Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Lembah Merpati ( Chung Sin )

andytama124

Guru Semprot
Daftar
25 Dec 2014
Post
565
Like diterima
41
Bimabet
Cayhe ingin menyajikan satu Cersil lama dengan judul Lembah Merpati, yang disadur oleh suhu Chung Sin, namun tahun penerbitannya sudah tidak terbaca lagi.(perkiraan cayhe tahun 1960an).

Bahasa yang digunakan masih seperti apa adanya, hanya untuk memudahkan generasi muda membacanya, cayhe berusaha untuk menggunakan ejaan baru.

Ceritanya sederhana, mengemukakan seorang Anak Angon (gembala) yang bernasib baik dan berjiwa Asih berjuang untuk menegakkan keamanan dan keadilan di Sungai Telaga yang dikacaukan oleh Penguasa Lembah Merpati yang sangat lihay namun khianat. Di dalam menghadapi setiap bahaya dan kesulitan, si Anak Angon selalu didampingi oleh pendekar wanita cantik, namun pada akhirnya Si Anak Angon tetap memilih Si Anak Nelayan sebagai pasangan hidupnya.

Semoga dapat bermanfaat dalam menambah dan melestarikan khazanah bacaan di Bumi Nusantara tercinta. Selamat menikmati.
maaf kalau cayhe agak lelet sbb harus nulis ulang lagi karna banyak banyak tulisan yang udah susah di baca lagi .....
 
BAB 1 Huruf-huruf Kuno di Atas Batok Kura-kura
1 Huruf-huruf Kuno di Atas Batok Kura-kura


Setelah angin puyuh berlalu, keadaan kembali menjadi tenang. Di tegalan yang luas terlihat kambing-kambing mulai bergerak berpencaran, sebelum itu, mereka berkumpul menjadi satu.

Si gembala kambing, seorang anak yang berumur kurang lebih duabelas tahun, merayap keluar dari goa tempat sembunyinya. Bajunya sudah tua, banyak tambalannya. Dia seorang bocah miskin. Ia mendongak melihat langit yang telah menjadi terang kembali, lalu memandang ke sekitarnya, dimana banyak tangkai-tangkai pohon yang sudah tumbang. Mendadak matanya tertarik oleh sesuatu, ia memandang ke arah segundukan tanah longsoran, ia jalan menghampiri gundukan tanah yang menarik perhatiannya itu.

Pada gundukan tanah longsoran itu terlihat sebuah batu kuburan yang hampir tidak dapat dibaca. Di antara pecahan batu yang berantakan di situ ada kedapatan barang-barang yang baru dilihat oleh si bocah, seperti kuda-kudaan yang terbuat dari batu dan patung-patung yang terukir oleh pemahat-pemahat yang pandai.

Barang-barang ini telah bercampur dengan segala macam pecahan piring mangkok dan lain-lain barang kuno. Tapi begitu banyak barang-barang kuno yang aneh-aneh, si bocah angon hanya tertarik oleh sebuah pit (alat tulis) besar yang berwarna hitam mengkilap. Pit ini lebih besar dari pit biasa, diangkatnya juga berat. Dalam girangnya, si bocah mencorat-coretkankan pit itu di atas batu. Kelakuannya si bocah angon telah menimbulkan suatu keanehan.

Batu yang terkena goresan ujung pit itu sudah lantas terbelah menjadi dua. Melihat kejadian ini, si bocah merasa heran. Tapi ia tidak percaya, mungkinkah ada pit begitu tajam? Lalu dipilihnya pula sebuah batu yang keras dan besar, dengan sekuat tenaganya, ditusukkannya ujung pit aneh itu.

Terdengar suara “pruk”, batu tadi telah menjadi hancur berantakan. Ia telah membuktikan, betapa hebatnya pit itu, dengan tak terasa, ia berlompat-lompat girang. Dengan bersenyum puas, ia mengelus-elus pit wasiat itu. Pikirnya, dengan pit wasiat ini, ia akan menghajar binatang srigala yang berani memakan kambingnya. Kini ia sudah tidak usah takut lagi untuk menghadapi srigala-srigala yang sering mengganggunya. Sungguh tabah hati si bocah angon.

Dengan tidak terasa, ia mengayun-ayunkan pit wasiatnya, seperti sedang menghadapi seekor srigala.

Sekian lama ia memainkan pit wasiatnya ini, sehingga ia menjadi letih sendiri. Sambil menyelipkan pit yang baru didapat tadi, ia kembali memperhatikan kuburan tua yang berada di depannya.

Kuburan ini tidak seperti kuburan yang biasa dilihat. Biarpun kuburan tersebut telah menjadi pecah tidak keruan, tapi dari barang-barang yang terlihat, dapat dibayangkan, betapa indah dan megahnya asal usul dari kuburan kuno ini.

Ia tidak dapat melihat ke dalam kuburan, karena benda itu telah tertimbun oleh tumpukan-tumpukan tanah. Meskipun begitu, ia masih menemukan beberapa batok kura-kura yang sudah berantakan di tanah.

Setelah diperlihatkannya dengan teliti, ternyata di atas batok kura-kura tadi terdapat ukiran-ukiran kuno. Ukiran-ukiran ini melukiskan bermacam-macam tingkah laku orang dan binatang-binatang. Di bawahnya lukisan-lukisan ini terdapat huruf yang tidak dimengerti oleh si bocah, rupanya itu ada penjelasan-penjelasan dari gambar-gambar tadi.

Barang yang seperti demikian, jika terjatuh di dalam tangan anak-anak lainnya sudah tentu tidak ada yang akan mengambilnya. Tapi tidak demikian dengan si bocah angon ini yang telah banyak membaca buku, biarpun ia tidak mengerti huruf-huruf itu, tapi keinginannya untuk mengetahui telah memaksa ia untuk menyimpannya.

Maka dipungutinya satu persatu, batok kura-kura yang berantakan tadi, dibersihkan dan dimasukkan ke dalam bajunya yang banyak tambalan itu. Sambil menenteng sekumpulan batok kura-kura, dia menggiring kambing-kambingnya pulang kampung.

Koo San Djie, demikian namanya si bocah angon, sebenarnya bukan asal kampung itu. Ia sebenarnya ada turunannya seorang bangsawan. Ayahnya almarhum, karena berani menentang kelakuannya pemerintah setempat yang berlaku sewenang-wenang, maka ia telah dibuang ke perbatasan Tibet, dan si bocah telah dipelihara oleh Koo Han Lim suami isteri.

Tapi tak lama kemudian, Koo Han Lim suami isteri telah meninggal dunia. Koo San Djie yang telah menjadi sebatang kara, lalu bekerja sebagai pengembala kambing pada salah satu tuan tanah.

Koo San Djie adatnya keras, biarpun mendapat perlakuan yang kejam dari sang majikan, belum pernah menangis. Berbeda dengan bocah angon lain-lainnya, disamping kambing-kambing yang diangonnya, ia tidak pernah lupa dengan buku pelajarannya.

Koo San Djie setelah kembali ke rumah dan berada sendirian, satu persatu huruf-huruf yang tidak dimengerti tadi ia perhatikan.

Biar bagaimanapun, sudah tentu Koo San Djie tidak dapat mengerti huruf kuno itu, yang memang belum pernah dipelajarinya, hanya gambar-gambarnya yang setelah diperhatikan betul-betul, ternyata merupakan gerakan-gerakan yang bersambung.

Malam itu, sebagaimana biasa ia tertidur di atas ranjang papan yang dilapis oleh selembar selimut rombeng. Sekian lama ia berbaring di tempatnya, pikirannya masih melayang-layang pada batok kura-kura yang gambarnya berubah-ubah. Ia sudah tidak mau ambil pusing sama huruf-huruf penjelasannya yang telah membikin ia sakit kepala, hanya pikirannya masih mengingat-ingat gambar-gambarnya yang melukiskan berbagai macam gerakan yang sangat mudah untuk ditirunya.

Angin dingin yang meniup-niup telah menyebabkan ia tidak dapat tidur, dengan sekali lompat ia telah meninggalkan tempat tidurnya. Ia coba mengikuti tingkah laku dan gerak gerik sebagaimana yang terlukis di atas batok kura-kura.

Demikianlah sejak saat itu ia telah mulai meyakinkan pelajaran-pelajaran tersebut yang ia dapati dengan tidak disangka sama sekali.

Pada suatu hari, sebagaimana biasa, Koo San Djie sudah pergi mengangon kambing-kambingnya. Gumpalan-gumpalan awan hitam pelahan-lahan mulai menutupi langit, kembang salju yang putih halus beterbangan seolah-olah menutupi jagat. Di kaki gunung kambing-kambing telah berpencaran di antara rumput-rumput yang tinggi, mencari rumput-rumput, daun-daun, kulit-kulit pohon dan akar-akar yang telah menguning untuk dimakannya.

Koo San Djie mengayunkan langkahnya ke sebuah goa untuk menghindari hujan angin. Disana ia duduk bersila, mengatur jalan pernapasannya, ia sudah tidak merasa hawa udara yang dingin, bahkan di atas kepalanya masih mengeluarkan uap panas yang putih.

Hanya dalam beberapa bulan saja, ia sudah merasakan hasilnya yang lumayan dari pelajaran-pelajaran barunya. Kini ia tidak pernah merasa dingin lagi, biarpun air-air dikali telah membeku menjadi es, ia dapat tidur pulas tanpa memakai selimut lagi.

Waktunya tidak pernah dibuang percuma, ia selalu menggunakan waktu senggangnya untuk mengatur jalan pernapasannya. Sebelumnya ia tidur, dilatihnya dulu menurut gerakan-gerakan cara yang tertulis di atas batok kura-kura, begitupun sesudahnya bangun tidur, latihan itu telah menjadi pekerjaan yang pertama.

Pada suatu hari selagi mengangon kambingnya, ia duduk bersemedhi. Tidak lama, ia mendengar suara derapan kaki kambing yang ramai, begitu berisik, seakan-akan kambing-kambingnya telah lari kepadanya semua.

Setelah dibuka kedua matanya, kambingnya masih terlihat tenang-tenang saja di antara gerombolan rumput-rumput yang tinggi. Seekorpun tidak berada disampingnya.

Keadaan ini telah membikin ia menjadi bingung, ia tidak habis mengerti, mengapa kupingnya bisa menjadi demikian?

“Aneh, entah apa yang menyebabkannya? Sebentar akan kutanyakan pada empe Bun, ia tentu dapat mengetahuinya,” pikir Koo San Djie.

Ia tidak mengetahui bahwa ia mempelajari tenaga dalam dengan tidak disengaja. Pelajaran ini, jika telah mencapai tarap tertinggi, pikiran bisa menjadi jernih begitu rupa, sehingga suara yang bagaimana kecil pun dapat didengarkan dengan jelas sekali.

Mengingat empe Bun, yang dapat menjawab segala macam persoalan yang bagaimana sulitpun hatinya menjadi tenang. Kedua matanya dirapatkannya kembali untuk meneruskan bersemedhinya.

Empe Bun adalah orang yang paling dihormati oleh Koo San Djie.

Baru saja ia mulai tenang, tiba-tiba kupingnya telah mendengar kembali suara tadi, suara yang sangat aneh. Dari jauh seperti terdengar ratusan kuda lari mendatang, bercampuran dengan suara lolongan-lolongan srigala yang melengking tinggi. Suara yang belakangan inilah yang telah membikin ia menjadi lompat bangun.

Di daerah padang luas, rombongan srigala adalah rombongan yang terhitung paling ganas. Tidak perduli manusia atau binatang, tidak satupun yang dapat lolos dari geragorannya srigala-srigala ini.

Kini bukannya Koo San Djie saja yang mendengar lolongan srigala itu, beberapa ekor kambing yang seperti telah mengetahui akan datangnya bahaya, sudah menjadi seperti yang ketakutan.

Tak berapa lama kemudian, beberapa ekor kambing yang lebih berpengalaman telah mulai lari serabutan.

Biarpun mempunyai hati yang sangat tabah pun, sebagai seorang anak yang belum pernah mengalami bertemu dengan rombongan srigala, Koo San Djie menjadi ketakutan setengah mati.

Menurut penuturan orang-orang tua, untuk lari menyingkir dari rombongan serigala ini sudah tidak mungkin sama sekali. Serigala-srigala ini masih dapat mengubar dan mengikuti hawa bau kambing yang telah menempel di badannya.

Lolongan srigala kini sudah terdengar dengan jelas. Semua kambing sudah lari berpencaran, tanpa dapat diatur lagi. Dengan tangan mengepal kencang-kencang pit wasiatnya Koo San Djie lari sehingga sampai ke ujung tebing.

Kini sudah dapat dilihatnya dengan jelas, ratusan srigala dengan mulutnya yang rakus berada di antara rombongan kambing-kambing.

Segera terdengar jeritan-jeritan kambing yang mengerikan. Sebentar saja, kambing-kambing yang diangonnya sudah habis digerogoti oleh srigala yang lebih besar jumlahnya.

Percuma saja kambing-kambing yang tidak dapat melawan kepada keganasan, mereka berteriak dan menjerit, satu persatu telah menjadi makanan yang lezat dari rombongan srigala yang rakus itu. Di tumpukan salju yang putih bersih telah berceceran darah kambing yang berwarna merah segar.

Koo San Djie hanya bisa menyaksikan kambing kesayangannya dalam sekejapan saja telah menjadi ludes semua, dia sangat sakit hati, kemarahannya telah timbul dengan tiba-tiba. Kedua matanya berwarna merah, seolah-olah mengeluarkan api, pit wasiatnya diputar-putarnya, dalam keadaan yang setengah kalap, ia sudah menerjang ke arah rombongan srigala tadi.

Suara kambing sudah tidak terdengar sama sekali, rombongan srigala yang berjumlah ratusan banyaknya masih belum puas, dengan mulutnya yang masih berlepotan darah mereka masih mencari barang yang bisa dijadikan mangsanya.

Jeritannya Koo San Djie, berarti mendatangkan perhatiannya dari rombongan srigala liar ini. Tanpa menunggu sampai ia turun tangan, beberapa ekor srigala yang besar sudah datang menerjang kepadanya.

Dalam keadaan tidak sadar, Koo San Djie masih berani berlaku nekad. Kini melihat beberapa ekor srigala yang besarnya hampir sama dengan badannya, datang menerjang ke arahnya, baru timbul rasa takutnya.

Srigala yang di depan belum juga sampai untuk menubruk, tetapi rombongan yang di belakang sudah datang menyerbu. Seakan-akan tanah bergerak mau menelannya.

Mendadak, terdengar satu suara yang melengking memecah keadaan, pit wasiatnya Koo San Djie mengetuk pecah batok kepalanya srigala yang terdepan, disusul dengan rintihannya dari srigala yang di sebelah kanannya, perutnya pun terkena tusukannya pit yang lihay di tangan Koo San Djie.

Satu persatu, rombongan srigala yang mendekatinya telah rubuh bergilir. Koo San Djie, dengan pit wasiatnya telah membunuh puluhan ekor srigala, tapi ia sendiripun telah mandi darah, darah bangkai srigala tentunya. Setindak demi setindak, kakinya telah mundur ke arah pinggir tebing yang curam.

Dilihatnya rombongan srigala itu menjadi bertambah banyak, seluruh tebing telah penuh dengan srigala. Percuma saja untuk Koo San Djie membasminya.

Dua ekor srigala pula berbareng melompat ke arahnya, dengan hati yang mulai menjadi keder, ia melompat ke belakang.

Tapi, kakinya sudah tidak dapat menginjak tanah pula, terasa di kupingnya angin menderu-deru, keadaan di sekelilingnya menjadi gelap, dengan tidak mengingat apa-apa ia telah terjatuh dari pinggir tebing, menuju jurang yang sangat dalam sekali……
 
Dan lagii lagii kisahh persilatan, kebajikan melawan kebathilan :haha:

Ane matok tempat dimari ya bang,,

:jempol:
 
Aseek! :hore:
Akhirnya,ada cersil juga di sf ini.
Pantengin aah,, sambil ngopi :kopi::)
@TS : :cendol: campur :kopi: segera meluncur
 
BAB 01.02 Orang Tua Berkaki Lumpuh


Entah berapa lama, sang waktu telah lewat. Ketika layap-layap ia mendusin dari pingsannya dirasakannya seluruh badannya menjadi sakit semua, tulang-tulangnya seperti telah menjadi patah berantakan.

Perlahan-lahan, dibuka kedua matanya, badannya kedapatan terbaring di dalam sebuah goa yang gelap, angin dingin meniup membuat badannya menjadi bergidik.

Ia coba bangun, tapi dadanya dirasakan sesak, seluruh badannya sudah tidak dapat bergerak lagi. Ia mulai merasa heran, ia baru saja terjatuh dari atas tebing jurang yang dalam. Apakah ditolong oleh orang-orang, sehingga terhindar dari maut?

Ia tidak usah memikir lama, waktu itu dari dalam goa terdengar suara dari seorang tua:

“Anak yang baik, kau telah mendapat luka dalam yang berat, jangan kau coba untuk berdiri, perlahan-lahan akan kuusahakan……”

Suara ini diucapkan dengan perlahan-lahan, karena ia sedang memikirkan satu soal yang sulit, bukannya karena kehabisan tenaga.

Lalu terdengar pula suaranya yang seperti berbicara sendiri……

“Empatpuluh tahun bukannya jangka waktu yang pendek, apa dengan begini saja akan ku buang percuma?”

“Aih, waktuku yang hanya beberapa tahun lagi ini, buat apa menyia-nyiakan barang berharga dengan percuma......? Lebih baik kuberikan kepadanya.”

Kemudian terdengar suara elahan napas yang panjang dari si orang tua.

Biarpun Koo San Djie tidak mengetahui, soal apa yang telah membikin si orang tua mengelah napas tapi sudah tentu orang inilah yang telah menolongnya.

Maka dengan cepat ia berkata:

“Lope, kau dimana? Terima kasih atas kebaikanmu yang telah menolong San Djie?”

Terdengarlah suara desiran angin yang pelahan, di sebelahnya Koo San Djie telah bertambah seorang tua yang rambutnya digulung menjadi satu, dengan tangannya yang telah keriput mengelus-elus mukanya.

Dengan suara yang penuh kasih sayang si orang tua berkata:

“Anak baik, kau tentu telah mempelajari ilmu silat, jika tidak, urat darahmu akan menjadi pecah, akibat jatuh dari tempat yang demikian tingginya.”

Koo San Djie seperti tidak mendengar perkataan si orang tua, ia merasa sangat senang, pipinya dielus-elus oleh tangannya si orang tua yang besar. Dalam ingatannya, kecuali empe Bun, belum pernah ia merasakan kasih sayang yang seperti itu.

