yang mempunyai kepandaian tinggi mengukur tenaga. Dengan tidak terasa, perlahan-lahan ia menggunakan tangannya, mengikuti jalannya pertarungan. Ia telah memusatkan pikirannya untuk memecahkan serangan-serangan dari kedua orang tadi. sebentar saja ia merasa dirinya seperti sudah turun ke dalam medan pertarungan, ia mendapat serangan dari dua orang dalam beberapa jurusan. Ia coba mengeluarkan semua kepandaian yang belum habis dipelajari di dalam lembah gurunya.

Ia menjadi demikian tegang. Sebentar saja ia telah menjadi kelabakan. Kepalanya mengeluarkan asap putih yang halus, mengurung seluruh tubuhnya. Dengan cepat ia mengeluarkan pelajaran-pelajaran yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng, baru ia dapat mengimbangi keadaan. Inilah karena untuk pertama kalinya, ia menemui orang yang berkepandaian tinggi.

Setelah satu jam kemudian, barulah hatinya menjadi tenang, kedua matanya tidak hentinya berganti-ganti mengikuti gerakan-gerakan dua orang yang sedang bertempur itu. Badannya bagaikan patung terpaku di sana, hanya kedua tangannya yang mengikuti gerak gerik dari kedua orang itu.

Tju Thing Thing yang duduk di sebelahnya, sebentar melihat ke bawah tebing, sebentar pula melihat ke arahnya. Ia tidak mengerti, melihat Koo San Djie yang tidak bicara dan tidak bergeming. Tapi biar bagaimanapun ia adalah murid dari Thian-mo Lo-lo yang tersohor, melihat muka si pemuda yang bersungguh-sungguh, ia tidak berani sembarangan mengganggu.

Maka, dengan segera ia memusatkan pandangan ke arah bawah tebing. Ia telah merasakan kepandaiannya si kepala botak atau pun si alis panjang, semua berada di atas dari kepandaian gurunya. Umpama kata, ia yang turun ke gelanggang pertempuran, biarpun lawan tidak menggunakan tenaga dalamnya yang kuat, ia juga tidak dapat menahan sampai duapuluh jurus. Ia melihat sembari memikir, dengan tidak terasa ia telah menambah pengalamannya.

Tju Thing Thing mana mengetahui, dalam waktu yang sependek inilah Koo San Djie telah menerima ujian yang maha berat, ia seperti sedang terkurung oleh serangan-serangan dari dua orang yang berkepandaian tinggi.

Biarpun Koo San Djie menganggap dalam perumpamaan, tapi tidak beda dengan keadaan yang sebenarnya.

Sang waktu dengan cepat telah lewat, satu jam, dua jam......

Satu hari, dua hari......

Sehingga sampai hari ketiga, di bawah tebing batu terdengar bentakannya dari si orang tua berbaju kuning berkepala botak, dan kemudian berhenti menyerang. Dua orang terduduk di tempatnya masing-masing.

Koo San Djie juga mengeluarkan elahan napas lega dengan susah payah, barulah ia dapat menahannya. Ia mengira dua orang itu sudah bersedia mengadu tenaga dalam, maka ia sudah siap turun tangan untuk mendamaikannya.

Tapi mendadak si orang tua berbaju kuning berkepala botak berteriak nyaring, dengan termiring-miring ia telah mengeluarkan sebuah pukulan. Jika dilihat dalam sekelebatan, pukulan ini tidak mempunyai arti apa-apa, tapi setelah mengangkat tangan untuk menangkisnya, baru terasa perobahan-perobahannya yang sukar ditangkis. Jika sembarangan menangkis, mungkin bisa menjadi terluka.

Mendadak Koo San Djie telah mendapat cara untuk menangkisnya, dan sewaktu ia melihat si hweeshio beralis panjang yang juga telah mendapatkan cara untuk menangkisnya, mengangkat sebelah tangannya membuat sebuah lingkaran dan goresan, dengan perlahan-lahan didorongnya ke depan. Jurus ini sama dengan jurus yang Koo San Djie telah temukan.

Dua orang di bawah tebing belum berhenti, sejurus demi sejurus, segebrak demi segebrak, bertarung semakin ramai dan semakin aneh. Waktu yang diperlukan untuk memecahkan serangan, semakin lama juga semakin panjang. Tapi yang mempunyai otak lebih encer, setelah dapat membuka sebuah jalan, jurus-jurus yang selanjutnya dalam waktu yang singkat saja sudah dapat dipecahkan semua, bahkan masih ada waktu untuk balas menyerang sang lawan.

Pertarungan kepintaran dan kepandaian ini, setelah berjalan setengah harian, mendadak si hweeshio alis panjang berhenti menyerang dan berkata kepada lawannya:

“Saudara Tiauw, sampai di sini sajalah pertarungan kita ini. Seterusnya untuk menentukan siapa yang menang, marilah kita mengadu pandangan mata di atas badannya anak itu,” tangannya menuujuk ke arah Koo San Djie.

Orang tua botak itu menengok ke atas, memandang Koo San Djie sebentar lalu menanya:

“Dengan cara yang bagaimana?”

Hweeshio alis panjang menggapaikan tangannya ke jurusan tebing dan berkata:

“Dua saudara kecil, mari turun ke bawah.”

Koo San Djie dan Tju Thing Thing berpandangan sebentar, lalu kedua-duanya telah loncat turun ke bawah. Yang pertama loncat ialah Tju Thing Thing, dengan menutulkan sedikit ujung kakinya, bagaikan burung saja ia sudah terbang ke bawah. Turunnya bersikap duduk, kedua tangannya siap menekan ke tanah, badannya sudah meluncur dengan cepat. Disusul oleh Koo San Djie, setelah merendeng Tju Thing Thing, dia melempangkan badannya, mereka kedua sama-sama menginjak tanah.

Hweeshio alis panjang menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata kepada si orang tua botak:

“Kita berdua, sama-sama tidak mengetahui, dari mana asal perguruannya saudara kecil ini. Bagaimana jika kita mengadu pandangan mata, menebak tinggi rendahnya kepandaian dari saudara ini.”

Orang botak itu tertawa berkakak.

“Bagus...... bagus....... Suatu cara yang baru......” jawabnya.

“Silahkan saudara Tiauw menebak terlebih dahulu,” kata hweeshio alis panjang.

Orang tua botak setelah mengawasi Koo San Djie beberapa lama, lalu berkata:

“Anak ini mempunyai bakat tulang yang bagus, dasar tenaga yang dalam yang kuat. Kepandaiannya di atas dari anak-anak muda lainnya di kalangan Kang-ouw. Duapuluh tahun lagi kita pun bukan tandingannya pula.”

Setelah menghela napas, hweeshio alis panjang berkata:

“Omitohud. Jangan kata duapuluh tahun, sekarangpun, di antara kita berdua, jangan harap dapat melawan sampai seratus jurus.”

Orang tua botak dengan tertawa sombong berkata:

“Kau jangan mengangkatnya terlalu tinggi, aku Tiauw tua, jika dalam seratus jurus jatuh di bawah tangannya, dengan rela, aku jadi budak pengiringnya untuk melayaninya seumur hidup. Tapi jika dia kalah? Kau akan berbuat bagaimana?”

Hweeshio alis panjang tertawa, sambil menepok-nepok kepalanya ia berkata:

“Kepalaku ini akan kuserahkan kepadamu.”

Mendengar pertaruhan itu, hati Koo San Djie menjadi tergetar. Maka, dengan cepat maju ke muka dan berkata:

“Boanpwe tidak sanggup menerima pertaruhan ini, harap kedua Cianpwee mencari pertaruhan yang lain saja.”

Hweeshio alis panjang menggoyang-goyangkan tangannya.

“Legakan hatimu, jika terjadi sesuatu, aku tidak akan menyalahkan padamu,” katanya penuh kepercayaan.

Orang tua botak mengerutkan keningnya.

“Aku Tiauw Tua, sebelumnya telah berkata, tidak mau aku menguntungi diri sendiri. Ini kau sendiri yang terlalu percaya kepada pandangan matamu. Tapi legakanlah hatimu, jika beruntung aku yang menang, cukup orang Kang-ouw mengetahui bahwa pandanganku Tiauw Tua lebih tinggi dari pandanganmu sedikit...... ha......ha.”

Tingkah lakunya ini seperti telah memastikan bahwa kemenangan sudah berada di pihaknya.

Hweeshio alis panjang yang sudah percaya kepada dirinya, hanya tertawa dengan tenang.

“Silahkan mulai!” katanya.
 
Harap Cianpwee melanjutkan kisahnya... :D

Lohu tak sanggup berlama-lama berkelana didunia kang-ouw tanpa membaca lanjutannya.
Harap Andy-tayhiap bermurah hati mengobati dahaga lohu... :ampun:

:beer:
 
Ya harap tuan muda andy melanjutkannya. Hamba hanya orang miskin akan ilmu kanuragan. Mudah2an setelah membaca lanjutannya hamba bisa mengambil intisari ilmu yang tuan muda andy berikan. :ampun:
 
05.02 Termakan Kesombongan Hati



Lalu ia menghadap ke arahnya Koo San Djie dan berkata:

“Kau lawanlah dengan tenang, semua akibat akan ku tanggung.”

Koo San Djie terpaksa, sambil menjura ia berkata:

“Boanpwe terima perintah.”

Ia cukup mengetahui adat dari orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka selalu tidak mau menyerang terlebih dahulu. Maka setelah memberi hormatnya, ia mengangkat sebelah tangannya dan mengeluarkan sebuah pukulan ke depan.

Si orang tua kepala botak telah terkenal lama di kalangan Kang-ouw, kepandaiannya lebih tinggi setengah tingkat dari pada Thian-mo Lo-lo dan si Sastrawan Pan Pin, adatnya tidak kalah berangasannya dari pada Thian-mo Lo-lo. Sedari ia terjun di kalangan kang-ouw, kecuali si Hweeshio alis panjang ini yang masih dapat menandinginya, yang lain tidak ada yang dipandangnya dengan sebelah mata. Sebetulnya, si Hweeshio alis panjang tidak mempunyai niatan untuk mengadu kekuatan dengannya, tapi setelah didesaknya sampai beberapa kali, maka terjadi pertarungan yang seru ini.

Demikianlah, Tiauw Tua yang melihat Koo San Djie telah mulai menyerang, tentu menjadi kaget juga, melihat serangan si pemuda ternyata istimewa. Meskipun yang berada di hadapannya adalah seorang anak yang masih belasan tahun usianya, tapi setelah ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tidak berani memandang enteng lagi. Ia lompat kekiri mengelakkan serangan, dan mulai balas menyerang.

Kepandaiannya telah diyakinkan selama puluhan tahun, ia lebih banyak pengalaman bertempur. Ilmu pukulannya Tiauw-liong-ciang dapat menghancurkan batu gunung. Setiap kali ia menyerang, tentu mengandung tenaga yang dahsyat. Dalam beberapa gebrakan saja, di sekitar tempat mereka bergerak terlihat bayangan-bayangan telapak tangannya.

Pertama kali Koo San Djie menemui lawan tangguh, dengan menggunakan pukulan Hian-oey-ciang, sejurus demi sejurus, ia melawan dengan hati-hati. Telah tiga hari ia menonton pertarungan dari atas tebing yang telah menambah banyak pengalamannya, maka ia dapat bertarung dengan leluasa. Semakin lama, gerakannyapun telah menjadi semakin lancar, hingga ia dapat melawan si orang tua kepala botak Tiauw Tua yang telah malang melintang di kalangan Kang-ouw puluhan tahun lamanya.

Gerakan-gerakan badan dari mereka sama cepatnya, serang menyerang dilakukan dengan saling susul. Sebentar saja, pertandingan sudah lebih dari sembilanpuluh jurus. Biarpun Tiauw Tua tidak menyangka kepandaian dari anak yang masih bocah ini sedemikian tangguhnya, tapi ia masih dapat menenangkan diri, ia percaya, dengan kepandaiannya, tentu dapat menahan sepuluh jurus lagi, walau dengan serangan yang bagaimana hebatpun juga.

Tju Thing Thing yang berdiri menonton pertandingan sudah menjadi gelisah bukan main. Seperti juga ia ingin membikin sadar kepada Koo San Djie, mulutnya dengan tidak terasa telah nyeletuk:

“Sembilanpuluh empat, sembilanpuluh lima, sembilanpuluh enam......”

Koo San Djie baru tersadar dari tidurnya.

Dalam hatinya berkata:

“Cilaka, karena keenakan bertarung, sampai lupa akan menghitung jurus. Kini hanya tinggal empat jurus lagi......”

Hatinya sudah menjadi agak bingung. Ia lalu mengeluarkan beberapa jurus terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng. Dari samping, dia mengeluarkan jurus tipu yang bernama Langit dan Bumi Pandang Memandang.

Tiauw Tua yang melihat ini, tentu saja menjadi terbelalak kaget dan mundur beberapa tindak, ia belum pernah melihat kepandaian yang seperti itu. Belum juga ia hilang kagetnya, tiba-tiba jurus yang kedua dengan gaya pukulan Hujan dan Angin Menderu-deru, telah datang......

Bagaikan angin topan mengamuk dan gunung meletus, batu-batu pun terbang, mengelilinginya turun untuk menggencet.......

Tanpa diberi kesempatan untuk berpikir, jurus ketiga telah datang mengarah embun-embun Tiauw Tua.

Tigabelas jurus dari pelajaran kitab Im-hoe-keng yang terakhir diciptakan menurut arah jalan darah manusia. Jurus pertama begitu keluar, jurus kedua, ketiga....... sudah saling sambung menyambung. Sampai orang yang menggunakan ilmu pukulan yang ampuh itu sukar untuk menahannya. Koo San Djie tidak tahu akan kelihaian ilmu itu.

Sewaktu jurus kedua dilancarkan, Tiauw Tua sudah sampai di ujung maut. Sampai di sini Koo San Djie sudah ingin menahan serangannya, tapi bagaikan gendewa yang sudah ditarik penuh, jurus ketiga sudah tidak dapat, ditahan lagi......

Tiauw Tua sudah memejamkan mata, menunggu akan ajalnya. Tapi dalam keadaan genting itu mendadak terdengar teriakan yang memekakkan telinga, hweeshio alis panjang sudah lompat terbang ke sebelahnya Tiauw Tua, dengan cara bersama-sama, mereka berdua menahan serangan yang maha dahsyat dari jago kita. Dengan cara demikian nyawa Tiauw Tua tidak sampai melayang ke akherat.

Koo San Djie tergetar ke samping, dengan enteng turun menginjak tanah. Sangat beruntung, mereka bertiga tidak mengalami celaka apa-apa. Tapi Koo San Djie sudah mengeluarkan keringat dingin. Dalam hatinya berkata:

“Pantas guruku mengatakan, jangan sembarang menggunakan kepandaian ini, tidak disangka ia mempunyai kekuatan yang demikian hebat!”

Setelah sekian lama, baru Tiauw Tua dapat mengembalikan semangatnya, dengan tidak terasa telah mengelah napas. Si orang tua yang tadi begitu sombong dan mempunyai penuh kepercayaan atas dirinya sendiri, telah menjadi demikian lesunya.

Koo San Djie sudah merasa tidak enak hati. Ia lalu maju untuk meminta maaf. Dengan penuh rasa menyesal ia berkata:

“Locianpwe harap jangan gusar, boanpwee sudah tidak keburu untuk menarik kembali serangan tadi.”

Tiauw Tua menggoyang-goyangkan kepalanya, dengan tertawa pahit ia berkata:

“Kau jangan merendah, jika kau tidak mengenal kasihan, mana aku masih mempunyai nyawa lagi sekarang? Dengan terus terang kukatakan kepadamu, bahwa aku kalah dengan sejujurnya. Sebelumnya aku telah mengatakan, jika aku kalah, dengan rela akan menjadi pengiringmu. Silahkan kau memberi perintah, tidak perlu sungkan-sungkan lagi.”

Koo San Djie terkejut:

“Locianpwe, jangan berkata demikian aku tidak dapat menerimanya.”

“Kongcu jangan sungkan. Aku mana boleh menarik perkataanku. Kalau kau menolak berarti kau tidak memandang padaku.”

Koo San Djie tidak berdaya terhadapnya, dengan terpaksa ia berkata:

“Bagaimana sajalah, aku membahasakan kau toako, dan kau memanggil adik padaku.

Tiauw Tua masih menggeleng-gelengkan kepalanya.

T’ju Thing Thing yang melihat dua orang membawa kemauannya sendiri-sendiri dan tidak ada habis-habisnya, sudah menyelak berkata kepada Tiauw Tua:

“Kau memaksa adik San menjadi majikanmu, maukah kau mendengar perintahnya?”

“Sudah tentu aku akan menurut segala perintahnya,” Tiauw Tua menjawab dengan sungguh-sungguh. “Aku tidak akan menarik kembali perkataanku.”

Tju Thing Thing tertawa cekikikan, katanya:

“Ia menyuruhmu membahasakan saudara kecil, mengapa kau tidak menurut?”

Baru sekarang Tiauw Tua tidak berdaya dengan terpaksa ia memanggut-manggutkan kepalanya.

Hweeshio beralis panjang, setelah menunggu sampai urusan mereka ini selesai, baru maju ke muka, dengan merangkapkan kedua tangannya ia berkata kepada Koo San Djie.

“Kongcu yang sangat mengerti aturan ini, dengan hati yang berbudi mempunyai hari depan yang gilang gemilang. Aku mempunyai beberapa perkataan, yang mungkin kurang enak untuk didengar, bersediakah kongcu mendengarnya?”

Dengan membongkokkan badannya, Koo San Djie berkata:

“Boanpwe yang rendah bersedia mendengarnya.”

Hweeshio beralis panjang bersabda:

“Omitohud. Sukar untuk menemui orang yang mempunyai pandangan luas saperti kongcu ini...... Kongcu mempunyai bayangan rontok kembang yang mengandung banyak tali asmara, tapi alis yang berdiri tinggi, mengandung banyak pembunuhan. Semoga, dengan budi luhur yang tersimpan di dalam hati, harap kongcu dapat mengatasi ini semua...... Pada saat ini, hawa marah telah mengurung seluruh kepalamu, tapi di atas jidat, terbayang bintang yang mungkin mengandung marah bahaya. Harap kongcu dapat mengerjakan sesuatu dengan hati-hati. Biarpun demikian, urusan dapat berjalan dengan lancar, djika tiba pada saatnya, penolong akan datang tanpa diundang......”

Setelah mengatakan ini semua, hweeshio alis panjang itu sudah membalikkan badannya dan melesat pergi dari situ. Dari kejauhan, hanya terlihat jubahnya yang berkibaran.

Tapi Tiauw Tua tertawa berkakakan.

“Ha, ha,...... hweeshio tua,” ia berkata, “Obrolanmu ini hanya dapat membohongi orang yang bodoh. Aku Tiauw Tua tidak percaya sama sekali. Jangan dikata, saudara kecil ini yang mempunyai kepandaian istimewa, biarpun aku Tiauw Tua, dengan mengandalkan kepandaian seupil inipun tidak pernah mengalami bahaya suatu apapun......”

Koo San Djie setengah percaya dan setengah tidak, dia telah menyelak:

“Ia memberi pesan untuk kebaikanku. Tidak perduli benar tidaknya, tidak ada salahnya untuk kita berhati-hati menjaga diri.”

Melihat Koo San Djie mengatakan demikian juga, Tiauw Tua tidak membantah lagi, hanya menanyakan tentang soal selanjutnya.

Sampai di sini, baru Koo San Djie ingat akan urusannya Hay-sim Kongcu. Mulutnya terdengar beberapa kali berteriak:

“Cilaka! Aku di sini telah tertunda tiga hari. Urusan akan menjadi terlantar oleh karenanya.”

Kemudian, diceritakan kejadian tentang Ong Hoe Tjoe dan Hay-sim Kongcu, tentu saja serba singkat.

Tiauw Tua belum bisa meninggalkan adatnya yang cepat naik darah, dia sudah menjadi marah. Dengan sangat sengit ia berkata:

“Di kalangan Kang-ouw, orang hanya memuji Lembah Merpati begini dan begitu, menganggap pemimpinnya sebagai dewa. Tapi aku Tiauw Tua mana percaya? Kini telah terbukti, bagaimana perbuatan mereka, nyalinya sudah menjadi semakin besar. Urusan tidak dapat ditunda pula, aku akan jalan terlebih dulu, agar bisa membuka jalan untukmu.”

Ia telah melemparkan badannya, bagaikan asap kuning ia telah melesat terbang melewati tebing.

Tju Thing Thing sudah menjadi kegirangan, dengan bertepok-tepok tangan, ia berkata:

“Tidak disangka, dalam kesalahan telah mendapatkan seorang pengiring yang mempunyai kepandaian demikian tinggi. Suatu kejadian yang sangat lucu sekali.”

“Dia adalah cianpwe dari rimba persilatan,” Koo San Djie berkata, “Kita tidak dapat menganggapnya sebagai pesuruh, kita harus menghormatinya.”

Tju Thing Thing sudah menjebikan bibirnya. Terdengar ia berkata:

“Apa kau saja yang mengetahuinya? Apa aku belum kenal? Terus terang kukatakan kepadamu, aku telah lama mendengar namanya, derajatnya lebih tinggi dari pada guruku. Siapa kata, aku tidak menghormatinya?”

Sampai di sini, Koo San Djie sudah tidak berani banyak mulut lagi.

“Mari kita melanjutkan perjalanan pula.” Akhirnya ia mengajak si nona pergi.

Mereka berdua membuntuti bayangan Tiauw Tua, dengan cepat menuju ke arah selatan.

Kepandaian Tiauw Tua mana dapat dipandang ringan? Ditambah pula, Koo San Djie yang masih harus memperhatikan Tju Thing Thing, tidak dapat menambah kecepatannya. Maka sebentar saja, bayangannya sudah lenyap sama sekali. Di depan hanya tertampak gunung-gunung yang bersusun-susun. Haripun telah mulai menjadi gelap.

Tju Thing Thing sudah mengusulkan mencari tempat untuk mengasoh, Koo San Djie tidak berani tidak melulusi. Tapi sewaktu memandang ke sekitarnya, ia merasa cemas. Di daerah pegunungan yang sepi ini, mana ada orang yang berani tinggal? Maka dengan terpaksa mereka berdua melanjutkan perjalanan malam.

Tiba-tiba di antara lembah gunung, terlihat sinar api berkelebat. Tju Thing Thing sudah berteriak girang:

“Hura! Di tempat sinar terang itu, tentu akan dapat menemui rumah-rumah penduduk.”

Dengan menambah kecepatan larinya, mereka sudah menuju ke arah sinar terang tadi. Tapi baru saja mereka berada di mulut lembah, suatu pemandangan yang sangat menakutkan telah terbentang di hadapan mereka. Hampir saja Tju Thing Thing menjadi pingsan. Dengan kedua tangannya yang masih ditaruh di atas dadanya yang berdebar-debar, ia menjerit sambil mundur beberapa tindak.

“Setan, setan......!”

Koo San Djie dengan cepat telah dapat memeganginya. Perlahan-lahan ia bertanya:

“Apa yang telah kau lihat?”

Dengan muka pucat, Tju Thing Thing menunjuk ke bawah lembah dan berkata:

“Kau lihat, lihat...... Ou, sangat menakutkan sekali.”

Setelah berkata sampai d sini, ia sudah menyelipkan kepalanya di dalam pelukannya Koo San Djie.

Si pemuda mengarahkan pandangannya ke dalam lembah, menurut arah yang ditunjuk, ia telah menjadi kaget.

Dalam lembah yang demikian luasnya telah penuh dengan tulang kerangka manusia, di tengah-tengah dari tumpukan tulang-tulang putih itu ada duduk bersila seorang laki-laki dengan rambut panjang yang riap-riapan. Dari lubang telinga, hidung dau mulut, tidak henti-hentinya mengeluarkan gumpalan asap biru, mengikuti gerakan dari napas makhluk tersebut.

Ternyata orang ini sekarang meyakinkan semacam ilmu jahat yang lihay.

Terlihat ia meremas-remas kedua tangannya bagaikan mau mencengkeram tulang-tulang putih. Dari tumpukan tulang itu terlihat gumpalan api biru, yang oleh si orang aneh disambut dengan mengangakan mulutnya, dan masuklah gumpalan api biru tadi ke dalam tenggorokan.

Dengan cara demikian, ia tidak henti-hentinya menyedot gumpalan api biru tadi.

Mereka berdua sedang kememek melihatnya, mendadak Tju Thing Thing sudah berteriak pula:

“Kau lihat, di sanapun terdapat satu lagi!”

Koo San Djie menoleh ke arah yang ditunjuk oleh tangannya si gadis. Betul saja, dari tumpukan tulang putih itu muncul pula sebuah kepala orang. Yang ini adalah nenek bongkok dengan roman muka yang jahat, dari telinga, hidung dan mulutnya, juga mengeluarkan asap biru.
 
05.03 Ilmu Yun-ling-pay-kuk-kang yang Berbisa




Sepasang suami istri ini terkenal sebagai dua siluman dari kalangan Kang-ouw. Setan Gunung dan Kalong-wewe yang telah meyakinkan ilmu Yun-ling-pay-kuk-kang di gunung Fuk-niu, karena telah banyak membunuh orang, telah dihajar adat oleh si orang tua Berbaju Ungu.

Tidak disangka, mereka ini sudah pindah kemari, bahkan kepandaiannya Yun-ling-pay-kuk-kang sudah mencapai tingkatan yang kesembilan.

Tju Thing Thing yang sudah berteriak kalang kabut, menyebabkan terganggunya dua siluman ini. Dua pasang sinar mata yang biru, bagaikan pelita mencorot ke atas tebing, mulutnya mengeluarkan suara cit-citan seperti hantu. Mendadak, tubuh dari kedua jejadian ini terbang melambung ke atas, berdiri di atas tebing.

Sedari melihat, Tju Thing Thing tidak henti-hentinya menjerit-jerit, Koo San Djie sudah mengetahui, urusan tidak akan berakhir sampai di sini, ia sudah mengerahkan seluruh Bu-kit-sian-kang nya, siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Dengan keras ia sudah membentak ketika dua orang aneh itu yang kini sudah berdiri di hadapannya:

“Kau ini manusia apa siluman? Mengapa menggunakan tulang manusia untuk melatih diri, apa memang kalian tidak mempunyai prikemanusiaan?”

Dengan suaranya yang gerowak gerowek, si Setan Gunung berkata:

“Apa yang dinamakan prikemanusiaan? Aku kebetulan sedang kurang sepasang muda mudi, dengan adanya kau di sini, seperti mengantarkan diri, memang sangat kebetulan sekali.”

Tsdinya Tju Thing Thing ketakutannya setengah mati kini, setelah melihat si Setan Gunung bisa bicara, ia sudah tidak menjadi takut lagi. Ia segera menghunus pedang dari sarungnya. Terdengar ia membentak:

“Demi keamanan manusia, aku akan membunuh kau berdua.”

Terlihat sinar pedang berkelebat, ia sudah berada di atas si Setan Gunung dan mengarahkan ujung pedangnya ke atas kepala orang.

“Berani kau melawan? Kau hanya mengantarkan jiwamu saja!” si Setan Gunung berteriak marah.

Ia telah mengeluarkan cengkraman setannya mengarah batang pedang.

Tju Thing Thing tidak membiarkan pedangnya direbut, ia memutarkan diri, berpindah kaki, pedangnya yang enteng sudah menyerang lagi......

Koo San Djie takut Tju Thing Thing mendapat rugi, maka dia maju untuk menggantikannya. Tapi, mendadak dari belakang terasa angin menyerang, dengan segera ia membalikkan badannya, jurus tipu Ombak Menyapu Tumpukan Sampah, telah keluar dan mendorong balik serangan tadi.

Yang menyerang dari belakang ialah Kalong Wewe, siapa sudah menjadi terpental beberapa tindak jauhnya. Dengan mengeluarkan suara yang lebih jelek dari suaranya burung hantu, ia berkata:

“Yang datang ialah orang dari setan Baju Ungu......”

Dengan tangannya yang hanya tinggal kulit pembungkus tulang, ia maju kembali. Dari serangan telapak tangannya terlihat gumpalan api biru, dengan bau bacin yang bisa dibikin mual orang yang menyedotnya. Dalam sekejapan mata saja, di sana sini terlihat berkeredepannya api biru yang sangat menakutkan.

Tapi dengan Bu-kit-sian-kang, Koo San Djie melindungi tubuhnya, dia tidak takut dengan segala kepandaian jahat ini. Dengan pukulannya yang istimewa ia sudah menyerang berkali-kali.

Tidak demikian dengan Tju Thing Thing, dia sedang melawan si Setan Gunung. Dalam duapuluh jurus yang pertama, ia masih dapat balas menyerang, tapi lama kelamaan, ia sudah terkurung oleh api biru si kakek.

Koo San Djie menjadi gelisah, dengan keras ia mendesak mundur si Kalong Wewe, maka dia bebas dan berbalik membantu si nona, tapi terlambat.

Tju Thing Thing sudah terkena pukulan di pundak. Dengan sekali menjerit ia rubuh di tanah.

Mata Koo San Djie sudah merah seperti memancarkan api, bergantian tangannya melepaskan pukulan-pukulan yang keras, inilah simpanan dari seluruh tenaganya. Bagaikan memecah batu menggetarkan bumi, angin pukulannya yang menderu-deru, membawa debu dan batu menyerang ke arahnya si Setan Gunung.

Setan Gunung mana berani menyambuti serangan ini, ia sudah melompat ke samping dengan meninggalkan Tju Thing Thing yang terluka.

Koo San Djie telah menggunakan kesempatan bagus, menyambar tubuh Tju Thing Thing, dengan menggunakan tipu Awan dan Asap Lewat di Mata, mereka menghilang dari tempat itu.

Dengan mengempit Tju Thing Thing, Koo San Djie berlari lama, demikian sehingga di depannya ada berdiri sebuah kuil kecil yang telah rusak. Maka dengan cepat dia lari masuk ke dalam kuil tadi.

Mendadak, dari samping telah muncul seorang dan berkata:

“Yang datang apakah saudaraku?”

Inilah suara Tiauw Tua. Seketika itu hati Koo San Djie menjadi lega.

“Toako, Tju Thing Thing telah terIuka......” katanya gugup.

Tiauw Tua menjadi kaget. “Siapa yang telah melukai?” tanyanya.

Bersama-sama, mereka masuk ke dalam pendopo yang telah terang, karena Tiauw Tua tadi telah menyalahkan api. Dengan meminjam terangnya api, baru mereka dapat melihat keadaannya Tju Thing Thing.

Muka Tju Thing Thing yang tadinya putih sudah menjadi hitam biru, begitu pula dengan seluruh tubuhnya, napasnyapun telah menjadi pendek-pendek, lupa orang. Ini membuat mereka menarik napas dan bingung.

Koo San Djie sudah menjadi gelisah, meremas-remas tangannya sendiri dan berkata:

“Toako, bagaimana?”

Dengan tegang Tiauw Tua mendekati Tju Thing Thing, pertama-tama, diperiksanya urat nadi, lalu menempelkan telinga di atas dada si gadis. Tapi hidungnya yang tajam sudah merasakan bau busuknya mayat. Maka ia bertanya:

“Inilah ilmu jahat dari Yun-ling-pay-kuk-kang. Di mana kalian telah bertemu dengan siluman itu?”

Koo San Djie menuturkan pengalamannya yang belum lama dialami olehnya.

Tiauw Tua menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar ia berkata:

“Ini ilmu Yun-ling-pay-kuk-kang ada jahat sekali, siapa yang menerima pukulannya, dalam duabelas jam, akan menjadi bengkak dan lumer, berubah menjadi segumpalan cairan kuning. Kecuali mendapat obat pemunah dari si penyerangnya, tidak ada lain jalan.”