Si orang tua yang melihat keadaannya Koo San Djie yang terlongong-longong di antara mukanya yang telah keriput terlihat sekilas senyuman.

“Pernahkah kau mempelajari ilmu pukulan?” ia bertanya

Koo San Djie menggelengkan kepalanya.

“San Djie hanya bisa duduk bersila. Tapi apakah kegunaannya?” jawabnya.

Dalam sekejapan, dimuka si orang tua terlihat keheranan, tapi kemudian menjadi tenang pula. Dengan sikapnya yang sungguh-sungguh ia berkata:

“Sebentar, jika kau sudah menelan KODOK MAS, kau harus lantas mengatur jalan pernapasanmu, agar hawa KODOK MAS yang murni dan hawa dirimu sendiri dapat bercampur menjadi satu, dengan demikian, luka dalammu akan segera menjadi sembuh. Sesudah ini baru aku dapat membantumu mengatur jalan darah.”

Sesudah mengucapkan pesanannya ini, sekali berkelebat, si orang tua sudah lenyap dari pandangan mata.

Koo San Djie betul-betul taat pada perkataannya si orang tua, tidak bergerak ia berbaring di tempatnya, pikirannya melayang kemana-mana.

Sekejap kemudian, si orang tua telah kembali, mukanya bersikap tegang, kedua tangannya seperti mengempo bayi, dimana terlihat segumpalan sinar mas yang sebesar kepalan tangan. Gumpalan sinar mas berbentuk seekor katak yang leloncatan di antara kurungan hawa yang tidak berbentuk.

Begitu sampai, si orang tua sudah lantas berkata dengan perlahan:

“Lekas buka mulutmu!”

Dengan tidak terasa, Koo San Djie telah membuka mulutnya, dan uap mas berbentuk kodok itu sudah dipaksa masuk ke dalam tenggorokannya.

Koo San Djie segera merasa hawa yang hangat menembusi seluruh tubuhnya. Sejenak kemudian, terasa badannya menjadi segar kembali.

Sebelum ia dapat berbuat apa-apa, si orang tua sudah menekan badannya, dengan suara perlahan ia memerintah:

“Lekas lakukan seperti biasa kau duduk bersemedi, mengatur jalan pernapasanmu.”

Sekujur badannya sudah menjadi panas sekali, secara otomatis, ia telah mengatur jalan darahnya untuk hawa panas yang berlarian

Ke sana sini. Untung sekali, pelajaran tenaga dalamnya yang ia latih menurut lukisan-lukisan di atas batok kura-kura itu masih teringat baik, sebentar kemudian keadaannya sudah pulih seperti biasa kembali.

Si orang tua yang duduk disampingnya sedang memperhatikan bocah angon yang sangat aneh itu.

Terjatuh dari tebing yang curam, dengan tidak mati sudah menjadi aneh, yang lebih aneh lagi ialah, di dalam tangannya si bocah angon ada bergenggam pit Tanduk Badak Dewa dari Raja Ie.

Kini, melihat anak itu dapat mengatur jalan darahnya yang telah bercampur dengan hawa KODOK MAS, dengan demikian cepat, entah bagaimana asal usulnya?

Telah empatpuluh tahun ia menunggu KODOK MAS ini berwujud, obat yang istimewa untuk menambah tenaga dan menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Begitu melihat Koo San Djie yang berbakat bagus, dalam hatinya telah timbul semacam rasa sayang. Ia telah bersedia mengorbankan dirinya, dengan jalan memberi makan hawa KODOK MAS, agar dapat menambah tenaganya si bocah angon.

Dalam dunia persilatan, orang tua ini menduduki tempat tertinggi. Pada masa itu, orang menjulukinya Pendekar Berbaju Ungu ahli pedang nomor satu dari Rimba Persilatan. Jago tua ini tidak suka dengan keramaian, seumurnya baru menerima seorang murid yang bernama Lam Keng Liu, karena muridnya inilah yang menyebabkan ia MASUK API, selagi menjalankan ilmunya sehingga kedua kakinya menjadi lumpuh.

MASUK API adalah istilah silat yang menyatakan seseorang luka karena salah melatih diri.

Pada empatpuluh tahun yang lalu, ia telah menemukan setumpukan buku inti pelajaran ilmu silat tidak bernama, yang dapat dibagi dalam lima bagian, sayang ia tidak mendapatkan gambar-gambarnya, maka tidak mudah untuk dipelajarinya. Demikianlah, dengan mengajak muridnya yang bernama Lam Keng Liu, mereka telah menyingkir dari keramaian.

Lam Keng Liu yang berketurunan bangsawan ada mempunyai paras muka yang cakap, tapi hatinya jahat. Lama kelamaan, kelakuannya Lam Keng Liu diketahuinya juga oleh si orang tua, maka ia tidak mau menurunkan semua kepandaiannya.

Siapa tahu, Lam Keng Liu yang berhati jahat jadi membenci gurunya. Ia telah menggunakan kesempatan di waktu sang guru duduk bersemedi, menotok jalan darah sang guru. Dangan cara demikian keji ia telah berhasil merampas dua bagian dari buku ini pelajaran ilmu silat gurunya.

Karena itu, si orang tua mengalami penderitaan MASUK API. Dia lumpuh.

Beruntung si orang tua berkepandaian tinggi, biarpun sudah lumpuh, ia terus menetap di dalam goanya.

Kita balik kepada Koo San Djie yang sedang menggunakan hawa dalamnya memimpin hawa hangat dari KODOK MAS, mengelilingi seluruh tubuhnya, demikian sehingga beberapa putaran. Lama kelamaan, karena kekurangan tenaga, ia sudah mulai sukar untuk mengusir hawa hangat ini, pada jidatnya, terlihat butiran-butiran keringat yang sebesar kacang, dan kepalanya dirasakan mulai menjadi berat, hampir saja ia menjadi pingsan.

Dalaan keadaan yang kritis ini, mendadak, sebuah tangan yang besar telah menempel di punggungnya, suatu aliran baru yang hangat, dengan cepat mengalir masuk, memimpin alirannya yang lama tadi ke semua jurusan, sampai pun bagian yang sukar tercapai pun, berhasil diterobosnya juga.

Baru sekarang si Pendekar Berbaju Ungu mengeluarkan napas panjang, dengan perlahan-lahan tangannya mulai ditarik kembali. Bersamaan dengan ini, Koo San Djie telah dapat melompat bangun dari tempatnya, dengan muka yang bersinar dan bercahaya.

Dilihatnya orang yang menolong dirinya ada orang tua berkaki lumpuh, warna bajunya yang tua hampir berubah menjadi hitam.

Tangannya si orang tua menggapai-gapai kepadanya, dengan tidak menunggu jawaban lagi, badannya sudah terbang menuju ke goa belakang. Dengan berlompat-lompatan, Koo San Djie juga turut pergi ke jurusannya.

Keadaan di goa belakang berbeda dengan tempat tadi, meja kursi dan segala perabot yang semuanya terbikin dari batu serba komplit, tidak terkecuali dengan rak buku yang penuh dengan segala macam buku-bukunya.

Sambil menunjuk ke arah sebuah bangku batu yang berada dihadapannya, si orang tua menyuruh si bocah angon duduk. Tapi Koo San Djie yang masih kekanak-kanakan sudah menarik-narik tangannya si orang tua sambil berkata:

“Lope, apakah yang kau masukkan ke dalam mulut San Djie tadi? Jika tidak ada kau yang membantu, hampir saja San Djie jatuh pingsan.”

Setelah menarik napas panjang si orang tua berkata:

“Itulah KODOK MAS, jika orang yang belajar silat memakannya, berarti sama dengan limapuluh tahun punya latihan. Telah empatpuluh tahun aku menunggu di goa ini..… Aih, memang kau yang mempunyai peruntungan bagus.”

Koo San Djie merasa tidak enak hati, mendengar ia telah memakan barang yang telah ditunggu empatpuluh tahun lamanya, oleh si orang tua. Dengan hati merasa menyesal ia berkata:

“Lope, tidak seharusnya San Djie memakan barang yang telah kau tunggu-tunggu begitu lama, entah dimana masih ada lagi, nanti akan San Djie carikan pula seekor untuk gantinya.”

Si Pendekar Berbaju Ungu tertawa meringis:

“Sudahlah, untuk mendapatkan barang yang seperti ini, tidak mungkin dapat dipaksa, hanya tergantung dari peruntungan. Menurut pengetahuanku, di danau Pook-yang, terdapat seekor ikan mas yang telah berumur seribu tahun, nyalinya ikan ini juga mempunyai khasiat yang lebih besar dari khasiat Kodok Mas.”

Koo San Djie melompat bangun girangnya luar biasa.

“Nanti akan San Djie usahakan untuk mengambilnya, buat menggantikan kodok mas lope.”

Si Pendekar Berbaju Ungu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dengan kepandaian kau yang sekarang ini, jangan harap dapat menangkapnya. Biarpun kau telah berkepandaian tinggi, juga tidak seharusnya kau melukainya. Bukan soal yang gampang untuk ia dapat bertahan sampai seribu tahun lamanya.”

Lalu ditanyainya riwayat hidup dan asal usulnya Koo San Djie.

Dengan tidak disangka sama sekali, Koo San Djie telah berlutut dihadapannya, sambil menangis sesenggukan. Inilah untuk pertama kalinya ia nangis di hadapan orang lain, ia merasakan kesayangannya dari si orang tua yang tidak kalah dari kesayangannya empe Bun terhadap dirinya.

Seperti anak yang kolokan bertemu dengan orang tuanya, setelah sekian lama ia menangis, satu persatu diceritakannya kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Lalu dikeluarkannya gambar-gambar yang telah disalinnya dari batok kura-kura yang diketemui di kuburan kuno.

“Dengan mencontoh gerakan-gerakan ini San Djie mempelajari pukulan-pukulan,” katanya.

Setelah mendengar penuturannya Koo San Djie yang panjang lebar, dengan mata dibuka besar-besar, si Pendekar Berbaju Ungu memperhatikan gambar-gambar tadi.

Mendadak ia menepuk pahanya sendiri dan berkata:

“Penemuan yang bagus, penemuan yang bagus……”

Melihat tingkah lakunya si orang tua yang aneh ini, Koo San Djie menjadi terheran-heran.

Si orang tua menghampiri tempat buku-buku, dari dalam rak buku-buku itu, ia mengeluarkan lembaran kertas yang terbungkus rapi, lalu dicocokkannya dengan gambar-gambar tadi. Terdengar ia memberi penjelasan:

“Gambaran-gambaran ini adalah tiga bagian dari inti pelajaran ilmu silat tentang ilmu tenaga dalam, ilmu jotosan dan ilmu pedang. Aku telah mempelajarinya puluhan tahun, sehingga sampai hari ini, aku belum dapat mengerti semua. Kini jelaslah, buku ini adalah buku Im-hoe-keng. Dan yang telah kau temui adalah keseluruhannya gambar dan penjelasannya dari Im-hoe-keng…… Sayang masih ada dua bagian penting tentang ilmu ketabiban dan ilmu mengentengi tubuh yang telah dicuri oleh si binatang……”

Setelah mengatakan ini semua, dengan memegang pit hitam dari kuburan tua, ia berkata pula:

“Kau jangan menganggap enteng pit ini, ia terbuat dari Tanduk Badak Dewa, bukan saja mempunyai kekuatan yang melebihi segala barang, kegunaannya yang terpenting ialah dapat memunahkan segala macam racun. Kau harus baik-baik menyimpannya.”

Koo San Djie seperti yang mengingat sesuatu, dengan segera ia menjatuhkan dirinya, ia berlutut dan berkata:

“Lope, dapatkah kau menerima San Djie menjadi muridmu? Setelah berkepandaian tinggi, San Djie akan membantu anak-anak yang sengsara di dunia ini.”

Si orang tua tidak menjawab dan tidak melarang bocah angon itu berlutut. Setelah Koo San Djie menjalankan peradatannya empat kali dan berdiri, baru ia berkata:

“Untuk menjadi muridku, tidak ada syarat-syaratnya, hanya kau harus menjalankan satu perintahku.”

Koo San Djie sudah lantas menjawab:

“Asal bukan perbuatan jahat, biarlah sepuluh perintah pun, akan San Djie jalankan.”

Si Pendekar Berbaju Ungu manggut-manggut:

“Sekarang masih terlalu pagi untuk memberitahu kepadamu.”

Demikianlah mulai saat itu, Koo San Djie belajar ilmu silat di dalam lembah ini.

Dibawah pimpinan si Pendekar Berbaju Ungu yang berkepandaian tinggi, dibantu dengan hawa Kodok Mas dan petunjuk dari Im-hoe-keng, di dalam rimba persilatan telah muncul sebuah bibit yang tidak mudah dicari dalam seratus tahun.

Dengan cepat, tiga tahun telah dilewatkan. Sebetulnya, waktu terpendek untuk orang belajar silat hanya dalam waktu tiga tahun, tapi Koo San Djie telah memakan Kodok Mas dan dipimpin oleh seorang guru yang pandai, tentu saja dapat kemajuan yang sangat cepat sekali.

Pada suatu hari, si Pendekar Berbaju Ungu telah memanggil muridnya dan berkata:

Kepandaian yang kupunyai telah kuwariskan semua, kini sudah waktunya untuk kau mencari pengalaman sendiri di kalangan sungai telaga. Hari ini juga kau boleh turun gunung untuk menambah pengalamanmu.”

Koo San Djie dengan gugup menjawab:

“Tidak! Muridmu akan menunggu beberapa tahun lagi…... apa lagi kedua kaki Suhu belum sembuh betul, siapa yang melayaninya, jika muridmu pergi?” Dengan tak terasa air matanya, telah turun berlinang-linang.

Sebetulnya, si Pendekar Berbaju Ungu ini juga berat untuk berpisah dengan murid kesayangannya ini. Tapi ia juga cukup mengetahui, sang murid harus mendapat pengalaman dari pergaulannya. Maka dengan suara menghibur ia berkata:

“Dalam dunia tidak ada suatu kejadian yang tidak berubah. Gurumu telah dapat menangkap sarinya Im-hoe-keng, tidak usah sampai dua tahun lagi, kakiku akan dapat sembuh sebagai semula. Kau tidak usah menjadi kuatir!”

Sehabis berkata, sang guru memandang muridnya dengan bangga.

Tapi kemudian ia menghela napas, alisnya dikerutkan. Sebentar tampak matanya beringas, tapi segera kembali seperti biasa.

“San Djie,” tiba-tiba sang guru berkata pula: “Apa masih ingat, ketika aku terima kau sebagai muridku, kau harus menjalan suatu perintah?”

"Ya, San Djie masih ingat.”

“Perintahku agar kau mencari si binatang Lam Keng Liu, itu murid celaka, dan kau harus membereskan jiwanya……”

“San Djie akan menjalankan perintah suhu.”

“Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, kau tak usah gentar menghadapi si binatang itu. Nah, sekarang kau boleh pergi.”

Koo San Djie berlutut, mengambil selamat dari guru yang dikasihinya itu. Ditinggalkannya lembah yang memberi kenang-kenangan kepadanya.

Ia langsung menuju ke arah kampung halamannya, ialah Kang-lam yang ramai.
 
Ikan berusia seribu tahun, dan pembalasan dendam si guru agar murid pertama kembali ke jalan yg bijak.

Selalu mengikuti cerita" silat seperti ini.

:ampun:
 
Ajibb suhu ceritanya ..
tp ko nama jagoannya kya mwrk roko ya klo di balik dji san soo..
 
BAB 02.01 Bocah Angon Menjadi Nelayan
Di musim semi, di danau Pook-yang yang luas, disana-sini terlihat perahu nelayan yang selalu sibuk dengan muatannya.

Para nelayan yang mengandalkan penghidupannya dari danau ini sudah ramai-ramai memasang layarnya, menuju ke tengah sungai, memulai penghidupannya seperti biasa.

Kota Pook-yang yang terletak di pinggir danau, sedari dulu telah menjadi pusat jual beli hasil perikanan. Maka tidak heran, jika di sana sini terdapat banyak toko-toko dan rumah makan.

Di dekat pelabuhan, seorang nelayan she Ong yang telah berumur lebih dari enampuluh tahun telah melamun, dia memikirkan nasibnya, dia bersama istrinya telah lama tinggal di situ, hanya mempunyai seorang anak perempuan yang kini berumur enambelas tahun, suami istri ini memanggilnya Hoe Tjoe yang mempunyai arti kerang tua bermutiara.

Si nelayan tua sering menghela napas, jika memikirkan nasibnya, biarpun telah berumur tua, masih harus keluar menangkap ikan sendiri. Ong Hoe Tjoe biarpun sangat pintar dan berbakti, tapi bagaimanapun ia sebagai seorang anak perempuan, tidak bisa meneruskan usaha ayahnya menangkap ikan. Maka kedua orang tuanya hanya mengharap-harapkan agar mereka dapat memungut seorang mantu yang dapat diandalkan.

Hari ini, baru saja si kakek nelayan mau menurunkan perahunya untuk menangkap ikan, mendadak, matanya telah dapat melihat seorang pemuda yang berumur kurang lebih enambelas tahun sedang mendatangi. Pemuda ini berparas cakap, alisnya seperti pedang, badannya sehat dan dadanya lebar. Ia mengaku bernama Koo San Djie yang mengatakan bahwa ia tidak berhasil menemukan familinya dan bersedia membantu menangkap ikan, tentu saja sambil menumpang meneduh.

Empe Ong yang melihat pemuda itu, dari kasihan menjadi suka kepadanya dan memang dia sedang membutuhkan seorang pembantu, maka sudah lantas melulusi permintaannya dan mengajak ke tengah danau.

Si pemuda yang bertenaga besar dan menguasai perahu, dalam sebentar saja telah memperoleh ikan yang banyak.

Ini hari pendapatan si ne!ayan tua telah bertambah beberapa kali lipat dari hari biasanya, bukan main senangnya si kakek nelayan yang dapat pembantu demikian bagusnya. Setelah mereka berdua kembali, belum pula ia sampai di pintu rumah, si kakek nelayan berteriak-teriak girang:

“Mamanya Hoe Tjoe, lihat aku telah mendapatkan seorang pembantu yang cakap….. ha…... ha……”

Dengan sebelah tangan masih menenteng keranjang ikan. Koo San Djie mengikutinya memasuki ruangan rumah yang kecil terbuat dari atap, disusul oleh munculnya Ong Hoe Tjoe ibu dan anak.

Si nenek yang melihat Koo San Djie yang gagah dan cakap, tentu saja menjadi suka kepadanya. Dengan menarik lengan bajunya, ia berkata:

“Kau datang dari mana? Seorang anak yang cakap…..! Masuklah ke dalam! Duduk dulu.”

Terdengar pula si kakek menyelak:

“Apa tidak bisa bicara nanti? Telah seharian penuh kita belum beristirahat sama sekali. Lekas suruh Hoe Tjoe masak dan jangan lupa membeli arak, kini aku akan meminumnya sampai puas. Ha....... ha....... ha…...”

Si kakek sampai lupa segala apa, bukan main girangnya hari itu.

Ong Hoe Tjoe yang menyembunyikan diri di belakang baju ibunya telah mengintip gerak geriknya si pemuda yang baru datang ini, ia lebih memperhatikan dari pada kedua orang tuanya, mukanya yang cakap dadanya yang lebar, matanya yang terang dan…… segala-galanya, tidak ada satu dari si pemuda yang tidak disukainya, ia telah memandangnya sedari tadi dengan mata tidak berkesip, ingatannya telah melayang-layang, jauh, sampai pun perkataan ayahnya, tidak terdengar sama sekali.

Waktu itu, Koo San Djie telah meletakkan keranjangnya, dengan menundukkan kepalanya mulai membuka gulungan kaki celana yang tadinya digulung ke atas.

Melihat kelakuan dari anak perempuannya di dalam hati sang kakek tertawa, dengan setengah mengusir ia berkata:

“Lekas, pergi, mengapa kau belum pergi juga?”

Sambil menunjuk ke arahnya Koo San Djie ia berkata pula:

“Ia bernama Koo San Djie, untuk seterusnya ia akan membantu di rumah kita, ia ada lebih kecil dari padamu, untuk seterusnya kau harus sering-sering memperhatikan adikmu ini.”

Mendengar perkataannya si kakek, Koo San Djie segera maju untuk memberi hormat kepada encinya yang baru ditemuinya ini.

“Enci ada baik?” sapanya.

Seumur hidup Ong Hoe Tjoe, baru ini ada orang yang memanggil ia enci, suara ini didengarnya sudah sangat merdu sekali. Tidak terasa, mukanya menjadi merah, tanpa menyahut, ia membalikkan badannya dan terus lari keluar untuk membeli arak.

“Aku hanya mempunyai seorang anak perempuan nakal yang tidak mengerti aturan, harap kau dapat memaafkannya,” kata si kakek nelayan sambil tertawa.

Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Koo San Djie belum pernah menghadapi keadaan yang seperti ini, entah bagaimana ia melayaninya, ia hanya tersenyum berdiri di tempat semula.

Si nenek setelah menuangkan teh dan mempersilahkan Koo San Djie duduk, lalu dia pun duduk di sebelahnya, sambil menanyakan ini dan itu.

Umpama anak laki-laki lain sepantaran Koo San Djie yang menghadap si nenek ini, tentu tidak suka dengan obrolan-obrolan si nenek yang sangat cerewet. Tapi, tidak demikian dengan Koo San Djie yang belum pernah marasakan cinta kasihnya seorang ibu, ia menjadi suka dengan si nenek tua yang dianggapnya sangat ramah tamah.

Malamnya mereka berempat bersantap bersama-sama dengan riangnya, terutama si kakek dan nenek nelayan yang memang kekurangan seorang anak laki-laki, kini mereka dengan tidak disangka-sangka telah mendapatkan seorang anak sebagai Koo San Djie yang cakap dan gagah, bagaimana tidak menjadi girang?

Mereka sudah memikirkan untuk memungutnya menjadi mantu. Ong Hoe Tjoe yang dibesarkan di tempat yang ramai sebagai kota Pook-yang, sudah dapat menebak maksud dari kedua orang tuanya, entah disengaja atau tidak, ia telah menjadi lebih memperhatikan dirinya Koo San Djie.

Hanya Koo San Djie yang belum mengetahui isi lubang udang dibalik batu, ia belum pernah merasakan keramaian rumah tangga, ia kemari hanya bermaksud untuk mencari sesuatu barang berharga yang hanya terdapat dalam cerita.

Pada hari keduanya, Koo San Djie telah meminta tolong kepada si kakek nelayan untuk mencarikannya sebuah perahu kecil yang laju.

Demikianlah, setiap hari ia membantu si nelayan tua menangkap ikan, pergi pagi pulang malam, mendayung perahu menangkap ikan. Dan mulai dari sini, di dalam rumahnya si nelayan pun telah bertambah ramai dengan datangnya sang penghuni baru, karena itu, penghasilannya pun kian hari kian bertambah.

Lama kelamaan, Koo San Djie telah menjadi penghuni yang tetap dari keluarga Ong ini, Ong Hoe Tjoe dengan teliti telah melayani segala kebutuhannya sehari-hari untuk adiknya yang baru didapatinya. Kedua orang tuanya merasa senang, melihat keadaan yang menjadikan mereka muda kembali.

Koo San Djie masih tolol, tidak merasa akan maksud dari kakak itu. Setelah mendapatkan perahu kecilnya, setiap malam ia pergi mengelilingi danau, satu atau dua putaran, baru dia kembali, dan sebagai biasa Ong Hoe Tjoe telah menantinya di depan pintu.

Dari kelakuan inilah Koo San Djie merasakan sesuatu yang belum pernah dirasai, kini bayangan Ong Hoe Tjoe tidak pernah lepas dari pandangannya.

Pernah juga Ong Hoe Tjoe bertanya, mengapa ia setiap malam mengendarai perahu kecilnya? Tapi Koo San Djie, menjawab dengan senyuman yang menarik dan tertawanya yang riang. Pernah juga dia menggeleng-gelengkan kepalanya, setelah inipun Ong Hoe Tjoe tidak pernah bertanya lagi.

Pada suatu hari, sepulangnya Koo San Djie dari menjual ikan, ta telah melihat sesuatu yang berbeda dari hari biasa.

Kota Pook-yang biarpun ramai, tapi bukan terletak di tempat jalan hidup, kecuali, pedagang-pedagang tukang jual beli, jarang sekali didatangi oleh pelancong-pelancong dari luar daerah, tapi kini mendadak sontak, dalam waktu seharian saja telah datang demikian banyak orang, di antaranya tidak sedikit orang-orang yang telah ternama dari golongan sungai telaga.

Maka, dengan terburu-buru ia telah kembali ke pelabuhan, dengan alasan sakit kepala, ia telah membiarkan si kakek berlayar sendiri. Dengan membawa sedikit uang, dia telah kembali pula ke dalam kota.

Ia telah memilih sebuah rumah makan yang terbesar di daerah itu, dibangun di pinggir telaga yang besar, langsung ia menuju ke atas loteng yang telah penuh sesak dengan segala macam orang.

Jika pada hari biasa, pelayan rumah makan mana mau melayani anak nelayan yang berpakaian rombeng ini? Tapi tidak demikian dengan hari ini, dari pelayan sampai pemilik rumah makan, semuanya menunjukan rasa yang sangat khawatir, karena tamu-tamunya yang datang pada hari ini, jika bukannya berbadan besar, tentu bermuka galak.

Koo San Djie kemari hanya bermaksud untuk menyelami keadaan dan kepandaian
dari orang-orang yang akan memperebutkan ikan mas besar dari danau Pook-yang.

Sebelumnya, belum pernah ia memasuki rumah makan, maka dengan lagak yang dibuat-buat seperti orang agung, ia mengeluarkan uang yang lantas diberikannya kepada pelayan.

“Berikan aku arak yang bagus beserta makanannya,” terdengar suaranya yang nyaring.

Baru sekali ini si pelayan mengalami seorang tamu memesan makanan dengan memberi uangnya terlebih dahulu, tapi biar bagaimanapun, ia harus menahan gelinya, sesudah mengambil uang, si pelayan segera lantas berlalu.

Kejadian ini telah membuat pemudi yang duduk dihadapan Koo San Djie tertarik, dia menahan gelinya, dengan menutup mulut dan tertawa, dia berkata:

“Orang desa memang sangat kasihan, makan saja harus membayar uang dahulu.”

Yang duduk semeja dengan si pemudi, seorang nenek yang berambut putih, sambil pelototkan matanya, segera membentak si pemudi itu, katanya:

“Jangan kau mencari gara-gara!”

Koo San Djie mendengar si pemudi mentertawakan padanya, dia mengangkat kepala, memperhatikan si pemudi dan si nenek di sebelahnya, tidak ada yang menarik perhatian, makanan pun sudah datang, maka, dia melahap makanannya, dengan tidak memperdulikan mereka pula.

Si nenek berambut putih itu adalah Thian-mo Lo-lo, kepandaian silatnya sangat tinggi, sifatnya keras dan berangasan, tidak sembarangan orang berani berurusan dengannya.

Si pemudi adalah murid kesayangan yang bernama Tju Thing Thing.

Sebelumnya, Thian-mo Lo-lo tidak memperhatikan Koo San Djie, setelah matanya kebentrok dengan sinar matanya si pemuda yang tajam, dia menjadi kaget. Hatinya memikir:

“Dari aliran mana datangnya anak ini? Matanya yang tajam telah menandakan kepandaiannya yang susah diukur!”

Tju Thing Thing yang nakal menjadi tertarik melihat Koo San Djie yang makan seperti orang kelaparan, sebentar saja makanan di meja telah bersih disapunya, setelah menaruh kedua sumpit yang kotor, lengan baju menyeka mulut yang penuh minyak.

Koo San Djie yang melihat Tju Thing Thing memperhatikan gerak gerik dirinya, tentu saja menjadi kikuk. Meskipun dia bebas pergi, karena belum mendapatkan sesuatu hasil, apa begini saja dia harus meninggalkan tempat ini?

Dalam keadaan bingung, mendadak terdengar suara ejekan yang tidak enak untuk telinga.

“Tidak perlu kita pergi ke panggung sandiwara, disini pun kita dapat menonton ‘Pemudi Menemui Anak Nelayan’. Ha, ha, ha…...”

Berbareng terdengar tepuk tangan yang riuh dari kawan-kawannya.

Tidak nyana, suara jengekan ini telah menimbulkan amarah si Kurus Oey Liong dan si Sastrawan Pan Pin, mereka adalah dua orang tamu dari rumah makan itu juga.

Yang mengeluarkan perkataan tadi adalah salah satu di antara kedua iblis dari Yu-san, si Iblis Pipi Licin.

Yang bersorak bernama Iblis Penyabut Roh, kawan dari Iblis Pipi Licin.

Si Iblis Pipi Licin dan si Iblis Penyabut Roh berdua tidak kenal kepada Thian-mo Lo-lo. Tokoh silat tua tersebut duduk di hadapan mereka, jika saja tahu bahwa nenek berambut putih ini adalah Thian-mo Lo-lo yang tidak mudah dihadapi, tidak nanti mereka berani mencari setori disini.

Dengan tidak disengaja, kedua iblis dari Yun-san telah menerbitkan onar yang mereka cari sendiri.

Thian-mo Lo-lo membalikkan mukanya, semua orang disapunya dengan matanya yang tajam, ia membentak dengan suara yang geram:

“Siapa yang berani kurang ajar dihadapanku?”

Perlahan-lahan Si Iblis Pipi Licin berdiri dari duduknya, dengan suara yang dibikin-bikin ia berkata:

“Kau seorang nenek, jangan suka galak-galak, memangnya kau bisa menelan orang?”

Thian-mo Lo-lo tertawa dingin, seperti seekor burung alap-alap yang akan menerkam mangsanya, ia melesat ke arah Iblis Pipi Licin.

Biarpun orangnya masih di udara, tapi angin telapak tangan Kim-kong dari Thian-mo Lo-lo yang dibanggakan sudah menderu-deru, datang menyerang……

Mendadak telah menyelak seorang Tojin yang bermuka kurus seperti mayat, dengan lengan bajunya yang lebar ia mengibaskan ke arahnya Thian-mo Lo-lo.

“Apa kau orang ingin mempertontonkan kepandaian di atas loteng ini?” Terdengar suaranya membentak keras.

Thian-mo Lo-lo sedang menyerang si Iblis Pipi Licin, karena datangnya angin dingin dari lengan bajunya si Tojin kurus, serangan tadinya batal.

Baru kini dilihatnya dengan jelas, orang yang menyelak adalah si Tojin kurus Min Min Djie yang dalam kalangan sungai telaga terkenal dengan Telapak Dingin Tulang Putihnya.

Di sanapun terdengar suaranya si Sastrawan Pan Pin yang berkakakan:

“Yang berada disini terdiri dari tokoh-tokoh silat lihay, apa tidak baik menyimpan tenaga untuk besok?”

Thian-mo Lo-lo tidak dapat menahan hawa amarahnya, dia tidak memperdulikan segala perkataan, dengan telunjuknya, ia menuju ke arah Iblis Pipi Licin:

“Apa kau berani ikut untuk bertanding?”

Dengan mengajak Tju Thing Thing ia sudah mendahului lompat keluar dari jendela.

Tju Thing Ting menengok ke arahnya Koo San Djie yang masih bengong terlongong-longong, kemudian iapun menuruti jejak gurunya, melesat keluar.

Berbarengan kedua iblis dari Yun-san pun meninggalkan tempat duduknya.

Si Iblis Pencabut Roh yang sudah menjadi benci kepada Koo San Djie, sewaktu lewat dia menepok bahu si pemuda.

Semua orang di atas loteng tidak ada satu yang tidak mempunyai kepandaian, semuanya tahu, tepokan ini yalah tepokan yang terkenal dari si iblis yang bernama Tepokan Peminta Nyawa, dengan tidak terasa, mereka telah mengeluarkan keringat dingin untuk keselamatan Koo San Djie.

Si Kurus Oey Liong lantas berseru:

“Jangan menurunkan tangan jahat!”

Tidak menunggu sampai habis ucapan itu, tubuhnya sudah melayang terbang, menahan serangan dari si Iblis Penyabut Roh yang kejam.

Tapi, semua telah terlambat, angin telah sampai di sekitar kepala Koo San Djie.

Sedari tadi, Koo San Djie hanya menonton segala kejadian-kejadian yang berlangsung di atas loteng, mana ia dapat menyangka ada orang yang datang menyerangnya?

Bersama dengan terasa angin dingin, kepalanya menjadi pusing, kupingnya mendengar seperti ada orang menjerit. Maka dengan segera ia mengeluarkan tenaga Bu-kiat-sian-kang, dengan sekali tarikan napas kepalanya telah mengeluarkan asap, menahan datangnya hawa jahat. Sebentar saja, seluruh loteng telah bersembur bau amis hawa jahat yang di dalam pun telah dapat dibikin bersih oleh Bu-kiat-sian-kang nya yang lihay.

Dengan tidak bergerak satu tapakpun, Koo San Djie telah memunahkan serangan pembokongan yang jahat. Hanya si Kurus Oey Liong yang melihatnya telah menjadi kemekmek keheranan.

Sampai disini, Koo San Djie sudah dapat meraba-raba, sampai dimana kepandaiannya orang-orang yang datang itu. Biarpun mereka sudah mempunyai nama yang terkenal, tapi dalam pandangannya Koo San Djie, tidak satupun yang dapat menandinginya. Jika tidak ada orang pandai yang datang lagi, ia sendiri sudah cukup untuk menandingi semua orang yang telah datang ini.

Ia akan menggunakan Bu-kiat-sian-kang untuk menguasai ikan mas, dan dengan Pit Badak Dewa, ia akan membuka batok kepalanya, sesudah mendapatkan nyali ikan, tidak nanti ada yang dapat merebutnya pula. Memikir sampai disini diingatnya pula esok adalah harian Ceng-beng, maka ia segera meninggalkan loteng, pulang kerumah Ong Hoe Tjoe.

Karena terburu-buru, dengan tidak disengaja, ia telah menggunakan ilmu Awan dan Asap Lewat di Mata.

Semua orang yang masih ada di atas loteng, hanya melihat gumpalan asap, dan kemudian lenyaplah si anak nelayan yang lihay, tidak satu yang tidak menjadi kaget karenanya.

Koo San Djie tidak menyangka, karena kepandaiannya inilah yang telah menyebabkan terbunuhnya keluarga si kakek nelayan.

Setelah keluar dari rumah makan, Koo San Djie sudah lantas lari pulang ke rumah.

Sampai di rumah, si kakek nelayan belum pulang, si nenek sedang menambal jala, dan Ong Hoe Tjoe tengah bersandar di pintu, menunggunya.

Melihat ia kembali, Ong Hoe Tjoe sudah lari menghampirinya, sambil tertawa-tawa si gadis berkata:

“Kemana saja kau setengah harian ini? Sudah lama aku menunggu makan.”

Perlahan-lahan Koo San Djie memegang tangannya Ong Hoe Tjoe yang masih mencoba untuk berontak, tapi lama kelamaan iapun menyerah, untuk dipegang dalam genggaman Koo San Djie. Dengan bergandengan tangan, mereka masuk ke dalam rumah.

Ong Hoe Tjoe segera mengeluarkan makanan yang telah lama disediakan.

Koo San Djie berkata:

“Aku sudah makan.”

Ong Hoe Tjoe cemberut dan berkata:

“Biarpun sudah makan, harus makan sedikit, aku belum makan sama sekali.”

Dengan terpaksa Koo San Djie menemaninya makan bersama.

Ong Hoe Tjoe berkata dengan pandangan yang penuh arti:

“Aku tahu......, kau bukan anak sembarangan, tidak lama lagi, tentu kau pergi dari tempat ini......”

Dengan heran Koo San Djie bertanya:

“Mengapa kau mengetahui?”

Dengan menundukkan kepalanya, perlahan-lahan Ong Hoe Tjoe berkata:

“Aku sudah tahu......, dan akupun mengerti, untuk seterusnya kaupun tidak menyukai aku pula......”

Koo San Djie menjadi sibuk, katanya cepat:

“Aku sangat berterima kasih pada kalian yang sangat sayang kepadaku, siapa yang mengatakan aku tidak suka?”

Ong Hoe Tjoe berkata:

“Mengapa kau tidak berterus terang kepadaku?”

Koo San Djie memandang Ong Hoe Tjoe yang kini ada dalam keadaan sedih. Memang jika besok malam ia berhasil dapat merebut nyali ikan, ia harus pulang ke tempat gurunya. Tapi, hingga kini, keluarga Ong Hoe Tjoe masih belum mengetahuinya.

Biarpun ia tinggal di rumah mereka belum berapa lama, tapi masa yang pendek inilah yang mengesankan, masa yang terindah dalam hidupnya.

Si kakek nelayan suami istri memperlakukannya sebagai anak, selalu memperhatikan segala kebutuhannya, selalu terbayang didepan matanya. Dalam keluarga ini, semua orang hanya mengharapkan kepadanya.