Lalu, ia menjelaskan juga tentang Yun-ling-pay-kuk-kang ini.

“Untuk melatih ilmu ini, harus tidak mengenal prikemanusiaan. Dengan menggunakan tigaratus mayat manusia dan menyedot hawa busuk yang beracun, baru bisa menyelesaikannya. Jika bukan orang yang sudah hampir hilang ingatan, tidak nanti dapat meyakinkan ilmu ini. Kita harus dengan segera mencari si Setan Gunung untuk mendapatkan obat pemunahnya.”

Mendengar bahwa Yun-ling-pay-kuk-kang demikian jahatnya, Koo San Djie menjadi marah. Orang yang kini berbaring di hadapannya, yang tadinya sangat cantik dan lincah, sebentar lagi akan menjadi segumpalan cairan kuning. Siapa yang menyaksikannya tidak akan menjadi sedih? Ia mempunyai perasaan yang sangat tajam, hatinyapun cepat tergerak dengan mudah.

Pengalaman yang pahit dari keluarga Ong Hoe Tjoe belum lagi lenyap, sudah ditambah lagi dengan cara meninggalnya Tju Thing Thing yang penasaran ini. Ia masih merupakan seorang anak yang baru belasan tahun, mana dapat ia menahannya? Pukulan-pukulan batin yang melampaui batas yang telah dideritanya telah menyebabkan ia hampir tidak dapat menguasai otaknya. Mendadak ia menjerit-jerit:

“Oh dunia, mengapa kau menciptakan demikian banyaknya orang jahat?”

Dengan sebat, tangannya mengeluarkan sebuah benda hitam mengkilap yang merupakan pit, dalam keadaan kalap ia berkata:

“Pit wasiat, aku akan mengandalkanmu, membunuh semua orang jahat yang ada dalam dunia. Aku Koo San Djie, jika lupa akan sumpahku di hari ini, sebagai inilah bagiannya.”

“Plak,” terdengar suara meja somplak yang telah terkena benturan Pit Badak Dewa tadi. Pecahan kayu meja telah berhamburan di mana-mana.

Keadaan yang kalap itu, telah membuat Tiauw Tua menjadi kuatir tapi ia lebih berpengalaman, mengetahui percuma saja sampai si pemuda melampiaskan hawa amarahnya. Tapi matanya yang telah membentur pada Pit Badak Dewa yang hitam mengkilap itu hatinya tiba-tiba menjadi sangat girang. Ia mempunyai pengetahuan yang luas, dan sudah dapat mengenalinya kepada Pit Badak Dewa yang dapat mempunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat juga. Maka sambil berteriak-teriak girang, ia berkata:

“Sandaraku, tenang, tenang, nona Tju akan tertolong.”

Koo San Djie membalikkan badannya dan menanya:

“Dengan cara apa?”

“Kau tunggu sebentar, aku akan menyediakan alat-alat keperluan.”

Lalu, ia membalikkan badan, lari ke dalam ruangan untuk mencari sebuah teko dan mangkok air, kemudian berkata pada si pemuda:

“Bawa kemari Pit Wasiat Badak Dewamu itu!”

Dengan cepat, Koo San Djie menyodorkan barang yang diminta.

Tiauw Tua menerima pit tadi, lalu dimasukkannya ke dalam mangkok yang telah penuh air, kemudian diudek-udek sekian lama.

Koo San Djie menjadi agak engah, baru ia ingat gurunya pun pernah mengatakan kepadanya, bahwa pit wasiatnya dapat memunahkan segala macam racun mengapa ia tidak dapat mengingatnya?

Sebentar saja, air di dalam mangkok sudah menjadi keruh seperti susu, lalu dicekoki ke dalam mulut Tju Thing Thing.

Masih ada setengah mangkok sisanya, lantas disodorkan untuk dipegang oleh tangan Koo San Djie. Sambil menyobek sepotong kain dari bajunya Tju Thing Thing terus dicelupkan ke dalam sisa air tadi, Tiauw Tua berkata:

“Kini telah tiba akan giliranmu. Dengan menggunakan kain yang telah dicelupkan ke dalam air ini, gosokilah ke seluruh tubuhnya untuk membersihkan racun yang masih menempel di kulit. Aku akan keluar sebentar untuk melihat keadaan.”

Koo San Djie tidak dapat menolak, sebab tidak ada orang lain yang dapat melakukannya, kain tadi lalu digosokannya di atas kulit Tju Thing Thing. Dan betul saja, kulit yang kena gosokan kain yang dicelup tadi sudah kembali kepada asalnya.

Demkianlah ia sudah menggosokkan kain tadi, dari kepala sampai tangan dan kaki. Tapi kini timbullah suatu kesukaran pula. Bagaimanakah dengan tubuh yang tertutup dengan baju? Setelah mundur maju setengah harian, dengan memberanikan diri, ia membuka kancing bajunya si nona, lalu menggosok dari atas pundak dan terus turun ke bawah......

Sewaktu tangannya menyentuh buah dada, deburan jantungnya bertambah cepat, kedua tangannya bergemetaran, otaknya sudah menjadi kosong sama sekali. Inilah suatu percobaan yang penting. Ia sudah menjadi kememek, berdiri di tempatnya, lupa akan tugas yang telah jatuh di atas pundaknya.

Tetapi, mendadak badannya Tju Thing Thing yang sudah hampir kaku perlahan-lahan sudah mulai bergerak. Koo San Djie baru mendusin, dalam hatinya ia memaki sendiri:

“Bagaimanakah aku ini?”

Untungnya dia mempunyai dasar kepandaian yang tinggi, setelah melihat keadaan tidak benar, sudah lantas dapat menenangkan dirinya. Sebantar saja, pikiran tadi telah lenyap terbang ditiup angin. Dengan perlahan-lahan berkata:

“Ciecie, Ciecie......”

Pada waktu itu, racun yang berada dalam badannya Tju Thing Thing sudah hampir menjadi bersih sama sekali. Lalu dibuka kedua matanya, dilihatnya ia tertidur di dalam sebuah kuil yang sangat kotor, dengan Koo San Djie yang sedang mengawasi berdiri di sampingnya.

Ia mencoba membalikkan badannya untuk berdiri, tapi mendadak badannya seperti merasa dingin. Ia sangat kaget dan melihat bajunya telah terbuka. Dengan mempelototkan kedua matanya, ia sudah menegur kepada Koo San Djie.

“Mengapa kau berdiri di sini saja?”

Sebenarnya ia sudah mengetahui orang membuka bajunya dengan kepentingan menolong jiwanya. Koo San Djie berdiri di sebelahnya adalah untuk menjaga. Tapi sudah menjadi suatu sifat wanita yang selalu menyalahkan orang lain. Dan yang mendapatkan kesalahan adalah orang yang dicintainya.

Koo San Djie menyodorkan mangkok yang masih berisi air pemunah racun kepadanya dan berkata:

“Masih ada kulit yang hitam, kau gosoklah dengan air ini, tentu sembuh.”

Kedua kakinya bergerak, kemudian lompat keluar.

Tiauw Tua sedang mundar mandir di pekarangan luar, sambil menggendong tangan, dia menunggu perkembangan, melihat Koo San Djie sudah keluar sudah lantas bertanya:

“Bagaimana keadaannya?”

“Sudah sembuh!” jawab Koo San Djie girang.

Terdengar pula Tiauw Tua berkata:

“Bagus. Di depan telah terlihat pertandaan dari pulau Hay-sim, tentunya mereka sudah menemukan jejak musuh.”

“Jika demikian, marilah kita pergi melihatnya,” Koo San Djie mengajak.

Pada waktu itu Tju Thing Thing juga sudah lari keluar untuk menghampiri mereka.

Tiauw Tua melihat si nona sudah sembuh kembali, hatinya girang dan memuji Pit Badak Dewa milik Koo San Djie.

“Sebagaimana biasa, ini kalipun aku yang pergi terlebih dahulu untuk membuka jalan,” berkata Tiauw Tua seraya ketawa.

Baru saja mereka keluar dari mulut lembah, di beberapa tempat telah terlihat tanda-tanda bahaya dari pulau Hay-sim. Tanda arah ialah jurusan Barat-daya.
 
BAB 06.01 Lembah Merpati, Impian Pendekar Muda




Pada waktu itu telah sampai di akhir musim semi. Daun-daun telah mulai pada rontok. Di daerah pegunungan yang tandus, sewaktu-waktu masih terdengar berkicaunya burung-burung yang mengharukan. Demikianlah telah mengingatkan sang waktu yang ramai telah berlalu......

Berlalunya waktu tidak pernah dapat ditawan, dengan cepat dibawanya umur manusia ke tempat pintu akhir ajal.

Koo San Djie bersama Tju Thing Thing tidak mempunyai perasaan ini. Mereka sedang berusaha, bagaimana untuk menemukan sastrawan Pan Pin dan Thian-mo Lo-lo sekalian.

Baru saja lewat pada sebuah tikungan di pegunungan, di depan. terlihat pepohonan yang bukan main lebatnya. Mendadak, di antara sela-sela pepohonan tadi berkelebat dua bayangan dari sepasang muda mudi.

Koo San Djie mencurigai bayangan dari muda mudi tadi, ia selalu menganggap mereka tentu orang-orang yang datang dari Lembah Merpati. Maka, dengan cepat ia lalu menarik Tju Thing Thing, menyembunyikan diri di belakangnya pepohonan yang lebat.

Dua muda mudi tadi, yang laki-laki berpakaian imam, yang perempuan memakai pakaian ringkas berwarna merah. Setelah sampai di tanjakan, si laki-laki sudah memberhentikan langkahnya, dengan perasaan yang sangat menyayang ia berkata:

“Adik Shia, mari kita istirahat sebentar. Kau tentu sudah merasa lelah.”

Si gadis setelah membereskan rambutnya yang kusut, dengan rupa yang sangat kolokan menjawab:

“Hee......”

Kemudian dengan pandangan yang penuh arti, ia tertawa dan telah duduk numprah di tanah.

Si laki-laki menghela napas, juga duduk di sebelah kawannya, matanya memandang jauh ke langit. Dengan penuh rasa ngeri ia berkata:

“Aku juga mengetahui, meninggalkan perguruan berarti berkhianat, tapi dengan umur kita yang beberapa puluh tahun ini mana dapat dibuang percuma? Kepergian kita ini ke dalam Lembah Merpati, biarpun belum tentu dapat panjang umur, tapi setidak-tidaknya, kita telah dapat menikmati kehidupan manusia.”

Mendengar disebutnya Lembah Merpati Koo San Djie sudah menjadi ketarik dan lebih memperhatikannya.

Dengan malas-malasan, si gadis menyenderkan kepalanya di atas dada si jejaka. Mulutnya seperti sedang mengoceh, berkata dengan perlahan:

“Ya, beruntung ada mereka yang datang, menjemput kita. Nanti, setelah kita sampai di sana, seperti mereka juga, kita akan menjadi pasangan yang tidak mengenal susah pula......”

Semakin lama, perkataannya semakin pelan sampai yang terakhir, hanya ia sendiri dapat mendengar.

Si jejaka meraihkan tangan dan memeluk pinggang yang ramping dari kawannya. Dengan bersender-senderan, mereka telah menikmati impian muluk, impian tentang Lembah Merpati yang dikatakan orang sebagai sorga dunia.

Perkataan indah yang diberitakan pada pasangan yang tak dikenal namanya telah membuat jejaka dan gadis ini telah meninggalkan perguruan mereka, cerita-cerita yang telah dilapisi oleh kembang gula telah menyebabkan dua muda mudi ini berani menempuh bahaya.

Sinar matahari yang mulai mendoyong ke barat menyinari dua bayangan ini. Dalam remang-remang, mereka seperti telah dapat merasai kesenangan seperti yang telah diceritakan tentang Lembah Merpati. Lama, lama sekali, baru mereka bermalas-malasan, mencoba berdiri lagi.

Tapi, mendadak di belakang mereka terdengar bentakan nyaring:

“Murid durhaka yang sangat kurang ajar, mengapa tidak lekas kembali?”

Dari sebelah bawah tanjakan melesat datang seorang imam tua yang berkumis panjang.

Dua orang yang melihatnya sudah ketakutan setengah mati, dengan terbirit-birit, mereka lari masuk ke dalam gerombol pepohonan.

Si imam tua berkumis panjang ketawa dingin, seiring dengan sambaran angin, ia telah mengulurkan kedua tangannya, menjambret kedua muda mudi tadi. Dalam sekejapan mata saja, jari-jari si imam tua berkumis panjang sudah mampir di leher baju kedua orang itu......

Mendadak, dari belakang sebuah pohon berkelebat bayangan yang berupa asap saja cepatnya, tangan bayangan itu dengan perlahan- lahan telah menekan pada bebokong si imam tua.

Koo San Djie dengan segera sudah dapat mengenali, itulah pukulan Wie-mo-ciang.

“Wah, celaka si imam tua!” ia berseru kaget.

Dengan cepat badannya sudah melesat ke arah bayangan tadi.

Tapi, gerakan dari bayangan tadi tidak kalah cepatnya.

Setelah melancarkan pukulan, sudah terus melesat masuk lagi ke dalam pepohonan, gerakan yang digunakannya pun “Awan dan Asap lewat di mata” juga.

Biar bagaimana, jarak Koo San Djie terlalu jauh. Ia tidak berdaya sama sekali.

Dengan telak, bebokong si imam tua telah terkena pukulan tadi. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, tubuhnya terpental lebih dari setumbak.

Sebenarnya, si imam tua ini bukan orang sembarangan, tapi karena perhatiannya sedang dicurahkan ke arah dua muridnya yang murtad, lagian Wie-mo-ciang dapat dilancarkan dengan tidak bersuara sama sekali, maka ia telah kena dibokong.

Koo San Djie tidak keburu untuk mengubar bayangan tadi yang telah masuk ke dalam pepohonan yang gelap. Dengan cepat ia menghampiri pada si imam tua yang luka.

Imam tua yang berkumis panjang yang sudah hampir tidak dapat bernapas, setelah di urut sebentar, membuka kedua matanya yang layu, dengan mengelah napas ia berkata pada Koo San Djie:

„Aku sudah tidak dapat berguna, urat nadiku telah putus.”

Dengan memaksakan diri, ia telah mengeluarkan cap batu giok dari dalam sakunya dan menurunkan pula pedang dari bebokongnya, kemudian diserahkan kepada Koo San Djie. Dengan terputus-putus, ia berkata:

“Aku adalah Yun Yan Tjie dari Ciong-lam, aku mohon pertolonganmu, agar tanda cap batu giok dan pedang Hian-ling-kiam ini dapat disampaikan kepada saudara seperguruanku, katakanlah, aku terkena bokongan dari orang Lembah Merpati dan mati di rimba sepi ini......”

Berkata sampai di sini, mulutnya sudah beberapa kali menyemburkan darah hidup. Kasihan, satu pendekar dari Ciong-lam telah mati konyol, gara-gara muridnya yang murtad.

Dengan menahan perasaan sedihnya, Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepala. Ia menggali lobang untuk kuburannya si imam tua. Lalu ia memilih setangkai dahan kayu, dengan pedang ia menulis

“Yun Yan Tjie dari Ciong-lam”

yang lalu ditancapkan di makamnya. Kemudian dengan muka yang masih sedih ia berkata kepada Tju Thing Thing:

“Mari kita berangkat. Pada suatu hari, akan kita perhitungkan hutang-hutang dari orang Lembah Merpati.”

Dengan tidak disengaja, ia telah terima pesanan yang terakhir dari Yun Yan Tjie, yang tidak disangka bahwa urusan itu bisa menambah kesukaran di belakang hari kepadanya.

Setelah bertahan beberapa lama, Koo San Djie dan Tju Thing Thing melanjutkan pula perjalanan mereka. Setelah keluar dari mulut gunung, di depan terlihat dataran luas.

Tiba-tiba Koo San Djie berkata:

“Lagi-lagi orang dari Lembah Merpati. Kali ini akan kutangkap mereka untuk petunjuk jalan.”

Dengan tidak berkedip Tju Thing Thing memandang ke depan. Dan betul, dari jauh ada dua titik bayangan kecil, dengan berliku-liku sedang mendatangi ke arahnya. Ia sudah menjadi takluk betul-betul kepada Koo San Djie yang mempunyai pandangan tajam. Biarpun dengan jarak yang demikian jauh, telah dapat membedakan dengan jelas, warna baju dari orang yang datang tadi.

Semakin lama dua bayangan hitam semakin dekat, kini dengan jelas terlihat, mereka mengenakan pakaian kotak-kotak hitam. Pemuda yang di depan, lari dengan terburu-buru sebagai yang ketakutan, dilihat dari dalamnya, ternyata ia telah terkena luka yang tidak ringan. Pemuda yang di belakang, mengubar dengan tidak kalah kencangnya. Mukanya yang bengis menjadi penasaran, karena tidak dapat menyandak orang yang telah terluka itu.

Karena kelambatan dalam sedetik saja, telah menyebabkan kematiannya si imam tua. Hal ini sudah menyebabkan Koo San Djie sangat menyesal. Kini yang berada di hadapan matanya, seorang pula yang sedang menghadapi bahaya, tidak perduli orang ini jahat atau baik, yang pertama ia harus menolong terlebih dahulu. Tidak ada waktu untuk ia memanggil Tju Thing Thing, badannya sudah melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa.

Tju Thing Thing merasa bagai ada angin topan lewat di sampingnya, lantas sudah kehilangan sang kawan. Beberapa puluh tombak di depannya, bagaikan gumpalan asap, Koo San Djie sedang menuju datangnya dua orang tadi.

Tapi, perhitungan dari manusia tidak secepat kejadian alam, hanya tinggal tigapuluh tumbak lagi, pemuda yang memang sudah sampai akan kematiannya telah tersandung jatuh.

Tangan kematian dari pemuda yang mengubar dari belakang, pada waktu itu, dengan cepat telah menempel di bebokongnya sang korban. Dan dengan kecepatan tangan yang lebih cepat dari tangannya seorang tukang copet, ia telah menjemput gulungan kertas dari tangannya sang korban.

Hati Koo San Djie menjadi tercekat. Dengan keras ia berseru:

“Hei jangan berbuat jahat!”

Bagaikan pesawat udara, ia sudah terbang mendatangi ke tempat kejadian tadi.

Orang yang tadi lari menguber dan berhasil telah membunuh mangsanya, telah menjadi kaget, tapi yang membikin ia lebih kaget lagi yalah, gulungan kertas yang ia dapat bersusah payah mendapatkannya, mendadak telah disambar, oleh sebuah tangan dari arah belakang. Orang yang belakangan ini datang lebih cepat dari padanya, sebentar saja sudah pergi meninggalkan puluhan tumbak.

Ia tidak mempunyai kesempatan buat meladeni Koo San Djie, dengan cepat ia sudah lari menguber bayangan orang yang baru datang tadi.

Semua kejadian ini telah terjadi demikian teraturnya, sangat mendadak dan sangat cepat. Jika saja, bukan Koo San Djie yang mempunyai pandangan tajam, tidak nanti dapat mengetahui akan apa yang terjadi.

Gerakan tubuhnya boleh dikatakan lebih cepat dari kecepatan kilat, tapi masih tak dapat menolongnya juga. Ia sampai di sana dan dapatkan sang korban dalam keadaan tidak bernyawa. Telah beruntun dua kali pembunuhan di hadapannya, tapi hanya kurang beberapa detik saja, ia sudah tidak dapat menahannya. Apa karena ia tidak berguna? Bukan demikian soalnya. Keadaan waktulah yang terlalu mendesak.

Dengan lesu, ia berdiri di situ sampai Tju Thing Thing datang menghampirinya. Memang menjadi sifatnya perempuan yang lebih teliti Tju Thing Thing yang melihat ke arah mayat tadi sudah berteriak:

“Adik San, kau perhatikan di tanah. Orang ini telah menulis beberapa huruf, sebelum ia menghembuskan napasnya yang terakhir.”

Koo San Djie meneliti kembali. Betul saja, telunjuk orang ini masih menekan tanah, beberapa huruf yang ditulisnya yalah:

“Peta masuk ke dalam lembah......”

Tapi huruf ini sedemikian kalutnya, sehingga orang melihatnya hampir saja tidak mengerti sama sekali. Koo San Djie tidak dapat menjelaskan, apa yang diartikan sama sekali, mulutnya berkemak kemik:

“Peta masuk ke dalam lembah...... Peta masuk ke dalam lembah......? Apa bukannya......”

Tju Thing Thing sudah membuka mulut menyambung:

“Kau mengatakan kedua orang tadi mempunyai gerakan yang sama dengan orang dari Lembah Merpati. Apa bukannya gambar peta yang menunjukkan caranya masuk ke dalam Lembah Merpati?”

Koo San Djie menepok kepalanya dan berkata:

“Betul! Mungkin orang ini telah mengkhianati Lembah Merpati untuk dibuka di depan umum. Tidak disangka telah dapat dipergoki, dan telah diuber-uber disepanjang jalan. Berakhirlah sampai kejadian tadi. Tapi siapakah orangnya yang merebut peta tadi......?”

Ia mulai menduga-duga, ia sedang mengingat-ingat gambaran orang yang merebutnya peta tadi, itulah seorang tua berkupiah emas, berbaju biru. Biarpun gerakannya sangat cepat, tapi ia tidak lolos dari pandangannya Koo San Djie.

Mendadak, dari jauh terdengar siulan yang panjang tapi terang. Itulah suara dari Tiauw Tua yang telah memanggil mereka.

Maka, dengan segera Koo San Djie juga memekik, menyahutinya.

Bersama suara sahutan ini, sebuah bayangan, bagaikan sedang mengejar awan memburu kilat cepatnya, telah datang ke tempat itu. Dan betul saja, yang datang Tiauw Tua.

Setelah berhadapan, Tiauw Tua sudah berkata seperti mengandung penyesalan:

“Urusan sudah menjadi demikian mendesaknya, mengapa kau orang masih di sini saja?”

Koo San Djie mengelah napas, dan sambil menunjuk ke arah orang mati di hadapan ia berkata:

“Kau lihat!”

Kemudian diceritakannya juga tentang meninggalnya Yun Yan Tjie tadi dan jalannya rebut-rebutan peta di sini.

Terdengar Tiauw Tua berkata:

“Jika demikian, bukan saja urusan sudah menjadi mendesak bahkan, semakin lama semakin rumit?”

Lalu, diceritakannya juga kabar yang telah dapat didengarnya, tentang ketua dari Lembah Merpati yang telah hampir selesai meyakinkan semacam ilmu, dan tidak berapa lama lagi, dedengkot misterius itu akan keluar di kalangan Kang-ouw, tentu dengan maksud untuk mengangkat nama. Maka, semua pengikut-pengikutnya, kini sudah tidak usah mengumpat-ngumpat lagi, tidak usah mereka menggunakan kedoknya yang palsu belaka.

Sebagaimana biasa, Koo San Djie membawakan sifatnya yang pendiam. Maka, Tiauw Tua sudah melanjutkan ceritanya:

“Sebelumnya, orang hanya menyangka bahwa Lembah Merpati adalah tempat dari orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi, dengan tidak mau mencampuri urusan dunia. Tapi, sebetulnya dia sudah mempunyai perhubungan yang gelap, karena sangat dirahasiakan, maka banyak yang tidak mengetahui benar tidaknya cerita ini.”

“Toako, orang yang datang dari pulau Hay-sim berada di mana?” tanya Koo San Djie.

Tiauw Tua menjawab:

“Barusan, aku telah menemukan Oey Liong si kurus yang sedang terburu-buru lari lewat di sebelah sini. Ia mengatakan, di arah barat daya telah mendatangi banyak sekali iblis-iblis dari kalangan hitam, yang menambah kecurigaannya. Maka ia telah pergi ke sana untuk mencari kabar terlebih jauh.”

Berulang kali Koo San Djie memanggutkan kepalanya. Maka bertiga mereka sudah mulai pula melanjutkan perjalanan. Setelah berlari-larian sampai matahari terbenam, di depan telah terlihat puluhan lampu yang berkelak-kelik. Itulah kota Kun-beng, sebuah kota besar dari Tiongkok barat daya.

Perjalanan yang tidak mengenal waktu ini telah membuat Tju Thing Thing tersiksa. Jika tidak ada Koo San Djie yang sering menentengnya, sudah sedari tadi ia jatuh di jalan. Maka, setelah sampai di kota Kun-beng, biar matipun, ia tidak mau meneruskan perjalanannya pula, ia telah memaksa menginap di sini. Suatu hal kebetulan bagi Tiauw Tua. Ia tidak mempunyai kesukaan lain, kecuali arak yang dianggap sebagai nyawa kedua.
 
06.02 Jurus Terakhir Kitab Im-hoe-keng




Setelah sampai di dalam kota yang ramai, ia menarik tangannya Koo San Djie dan berkata:

“Mari kita minum dua cawan arak. Telah beberapa hari aku dibuat kehausan olehnya.”

Setelah memasuki rumah makan, dua orang, satu tua dan satu muda ini sudah memilih kesukaannya masing-masing Yang satu menenggak minuman dengan sepuas-puasnya, yang satu sudah menggasak makanannya. Hanya Tju Thing Thing melihati mereka dengan tertawa. Ia hanya memilih sedikit dari makanan dan minuman.

Mendadak, di sebelah mereka, teraling oleh sebuah ruangan, terdengar seorang yang berlogat gunung, orang itu sedang bicara, katanya:

“Apa kau telah mendengar, di kalangan Kang-ouw telah bertambah seorang anak nelayan yang berkepandaian tinggi, sampaipun si Iblis Pencabut Roh juga telah terjatuh di bawah tangannya?”

Koo San Djie telah menjadi kaget, maka dengan penuh perhatian, ia memperhatikannya pembicaraan orang-orang itu.

Terdengar pula seorang lain yang berlogat daerah berkata:

“Orang hanya pernah mendengar, belum pernah melihatnya. Aku tidak percaya, dengan si Iblis Pencabut Roh, berpengalaman puluhan tahun dapat dikalahkan oleh seorang anak kecil.”

Suara yang berlogat gunung berkata pula:

“Memang sukar dipercaya. Dalam beberapa hari ini, orang-orang dari Lembah Merpati yang kita ketemukan bukankah berumur muda? Tapi kepandaiannya...... Hm, bukan aku Ciauw Pat merendahkan diri, kita berdua tidak satu yang dapat menyaingi mereka.”

Tiauw Tua yang mendengar perkataan ini sudah menegak minuman, dengan jari yang dicelup basah ia menulis beberapa huruf di meja:

“Empat orang aneh dari Kong-lu.”

Koo San Djie memanggutkan kepala, tapi kupingnya masih terus mengikuti pembicaraan itu tadi.

Sayang, pembicaraan di sebelah semakin pelahan, sampai belakangan, hampir menjadi tidak kedengaran. Dengan lambat-lambat seperti terdengar disebut “Liong-sun-say” beberapa perkataan. Baru saja ia minta penjelasan dari Tiauw tua pembicaraan di sebelah sudah selesai.

Orang yang dengan berlogat daerah, dengan suara keras sudah memanggil jongos untuk membikin perhitungan.

Tiauw Tua dengan araknya sudah menulis pula di atas meja:

“Kuntit!”

Setelah keluar dari rumah makan, baru dapat dilihatnya dengan tegas keadaan dari dua orang tadi. Yang satu menyoren golok, yang satu lagi membawa senjata yang sangat aneh. Pengawakan badan orang-orang tinggi besar.

Kepandaian empat orang dari Kong-lu tidak setinggi si Iblis Pencabut Roh dan Iblis Pipi Licin. Tapi mereka lebih disegani orang, karena mereka berempat telah menjadi satu, dan lagi, mereka mempunyai anak buah yang banyak yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.

Ini kali, mereka datang ke tempat itu tidak hanya kebetulan, maka Tiauw Tua sudah sangat memperhatikannya.

Dari jauh, Koo San Djie sudah mengikuti mereka, sampai di pinggir kota, mendadak, satu tanda yang menyolok mata telah membuat mereka bertiga menjadi kaget.

Pada tengah-tengah sebuah pohon tercetak tanda minta bantuan dari pulau Hay-sim. Dan di bawahnya masih ditambah dengan tiga buah tanda palang yang berarti sangat mendesak. Maka, dengan melepaskan penguntitan terhadap dua orang aneh dari Kong-lu, Tiauw Tua sudah berkata:

“Aku akan mendahului pergi ke sana.”

Koo San Djie juga sudah menjadi gelisah, dengan menarik tangannya Tju Thing Thing, ia mengikuti jejaknya Tiauw Tua.

Sebentar saja, dengan pendengarannya yang tajam Koo San Djie sudah dapat mendengar bentakan-bentakan dan beradunya senjata. Maka, dengan tangan masih menggandeng tangannya Tju Thing Thing, ia sudah menambah kecepatannya. Biar tangannya masih membawa orang, tapi di kalangan Kang-ouw sudah jarang ada orang yang melebihi kecepatannya ini.

Sebentar saja San Djie sudah sampai di sebuah tempat di kaki gunung. Di sana telah berkumpul dengan banyak orang, mereka sedang kalang kabut, saling gempur dan saling serang menyerang. Keadaan ini menjadi tegang, karena di antara yang bertarung, terdapat banyak sekali orang-orang dari golongan kelas satu.

Hu-hay Sin-kun, dengan kumis dan berewok yang khas telah berdiri di sana, dia sedang asyik menandingi si Setan Gunung.

Thian-mo Lo-lo dengan bentakan-bentakannya menyerang ke arahnya si Kalong Wewe.

Sastrawan Pan Pin sedang terdesak oleh seorang tua tinggi besar berjubah merah.

Si Naga Penyelam dari pulau Hay-sim, Lok-sui Cian-liong sedang dikurung oleh dua orang berbaju hitam, dengan mati-matian dia mempertahankan kedudukannya. Dan di sana telah rebah beberapa tubuh dari para pengiring pulau Hay-sim.

Sepintas lalu, keadaan Hu-hay Sin-kun sekalian sudah tidak menguntungkan. Di bawah pohon masih berdiri Min Min Djie dan Si Iblis Pipi Licin berdua, mereka dengan tertawa-tawa.

Begitu badannya Tiauw Tua melesat naik dari kaki gunung, keadaan dari Sastrawan Pan Pin sudah sampai disaat yang tergenting, ia terdesak oleh si orang tua tinggi besar berjubah merah, sampai mundur-mundur beberapa tindak. Tapi si orang tua masih tidak mengasih hati, tangannya yang besar sudah menyerang pula, sebentar lagi Sastrawan Pan Pin akan menderita luka, akan mendapat cedera.

“Semua berhenti!” Tiba-tiba Tiauw Tua membentak nyaring.

Di antara angin ribut dan beterbangannya batu, Tiauw Tua sudah mengeluarkan pukulannya. Suara bentakannya belum juga lenyap, terdengar dua pukulan yang sama-sama kerasnya, mereka saling bentur. Karena ia harus membuka suara, tenaganya terbagi, maka ia telah terpukul mundur setindak, tapi si orang tua berjubah merah juga telah dibikin tergoyang-goyang.

Keadaan telah berubah dalam sekejap mata. Semua orang dari medan pertempuran tadi telah dibuat kaget oleh bentakan ini, maka dengan tidak terasa, semua telah memberhentikan serangan-serangannya. Setelah dilihatnya siapa datang, semuanya sudah menjadi terkejut.

Nama Tiauw Tua telah tersohor di kalangan Kang-ouw, karena sifatnya yang sangat jujur, maka ia disegani oleh segala orang, baik dari kalangan hitam atau putih. Demikianlah dengan gagahnya ia berdiri di tengah-tengah mereka. Setelah dipandangnya semua orang, ia berkata:

“Apa kau orang akan membunuh bersih semua orang di dunia?”