Umpama betul, ia dapat meninggalkan mereka, entah bagaimana perasaan sedih mereka ini?

Bermacam-macam pikiran telah mengaduk di dalam benak Koo San Djie, sehingga ia telah lupa untuk menjawab pertanyaan Ong Hoe Tjoe .

Melihat Koo San Djie tidak menjawab pertanyaannya, Ong Hoe Tjoe sudah lantas melanjutkan perkataannya:

“Beberapa hari ini aku selalu tidak enak, seperti setengah mengimpi, aku telah mengimpikan kau pergi meninggalkan rumah ini...... Akupun telah ditangkap, dibawa ke suatu tempat yang sangat menakutkan...... Aku merasa sangat takut...... Aku merasa sampai sangat takut sekali bahwa aku tidak dapat bertemu denganmu pula.”

Terdengar suaranya Koo San Djie yang memberi hiburan:

„Kau jangan coba memikir hal yang tidak karuan. Mungkin aku meninggalkan tempat ini, tapi aku akan datang pula untuk melihatmu.”

Semula, Ong Hoe Tjoe hanya sembarangan berkata saja, tidak tahunya kalau Koo San Djie betul-betul akan meninggalkannya. Ia sudah tidak dapat membendung air matanya yang meluap mengalir. Kedua tangannya gemetar, badannya sudah terjatuh ke dalam rangkulannya Koo San Djie, dengan suara sesenggukan ia berkata:

“Apa betul kau hendak pergi......?”

Dengan lesu Koo San Djie membenarkan perkataannya, menjadi bimbang, entah harus...... harus bagaimana, ia menghadapi keadaan yang seperti hatinya pun berat untuk meninggalkannya.
 
BAB 02.02 Berebut Nyali Ikan Mas di Danau Pook-yang



Telah beberapa tahun, setiap hari Ceng-beng, tentu ada turun hujan. Tapi Ceng-beng pada tahun itu, tidak ada gumpalan awan hitam yang terlihat.

Bulan purnama mengeluarkan sinarnya yang permai, menyinari permukaan telaga yang tenang, telaga Pook-yang yang hampir tidak terlihat ujung pangkalnya, membuat siapa melihat menjadi kagum, kagum kepada keindahan alam di tempat itu.

Waktu telah berlarut malam, di telaga terdapat banyak perahu, kecuali perahu nelayan, perahu pajangan dan perahu motorpun tidak sedikit.

Biarpun terdapat banyak perahu, tidak ada satupun yang bergerak, tidak terdengar suara orang berbicara, hanya sepi, sunyi untuk menantikan waktunya.

Waktu dengan tentu lewat perlahan-lahan di dalam perahu, mereka sudah hampir tidak sabar untuk menantinya.

Mendadak, terlihat sebuah sinar merah menjulang ke atas, dibarengi oleh muncratnya air telaga yang tinggi, muncullah seekor ikan mas yang panjangnya lebih dari dua depa, dengan badannya yang bersinar merah dan kepala di atas permukaan air, ikan itu berenang menuju ke jurusannya tepi telaga.

Bagaikan sebuah kapal selam yang akan menuju perang, ia meluncur dengan pesatnya, dari jauh terlihat goresan yang berwarna merah emas, memecah air telaga yang tadinya tenang.

Segala macam perahu yang sudah lama siap, kini mulai bergerak, tentu saja secara serentak, keadaan menjadi kalut, terdampar ombak-ombak dayung perahu, semua teriakan-teriakan sudah tidak terdengar lagi, ditelan oleh suara beradunya perahu tadi.

Dari sebuah perahu nelayan yang terdekat, mendadak terdengar suara yang seperti geledek, dan tiga batang tombak mas yang hampir sejajar sudah datang mengarah kepalanya sang ikan.

Tombak mas ini adalah senjata yang ternama dari ketiga pendekar Lok-yang.

“Buk, buk, buk......” Ketiga tombak tepat mengenai kepala ikan, tapi sang ikan seperti tidak merasai. Ketiga tombak tadi terpental ke atas dan jatuh ke dasar telaga.

“Hur”, suatu damparan air telah datang menampar perahu tadi, perahu itu hanya bergoyang sebentar dan kemudian terbalik, beserta juga penumpang-penumpangnya.

Memang nasibnya sang ikan rupanya sedang sial, bukannya selulup ke dasar telaga, tapi ia berputar-putaran membuat ombak pusaran, seperti yang sengaja mempermainkan orang-orang yang hendak menangkapnya.

Terdengar suara pula, suara yang nyaring disusul dengan melayangnya sebuah benda yang menghantam ke arahnya.

Air bercipratan, tapi sang ikan tetap meluncur dengan lajunya, rupanya ia anggap sepi serangan demikian.

Segala macam senjata beterbangan, bagaikan hujan derasnya. Tapi senjata-senjata ini seperti senjata keras, sesudah mengenai badannya sang ikan, tidak satupun yang dapat melukainya.

Sebuah siulan yang panjang memecah angkasa, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, sebuah perahu tampak laju meluncur dengan pesat. Di atas perahu, berdiri dengan tegak seorang anak berumur limabelas tahun yang tidak memakai sepatu.

Perahu memapaki datangnya sang ikan, anak tadi telah melemparkan talinya yang panjang, tepat bagaikan ular, tali tadi telah dua kali mengitari badan sang ikan.

Sang ikan coba berontak, ombak sebesar gunung telah membuat beberapa buah perahu yang terdekat terguling. Hanya perahu dari si pemuda, yang seperti lengket di atas permukaan air, turun naik menuruti gelombang yang pergi datang, tidak pernah bergoncang dan juga tidak pernah miring.

Sang ikan berlompatan beberapa lamanya sehingga sampai kehabisan tenaga.

Beberapa saat kemudian, ia berhenti berontak , sehingga sampailah di salah sebuah tepi.

Semua orangpun telah dapat melihat dengan tegas, si pemuda adalah anak nelayan yang telah mereka kenal di atas loteng rumah makan kemarin.

Biarpun mereka tidak berhasil untuk menangkapnya, tapi masih ada beberapa orang yang mau coba merampasnya.

Min Min Djie dan kedua iblis dari Yun-san berserta kawan-kawan mereka telah mendahului lompat ke tepi.

“Huuuuu......” Telapak Dingin Tulang Putih dari Min Min Djie telah datang menyerang, berbareng tangan yang lainnya telah mencoba merebut tali yang berada ditangan Koo San Djie.

Kedua iblis dari Yun-san telah memisahkan diri, dari kanan dan kiri Koo San Djie, mereka turut menyerang Koo San Djie.

Semua kejadian itu telah dapat diduga sedari semula, dengan tangan sebelah tetap memegang talinya, Koo San Djie membalik dan menepok dengan sebelah tangan lainnya.

Sebuah tekanan yang tidak terlihat dari ilmunya Bu-kiat-sian-kang si pemuda telah memaksa Min Min Djie mundur dengan terhuyung-huyung.

Berbarengan dengan ini, ia telah melompat ke samping, memukul serangan kedua iblis dari Yun-san yang datangnya dari kanan dan kiri.

Semua kejadian ini hanya terjadi di waktu sekejapan mata saja.

Mukanya Min Min Djie berubah bengis, kedua matanya berapi-api dengan suara yang tidak enak didengar, ia tertawa. Belum pula ia dapat berpikir, bagaimana ia harus menghadapi anak muda yang tangguh ini, tiba-tiba di belakangnya telah datang menyusul beberapa serangan.

Terdengar suara si Kurus Oey Liong yang keras:
“Apa kau tidak malu menghadapi anak kecil saja harus mengerubuti bertiga? Aku paling tidak suka melihat kejadian yang seperti ini......”

“Bum”. Kedua telapak tangan mereka telah beradu menjadi satu.

Si Sastrawan Pan Pin tertawa berkakakan dengan berisik ia berkata:

“Iblis Penyabut Roh, di dalam rumah makan kau telah membokong dengan tidak ada hasil, apa disini kau tidak akan memakai peraturan pula? Seorang anak kecil yang tidak berdosa dimusuhi juga. Aku akan ikut campur dalam urusan ini.”

Biarpun mulutnya nyerocos, tapi tangannya tidak tinggal diam.

Pan Pin telah maju ke medan pertempuran dengan pukulan-pukulannya.

Ketiga pendekar dari Lok-yang pun telah siap sedia untuk membela keadilan, tapi mereka telah didahului oleh Thian-mo Lo-lo yang bagaikan terbang dari langit, mendadak telah berada dihadapannya si Iblis Pipi Licin, terus menyerang bertubi-tubi, sehingga memaksa musuhnya mundur beberapa tapak.

Dan yang lain-lainnya, ketika melihat yang datang adalah beberapa iblis yang galak-galak lantas mundur teratur.

Di tepi telaga menjadi ramai dengan pertempuran yang kalut.

Koo San Djie mengeluarkan ilmunya Bu-kiat-sian-kang untuk menangkap dan menguasai sang ikan yang berontak-rontak, dia harus memukul mundur Min Min Djie bertiga, sudah terasa tenaganya berkurang.

Dilihatnya sang ikan yang sudah tidak segalak tadi, dengan diam ia terapung di air, matanya sudah tidak bersinar, terbayang beberapa tetes air mata di dalamnya seperti meminta dikasihani.

Hatinya Koo San Djie menjadi lembek.

Kasihan seekor ikan yang bagus itu. Siapa yang tega untuk membunuhnya? Mendadak suara gurunya berkumandang pula:

“Tidak seharusnya kau melukainya. Bukan soal yang gampang untuk ia dapat bertahan sampai seribu tahun lamanya.”

Umpama betul ikan ini dapat dibunuh, apa gurunya senang untuk menerima empedu persembahannya?

Setelah berpikir bolak balik, Koo San Djie memutuskan untuk melepaskan sang ikan yang kini telah menjadi sangat jinak.

Ia tidak mau merampas barang orang lain yang telah ratusan tahun lamanya. Maka dengan mengendorkan tenaga dalamnya ia telah melepaskan tali pengikat, dan bebaslah ikan besar yang memang belum sampai pada ajalnya.

Sang ikan yang mengerti budi orang, dengan mengeluarkan air mata bercucuran, dia memanggutkan kepalanya beberapa kali, inilah pernyataan terima kasih.

Belum pula ikan mas tadi menyelam ke dalam air, mendadak telah menyambar sebuah sinar ungu, yang telah mengarah kepalanya......

Badannya terlempar ke atas dan kemudian terdengar suara “Bum”, ia telah menyelam ke dalam air. Darah merah telah muncrat keluar dari lukanya, air disekitarnya pun turut menjadi merah tercampur dengan darahnya.

“Plung, plung, plung, plung”. Empat orang yang berbadan besar telah terjun ke air, mengurung ikan yang terluka tadi.

Perobahan yang tidak disangka telah membuat Koo San Djie menjadi kaget, hatinya seperti tertusuk, melihat sang ikan terluka karenanya.

Maka dengan tidak memikir lagi, ia telah menyerang kepada empat orang berbadan besar tadi.

Dua telah dapat dijatuhkan, dan yang dua terpaksa harus menolong kedua kawannya yang terluka.

Yang menggunakan pedang melukai ikan Hay-sim Kongcu dari Pulau Hay-sim di Tang-hay.

Telah lama Hay-sim Kongcu mendengar, bahwa di telaga Pook-yang terdapat seekor ikan mas dengan empedunya yang istimewa, maka dengan membawa pedang pusaka dan mengajak empat orangnya yang pandai di air, mereka datang untuk memperebutkannya.

Sedari melukainya sang ikan dari udara, kedua kaki Hay-sim kongcu telah dapat lompat ke seberang, dengan sekali menutul, ia telah kembali lagi untuk menubruknya, tapi siapa tahu, ikan mas yang telah terluka hilang tenggelam ke dasar telaga.

Terdengar suara Koo San Djie yang berteriak kepadanya:

“Sudahlah, ia telah teriuka, untuk apa kau mau membunuhnya?”

Tapi Hay-sim Kongcu tidak memperdulikan, ia hanya pergi menolong kedua orang bawahannya yang terluka.

Koo San Djie dibiarkan bicara seorang diri, dengan diam-diam ia meninggalkan tempat berdirinya.

Dilihatnya air telaga yang telah bercampuran dengan darah, terasa bukan main pedih hatinya.

Dengan tidak terasa, ia berkata seorang diri:

“Tidak seharusnya aku menangkapnya, sehingga menyebabkan ia terluka. Entah bagaimana dengan lukanya......?”

Baru berkata sampai disini, air yang dihadapannya telah timbul pusaran, dan ikan mas besar tadi mengeluarkan kepalanya, di antara pusaran air ini, ia membuka mulutnya dan menyemburkan sebuah benda bening yang bersinar.

Sebentar kemudian sang ikan telah selam kembali.

Koo San Djie menanggapi benda tadi, dirasakan sangat lembek, belum sempat ia memperhatikan, tiba-tiba, di belakangnya telah terdengar suara Hay-sim Kongcu yang dingin:

“Hei, kau bocah dari mana? Mengapa menghalang-halangi kami menangkap ikan?”

Cepat-cepat Koo San Djie memasukan benda lembek tadi.

“Biarpun ia telah hidup seribu tahun, belum pernah ia mengganggu orang, mengapa kau harus membunuhnya?” jawab Koo San Djie dengan tegas.

“Jika demikian kau akan menjadi penghalang dari kami orang pulau Hay-sim.”

“Bukan demikian soalnya. Aku hanya tidak dapat melihat orang melukainya.”

“Mungkin juga kau mempunyai kepandaian tinggi, aku ingin meminta sedikit pelajaran darimu.”

Sampai disini Koo San Djie mengerutkan kedua alisnya.

“Di antara kita berdua, tidak ada permusuhan kan, untuk apa mengadu jiwa?”

Tapi Hay-sim Kongcu sudah membentak:

“Kau tidak dapat sembarangan mengganggu orang dari pulau Hay-sim.”

Berbareng, ia mengirim jotosannya mengarah dada lawannya.

Koo San Djie hanya menggoyangkan badannya, menggunakan ilmu Awan dan Asap Lewat di Mata, maka tubuhnya telah berpindah ke samping.

Hay-sim Kongcu menjadi melengak. Dengan cepat-cepat ia menanya:

“Apa kau baru datang dari lembah?”

Koo San Djie memanggutkan kepalanya, ia hanya mengira lembah yang didiami oleh gurunya, tidak tahu bahwa lembah yang dimaksud olen Hay-sim Kongcu adalah lembah lainnya.

Itulah lembah merpati!

Dengan penuh senyuman, Hay-sim Kongcu menjalankan kehormatannya.

“Aku yang rendah tidak mengetahui bahwa saudara baru datang dari lembah, untuk kelancangan ini, harap saudara dapat memaafkannya.”

Lalu ia mengangkat kedua tangannya mengajak keempat orang pergi meninggalkan Koo San Djie yang masih tidak mengerti akan jalannya kejadian.

Lalu dilihatnya Oey Liong dan para penbelanya yang masih seru bertarung dengan pasangannya masing-masing.

Oey Liong dengan lawannya Min Min Djie, Pan Pin dengan lawannya si Iblis Penyabut Roh adalah dua pasangan yang seimbang. Tapi untuk Thian-mo Lo-lo yang mendapat lawan si Iblis Pipi Licin, seperti kucing mempermainkan tikus, si Iblis sudah menjadi tidak keruan rupanya, dengan kulit tubuh penuh luka-luka.

Koo San Djie jalan menghampiri medan pertarungan. Dengan geramannya yang keras laksana geraman seekor singa yang sedang marah, ia telah membuat semua oraug berhenti bertarung.

Dengan mengangkat kedua tangannya ia menjura ke arah Oey Liong dan kawan-kawannya dan berkata:

“Atas bantuan para cianpwe yang telah membela, disini Koo San Djie yang rendah menghaturkan banyak terima kasih.”

Lalu dengan muka yang keren, dihadapinya pula Min Min Djie sekalian.

“Sebetulnya aku dan kalian belum pernah kenal, di dalam rumah makan, dengan tanpa alasan kalian telah membokong, dan kini, kalian telah mengurung pula, apakah maksud sebenarnya dari kalian?”

Min Min Djie menyengir:

“Jangan kau menggunakan kekuasaan orang, kau berani sembarangan melepaskan ikan mas tadi, sudah dikatakan bagus, jika aku tidak membuat perhitungan kepadamu.”

Koo San Djie tertawa berkakakan:

“Begini saja, kalian bertiga boleh menjadi satu, jika kalian sanggup menahan seranganku dalam tiga jurus, badanku akan kuserahkan kepada kalian. Tapi sebaliknya, jika kalian yang kalah...... kalian sudah biasa dengan perbuatan yang tidak tahu malu, kalian hanya membuka pakaian dan boleh pulang telanjang.”

Entah mengapa kali ini Koo San Djie berani berbuat nakal.

Perkataan Koo San Djie telah membikin Min Min Djie dan kedua iblis berjingkrak-jingkrak.

Masih ada satu orang, yaitu Tju Thing Thing yang berdiri di sebelahnya Thian-mo Lo-lo, mendengar perkataan ini, dia menjadi khawatir.

Dengan tidak terasa, ia telah membuka mulutnya:

“Anak tolol, mana boleh sembarangan begitu?”

Koo San Djie memanggutkan kepala, dia berterima kasih atas perhatian dan berkata kepadanya:

“Ciecie, legakan hatimu, tidak nanti ada kejadian apa-apa dengan diriku.”

Tju Thing Thing terlalu memperhatikan orang, setelah mengatakan ucapan tadi baru dia menyesal. Orang masih belum kenal kepadanya, untuk apa memperhatikan kepadanya? Apa tidak sangat menyolok mata?

Tapi, suaranya Koo San Djie yang membahasakan ciecie ada sangat menyenangkan, panggilan ini demikian wajar dan mesra, sehingga dengan sendirinya telah merapatkan hubungan di antara mereka, maka perkataaanya tadipun telah menjadi wajar pula, bagaimana lazimnya seorang yang sedang memperhatikan keselamatan sang adik.

Kembali kepada Min Min Djie yang mendengar Koo San Djie berani omong besar, adalah suatu penghinaan bagi mereka yang telah ternama belasan tahun lamanya. Tapi ia pun cukup mengetahui, sampai dimana kepandaian Koo San Djie, pengalaman di dalam rumah makan meragukan dirinya untuk dapat menahan tiga gebrakan serangan tangan Koo San Djie.

Maka, dengan menunjuk pada si Iblis Pencabut Roh ia berkata:

“Dengan hanya berdua dengannya pun sudah cukup untuk menerima tiga jurus seranganmu.”

Sebetulnya, ia telah melihat si Iblis Pipi Licin telah menderita luka yang tidak enteng, orang itu sedang duduk numprah mengatur pernapasan.

Koo San Djie hanya tertawa:

“Silahkan menyerang.”

Inilah untuk pertama kalinya Koo San Djie menggunakan kepandaiannya menghadapi lawan, ia belum mengetahui, sampai dimana kepandaian yang telah dapat dipelajari, ia mulai memusatkan seluruh pikirannya, tenaganya dikumpulkan, siap untuk menjaga segala sesuatu yang akan terjadi.

Min Min Djie melirik, memberi tanda kepada kawannya, dengan mengambil posisi di kanan dan di kiri, mereka berbareng menyerang dari dua jurusan.

Telapak Dingin Tulang Putih dari Min Min Djie mulai berjalan, kedua telapakan tangannya berputar sebentar, dari dada menuju lurus ke depan.

Berbareng, si Iblis Pencabut Roh telah menegakkan telapak tangannya, dengan serangan sebelah tangan Mencari Roh, ia mulai serangannya yang pertama.

Tiga aliran telapak tangan yang hebat, berpusat ke satu jurusan, hawa dingin yang berbau busuk bergelombang datang ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie memiringkan badannya ke depan, dengan gaya Ombak Menyapu Seribu Kotoran, satu gerakan dari gurunya Pendekar Berbaju Ungu, dia mencoba kekuatannya.

Terdengar suara gemuruh yang hebat. Si Iblis Pencabut Roh telah terpental jatuh setombak dari tempatnya. Belum sempat untuk berteriak, ia telah menarik napasnya yang penghabisan.

Bagaikan terbawa oleh arus ombak, Min Min Djie termundur beberapa kali, baru dapat berdiri tetap, tangannya ditaruh di dada, darah segar tak henti-hentinya keluar dari sela-sela mulutnya.

Tenaga telapak tangan yang hebat ini, sampaipun Koo San Djie sendiri tidak menyangkanya sama sekali.

Dengan sekali robek, Min Min Djie meninggalkan bajunya, ia membalikkan badannya dan lari meninggalkan tempat itu.
 
02.03 Petaka Keluarga Nelayan



Thian-mo Lo-lo bisa menyaksikan, bagaimana Koo San Djie menggunakan tipu Ombak Menyapu Seribu Kotoran, mukanya telah berubah dengan seketika. Serentetan kejadian lama terbayang pula didepan matanya.......

Rasa sedih dan menyesal telah membuat rupanya yang cantik menjadi lenyap......

Enampuluh tahun yang lalu, ia tidak kalah cantiknya dengan Tju Thing Thing.

Ia sombong, karena menganggap dirinya bagaimana bunga harum yang baru mekar.......

Dan si Dia, penghibur lara, lebih gagah beberapa kali dari pada pemuda yang kini berdiri dihadapannya......

Dengan kegagahannya, dia telah menipu badan Thian-mo Lo-lo. Ia telah terjatuh ke dalam tangannya si binatang yang berbaju manusia......

Semua kejadian ini terbayang kembali di depan matanya Thian-mo Lo-lo yang kini telah menjadi tua, dengan menahan segala kepedihan, ia melampiaskan segala kemarahannya kepada Koo San Djie.

“Kau pernah apa dengan Lam Keng Liu?” bentaknya.

Dengan agak kikuk Koo San Djie menjawab:

“Kau menanyai...... si penghianat itu? Akupun sedang mencarinya. Tahukah dimana ia kini berada?”

Koo San Djie tidak tahu menahu tentang Lam Keng Liu, karena itu, dia berbalik menanya kepadanya.

Sebetulnya, ia mau menyebut saudara seperguruan, tapi mengingat perbuatannya Lam Keng Liu yang sudah menghianati gurunya sendiri, ia sudah tidak ingin mengaku saudara seperguruan. Lagi pula, gurunyapun telah memesan kepadanya untuk mencari si penghianat dan sekalian membereskannya.

Jawaban Koo San Djie telah membuat Thian-mo Lo-lo menjadi kecewa, ia tidak ingin menunjukkan luka hatinya, apa lagi dihadapan orang ini, iapun tidak ingin menimbulkan pula impian lama, kepada si pemuda berdiri dihadapannya.

Dengan keren ia berkata kepada Tju Thing Thing:

“Mari kita meninggalkan tempat ini.”

Selagi bergerak, Thian-mo Lo-lo sudah membalikkan badan, ia menuju ke arah jalan raya yang ramai dan menghilang di antaranya.

Ia membenci dirinya sendiri yang telah tertipu sampai Koo San Djie yang tidak tahu menahu turut dibencinya pula.

Ia telah melihat Tju Thing Thing agak tertarik oleh si pemuda yang gagah, ia tidak ingin apa yang terjadi atas dirinya terulang pada muridnya, maka ia telah memaksa Tju Thing Thing, meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Kejadian yang tidak biasa ini telah membikin Tju Thing Thing tidak habis mengerti apa yang menyebabkan gurunya menjadi marah sedemikian rupa, yang sebelumnya belum pernah dialaminya.

Terpaksa ia melambaikan tangannya ke arah Koo San Djie, dengan terburu-buru ia mengikuti di belakang gurunya.

Seperginya Thian-mo Lo-lo, si Kurus Oey dan si Sastrawan Pan Pin baru datang menghampiri Koo San Djie.

Dari gerakannya Koo San Djie tadi, mereka dapat menduga, dari mana asal usulnya pemuda gagah ini?

Terdengar suara Oey Liong tertawa riang:

“Jika aku yang tua tidak menebak salah, saudara kecil ini adalah cianpwe Pendekar Berbaju Ungu punya......”

Ia tidak berani sembarangan menyebutnya murid, karena jika ditaksir dari umur si Pendekar Berbaju Ungu, kini telah lebih dari seratus tahun, mana bisa jadi, kalau muridnya masih demikian muda?

Suatu kejadian yang tidak disangka. Koo San Djie telah membenarkan perkataannya:

“Betul! Aku adalah muridnya. Tapi guruku pernah berkata, agar tidak sembarangan mengatakannya harap cianpwe berdua jangan mengatakannya pula kepada orang lain.”

Oey Liong dan Pan Pin menjadi heran, dengan berbareng menanya:

“Betul ia si orang tua masih ada?”

Koo San Djie anggukkan kepala.

Lalu dengan sikap yang bersungguh-sungguh, mereka berkata pula:

“Saudara kecil, untuk seterusnya janganlah kau menyebut cianpwe pula, jika dihitung menurut kedudukanmu, kami wajib memanggilmu sebagai saudara tua.”

“Mana bisa? Itu sudah seharusnya, karena aku lebih kecil dari kalian,” jawab Koo San Djie.

Oey Liong berkata:

“Dalam rimba persilatan, yang diutamakan ialah tingkatan, janganlah kau terlalu merendahkan diri.”

Lalu mereka menanyakan maksud tujuan Koo San Djie.

Koo San Djie berkata:

“Guruku menyuruh aku mencari seorang di daerah Kang-lam.”

Sampai disini Pan Pin juga turut berkata:

“Demikianlah, nanti kita bertemu pula dalam dunia persilatan.”

Berbareng, Oey Liong dan Pan Pin mengambil selamat berpisah.

Suatu kejadian memperebutkan empedu ikan mas, sampai disini telah terachir.

Yang lari telah lari pergi, dan yang pergipun telah tidak terlihat sama sekali.

Angin malam yang bercampur dengan embun pagi telah membuat Koo San Djie teringat akan hawa dingin. Dengan tidak terasa, ia memegang bajunya yang telah basah kuyup, mendadak, terasa tangannya terbentur oleh sebuah benda hangat yang lembek, ia telah memegang benda pemberian ikan tadi.

Benda yang lembek ini terasa hangat, bagaimana segumpalan pedut yang berwarna hijau, samar-samar berpeta seekor capung. Bau harum semerbak membuat siapa yang mendekatinya menjadi segar, dengan tidak terasa, hidungnya Koo San Djie telah mendekati makhluk jejadian itu.

Ini CAPUNG KUMALA, sebenarnya adalah sebuah hawa gunung yang mujijat, ia tumbuh dalam sebuah goa di dasar telaga yang telah ditemui oleh sang ikan, karena sangat berterima kasih kepada pemuda kita yang telah melepaskannya, maka sebagai hadiah, CAPUNG KUMALA ini telah diberikan kepada Koo San Djie.

KODOK MAS dan CAPUNG KUMALA adalah dua barang yang menjadi idam-idaman dari orang-orang rimba persilatan. Untuk mendapatkan satu di antaranya saja sudah tidak mudah. Tapi kini Koo San Djie mendapatkan dua-duanya. Memang suatu peruntungan yang bagus dalam nasib manusia. Koo San Djie lalu menelan benda ajaib itu.

Di antara KODOK MAS dan CAPUNG KUMALA, terdapat suatu daya yang saling tarik menarik, begitu CAPUNG KUMALA mendekati bibir, hawa hijau berubah mendekati sebuah bianglala kecil, menerobos masuk ke dalam tenggorokan.

Pada saat itu juga, di dalam badan Koo San Djie bertimbul hawa hangat yang naik ke atas, memapak datangnya hawa CAPUNG KUMALA yang telah berubah menjadi sebuah aliran hawa adem.

Hawa hangat dari KODOK MAS dan hawa adem dari CAPUNG KUMALA kini telah bercampur menjadi suatu aliran tenaga yang liar menembusi berbagai jalan darah yang penting dalam tubuh.

Sampai dsini, pikiran Koo San Djie jernih, hati menjadi lapang, dia duduk bersila, mengatur jalan kedua hawa yang telah bercampur menjadi satu, ke semua jurusan di seluruh badan.

Tak lama kemudian, hawa ini telah tersebar di seluruh tubuhnya.

Tenaganya telah bertambah, badannya menjadi enteng, dan di seluruh tubuhnya kini telah dilapisi oleh sebuah kabut tipis yang putih.

Dua jam telah berlalu. Koo San Djie sudah tidak merasa menginjak tanah, badannya dirasakan bagaikan terapung di udara.

Ia mulai membuka kedua matanya, tampak kota Pook-yang yang diperbesar dan diperdekat, bagaikan di hadapan matanya, kini ia dapat melihat dengan jelas segala sesuatu, pinggir-pinggir pelabuhan yang sepi, rumah-rumah atap yang banyak kenangan dan lain-lainnya.

Tapi, ia tidak sempat untuk memikir, bagaimana pandangannya dapat berobah menjadi setajam ini.

Cepat ia melompat ke atas perahu, ia ingin lekas pulang menemui Ong Hoe Tjoe, sang enci yang tentu sedang menunggui di depan pintu.

Mendadak, terdengar suara orang yang berteriak dengan lagunya yang kolokan:

“Oh, malam yang sangat indah. Mengapa kau sudah lantas ingin pulang?”

Dengan segera, Koo San Djie menoleh ke belakang.

Seorang gadis berpakaian keraton dengan langkahnya yang dibikin-bikin, sedang jalan menuju ke arahnya. Si gadis yang umurnya kurang lebih di antara duapuluh tahunan, membuat Koo San Djie sebal.

Tapi ia tidak mengatakan suatu apa, karena ia tidak mengenal gadis itu.

Si gadis yang melihat ia diam saja sudah tertawa cekikikan.

“Kepandaianmu begitu bagus, mengapa lagamu setolol ini?”

Koo San Djie masih tetap tidak bersuara. Biarpun ia membenci si gadis, tapi ia tidak mengetahui, maksud apa yang dikandung olehnya.

Si gadis mulai marah atas sikap yang sudah diperlihatkan oleh si anak muda.

“Apa kau telah menjadi gagu, tidak dapat bicara?”

Baru sekarang Koo San Djie membuka mulutnya, dengan malas-malasan dan perasaan enggan, dia bicara:

“Apa yang harus dibicarakan, aku akan segera pulang.”

Si gadis yang melihat Koo San Djie sudah loncat ke atas perahu, tentu saja menjadi sibuk, dengan menggunakan sebelah kakinya, mencoba menggaet perahu Koo San Djie.

Perahu mulai bergoyang, seperti tidak dapat menguasai badannya lagi, entah disengaja atau tidak si gadis menjerit dan manjatuhkan dirinya ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie tidak menyangka sama sekali, tapi semua orang yang mempunyai ilmu sudah tentu mempunyai reaksi yang lebih cermat dari pada biasa, maka, dengan menggunakan kedua kakinya ia menghentikan goyangan perahu, kedua tangannya juga menyambar tepat, langsung ke arah pinggangnya si gadis yang langsing.

Si gadis yang merasa tipunya sudah berhasil, langsung menggunakan kedua tangannya untuk merangkul dengan lebih kencang lagi, mulutnya tidak hentinya merintih teraduh-aduh.

Bau wangi dari badannya si gadis telah membuat semangat Koo San Djie melayang jauh, hatinya berdebar keras karena mengalami pengalamannya yang pertama ini.

Si gadis merangkul demikian keras, hampir saja Koo San Djie tidak dapat bernapas.

Mendadak, kedua buah bibir yang merah dari si gadis telah menempel di mulutnya.

Kini ia mulai menjadi sadar, bagaikan disengat kalajengking, ia terkejut, dengan kasar ia telah mendorong badannya si gadis yang telah menempel sedari tadi.

Tapi, yang membikin ia lebih kaget lagi ialah kedua tangan yang mendorong badannya si gadis telah membentur kedua benda yang lembek dari si gadis. Sambil menarik tangannya ia berteriak:

“Ciecie........ Lekas lepaskan tanganmu!”

Ia sukar untuk membahasakannya si nona, kecuali panggilan ciecie, panggilan ini yang sering keluar dari mulutnya.

Bagaikan baru selesai dari pekerjaan beratnya, dengan lemas gadis itu mengendorkan pelukannya, tapi tidak lantas melepaskan tangannya, dengan perlahan-lahan tangan itu diturunkan, kemudian menyekal kedua tangannya Koo San Djie.

Sebenarnya, Koo San Djie ingin mengibaskan cekalannya, tapi ia juga tidak ingin berbuat sampai keterlaluan. Ia tidak mengetahui, apa maksud yang sebenarnya dari si gadis ini.

Karena ingin terburu-buru pulang, maka dengan gugup ia berkata:

“Kau ada urusan apa? Lekaslah katakan, aku harus segera pulang, dia masih menunggu di sana.”

Si gadis berpakaian keraton datang kemari karena mempunyai maksud, maka dengan sengaja ia menanya:

“Dia siapa? Tentu teman perempuanmu, bukan?”

Koo San Djie sudah menjadi marah, dengan tidak sabaran ia berkata:

“Kau jangan sembarang omong, ia adalah Ong Hoe Tjoe. Hayo, aku benar-benar sudah ingin kembali.”

Si gadis kembali tertawa cekikikan.

“Takut mendapat makian, karena ia telah menunggu terlalu lama? Aku hanya ingin mengetahui, siapakah yang memberi pelajaran ilmu Awan dan Asap Lewat Mata?”

“Guruku.”

“Siapa gurumu itu?”

“Pertanyaan ini tidak dapat kujawab.”

Si gadis dengan seenaknya berkata pula:

“Kau tidak mengatakan? Ya sudah.”

Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata pula:

“Hei, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang indah, di sana terdapat banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi, di sana kau dapat hidup tenteram dan aman........”

Tapi Koo San Djie hanya menggelengkan kepalanya.

“Biarpun tempat yang lebih indah dari itu pun, aku tidak ingin pergi.”

Si gadis berkata, pula:

“Aku adalah........”

Tapi ia tak meneruskan perkataannya, rupanya ia telah keterlepasan bicara. Maka dengan tidak meneruskan perkataan tadi ia berkata pula:

“Baiklah, akupun akan pergi. Aku bernama Oey Bwee Bwee, aku sangat mengagumi kepandaianmu, dan dapatkah aku menjadi kawanmu?”

Sebetulnya, ia bukan mengagumi, tapi mencurigai kepandaiannya Koo San Djie.

Tapi Koo San Djie mana mengerti, ia hanya berkata:

“Sudah tentu boleh saja.”

Kakinya menekan perahu, dengan kedua tangannya, ia membuat perahu meluncur, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, cepat maju ke depan.

Sebentar saja, perahu telah meninggalkan tepi sepuluh tombak lebih.

Si gadis yang mengaku bernama Oey Bwee Bwee masih tegak berdiri di tepi telaga, kedua matanya memandang jauh, ke arah lenyapnya jejak perahu tadi.

Terlihat mulutnya kemak kemik bicara seorang diri:

“Anak yang aneh. Kepandaiannya yang demikian tinggi. Gerakan-gerakan yang sama...... Apa ia telah mendapatkan...... Aku harus berusaha mengajaknya ke dalam lembah untuk membuka rahasia ini.”

Telah terbayang suatu pikiran yang dapat untuk memancing Koo San Djie datang ke dalam Lembah Merpati.

Setelah sekian lama berdiri, iapun meninggalkan tempat itu.

Dilihat dari berkelabat bayangan, cara mengenteng tubuh Koo San Djie mirip dengan ilmu Awan dan Asap Lewat di Mata, dia juga bisa menggunakan ilmu meringankan tubuh itu, tapi, yang dapat dipelajari oleh si gadis tidak sehebat si pemuda.

Koo San Djie menuju pulang.

Langit mulai menjadi terang, tapi pelita di rumah si nelayan masih tetap menyala.

Dengan perlahan, Koo San Djie mengetok daun pintu.

Dengan cepat Ong Hoe Tjoe telah lari ke arah pintu, setelah dibuka, berdirilah Koo San Djie yang tertawa di depannya, maka iapun turut tertawa juga.

Dengan nada yang penuh perhatian, ia menanya:

“Apa kau sudah lapar? Aku telah menyediakan makanan untukmu.”

Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepala, kedua tangannya yang lebar ditaruh di atas pundaknya sang enci.

Dengan suara perlahan Koo San Djie berkata:

“Mengapa semalam suntuk kau tidak tidur?”

Ong Hoe Tjoe menyandarkan kepalanya di dadanya si pemuda yang lebar, dan berkata dengan perlahan-lahan pula:

“Begitu kau pergi, tidak lama kemudian dari arah atas telaga terlihat sinar merah yang terang seperti api. Demikian lama kau tidak pulang, mana aku dapat tidur?”

Mendengar penuturannya, Koo San Djie menjadi sangat terharu, dengan tidak terasa, telah memeluk tubuh Ong Hoe Tjoe dengan erat sekali.