Si Setan Gunung dengan suaranya yang serak berkata:

“Tiauw Tua, jangan kau menjual di sini. Jangan menganggap dirimu lebih tua, dapat kau berbuat sesukamu?”

Tiauw Tua tertawa berkakakan.

“Binatang!” bentaknya. “Dengan tanganmu yang berlepotan darah, tentu akan mempercepat ajalmu. Apa kau kira aku tidak dapat membereskannya!”

Baru saja ia siap untuk turun tangan, Koo San Djie telah sampai di antara mereka. Min Min Djie yang melihat anak muda itu, tentu saja sudah merasa terkejut, dengan cepat ia berteriak:

“Hu-sie Tojin, inilah orangnya yang telah membunuh Iblis Pencabut Roh.”

Tosu (imam) berjubah merah, dengan sinar matanya yang bercahaya sudah mengeluarkan suara tertawanya yang seram:

“Membunuh orang harus mengganti jiwa! Anjing kecil, mari sini aku cabut nyawamu!”

Dia bernama Hu-sie Tojin! Bagaikan gumpalan awan yang menutupi matahari ia sudah menubruk ke arahnya Koo San Djie.

Terdengar Tiauw Tua membentak:

“Tunggu sebentar, di antara kita berdua tadipun belum selesai.”

Tadi karena urusan telah mendesak, maka ia dapat rugi. Ia mengetahui, jika dibiarkan tosu tua ini bertarung dengan Koo San Djie, maka tidak ada kesempatan pulalah baginya untuk menebus kerugian.

Tapi Koo San Djie tidak mengerti maksudnya ini. Dengan maju ke depan, setindak demi setindak ia berkata:

“Toako silahkan kau mundur. Jangan sampai dua siluman yang jahat itu dapat lolos.”

Dengan cepat Tiauw Tua telah menyingkirkan diri, sambil membongkokkan badannya ia berkata:

“Silahkan, silahkan!”

Tiauw Tua lantas menghadapi si Setan Gunung.

Inilah suatu kejadian yang aneh. Semua orang dibuat bingung karenanya. Tiauw Tua dengan derajatnya yang tinggi di kalangan Kang-ouw, di antara mereka, kecuali Hu-sie Tojin yang masih dapat menandingi, yang lain, untuk menyingkir pun tidak gampang-gampang darinya. Tidak disangka terhadap seorang anak yang hanya berumur belasan tahun, ia telah berlaku demikian hormat.

Si Sastrawan Pan Pin duduk di pinggir, tentu saja harus menahan rasa sakit yang tidak terhingga, dengan mulut tidak henti-hentinya menyebut “heran...... heran......,” ia yang mengenal betul tabiatnya Tiauw Tua yang berangasan. Seumur hidup Tiauw Tua, belum pernah tunduk kepada siapapun juga. Kelakuannya pada hari ini, yang telah diunjuki demikian takluknya kepada Koo San Djie, siapa yang tidak merasa heran?

Setelah menunggu sampai Tiauw Tua menyingkir, Koo San Djie menjura kepada Hu-sie Tojin, dia berkata:

“Tentang kematian dari adik seperguruan totiang, di sini boanpwee ada beberapa perkataan untuk menjelaskan......”

Tapi Hu-sie Tojin dengan marah-marah sudah membentak:

“Lekas! Supaya kau tidak mati dengan penasaran.”

“Di kalangan Kang-ouw, yang penting yalah keberanian!” Koo San Djie berkata dengan nyaring. “Sebenarnya boanpwee dengan adik seperguruan totiang tidak mempunyai permusuhan. Disalah satu rumah makan, dengan tiada sebab musababnya dia telah menyerang kepadaku dan demikian juga dengan terjadinya kejadian di telaga Pook-yang. Terhadap semua ini boanpwee tidak tarik panjang. Pada pertandingan seterusnya, ia bersama-sama dengan Min Min Djie berdua menjadi satu usaha menahan seranganku......”

Ia baru berkata sampai di sini, Hu-sie Tojin sudah memotong:

“Katakanlah saja kematiannya, karena pelajarannya kurang sempurna. Ini hari, aku dengan tidak tahu diri akan meminta pelajaran darimu.”

Sewaktu ia mendengar si Iblis Pencabut Roh dengan Min Min Djie berdua masih tidak dapat menahan serangannya, dalam hati kecilnya telah timbul rasa keder. Maka, bicaranya juga sudah mulai rada lunak.

Koo San Djie tidak berdaya, gagal membuat si tosu mengerti, maka terpaksa, dengan sabar ia berkata:

“Jika saja Locianpwee memaksa bertanding, silahkanlah menyerang!”

Hu-sie Tojin tidak malu-malu lagi, dia mulai serangannya. Koo San Djie yang merasa tidak enak, karena telah menyebabkan kematian adik seperguruannya, tidak balas menyerang, hanya memiringkan badannya menyingkir dari serangan.

Hu-sie Tojin telah mengeluarkan jurus yang pertama, kemudian disusul dengan jurus yang kedua. Tapi Koo San Djie sudah berkelit pula dengan menggunakan ilmu “Awan dan Asap Lewat di Mata.”

Koo San Djie berbuat begini, karena ia tidak mengingini bertambahnya permusuhan. Tidak dikira, justru inilah yang dirasakan penghinaan yang besar bagi Hu-sie Tojin yang menganggap dengan derajatnya yang tinggi ia sudah kehilangan muka karena telah menyerang terlebih dulu, dan kini telah diganda mengeles saja oleh seorang anak kecil yang baru keluar kemarin. Maka dengan mengeluarkan suara dari hidung ia membentak:

“Jangan sombong!”

Mendadak, ia telah merobah cara berkelahinya, pukulan-pukulannya dengan saling menyusul telah datang bertubi-tubi. Tenaganya yang telah mendapat latihan puluhan tahun tidak berada di bawahnya Tiauw Tua, ditambah dengan keadaan marah, menyebabkan ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Semua orang yang melihat perobahan ini sudah menjadi tergetar.

Koo San Djie tidak berani memandang rendah kepada lawan tangguhnya ini, tenaganya telah dicurahkan di kedua belah tangan dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah gencarnya, ia balas menyerang.

Dua orang jago kelas satu yang bertarung kian lama kian seru, pukulan yang hebat, serangan yang aneh, jurus-jurus yang tajam dan perobahan-perobahan yang tidak disangka-sangka, telah menyebabkan orang-orang yang melihatnya mengelah napas, mereka belum pernah menonton pertarungan yang seramai ini.

Biarpun tangan Koo San Djie menyerang, otaknya telah bekerja. Menghadapi Hu-sie Tojin yang mempunyai kepandaian tidak di bawah dari Tiauw Tua, untuk dapat menentukan kalah menangnya, paling sedikit juga sampai limaratus jurus lebih. Dan jika ia sampai gunakan kepandaian yang terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng, sang lawan tidak dapat tidak, tentu akan menderita luka. Ia tidak mau sembarangan melukai orang, sebelum mengetahui betul tentang kejahatan dari orang ini.

Maka, setelah berpikir bolak balik, dapatlah ia suatu akal, dengan mendadak ia berteriak:

“Berhenti!”

Ia segera memutarkan badannya dan telah tujukan pukulannya ke arah tebing batu yang terletak dua tumbak dari tempat ia berdiri.

Terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga, batu-batu yang sebesar kepala manusia beterbangan, tebing tadi telah terbongkar hampir seluruhnya. Udara menjadi gelap karena debu-debu yang mengepul naik.

Inilah jurus yang terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng yang diberi nama Pukulan dan Geledek Berubar-ubaran. Kekuatan dari pukulan ini telah membuat Min Min Djie dan kawan-kawannya yang melihat menjadi meleletkan lidah, bagaikan patung saja mereka terpesona.

Hu-sie Tojin mendongak ke atas dan menghela napas panjang. Kini telah menjadi jelas baginya. Kekuatan dari sang lawan masih berada di atas kepandaiannya, dengan mengalihkan serangan berarti sang lawan masih menyayangi nyawanya agar ia dapat mundur sendiri. Maka ia sudah maju ke depan memberi hormat dan berkata:

“Saudara kecil mempunyai perasaan yang welas asih, aku tidak nanti dapat melupakannya. Tapi biarpun demikian, aku tidak dapat melupakan dendam dari adik seperguruanku, maka setelah lima tahun kemudian, aku akan meminta pelajaranmu pula.”

Setelah ia bicara dengan mengibaskan lengan bajunya yang gedombrangan ia sudah melesat lari turun ke bawah tanjakan.

Berakhirlah pertarungan yang seru ini. Tapi di sana, suami istri siluman masih seru dengan lawan mereka, masing-masing Tiauw Tua dan Thian-mo Lo-lo.

Ternyata sewaktu Tiauw Tua menghalang di hadapannya si Setan Gunung, Thian-mo Lo-lo yang mendengar bahwa murid kesayangannya Tju Thing Thing hampir saja meninggalkan nyawanya, karena terkena ilmu jahat Yun-ling-pay-kuk-kang, tentu saja sangat marah. Maka, dengan cepat ia sudah mengeluarkan ilmu Hok-mo-ciang, ilmu pukulan penakluk iblis yang terkenal, dan mengurung si Kalong Wewe.

Tapi ilmu jahat dari si Setan Gunung dan Kalong wewe suami isteri Yun-ling-pay-kuk-kang tidak dapat dibuat gegabah. Setelah masing-masing mengeluarkan serangan-serangan sampai seratus jurus lebih, masih berimbang karena sama kuatnya.

Terhadap dua suami istri siluman yang jahat ini, Koo San Djie sudah menjadi demikian benci. Beberapa kali, ia sudah maju, ingin menalangi melawan mereka, tapi takut dapat menyinggung perasaan Tiauw Tua dan Thian-mo Lo-lo, maka ia membatalkan maksud tersebut.

Dalam keadaan ragu-ragu, mendadak, dari atas tebing terdengar suara tertawa dingin, disusul dengan suara congkak:

“Kawan-kawanku boleh mundur. Lihat dari mereka, siapa yang berani maju pula?”

Dua siluman yang memang sedang keadaan terdesak, mendengar perkataan ini sudah lantas loncat mundur.

Semua orang yang sedang menonton pertandingan mengarahkan pandangan ke atas tebing. Yang dua ialah dari empat orang aneh dari Kong-lu ialah yang tertua U-cit dan yang kedua Ciauw-pat.

Sebetulnya, dua orang ini tidak perlu dikuatirkan. Yang dikuatirkan ialah keselamatannya Hay-sim Kongcu yang berada dikempitannya, bahkan sebelah dari tangannya U-cit ditaruh di atas embun-embunnya Hay-sim Kongcu.

Hu-hay Sin-kun tertawa dingin, cepat bagaikan monyet, ia sudah merayap naik ke atas tebing. Yang tidak kalah cepat dengannya ialah Koo San Djie, si pemuda merendengi di sebelahnya.(BERSAMBUNG)
 
Harap Cianpwee melanjutkan kisahnya... :D

Lohu tak sanggup berlama-lama berkelana didunia kang-ouw tanpa membaca lanjutannya.
Harap Andy-tayhiap bermurah hati mengobati dahaga lohu... :ampun:

:beer:

mohon :ampun: banyak kerjaan bang rangga ...
 
Ya harap tuan muda andy melanjutkannya. Hamba hanya orang miskin akan ilmu kanuragan. Mudah2an setelah membaca lanjutannya hamba bisa mengambil intisari ilmu yang tuan muda andy berikan. :ampun:

makasih banyak suhu redtails telah berkenan membaca
 
06.03 Liong-sun-say, Pesanggrahan yang Tidak Dikenal

Tapi, mandadak U-cit sudah membentak keras:

“Jika siapa di antara kau orang ada yang berani naik, dengan menambah sedikit tenaga saya, nyawa orang ini akan melayang.”

Bentakan ini berhasil bagus. Hu-hay Sin-kun dan Koo San Djie yang telah menjadi ketakutan telah menjatuhkan dirinya kembali.

Terdengar U-cit membentak pula:

“Jika masih mengingini nyawanya, semua berdiri di tempatnya masing-masing.”

Lalu menggapaikan tangannya ke arah dua jejadian dan kawan-kawannya yang sudah bersama-sama lari meninggalkan tempat itu.

Rambut yang putih dari Hu-hay Sin-kun seperti menjadi berdiri, tentu saja dia panas hati, sangat penasaran, kedua matanya seperti mau memancarkan api, tapi ia tidak berdaya sama sekali. Kedua kakinya bagaikan ditancapkan di tanah, tidak berani bergerak lagi.

Koo San Djie mengarahkan pandangannya ke tempat Tiauw Tua.

Tapi Tiauw Tua hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Inilah suatu langkah yang sangat lihay, sehingga dapat memaksa demikian banyaknya orang berkepandaian tinggi menjadi takluk tidak berdaya, karena dalam genggamannya terdapat anak kesayangan dari Hu-hay Sin-kun. Salah sedikit saja, akan mengakibatkan penyesalan seumur hidup. Siapa yang berani menempuh bahaya?

Demikianlah, sampai rombongan kawan-kawan iblis tidak terlihat bayangan mata semua orang baru terdengar elahan napas dari Hu-hay Sin-kun.

Dalam ingatannya, terbayang pula pembunuhan kepada sang istri. Penyiksaan terhadap anaknya, semua kejadian-kejadian ini telah membuat Hu-hay Sin-kun, yang telah malang melintang puluhan tahun di kalangan Kang-ouw, menjadi lesu.

Hati Tiauw Tua menjadi tidak tega, dengan menepok pundak sang kawan, ia berkata:

“Kau jangan terlalu banyak makan hati. Di sini tersedia demikian banyaknya orang pandai, masakan takut mereka akan terbang ke langit? Mari kita berpencaran, membikin pengejaran.”

Hu-hay Sin-kun baru seperti bangun dari tidurnya dan berkata:

“Dengan demikian, hanya akan menyusahkan kalian saja. Entah di mana sarang mereka itu?”

Tju Thing Thing yang berdiri di sebelahnya sudah menyelak:

“Di dalam rumah makan, mereka pernah mengatakan tentang Liong-sun-say, entah di sekitar sini benar terdapat suatu tempat yang bernama Liong-sun-say?”

“Liong-sun-say......” Hu-hay Sin-kun dengan kaget berkata.

Di kalangan Kang-ouw, nama Liong-sun-say ini tidak kalah ajaibnya dari pada Lembah Merpati. Biarpun dengan megah ia berdiri di bawah kaki gunung Pit-kie, tapi jarang ada orang yang berani datang.

Ketua dari pesanggrahan Liong-sun-say ini ialah Tong Touw Hio yang mempunyai nama berendeng terkenalnya dengan si Pendekar Berbaju Ungu. Ia mendirikan pesanggrahan selama lebih dari empatpuluh tahun. Jarang sekali ia bergerak dalam kalangan Kang-ouw. Ia mempunyai adat yang sangat kukuh. Kawan-kawannya pun terdiri dari berbagai macam golongan sehingga sukar untuk orang menentukan pendiriannya. Biarpun demikian, belum pernah terdengar ia ada menanam bibit permusuhan. Karena ilmu kepandaiannya sangat tinggi, maka orang tidak sembarangan berani membenturnya.

Disebutnya nama Liong-sun-say oleh Tju Thing Thing telah membuat Hu-hay Sin-kun, menjadi mundur maju. Jika dengan membawa demikian banyak orang pergi menyerbu ke sana dan kemudian terbukti orang-orang tadi tidak berada di sana, bukankah telah menambah satu musuh tangguh pula? Tapi setelah dipikirnya kembali ada kemungkinan juga mereka berada di sana. Maka ia sudah berdiri menjublek dengan tidak dapat mengambil keputusan.

Terdengar Tiauw Tua membuka suaranya:

“Menurut pendapatku, kemungkinan besar mereka berada di sana. Lebih baik kita orang berpencar, dengan cara berterang atau menggelap, menyerap-nyerapi kebenaran dari dugaan ini.”

Thian-mo Lo-lo juga turut berkata:

“Urusan sudah mendesak sampai di depan mata, tidak dapat menunggu-nunggunya pula. Demikianlah kita berpisah. Aku beserta muridku akan berangkat terlebih dahulu.”

Sembari menarik Tju Thing Thing ia sudah putar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia kukuh dengan pendiriannya yang tidak menyukai Tju Thing Thing bergaul terlalu rapat dengan Koo San Djie. Inilah, karena ia telah mengalami penderitaan batin yang hebat, sehingga telah menyebabkan ia tidak menyukai semua pemuda di dunia ini. Dan untuk selanjutnya ia sudah berpikir untuk mengurung Tju Thing Thing, agar tidak dapat mendekati lelaki lagi.......

Sudah tentu Tju Thing Thing seratus persen tidak setuju kepada tindakan sang guru. Tapi inilah perintah, ia tidak berani melanggarnya? Matanya melirik ke arah Koo San Djie, si pemuda sedang duduk di belakang si sastrawan Pan Pin, membantu mengatur pernapasannya sastrawan yang terluka itu, maka ia tidak berani mengganggunya. Dengan menahan jatuhnya air mata, terpaksa ia harus mengikuti di belakangnya Thian-mo Lo-lo.

Semua kejadian ini tidak dapat lolos dari matanya Tiauw Tua. Di dalam hatinya ia memaki:

“Ini nyonya tua benar tidak mempunyai perasaan sama sekali.”

Ternyata, setelah para iblis dan para siluman tadi meninggalkan tempat itu. Koo San Djie sudah berjalan ke hadapannya Pan Pin dan berkata:

“Locianpwe, bagaimana dengan keadaan lukamu?”

Sastrawan Pan Pin dengan mengkerutkan keningnya masih mencoba berkata dan tertawa:

“Tidak menjadi soal. Aku masih dapat menahannya.”

“Kau duduklah sebentar!” berkata Koo San Djie perlahan.

Sastrawan Pan Pin menurut kehendaknya, dengan segera ia berduduk di tanah, kemudian tangannya Koo San Djie ditempelkan di tempat jalan darah Beng-bun. Terasa oleh Pan Pin, suatu aliran hawa yang panas memasuki pembuluh Kie-hay, naik ke atas dan bergolak di dada.

Ia telah melatih tenaga dalamnya puluhan tahun, ia sudah segera mengerti keadaan ini maka segera mengerahkan hawa dalam dirinya, bersama-sama dengan aliran hawa tadi, mengelilingi seluruh tubuhnya. Dalam sekejapan mata saja, tenaganya telah menjadi pulih kembali. Bukan saja lukanya telah menjadi sembuh, bahkan tenaganya telah menjadi bertambah kuat pula.

Sebentar kemudian, hawa panas tadi telah dapat ditarik kembali, dengan perlahan-lahan, Koo San Djie mulai berdiri.

Sastrawan Pan Pin juga telah berdiri, dengan mengibas-ngibaskan debu yang menempel di baju, ia menghadapi Koo San Djie, dengan kelakuan sangat hormat, ia berkata:

“Terima kasih atas bantuan tenaga dewamu yang telah menyembuhkan luka dalamku.”

Cepat-cepat Koo San Djie membalas hormatnya:

“Urusan yang sekecil ini untuk apa dikatakan pula.”

Semua orang yang berada di situ tidak ada satupun yang tolol, mana mereka tidak mengetahui berapa besarnya rasa terima kasih dari Sastrawan Pan Pin, hingga berlaku begitu hormat.

Sampai di sini terdengar suara Tiauw Tua:

“Saudara kecil, mari kita segera berangkat.”

Lalu, seperti lupa mengatakan sesuatu, ia menambahkan pula perkataannya:

“Tju Thing Thing beserta gurunya telah berangkat terlebih dahulu.”

Mendengar ini, seperti telah kehilangan apa-apa, hati Koo San Djie menjadi kosong, tidak mempunyai pegangan. Ini bukannya ia mempunyai perasaan berkelebihan terhadap Tju Thing Thing, tapi lantaran semasa kecil, ia hanya sebatang kara, ia sangat membutuhkan cinta dari seorang kawan. Dalam beberapa hari, pergaulannya dengan Tju Thing Thing sudah menjadi semakin rapat, ia hanya menganggap si nona sebagai kakak yang lebih tua dari padanya.

Mendadak, kini ia harus berpisah dengan tidak mengetahui sama sekali, bagaimana hatinya tidak menjadi kosong?

Dengan pandangan matanya yang tajam, Tiauw Tua sudah dapat menduga isi hati Koo San Djie. Maka ia segera menghibur:

“Perpisahan dan pertemuan adalah satu jalan dari hidup manusia. Untuk apa dipikirkan? Kita harus segera mencari jejak Ong Hoe Tjoe.”

Disebutnya nama Ong Hoe Tjoe, betul membuat Koo San Djie hidup kembali.

“Mari kita segera berangkat!” ia mengajak dengan penuh semangat.

Dengan tidak turut sertanya Tju Thing Thing, Koo San Djie sudah menggunakan ilmunya Awan Asap Lewat Di mata, tentu saja dengan lebih leluasa, bagaikan terbang kakinya, dia melesat dengan cepat.

Tiauw Tua juga tidak mau ketinggalan. Dengan kecepatan yang tidak mau kalah dari Koo San Djie, ia sudah mengikuti di belakang pemuda itu.

Tidak lama kemudian, puncak gunung Pit-kie yang menjulang ke atas langit sudah tertampak di hadapan mereka.

Tiauw Tua sudah memanggil Koo San Djie yang berada di depannya:

“Saudara kecil, baik kita beristirahat sebentar.”

Lalu, diajaknya sang perjaka ke sebuah kuil yang terdapat di situ. Sambil makan-makanan kering yang memang dibawanya, Tiauw Tua berkata lagi:

“Pesangrahan Liong-sun-say dibangun demikian aneh, kau harus hati-hati. Gurumu memiliki aneka macam kepandaian, seperti Kiu-kiong-pat-kwa dan bermacam-macam rahasia, apa sudah diturunkan kepadamu?”

Koo San Djie, mengangguk-anggukan kepala, dia membenarkan pertanyaan itu.

Tiauw Tua melanjutkan penuturannya:

“Tong Touw Hio dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak usah dikata lagi, yang harus diperhatikan ialah senjata-senjata atau pesawat-pesawat rahasia yang sukar diduga. Untuk menghadapi orang seperti Tong Touw Hio ini, jika tidak sampai terpaksa, janganlah kita menggunakan kekerasan. Mengenai tingkah laku dari Tong Touw Hio ini, aku sendiripun belum mengetahui betul. Sebelum kita mengetahui dengan jelas, janganlah sembarang mengganggu.”

Koo San Djie hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Biarpun Tiauw Tua bersedia menjadi budaknya atas kemauannya sendiri, tapi dalam mata Koo San Djie, orang tua itu tidak bedanya dengan guru saja. Ia selalu menuruti segala kehendaknya.

Setelah diam sejenak Tiauw Tua berkata pula:

“Jika betul Tong Touw Hio telah bersekongkol dengan orang Lembah Merpati, sudah tentu Ong Hoe Tjoe berada padanya.”

Koo San Djie tidak mengerti. Maka ia sudah menanya:

“Mengapa?”

Tiauw Tua lantas memberikan penjelasan terperinci:

“Begini soalnya. Setelah mereka dapat menculik Ong Hoe Tjoe, sudah tentu mereka mengetahui, bahwa kau tentu akan menyusulnya. Jika mereka mempunyai pesanggrahan yang ini, dan agar Lembah Merpati tetap beraoa dalam keadaan yang tersembunyi, sudah tentu mereka tidak mau pergi ke Lembah Merpati yang jauh.”

Koo San Djie yang melihat Tiauw Tua dapat mengupas suatu soal sedemikian jelasnya, sudah menjadi sangat girang. Dengan segera, sudah berkemas untuk berangkat.

Tiauw Tua tertawa, melihat kelakuan Koo San Djie yang seperti itu, dengan sabar ia berkata:

“Jika betul di sini, untuk apa harus tergesa-gesa? Tunggu saja sampai nanti malam jam dua, kita dapat bergerak dengan leluasa.”

Sebelum berkata, ia sudah memejamkan kedua matanya. Dengan perlahan-lahan ia menjalankan latihan mengatur pernapasan.

Koo San Djie juga merasa bahwa beberapa hari ini tidak melatih diri. Maka ia juga menutup mulutnya, tidak berkata-kata. Sebentar saja, mereka berdua telah sampai ke dalam keadaan yang lupa akan segala-galanya.

Mendadak, suara desiran angin dari getaran baju lewat di atas mereka. Koo San Djie kaget, dia terbangun.

Tiauw Tua juga telah membuka kedua matanya, dengan gesit ia melompat ke atas dan berkata:

“Kejar!”

Gerakan badan dari dua orang itu boleh dikatakan sudah sangat cepat, tapi begitu keluar dari pintu kuil, keadaan di sekitarnya ada sangat gelap, mana ada bayangan manusia? Hatinya Tiauw Tua menjadi kaget juga atas kecepatan dari orang tadi. Maka dengan memberi tanda, tubuhnya sudah melesat menuju ke arah pesanggrahan Liong-sun-say.

Pesanggrahan Liong-sun-say dibangun dengan megah, seperti benteng, tapi tidak untuk perang, seperti keraton, tapi tidak ada rajanya. Di sekitarnya gelap, tidak ada penerangannya. Di empat penjuru dikelilingi oleh tembok yang tinggi, di tengah-tengah atas pintu terdapat huruf besar yang berbunyi

“LIONG-SUN-SAY”

Tiauw Tua memandang Koo San Djie tangannya menunjuk ke kanan.

Koo San Djie membongkokkan badan, kakinya sudah melejit terbang, dia menuju ke atas, tepat setinggi tembok.

Kepandaian ini telah membuat Tiauw Tua memuji. Maka, ia juga menuju ke sebelah kiri.

Koo San Djie di atas wuwungan rumah, matanya memandang ke bawah rumah yang bersusun, terbenam dalam kegelapan.

Mendadak, terasa pula desiran angin dari getaran baju yang seperti di atas kuil tadi. Kedua matanya telah dibuka lebar-lebar, dilihatnya sesosok bayangan yang kecil langsung lenyap dalam kegelapan.

Maka, dengan tangan menekan tembok, badannya terbang melayang ke arah lenyapnya bayangan tadi. Tapi, kali inipun ia menubruk tempat kosong pula. Ia menjadi kesal juga, dua kali ia telah dibikin kecele. Sedari ia turun ke dalam kalangan Kang-ouw, inilah suatu kekalahan yang baru pertama kali dialaminya. Maka, dengan tidak mempedulikannya pula, ia sudah mencari kamar tahanan.

Mulai dari rumah yang pertama, satu per satu ia memeriksanya. Tapi sampai rumah yang terakhirpun tidak dilihatnya suatu apa.

Biarpun ia mempunyai kepandaian yang tinggi dan gerakan yang cepat, tapi kurang pengalaman. Maka waktu ia berlompatan dari satu rumah ke lain rumah, telah dapat diketahui oleh orang.

Baru saja ia mau mencoba lompat ke suatu wuwungan rumah yang terang benderang, atau di belakangnya telah terdengar suara tertawa berkakakan:

“Saudara kecil ini mengapa melatih diri di atas rumah orang?”

Koo San Djie menjadi merandek. Telinganya mendengar pula suara orang tadi:

“Aku adalah Tong Touw Hio, pemilik dari pesanggrahan ini. Jika kau suka memandang mukaku, marilah turun, dan kita berbicara di bawah.”

Lalu, dengan hormat ia menggunakan tangannya menyilahkan Koo San Djie masuk.

Dalam hatinya San Djie memikir:

“Jika tidak memasuki goa macan, mana dapat mengambil anak macan? Aku akan menuruti kehendaknya. Apa dia dapat menelan diriku?”

Maka, dengan meluruskan badannya, ia turun dan masuk dalam ruangan pesanggrahan Liong-sun-say yang aneh itu
 
07.01. Jebakan Pemilik Pesanggerahan Liong-sun-say

Koo San Djie dengan kepandaiannya yang tinggi dan nyalinya yang besar sudah mengikuti di belakang Tong Touw Hio, dengan jalan berliku-liku menuju ke dalam ruangan

Di atas wuwungan rumah Koo San Djie tidak merasai sesuatu apa yang aneh, tapi, setelah masuk ke dalam, terasalah keanehan dari bangunan ruangan-ruangan itu.

Begitu berjalan melalui jalan yang berliku-liku, dirasakan bagaikan berada di sebuah jaring kawa-kawa yang besar, ia sudah tidak dapat membedakan arah di mana timur dan di mana barat, pegangan tangan lankan, pintu, jendela dan semua yang berada di situ semua berbentuk sama. Jika tidak ada Tong Touw Hio yang menjadi penunjuk jalan, jangan harap ia dapat mengenali ini semua.

Hati Koo San Djie sudah menjadi keder juga.

Tong Touw Hio seperti telah dapat menebak keadaan isi hatinya, dengan tertawa ia berkata:

“Harap anda dapat melegakan hati. Pesanggrahan Liong-sun-say, biarpun dibuat seperti ini, tapi tidak mempunyai rahasia yang tersembunyi.”

“Dengan tingkatan derajat locianpwe di kalangan Kang-ouw, mana aku curiga,” jawab Koo San Djie.

Ia mengatakan dengan hati yang sejujurnya. Tapi perkataan ini justru kata-kata yang paling tepat, hingga membuat hati Tong Touw Hio, memaki:

“Bocah yang mempunyai lidah tajam.”

Setelah masuk ke dalam ruangan besar, kekagetannya Koo San Djie sudah bertambah-tambah, ruangan ini ada sangat mentereng. Semua barang-barang yang berada di situ, tidak ada satupun yang tidak bernilai, semua adalah barang-barang antik yang tidak dapat ditaksir dengan harga biasa. Dibandingkan dengan barang yang berada di dalam istana raja, mungkin tidak akan kalah seberapa.

Biarpun di mulut Koo San Djie tidak berkata, tapi kecurigaan hatinya sudah semakin bertambah. Ia menganggap semua barang yang berada di sini menimbulkan perasaan aneh. Dan tingkah laku dari Tong Touw Hio yang demikian hormatnya juga tidak seperti yang sewajarnya. Dari gerak geriknya yang kaku dan suara tertawanya yang tidak sedap, menunjukkan sifatnya yang licin dan berbahaya.

Dengan muka yang selalu ramai, dengan senyuman di mulut, Tong Touw Hio menyilahkan tetamunya duduk. Terdengar ia berkata:

“Baru saja saudara terjun ke dalam kalangan Kang-ouw, dan segera mendapat nama yang wangi. Dengan pukulan tangan kosong, telah membunuh Iblis Pencabut Roh. Dengan kepandaiannya telah dapat memaksa mundur Hoe-sie Tojin. Dengan seorang diri menaklukkan ikan mas besar dari telaga Pook-yang...... di dalam dunia, tidak ada orang kedua yang bisa memiliki prestasi-prestasi seperti ini. Tidak sampai berapa tahun lagi, tentu dapat menaklukkan semua orang rimba persilatan...... Ha, ha, ha,.......”

Koo San Djie yang mendengar orang memuji dengan berlebih-lebihan, bukan saja tidak merasa bangga, bahkan sudah menjadi lebih mual. Ia masih tetap menutup mulut.

Tong Touw Hio seperti tidak memperhatikan ini semua, ia sudah menyambung pula berkata:

“Aku tidak memiliki barang makanan untuk dihidangkan, marilah kita minum arak sebagai tanda perkenalan.”

Sebentar saja, datanglah seorang pelayan yang membawakan dua cawan arak di nenampan.

Si pelayan dengan tangan membawa nenampan, perlahan-lahan maju menghampiri Koo San Djie, tapi karena kurang hati-hati, nenampan itu terbalik dan cawan pun pecah. Bersamaan dengan suara ramainya pecahan cawan dan jatuhnya nenampan, asap biru mengepul di antara pecahan-pecahan tadi. Dengan gemetaran si pelayan berdiri di tempat itu.

Tong Touw Hio bangun, meninggaIkan tempatnya, tangannya dengan tenang dikibaskan, mengarah dada si pelayan.

Terdengar suara jeritan pendek, jiwa pelayan tersebut sudah diantar ke lain dunia.

Tong Touw Hio membunuh orang sendiri di depan sang tamu.

Hampir Koo San Djie tidak percaya, hanya karena memecahkan beberapa cawan saja, sampai mesti manghilangkan jiwanya si pelayan. Baru saja ia mau mencegah, tapi sudah tidak keburu. Si pelayan tidak ada waktu untuk menjerit sudah terjatuh di lantai dan jiwanya melayang ke akherat, membikin laporan dan pengaduan dari kematiannya yang penasaran.

Kelakuan yang kejam dari Tong Touw Hio ini sudah menghilangkan rasa persahabatan, yang baru saja timbul di dalam hati Koo San Djie. Berapakah harga dari cawan arak? Yang harus diganti dengan jiwa manusia?

Tapi Tong Touw Hio yang mempunyai hati curiga, sudah menganggap si pelayan dengan sengaja sudah memberi peringatan kepada Koo San Djie. Maka dalam keadaan hati panas, sudah mengeluarkan wajah aslinya.

Dia melihat air muka Koo San Djie yang mengandung rasa ketidak puasan, maka ia sudah berpura-pura memaki!

“Di hadapan tamu masih berani berbuat kurang ajar. Dia telah mencari mati sendiri....... Mana orang, mengapa tidak lekas membawa keluar.......?”

Dengan cepat datanglah dua orang berbadan besar, dua orang ini membawa mayat si pelayan yang sial.

Tong Touw Hio seperti tidak pernah mengalami kejadian ini, ia sudah membalikkan badannya ke arah Koo San Djie, seperti meminta maaf, ia berkata:

“Tentang kesalahan dari pelayanku yang tidak aturan tadi, harap saudara tidak menjadi kecil hati.”

Dengan perasaan tidak enak, Koo San Djie menjawab:

“Kelakuannya tadi tidak dapat dikatakan sengaja. Apa dengan hukuman yang seberat itu tidak menjadikan penasaran baginya?”

Tong Touw Hio tidak mau keberatan dalam hal ini, dengan tertawa ia berkata:

“Kita tertunda minum, mari kita teruskan!” sambil menuangkan arak ke dalam cawan yang barusan dibawakan oleh pelayan lain.

Lalu ia mengangkat cawan araknya, dengan sekali teguk ia sudah mendahului mengeringkan isi cawan.

Sebenarnya, Koo San Djie tidak biasa meminum arak, tapi karena tuan rumah sudah mengeringkan terlebih dahulu, maka iapun tidak dapat untuk tidak minum. Hatinya yang jujur dan polos, mana dapat menyangka kepada Tong Touw Hio berani berbuat curang?

Koo San Djie meminum arak tadi sampai kering.

Dengan perasaan puas Tong Touw Hio tertawa. Tertawanya sedemikian riang dan girang.

Inilah kelicinannya Tong Touw Hio. Biarpun ia mengetahui Koo San Djie segera menjadi anak kambing yang tinggal dipotong, tapi dengan masih menghormati ia berkata:

“Hari ini, saudara datang kemari, sebenarnya ada urusan apa?”

Koo San Djie yang tidak dapat membohong dengan terus terang sudah berkata:

“Aku sedang mencari rombongan orang yang telah menculik Ong Hoe Tjoe dan Hay-sim Kongcu.”

Tong Touw Hio dangan masih tertawa haha hihi berkata:

“Mereka betul berada di pesanggrahan ini. Setelah saudara dapat menemui mereka, apa yang akan diperbuat?”

Koo San Djie yang masih belum mengerti, masih enak dia menjawab:

“Aku hanya meminta mereka dapat mengembalikan Ong Hoe Tjoe dan Hay-sim Kongcu tentu saja dengan selamat. Tapi, terhadap dua siluman suami istri, aku tidak dapat melepaskan. Mereka telah banyak membahayakan manusia......”

Tong Touw Hio tertawa berkakakan:

“Suatu omongan yang besar. Tapi...... Hm, hm! Untuk selanjutnya, kau sudah tidak dapat berbuat suatu apa lagi.”

Koo San Djie yang melihat lagu suaranya mendadak berobah, tentu saja mulai curiga. Maka, dengan segera, ia mengumpulkan tenaganya. Tapi bukan main rasa kagetnya, semua tenaga telah hilang, entah kemana? Badannya sudah menjadi begitu lemas, ia sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali. Jangan kata untuk bertarung sama orang, untuk menangkap ayam saja, ia sudah tidak mempunyai itu kemampuan.

Tong Touw Hio masih tertawa di tempat, dengan hanya melihati situasi.

Baru kini ia dapat melihat muka yang asli dari Tong Touw Hio. Tidak disangka ia sedemikian tidak tahu malunya. Tidak disangka, martabat begitu rendah. Ia benci sekali kepadanya. Ingin sekali ia memukulnya sampai terbelah dua. Tapi semua keinginannya ini sudah menjadi impian belaka. Ia telah menjadi seperti anak bayi yang baru lahir, yang tidak dapat berbuat suatu apa. Apa lagi untuk melawan jagoan ternama seperti Tong Touw Hio ini? Dengan badan gemetaran, bahna gusar memaki:

“Tong Touw Hio, apa kau tidak mempunyai rasa malu? Terhadap aku saja, kau sudah menggunakan tipu daya yang hina.......?”

Tong Touw Hio yang dimaki, bukannya marah, malah menjadi tertawa berkakakan. Dengan memanggil orang-orangnya, ia sudah berkata kepada mereka:

“Saudara ini sudah terkena malaria, lekas bawa ke kamar tamu untuk istirahat!”

Biarpun Koo San Djie telah berontak-berontak dan memaki-maki kalang kabutan, tapi dua orang yang berbadan besar tadi, bagaikan menangkap anak ayam saja, telah menentengnya masuk ke dalam sebuah kamar. Dari jauh masih terdengar suara tertawa Tong Touw Hio yang tidak sedap di telinga.

Dua orang tadi setelah melemparkan Koo San Djie sampai ke dalam kamar, lalu membalikkan badan, dan mengunci kamar dari luar. Sekarang, mereka sudah tidak takut kepada si pemuda, tidak mungkin terbang lagi sekarang. Koo San Djie sudah bukan ahli waris dari Tamu Berbaju Ungu yang kemarin bisa malang melintang di atas wuwungan rumah orang.

Setelah Koo San Djie masuk ke dalam jebakan, di luar datang pula serombongan orang yang terdiri dari Hu-hay Sin-kun, Lok-sui Cian-liong, Sastrawan Pan Pin, Thian-mo Lo-lo dan Tju Thing Thing dan kawan-kawan. Dengan terang-terangan, mereka berkunjung ke pesanggrahan ini.

Tong Touw Hio masih seperti tadi, dengan muka yang lebih manis dari pada gula, menyambut mereka ini. Tapi rombongan ini tidak dapat disamakan dengan Koo San Djie yang masih mentah dalam pengalaman Kang-ouw. Dengan hanya satu lirikan saja, mereka sudah mendapat tahu, apa dan bagaimana kwalitet tuan rumah.

Setelah mereka saling memberi hormat. Hu-hay Sin-kun terus terang sudah mengatakan akan maksud kedatangan mereka.

Tong Touw Hio mendengar itu, dia menunjukan sikap terkejutnya. Seperti sungguh-sungguh, ia berkata:

“Apa benar ada itu kejadian? Saudara-saudara tidak usah kuatir, jika betul rombongan itu di daerahku, jangan harap mereka dapat lolos dari orang-orangku. Kalian yang telah datang dari tempat yang jauh, tentu sudah menjadi lelah. Untuk malam ini, aku harap istirahatlah di pesanggrahanku ini, besok pagi kita bersama-sama mencari mereka.”

Dengan segera, ia sudah memanggil orang-orang untuk menyediakan makanan.

Dengan hormat, Hu-hay Sin-kun berkata:

“Tidak berani kami membikin repot. Jika betul rombongan mereka tidak berada di sini, kita akan segera mengejar.”

Tong Touw Hio menjadi sibuk sendiri. Dengan cepat-cepat ia berkata:

„Biarpun akan mengubar mereka pada malam ini juga, tidak usah sedemikian repotnya. Marilah kita makan sebentar, dengan perut kenyang, ada lebih leluasa untuk mengejar mereka.”

Mendadak, Thian-mo Lo-lo berkata:

“Kau mengepalai di daerah ini, sedikit banyak tentu mengetahui sepak terjang dari orang Lembah Merpati. Dapatkan kau memberikan keterangan yang berharga?”

Tong Touw Hio sudah menjadi tertawa besar. Setelah sekian lama ia tertawa, dengan tenang ia memberikan keterangan!

“Jika kukatakan dengan sebenarnya, siapapun tentu tidak akan percaya. Aku mengumpat di pesanggrahan Liong-sun-say selama empatpuluh tahun, terhadap urusan di kalangan Kang-ouw, aku tidak mengetahuinya sama sekali.”

Sastrawan Pan Pin dengan tertawa dingin berkata:

“Saudara Tong, apa kau tidak membohong diri sendiri? Liong-sun-say selalu memelihara perhubungan dengan berbagai golongan, biarpun orang tidak keluar tapi segala urusan tidak dapat dibutakan begitu saja. Dan pula aku tidak percaya, bahwa Min Min Djie tidak berani berkunjung kemari.”

Wajah Tong Touw Hio berubah. Dengan berganti suara ia berkata:

“Apa saudara-saudara tidak percaya?”

Hu-hay Sin-kun takut akan urusan menjadi genting, dan mengakibatkan berhadapan dengan musuh tangguh, maka ia segera menyelak:

“Saudara Tong mempunyai nama tersohor di kalangan Kang-ouw, mana kami berani tidak percaya.”

Sebentar saja, meja perjamuan telah selesai diatur, Tong Touw Hio berdiri menyilahkan para tamunya pergi ke ruangan makan.

Semua orang yang berada di situ mempunyai pergaulan yang bebas, setelah berkali-kali tuan rumah menyilahkan makan, tentu saja menjadi tidak enak hati, sulit menolak lagi. Maka, dengan apa boleh buat, mereka memilih tempatnya masing-masing.

Tong Touw Hio dengan tingkah lakunya yang menghormat, sudah melayani para tamunya makan dan minum. Berkali-kali ia mengangkat cawannya dan mengeringkan araknya.

Sebentar saja, mereka sudah menjadi biasa kembali, lupa akan percekcokan tadi bagaikan kawan lama yang baru bertemu kembali, mereka sudah mulai minum dengan sepuas-puasnya hati.

Di antara bau arak dan lezat makanan, dari belakang tirai terdengar suara tetabuhan yang dibarengi oleh munculnya penari-penari muda yang cantik. Pada tangan mereka, masing-masing membawa sebuah pembakaran hio yang terbuat dari batu kumala putih, dengan baju mereka yang beraneka ragam, menari-nari dengan gaya yang sangat luwes.

Asap dari hio wangi mengepul naik dan mengelilingi seluruh ruangan. Di antara bayangan asap, terlihatlah tari-tariannya yang berganti-ganti. Semua orang yang berada di situ, bagaikan naik sorga, menonton para dewi yang sedang menari.

Gerakan yang lincah, suara yang merdu dan pakaian tipis berbayang, semua ini mengandung daya penarik yang telah membuat beberapa orang yang setengah mabok ini melayang-layang jauh di awan.

Siliran angin yang membawa bau wangi semerbak memasuki hidung mereka, membuat mereka menjadi malas-malasan. Mereka tidak mengetahui bau wangi inilah yang telah menjadikan mereka lupa daratan, hawa wangi inilah yang telah membuat perubahan pada diri mereka.

Sastrawan Pan Pin dengan tangan masih memegang cawan tertawa berkakakan. Mulutnya tidak henti-hentinya mengoceh:

“Saudara Tong yang bongkok ini mempunyai kesenangan yang luar biasa. Sangat beruntung, kami masih dapat turut merasai.”

Mendadak, Thian-mo Lo-lo menjerit dengan membentak:

“Maling bongkok, jangan kau bertingkah di hadapan nenekmu.”

Bersamaan dengan ramainya suara meja kursi yang berjumpalitan dan pecahan piring mangkok yang berterbangan, Thian-mo Lo-lo sudah menyerang ke arahnya Tong Touw Hio.

Hu-hay Sin-kun, Sastrawan Pan Pin dan lain-lain juga telah mulai merasa adanya perobahan. Dengan segera mereka telah lompat bangun.

Tapi, sudah terlambat. Satu persatu, mereka telah kehilangan semua kepandaiannya. Pukulan Thian-mo Lo-lo, seperti orang mengebut debu saja menempel perlahan-lahan di atas pundaknya Tong Touw Hio.

Tong Touw Hio tidak memperhatikan ini semua, dengan tertawa berkakakan ia berkata kepada orangnya.

“Para tamu telah menjadi mabok, lekas antar mereka ke belakang.”

Mereka telah terkena racun Siauw-kang-san yang jahat dari Lembah Merpati. Tidak perduli termakan ke dalam perut atau tercium oleh hidung, jika tidak makan obat pemunahnya, biarpun orang mempunyai kepandaian yang berapa tinggi pun tentu terkena serangannya, seluruh badan akan menjadi lemas dan tidak bertenaga sama sekali.

Beberapa orang-orang itu hanya dapat mempelototkan matanya dan memaki Tong Touw Hio yang tidak tahu malu.

Biarpun memaki bagaimanapun, semua orang tidak berdaya. Satu persatu telah dibawa masuk oleh para penari yang tidak mempunyai kepandaian.

Sesudah Hu-hay Sin-kun dan kawan-kawannya lenyap dari pandangan mata, dari dalam pintu bertindak keluar dua orang.

Yang pertama ialah seorang pelajar berbaju kuning dengan muka putih dan bibir merah. Di belakangnya mengikuti seorang wanita muda yang berpakaian keraton berwarna kuning tua.

Setelah Tong Touw Hio melihat dua orang ini masuk ke dalam ruangan, dia membongkokkan badannya dan memberi hormat.

Si pelajar baju kuning dengan mengeluarkan suara dari hidung sudah berkata:

“Sangat pandai kau mengurus perkara. Baru saja dimulai, segera kau mendatangkan demikian banyaknya musuh. Untuk selanjutnya, bagaimana kau mempertahankan kedudukanmu sebagai Duta Selatan?”

Dengan hormat Tong Touw Hio menjawab:

“Memang aku tidak mempunyai kepandaian, dan bahkan sering membuat suatu kesalahan. Syukur beberapa orang ini sudah dapat dibikin roboh, sebentar lagi akan kubereskan mereka.”

Si Wanita Muda Berbaju Keraton dengan dingin berkata:

“Enak saja kau berkata. Apakah kau kenal akan bayangan orang yang telah dapat menolong si gadis nelayan itu? Tinggi kepandaiannya tidak dapat diukur, jejaknyapun sangat aneh, tidak dapat diduga. Ketua lembah sudah memerintakan untuk menangkap kepadanya.”

Setelah berhenti sebentar, si wanita muda sudah berkata pula dengan suara keras:

“Kuperingatkan kepadamu, jika sampai kau membocorkan rahasia dari lembah dewa, awas batok kepalamu!”

Si pelajar baju kuning juga turut berkata:

“Sudah terang kau tidak dapat tinggal lebih lama di sini pula. Cepatlah berkemas untuk mencari tempat lain lagi.”

Tong Touw Hio masih tetap membongkokkan badannya dan manggut-manggutkan kepalanya sampai beberapa kali. Tapi dalam hatinya sudah seperti sedang diiris-iris. Ia telah menerima jabatan Duta Selatan. Ia telah menelan pi1 apa yang diberi nama Penyambung Nyawa, karena untuk memelihara pesanggrahannya ini yang telah bersusah payah diusahakannya dalam empatpuluh tahun lamanya.
 
07.02 Racun Siauw-kang-san dari Lembah Merpati

Loteng yang bersusun, harta benda yang tidak terkira menyebabkan ia menjadi demikian sayang akan jiwa tuanya. Ia masih tidak lupa akan kesenangan dunia, ia mengimpikan dapat kembali menjadi muda, ia mengimpikan dapat hidup ratusan tahun lamanya, ia mengimpikan......

Demikianlah ia menyembah kepada ketua Lembah Merpati yang masih berada dalam khayalan, ia menelan pil Penyambung Nyawa untuk menambah umurnya......

Tapi sekarang, ilmu yang memanjangkan umur masih belum mendapatkannya, kini ia harus menghancurkan pesanggrahannya yang telah diusahakan puluhan tahun lamanya dan harta kekayaannya yang telah dikumpulkan sedemikian lama. Ia tidak berani menolak perintah ini, karena ia mengetahui, kepandaiannya masih tidak dapat untuk menandingi orang-orang dari Lembah Merpati, biarpun orang ini hanya tergolong kelas dua, yang terpenting baginya, tiga bulan sekali, ia harus meminta pil pemunah racun dari orang Lembah Merpati. Jika tidak mendapatkan pil pemunah racun ini, tentu racun dari Pil Penyambung Nyawa, akan menjadi kumat kembali. Di waktu itulah, ia akan menjadi tersiksa dari pada segala macam siksaan yang berada di dunia.

Si pelajar baju kuning yang melihat ia demikian lama tidak bergerak dari tempatnya sudah kerutkau alisnya dan berkata:

“Duta Selatan, berani kau tidak mendengar perintahku?”

Tong Touw Hio dengan sedih menjawab:

“Jerih payahku ini telah diusahakan lebih dari empatpuluh tahun, sebetulnya....... dapatkah menunggu sampai beberapa hari, jika betul-betul keadaan sudah menjadi sangat mendesak, baru kita bertindak?”

Si wanita muda memperlihatkan wajah marah, dari dalam lengan bajunya, dia mengeluarkan cap batu kumala merah yang terukir sepasang burung Merpati. Dengan mengangkat tinggi-tinggi cap ini, ia sudah membentak:

“Perintah dari ketua lembah! Duta Selatan Tong Touw Hio harus membakar pesanggrahan Liong-sun-say! Segera! Pindah ke tempat yang baru! Sekian! Perintah harus di jalankan!”

Tong Touw Hio yang melihat ini, mukanya sudah menjadi berobah sama sekali. Bagaikan seorang terdakwa saja yang sudah mendengarkan putusan hakim, tentang hukuman matinya, ia bertekuk lutut, dengan muka yang pucat seperti mayat, dengan suara yang hampir mau menangis ia berkata:

“Siap menerima perintah dari ketua lembah.”

Dengan cepat, ia bangun kembali untuk pergi ke belakang, mencari orang-orangnya, agar dengan cepat dapat menyelesaikan tugas yang menyakitkan hatinya ini.

Tapi, mendadak, di atas kepalanya terdengar suara bentakan:

“Tong Touw Hio, jangan lari!”

Bagaikan burung garuda yang turun dari awang-awang, lompat turun seorang pemuda cakap, dia adalah Koo San Djie yang barusan terkena racun Siauw-kang-san!

Dengan tidak terasa, hatinya menjadi kaget bukan main. Dalam hatinya berkata:

“Bocah ini sangat aneh sekali. Racun Siauw-kang-san yang demikian banyaknya, bagaimana dia dapat memulihkan kembali tenaganya?”

Mana Tong Touw Hio dapat menyangka pada Pit Badak Dewa yang dapat memunahkan segala macam racun. Pit tersebut masih berada pada Koo San Djie, pit inilah yang menjadi kunci perubahan.

Ternyata, sewaktu badan Koo San Djie dilemparkan ke lantai, baru saja ia bangun, tentu saja deugan bersusah payah, tiba-tiba terdengar suara benda yang terjatuh dari badannya. Benda yang berwarna hitam mengkilap ini terjatuh ke lantai dan membuat lantai yang ditiban olehnya pecah.

“Dari Pit Wasiat Badak Dewa ini yang telah memberi ilham kepadanya. Pit ini dapat memunahkan segala macam racun, entah bagaimana dengan racun arak yang jahat ini?” Maka, dengan segera Koo San Djie menghampiri teko yang berada di atas meja, dan memasukkan ke dalamnya Pit Badak Dewa tadi. Dikocok-kocoknya beberapa lama, air yang berada di dalam teko tadi membuih, kemudian dengan membuka mulutnya, ia sudah menuang air yang telah dikocok dengan Pit Badak Dewa itu. Dengan perasaan tenang, ia duduk di atas papan panjang, menunggu reaksi dari percobaannya.

Tak lama kemudian, perutnya berbunyi keruyukan, setelah melepaskan beberapa kentut yang berbau busuk, badannya telah terasa menjadi enteng kembali. Ia mempunyai dasar kepandaian yang sempurna. Setelah menjalankan putaran peredaran darahnya ke seluruh tubuh, sisa racun yang masih berada di dalam tubuhnya telah dapat diusir keluar.

Dengan tidak terasa, ia mengeluarkan elahan napas lega. Hanya dalam waktu setengah jam saja, ia seperti dalam keadaan bermimpi. Dari hidup sampai mati, dan kemudian hidup kembali. Batal melapor diri ke akherat. Beberapa kali dalam hatinya berkata:

“Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!”

Jika tidak ada Pit Badak Dewa ini, bukannya nasibnya akan menjadi seperti pelayan apes tadi? Ketika ia hendak menerobos pintu menyerang keluar, mendadak, kupingnya telah mendengar suara elahan napas yang seperti sangat dikenal. Suara elahan napas biarpun ada sangat perlahan, tapi tidak dapat lolos dari kuping Koo San Djie. Maka, dengan segera, ia menuju ke arah datangnya suara tadi. Setelah berjalan tidak beberapa jauh, ia telah sampai ke dalam sebuah ruangan kecil. Di dalam ruangan ini terlihat seorang, orang sedang meringkuk, dia adalah Hay-sim Kongcu yang sedang dicari-cari!

Dengan tidak disengaja, ia telah dapat menemukannya, maka, dengan segera ia sudah lompat masuk, dengan perlahan-lahan ia berkata:

“Ternyata kau berada di sini!”

Hay-sim Kangcu sedang kesal memikirkan nasibnya yang melihat datangnya sang kawan, tentu saja dia menjadi girang, dengan cepat ia lompat berdiri.

Tapi, begitu kakinya menginjak tanah, hatinya sudah menjadi lemas kembali.

Begitu Koo San Djie datang, dia lantas menarik tangannya dan berkata:

“Kau tidak usah kesal memikirkannya. Sudah menjadi lumrah, bila suatu waktu kita kalah dalam pertempuran.”

Ia salah menyangka, Hay-sim Kongcu kesal memikirkan dirinya yang telah dijadikan tameng oleh orang.

Tapi Hay-sim Kongcu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya berkata:

“Bukan ini yang kumaksudkan. Kepandaian dan tenagaku seluruhnya telah lenyap.”

“Ooo, hanya ini yang kau pikirkan. Kau tunggu di sini sebentar.”

Kemudian, dengan tidak memikir kembali, ia sudah balik ke dalam kamar tahanannya tadi, untuk mengambil teko yang berisi air pemunah racun. Segera dibawanya teko tersebut pada kawannya seraya berkata:

“Minumlah, air dalam teko ini adalah obat pemunah racun.”

Hay-sim Kongcu menurut petunjuk sang kawan, ia telah meminumnya. Benar saja tidak lama kemudian, kekuatan dan kepandaiannya pun telah menjadi pulih kembali, hingga bukan main girangnya.

Terdengar Koo San Djie sudah bertanya kepadanya:

“Saudara, dengan cara bagaimana mereka dapat membawamu kemari?”

Hay-sim Kongcu menggoyangkan kepalanya. Dengan sengit ia menjawab:

“Tidak kusangka, orang-orang itu begitu tidak mengenal peraturan.”

Lalu diceritakannya tentang pengalaman dan hal-hal yang menyangkut tentang Lembah Merpati yang tersembunyi.

Ternyata, pada waktu itu, ketika Hay-sim Kongcu duduk mengobati lukanya, dari jauh berlari mendatangi beberapa orang. Sewaktu ia membuka kedua matanya dan mengenali yang datang itu adalah empat orang aneh dari Kong-lu. Biarpun hatinya merasa kaget, tapi ia tidak memperlihatkan perubahan itu pada air mukanya. Sebagai seorang yang lebih muda, ia menjura dan memberi hormat kepada mereka.

Tidak disangkanya, si orang aneh pertama U cit tertawa berkakakan, dengan mulut tidak henti-hentinya berkata:

“Barang bagus! Barang bagus!”

Hay-sim Kongcu menjadi melengak mendengar kata-kata itu.

Mandadak, di belakangnya ada angin yang menyerang. Ia yang telah mendapat didikan sempurna dari Hu-hay Sin-kun, kepandaiannya tidak dapat dipandang ringan, dengan menggerakan badannya ke belakang, ia sudah dapat mengelakan serangan itu. Setelah menengok ke belakang, dilihatnya yang menyerang adalah Kiong-sie, si bontot dari orang aneh itu. Maka hatinya menjadi panas juga.

Baru saja ia mau menanyakan tentang sebab musababnya, mendadak, ia telah dikurung oleh mereka berempat.

Dengan kepandaiannya Hay-sim Kongcu, jika satu lawan satu, tentu bisa memberikan perlawanan. Tapi, ia dikeroyok oleh empat orang, biarpun ayahnya sendiri, Hu-hay Sin-kun, juga masih tidak dapat menandingi mereka. Maka sebentar saja, ia sudah tertotok rubuh.

Keempat orang aneh dari Kong-lu tidak berkata apa-apa lagi, mereka mengempit dan membawakannya pergi.

Di tengah jalan, mereka takut kalau Hay-sim Kongcu mendapat luka, kerena tertotok terlalu lama, maka setelah diberi sedikit minum, totokannya juga telah dibuka.

Setelah totokan jalan darahnya terlepas, ia sudah merasa senang juga. Ia hanya tinggal menunggu kesempatan saja untuk melarikan diri, meninggalkan mereka, tapi tidak disangkanya sama sekali, kepandaiannya sudah menjadi lenyap dan punah. Setelah ia mengetahui, tidak ada harapan untuk melarikan diri, maka dengan tenang telah mengikuti mereka dengan sewaktu-waktu mencari kesempatan untuk memberi tanda minta pertolongan.

Dan sampailah ia terkurung di dalam Liong-sun-say.

Keempat orang aneh dari Kong-lu sudah menganggap ia sebagai burung dalam kurungan, yang tidak bisa terbang lagi. Mereka bercakap-cakap dengan leluasa, sehingga ia dapat mengetahui banyak sekali tentang keadaan Lembah Merpati.

Yang terpenting. Pertama, ialah ketua dari Lembah Merpati bukanlah Sui Yun Nio atau Phoa An berhati ular.

Yang kedua, ialah orang Lembah Merpati dengan ketiga barang penariknya sedang memancing orang-orang dari kalangan Kang-ouw.

Ketiga barang penarik itu ialah: cara memelihara muka, kepandaian dari dalam lembah dan gadis-gadis cantik yang tersedia.”

Yang ketiga ialah, ketua Lembah Merpati telah memberi empat jabatan Duta di empat penjuru. Tong Tauw Hio mungkin menjadi salah satu dari duta ini. Dan seperti empat orang aneh dari Kong-lu, dua Siluman suami istri dan yang lain-lainnya lagi adalah ia yang memanggilnya.

Mendengar penuturan dari Hay-sim Kongcu ini, Koo San Djie sudah menjadi mengerutkan kening. Seperti berkata sendiri, ia mengoceh:

“Tidak disangka, urusan telah berubah demikian kusut. Tapi, mengapa mereka tidak membunuhku?”

Hay-sim Kongcu dengan menggebrakkan tangannya berkata:

“Orang-orang yang tidak bedanya dengan binatang itu sudah membawaku untuk dijadikan barang antaran.”

Koo San Djie juga telah memikir, mengapa Tong Touw Hio, setelah dapat meracuninya tidak segera membunuhnya, tapi dibiarkannya saja. Mungkin juga mempunyai maksud yang sama.

Dua orang itu terdiam sebentar, kemudian Koo San Djie berkata:

“Lekaslah kita pergi ke depan, mungkin juga ayahmu telah datang menuju kemari!”

Dengan sekali loncat, ia sudah mendahului pergi ke ruang depan.

Tapi, mendadak di sebelahnya tampak berkelebat bayangan yang tinggi besar. Dengan suaranya yang perlahan bayangan itu berkata:

“Apa saudara kecilku? Lekas bawa pit mu kemari, benda itu dibutuhkan untuk menolong orang!”

Yang datang adalah Tiauw Tua. Maka, dengan cepat Koo San Djie sudah menyerahkan benda yang diminta.

Tiauw Tua memandang Hay-sim Kongcu, kemudian ia berkata.:

“Mari ikut aku menolongi ayahmu.”

Dengan cepat, ia sudah membalikkan badan dan pergi ke belakang. Hay-sim Kongcu yang mendengar ayahnya telah terluka, cepat-cepat mengikutinya di belakang.

Dengan langsung Koo San Djie pergi menuju ke ruangan depan, tepat telah bersampokan dengan Tong Touw Hio. Begitu dilihatnya orang yang bermuka dua ini, hatinya sudah menjadi panas kembali. Dengan marah keras ia mencaci:

“Maling tua, kau sedikitnya juga telah mendapat nama di kalangan Kang-ouw, mengapa masih begini tidak tahu malu? Tidak disangka, perbuatanmu ternyata lebih rendah dari pada kurcaci saja. Jika kau tidak dapat memberikan penjelasan kepadaku, jangan harap kau dapat lari dari tanganku!”

Sebenarnya, Koo San Djie bukannya orang yang pandai menggunakan mulutnya, tapi kali ini karena dalam keadaan marah dan kesal, ia bisa menggunakan perkataan-perkataan yang tajam ini.

Tong Touw Hio sedang merasa kesal, karena paksaan dari si pelajar baju kuning dan wanita muda tadi, mendengar makian ini, dia menjadi seperti orang gila, berkakakan di tempatnya, sampai mengeluarkan air mata. Setelah puas ia tertawa sekian lamanya, baru terdengar suaranya berkata:

“Sebenarnya aku bermaksud baik, hendak mengantarkan kau masuk ke dalam lembah dewa, tidak disangka, ternyata kau tidak berterima kasih. Baiklah, untuk selanjutnya, jangan kau menyesal, jika aku bertindak kejam.”

Lembah Merpati dikatakan sebagai lembah Dewa!

Badannya melesat tinggi ke atas, bagaikan burung hantu saja, dia menerkam ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie tidak tinggal diam. Ia sudah berputar lompat ke tempat sebelah kiri, mengangkat sebelah tangan kiri, dia menyerang ke depan.

Tong Touw Hio mendapat nama di dunia Kang-ouw bukan tidak ada sebabnya. Begitu melihat serangan, dia mengarah ke tempat kosong, bagaikan titiran saja, badannya berputar-putar, mengikuti gerakkan Koo San Djie, ia juga menyerang dengan sebelah tangannya.

Dua buah pukulan kebentur menjadi satu. Dengan terpaksa, Tong Touw Hio mundur tiga tindak, bersama dengan suara pecahnya batu bata, barulah ia dapat menegakkan dirinya, dengan meminjam daya tahan dari beradunya kaki dan lantai.

Tapi, Koo San Djie tidak bergeming setindakpun.

Di hadapannya dua tamu agung dari Lembah Merpati ini, ia dapat kekalahan demikian rupa, bagaimana Tong Touw Hio menaruh mukanya? Maka, dengan cepat ia sudah maju dua tindak. Pukulannya bagaikan hujan deras, datang saling susul, menyerang tiga kali. Tiga serangan ini mengandung perobahan-perobahan yang dapat dibanggakan olehnya.