Ong Hoe Tjoe seolah-olah seekor anak kambing yang jinak, membiarkan saja badannya berada dalam pelukan si anak muda.

Biarpun kedua tangannya yang besar dan kasar dari si pemuda telah menggencetnya sampai ia hampir tidak dapat bernapas, tapi dalam hatinya merasa sangat girang dan puas.

Mereka berdua dengan puas sedang merasai kesenangan dan kemesraan yang pertama kali. Mereka terdiam beberapa lamanya, masing-masing dapat mendengar debaran jantung dari sang kekasih.

Sepasang merpati yang sedang menikmati cinta pertama, tiba-tiba telah dibikin kaget oleh ocehan dari si nelayan tua suami isteri, yang waktu itu telah bangun dari tidurnya.

Koo San Djie masih belum merasa puas, dengan mulutnya, dia masih mencoba untuk mencium pipinya sang kekasih, tapi telah didorong oleh sebelah tangannya Ong Hoe Tjoe, si gadis membalikkan badan dan lari ke dapur.

Koo San Djie meleletkan lidahnya, tampak senyuman senang.

Sebentar saja Ong Hoe Tjoe telah kembali dari dapur dengan tangan membawa makanan.

Dengan sikapnya yang keren ia berkata:

“Inilah enciemu sendiri yang menyediakan, tidak boleh nakal, makan sampai habis.”

Kemudian, ia tertawa sendiri, sambil menutupi mulut dengan sebelah tangannya. Dilihatnya bagaimana Koo San Djie yang rakus, menyikat makanannya sampai bersih, barulah ia tertawa puas dan meninggalkannya kembali ke kamar.

Pada hari kedua, sebagaimana biasa, Ko San Djie bersama si kakek nelayan pergi ke telaga untuk menangkap ikan. Sampai sore hari, barulah mereka berdua pulang kembali ke rumah.

Tapi tidak disangka, dalam rumah gubuk telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan.

Ong Hoe Tjoe, ternyata telah lenyap tak berbekas. Si nenek tengkurap di lantai dengan kepala pecah, darahnya berhamburan di sana-sini.

Si kakek nelayan yang melihat ini sudah menjadi berdiri kesima.

“Oh......” Hanya satu perkataan ini yang dapat keluar dari mulutnya, belum sempat kakek itu meneruskan perkataannya, orangnya telah jatuh pingsan.

Koo San Djie maju ke depan, menangkap jatuhnya tubuh si kakek.

Tapi alangkah kagetnya Koo San Djie. Sewaktu ia memegang dada si kakek, ternyata si kakek sudah meninggalkan dunia yang fana, menyusul arwah istrinya. Rupanya tak tahan ia menerima pukulan yang sehebat itu.

Koo San Djie memeriksa mayat si nenek nelayan. Jika bukan dari bajunya yang memang Koo San Djie telah kenali, karena kepalanya telah dipukul hancur, hampir saja Koo San Djie tidak dapat mengenalinya.

Si nenek yang telah mati, rupanya telah mengadakan perlawanan yang sengit, dalam genggaman tangannya terdapat robekan kain kembang yang berwarna merah.

Dari sobekan kain kembang yang berwarna merah inilah, Koo San Djie dapat menebak bahwa kain ini tentu sobekan kain dari orang yang membawa Ong Hoe Tjoe.

Si kakek nelayan suami istri dalam pandangan Koo San Djie tidak bedanya sebagai ayah dan ibunya sendiri, kini dalam seharian saja dua-duanya telah mati dalam keadaan penasaran, bagaimana ia tidak menjadi sedih? Sebenarnya, ia tidak bisa sembarangan mengeluarkan air mata, tapi kali ini air matanya sudah mengucur keluar seperti hujan yang ditumpahkan dari langit, turun membasahi pakaiannya.

Tangisannya yang sangat memilukan terdengar bagaikan ratapan binatang di tengah malam.

Terdengar suara Koo San Djie meratap sedih:

“Oh, kakek dan nenek yang mati penasaran, San Djie lah yang menyebabkan kematian kalian berdua, biarpun sampai di ujung langit, akan kucari juga si pembunuh yang kejam itu......”

Setelah sekian lama menangis mendadak ia bangkit, sambil menggebrak meja ia bersumpah:

“Koo San Djie tidak akan jadi orang, jika tidak dapat membalas dendam sakit hati ini!”

“Brak!” Patahan kayu-kayu meja terbang ke mana-mana, selembar kertas merah dadu yang di atasnya terlukis sepasang burung merpati, terbang melayang-layang dan terjatuh di depannya.

Di atas kertas merah dadu tersebut terdapat kata-kata yang berbunyi sebagai berikut:

“Jika ingin Ong Hoe Tjoe kembali, lekaslah datang ke Lembah Merpati.”

Merpati atau burung dara adalah burung yang belum pernah jalan sendirian, tentu mesti berpasangan.

Tapi Koo San Djie tidak mau memperhatikan apa artinya Lembah Merpati, ia hanya sedang mengamat-amati tulisan yang demikian kecilnya, biarpun tulisan ini ditulis dengan terburu-buru, tapi yang sudah dapat dipastikan ialah, tulisan ini adalah buah tangannya seorang gadis.

Dengan gemas ia berkata seorang diri:

“Lembah Merpati, Lembah Merpati, akan kubikin rata seluruh Lembah Merpati, akan kubikin bersih semua orang yang berada dalam Lembah Merpati!”

Bagaikan seekor singa yang sedang marah, kedua matanya Koo San Djie menjadi merah, memancarkan sinar kebencian yang hebat.

Para tetangga nelayan yang berkerumun, hanya berdiri jauh, mereka tidak berani mendekatinya.

Setelah mengubur kedua mayat si kakek nelayan suami istri dengan cara sederhana, dan meminta bantuannya para tetangga untuk mengurusnya, Koo San Djie telah meninggalkan gubuk yang membawa banyak kenangan dalam penghidupannya.
 
BAB 03.01 Pencarian Lembah Merpati


Koo San Djie berlarian sekian lamanya, dengan caranya yang membabi buta, perlahan-lahan pikiran jernihnya telah timbul kembali.

Mulutnya berkemak-kemik, ia bicara seorang diri:

“Lembah Merpati, Lembah Merpati, di manakah letaknya Lembah Merpati?”

Koo San Djie belum lama terjun ke dalam kalangan sungai telaga dan tidak ada satu kenalan yang dapat ditanyainya, ia hanya menuruti ayunan langkah kedua kakinya yang jalan dengan tidak mempunyai tujuan tetap.

Rasa pedih dan kemarahan bercampur menjadi satu, sehingga menyebabkan hampir saja ia menjadi gila.

Dengan tidak memilih haluan lagi, Koo San Djie menuju ke arah timur laut.

Beberapa lama ia berjalan dengan menundukkan kepalanya. Dari belakang, mendadak datang beberapa ekor kuda yang lewat di sebelahnya.

Si penunggang dari salah satu kuda itu, adalah seorang pemuda yang berbaju perlente dan empat pengiringnya.

Terdengar si pemuda perlente berkata:

“Saudara harap berhenti sebentar.”

Koo San Djie menghentikan langkahnya, dengan nada yang kurang senang ia berkata:

“Kau ingin apa? Aku tidak sempat untuk bertarung.”

Si pemuda perlente yang ternyata adalah Hay-sim Kongcu yang pernah bertemu di pinggir telaga Pook-yang berkata:

“Saudara jangan salah mengerti, aku yang rendah hanya kebetulan lewat di sini.”

Sebetulnya perkataan Hay-sim Kongcu hanya isapan jempol belaka, ia tidak kebetulan lewat di sini, ia kemari untuk menyelidiki segala gerak geriknya Koo San Djie.

Koo San Djie menyingkir ke pinggir dan berkata:

“Silahkan saudara jalan lebih dulu.”

Hay-sim Kongcu lompat turun dari kudanya, dengan tertawa ia berkata:

“Tidak tahu, saudara hendak pergi kemana?”

Sebagai yang sedang memikir sesuatu, Koo San Djie menjawab dengan tegas:

“Lembah...... Mer...... pati!”

Mukanya Hay-sim Kongcu bersinar girang, bercahaya terang, hanya sebentar, tapi kemudian kembali sebagai asal mulanya. Sambil tertawa ia berkata lagi:

“Aku yang rendahpun ingin pergi mengunjungi Lembah Merpati, bagaimana jika kita pergi bersama-sama?”

Dengan tidak berpikir lagi, Koo San Djie telah memanggutkan kepalanya.

Bukan main senangnya Hay-sim Kongcu, dengan segera ia menyuruh pengikutnya mengosongkan seekor kuda untuk Koo San Djie.

Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepala,

“Naik kuda tidak leluasa, bagaimana jika jalan kaki saja?” ia berkata.

Hay-sim Kongcu sudah meluluskan permintaannya, “baik,” jawabnya.

Kemudian ia berbalik berkata kepada empat pengikutnya:

“Kau orang boleh kembali dulu ke pulau.”

Keempat pengikutnya berbareng memberi hormat kepadanya sambil membalikkan kudanya, mereka telah menghilang dari hadapan majikan mereka.

Ilmu silat pulau Hay-sim berasal dari gunung es, sedari kecil, Hay-sim Kongcu telah mendapat latihan yang sempurna, langsung dari ayahnya yang bernama Hu-hay Sin-kun, ia ingin mencoba dasar kepandaiannya San Djie.

Seperginya keempat orang pengiringnya dengan tertawa ia berkata:

“Saudara Koo, mari kita mulai.”

Tidak perduli Koo San Djie setuju atau tidak, ia telah, lari terlebih dulu, sangat cepat sekali.

Hati Koo San Djie sedang panas, karena tidak mengetahui di mana letaknya Lembah Merpati, dia salah mengira, menduga Hay-sim Kongcu akan mengunjukkan jalan untuknya, maka iapun menggunakan ilmu mengentengi tubuh mengintil di belakangnya Hay-sim Kongcu.

Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, mereka berdua telah menggunakan kepandaiannya masing-masing, dengan tidak mengenal waktu, telah berlari-lari seharian lamanya, sehingga telah memasuki daerah pegunungan Hong-giok, di antara perbatasan An-hui dan Cek-kiang!

Hay-sim Kongcu, dengan napas sengal-sengal memberhentikan langkahnya, bajunya telah basah mandi keringat.

Dengan rasa sedikit bangga, ia berkata seorang diri:

“Dengan cara seperti ini, paling sedikit juga ada tiga atau empatratus lie jauhnya. Tapi setelah ia menengok, melihat Koo San Djie, bukan main rasa kagetnya.

Koo San Djie masih tenang seperti biasa, bajunya tidak berkeringat, napasnya tidak turun naik, seperti jalan beberapa langkah saja.

Dalam hatinya Hay-sim Kongcu berkata, “Orang dari Lembah Merpati memang tidak dapat dipandang enteng.”

Tapi di hadapannya Koo San Djie ia tertawa dan memuji:

“Kepandaian saudara Koo memang hebat, aku yang rendah tidak dapat menyamainya.”

Koo San Djie tidak merasa bangga atas pujian ini, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia hanya memikirkan keselamatannya Ong Hoe Tjoe, ia tidak memperhatikan kepandaian siapa yang rendah dan siapa yang tinggi, inipun ia belum menggunakan setengah dari kepandaiannya.

Dalam hati Hay-sim Kongcu memaki: “Hm, anak yang sombong. Jika bukan mengharapkan petunjukmu untuk mencari Lembah Merpati......”

Ia telah lama berkelana di kalangan sungai telaga, mukanya tidak pernah mengutarakan isi hatinya, mulutnya tidak mau mengatakan kesenangan dan kemarahan.

Dengan sopan ia berkata:

“Saudara Koo, mari kita istirahat untuk makan.”

Koo San Djie hanya memanggutkan kepala, tidak mengatakan suatu apa.

Setelah memilih tempat duduk, ia menjatuhkan dirinya di sana.

Hay-sim Kongcu menyodorkan makanan yang memang telah tersedia dan iapun duduk di sebelahnya Koo San Djie.

Koo San Djie masih tidak mau membuka mulut, dengan tenang ia makan makanan kering tadi.

Tapi pikirannya Hay-sim Kongcu mana bisa diam, ingin sekali ia mencabut pisau belatinya yang terbuat dari pada besi dingin, pisau ini berasal dari dasar laut, untuk membereskan anak sombong yang duduk di sebelahnya.

Dari jarak yang demikian dekat, tidak nanti Koo San Djie dapat lolos dari tajamnya belati besi dingin tersebut.

Untuk menghadapi orang dari Lembah Merpati, ia tidak usah memakai aturan, dendamnya yang selalu disimpan di dalam hati, telah beberapa tahun dibawa-bawanya.

Tapi, dengan cara demikian ini, ia akan kehilangan petunjuk jalan ke dalam Lembah Merpati.

Telah berapa tahun ia berkelana di kalangan sungai telaga, belum pernah ia mengutarakan permusuhannya dengan Lembah Merpati, ia hanya mengharapkan, pada suatu waktu dapat petunjuk dari salah satu orangnya Lembah Merpati untuk mendapatkan jalan masuk ke dalam tempat itu.

Dari ilmu mengentengi tubuhnya Koo San Djie yang bernama Awan dan Asap Lewat di Mata, ia menyangka bahwa Koo San Djie adalah pemuda yang datang dari Lembah Merpati.

Koo San Djie juga pernah berkata, ia datang dari lembah, dan kini telah melulusinya untuk mengajaknya bersama-sama, menuju Lembah Merpati. Inilah suatu kesempatan yang sukar untuk dicari.

Telah beberapa kali, tangannya menyentuh gagang pisau, tapi biar bagaimanapun, ia harus menahan sabar. Tidak ada gunanya membunuh orang dari Lembah Merpati itu. Yang menjadi pokok terpenting ialah, mendapat tahu di mana letaknya Lembah Merpati tersebut.

Mukanya Hay-sim Kongcu sebentar-sebentar berubah, tetapi ini tidak ada artinya bagi Koo San Djie yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman.

Koo San Djie yang sedari tadi diam saja seperti melihat sesuatu, mendadak berkata:

“Hei siapa yang datang itu? Bayangan yang cepat, lebih cepat dari pada kita tadi.”

Hay-sim Kongcu bertanya:

“Di mana?”

Tangan Koo San Djie menunjuk ke arah depan dan berkata pula:

“Lihatlah!”

Hay-sim Kongcu melihat ke arah yang ditunjuk oleh Koo San Djie, tetapi ia tidak dapat melihat apa-apa, yang terlihat olehnya hanyalah keadaan putih remang-remang.

Setelah lewat sekian lama......

Tiba-tiba Hay-sim Kongcu dapat juga melihat dua bayangan hitam, sedang lari dengan cepat menuju ke arah mereka berdiri. Saking cepatnya orang yang sedang mendatangi itu sukar baginya membedakan pakaian yang sedang dipakainya. Tetapi, hatinya semakin bercekat, mengapa anak yang tolol seperti Koo San Djie juga mempunyai pandangan mata yang demikian tajam?

Waktu ia menengok, dilihatnya wajah Koo San Djie sudah berubah jadi galak, alisnya kelihatan naik ke atas dan tangannya mengeluarkan sepotong kain kembang berwarna merah. Badannya juga lantas meluncur ke depan beberapa tumbak, di tengah udara kakinya ditekuk ke belakang, ia lari memapak kedua bayangan itu.

Orang-orang yang sedang mendatang itu ternyata adalah sepasang muda mudi, si pemuda berpakaian warna hijau bergaris-garis, si pemudi berpakaian keraton warna merah kembang.

Begitu melihat Koo San Djie datang menyeruduk, mereka berdua sudah memisahkan diri dengan cepat ke kanan dan kiri.

Badan Koo San Djie yang masih di tengah udara dimiringkan sedikit dan sudah turun di hadapan si pemudi.

“Enci Hoe Tjoe ku telah kau bawa pergi ke mana?” demikian bentaknya.

Kepandaian mengentengi tubuh Koo San Djie telah membuat mereka terkejut, ditambah lagi dengan pertanyaan yang diajukannya yang tidak ada juntrungannya itu, membuat si pemudi menjadi semakin tidak mengerti.

Sambil kerutkan kedua alisnya pemudi itu berkata:

“Apa yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti.”

Dengan galak Koo San Djie berkata:

“Sebelum kau keluarkan Encieku, jangan harap kau dapat pergi.”

Si pemuda berbaju hijau sudah datang menanya:

“Adik San, apa yang dikehendaki?”

Dengan marah, si pemudi berkata:

“Entah dari mana munculnya anak gila ini, mendadak mengatakan aku telah menculik encienya.”

Pemuda itu coba mendamaikan sama tengah:

“Saudara kecil, kau telah salah orang.”

Ia tidak ingin menambah perkara di tengah perjalanan yang dapat mengakibatkan terlambatnya urusan mereka.

Tapi Koo San Djie mana mau mengerti? Dia telah mengeluarkan potongan kain kembang yang berwarna merah tadi dan selembar kertas bertulisan yang berwarna merah dadu. Dengan mengibas-ngibaskannya ia berkata:

“Jika bukan kau orang, siapa lagi yang berbuat?”

Pasangan muda mudi tadi menjadi kaget, tapi dengan berpura-pura tidak mengetahui mereka berkata:

“Dalam dunia, banyak sekali orang yang mengenakan baju yang sama, dengan bukti apa kau dapat sembarangan menuduh?”

“Tidak usah kita perdulikan. Adik San, mari, kita berangkat!” kata si pemuda sambil menarik tangan kawannya.

Tapi Koo San Djie tidak mengijinkan kepergian mereka, ia lompat melesat dan sudah menghadang di hadapan pasangan muda mudi itu.

“Satupun jangan harap pergi dari sini, sebelum memberi keterangan yang jelas!” bentaknya keras.

Pemuda berbaju hijau dengan adem berkata:

“Belum tentu.”

Hay-sim Kongcu maju ke muka, mengangkat kedua tangannya, dengan menjura ia berkata:

“Numpang tanya, saudara berdua murid kesayangan dari golongan mana?”

“Kau tidak berhak mengurusnya!” Pemuda berbaju hijau berkata.
( Bersambung )
 
BAB 03.02. Pulau Hay-sim yang di Kelilingi oleh Air Lembek




Hay-sim Kongcu adalah anak kesayangan dari Hu-hay Sin-kun, hanya ia menyuruh orang, belum pernah ada orang berani membantah, perkataan pemuda berbaju hijau tadi telah menyinggung perasaannya.

Dengan mengeluarkan suara di hidung ia berkata:

“Entah golongan mana yang tidak mempunyai muka untuk menemui orang, maka telah melakukan perbuatan yang serendah itu?”