Koo San Djie yang tidak menduga akan kekuatan dari sang lawan yang begitu tangguh, dia sudah dipaksa mundur beberapa kali. Hati menjadi gelisah.

Begitu hatinya menjadi gelisah, dengan tidak terasa, ia telah mengeluarkan ilmu simpanan. Serangan-serangannya lebih tajam, lebih aneh dari pada yang telah digunakan oleh Tong Touw Hio tadi. Dengan sebentar saja, Tong Touw Hio sudah terdesak mundur.

Serangan-serangannya bagaikan ada tali saja yang mengikatnya sambung menyambung, sehingga Tong Touw Hio sampai tidak ada kesempatan untuk balas menyerang.

Mendadak, desiran angin yang membawa hawa harum telah datang menyelak di antara mereka, bayangan yang tinggi dan langsing berkelebat, mengulurkan sebelah tangannya yang putih bersih menggaet ke arah tangan Koo San Djie.

Si anak muda dengan cepat sudah membalikkan tangan dan memotong ke arah bayangan tadi. Tapi orang yang datang tadi dengan gesit sudah menyingkir dan berdiri di sebelahnya.

Si wanita muda dengan mengibaskan tangannya sudah berkata kepada Tong Touw Hio:

“Kau lekas pergi mengurus urusanmu. Di sini ada aku yang melayaninya.”

Tong Touw Hio menggunakan kesempatan ini lari menyingkir ke belakang.

Tapi terdengar bentakkannya Koo San Djie yang keras:

“Maling tua, ingin lari dari sini?”

Koo San Djie hendak menghadang, tiba-tiba si wanita muda dengan tertawa haha hihi berkata:

“Sabar, adik kecil. Bukankah sama saja, aku yang melayani kau, main-main dalam beberapa gebrakan?”

Koo San Djie sudah bertekad untuk menguber Tong Touw Hio, mana ada waktu untuk menonton wajah yang manis dari si wanita muda.

“Minggir!” bentaknya, seraya menggerakkan tangannya.

Biarpun gerakannya perlahan, tapi mengandung kekuatan yang tersembunyi sangat besar sekali.

Si wanita muda agaknya mendongkol. Setelah menyingkir dari serangan Koo San Djie, ia segera menyerang dengan pukulan yang aneh, cepat luar biasa.

Hati Koo San Djie, tergetar juga. Tidak ia sangka kepandaian wanita muda itu demikian anehnya. Terpaksa, ia harus menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab Im-hoe-keng.

Mereka bertanding sama-sama cepat, dalam sekejap saja, mereka sudah saling menyerang sepuluh jurus, dalam mana telah diperlihatkan tipu-tipu pukulan yang mengandung banyak perobahan-perobahan.

Masing-masing terkejut oleh kepandaian lawan. Boleh dikatakan lawannya adalah musuh yang tertangguh yang baru ditemui.

Koo San Djie sambil bergerak tangannya, hatinya memikir:

“Jika wanita muda ini orang dari Lembah Merpati, bagaimana pula tentang kepandaian dari ketua lembah itu?”

Ia menjadi ragu-ragu akan kepandaiannya sendiri. Ia tadinya menyangka dengan kepandaian yang dimiliki kini, tentu sudah sanggup menandingi ketua dari Lembah Merpati. Sekarang, baru saja menghadapi salah satu orang bawahannya, si wanita muda yang agaknya takut akan angin, sudah merasa sukar.......

Karena hatinya tidak mantap, otaknya memikiri yang bukan-bukan, sewaktu ia lengah sedikit, jari yang halus dari si wanita muda, dengan tepat telah mengarah Kian-kim-hiat di atas pundaknya. Untuk menyingkir dari serangan ini sudah tidak mungkin, maka, dengan segera ia mengerutkan seluruh tubuhnya. Biarpun demikian, tidak urung, bajunya masih menjadi korban dari kelengahannya, tertusuk bolong dan robek sebagian.

◄Y►

Di lain bagian, Tiauw Tua berhasil menolong orang-orang.

Hay-sim Kongcu bersama-sama Tju Thing Thing, dengan dua pedang panjang pendek mengeroyok Iblis Pipi Licin.

Tiauw Tua membereskan dua lawannya, terlalu cepat. Kini dia sudah tidak mendapat lawan pula, ia lalu bertindak, mau meninggalkan tempat itu dan mencari Koo San Djie yang masih belum diketahui bagaimana keadaannya.

Tapi tiba-tiba seiring dengan datangnya suara desiran angin, dari atas udara telah lompat turun dua orang.

Mereka adalah si pelajar tampan berbaju kuning, di belakangnya diikuti oleh Tong Touw Hio yang sedang dicari-cari oleh mereka semua.

Tong Touw Hio begitu loncat turun sudah membuka suaranya yang tidak enak:

“Siapa?” Bahasanya juga tidak enak: “Kau orang setelah terjatuh ke dalam tangannya Liong-sun-say apa masih juga ingin melarikan diri?”

Tiauw Tua menyelipkan Pit Badak Dewa ke dalam pinggang bajunya, dia tidak mau kalah bicara:

“Aku Tiauw Tua sudah lama ingin mencoba ilmumu Tong-touw-ciang. Mari, mari, kita menentukan siapa yang lebih tinggi di antara kita.”

Dua orang itu lantas bertempur tanpa banyak rewel lagi.

Si pelajar baju kuning dengan perlahan-lahan sudah maju ke dalam kalangan pertempuran. Dengan suara adem ia berkata kepada orang-orangnya

“Pa-sam, Kong-sie, mundur!”

Yang paling senang mendengar teriakan ini ialah Iblis Pipi Licin, dia sedang terdesak oleh Hay-sim Kongcu dan Tju Thing Thing.

Setelah menyerang keras dua kali, ia sudah lompat mundur dan berdiri di belakang si pelajar baju kuning.

Tangan Thian-mo Lo-lo menunjuk dan membentak kepada si pelajar baju kuning:

“Apa kau ini datang dari Lembah Merpati? Apa si binatang Lam Keng Liu itu masih berada di sana?”
 
Kehancuran Pesanggerahan Liong-sun-say

Si pelajar baju kuning merasa tidak senang melihat sikapnya Thian-mo Lo-lo yang galak berlugas, dia tertawa gelak-gelak, sambil menunjuk-nunjukan beberapa kali. Ia menjawab dengan suara dingin:

“Aku tidak ada waktu untuk mengadu mulut. Jika ingin bertarung, lekaslah maju semua.”

Thian-mo Lo-lo beradat keras, mendengar perkataannya si pelajar baju kuning yang sombong ini, dia berjingkrak-jingkrak di tempat.

“Manusia sombong!” ia membentak sengit.

Tangannyapun tidak tinggal diam, pukulan yang pertama, seiring dengan perkataannya sudah sampai di mukanya si pelajar baju kuning.

Pemuda itu tidak bergerak dari tempatnya. Dengan tenang hanya mengangkat sebelah tangannya, membuat lingkaran dan sebuah goresan, yang telah membawa angin serangan dari Thian-mo Lo-lo menyingkir lewat dari samping kepalanya. Dengan tertawa ia tersenyum mengejek:

“Pukulanmu masih kurang keras, coba keluarkan lagi!” tantangnya.

Hu-hay Sin-kun dan lain-lain yang menonton di pinggiran, melihat ini sudah menjadi bergidik.

Amarah Thian-mo Lo-lo meluap, ia menjadi kalap. Kedua belah tangannya, saling susul menyerang sampai tujuh kali. Ilmu pukulannya berada di atas dari Sastrawan Pan Pin dan lain-lain. Kekuatan dari tujuh serangan ini, yang satu bertambah kuat dari yang lain sampai kepada serangan yang ketujuh, adalah seluruh kekuatan dari Thian-mo Lo-lo, tentu saja tidak dapat dipandang ringan.

Tapi, pelajar baju kuning masih berada dalam keadaan tenang, ia hanya ganda melompat ke kiri dan melompat ke kanan dengan gampang, menghindarkan diri dari serangan-serangannya Thian-mo Lo-lo.

Mendadak, si baju kuning berkelebat laksana kilat, segera terdengar jeritan yang seram dari Thian-mo Lo-lo, badannya diterbangkan, bagaikan layangan putus dari talinya, melayang ke belakang dan terjatuh di tanah, dengan mulut mengeluarkan darah.

Tju Thing Thing kaget menjerit:

“Suhu......!”

Dan badannya sudah lompat ke arah gurunya.

Tapi Thian-mo Lo-lo hanya menggoyang-goyangkan tangannya dan duduk di sana.

Kekalahannya Thian-mo Lo-lo sudah membangkitkan kemarahannya Hu-hay Sin-kun. Dari jauh ia sudah mengerahkan ilmunya Wie-mo-ciang dan menyerang ke arahnya si pelajar baju kuning.

Tapi, si pelajar baju kuning hanya tertawa dingin. Kedua tangannya digulung sebentar dan melenyapkan serangan jago dari pulau itu. Kemudian ia merangsak dan menyerang dengan kecepatan yang luar biasa.

Hu-hay Sin-kun sudah melihat contoh dari dirinya Thian-mo Lo-lo, tidak berani menangkis serangan ini. Dengan cepat ia menyingkir ke samping.

◄Y►

Kembali kepada jago muda kita. Koo San Djie marah, dia membentak keras, sebelum tangannya menyerang dengan hebat. Inilah jurus yang terakhir dari ilmu Im-hoe-keng, Ilmu pukulan ini sifatnya keras, mengarah ke seluruh penjuru, di antara tempat sejauh dua tumbak.

Si wanita muda menjerit kaget, dengan mengikuti arah angin, ia sudah enjot tubuhnya, lompat ke atas wuwungan, inilah jalan satu-satunya untuk menghindarkan serangan Koo San Djie yang berbahaya.

Koo San Djie menjublek di tempat. Inilah untuk pertama kali, serangannya tidak mengenai sasaran. Ia tidak mengetahui, wanita muda terluka atau tidak, tapi yang jelas baginya, serangannya telah menubruk tempat kosong.

Dipikirnya kembali, jurus-jurus yang digunakan oleh si wanita muda tapi, ia belum pernah melihat atau mendengar tentang ilmu silat serupa ini. Biarpun ia telah berhasil membuat si nona mundur, tapi kejadian ini telah menghilangkan separuh kepercayaan atas kepandaiannya sendiri.

Mendadak, ia ingat kepada Tiauw Tua yang pergi menolong orang, mengapa sampai saat ini masih belum kelihatan mata hidungnya? Mengingat sampai di sini, tergesa-gesa ia memburu ke ruangan belakang.

Dia tiba di sana, terdengar olehnya suara bentakan dari beberapa orang yang sedang bertarung. Ia memperhatikan siapa-siapa yang sedang bergebrak, hatinya menjadi sangat kaget. Tidak ragu-ragu lagi, cepat ia sudah melompat ke tengah-tengah medan pertarungan.

◄Y►

Ternyata Tiauw Tua yang pergi ke belakang, setelah mencari-cari beberapa lama, ia telah tidak dapat menemui orang-orang yang ia lihat tadi di tempat itu. Tiba-tiba ada bayangan langsing berkelebat, seperti tengah mengendong seorang, lenyap di belakang pohon-pohon.

Cepat ia gerakkan tubuhnya melesat, mengejar bayangan tadi lewat. Ia sangat mencurigai orang itu, maka ia sudah lari membuntutinya. Sebenarnya, dengan ilmu mengentengi tubuh Tiauw Tua yang sangat mahir, dan ditambah pula orang tadi harus menggendong seorang yang telah menambah bebannya, tidak mungkin tidak dapat mengejar.

Tapi kejadian memang sukar diduga, terbukti dengan jarak mereka yang semakin lama semakin jauh, dan kemudian orang itu lenyap dari pandangan mata.

Jatuhlah nama Tiauw Tua kali ini, dengan lesu ia balik kembali ke dalam pesanggrahan Liong-sun-say.

Sangat kebetulan, baru saja ia memasuki pesanggrahan, kupingnya yang tajam sudah mendengar suara makian dari Hu-hay Sin-kun beramai yang sedang di tarik ke belakang oleh para penari tadi.

Dilihat dari kelakuan mereka, seperti telah kehilangan semua kepandaiannya.

Sebetulnya, dengan hanya mengangkat sebelah tangan saja Tiauw Tua sudah dapat membunuh semua penari ini, tapi ia tidak berani berbuat ceroboh. Jika terjadi suatu keributan, sukarlah baginya untuk memperhatikan demikian banyak orang yang telah kehilangan ilmu.

Mendadak ia teringat pada Pit Badak Dewa milik Koo San Djie. Ia sudah dapat menduga bahwa Hu-hay Sin-kun dan kawan-kawannya, tentu telah terkena semacam racun yang telah menyebabkan mereka tiada berdaya.

Setelah dapat bertemu dengan Koo San Djie, dan berhasil meminjam Pit Badak Dewa, bersama-sama dengan Hay-sim kongcu ia lari ke belakang untuk menolong kawan-kawannya.

Setelah mereka dapat ditolong, yang paling pertama tidak dapat menahan sabar ialah Thian-mo Lo-lo, dengan mulut memaki kalang kabutan ia sudah mulai mencari orang untuk melampiaskan amarahnya. Disusul oleh Hu-hay Sin-kun dan Sastrawan Pan Pin.

Tak lama setelah mereka keluar, bertemulah dengan Min Min Djie, empat orang aneh dari Kong-lu dan iblis Pipi Licin. Hanya bayangan suami istri siluman yang tidak terlihat mata hidungnya.

Ternyata dua siluman itu seperti telah mendapat pirasat tidak baik, sebelumnya telah meninggalkan tempat itu dan kabur entah kemana.

Yang pertama menyerang ialah Tiauw Tua. Ia berusaha untuk dapat menyelesaikan urusan dengan cepat, maka begitu menyerang, ia sudah menggunakan seluruh kekuatan tenaganya.

Sial bagi Min Min Djie yang berada paling depan, belum juga ia hilang dari bingungnya, memikirkan bagaimana orang-orang ini dapat menjadi segar kembali, satu serangan Tiauw Tua yang hebat telah sampai dan membuat ia terjungkal jatuh.

Hu-hay Sin-kun dan yang lainnya, bagaikan macan kalap saja sudah menerjang maju semua. Demikian terjadilah suatu pertempuran yang kalut.

Tiauw Tua yang dalam tangannya menggenggam Pit Badak Dewa telah dapat melukai U Cit. Sedangkan Hu-hay Sin-kun telah mendapat perlawanan yang sengit dari Ciauw-pat. Dan dua orang lainnya, orang aneh dari Kong-lu, Pa-sam dan Kiong-sie, telah dikurung oleh Thian-mo Lo-lo, Sastrawan Pan Pin dan Lok-sui Cian-liong.

Dengan sangat hati-hati Hu-hay Sin-kun melayani si pelajar baju kuning. Ia mengetahui sesuatu serangan yang dikeluarkan oleh sang lawan ada sangat cepat, sangat aneh. Sesuatu serangan lawannya telah memaksa ia harus muudur beberapa tindak. Inilah lawan tangguh baginya. Ia harus menerima serangan, tidak mampu membalas serangan.

Hay-sim Kongcu yang sangat menguatirkan atas keselamatan ayahnya, sudah menggenggam pedang pendeknya erat-erat, dia berdiri di samping.

Keringat dingin telah membasahi tangannya. Biarpun demikian, ia tidak berani maju membantu, karena ia tahu, dengan kepandaian yang dimilikinya hanya akan menambah kekuatiran ayahnya saja.

Mendadak keadaan menjadi guram. Hu-hay Sin-kun dengan berteriak keras telah terpental jauh ke belakang.

Bagai terkena ketokan Hay-sim Kongcu menjadi kalap! Bersama-sama dengan. Lok-sui Cian-liong, ia sudah mengurung si pelajar baju kuning yang tangguh.

Si sastrawan Pan Pin pergi membimbing bangun Hu-hay Sin-kun yang terluka. Masih beruntung, ia mempunyai latihan yang kuat, selama puluhan tahun lamanya, sehingga pukulan maut si pelajar baju kuning tidak sampai mengambil jiwanya.

Sewaktu Koo San Djie sampai di situ, ialah pada saat Hay-sim Kongcu berdua menyerang ke arah si pelajar baju kuning tadi. Ia mengetahui, Hay-sim Kongcu bukan tandingan dari pelajar tangguh ini, maka ia sudah berteriak:

“Saudara Hay-sim, serahkan padaku untuk menghajarnya!”

Seiring dengan kata-katanya, tubuh jago muda kita sudah berada di tengah-tengah kalangan pertempuran.

Si pelajar baju kuning yang pernah menyaksikan pertempuran Koo San Djie dengan Tong Touw Hio, tentu saja mengetahui, inilah lawan yang tertangguh baginya. Maka dengan cepat ia telah menjatuhkan Lok-sui Cian-liong dan berbalik menghadapi Koo San Djie.

Dengan tidak banyak bicara lagi, terjadi pertempuran dari kedua jago muda yang tangguh itu. Pertarungan ini berbeda dari biasa, sewaktu cepat, bisa membuat kabur pandangan mata, sewaktu regang, dapat membuat orang meleletkan lidah karenanya.

Sepuluh jurus telah lewat, siapapun tidak dapat menjatuhkan lawan masing-masing.

Pertarungan ini telah membuat Sastrawan Pan Pin yang kawakan tidak dapat mengatakan suatu apa. Baru ini kali dia melihat orang bertarung demikian hebatnya.

Dengan teratur, kedua belah pihak telah mengedorkan serangannya. Dengan mata memandang tajam, berputaran di suatu tempat, dengan tangan tidak henti-hentinya digerak-gerakan.

Cara ini tidak bisa disamakan dengan pertempuran biasa, masing-masing sudah mengeluarkan kepandaiannya, mencari tempat kematian dari sang lawan.

Si Pelajar Baju Kuning sudah basah mandi keringat, sastawan Pan Pin juga telah merasa kesakitan, karena sedari tadi meremas-remas tangannya. Hanya Koo San Djie, biarpun masih dalam keadaan tenang. Ia masih tetap berada di atas angin.

Mendadak, si Pelajar Baju Kuning membentak keras, dan badannya melayang ke atas. Dua jago telah menentukan kemenangan di atas udara, bayangan telapak tangan berseliweran, kain baju berkibaran. Si pelajar baju kuning terdesak ke belakang, setelah mundur beberapa kali, dengan muka yang pucat pasi dan beringas ia berkata:

“Hari ini kau boleh bangga, tapi setahun kemudian, aku akan mencarimu pula!”

Begitu ia menutup mulutnya, orangnya pun telah melayang pergi. Sebentar saja ia telah lenyap dari pandangan mata.

Koo San Djie menghela napas mendapat kemenangan yang sukar ini. Kabar dari Hay-sim Kongcu tidak salah, ketua Lembah Merpati masih merupakan suatu rahasia. Si Wanita muda dan pelajar baju kuning ini tidak ada satu juruspun menggunakan apa yang dinamakan ilmu Sepasang Merpati, dan gerakannya lebih sukar dipelajari dari pada Hian-oey-ciang, maupun Wie-mo-ciang.

Sebelumnya, ia percaya betul kepada dirinya sendiri akan dapat mengalahkan ketua Lembah Merpati. Ternyata, setelah didengarnya bahwa ketua Lembah Merpati bukanlah Phoa An berhati ular Lam Keng Liu dan Sui Yun Nio, maka buyarlah sama sekali kepercayaannya. Ketua Lembah Merpati sudah dapat dipastikan, bukannya dua orang itu, dan sukarlah untuk ia dapat menandingi ketua lembah yang sebenarnya.

Ia tenggelam dalam lamunannya untuk memikirkan jurus pertempuran tadi, kepandaian yang digunakan oleh sang lawan sedemikian anehnya dan jika bukan tenaga dalamnya yang berada di atas lawannya, sukarlah untuk menentukan kemenangan.

Sementara itu pertempuran di antara Tiauw Tua dan Tong Touw Hio sudah sampai pada babak yang menentukan.

Biar bagaimana, masih Tiauw Tua yang lebih kuat, dengan pukulannya ia sudah memukul mundur Tong Touw Hio sampai tujuh atau delapan tindak, sehingga pinggangnya telah menempel pada dinding tembok.

Dengan menahan sakit, ia mengusap mukanya yang sudah bonyok dan penuh dengan keringat, badannya sudah melesat ke dalam sebuah lorong, ngeloyor meninggalkan musuhnya.

Pa-sam dan Kiong-sie membimbing U-cit dan Ciauw-pat, bersama dengan Iblis Pipi Licin, bagaikan jago-jago yang kalah dalam pertarungan, juga turut ngeloyor pergi.

Baru kini Koo San Djie tersadar dari lamunannya dengan cepat menuju ke tempat orang-orang yang terluka tadi.

Thian-mo Lo-lo dengan perlahan-lahan sudah dapat menenangkan kembali jalan darahnya yang kacau. Hu-hay Sin-kun dengan dipimpin oleh Hay-sim Kongcu mencoba untuk berjalan, ia mengawasi mayat Lok-sui Cian-liong yang telah menjadi korban, membuat beberapa tetes air matanya jatuh menetes ke tanah.

Setelah mengalami malapetaka ini, semua orang sudah semakin memandang tinggi kepada Lembah Merpati. Kepandaian ilmu silat dari Lembah Merpati ini lebih tinggi daripada taksiran mereka. Biarpun betul mereka dapat menemukan jalan masuk ke Lembah Merpati, dengan hanya beberapa orang seperti mereka itu, jangan harap untuk dapat melayani jago-jago dari Lembah Merpati.

Hu-hay Sin-kun merasa berduka. Ia merasa sang waktu telah memakan umurnya, ia telah merasa sudah tua. Dengan mengandalkan tulang tuanya, setinggi-tingginya ia melatih diri lagi, paling banyak juga hanya dapat menandingi pelajar baju kuning tadi. Sedangkan orang dalam Lembah Merpati masih banyak yang lebih tinggi kepandaiannya dari pelajar ini.

Harapannya tumplek kepada anaknya Hay-sim Kongcu, dan ia telah mengingat kepandaian dari gunung es. Perkumpulan Kuning dari para Lhama yang mempunyai pintu perguruan yang sama dangannya, dengan kepandaian-kepandaiannya yang tinggi masih ada harapan untuk dapat mewakili dirinya, mendidik anaknya. Maka ia sudah mengambil keputusan untuk mengirimkan anaknya pergi ke sana.

Thian-mo Lo-lo melihat Tju Thing Thing yang bersandar di samping, dia telah menyaksikan bahwa sapasang mata muridnya selalu ditujukan kepada Koo San Djie dengan tidak puas-puasnya. Maka terjadilah pertarungan di dalam hatinya. Ia merasa Koo San Djie dengan kepandaian dan kelakuannya yang tidak dapat dicela, jika dijodohkan kepada Tju Thing Thing, memang adalah merupakan pasangan yang setimpal. Ia mengharap agar Koo San Djie dan Tju Thing Thing sama-sama menjelajah dunia Kang-ouw.

Tapi adatnya yang aneh dan kukuh telah memaksa ia tidak berbuat demikian. Ia selalu mengingat bahwa Koo San Djie adalah adik seperguruan dari Lam Keng Liu. Ia sedemikian bencinya kepada Phoa An berhati ular Lam Keng Liu itu. Phoa An adalah nama dari seorang laki-laki yang sangat cakap pada jaman Tiongkok kuno. Dari sini dapat ditaksir bahwa wajah Lam Keng Liu itu tentu demikian cakapnya, sehingga mengakibatkan luluhnya hati Thian-mo Lo-lo yang keras ini.

Mengingat hubungan dengan Lam Keng Liu, Thian-mo Lo-lo sampai tidak memikirkan kepentingan Tju Thing Thing lagi. Ia sudah mengambil keputusan untuk membawa Tju Thing Thing ke suatu tempat untuk melatih diri, guna membalas dendam kepada semua laki-laki. Mewakili ia membalas dendam.

Ia tidak perduli, dengan cara seperti ini, dia memaksa Tju Thing Thing melepaskan kepandaian aslinya dan mempelajari semacam ilmu gaib. Inilah keputusan yang terakhir untuk dapat mengalahkan Lam Keng Liu. Kekalahan tadi yang membuatnya menjadi malu dan uring-uringan.

“Lekas ikut aku berangkat!” ia membentak Tju Thing Thing.

Tanpa pamitan dari orang-orang yang berada di situ, ia sudah lompat pergi.

Tju Thing Thing sebenarnya sudah sejak tadi ingin menghampiri Koo San Djie untuk mengucapkan beberapa perkataan, tapi melihat keadaan gurunya yang terluka, maka terpaksa ia harus mendampingi sang guru untuk menjaga sesuatu keperluan yang dimintanya.

Setelah melihat luka sang guru yang sudah hampir sembuh, iapun telah mengangkat langkahnya, hendak pergi menghampiri Koo San Djie, tapi sudah keburu dipanggil oleh gurunya dan mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.

Dengan sangat berat dan terpaksa, ia hanya dapat mengulap-ulapkan tangannya dan berkata:

“Adik San, selamat tinggal......”

Tapi, air matanya telah turun dengan deras, dan perkataannya pun telah menjadi sember karenanya.

Koo San Djie baru saja mengalami dua pertempuran yang seru, lagi pula otaknya sudah penuh dengan pikiran-pikiran yang ruwet, mana ada waktu untuk melayani semua orang.

Waktu ia mendengar suara panggilan Tju Thing Thing yang serak, hatinya menjadi kosong, dia telah kehilangan sesuatu.

Sebenarnya, Tju Thing Thing telah menduduki suatu tempat di dalam hati Koo San Djie, jika saja tidak ada Ong Hoe Tjoe yang datang terlebih dahulu mungkin juga Tju Thing Thing dapat mengambil seluruh hatinya. Dengan mata berkunang-kunang, ia memandang ke arah lenyapnya bayangan si nona, terasa dunia telah menjadi hampa.

Dari Tju Thing Thing, mendadak ia teringat pada Ong Hoe Tjoe. Dengan tidak terasa, mulutuya telah berkata dengan kemak-kemik:

“Ciecie Hoe Tjoe, kau berada di mana?”

Mendadak, ia seperti ingat sesuatu, ia membalikkan badannya dan bertanya kepada Tiauw Tua:

“Toako, bagaimana tentang kabar Ong Hoe Tjoe ?”

Tiauw Tua setelah ragu-ragu sebentar lalu menjawab:

“Mungkin ia telah tertolong oleh orang lain.”

“Apa? Siapa yang menolongnya?”

“Aku seperti melihat seorang wanita menggendong seseorang. Yang digendong tentu Ong Hoe Tjoe. Karena gerakannya yang terlalu cepat sampai aku tidak dapat melihat jelas kepadanya.

Inilah hanya suatu dugaan. Koo San Djie tidak merasa puas dengan jawaban ini. Dengan tidak terasa ia telah mengeluarkan elahan napas panjang. Kemudian perlahan-lahan berkata:

“Ke ujung langitpun akan kucari juga. Aku telah berhutang budi pada keluarganya!”
 
BAB 08.01 Tanda kenangan dari kekasih.

Di antara cuaca yang remang-remang, di bawah gunung Pit-kie, terlihat api merah yang menjulang tinggi ke langit. Pesanggrahan Liong-sun-say yang megah sudah menjadi lautan api.

Di antara sinar terang merah itu, Koo San Djie, Sastrawan Pan Pin dan Tiauw Tua bertiga, bagaikan bintang yang jatuh dari langit, melesat keluar dari pesanggrahan, sebentar saja, mereka sampai di jalan pegunungan yang sepi.

Koo San Djie yang ingin cepat-cepat menemui jejaknya Ong Hoe Tjoe, menganggap dengan mendapatkan wanita yang menggendong seseorang adalah suatu jalan untuk menemuinya sang kekasih.

Sastrawan Pan Pin mengusulkan pergi ke daerah Kang-lam, untuk minta bantuannya para ketua dari berbagai golongan partay. Ia menganggap untuk menghadapi Lembah Merpati harus mendapat bala bantuan yang kuat.

Tiauw Tua membiarkan sastrawan Pan Pin berkata sampai habis, baru dia meminta diri dan berkata:

“Saudara kecil, aku minta diri untuk mengurus sedikit urusanku. Setahun kemudian tentu aku akan mencarimu pula.”

Koo San Djie dengan cepat menjawab:

“Toako jika ada urusan silahkan membereskannya, aku tidak akan mengekang kebebasanmu!”

Terhadap Tiauw Tua, yang dianggapnya setengah guru dan setengah kawan, dirasanya berat untuk berpisah. Tapi ia tidak ingin mengganggu urusan orang, hanya karena urusannya sendiri. Dan ia menganggap urusannya harus dapat dibereskannya sendiri. Mengandalkan bantuan orang lain adalah bukannya sifat dari seorang laki-laki. Memikir ke sini, ia lalu ambil selamat berpisah dari Pan Pin.

Betul-betul ia mengikuti arah yang ditunjuk oleh Tiauw Tua yang mengatakan tempat lenyapnya bayangan tadi, ia berlari-larian sambil memperhatikan segala sesuatu. Setelah sampai pada sebuah kota, di dekat pintu kota terlihat mendatangi seorang hweeshio beralis panjang, memakai baju gedombrongan. Begitu sampai di hadapan Koo San Djie sudah lantas menyebut:

“Sudah lama kita tidak bertemu.”

Yang datang ternyata adalah hweeshio alis panjang yang tempo hari bertempur tiga hari, tiga malam dengan Tiauw Tua.

Maka dengan segera San Djie sudah maju memberi hormat dan menyapa:

“Siansu, bagaimana selama ini? Apa baik-baik saja?”

Hweeshio alis panjang dengan penuh senyuman menjawab:

“Dahulu, aku pernah memberi petangan kepadamu, tapi hari ini aku akan memberi barang kenangan untukmu.”

Lalu, dengan sabar ia mengeluarkan sebuah dompet bersulam sepasang burung Merpati yang sedang bermain dan sebuah sampul surat. Dengan tertawa ia berkata pula:

“Orang di dunia selalu harus membuat kebajikan, kali ini aku akan menjadi kakek comblang.”

Koo San Djie dengan tidak mengerti, menyambuti dompet dan sampul surat itu. Setelah dibukanya, terlihat banyak tulisan yang tidak rata. Setelah diperhatikan ternyata surat ini adalah buah tangannya Ong Hoe Tjoe yang selalu menjadi kenang-kenangan baginya.

Surat ini tidak panjang dan masih ada bebeberapa perkataan yang tidak lancar. Dalam suratnya ini Ong Hoe Tjoe mengatakan, bagaimana ia telah dapat ditolong oleh orang yang kini telah menjadi gurunya. Dari pesanggrahan Liong-sun-say, dia mendapat kebebasan, dikatakan juga, Koo San Djie jangan banyak memikirkan dia dan kini ia sedang giat belajar ilmu silat untuk membalas dendam kepada orang dari Lembah Merpati......

Lalu tangannya dimasukkannya ke dalam dompet, setelah meraba, ia telah mendapatkan beberapa butir biji kacang yang berwarna merah. Ia lebih banyak membaca buku dari pada Ong Hoe Tjoe, mana ia tidak dapat mengerti apa maksudnya ini?

Sulaman sepasang burung Merpati yang sedang memain, bagaikan hidup saja lelompatan di hadapannya. Biji kacang yang berwarna merah mengeluarkan sinar terang yang mengkilap. Semua ini telah mendapatkan bagaimana besar rasa cinta dari sang kekasih.

Dia lupa, dia masih berdiri di hadapan orang, dicium sampul surat tadi sampai beberapa kali. Semua tingkah lakunya menarik perhatian si Hweeshio. Dengan tidak terasa, telah mengeluarkan elahan napas panjang.