Pemuda berbaju hijau berteriak marah:

“Jangan kau sembarangan menuduh.”

Sebelah tangannya dimiringkan ke samping, mengeluarkan pukulan, tidak kentara dan tidak bersuara, hanya bagaikan angin melambai.

Hay-sim Kongcu melengak, inilah kepandaian dari pulau Hay-sim, jurus yang pertama dari Wie-mo-ciang.

Ia telah sangat apal dengan ilmu-ilmu tersebut, dan jelaslah kini, dari mana datangnya dua muda mudi yang di hadapannya, ia hanya memiringkan sedikit badannya agar dapat mengelak ke samping dengan lebih leluasa.

Tapi, di sana si pemudi telah menjerit-jerit, karena Koo San Djie telah memulai penyerangan.

Terdengar suara Koo San Djie yang mengandung kemarahan:

“Jika engkau tidak mau mengeluarkan encie Hoe Tjoe, aku akan menahan kau di sini.”

Ia menggunakan sepuluh jari tangannya, menyerang si pemudi.

Si pemudi tidak balas menyerang, ia menggunakan kegesitannya, lompat ke sana dan lompat ke sini, ia sedang pertontonkan kepandaian mengentengi tubuhnya.

Tapi tidak beruntung, ia telah menemukan seorang ahli, gerakannya Koo San Djie pun sama dengan gerakannya, lebih cepat dan banyak perobahan.

Beberapa kali dia telah membuat kesalahan, hampir-hampir saja ia terpegang oleh cengkeramannya Koo San Djie.

Koo San Djie juga telah dapat melihat kepandaian yang digunakan oleh lawannya ada rada mirip dengan gerakan Awan dan Asap Lewat di Mata, tapi banyak kesalahan dan kurang perobahan. Boleh juga dikatakan pemudi ini hanya baru belajar sedikit dari kepandaiannya.

Di sinilah pula letak kecurigaan Koo San Djie, mengapa ia dapat menggunakan kepandaian yang sama? Inilah kepandaian yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng.

Kecuali mempunyai hubungan dengan Lam Keng Liu. Apa hubungannya?

Kecurigaan ini yang telah menyebabkan Koo San Djie mau menangkapnya untuk mengorek keterangan.

Dalam sekali berkelebat, pemudi itu merasakan hawa pusing, di seluruh jurusan terdapat bayangan dari sang lawan. Kakinya dirasakan berat, sukar untuk ia mencari tempat menaruh kedua kakinya. Ini pulalah yang membuat ia menjadi menjerit-jerit.

Pemuda berbaju hijau sudah bertarung beberapa jurus dengan Hay-sim Kongcu dan melihat sang kawan dalam keadaan bahaya, dengan sekuat tenaga yang ada padanya, ia menyerang lawannya.

Hay-sim Kongcu mundur sedikit, menghindarkan pukulan sang lawan.

Dengan menggunakan kesempatan ini, pemuda berbaju hijau lompat dan menolong kawannya. Sebelah tangan menghantam, mengarah bebokongnya Koo San Djie.

Koo San Djie seperti tidak mengetahui sama sekali, maka tidak menyingkir dari serangan lawannya.

Sampai di sini, Hay-sim Kongcu telah mengetahui, siapa dua muda mudi itu?

Kecurigaan terhadap Koo San Djie sekarang telah lenyap sama sekali, malah berbalik padanya. Ia telah mengenal akan Wie-mo-ciang, bisa menyerang dengan tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Maka ia menguatirkan keselamatan dari sang kawan.

“Saudara Koo, awas serangan!” demikian teriaknya.

Berbarengan dengan itu, badannyapun telah sampai di dekatnya.

Ia hanya memperhatikan serangan si pemuda berbaju hijau, tidak menyangka datangnya serangan Koo San Djie.

Angin beterbangan, mengulak naik ke atas. Dengan tidak menoleh lagi Koo San Djie menangkis ke arah belakang dirinya dan menghadapi si pemuda baju hijau.

Si pemuda baju hijau tidak berani melawan serangan yang demikian hebat dari lawannya, ia melompat ke samping untuk menghindarkannya. Tetapi biarpun demikian tidak urung, belakang tangannya terkena serangan dari Koo San Djie.

Tetapi, yang celaka adalah Hay-sim Kongcu. Mengimpipun ia tidak akan bisa membayangkan yang Koo San Djie bisa menyerang ke belakang dengan gerakan yang cepat. Ia tidak sempat lagi menghindarkan serangan itu. Kedua tangannya diluruskan ke depan menyambuti serangan.

Setelah terdengar suara “Bum”, kepalanya berkunang-kunang, mulutnya menyemburkan darah segar.

Begitu mengetahui di belakang dirinya terjadi perubahan, Koo San Djie sudah lantas menghentikan serangan selanjutnya, ia dapat melihat Hay-sim Kongcu jatuh terduduk dengan muka pucat. Dengan cepat ia maju menghampirinya.

Dengan menggunakan kesempatan ini, kedua muda mudi tadi telah menggunakan kelincahan mereka, melarikan diri ke jurusan gunung.

Koo San Djie, tidak sempat mengejar mereka. Dengan rasa kuatir ia menanya:

“Bagaimana luka saudara?”

Ia sudah datang ke tempat Hay-sim Kongcu, siap untuk mengobatinya, tetapi Hay-sim Kongcu ketawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Harap saudara Koo tidak kuatirkan diriku. Luka yang sedikit masih dapat aku menahannya.” Sambil berkata, tangannya merogoh ke dalam saku, dan mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisikan obat bentuk pil yang berwarna merah, yang terus dimasukkan ke dalam mulut, lalu duduk mengatur pernapasannya. Setelah itu ia berkata kepada Koo San Djie:

“Sepasang muda mudi tadi adalah orang-orangnya dari Lembah Merpati. Lekaslah saudara Koo kejar. Setelah cukup beristirahat, nanti akan segera pergi menyusul.”

Koo San Djie merasa tidak enak hati, ia sangat menguatirkan kesehatan kawannya.

Hay-sim Kongcu sibuk sendiri melihat kawannya tidak bergerak dan mengejar, maka lantas ia berkata:

“Waktu tidak dapat kembali. Harap saudara lekas mengejar mereka.”

Sampai di sini, barulah Koo San Djie lekas-lekas bertindak, mengejar ke jurusan menuruti arah perginya muda mudi tadi. Biarpun ia dapat berlari dan bertindak dengan cepat, di daerah pegunungan yang panjangnya ratusan lie, untuk mengejar kedua muda mudi tadi susahnya sama juga dengan mencari jarum di dasar laut.

Setelah mengejar seharian penuh dan masih juga tidak dapat menemukan mereka, perutnya pun merasa lapar, maka segera ia lari ke sebuah kota yang terlihat di depannya. Begitu memasuki kota yang pertama, tindakannya ialah mencari rumah makan.

Baru saja ia bertindak masuk ke sebuah rumah makan, terdengar suara tertawanya seorang yang amat nyaring.

“Saudara kecil, kenapa kau juga datang kemari? Mari duduk bersama aku.”

Ternyata orang itu yang berbicara adalah Sastrawan Pan Pin, dia sedang mengganyang makanannya seorang diri.

Dengan tidak malu-malu lagi, Koo San Djie duduk di sebelah orang itu, bersama-sama makan dan minum.

Si Sastrawan Pan Pin sudah memanggil pelayan rumah makan dan minta tambah hidangan. Ia sendiri dengan memegang gelasnya, tertawa, melihat kawan kecil di sampingnya.

Setelah melihat Koo San Djie sudah kenyang makan, barulah ia berkata:

“Saudara kecil ini datang kemari ada urusan apa?”

Koo San Djie memesut mulutnya yang berlepotan minyak, dan dengan termonyong-monyong ia berkata:

“Aku sedang mencari orang dari Lembah Merpati. Mereka telah menculik enci Hoe Tjoe.”

Mendengar keterangan itu, bukan main kagetnya Pan Pin.

“Apa betul?”

Letak Lembah Merpati sangat dirahasiakan, tetapi di kalangan Kang-ouw, tidak dapat nama jelek. Biarpun telah terjadi beberapa muda mudi yang masuk ke dalam lembah dengan tidak ada kabar beritanya lagi, tetapi semuanya mereka pergi itu dengan rela hati, belum pernah terdengar ada orang yang memaksa memasukinya.

Koo San Djie mengeluarkan potongan kain yang berwarna merah, di mana terdapat tulisan di atas sepotong kertas berwarna merah dadu yang dilekatkan di atas meja. Sambil memandang Pan Pin ia berkata:

“Lihatlah ini!”

Sambil memperlihatkan kain dan kertas bertulisan itu ia lalu menceritakan semua kejadian yang menimpa keluarga si kakek nelayan.

Melihat Pan Pin agak tidak percaya, dia berkata pula:

“Di daerah pegunungan Hoay-giok, di perbatasan An-hui dan Cek-kiang aku telah bertemu dengan dua orang yang katanya datang dari Lembah Merpati. Tetapi, sayang mereka dapat meloloskan diri.”

Si sastrawan yang mendengarkan keterangan itu semua, menjadi kemekmek di tempatnya. Ia lupa bahwa cawannya masih berada di dalam genggamannya.

Pikiran sedang dipusatkan pada rentetan kejadian-kejadian yang diceritakan oleh kawan ciliknya dan lantas dihubungkan dengan semua kejadian-kejadian yang berkenaan dengan Lembah Merpati.

Pemimpin dari Lembah Merpati, entah dewa ataukah manusia, mengapa begitu misterius?

Dalam tahun-tahun terakhir ini belum pernah ada seorangpun yang dapat melihat wajah pemimpin itu, sampai-sampai di mana letaknya Lembah Merpati, juga tidak ada seorangpun yang mengetahui.

Beberapa orang tua dari rimba persilatan, banyak yang menaruh curiga pada beberapa anak muda yang ingin pergi ke sana, tetapi sampai sekarang pun, masih belum ada seorang pun yang mampu memecahkannya.

Jika dianggap satu golongan yang tidak juyur, belum pernah ada kabar tentang kejadiannya. Disebut satu golongan baik-baik, juga tidak dapat, karena setiap pemuda yang masuk ke situ sudah pasti tidak akan kembali.

Koo San Djie memandang ke arah Pan Pin, tidak terdengar suara komentar, lalu menanyakannya pula:

“Locianpwee, di manakah letaknya Lembah Merpati itu? Apa kau sudah mengetahui?”

Dengan menggeleng-gelengkan kepala, Pan Pin menjawab:

“Jangan kata aku, si Sastrawan Miskin. Semua orang dari rimba persilatan belum tentu ada seorangpun yang mengetahui di mana letak tempat itu.”

Koo San Djie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Lalu harus bagaimana baiknya?” ia bertanya.

“Terburu-buru pun tidak akan ada guna,” Pan Pin berkata. “Berusahalah dengan sabar.”

Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan pula perkataannya:

“Bukan karena aku si Sastrawan miskin memandang rendah padamu. Umpama betul pada suatu waktu, kau berhasil menemukan Lembah Merpati, tidak boleh kau berbuat gegabah. Menurut pengalamanku, dari lembah itu, ada tiga macam yang terkenal, yaitu obat-obatan, ilmu pukulan dan ilmu mengentengi tubuh. Kepandaian anak muda mereka tentu berkepandaian tinggi, apa lagi kepandaian pemimpinnya sukar sekali dibayangkan.

Biasanya penggunaan obat-obatannya tidak dapat dipisahkan dengan yang beracun. Tidak mudah dijaga oleh sembarang orang maka kau harus berlaku hati-hati, menjaga segala kemungkinan.”

Tetapi perkataan-perkataan dari si Sastrawan itu tidak masuk dalam telinga Koo San Djie. Ini bukan karena sifatnya yang sombong. Ia sibuk sendiri, mengingat tidak ada orang yang mengetahui, di mana letaknya Lembah Merpati.

Sejenak berkenalan dan berpisahan dengan si kakek nelayan yang jenaka, keadaan yang menyedihkan dari si nenek yang terbunuh, Hoe Tjoe yang sedang marah-marah manja. Satu persatu kejadian-kejadian itu merupakan kenangan yang tak mudah dilupakan.

Bukan main rasa sedih hatinya. Suatu keluarga yang tenang dan tentram, serta penuh kerukunan, karena disebabkan adanya dia seorang, mereka telah mengalami kejadian yang menyedihkan. Jika diusut dari asal mulanya, dialah yang menyebabkan terjadinya kejadian menyedihkan itu.

Mendadak, telinganya seperti menangkap suara tangisan yang sesenggukan seolah-olah suara ratapan: “Adik San, adik San, mengapa kau tidak menolongku......”

Dia lompat bangun, dia marah, tetapi dia harus duduk kembali dengan lesu. Kegusaran dan kekuatiran tidak ada faedahnya. Tidak ada seorangpun yang mengetahui, di mana letaknya Lembah Merpati. Juga tidak ada seorang pun yang mengetahui, siapa orangnya yang mendiami lembah itu.

Si Sastrawan Pan Pin menatap Koo San Djie sejenak, menghela napas panjang. Ia sudah melewatkan sebagian besar dari hidupnya dalam kalangan sungai telaga. Terhadap urusan yang bagaimana besar pun, hanya diganda tertawa saja. Tetapi tidak disangka, hari ini ia telah mendapatkan kesukaran dari sang saudara kecil yang belum lama berkenalan.

Setelah berpikir sebentar, ia berkata pula:

„Terhadap urusan ini, kiranya aku harus turut campur tangan juga. Mari aku ajak kau ke suatu tempat, mengadu peruntungan, tetapi tidak sembarang orang dapat sampai ke tempat ini. Salah sedikit saja, habislah jiwa kita di sana.”

Pada waktu itu, kalau harus menerobos gunung berduri atau melewati minyak mendidih di atas kuali, pasti akan dilakukan oleh Koo San Djie, apa lagi hanya pergi ke suatu tempat saja. Maka dengan senang, sambil berlompat-lompatan, ia berkata:

“Kemana? Mari segera kita pergi.”

“Sabar, duduklah dulu!” Pan Pin menggoyang-goyangkan tangan. “Dengarkan dulu penuturanku. Orang hanya mengetahui pukulan dari Lembah Merpati yang istimewa, tetapi sama sekali tidak mengetahui, bahwa pukulan itu adalah campuran dari pukulan yang istimewa dari kalangan Kang-ouw (Sungai telaga). Yang satu adalah Hian-oey-ciang dari perguruanmu dan yang lainnya ialah Wie-mo-ciang dari kepulauan Hay-sim. Dua macam pukulan keras dan lunak yang digabungkan itu menjadi satu ilmu pukulan yang sudah tidak ada taranya lagi dalam dunia Kang-ouw. Tetapi mengapa mereka dapat mempelajari kedua macam ilmu pukukan itu, masih belum ada seorang pun yang mengetahui, maka dari itu, sekarang aku akan mengajak kau ke pulau Hay-sim untuk menanyakan keterangan dari Hu-hay Sin-kun. Biarpun mempunyai kepandaian tinggi, tetapi adatnya Hu-hay Sin-kun ini sangat aneh sekali. Pada waktu itu, jika terjadi suatu apa, kau jangan sembarang membawa adatmu.”

Koo San Djie manggut-manggutkan kepalanya, dia berjanji akan mengikuti petunjuk sastrawan tersebut.

Demikianlah, mereka lalu pergi ke pulau Hay-sim yang dikelilingi oleh air lembek, yang tidak dapat menahan barang yang bagaimana ringanpun juga. Siapa tahu, karena salah mengerti, hampir saja menyebabkan kedua jiwa tua dan muda ini hilang lenyap ditelan air itu.
 
BAB 04.01 Dua Ilmu Pukulan Tertinggi


Pulau Hay-sim terletak di tengah lautan Ceng-hay, dikelilingi dan dikitari oleh air lembek yang tidak mempunyai daya tahan sama sekali. Tidak pernah ada kapal atau perahu yang lewat melalui permukaan laut tersebut.

Hu-hay Sin-kun, setelah berhasil mempelajari ilmunya dan turun dari gunung es, dia telah memilih pulau yang sepi ini menjadi tempat kediamannya. Bersama dengan adik angkatnya yang bernama Lok-sui Cian-liong mereka membangun pulau tersebut. Usahanya berhasil telah membuat pulau yang sepi menjadi suatu tempat yang menarik hati.

Si Sastrawan Pan Pin bersama dengan Koo San Djie, setelah berjalan siang hari malam, tidak sampai setengah bulan kemudian, mereka sudah sampai di pinggir laut. Mereka hanya melihat seperti sungai yang sepi, tidak ada sebuah perahu pun berlayar di sana.

Di dalam rimba persilatan, Pan Pin pernah bertemu dengan Hu-hay Sin-kun beberapa kali, tetapi belum pernah datang ke pulau tempat kediamannya, dan tidak mengetahui, dengan cara bagaimana harus mendaratnya.

Hatinya timbul curiga. Bagaimanakah caranya orang keluar masuk pulau Hay-sim ini.

Mereka berdua mundar mandir di tepi laut sampai beberapa kali. Diambilnya setangkai batang pohon yang terdapat di pinggir laut itu, lalu dilemparkan ke arah laut.

“Plung”, segera setelah terdengar bunyi itu, lantas terlihat suatu lingkaran di permukaan laut. Seperti sebuah batu saja agaknya, tangkai pohon tadi lantas tenggelam ke dasar laut.

Si Sastrawan Pan Pin melihat kejadian yang mengherankan itu, dia menggoyang-goyangkan kepalanya.

“Bagaimana?” tanya Koo San Djie yang menjadi tidak sabaran.

Tiba-tiba Pan Pin menggoyang-goyangkan tangannya, berkata pada si pemuda:

“Dengarlah! Ada orang sedang mendatangi.”

Koo San Djie juga sudah mengetahui, beberapa kuda sedang mendatangi ke arah mereka, semakin lama, derapan kaki kuda semakin dekat saja, dan sebentar kemudian, kuda-kuda sudah sampai di depan mereka.

“Ouw!” Berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget.

Ternyata yang mendatangi itu adalah keempat pengiring Hay-sim Kongcu.

Dengan cepat Koo San Djie menghampiri mereka dan menyapa:

“Hei, dapatkah kalian mengajak kami ke pulau Hay-sim?”

Keempat pengiring Hay-sim Kongcu saling pandang, tentu saja dengan perasaan heran, mereka tidak menjawab pertanyaan Koo San Djie, mereka balik bertanya:

“Kemana Kongcu kami?”

Koo San Djie dengan sembarangan berkata:

“Orang yang demikian besar, masa takut hilang? Mungkin juga telah kembali ke pulau.”

Keempat pengiring itu berkumpul menjadi satu. Setelah berunding sejenak, salah satu dari antaranya maju ke muka.

Sambil bersenyum ia memberi hormat pada si Sastrawan dan berkata:

“Pulau Hay-sim jarang mendapat kunjungan, dan ada urusan apakah tuan-tuan datang mengunjungi pulau kami?”

Setelah membalas hormat, Pan Pin lantas berkata:

“Orang memberikan julukan padaku Sastrawan Pan Pin, adalah kenalan lama dari majikanmu, Hu-hay Sin-kun. Dengan mengajak saudara kecil ini, aku masih mempunyai sedikit urusan yang mau dirundingkan dengan majikan kalian.”

Orang-orangnya Hu-hay Sin-kun setelah berpikir sebentar, lalu berkata:

“Jika kenalan lama dari majikan, silahkan ikut kami.”

Dengan membalikkan badan, mereka sudah membawa Pan Pin berdua ke suatu tempat yang sepi di tepi laut itu. Secarik kertas yang ditulis lalu diikatkan ke kakinya seekor burung yang dibawa mereka, lalu dilepaskan.

Sang burung sudah lantas terbang ke udara, menuju pulau Hay-sim.

Mereka duduk, menanti di situ kira-kira satu jam lamanya. Tidak lama kemudian dari jauh terlihat sebuah perahu yang terbuat dari kulit sapi yang melembung.

Dengan pesat perahu kulit sapi itu datang ke arah mereka.

Koo San Djie tidak dapat menahan keheranannya, maka lantas berkata:

“Bukankah air laut ini tidak mempunyai daya tahan sama sekali? Mengapa perahu dapat berlayar di atasnya?

Salah seorang dari orang-orangnya Hu-hay Sin-kun dengan tertawa berkata:

“Memang betul air laut di sini tidak mempunyai daya tahan sama sekali, tetapi tidak seluruhnya demikian. Di beberapa bagian, ada juga yang mempunyai daya tahan yang dapat dilalui oleh perahu, hanya saja tidak ada orang luar yang mengetahuinya.

Dengan perahu itu, setelah sampai di pulau Hay-sim, di tepinya sudah terlihat beberapa orang yang datang menyambut mereka.

Hu-hay Sin-kun dan Lok-sui Cian-liong yang berdiri paling depan, setelah mengawasi si Sastrawan Pan Pin, sambil ketawa berkakakan Hu-hay Sin-kun berkata:

“Angin apa yang dapat membawa seorang dewa datang ke tempat yang sepi?”

Pan Pin juga tertawa berkakakan:

“Jika tidak mempunyai urusan, tidak berani aku sembarangan datang mengganggu kemari. Aku si Sastrawan miskin datang kemari, ada suatu urusan penting yang mau meminta petunjuk dari Sin-kun.”

“Silahkan masuk. Kita beromong-omong di dalam saja,” kata Hu-hay Sin-kun ketawa.

Mendadak matanya melihat di antara empat orang pengiring Hay-sim Kongcu, tidak terlihat mata hidungnya sang anak, maka mukanya berubah menjadi pucat. Dengan suara keras dan kasar ia membentak:

“Bagaimana urusan di telaga Pook-yang? Mengapa kongcu tidak datang bersama kalian?”

Hu-hay Sin-kun menginginkan nyali ikan emas untuk melatih semacam kepandaian yang akan digunakan untuk menghadapi musuh tangguhnya.

Sudah tigapuluh tahun lamanya ia menyembunyikan diri di pulau Hay-sim, dengan maksud menghindarkan diri dari musuhnya. Itu pula sebabnya, mengapa ia menghendaki nyali ikan emas. Ia sudah cukup mempunyai pengetahuan, hanya nyali ikan emas ini yang dapat menambah kekuatan tenaganya dan dapat digunakan untuk melawan musuh tangguh itu.

Keempat pengiring Hay-sim Kongcu melompat ke tepi, segera membungkukkan badan, memberi hormat dan berbareng mereka berkata:

“Sebenarnya, ikan emas telah dapat dilukai oleh Kongcu. Sewaktu kita semua mengurung untuk menangkapnya, mendadak datang tuan kecil ini yang menotok Hiat-to......” Sembari berkata demikian, tangannya menunjuk ke arah Koo San Djie, tetapi tidak berkata apa-apa.

Terdengar pula keempat pengiring Hay-sim Kongcu melanjutkan penuturannya:

“Kemudian Kongcu berkenalan, dan mengikat tali persahabatan...... Pada hari berikutnya, tuan kecil ini menyatakan maksudnya hendak pergi ke Lembah Merpati dan Kongcu pun telah mengikutinya, tanpa tidak menunggang kuda, menyuruh kami balik terlebih dahulu. Entah bagaimana, sekarang Kongcu tidak kembali bersama tuan kecil ini......”

Mukanya Hu-hay Sin-kun menjadi biru, tertawa dingin ia berkata kepada Koo San Djie:

“Katakan, sesudah itu, anakku pergi ke mana?”

Koo San Djie mempunyai adat keras, sebenarnya dia sudah menjadi marah, melihat sikap Hu-hay Sin-kun yang memperlakukan galak terhadap dirinya, tetapi memikir persahabatannya dengan Hay-sim Kongcu, terpaksa ia mengalah kepada Hu-hay Sin-kun, dia ayahnya Kongcu itu. Dengan membungkukkan badannya ia menjawab:

“Boanpwe dan anak Cianpwee berkenalan di pegunungan Hoay-giok di daerah perbatasan An-hui dan Cek-kiang pernah bersama-sama lawan dua orang dari Lembah Merpati. Tetapi anak cianpwee terkena serangan tangan boanpwee, dengan tidak disengaja, sehingga dua orang dari Lembah Merpati tadi dapat melarikan diri. Setelah anak cianpwe beristirahat di sana sebentar, dan boanpwe mengejar kedua orang tadi, kemudian tidak bertemu dengan dia lagi.”

Hu-hay Sin-kun tertawa dingin dan berkata:

“Orang pulau Hay-sim hendak mengambil nyali ikan emas, ada hubungan apa dengan kau? Sehingga kau berani turut campur tangan, menghalang-halanginya dan lagi pula bersama-sama melawan musuh? Siapa yang bisa percaya, kau kesalahan pukul memukul kawan sendiri?”

Setelah berkata demikian, selangkah demi selangkah Hu-hay Sin-kun mendekati Koo San Djie, kemudian dengan suara nyaring ia berkata pula:

“Di sini jangan kau harap dapat membohongi orang! Sebenarnya siapa yang menyuruh kau berbuat begitu? Lekas katakan terus terang padaku!”

Si Sastrawan Pan Pin segera memisahkan kedua orang itu dan berkata:

“Harap Sin-kun jangan salah paham. Urusan dapat menjadi terang perlahan-lahan.”

Tetapi Hu-hay Sin-kun dengan sikapnya dingin bertanya:

“Bagaimana hubunganmu dengan bocah ini? Kenal baru, atau kenal lama?”

“Biarpun belum lama berkenalan,” jawab Pan Pin. “Tetapi, dengan perguruannya aku mempunyai perhubungan yang sangat erat.”

Hu-hay Sin-kun mengibaskan lengan bajunya.

“Jikalau demikian, harap kau jangan turut campur tangan,” katanya.

Sampai di sini Koo San Djie sudah tidak dapat menahan hawa amarahnya. Dengan suara yang tidak kalah kerasnya ia berkata:

“Bagaimana kejadian yang sebenarnya, boleh menunggu sampai anakmu pulang, tentu akan menjadi jelas sendiri. Kau orang tua begini galak, hendak menakuti siapa?”

Hu-hay Sin-kun tertawa terbahak-bahak dan berkata:

“Anak yang bernyali besar!” Kemudian ia mengangkat tangannya, dengan perlahan tangannya itu didorong ke depan.

Dengan cepat si Sastrawan Pan Pin menyelak:

“Sin-kun, sabar......! Jangan......!” dan badannya pun sudah melesat ke muka, menghalang-halanginya, tapi Koo San Djie sudah maju menyambuti serangan lawan. Ia mencoba untuk menahan dengan kekerasan.

Dua kekuatan tangan beradu. Jenggot yang panjang dari Hu-hay Sin-kun tertiup ke belakang. Kedua pundaknyapun bergoyang, tetapi Koo San Djie masih tetap berdiri di tempatnya.

Dengan tidak merasa bulu tengkuk Hu-hay Sin-kun berdiri, warna mukanya berubah. Biarpun ia hanya menggunakan setengah kekuatan tangannya, tetapi sudah cukup menggetarkan sembarang orang dari dunia Kang-ouw. Siapa nyana, anak kecil yang berada di hadapannya ini, dengan enak saja dapat menahan serangannya, bahkan ia merasa dirugikan. Bukankah merupakan suatu kejanggalan?

Dengan tidak memperdulikan si Sastrawan Pan Pin, ia berkata lagi:

“Sastrawan miskin, kau minggir dulu.”

Kedua tangannya dengan cepat sudah melancarkan serangan saling susul, tiga kali ke arah Koo San Djie.

Koo San Djie ingin mencoba, sampai di mana kekuatan Wie-mo-ciang dari pulau Hay-sim yang sudah terkenal di kalangan sungai telaga.

Iapun telah menggunakan pukulan Hian-oey-ciang, menahan tiga serangan beruntun dari si orang tua.

Tiga serangan yang cepat dan hebat ini telah berhasil memaksa Hu-hay Sin-kun menahan serangannya.

Biarpun mereka dengan cepat telah bergebrak dalam tiga jurus, tetapi masing-masing masih tetap berdiri di tempat semula, tanpa bergerak sama sekali.

Hu-hay Sin-kun sudah siap akan menyerang lagi, tetapi sudah keburu ditahan oleh badan Pan Pin.

Dengan menunjukkan roman yang marah Pan Pin berkata:

“Hu-hay Sin-kun, apakah ini caranya penghuni pulau Hay-sim menerima tamu?”

Hu-hay Sin-kun menarik kembali serangan dengan menghela napas panjang ia berkata:

“Bukannya aku tidak kenal aturan. Hanya kawan kecil ini sungguh sangat mencurigakan hatiku. Bukan saja pukulannya sama dengan musuh lamaku......”

Si Sastrawan Pan Pin sudah tertawa berkakakan dan berkata:

“Pukulan Hian-oey-ciang dari si orang tua Berbaju Ungu dan Wie-mo-ciang dari kau, pemilik pulau Hay-sim disebut dua pukulan yang tertinggi dari dunia Kang-ouw. Sudah tentu tidak sembarangan orang dapat menirunya. Pukulan Hian-oey-ciang yang dipelajari oleh kawan kecilku ini adalah suatu bukti dari cianpwe Berbaju Ungu yang memberi pelajarannya. Apa kau masih belum mengenalnya?”

Hu-hay Sin-kun menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sukar dikatakan, sukar dikatakan. Mari kita masuk ke dalam untuk memperbincangkannya,” ia mengajak tetamunya.

Adat dari Hu-hay Sin-kun memang sudah terkenal aneh. Begitu ia berkata, hantam, ia sudah lantas turun tangan. Begitu ia berkata berhenti juga sudah lantas berhenti. Kelakuannya dapat berubah sewaktu-waktu.”

Dengan sangat hormat, ia mempersilahkan kedua tamunya ini masuk ke dalam sebuah ruangan besar.

Baru ini kali Pan Pin dan Koo San Djie mendapat kesempatan untuk menyaksikan pemandangan dari pulau Hay-sim yang indah permai, juga sangat menawan hati.

Biarpun pulau ini terletak di tengah laut, tetapi setelah diubah oleh Hu-hay Sin-kun, sudah dapat dibuat menjadi suatu istana di tengah laut saja kelihatannya. Loteng yang bersusun juga menambah keindahan tempat itu. Di mana-mana ditanami bermacam-macam pohon bunga beraneka warna yang jarang terlihat, membuat siapa yang datang seperti memasuki pulau kahayangan saja.

Setelah beberapa orang tadi duduk di tempatnya masing-masing. baru Hu-hay Sin-kun menanyakan akan maksud kedatangannya dari si Sastrawan Pan Pin.

Terdengar Pan Pin berkata:

“Sebenarnya, kami datang kemari bermaksud untuk menanyakan kepada Sin-kun, tentang keadaan yang menyangkut dengan Lembah Merpati.”

Koo San Djie pun menceritakan, bagaimana ia perkenalannya dengan Hay-sim Kongcu, bagaimana bersama-sama melawan orang dari Lembah Merpati, bagaimana ia salah tangan, melukainya dan kemudian berpisah sampai di situ.

Setelah selesai menceritakan ini semua, tidak lupa ia menceritakan, bagaimana nasib yang telah menimpa keluarga si kakek nelayan dengan berakhir terculiknya Ong Hoe Tjoe yang dicintai.
 
Bimabet
04.02 Kekhawatiran Hu-hay Sin-kun



Mendadak Hu-hay Sin-kun seperti mendapat pirasat yang tidak enak, sambil lompat dari tempatnya ia berkata:

“Jika demikian, kini anakku tentu sedang ada dalam bahaya!”

Dengan segera ia memanggil dua orangnya, lalu mengisiki beberapa perkataan.

Dua orang tadi setelah manggut-manggut, menandakan telah mengerti, lalu pergi meninggalkan ruangan.

Setelah Hu-hay Sin-kun menyelesaikan ini semua, baru ia berpaling kepada si Sastrawan Pan Pin dan berkata:

“Anakku yang nakal itu, biarpun tidak mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tapi di kalangan Kang-ouw sudah jarang ada orang yang dapat mengalahkannya. Tadi mendengar penuturan dari kawan kecilmu yang mengatakan bahwa ia telah salah melukainya, hatiku menjadi curiga, maka aku telah mencobanya, tidak disangka, dengan umurnya yang masih demikian muda, dia telah mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.......”

Setelah berhenti sebentar, terdengar ia meneruskan pembicaraannya:

“Jika bukan saudara yang mengatakannya, ia telah menjadi ahli waris dari Cianpwe Berbaju Ungu, sudah tentu menyangka kepada orang dari Lembah Merpati......”

Berkata sampai di sini, ia telah menghela napas panjang.

“Aku bersusah payah berusaha untuk mendapatkan nyali ikan mas dan usaha dari anakku dengan orang Lembah Merpati juga mempunyai maksud yang tertentu......” orang tua itu berkata pula.

Lalu dengan menahan perasaannya ia menceritakan pengalaman sedih yang telah menimpa dirinya.

Demikian ceritanya:

Setelah ia menyelesaikan pelajarannya dan turun dari gunung es, dengan mengandalkan kepandaian yang telah ia dapatkan dari gurunya, tenaga Siauw-sin-san dan pukulan Wie-mo-ciang, ia berkelana di kalangan Kang-ouw. Dalam duapuluh tahun, belum pernah ia mendapat tandingan. Dan ilmu pukulan Wie-mo-ciang pun telah menjadi terkenal karenanya.

Tidak disangka, di daerah Kang-lam, ia telah menemukan seorang pemuda sekolah yang berparas cakap, berpakaian rapi yang mendapat julukan Phoa An Berhati Ular, yang mengatakan, ingin mencoba ilmu pukulan Wie-mo-ciang yang tersohor.

Demikianlah mereka berjanji, di suatu tempat pekuburan yang sepi untuk mengadu kekuatan. Setelah mengadu dua hari dua malam, berakhir dengan keadaan seri. Dan pukulan yang digunakan oleh si pemuda sekolahan ialah pukulan Hian-oey-ciang yang bersifat keras.

Pada hari ketiga, dua orang itu telah menjadi panas, hampir saja mau mengadu jiwa, dengan tenaga dalam untuk menentukan siapa yang menjadi juara. Pada waktu inilah mendadak datang seorang wanita berparas cantik yang memisahkan mereka berdua.

Yang heran setelah mendengar perkataannya wanita cantik itu, dengan tidak menanya dan memberi tahu nama lagi, Si Phoa An berhati Ular menjura dan ngeloyor meninggalkan mereka.

Seperginya pemuda sekolah berparas cakap itu, wanita cantik yang mengaku bernama Sui Yun Nio sudah menjadi demikian jinaknya, dengan Hu-hay Sin-kun berdua mengobrol ke barat dan ke timur.

Sejak jaman dahulu, orang-orang ternama selalu jatuh karena wanita. Demikian juga dengan Hu-hay Sin-kun, biarpun telah mempunyai istri, tidak urung masih jatuh juga dibawah kakinya Sui Yun Nio. Demikianlah, Sui Yun Nio telah dibawa masuk ke dalam pulau Hay-sim.

Sui Yun Nio bukan saja berparas cantik, juga pandai dan bisa mengambil hatinya Hu-hay Sin-kun. Karena Hu-hay Sin-kun sering pergi berjalan-jalan di dalam dunia Kang-ouw, demikian pula ibu dari Hay-sim Kongcu, Sie Toa Nio, tidak mau memperdulikan segala urusan di pulaunya, maka urusan-urusan besar dan kecil di atas pulau, lama kelamaan telah terjatuh ke dalam tangan Sui Yun Nio.

Hu-hay Sin-kun sedang tergila-gila kepada Sui Yun Nio, biarpun telah mengetahui semua kejadian ini, masih dianggap beruntung karena telah mendapatkan seorang pembantu yang pandai.

Hu-hay Sin-kun bukan saja mempasrahkan semua urusan-urusan di atas pulau ke dalam tangannya, sampai pun ilmu simpanannya, pukulan Wie-mo-ciang juga telah diturunkan kepadanya.

Sedari inilah, sifatnya Sui Yun Nio telah menjadi congkak dan sombong. Tidak lama kemudian, beberapa muridnya pun telah dibawa masuk ke dalam pulau untuk membantunya mengurus segala urusan-urusan.

Orang kepercayaannya Hu-hay Sin-kun satu persatu disingkirkannya. Pada waktu Hu-hay Sin-kun sedang berpergian keluar, Lok-sui Cian-liong sedang membangun daerah di sebelah barat pulau.

Beberapa orang di atas pulau sudah merasa urusan akan menjadi kalut, maka telah beberapa kali memberi kisikan kepada Lok-sui Cian-liong yang sedang repot membangun. Tapi Sui Yun Nio dapat bekerja dengan sebat sebelum Lok-sui Cian-liong dapat berbuat apa-apa, Sui Yun Nio beserta begundalnya sudah mendahuluinya turun tangan. Hanya dalam waktu semalam, orang-orang kepercayaan dari Hu-hay Sin-kun telah habis terbunuh semua, begitu juga dengan sang istri, Sie