Elahan napas ini telah menyadarkan Koo San Djie dari lamunannya. Tidak seharusnya di hadapan orang ia melakukan perbuatan ini. Maka dengan muka yang merah jengah ia berkata:

“Numpang tanya, di manakah Ciecie Ong Hoe Tjoe kini berada?”

Hweeshio alis panjang dengan tersenyum menjawab:

“Tidak lama lagi, kau tentu dapat bertemu kembali. Buat apa kau gelisah tidak keruan. Dan lagi jika sekarang kau mencarinya, dia juga tidak dapat menemui kau, bahkan dapat mengganggu pelajarannya.”

Hweeshio itu berhenti sejenak. Kemudian sambil menunjuk beberapa butir kacang berwarna merah di tangan Koo San Djie, ia berkata:

“Sudah mendapat sebanyak itu apakah tidak cukup juga?”

Muka Koo San Djie sudah menjadi merah.

Sebentar kemudian, hweeshio alis panjang dengan sungguh-sungguh berkata lagi:

“Kau sedang berada dalam masa jaya, sudah seharusnya bangun berdiri, memikirkan tugas yang jatuh di atas kedua pundakmu. Janganlah hanya karena soal asmara, sehingga melupakan beban yang dipikul.”

Beberapa perkataan ini telah membuat Koo San Djie mengeluarkan keringat dingin. Segera ia mengucapkan terima kasih:

“Terima kasih atas peringatan Siansu yang berharga. Aku akan selalu mengingat petunjuk ini.”

Hweeshio alis panjang manggut-manggutkan kepalanya. Dengan tersenyum puas ia berkata:

“Kau memang orang luar biasa, dapat segera insaf akan bahaya.”

Setelah berhenti sebentar, kemudian ia melanjutkan perkataannya:

“Aku masih ada beberapa perkataan yang harus dikatakan kepadamu. Harap datang ke mari untuk mendengarkannya.”

Lalu ia menarik tangan Koo San Djie dan dibawa ke suatu tempat yang sepi, setelah memilih tempat, di bawah sebatang pohon yang rindang, dia duduk di sana, dengan suara yang seperti berbisik ia berkata:

“Tahukah kau, bahwa di kalangan rimba persilatan telah timbul tanda-tanda akan terjadinya suatu pembunuhan secara besar-besaran?”

Koo San Djie melihat hweeshio alis panjang mengatakan sedemikian hati-hatinya sudah lantas menerka kepada orang Lembah Merpati. Ia hanya mengetahui Tong Touw Hio yang menjabat sebagai Duta selatan. Entah bagaimana dengan orang-orang yang memangku jabatan Duta-duta dari barat, timur dan utara?

Hanya baru empat Duta ini saja sudah membuat orang sakit kepala, apa lagi masih ada ketua mereka yang sangat rahasia. Tentu saja itu merupakan bahaya besar bagi rimba persilatan. Maka ia segera bertanya pada hweeshio alis panjang:

“Apa yang Siansu maksudkan tentang Lembah Merpati? Apa yang menjadi ketua dari lembah itu adalah Sui Yun Nio dan Phoa An berhati ular Lam Keng Liu dua orang?”

Hweeshio alis panjang menjadi tertawa mendengar pertanyaan San Djie.

“Jika hanya kedua orang ini saja,” jawabnya, “Dengan kepandaianmu seorangpun sudah cukup untuk melayani mereka. Tapi dua orang ini hanya menjadi pengurus lembah saja yang belum termasuk kelas satu. Mereka hanya berhak memakai baju kuning.”

Setelah merandek sebentar kemudian ia berkata lagi:

“Orang di kalangan Kang-ouw, semua menyangka demikian. Ini merupakan satu penilaian yang terlalu rendah terhadap Lembah Merpati. Meskipun dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi untuk menggetarkan rimba persilatan, tapi jika dibandingkan dengan kepandaian dari ketua Lembah Merpati, masih terdapat selisih yang sangat jauh.”

Koo San Djie dengan rupa yang ingin tahu, sudah memotong:

“Jika demikian, siapakah sebenarnya yang menjadi ketua Lembah Merpati itu?”

Hweeshio alis panjang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku sendiripun tidak tahu. Semua ini hanya kudapat dari keterangan guru Ong Hoe Tjoe. Menurut penjelasannya, orang yang berkepandaian tinggi di dalam lembah, kecuali sang ketua, dapat dibagi dalam empat golongan, dibedakan dengan warna bajunya masing-masing. Warna merah ialah yang tertinggi, kemudian kuning dan biru. Tentang pemuda berbaju kotak-kotak dan pemudi berbaju kembang yang sering dijumpai orang, hanya merupakan para pesuruh mereka saja. Dan kepandaiannya pun bukan kepandaian yang asli dari dalam lembah.

Koo San Djie baru mengerti, mengapa daerah pegunungan Hoay-giok, dua muda mudi yang ditemuinya dan pelajar baju kuning yang barusan dapat dikalahkannya mempunyai perbedaan ilmu silat yang sangat jauh sekali. Menurut pendapatnya, Lam Keng Liu dan Sui Yun Nio hanya sebagai pengurus lembah saja, dan mengurus para pesuruh ini, serta memberi pelajaran kepada mereka. Im-yang-ho-hap-ciang adalah kepandaian curian, sudah tentu tidak dapat disamai dengan kepandaian yang asli dari dalam lembah.

Hweeshio yang melihat Koo San Djie terbenam dalam pikirannya sudah lantas berkata:

“Sekarang, Ong Hoe Tjoe sudah terlepas dari bahaya. Urusan tentang Lembah Merpati dapat diatur dengan perlahan-lahan, janganlah terburu napsu, ini akan mengakibatkan gagalnya urusan. Biarpun kau mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tapi, hanya dengan tenaga seorang diri saja, masih kurang kuat untuk dapat memecahkan rahasia Lembah Merpati.”

Setelah selesai mengucapkan perkataan ini, dengan sekali mengibaskan lengan bajunya ia sudah meninggalkan tempat itu.

Koo San Djie setelah mendapat kabar tentang keselamatannya Ong Hoe Tjoe , hatinya sudah menjadi lega. Sekarang ia telah mempunyai cukup waktu untuk menyerapi kabar tentang Lembah Merpati dengan perlahan-lahan. Dan juga mencari siapa pembunuhnya orang tua Ong Hoe Tjoe. Demi kepentingan dunia Kang-ouw dan melaksanakan perintah gurunya ia harus mencari sampai dapat Lembah Merpati.

Ia telah mencoba menduga-duga, di mana letaknya Lembah Merpati itu. Dimisalkan di empat penjuru terdapat Duta selatan, Duta utara, dan Duta barat, maka letaknya lembah ini sudah tentu berada di tengah......

Mendadak pikirannya mengingat tulisan di tanah yang ditulis oleh pemuda yang mati di jalan pegunungan:

“Peta memasuki lembah......”

Dengan mengetok kepalanya ia berkata sendiri:

“Tidak salah. Jika aku mendapatkan peta memasuki lembah, tidak sukar untuk mengetahui letaknya lembah ini.”

Dengan memusatkan seluruh pikirannya, ia sudah mengingat-ingat roman dari orang yang telah merebut peta itu. Ciri-ciri dari roman orang tua berkupiah kuning emas diingatnya betul-betul dalam hatinya. Orang ini jika pernah terjun di dunia Kang-ouw, tentu akan ada orang yang mengenalinya. Dan jika dapat mencari tahu di mana tempat tinggalnya, urusan tidak begitu sukar lagi baginya.

Hatinya sudah melayang kemana-mana, kakinya sudah menuruti langkahnya, berjalan dengan tidak bertujuan. Dengan tidak terasa ia sudah menuju ke daerah pegunungan yang tidak teratur.

Mendadak, dari kejauhan terlihat seorang tua dengan cepatnya lari mendatangi. Pertama mulai, lari orang tua ini bagaikan terbang saja, tapi semakin lama sudah menjadi semakin lambat dan kemudian sempoyongan, terjatuh di jalan.

Koo San Djie menjadi kaget, dengan cepat ia menuju ke arah orang itu.

Tidak disangka, yang datang itu adalah si kurus Oey Liong, dengan badannya penuh luka-luka yang tidak ringan, ia telah lari dengan sekuat tenaga. Sampai di sini, ia sudah tidak dapat menahannya pula dan terjatuh di tanah.

Koo San Djie mengurut-urut badan Oey Liong, memanggil-manggil namanya, baru Oey Liong dapat membuka kedua matanya yang berat. Setelah melihat orang yang berada di sampingnya adalah Koo San Djie, dengan terputus-putus, ia hanya dapat mengucapkan perkataan:

“Mer...... pati...... di depan......”

Setelah mengucapkan perkataan yang sukar dimengerti ini, ia sudah melempangkan kedua kakinya dan menarik napasnya yang penghabisan.

Dengan tidak dapat ditahan lagi, Koo San Djie telah mengeluarkan air matanya, sambil masih memanggil namanya:

“Locianpwe, locianpwe...... siapa yang berbuat jahat kepadamu?”

Sedari ia berhasil meyakinkan ilmunya, dan meninggalkan gurunya, melihat keadaan yang seperti ini sudah lebih dari empat kali.

Di telaga Pook-yang, orang tua ini telah membantu dengan tidak meminta balasan. Tapi kini ia telah mati penasaran, dengan tidak dapat memberikan keterangan suatu apa. Jika tidak, tentunya kematiannya ini tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.

Dengan gemas, ia melepaskan tubuh Oey Liong yang telah menjadi mayat, matanya memancarkan sinar kebencian yang meluap-luap. Mendadak, ia mengingat perkataan yang terakhir dari Oey Liong:

“Apakah Lembah Merpati yang dimaksudkan olehnya?” Pikir Koo San Djie dalam hatinya.

Jika dugaannya tidak salah, maka di depan tentu ada bersembunyi orang jahat. Maka dengan cepat ia mengubur mayat si penolongnya ini dan maju terus ke depan menyelidiki dengan teliti.

Matahari sore telah mendoyong ke barat, sinarnya telah membuat bayangan orang yang menjadi panjang tercetak di sela-sela gunung.

Kadang-kadang, masih terdengar suara burung gagak yang mengaok. Dengan hanya seorang diri, ia berjalan di antara pegunungan yang sepi ini, terasa sekali alam kesunyian yang luas.

Hanya api dendam kebencian yang masih membakar hatinya. Ia telah lupa akan pandangan mata, tidak perduli tebing yang tinggi mau pun tebing yang curam, dengan tabah ia masih maju ke muka, pantang mundur setapak pun.

Malam telah tiba. Angin dingin sebentar-sebentar meniup mukanya. Hatinya yang panas mulai normal kembali. Ia menengadah, memeriksa empat penjuru. Dilihatnya ia telah dikelilingi oleh suara jeritan-jeritan, di atas gunung yang merupakan bermacam-macam binatang jejadian. Tidak ada rumah tidak ada tempat untuk berteduh. Di tempat yang sunyi senyap ini tidak ada orang yang mau meninggalinya.

Pandangan matanya dapat menembus awan dan kabut. Tidak lama ia telah dapat menemukan suatu pandangan yang dapat mendebarkan jantung.

Pada sebuah mulut lembah yang dalam, terdapat bundaran-bundaran putih yang bertumpuk-tumpuk. Api biru kelap kelip memancarkan sinarnya yang seram sehingga siapa yang melihatnya seperti telah sampai di pintu neraka.

Dalam pikirannya Koo San Djie dengan cepat telah timbul kenangan lamanya.

“Apa itu sepasang siluman telah pindah ke mari?” pikirnya.

Diingatnya pada malam itu, Tju Thing Thing yang terkena racun dari dua siluman itu. Kini ia menganggap kematian Oey Liong juga mungkin ada sangkut pautnya dengan dua siluman ini. Inilah dendam lama dan dendam baru, bertumpuk menjadi satu, yang telah menambah keinginannya untuk membunuh sepasang siluman itu.

Demi kepentingan sesama manusia, ia tidak dapat membiarkan dua siluman itu terus menerus mengganggu keamanan. Maka, bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, ia telah melesat ke dalam lembah. Sebentar saja, ia sudah sampai di depan tumpukan tulang-tulang.

Pengalaman telah memberi tahu padanya, bahwa orang yang melatih kepandaian ini tentu barada di tengah-tengah dari tumpukan tulang dan menghisap racun yang berada di sekitarnya.

Gunung tulang itu begitu tinggi, jika dikira-kirakan, paling sedikit terdapat tiga ratus tengkorak manusia. Di tengah-tengahnya terdapat lobang, sebagai jendela, gumpalan asap biru mengepul keluar dari sana. Maka, dengan suara keras Koo San Djie membentak:

“Setan! Lekas keluar untuk menerima kematian!”

“Siuuuuuutt......”

Dari lobang di tengah-tengah tumpukan tengkorak tadi, keluar dua bayangan bianglala yang sudah lantas berdiri di kedua belah sisi Koo San Djie.

Tentu saja yang datang adalah si Setan Gunung dan si Kalong Wewe yang telah pindah kemari dan telah melatih ilmunya lebih sempurna lagi. Setelah mereka mengurung Koo San Djie, dengan suaranya yang seperti setan berkata:

“Kami memang sedang mencarimu, tidak disangka kau telah datang lebih dulu. Hari ini kau boleh merasakan pukulanku Yun-ling-pay-kut-kang yang lihay.”

Dua tangannya dikunyal-kunyal sebentar, suatu aliran angin yang dingin dengan dibarengi oleh asap biru yang berkredepan sudah datang menyerang ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie tidak gentar mendapat serangan, dengan hanya mengibaskan sebelah tangannya, ia sudah memunahkan serangan itu. Ia sudah bersedia untuk menyerang balik, atau mendadak di belakangnya telah terasa ada hawa dingin yang datang ke arahnya.

Ia sudah kenal akan sepasang jejadian ini, yang kerjanya hanya memainkan tengkorak saja. Untuk menjaga jangan sampai menambah korban lagi, ia sudah bertekad untuk menyingkirkan sepasang siluman itu dari dunia. Maka ia sudah malas untuk menoleh lagi, dengan melompat ke samping ia sudah membalikkan tangannya, menyerang ke belakang.

Si Kalong Wewe yang kerjanya hanya menakut-nakutkan orang saja, mana berani menangkis serangan ini, begitu menyerang, ia sudah lantas loncat ke tempat lain, maka serangan Koo San Djie telah menubruk tempat kosong.

Si Setan Gunung yang tidak mengenal gelagat telah menggunakan ketika Koo San Djie menyerang ke belakang, maju setindak, dan mengulur kedua tangannya menyerang berbareng.

Koo San Djie dengan memekik keras, dengan ilmu Ombak Menyapu Ribuan Sampah, keluar menyerang dengan tenaga penuh.

Si Setan Gunung yang lebih tepat dikatakan setan sampah juga telah tersapu oleh serangan ini. Dengan menjerit keras, badannya sudah terlempar balik ke dalam tumpukan tengkorak.

Serentak, api biru berbalik menyerang dirinya sendiri. Tidak ampun lagi, seluruh badannya si Setan Gunung telah menyala-nyala. Terbakar oleh api sendiri.

Si Kalong Wewe yang melihat suaminya menemui nasib malang, sudah tentu menjadi ketakutan setengah mati, dengan tidak memilih arah lagi ia telah mengambil langkah seribu, ngiprit pergi!

Koo San Djie tidak memberikan ia kesempatan untuk lolos lagi, tubuhnya lompat mengejar.

Hanya beberapa tindak lagi, Koo San Djie sudah dapat mengejar mangsanya, ia sudah siap dengan serangannya yang mematikan.

S Kalong Wewe lari dengan membabi buta tidak dapat memilih arah. Ia terus lari sehingga sampai akhirnya terjatuh ke dalam jurang yang dalam.

Koo San Djie yang menyaksikan sang musuh sudah terjatuh ke dalam jurang, ia berdiri diam. Ia ragu-ragu, bagaimana harus mengambil tindakan atau mendadak dari dalam bawah jurang terdengar seorang anak kecil berkata:

“Kau jangan turun, makhluk ini kukembalikan kepadamu......”

Berbareng, dengan lenyapnya suara itu, si Kalong Wewe yang kurus telah terbang kembali, sampai Koo San Djie tidak dapat mendengar perkataan selanjutnya.

Koo San Djie yang menampak si Kalong Wewe terbang naik kembali sudah memberi satu pukulan maut.

Si Kalong Wewe yang jalan darahnya sudah terkena totokan, dilempar naik oleh orang, ia tidak dapat menyingkir dari tangan ini. Hanya terdengar suara jeritan yang mengerikan dan tubuhnya kembali terjatuh ke dalam jurang.

Dari dalam lembah, terdengar pula suara anak kecil tadi:

“Kau ini orang macam apa? Barang sudah dikembalikan padamu, dilempar balik lagi?”

Seiring dengan suara desiran angin, tubuh si Kalong Wewe sudah mumbul kembali.

Ini kali Koo San Djie, dapat mendengar dengan jelas anak kecil tadi, dengan memiringkan badannya, menyilahkan mayat si Kalong Wewe lewat di atas pundaknya dan terjatuh di sela-sela gunung. Kemudian dengan tidak sabar, ia bertanya:

“Hei, adik kecil, apa di sini yang dinamakan Lembah Merpati?”

“Betul. Di sini Makam Merpati. Tapi kau jangan turun ke bawah!”

“Kenapa?”

Tidak terdengar jawaban pula dari dalam lembah.

Koo San Djie yang mendengar di sinilah yang dinamakan Lembah Merpati, hatinya menjadi kaget bercampur girang. Hatinya memukul keras, ia sedang memikir perlukah ia pergi ke bawah untuk melihat keadaan dari lembah yang selalu menjadi teka teki ini?”

Koo San Djie salah kuping, Makam Merpati dianggap Lembah Merpati.

Tiba-tiba, suara anak kecil dalam lembah itu berkata pula:

“Ku lihat kau ini adalah orang baik juga, sudah membinasakan dua setan yang selalu mengganggu orang saja. Tapi, jangan sekali-kali kau coba-coba turun kemari.”

Koo San Djie yang sudah salah mendengar Makam Merpati menjadi Lembah Merpati, biar orang bicara sampai mulut pecah pun, mana dapat menahan kemauan hatinya? Biarpun ia mengetahui akan bahaya, tentu diterjangnya juga.

Lalu ia segera mengatur pernapasannya sebentar, lalu mengangkat kedua kakinya, lalu....... terjun ke dalam lembah yang gelap.......
 
BAB 09.01 Makam Merpati dan Lembah Merpati

Koo San Djie yang sudah lompat turun ke dalam lembah, biarpun ia sudah menahan napas dengan sebisa-bisanya, memperlambat jatuhnya badannya, tapi perbuatan ini tetap berupa perbuatan yang sangat berbahaya.

Badannya masih di udara, matanya sudah memeriksa keadaan bawah, dalam keadaan yang gelap remang-remang, masih terpeta juga segala sesuatu yang berada di situ.

Letaknya tempat ini tidak tinggi. Dengan memusatkan semua tenaganya, bagaikan bulu ayam entengnya, ia sudah melompat ke sebuah jalanan kecil yang terbuat dari batu putih.

Ternyata, ia berdiri di atas jalan batu kecil itu. Si Kalong Wewe yang sudah diuber-uber, tidak berdaya, telah menjatuhkan diri kemari untuk meloloskan diri. Siapa tahu jalan darahnya telah ditotok orang dan dilemparkan ke atas kembali.

Koo San Djie mendongak ke atas, mengawasi tempat ia berdiri tadi. Mendadak, otaknya seperti mengingat suatu hal, sampai ia menjublek di tempatnya.

Jarak di antara jalan kecil ini dan atas tebing tadi biarpun tidak dianggap tinggi, paling sedikit juga di antara duapuluh meter lebih. Untuk melemparkan batu biasa saja ke atas sudah tidak mudah, apa lagi berat badan si Kalong Wewe yang hampir limapuluh kilo beratnya. Tapi anak kecil tadi dengan mudah telah melemparkannya sampai dua kali. Bukankah sangat janggal baginya. Lagi pula, dengan kepandaian si Kalong Wewe yang dapat menggetarkan dunia Kang-ouw, mengapa dengan semudah itu dapat ditotok jalan darahnya?

Dengan adanya bukti-bukti ini, pandangan terhadap kepandaian orang dari Lembah Merpati sudah menjadi semakin jelas. Karena ia telah menganggap sampai pada Lembah Merpati, maka ia tidak berani sembarangan menerobos ke dalam. Dengan hati-hati, diperhatikannya ke dalam tempat ini, setelah mendapat kepastian tidak ada suatu apa yang tersembunyi, baru dengan perlahan-lahan ia mengangkat langkahnya.

Tapi, mendadak suara anak kecil tadi berkumandang pula:

“Kau ini betul-betul seorang yang tidak mendengar kata. Akhirnya kau turun juga.”

Dengan cepat Koo San Djie membalikkan badan, ternyata yang bicara ialah seorang perempuan yang berumur kurang lebih di antara tigabelas tahun.

Anak perempuan ini memakai baju yang berwarna dadu, dengan dua buah pita kupu-kupu di atas kepala, sepasang matanya bersinar terang dengan biji hitamnya yang tidak henti-hentinya memain. Mukanya yang berbentuk telor sangat menarik, dengan dihiasi oleh panca indranya yang serba tepat, semakin memikat hati.

Koo San Djie rada tidak percaya pada dirinya sendiri, dengan ragu-ragu ia bertanya.

“Apa kau yang melemparkan perempuan jahat tadi itu?”

Anak perempuan itu dengan heran menjawab:

“Kenapa? Ini sepasang siluman ada sangat menjemukan, setiap hari kerjanya hanya mengangkat-angkat tulang manusia saja dan membuat api setan. Bahkan sering main bunuh orang. Jika aku boleh keluar dari lembah, sudah lama aku usir mereka.”

“Ha, kau mempunyai hubungan apa dengan Lembah Merpati ini?” tanya San Djie kaget.

Kali ini si gadis cilik yang dibuat kaget. Dengan tidak mengerti ia berkata:

“Apa? Lembah Merpati? di sini bukan yang dinamakan Lembah Merpati.”

“Apa nama yang sebenarnya dari tempat ini?”

“Mari kau lihat!”

Setelah berkata begitu, si gadis cilik sudah membalikkan badannya, lenyap di belakang pepohonan. Membuat Koo San Djie yang melihatnya menjadi berdiri seperti terpaku.

Dari mulut lembah terdengar si gadis cilik meneriakinya:

“Bagaimana sih kau ini? Mengapa tidak mau datang melihat?”

Semacam perasaan yang selalu mau menang sendiri, dari sifat kanak-anak telah membuat Koo San Djie tidak mau kalah dengannya. Dengan menggunakan ilmu Awan dan Asap lewat di mata, Koo San Djie sudah menguber gadis cilik tadi.

Jika kepandaian Koo San Djie ini dipertontonkan di kalangan Kang-ouw, barang kali masih dapat membuat orang meleletkan lidah. Tapi, si gadis cilik yang melihat ini tidak menjadi heran, bahkan masih menganggap kurang cepat baginya. Setelah menunggu sampai Koo San Djie berada di hadapannya, dengan jari-jari yang kecil, ia menunjukkan tangannya ke arah sebuah batu nama dan berkata:

“Kau lihat!”

Dengan bantuan sinar bintang, masih terlihat tulisan yang berbunyi:

“Makam Merpati.”

Dan di bawah tulisan ini masih terdapat huruf-huruf kecil yang berbunyi:

“Kematian bagi yang berani bertindak masuk.”

Koo San Djie melihat ini sangat terkejut. Bulu romanya telah menjadi berdiri, badannya menggigil sebentar dan semangatnya seperti tersedot oleh suatu hawa yang keluar dari batu makam tadi.

Tapi Koo San Djie bukannya seorang anak penakut, ia tidak percaya yang di dalam dunia ini ada terdapat setan. Matanya memandang ke arah si gadis cilik, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas pula. Ia tidak percaya, gadis cilik yang lincah ini setan adanya.

Si gadis cilik melihat Koo San Djie menjublek di tempatnya dengan mata memandang ke arahnya dengan tidak berkesip, tentu saja dia kurang senang, ia berkata:

“Kau ini mengapa hanya memandang saja? Tidak salah ayah mengatakan semua anak laki di dunia tidak ada yang baik.”

Koo San Djie merasa heran juga mendengar ucapan gadis itu.

“Baik atau jahatkah ayahmu itu?” ia bertanya.

“Ayahku tentu orang baik. Ia juga sudah tua.”

Koo San Djie masih tidak mau mengerti, tapi keburu didesak oleh si gadis cilik tadi:

“Lekaslah kau meninggalkan tempat ini. Aku tidak jadi membunuhmu.”

Ucapan ini sudah menambah Koo San Djie jadi bingung.

“Di antara kita berdua tokh tidak ada permusuhan apa-apa mengapa kau hendak membunuh?” tanyanya.

Si gadis cilik menjadi tertawa lucu, tertawa sangat manis sekali, tidak mengandung kegenitan atau lagak yang dibuat-buat. Dengan jari telunjuknya ia menunjuk sampai mengenai jidatnya Koo San Djie dan berkata:

“Kau ini memang orang tolol sekali. Di atas batu nama, bukankah telah tertulis dengan terang, siapa yang berani memasuki lembah ini tentu akan menemui ajalnya, seorang yang segar bugar mana bisa mati dengan tidak ada sebab-sebabnya? Tentu kami yang membunuh.”

Si gadis cilik mengatakan tentang pembunuhan, seperti perbuatan itu merupakan suatu hal yang biasa saja baginya. Hal ini telah membuat hati Koo San Djie yang tidak dapat menerima ketidak-adilan menjadi panas. Dengan mengeluarkan suaranya yang keras ia berkata:

“Meskipun lembah ini telah menjadi milik keluargamu, tidak seharusnya kau berbuat sedemikian kejam, aku tidak mau pergi dari tempat ini, aku mau lihat ayahmu yang tidak kenal aturan dapat berbuat apa atas diriku?”

Entah bagaimana, si gadis cilik bergerak, tangannya yang mungil telah menampar pipi Koo San Djie, keras sekali, hingga si pemuda mengusap-usap pipinya, ia bingung sendirinya.

Si gadis cilik dengan muka cemberut karena marahnya sudah berkata:

“Kau berani memaki ayahku?”

Suaranya seperti orang mau menangis.

Koo San Djie masih mengusap-usap pipinya yang ditampar, ia berdiri membisu. Ia tidak tahu, bagaimana harus menghadapi persoalan seperti ini. Tamparan tadi tidak membuat Koo San Djie marah, bahkan menjadi hangat karenanya.

Sebenarnya, Koo San Djie yang penuh dengan ilmu kepandaian tidak mudah dapat terkena pukulan orang. Tadi, karena ia tidak memperhatikan dan lagi kecepatan tangan si gadis cilik sangat luar biasa, maka ia telah terkena tamparan. Semenjak kecil, ia sudah mengembala kambing dibawa panasnya matahari dan dinginnya hujan salju, pulang menerima perlakuan yang kejam dari majikannya. Penghidupan ini telah melatih dirinya menjadi tabah dan pantang mundur. Ia berani memasang badannya untuk menahan sakit tapi tidak tega untuk menghadapi si gadis cilik yang manis dan lemah, demikian menurut anggapan dalam hatinya.

Si gadis cilik telah menggunakan tangannya menampar orang, hatinya yang panas sudah menjadi dingin kembali. Sambil menarik tangan Koo San Djie ia berkata:

“Kau marah padaku?”

Koo San Djie hanya menggelengkan kepalanya.

Si gadis cilik seperti bicara sendiri, ia mengoceh:

“Akulah yang salah. Tidak seharusnya barusan menggunakan tangan......”

Lalu, ditariknya lagi tangan Koo San Djie, setelah digoyang-goyangkannya beberapa kali ia sudah berkata pula:

“Kau iui orang baik. Jika tidak khawatir akan ayahku, ingin sekali menahanmu untuk tinggal di sini, menemani aku bermain.”

Setelah berkata begitu, ia melepaskan tangannya, seraya membalikkan badannya dan berkata seorang diri:

“Hingga saat ini, aku berdiam seorang diri di dalam lembah ini. Ayahku juga telah melarang aku pergi keluar lembah......”

Keluhan pendek dari si gadis cilik ini telah menambah rasa simpatiknya Koo San Djie, ia sudah menjadi suka kepada si gadis, dalam hatinya berkata:

“Memang, tidak seharusnya memaksa seorang gadis kecil yang masih memerlukan kegembiraan, tinggal dalam lembah yang sepi ini. Yang jadi ayah betul-betul amat keterlaluan.”

Biarpun hatinya memikir demikian, tapi mulutnya tidak berani berkata seperti itu. Dengan perlahan-lahan, ia menghampiri dan mengelus-elus pundak si gadis cilik, seperti seorang yang menghiburi adik kecilnya ia berkata:

“Kau jangan menjadi kesal. Mungkin ayahmu sedang meyakinkan semacam ilmu, setelah selesai dengan pelajarannya, tentu ia akan mengajakmu keluar dari lembah ini.”

Jika didiamkan saja, barangkali tidak apa, tapi begitu dihiburi, si gadis cilik sudah menjadi menangis sesegukan. Seperti seorang adik yang kolokan, mendapat pegangan ia sudah menjatuhkan kepalanya di atas dada Koo San Djie. Dengan masih menangis ia berkata:

“Tidak! Ayah tidak nanti mengizinkan aku keluar lembah. Ia telah memaksa aku bersama-sama menemani ibuku yang telah meninggal.”

Koo San Djie kewalahan, ia tidak dapat melanjutkau perkataannya. Tidak pantas di depan si gadis, mengucapkan kata-kata yang membusukan nama ayahnya, dan lagi, ini adalah urusan rumah tangga orang. Maka, dengan setengah membujuk ia berkata:

“Lekaslah kembali ke rumah. Mungkin ayah sedang mencari-cari.”

Koo San Djie merasa, ia lebih besar dari pada si gadis. Sejak kecil ia sudah biasa untuk merawat dirinya sendiri. Setelah beberapa bulan ia mendapat pengalaman dalam dunia Kang-ouw, pikirannya telah masak, meningkat seperti orang dewasa. Ia menganggap, tidak dapat ia tinggal diam di sini terus, ayah si gadis tentu seorang yang berhati kejam, orang yang tidak mempunyai perasaan. Maka, dengan menepok bahunya si gadis ia berkata:

“Lekaslah kembali ke rumah. Aku pun akan segera pulang. Sebentar, jika ayahmu melihat keadaan kita, tentu ia akan menjadi marah.”

Tapi si gadis cilik sudah menarik bajuuya dan berkata:

“Tidak. Kau tidak boleh pergi...... Ayahku tidak menjadi soal. Tidak usah kau takut kepadanya, ia sangat sayang kepadaku, dan lagi selalu menuruti segala kehendakku.”

Koo San Djie menahan langkahnya. Dengan mengerutkan alis, ia berkata:

“Terus terang kukatakan kepadamu, siapapun tidak ada yang kutakuti. Jika saja ia bukan ayahmu, aku akan mencarinya untuk minta keterangan.”

Mendadak, dari belakang terdengar satu suara yang dingin:

“Kecil-kecil sudah berani omong besar. Apa kau tahu peraturan dari Makam Merpati ini?”

Seorang pelajar setengah umur dengan muka yang putih bersih, entah sejak kapan datangnya, telah berdiri di belakang Koo San Djie. Meskipun Koo San Djie memiliki kuping yang lihay, masih tidak dapat mengetahui datangnya orang ini. Maka dengan cepat ia sudah lompat ke samping, siap menghadapi segala kemungkinan.

Si gadis cilik yang melihat datangnya orang tadi sudah maju menubruk.

“Ayah, dia datang loncat dari atas tebing, dia tidak dapat melihat batu pemberitahuan itu.”

Orang setengah umur sudah lantas mendorong pergi tubuh anaknya dan berkata:

“Minggirlah! Kau minggir! Aku akan menanyakan sendiri!”

Lalu, ia menghadapi Koo San Djie dan berkata:

“Siapa namamu? Dan mengapa kau datang kemari?”

Meskipun Koo San Djie mendongkol karena mendapat perlakuan demikian, tapi, mengingat ia adalah ayah dari si gadis cilik yang menarik ini, maka dengan hormatnya ia telah membongkokkan badan dan berkata:

“Boanpwe bernama Koo San Djie, karena mengejar dua orang jahat telah sampai di sini. Harap locianpwe dapat memaafkannya.”

Si gadis cilik takut ayahnya, tokh, dia tidak puas dengan jawaban ini, segera sudah turut bicara:

“Dia sudah mewakili kita membunuh dua siluman itu.”

Tapi bantuan ini telah membawa hasil yang sebaliknya. Orang tua setengah umur itu tidak senang mendengar anak perempuannya demikian membela si pemuda. Mukanya sudah menjadi semakin cemberut saja, seperti dompet tanggung bulan.

Gadis cilik yang lebih mengenal akan adat ayahnya, melihat keadaan seperti ini, sudah mengetahui inilah tanda bahwa ayahnya. Segera akan membunuh orang. Saking takutnya, hampir saja ia menangis, tiba-tiba tangannya dengan cepat sudah menarik-narik lengan baju ayahnya. Dengan setengah meratap ia memohon kepada ayahnya:

“Dia seorang yang baik, ayah jangan membunuh.”

Wajah orang setengah umur itu yang tadinya mengandung hawa pembunuhan, perlahan-lahan telah kembali ke asalnya. Dengan perlahan-lahan telah mengibaskan tangan anaknya dan berkata:

“Anak baik, janganlah kau percaya pada ucapannya. Bukankah telah berkali-kali ku katakan padamu, bahwa laki-laki di dunia ini tidak ada satu yang mempunyai hati yang baik.”

Si gadis cilik yang terlalu banyak membantu Koo San Djie, akibatnya membuat orang setengah umur itu menjadi iri hati. Pandangan matanya yang tajam telah dapat mengetahui, bahwa Koo San Djie mempunyai bakat yang sangat bagus untuk belajar ilmu silat. Tapi, keserakahan yang berlebih-lebihan telah membuat hatinya menjadi kejam, tambahan kuatir akan kehilangan anak tunggalnya yang dianggapnya sebagai nyawa yang kedua, setelah istrinya meninggal.
 
BAB 09.02 Sepasang Pendekar Merpati

Telah sepuluh tahun lamanya orang setengah umur ini menemani raga istrinya yang telah mati dan memelihara anak perempuannya yang menjadi wakil jiwanya. Ia telah menganggap ibu dan anak ini menjadi satu. Wajah dan senyumnya sang istri almarhum telah hidup kembali pada putrinya ini. Ia selalu menganggap anak perempuannya ini menjadi jiwa raga dari istrinya yang seakan-akan hidup kembali. Demikianlah ia tidak dapat membiarkan ada orang ketiga yang menyelak mereka.

Demikianlah, orang setengah umur itu telah mengambil keputusan untuk menyingkirkan bibit keonaran. Setelah melepaskan cekalan anaknya, sebelum sang anak dapat mengatakan sesuatu apa, ia sudah menubruk ke arah Koo San Djie.

Dari beberapa tanda-tanda, Koo San Djie telah dapat melihat orang setengah umur ini mempunyai sifat yang kejam, sewaktu-waktu dapat menyerang dengan tidak mengenal kasihan. Maka, ia sudah bersiap sedia untuk menjaga segala serangan.

Sebelum orang itu menubruk kepadanya, ia sudah membikin pertahanan. Bertempurlah dua jago yang jarang mendapat tandingan ini

Pertama-tama, Koo San Djie sudah melepaskan serangannya yang lihay, dengan tipu pukulan Langit dan Bumi Pandang Memandang, disusul dengan Hujan dan Angin Menderu-deru......

Orang setengah umur itu tidak menyangka si pemuda demikian lihaynya, tapi ia masih tidak pandang mata, dengan kepandaian Koo San Djie, ia mau mencoba, sampai di mana kekuatan dan kepandaian dari lawan kecilnya ini.

Terlihat dua lengan baju dari orang setengah umur itu yang gedombrongan mengibas beberapa kali, orangnya pun telah memasuki daerah bayangan telapak tangan. Badannya yang enteng sudah mengikuti gerakan dari bayangan telapak tangan Koo San Djie, bagaikan menari-nari, sangat indah sekali.

Si gadis cilik tahu benar, sejak ayahnya telah dapat meyakinkan ilmu Sari Pepatah Raja Woo, sudah bertambah tinggi kepandaiannya, bahkan telah melatih dirinya menjadi kebal akan senjata. Di dalam kalangan rimba persilatan, tidak dapat mencari orang yang keduanya. Mungkin karena menganggap pukulan Koo San Djie agak aneh, maka ayahnya membiarkan menyerang terus. Setelah menunggu sampai mengenal semua ilmu pukulannya saat itulah akan tiba kematiannya. Maka ia telah mendapat suatu akal yang baik untuk menolong si anak muda dari tangan jahat ayahnya.

Koo San Djie telah menggunakan seluruh kepandaiannya, sampai mengulangi dua kali. Dari jurus yang pertama sampai jurus yang terakhir, kemudian kembali ke jurus yang pertama pula dan seterusnya.

Inilah saatnya untuk ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Sejurus demi sejurus kepandaiannya bertambah lancar, pukulannya satu demi satu bertambah keras......

Pengaruh tenaga dari Kodok Mas dan Capung Kumala yang masih sebagian terpendam di dalam tubuhnya, sedikit demi sedikit telah dapat keluar untuk digunakannya. Dalam waktu yang sangat pendek inilah kepandaian Koo San Djie telah maju setingkat pula.

Orang setengah umur yang melihat kejadian itu, semakin lama menjadi semakin heran. Ilmu pukulan yang aneh dari si anak muda ini sebenarnya sudah jarang terdapat. Mengapa tenaganya semakin lama dapat bertambah menjadi semakin kuat?

Sebentar saja, ia telah mengerti sebab-sebabnya. Ia mempunyai pengalaman yang luas, kepandaian yang tinggi dan kepintaran yang berlipat ganda. Ia sudah dapat menduga, anak muda ini tentu telah makan sesuatu benda yang ajaib dan sampai saat ini baru menunjukkan pengaruhnya.

Dengan umurnya yang sekecil ini telah mempunyai tenaga yang harus dilatih puluhan tahun, bukankah ada suatu keanehan dunia?

Siapakah yang mendapat bahan bagus tidak akan menyukainya? Demikian pula dengan orang setengah umur ini, setelah menemukan Koo San Djie mempunyai dasar yang bagus, biarpun kejahatan telah menutupi hatinya, tapi sifat kesatria yang masih dimilikinya membuat ia tidak tega untuk membunuh Koo San Djie.

Setelah ragu-ragu sekian lamanya, ia masih tidak dapat mengambil keputusan.

Tiba-tiba, batu berterbangan, debu mangepul, angin menderu-deru membawa segala sesuatu yang menghadang di hadapannya. Tiga buah pukulan geledeknya Koo San Djie beruntun telah keluar.

Orang itu sedang dalam keadaan memikir. Tidak menyangka Koo San Djie masih mempunyai pukulan simpanan ini, maka tidak ampun lagi tubuhnya telah terbawa angin puyuh buatan jago muda kita.

Tidak percuma jago ini mempelajari ilmu Sari Pepatah Raja Woo, dengan tubuhnya masih terbawa angin puyuh terbang di udara, tidak menunggu sampai menginjak tanah, lengan bajunya yang besar sudah dikibaskan ke belakang, bagaikan kecepatan lelatu api saja, tubuhnya sudah menerjang batu dan debu, langsung maju ke depan.

Tapi, tidak disangka, pukulan yang kedua dan ketiga dari jago kecil kita telah saling susul datang menyerangnya pula.

Sebelum orang itu pergi, datang lagi dua arus pukulan, akhirnya pukulan ketiga dari lawannya telah memaksa ia harus mundur juga ke belakang.

Wajah orang itu berubah, ia mengeluarkan suara di hidung dan tertawa dingin. Kegusarannya telah meluap dari takaran.

Suara dingin yang keluar dari hidungnya begitu sampai di telinga si gadis cilik, sudah membuat mukanya yang kecil mungil menjadi pucat seperti kertas, tubuhnya menggigil, seperti terserang penyakit malaria. Dengan suara menangis ia berteriak:

“Ayah lekas berhenti! Jika kau membunuhnya, maka akupun tidak akan hidup lagi!”

Tangannya yang kecil halus ditaruh di atas kepalanya

Inilah jalan satu-satunya untuk mencegah sang ayah membunuh orang.

Si ayah jadi kewalahan, dengan tidak berdaya ia menjadi menghela napas panjang, mukanya kembali menjadi sabar. Ia cukup tahu bahwa adat anak perempuannya yang hanya satu-satunya ini sangat kukuh dan keras, apa yang dikatakan, betul-betul dapat diperbuatnya. Jika ia tidak mengindahkan perkataan sang anak dan membawa adatnya sendiri, mungkin juga ia akan menyesal dalam seumur hidupnya.

Si anak perempuan juga telah mengetahui adat ayahnya. Setelah melihat perobahan muka dari sang ayah, dengan seketika, kedukaannya telah lenyap sama sekali, mukanya yang kecil tertawa riang, dengan berlompatan ia sudah datang menubruk ke dalam pelukan ayahnya. Dengan manja ia berkata:

“Ayah tentu akan melulusi, bukan?”

Sang ayah tidak menjawab, ia hanya mengelus-elus rambut anaknya.

Dalam keadaan bertempur, Koo San Djie tidak dapat memikirkan soal lainnya, yang dipikirkannya hanyalah dengan cara bagaimana ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah tiga buah pukulan geledeknya meluncur keluar, dalam hatinya menjadi menyesal juga. Ia tidak berniat melukai lawan, ia sudah pusing juga menghadapi lawan yang selalu menari dengan mengikuti bayangan telapak tangannya.

Setelah berhenti bertempur, dilihatnya sang lawan terlempar jauh juga. Ia menyangka tentu lawannya telah mendapat luka, dalam hatinya menyesal. Maka dengan cepat ia segera datang menghampiri, sambil memberi hormat ia berkata:

“Di waktu tadi, boanpwe telah terlepasan tangan, harap locianpwee tidak menyimpan di hati.”

Ayah si gadis cilik tertawa adem:

“Jangan kau kuatir,” katanya. “Dengan ilmu kepandaianmu, meskipun dapat dikatakan lumayan, tapi jika mau menundukkan tanganku kau masih belum waktunya.”

Ini bukan ia berkata terkebur, perkataannya tidak salah sama sekali. Jangan dilihat dari wajahnya yang baru seperti orang setengah umur, sebenarnya, umurnya telah lebih dari seratus tahun. Dan anak perempuannya adalah anak satu-satunya yang didapatkannya pada hari tuanya.

Nama dari orang ini ialah Liu Djin Liong, bersama dengan istrinya almarhum Su Tjiat Kin, mereka mendapat julukan di kalangan Kang-ouw sebagai Sepasang Pendekar Merpati.

Pada suatu hari suami istri ini telah beruntung dapat menemukan sejilid kitab pelajaran silat kelas satu yang bernama Sari Pepatah Raja Woo. Maka, dengan hanya membawa dua pelayan laki dan perempuan, mereka pindah dan mengasingkan diri ke dalam lembah ini.

Lembah ini mengambil nama dari julukannya sepasang suami istri ialah Lembah Merpati.

Suami istri ini setelah meyakinkan pelajaran Sari Pepatah Raja Woo, sampai enampuluh tahun lamanya, dengan beruntung mereka berhasil juga meyakinkanya. Tapi tidak disangka, pada waktu berumur seratus tahun, Su Tjiat Kin setelah melahirkan Tjeng Tjeng, anak perempuannya ini, dengan tanpa mendapat sesuatu penyakit telah mati tua.

Liu Djin Liong yang sangat cinta kepada istrinya sudah membuat satu kuburan yang besar, dan membuatnya pula sebuah peti mati yang terbikin dari gelas. Dia sendiri, setiap malam telah menemani tidur di dalam peti mati gelas ini. Dalam khayalnya ia ingin menghidupkan kembali sang istri dengan meminjam hawa panas dirinya yang dicurahkan masuk ke dalam raga sang istri.

Biarpun ini adalah suatu usaha yang mustahil, tapi perbuatannya ini bukan tidak membawa hasil, setelah istrinya tidak bernafas selama belasan tahun, tapi tubuh raganya masih hangat dan tidak menjadi busuk.

Liu Djin Liong pernah bersumpah ia tidak akan keluar dari dalam lembah ini lagi dan akan membunuh setiap manusia yang berani memasuki lembahnya.

Nama Lembah Merpati telah digantinya menjadi Makam Merpati. Tidak terkecuali juga dengan anak perempuannya, Tjeng Tjeng, dan kedua pesuruhnya, mereka tidak diijinkan meninggalkan lembah.

Tjeng Tjeng dengan umurnya yang masih muda tidak merasa akan beratnya larangan ini. Tapi si pelayan tidak tahan akan penghidupan sepi yang terkekang. Mereka telah mendapat warisan kepandaian dari Liu Djin Liong, ingin sekali mengembara di kalangan Kang-ouw untuk mendapat nama. Tapi mereka juga mengetahui sifat dari majikannya yang telah melarang mereka keluar tentu, tidak dapat membiarkan mereka pergi. Maka, dengan menggunakan kesempatan sewaktu Liu Djin Liong menemani mayat istrinya, mereka telah lari keluar dari dalam lembah.

Telah beberapa tahun Liu Djin Liong menyimpan urusan ini, ia belum dapat mencari sesuatu daya untuk membereskannya.

Demikian singkatnya riwayat hidup Liu Djin Liong.

◄Y►

Kini kita balik kepada Tjeng Tjeng yang sedang berada dalam pelukan ayahnya, dengan mendongakkan kepala, menanti jawaban dari permintaannya. Tapi ayahnya hanya termenung-menung saja, lama...... lama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.

Tangan Tjeng Tjeng yang kecil mendorong tubuh ayahnya dan berkata pula:

“Ayah, mengapa tidak menjawab?”

Baru kali ini Liu Djin Liong tersadar, setelah mengelus-elus rambut anaknya sekian lama baru ia berkata:

“Ayahmu sedang memikirkan suatu urusan......”

Setelah terdiam sebentar, Liu Djin Liong sudah mengangkat kepalanya dan dengan mata ditujukan kepada Koo San Djie berkata:

“Peraturan lembah ialah membunuh pada siapa yang berani memasukinya. Jika kau bersedia menjadi muridku, sudah tentu akan menjadi orang sendiri dan tidak terkena peraturan ini......”

Koo San Djie dengan sungguh-sungguh berkata:

“Dengan kepandaian locianpwee yang telah menjagoi di kolong langit ini, boanpwe juga turut menjagoinya. Sudah tentu boanpwe sangat beruntung, jika dapat menjadi murid locianpwe, tapi boanpwe telah mempunyai guru, dan tidak dapat berpindah masuk ke dalam golongan lain. Harap Locianpwe dapat memaafkannya.”

“Siapakah yang telah menjadi gurumu?” Liu Djin Liong bertanya.

“Pendekar Berbaju Ungu.”

Mendengar disebutnya nama Pendekar Berbaju Ungu, Liu Djin Liong tertawa berkakakan. Kemudian ia berkata pula pada Koo San Djie:

“Oh, dia? Jika demikian, kau harus memanggil aku Supek.”

Koo San Djie menganggap hal itu tidak ada salahnya. Dia ternyata adalah sahabat kental gurunya, sudah tentu memanggil susiok atau supek. Maka ia sudah menganggukkan kepalanya menyetujui.

Liu Djin Liong setelah berdiam sejenak kemudian berkata pula:

“Dengan kepandaianmu sekarang ini, hanya memerlukan waktu setahun saja dapat mempelajari semua ilmu yang akan kuturunkau kepadamu. Aku mengijinkan kau tinggal di sini dalam waktu setahun. Tapi aku mempunyai dua syarat yang harus kau perhatikan.”

Koo San Djie hanya memanggutkan kepalanya dan mendengarkan terus pembicaraan si orang tua.

Liu Djin Liong berkata lagi:

“Yang pertama, ialah setelah kau keluar dari dalam lembah, harus mewakili mengerjakan sesuatu untukku. Dan yang kedua, dalam waktu setahun ini kau tidak diperbolehkan mengucapkan suatu perkataan juga kepada Tjeng Tjeng.”

Koo San Djie berpikir, permintaan ini tidak sukar baginya. Demi kepentingan mengerjakan suatu urusan besar, ini tidaklah menjadi soal. Tentang tidak dapat bicara dangan Tjeng Tjeng, lebih mudah lagi, ia boleh anggap saja seperti tidak ada Tjeng Tjeng. Jika Tjeng Tjeng dapat menahannya, mengapa ia tidak dapat menahan sabar! Lalu, ia meluluskan segala permintaan si orang tua.

Liu Djin Liong juga tidak mengatakan suatu apa-apa lagi. Mereka lalu meninggalkan tempat itu masuk ke dalam lembah......

◄Y►

Matahari pagi baru mulai memancarkan sinarnya. Di atas daun-daun yang hijau, masih terlihat beberapa tetes embun pagi yang bening. Beberapa kali siliran angin gunung yang sejuk telah membuat orang merasa lebih segar lagi.

Tjeng Tjeng bukan main girangnya, ia sangat gembira sekali yang telah berhasil mendapatkan kawan barunya. Pagi-pagi sekali, ia telah bangun untuk melihat sang tetamu, itulah pemuda Koo San Djie.

Setelah sampai di kamar tamu, ia telah menubruk tempat kosong. Ternyata tamunya telah pergi keluar.

Sambil berlompatan, ia telah lari keluar kamar mencari tamunya. Betul saja, di bawah sebuah pohon yang besar, ia telah mendapatkan Koo San Djie yang sedang duduk bersemedi.

Tjeng Tjeng tidak berani mengganggunya, dengan sabar ia memperhatikan gerak geriknya. Dengan tangan memegang tangkai bunga Hay-thang berdiri tidak jauh dari tempat Koo San Djie melatih diri.

Setelah sekian lama, selesailah Koo San Djie melatih, dia sedang menyelesaikan serangkaian ilmu pukulan. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Tjeng Tjeng berdiri di sana. Baru saja ia membuka mulut untuk memanggil......

Dengan tertawa manis, Tjeng Tjeng sudah menggerakkan jarinya, dipasang dan dilintangkan ke mulut. Seluruh badannya tergerak semua karena ia tertawa terpingkal-pingkal.

Kelakuan ini sangat lucu sekali, sehingga membuat Koo San Djie yang melihatnya menjadi kememek, hampir dia hilang ingatannya. Dalam hatinya memikir:

“Ia sedang menyaingi mekarnya bunga Hay-thang.”

Tjeng Tjeng tertawa, kemudian menurunkan tangannya, kemudian memetik setangkai bunga Hay-thang lantas diciumnya.

Lalu, berjalan maju menghampiri Koo San Djie, menarik tangan si pemuda dan mengajak pergi ke sebuah sungai kecil yang terdapat di situ.

Mereka berdua terduduk di sana, dengan berpandangan mereka sama-sama tertawa.

Tjeng Tjeng mengulur tangannya ke tanah dan mengambil sebuah batu, dengan kecepatan yang luar biasa ia telah menulis di tanah:

“Apa kau masih mempunyai orang tua?”

Koo San Djie juga menulis dengan jari telunjuknya:

“Sudah tidak ada. Aku hanya sebatang kara.”

“Juga tidak mempunyai saudara?”

“Betul.”

“Akupun hanya seorang diri, dan merasa kesepian. Maukah kau menjadi saudaraku?”

“Jika kau tidak memandang rendah, aku akan memanggilmu adik Ceng saja.”

“Tentu! Aku akan senang memanggilmu engko San.”

“Mari kita segera pulang. Ayahmu tentu telah mencari kemana-mana.”

Demikianlah, terjadi percakapan mereka yang pertama, tanpa melanggar peraturan Liu Djin Liong.

Tjeng Tjeng telah membuang perasaan lamanya yang kesepian dan kesal, dengan riangnya ia menarik tangan Koo San Djie, dan diajaknya menuju ke arah Makam Merpati yang tinggi besar dan megah.

Makam ini dibuat dengan sangat indah, tidak kalah menterengnya dari pada makam raja-raja. Dikelilingi oleh pohon-pohon Pek yang tinggi, dan di sekeliling pohon Pek ini telah penuh dengan berbagai macam pohon bunga yang indah-indah.

Air gunung mengalir, membuat sungai-sungai kecil yang membatasi tanaman bunga-bunga. Biarpun tempat ini tidak sedap untuk didengar sebagai Makam Merpati, tapi yang sebenarnya bagaikan sorga kecil saja.

Peti mati gelas yang besar, di mana terbaring ibu Tjeng Tjeng di tengah-tengahnya, dan di belakang ruangan peti mati gelas ini terdapat tempat pemandian, dengan airnya yang menyiarkan bau harum.

Obat yang digunakan untuk tempat pemandian ini telah didatangkan dari berbagai tempat. Dengan susah payah, Liu Djin Liong telah mengumpulkan obat-obatan mujijat yang dapat menahan pembusukan dan membuat kulit tetap menjadi halus dan sebagainya.
 
09.03 Ilmu Silat Sari Pepatah Raja Woo

Semua obat-obat ini untuk menjaga keutuhan dari badan raga ibu Tjeng Tjeng.

Roh Su Tjiat Kin, jika dapat merasakan ini, entah bagaimana senangnya, karena dia mendapat jaminan kelas satu.

Koo San Djie dan Tjeng Tjeng masuk ke dalam makam, terlihat oleh mereka Liu Djin Liong telah menyelesaikan pelajaran pagi, dan orang tua sedang berdiri di sana, seperti memikirkan sesuatu.

Liu Djin Liong jalan mundar mandir sambil menggendong tangan. Begitu melihat dua orang itu masuk, sudah lantas menggapaikan tangannya, memanggil mereka.

Sesudah mengajak Koo San Djie dan Tjeng Tjeng masuk ke dalam ruangan, lalu ditanyainya tentang pelajaran ilmu silat mereka masing-masing.

Ditanyanya juga tentang kepandaian yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng. Ia merasa di antara Im-hoe-keng dan Sari Pepatah Raja Woo, terdapat beberapa persamaan. Mungkin karena waktunya yang mendesak, sehingga Pendekar Berbaju Ungu belum dapat mengupas semua sarinya. Dan yang dapat dipelajari oleh Koo San Djie hanyalah tigapuluh persen saja.

Umpama Koo San Djie telah dapat memahami semua pelajaran yang tertulis dalam Im-hoe-keng, dalam pertempuran kemarin malam, belum tentu Liu Djin Liong dapat menahan serangan Koo San Djie.

Maka Liu Djin Liong telah menjelaskan inti sari dari kitab Sari Pepatah Raja Woo agar dapat dipadukan dengan Im-hoe-keng yang Koo San Djie miliki.

Biarpun Koo San Djie mempunyai muka yang ketolol-tololan, tapi sebenarnya kepintarannya melebihi orang lain, ingatan dan kupasannya juga cepat, sehingga membuat Liu Djin Liong terheran-heran.

Dengan kepandaian dasar yang Koo San Djie miliki, penjelasan-penjelasan dari Liu Djin Liong hanya bagaikan petunjuk-petunjuk saja, tidak seperti lain orang, harus menuruti segala sesuatu yang dilakukan oleh gurunya.

Setiap hari, Koo San Djie hanya memerlukan waktu sampai dua jam untuk meminta petunjuk-petunjuk dari Liu Djin Liong, juga telah mendapat kemajuan yang tidak sedikit. Maka Koo San Djie masih mempunyai banyak waktu untuk menemani Tjeng Tjeng bermain.

Hari ini, Koo San Djie setelah mendapat beberapa petunjuk dari Liu Djin Liong, lalu mengikutinya keluar. Liu Djin Liong seperti yang sedang bergembira, telah mengajak Koo San Djie keluar untuk menguji praktek ilmu silatnya.

Ia merasa di kalangan rimba persilatan sudah sulit untuk mencari lawan tandingan. Kepandaian Sari Pepatah Raja Woo yang merajai ilmu silat tidak mendapat kesempatan untuk digunakan. Hanya anak muda ini yang berada di hadapannya yang masih dapat dipaksa untuk melayani ilmunya.

Memang betul juga, keadaan Koo San Djie pada waktu itu, ia sudah berbeda jauh dengan masa ketika ia baru datang ke lembah itu. Dengan ilmunya Im-hoe-keng yang ditambah dengan Sari Pepatah Raja Woo, dengan tenaga yang didapatkan dari khasiatnya Kodok Mas dan Capung Kumala, ia sudah tidak takut kepada siapa juga.

Dua orang, tanpa ragu-ragu lagi telah mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya masing-masing. Biarpun mereka sedang memperaktekkan teori yang terdapat dari buku, tapi tidak kalah tegangnya dengan pertempuran biasa.

Demikianlah Koo San Djie melewati hari-harinya. Suatu hari di kala Koo San Djie dan Liu Djin Liong berlatih silat, Tjeng Tjeng bagaikan kupu-kupu saja telah terbang mendatangi.

Mulutnya telah mengeluarkan teriakan:

“Bagus kau kini sedang bermain sendiri. Sekarang kau telah lupa kepadaku.”

Setelah sampai di sana, Tjeng Tjeng yang mempunyai dasar kepandaian yang lumayan, telah dapat melihat ayahnya telah menggunakan lebih dari tujuh bagian kepandaiannya. Inilah suatu hal yang belum pernah terjadi. Ia merasa heran juga tentang kepandaian Koo San Djie yang demikian pesat sekali.

“Oh, kepandaiannya sudah jauh lebih sempurna lagi.”

Sewaktu ia menyaksikan Koo San Djie yang bagaikan macan galaknya maju menyerang dengan gencar hatinya telah terbuka. Umpama ia sendiri yang mendapat kemajuan dalam kepandaiannya juga tidak sering seperti ini.

Koo San Djie dengan mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya telah dapat melawan lebih dari tigaratus jurus. Kemudian tiga jurus yang terakhir yaitu ilmu pukulan geledeknya juga telah dikeluarkan.

Tapi kali ini ia menggunakannya dengan kekuatannya seperti lebih berkurang dari sebelumnya. Tapi sebaliknya, Liu Djin Liong harus menghadapinya dengan muka yang tegang, seperti berat untuk melayani tiga serangan itu. Setelah cukup berlatih, mereka berdua menarik serangan masing-masing.

Tjeng Tjeng merasa heran, maka dengan tidak mengerti ia bertanya:

“Ayah, mengapa tiga jurus ini yang dulunya hebat, kini sudah berubah seperti tidak berguna?”

Liu Djin Liong dengan tertawa menjawab:

“Anak tolol, dulu berpeta suara, itulah menunjukkan keberangasannya. Sekarang ilmunya telah maju, ia dapat menyembunyikan dengan baik, hingga tidak kelihatan keampuhannya. Sebenarnya, kedahsyatannya telah berlipat ganda, menjadi lebih dari dua kali.”

Setelah berkata, seperti ia telah puas dengan latihannya. Liu Djin Liong telah pergi masuk ke dalam makam sang isteri almarhum.

Tjeng Tjeng melemparkan pandangannya ke arah Koo San Djie, tubuhnya yang ramping telah melompat tinggi dan menclok di atas sebatang tangkai pohon Pek.

Di antara mereka berdua, kini telah terdapat semacam bahasa. Satu gerakan tangan atau satu pandangan mata telah dapat mengeluarkan isi hatinya. Inilah bahasa yang terdapat pada mereka. Koo San Djie telah mengerti akan maksudnya, ia ingin mengadu ilmu mengentengi tubuh mereka.

Perasaan wanita selalu mau menang sendiri. Ia mengetahui, dalam hal ilmu pukulan, ia tidak ada harapan untuk dapat menandinginya. Tapi ilmu mengentengi tubuhnya yang dinamakan Kejaran Bintang Supah tentu di atas sang kawan.

Koo San Djie juga tahu, apa yang dimaksudkan oleh si gadis, tapi ia tidak mengatakan suatu apapun, dengan menarik napas, ia menyusul loncat ke tangkai. Sekali jambret, tangannya sudah mengarah dua cacing rambutnya Tjeng Tjeng.

Tjeng Tjeng dengan tertawa berkikikkan sudah mendahului loncat ke lain pohon.

Koo San Djie tidak ingin merebut kemenangan darinya, ia hanya mengiringi kehendak si gadis cilik saja. Ujung kakinya menutul sedikit tangkai pohon, bagaikan burung alap-alap mau menerkam mangsanya sudah menubruk kembali.

Tjeng Tjeng yang sedang mempertontonkan kepandaiannya Kejaran Bintang Supah, badannya yang kecil jatuh ke bawah, sehingga sampai hampir mengenai tanah. Kemudian, dengan mengibaskan lengan bajunya yang panjang, mengapurg ke atas lagi. Sebelah kakinya yang kecil menjejak sedikit di badan Koo San Djie, sambil tertawa nyaring ia sudah jumpalitan pergi.

Dua orang bagaikan halilintar saja, berapa kali mengelilingi tangkai-tangkai pohon dengan kecepatan yang dapat mengejutkan orang.

Koo San Djie dengan badannya yang sehat, tangannya yang kuat, telah meyakinkan ilmu pukulan dan perobahannya. Tjeng Tjeng sebagai wanita yang lemah, lebih menitik beratkan pada ilmu mengentengi tubuhnya.

Biarpun Koo San Djie telah mengeluarkan semaksimumnya Awan dan Asap Lewat di Mata, tapi masih ketinggalan sedikit.

Setelah mereka berdua bermain cukup. Dua-duanya sudah bersedia loncat turun ke tanah.

Mendadak, di atas tebing, di dekat mulut lembah terlihat sesosok bayangan berkelebat. Matanya Koo San Djie yang tajam dan badannya masih berada di atas tangkai pohon yang tinggi dengan cepat telah melihatnya.

“Ada orang datang!” katanya pada Tjeng Tjeng.

Ia membongkokkan badannya. Kedua kakinya dengan keras menendang tangkai pohon, badannya bagaikan panah saja melesat ke mulut lembah.

Tjeng Tjeng masih bersifat kekanak-kanakan yang masih senang akan keramaian. Begitu mendengar ada orang datang, badannya juga telah melesat mengikuti di belakang Koo San Djie.

Biarpun kecepatan dari dua anak muda sulit menandingi, tapi setelah sampai di mulut lembah, apapun mereka tidak dapat melihat.

Koo San Djie masih tidak percaya, dengan sendirinya dicarinya di sekeliling lembah ini, tapi apapun tidak terlihat juga. Maka dengan tidak memperdulikannya pula sudah menarik tangannya Tjeng Tjeng kembali ke dalam makam.

Sebenarnya Koo San Djie tidak melihat salah. Di mana memang telah datang seseorang. Tapi orang ini sangat licik, ia tahu tidak dapat lolos dari kecepatan kedua anak muda ini, maka ia telah bersembunyi di antara rerumputan sehingga dua orang yang mencarinya tidak dapat menemuinya.

Karena kelalaian inilah yang telah membawa banyak kesukaran bagi lembah Makam Merpati.

Orang tadi karena tertarik oleh tulang belulang yang ditinggalkan oleh Setan Gunung dan Kalong Wewe, maka telah salah membayangkan, bahwa orang dalam lembah ini tentunya mempunyai sifat yang kejam.

Dengan hati-hati, ia merayap naik ke atas tebing dan kebetulan dapat melihat dua muda mudi yang sedang berputar-putaran di atas pohon. Kegesitannya yang tidak ada taranya telah membuat orang ini menjadi kaget. Dengan sembunyi-sembunyi ia telah memperhatikan keadaan di sekitarnya dan terlihatlah olehnya sebuah batu, yang samar-samar seperti bertulisan Lembah Merpati dan beberapa perkataan. Baru saja ia hendak mendekati untuk melihat dengan jelas, atau sudah diketahui lebih dahulu kedatangannya oleh Koo San Djie.

Setelah menunggu sampai Koo San Djie berdua berlalu meninggalkan tempat itu, dengan tidak berani menoleh lagi ia telah lari ngiprit pergi dari tempat itu. Ternyata ia telah salah lihat, Makam Merpati menjadi Lembah Merpati. Anggapannya terhadap Lembah Merpati bagai sorga saja. Dua anak laki-laki yang sedemikian kecilnya dapat mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, jika bukan orang dari Lembah Merpati, tentu tidak ada.

Demikianlah di kalangan Kang-ouw ia telah sesumbar pengumuman bahwa ia telah dapat menemukan letak tempat Lembah Merpati, yang seperti teka-teki itu. Dan mengatakan pula, bagaimana kejamnya orang dari Lembah Merpati yang suka membunuh orang dan mengumpulkan tulang-tulang.

Liu Djin Liong mengimpipun tidak akan menduga bahwa lembahnya yang tersembunyi dapat diketahui oleh orang. Koo San Djie lama berdiam di dalam lembah ini, sudah tentu tidak dapat mendengar kabar angin tersebut. Setiap hari kerjanya kecuali meyakinkan ilmu silat, tentu mengajak Tjeng Tjeng bergurau dan berjalan-jalan di sekitar makam.

Tjeng Tjeng yang sifatnya binal sudah dapat ditundukkan menjadi seperti seekor burung kecil yang jinak.

Koo San Djie biarpun belum pernah tunduk kepada orang, tapi kali ini ia telah menjadi tunduk akan segala perkataan Tjeng Tjeng. Inilah suatu kejadian yang aneh baginya. Di hadapan Ong Hoe Tjoe ia merasakan dirinya sangat kecil sekali, tapi di hadapan Tjeng Tjeng ia merasa dirinya terlalu besar.

Terhadap Ong Hoe Tjoe, rasa hormatnya lebih besar dari pada kasih sayang. Tapi, terhadap Tjeng Tjeng, kasih sayangnya lebih besar dari pada rasa hormatnya. Di hadapan Ong Hoe Tjoe, ia masih berani berbuat kolokan, tapi di hadapan Tjeng Tjeng ia selalu melulusi permintaannya.

“Cintanya terhadap Ong Hoe Tjoe masih ada biarpun telah bertambah Tjeng Tjeng di sampingnya. Karena pada waktu ini ia tahu tidak mungkin dapat menemui Ong Hoe Tjoe, dan lagi semenjak ia bertempur dengan Pelajar Berbaju Kuning, ia sudah merasai tenaganya masih belum cukup untuk dapat menandingi orang dari Lembah Merpati, maka yang terpenting baginya ialah meyakinkan lagi ilmu silatnya

Di dalam lembah Makam Merpati inilah dia mendapat kesempatan untuk meyakinkan ilmu yang lebih tinggi.

Pada waktu senggang, sering juga Koo San Djie mengeluarkan dompet yang bersulam sepasang merpati memain, pemberian sang kekasih. Dan mengeluarkan butiran-butiran biji merah untuk dimain-mainkan.

Suatu hari, ia sedang memainkan beberapa biji kacang merah yang mengkilap itu, mendadak, dari belakangnya, Tjeng Tjeng sudah mengulurkan tangan untuk merebutnya. Maka dengan sebat Koo San Djie sudah memasukkannya ke dalam kantongnya kembali.

Tjeng Tjeng memaksa meminta, tapi ia kukuh tidak mau memberikannya. Setelah setengah hari mereka berdua ribut dengan tanda gerakan tangan mereka seperti orang bisu, Tjeng Tjeng mendadak telah memonyongkan mulut kecilnya. Setelah melakukan beberapa gerakan tangan, ia lantas membalikkan badannya dan lari meninggalkan Koo San Djie seorang diri.

Artinya ialah: “Ternyata kau sedang memikirkan perempuan lain, maka sudah lupa kepadaku. Jika kau tidak memperdulikan permintaanku, maka akupun tidak akan memperdulikan kau pula.”

Ia menyangka Koo San Djie bisa mengejar, sebagaimana biasa, tentu akan datang kepadanya untuk meminta maaf. Tapi kali ini tidak demikian halnya.

Ini bukannya Koo San Djie lupa. Ia memang sengaja berbuat demikian karena ia benci akan Tjeng Tjeng yang telah mengganggu lamunannya. Dan lagi ia juga sengaja melukai hatinya untuk menguasai pelajaran, baginya agar jangan terlalu manja sekali.

Tapi, setelah terjadinya kejadian ini, mereka dua-duanya merasa menyesal juga. Tjeng Tjeng ingin meminta maaf, tapi hati angkuhnya seorang wanita telah memaksanya tidak berbuat demikian.

Dan tentang Koo San Djie bagaimana? Ia yang sifat kerbaunya telah kumat, biarpun bersalah ia juga tidak mau menundukkan kepalanya kepada orang lain.

Demikianlah mereka berdua benar-benar telah mematuhi peraturan Liu Djin Liong. Masing-masing sudah tidak memperdulikan yang lainnya.

Pada waktu mereka berdua bergaul rapat, itulah waktunya Liu Djin Liong merasa berkuatir. Ia telah merasakan Koo San Djie, dengan perlahan-lahan telah merebut cinta kasih anaknya. Hatinya menjadi bimbang. Ia harus melarang atau melepas? Tapi ia juga tahu, tidak mungkin untuk melarangnya, tapi jika dibiarkan saja juga dapat mengganggu hatinya.

Ia juga cukup tahu, pada suatu waktu jiwa kesayangannya ini tentu akan terbang juga. Tapi masih tetap mengharapkan kejadian ini terjadi sesudah ia meninggal dunia.

Demikialah setahun telah berlalu.

Bagi Koo San Djie dan Tjeng Tjeng, waktu setahun itu terlalu cepat. Tapi bagi Liu Djin Liong, rasa setahun ini lebih lama dari setengah umurnya.

Maka, dengan segera ia sudah memanggil Koo San Djie menghadap dan berkata kepadanya:

“Kau di dalam lembah ini telah cukup setahun. Tapi kemajuan yang didapat olehmu sama dengan sepuluh tahun bagi orang biasa. Di dalam dunia Kang-ouw, mungkin tidak ada orang kedua yang dapat menandingimu. Maka tibalah saatnya untuk kau keluar lembah.”

Koo San Djie mengetahui, untuk tinggal terus, di dalam lembah, juga tidak ada gunanya. Dan lagi ia masih mempunyai banyak urusan yang harus menunggu penyelesaiannya. Tapi biar bagaimana juga terhadap lembah ini, ia merasa berat juga, tidak terkecuali terhadap Tjeng Tjeng yang lincah dan binal. Dengan berat ia berkata:

“Supek, silahkan memberi perintah.”

Liu Djin Liong dengan menganggukkan kepala, berkata:

“Yang pertama, kau harus dapat mencari dua pelayan penghianat itu. Umpama mereka berdua di luar berani berbuat yang tidak senonoh, kaupun dapat mewakili aku membereskannya.”

Setelah berdiam sejenak ia meneruskan pula:

“Dan yang kedua harus kau perhatikan ialah, jika menemui seorang tua berbaju kuning dan berkupiah mas, inilah musuhku yang memiliki kepandaian tinggi yang tidak boleh dipandang enteng.”

Koo San Djie menganggukkan kepalanya.

“Nah sekarang kau boleh pergi, selesaikanlah pesanku!” kata Liu Djin Liong pula.

Koo San Djie yang mendengar disebutnya si orang tua berkupiah mas, sudah menjadi terkejut hatinya. Bukankah orang ini yang telah merebut peta Lembah Merpati? Tapi ia tidak berani banyak bertanya. Setelah meminta diri dari Liu Djin Liong, ia sudah lantas meninggalkan tempat itu.

Setelah sampai di mulut lembah, ia membalikkan kepalanya, memandang untuk yang penghabisan kalinya. Ingin sekali ia dapat menemukan Tjeng Tjeng, tapi tidak terlihat mata hidungnya.

Maka, dengan mengeraskan hati, Koo San Djie sudah meninggalkan lembah yang tidak mudah ia lupakan dalam hidupnya.

Baru saja ia sampai di tepi sungai kecil, mendadak, di belakangnya terdengar suara teriakan yang seperti orang menangis:

“Engko San......”

Tubuh Tjeng Tjeng dengan cepat telah datang menubruk. Sambil menangis ia berkata:

"Engko San, apa kau masih marah padaku? Mengapa berangkat dengan tidak mengatakan apa-apa kepadaku? Telah lama aku ingin mencarimu, tapi......”

Koo San Djie telah menahan jatuhnya air mata hatinya. Dengan suara dipaksa ia berkata:

“Aku telah lama tidak marah kepadamu. Sama juga dengan pikiranmu, telah lama aku ingin mencarimu......”

“Apa selanjutnya kau masih mau melihatku lagi?” Tjeng Tjeng dengan cepat memotong.

“Sudah tentu, aku akan kembali kemari,” jawab Koo San Djie, “Jika mendapat waktu yang senggang, sudah tentu aku akan menyambangi kau di sini.”

Tjeng Tjeng seperti telah mengingat barang sesuatu, dengan menarik-narik tangan Koo San Djie ia berkata:

“Bukankah masih mempunyai seorang kawan wanita? Cantikkah dia itu?”

Koo San Djie menganggukkan kepalanya.

“Aku memang mempunyai satu enci angkat yang bernama Ong Hoe Tjoe, tapi sekarang aku tidak dapat mengetahui di mana dia kini berada.”

“Dapatkah kau membawanya dia kemari?” tanya Tjeng Tjeng.

Umur Tjeng Tjeng masih terlalu muda, ia masih belum mengerti, apa yang dinamakan cemburu. Ia hanya mengharapkan dapat mempunyai banyak sekali kawan laki maupun wanita. Dengan cara demikian hatinya merasa gembira.

Dalam pelukannya Koo San Djie, Tjeng Tjeng entah berapa lama mengoceh ke barat dan ke timur. Tapi ia tahu, mereka akan segera berpisah, maka ia akan menjadi sendirian lagi dengan tidak mempunyai kawan pula. Dengan air mata berlinang-linang, Tjeng Tjeng kembali pulang ke dalam makam ibunya.

Koo San Djie untuk sementara juga harus memisahkan pikirannya yang kalut kacau itu, untuk melanjutkan perjalanannya.

Hanya dalam waktu setahun ini, kepandaiannya telah maju sangat pesat sekali. Tapi dalam setahun ini, hubungannya dengan dunia Kang-ouw telah terputus.

Dalam rimba persilatan, dari tahun inilah terbayang pembunuhan-pembunuhan besar-besaran.

Berbagai macam golongan dari rimba persilatan sedang mengharap-harapkan munculnya seorang yang dapat menolong runtuhnya dunia Kang-ouw.
 
Bimabet
BAB 10.01 Anak Itik Terbang Keluar Lembah

Koo San Djie dengan tindakan lebar telah meninggalkan Makam Merpati, menempuh jalan pegunungan yang penuh lebat alang-alang setinggi manusia.

Di atas pundaknya telah membawa tiga beban berat. Dua tugas gurunya yang harus membersihkan pintu perguruan dan tugas membalas dendam dari keluarga Ong Hoe Tjoe, kesemuanya beban itu telah jatuh ke atas pundaknya.

Pemandangan pada musim rontok selalu membawa kemuraman saja. Ditambah dengan hatinya Koo San Djie yang sedang dalam keadaan pepat, sudah membikin anak muda kita menjadi lusu.

Angin dingin sebentar-sebentar meniup datang, telah membuat daun-daun kering bertambah berisik. Beberapa burung belibis yang lewat mengeluarkan suaranya yang sedih, menambah kekosongan dari hati si pengembara.

Dengan tidak terasa, hati Koo San Djie sudah menjadi bimbang pikirannya seperti telah menjadi kosong. Sementara penderitaan yang tidak terlihat telah datang mengganggunya. Keadaan di sekitarnya yang sepi membuat ia sedih atau perasaan sedihnya yang telah membuat keadaan menjadi sepi, ia sendiri juga tidak mengetahuinya.

Ia hanya merasakan, jika berada disamping Ong Hoe Tjoe, Tju Thing Thing atau Liu Ceng, hatinya baru dapat bergembira. Ia telah merasa perasaan ini telah berubah jauh, bila dibandingkan pada waktu ia masih menjadi bocah angon, juga keadaan sekarang ini. Pada masa kecilnya ia selalu lebih senang jika bersendirian atau dengan binatang-binatang angonnya, ia tidak suka atau lebih baik tidak bertemu dengan para majikan-majikannya. Tapi, kini jika ia kehilangan kawan, maka sepi dan kosonglah dunia ini baginya.

Ia telah mulai melambatkan langkahnya, agar dapat membayangkan, kejadian-kejadian hidupnya dengan lebih leluasa.

Tiba-tiba ia mendengar derap langkah yang cepat sekali. Ia mulai sadar dari lamunannya. Siapa gerangan orang yang lari begitu cepat? Entah urusan penting apakah yang menyebabkan mereka terburu-buru. Hampir saja ia sukar membedakan, derapan kaki atau burung-burung yang beterbangan.

Dari jauh, sebuah bayangan yang kecil keluar dari tikungan jalan pegunungan yang sempit.

Mendadak, Koo San Djie tergetar, seperti terkena aliran listrik yang mempunyai tekanan tinggi. Sebuah bayangan sekelebatan telah tercipta di dalam pikirannya.

“Apa bukan dia orangnya?”

Betul saja, yang datang adalah orang yang diduganya. Sesosok bayangan kecil telah lompat turun di hadapannya dan berkata:

“Engko San......”

Karena terlampau bergembira, sampai ia tidak dapat meneruskan perkataannya. Suaranya pun karena ketegangan sudah menjadi seperti menangis.

Tidak salah! Yang datang adalah Liu Tjeng.

Bukan main terkejutnya Koo San Djie, sambil menarik sebelah tangannya ia bertanya:

“Kau, mengapa keluar lembah?”

Dengan gaya yang patut dikasihani Tjeng Tjeng menjawab:

“Seperginya kau dari lembah, aku sudah menjadi sangat kesal. Hanya aku seorang diri, dengan tidak mempunyai kawan, semua keadaan tidak menyenangkan. Jika aku tetap dikurung di dalam lembah, pasti aku bisa mati kesal......”

Setelah menyusut air matanya yang tidak dapat ditahan lagi, ia meneruskan penuturannya pula:

“Aku telah meminta ijin kepada ayah untuk pergi menjelajah dunia Kang-ouw bersamamu, tapi ayah tidak mau mengijinkannya. Maka aku pergi dengan meninggalkan sepucuk surat kepadanya.”

Lalu, ia menundukkan kepalanya. Air matanya sudah semakin deras mengucur keluar. Rambutnya yang hitam sampai mengenai janggutnya Koo San Djie.

Dengan perlahan-lahan, Koo San Djie mengusap-usap rambutnya yang telah penuh dengan debu, satu persatu dibetulkannya dari kekusutan. Kemudian, dengan setengah menasehatkan ia berkata:

“Adik Tjeng, paling baik kau pulang saja. Dengan mengambil tindakan ini, bukankah akan membuat berduka hati ayahmu?”

Tjeng Tjeng dengan menggoyang-goyangkan badannya berkata:

“Tidak. Aku tidak akan kembali ke dalam lembah. Ayahku sudah ada ibuku yang menemaninya.”

Dalam hati Koo San Djie berpikir:

“Ibumu yang telah meninggal, mana dapat menemani ayahmu?”

Tapi ia juga tahu sifat Tjeng Tjeng yang keras, percuma saja untuk membujuknya. Maka dengan terpaksa ia telah mengajak Tjeng Tjeng berjalan bersama-sama.

“Marilah kita berangkat sekarang!” ia mengajak si gadis.

Tjeng Tjeng dengan menjebirkan mulutnya yang kecil mungil, berkata:

“Kita akan pergi kemana?”

Koo San Djie memandang wajah ayu Tjeng Tjeng, kini wajah itu telah menjadi terang kembali, masih terdapat beberapa butiran air mata, merasa sangat kasihan. Dengan perlahan-lahan disusutinya air matanya, kemudian baru menjawab pertanyaan itu.

“Yang pertama, kita pergi ke Cong-lam, untuk memberitahukan tentang kematian Yun Yan Tjie kepada ketua partainya dan juga menyerahkan pedang dan cap kumala milik Yun Yan Tjie.

Tjeng Tjeng menganggukkan kepalanya. Mereka lantas meneruskan perjalanannya.

Setelah memasuki daerah kota yang ramai, Tjeng Tjeng selalu tertawa dengan gembira. Ia dibesarkan di daerah pegunungan yang sepi, kecuali dengan beberapa orang di dekatnya, belum pernah ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan banyak orang. Tidak disangka, bahwa di antara manusia masih terdapat keramaian seperti ini, ia senang dengan segala keramaian, ia suka dengan segala barang. Tidak ada satu yang tidak aneh baginya.

Orang yang telah bosan akan kehidupan sudah menjadi pusing akan keramaian kota, mereka pada ingin pergi menyendiri di pegunungan untuk dapat hidup tenang, tidak ada gangguan.

Tapi, Tjeng Tjeng telah menjadi terpikat oleh keramaian, di dalam hatinya yang masih putih bersih mana mengetahui akan kejahatan manusia.

Inilah perbedaan yang nyata dari dua golongan yang hidup terpisah.

Tidak lama kemudian Koo San Djie dan Tjeng Tjeng telah memasuki daerah propinsi, Shan-sie, Gunung Cong-lam telah terlihat di depan mata mereka.

Mendadak Koo San Djie telah melihat bayangan orang yang ia kenali, lewat dari sela-sela gunung menuju ke arah barat.

Koo San Djie mengenali, ia adalah wanita berpakaian mewah yang menahan-nahannya di telaga Pook-yang dan mengaku bernama Oey Bwee Bwee.

Jika sengaja dicari, tidak mudah ketemu, tapi kini, dengan tidak disengaja telah dijumpainya. Dengan tidak sempat memberitahu kepada Tjeng Tjeng lagi, ia telah melesat mengejar bayangan tadi.

Tidak usah memakan waktu ia telah dapat mengejar dan menghadang di hadapannya, ia membentak:

“Perempuan jahat, bagus sekali perbuatanmu, ya!”

Oey Bwee Bwee yang melihat orang yang menghadang di hadapannya adalah Koo San Djie, jantungnya telah berdebaran keras. Tapi ia tidak menunjukkan perasaan hatinya, dengan berlagak pilon ia bertanya:

“Ada urusan apa? Mengapa kau begitu galak sehingga telah membuat orang menjadi kaget saja?”

Setelah berkata demikian, kedua tangannya ditaruh di atas dadanya, membuat tingkah seperti orang yang sedang berada dalam kekagetan.

Koo San Djie tidak mempunyai waktu untuk menyaksikan segala tingkah laku orang itu, dengan marah, ia telah mengeluarkan potongan kain kembang yang berwarna merah dan surat dadu, lantas dilemparkan di hadapan wanita itu. Sambil mempelototkan matanya ia berkata:

“Kau, dengan tanpa alasan telah menculik encie Hoe Tjoe, bahkan sudah berani membunuh ibunya yang tidak berdosa. Jika kau tidak dapat memberikan penjelasan yang tepat, aku akan mengambil jiwamu untuk gantinya.”

Dalam hati Oey Bwee Bwee sudah bingung setengah mati, ia sedang dalam kesulitan, mengenai nasib dirinya. Ia telah mendapat batas waktu untuk segera kembali ke dalam lembah setelah melakukan tugasnya untuk mengejar seorang dan mengambil obat pemunah darinya.

“Kau jangan membuat orang menjadi penasaran. Siapa yang mempunyai nyali besar berani menculik Ciecie Hoe Tjoe mu?” katanya sambil berjingkrak-jingkrak.

Ia maju mendekati Koo San Djie, dengan lagak yang sangat manja, ia berkata lagi:

“Kau menyangka yang bukan-bukan. Beri tahu kepadaku, siapa yang dapat membuktikan bahwa tuduhanmu itu beralasan?”

Ia sudah mengulurkan tangannya dan menempel di atas pundak Koo San Djie, dan tidak hentinya digoyang-goyangkannya.

Koo San Djie kesal, lalu menyingkirkan tangan yang masih menempel dipundak. Hatinya menjadi bingung juga. Biarpun kejadian itu mungkin sekali orang ini yang melakukannya, tapi sukar sekali untuk ia mendapatkan bukti yang nyata. Dengan hanya mendapatkan potongan kain dan sampul surat saja tidak dapat memastikan benar tidaknya tuduhannya itu.

Oey Bwee Bwee yang melihat Koo San Djie telah menjadi bimbang, mana mau mensia-siakan kesempatan yang sebaik ini. Maka ia sudah bertindak maju dua tindak lagi. Hampir saja muka bertemu muka. Dengan membuat suaranya menjadi selunak-lunaknya, ia sudah memohon pula:

“Aku mempunyai urusan yang sangat penting sekali untuk mengejar orang, harap kau melepaskanku.”

Pada waktu itu, Tjeng Tjeng telah sampai di antara mereka. Entah bagaimana, ia sudah menjadi tidak suka kepada wanita itu, lebih tidak suka lagi melihat bagaimana kelakuannya terhadap Koo San Djie. Maka dengan tidak sabaran ia sudah berkata:

“Koko San, lekas lepaskan dia.”

Oey Bwee Bwee melihat ada orang yang membantunya sudah lantas berkata lagi:

“Adik kecil ini lebih baik dari padamu. Aku akan segera pergi.”

Tjeng Tjeng menjebirkan bibirnya.

“Siapa yang menjadi adik kecilmu?” katanya sebal.

Dalam hatinya Oey Bwee Bwee berkata:

“Ah, anak kecil pun berani kurang ajar di hadapanku. Jika tidak ada dia di sini, kau akan mengenal kelihayanku.”

Tapi dalam keadaan saat itu, ia tidak berani mengeluarkan perkataan sama sekali. Dengan loncat sedikit, ia sudah lari pergi jauh.

Koo San Djie tidak pernah takut akan kekerasan, tapi tidak dapat melawan si lemah. Ia tidak mau mengganggu orang yang telah meratap beberapa kali kepadanya. Belum juga ia dapat mengambil keputusan, itu waktu Oey Bwee Bwee telah lenyap dari pandangan matanya.

Tjeng Tjeng datang menghampiri kepadanya dan berkata:

“Koko San, orang tadi seperti siluman saja lagaknya. Aku benci sekali mengapa kau masih mau menahannya?”

Koo San Djie yang masih memikir sudah menjawab:

“Aku curiga, bahwa orang inilah yang menjadi pembunuh ayah bunda Ciecie Hoe Tjoe.”

Tjeng Tjeng menjadi tidak enak hati mendengar perkataan ini.

“Aduh,” katanya, “Aku tidak seharusnya membuat dia terlepas. Dilihat dari mukanya dia bukan orang baik-baik. Mungkin benar juga dia yang berbuat.”

Koo San Djie tidak berkata apa-apa. Mereka lalu melanjutkan perjalanannya.

Rumah berhala Bu-hian dari partai Cong-lam, terletak di kaki gunung Cong-lam. Dua orang dengan kecepatan kakinya yang tidak dapat disamakan dengan orang biasa, sebentar saja telah sampai di sana.

Rumah berhala Bu-hian dengan megahnya nampak berdiri di hadapan mereka. Tjeng Tjeng dengan berlompatan sudah maju ke muka untuk terus masuk ke dalam rumah berhala itu.

Mendadak, dari belakang pintu telah menghadang dua tosu, dengan mengangkat kedua tangannya berbareng berkata:

“Kau anak siapa? Mengapa berani-berani sembarangan datang kemari?”

Perobahan yang mendadak ini telah membuat Tjeng Tjeng menjadi kaget.

“Ada urusan apa dengan kau?” Tjeng Tjeng membentak marah.

Ia belum pernah mengadu kekuatan dengan orang. Kecuali ayahnya dan Koo San Djie yang menjadi tandingannya, ia belum pernah bertemu dengan orang lain. Dan lagi, terhadap ayahnya dan Koo San Djie, ia dapat menyerang dengan leluasa dengan tidak perlu menjaga dirinya. Karena ayahnya dan Koo San Djie hanya main-main saja.

Demikianlah ia telah menyerang dengan tidak memandang enteng beratnya lagi, hanya dengan perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, sehingga menyebabkan terhuyung-huyungnya kedua tosu itu, mereka jatuh ke belakang.

Koo San Djie yang berdiri di situ menjadi terkejut menyaksikan kejadian itu. Buru-buru ia maju ke muka dan memberi hormatnya sambil berkata:

“Aku yang rendah bernama Koo San Djie ada sedikit urusan untuk dirundingkan bersama ketua partai Yun Shia Tojin.”

Dua tosu tadi menengok ke arah orang yang bicara. Dilihat seorang anak yang baru berumur enambelas tahun. Karena berpakaian gembala, biarpun bermuka terang dan berbadan besar, mereka tidak memandang mata. Dilihatnya pula Tjeng Tjeng, umurnya lebih muda lagi, paling banyak juga berumur empatbelas tahun, dengan rambutnya yang dikepang menjadi dua cacing kecil, gadis itu tengah berlompatan.

Kedua tosu ini sudah menjadi kesal.

“Ketua partai kami? Apa kau kira dapat sembarangan kau temui?” jawabnya adem.

Koo San Djie sudah menurunkan pedang pemberian Yun Yan Tjie dan berkata:

“Urusanku harus dirundingkan dengan ketua partai, harap dua totiang suka memberitahukannya.”

Dua tosu tadi yang terkena pukulan Tjeng Tjeng dan terhuyung-huyung, kini mendadak melihat Koo San Djie sudah mengeluarkan pedang. Disangkanya orang yang mencari setori, maka mereka sudah menghunus pedangnya masing-masing dan membentak:

“Di sini bukan tempatmu untuk menjual lagak. Kau tidak dapat menemui ketua partai kami, segala urusan dapat kau selesaikan kepada kami.”

Tjeng Tjeng marah dan berkata:

“Satu ketua partai apa bagusnya? Biarpun kalian tidak mengijinkan kami masuk. Aku pun akan menerjang masuk juga.”

Mendadak, dua pedang telah dilintangkan dan menghadang di hadapan Tjeng Tjeng merupakan tanda tapak jalak.

Tjeng Tjeng yang biasa dimanja, melihat dua tosu ini berani menghalang-halanginya, sudah menjadi naik darah. Maka ia telah mengulurkan tangannya, jarinya yang kecil mungil mementil dua kali pada dua batang pedang itu sambil berkata:

“Dua batang pedang rongsokan begini mana dapat menakuti orang?”

Berbareng dengan perkataannya, dua pedang tadi seperti mempunyai sayap telah terbang ke udara.

Dua tosu itu menjadi ketakutan, lalu membalikkan badannya dan lari ke dalam.

Koo San Djie yang melihat kejadian itu telah menyesalkan kawannya:

“Kau tidak seharusnya mementil pedang orang. Kejadian ini mungkin dapat menerbitkan salah paham.”

Tjeng Tjeng dengan memonyongkan mulutnya berkata:

“Habis mereka sangat menghina orang......” katanya.

Mereka terus berjalan masuk. Setelah melewati pekarangan yang luas, di depan telah tertampak undakan batu yang panjang. Seorang tosu bermuka brewokan dan berangasan rupanya kelihatan berdiri di situ. Di belakangnya berbaris empat tosu muda.

Melihat Koo San Djie dan Tjeng Tjeng berjalan mendatangi, si tosu brewokan membentak:

“Anak dari golongan mana yang telah berani kurang ajar di kuil Bu-hian?”

Tosu ini adalah adik seperguruan ketua partai Cong-lam bernama Yun Mong Tjie. Adatnya paling berangasan, kepandaiannya hanya berada di bawahnya Yun Yan Tjie. Karena mendapat laporan dari penjaga pintu, bahwa ada dua anak liar yang telah datang mengacau, maka ia sudah datang melihatnya.

Koo San Djie dengan kelakuan menghormat menjawab:

“Totiang jangan salah mengerti, aku yang rendah benar ada sedikit urusan yang akan dirundingkan dengan ketua partai di sini. Harap totiang sudi melaporkan tentang kedatangan kami.”

“Kecil-kecil telah berani sedemikian tidak memandang mata!” Yun Mong Tjie membentak. “Ada urusan apa, katakan saja kepadaku, juga sama saja. Mengapa harus menemui ketua partai?”

Tiba-tiba, matanya melihat pedang yang tersoren di pinggang Koo San Djie, ia menjadi kaget. Cepat ia sudah loncat menghampiri pemuda itu, dengan maksud untuk ditegasi, kemudian bertanya:

“Dari mana kau mendapatkan pedang ini? Coba berikan kepadaku!”

“Karena pedang inilah yang telah menyebabkan aku datang kemari untuk menemui ketua partaimu,” kata Koo San Djie.

Yun Mong Tjie yang mendengar telah beberapa kali anak muda ini hanya mau menemui ketua partai saja, hatinya menjadi marah.

“Berani kau tidak menuruti kehendakku?” demikian ia membentak.

Dengan sebat, tangannya telah diulur untuk merebut pedang.

Tjeng Tjeng sedari tadi sudah tidak sabaran berdiri di sebelahnya Koo San Djie. Ia sebal melihat Yun Mong Tjie yang sedemikian sombongnya. Hatinya sudah merasa tidak senang, kini melihat si sombong berani mencoba merebut pedang, dengan perlahan ia sudah mengibaskan lengan bajunya, mulutnya mencaci:

“Manusia ******! Orang telah menghormati padamu, apa masih kurang puas? Orang dengan baik hati datang kemari untuk memberi kabar, tapi tidak disangka telah mendapat perlakuan yang sedemikian rupa!”

Yun Mong Tjie yang baru saja mengulurkan tangannya, sudah merasa ada angin yang mengarah tangannya, maka dengan cepat ia sudah menarik kembali tangan yang menyerang. Dilihatnya yang menyerang tadi adalah si anak perempuan berkuncir, hatinya menjadi panas. Dengan mempelototkan matanya ia sudah mengirim sebuah pukulan.

Telah puluhan tahun ia meyakinkan ilmunya, tenaganya tidak boleh dibuat gegabah. Pukulannya telah mengeluarkan kekuatan yang tidak terlihat, susul menyusul datang menyerang ke arah Tjeng Tjeng.

Si nona cilik dengan memoncongkan mulutnya yang mungil berkata:

“Apa artinya pukulan macam ini?”

Segera ia buka lima jari tangan kanannya, angin dingin yang tajam keluar dari lima jarinya, mengarah dada lawan.

Yun Mong Tjie terpaksa menarik kembali serangannya tadi. Brewoknya telah berdiri semua sakiug marahnya. Tapi biarpun bagaimana, ia kaget karena mendapat serangan tadi.

Koo San Djie yang takut Tjeng Tjeng mengumbar hawa napsunya dan dapat menerbitkan keonaran, maka buru-buru ia maju dan memisah. Ia berkata pada Tjeng Tjeng.

“Adik Tjeng, sabarlah. Biar aku yang menghadapi dia......”

Baru saja ia dapat menahan Tjeng Tjeng, di belakangnya telah terasa ada sebuah barang berat yang menekan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd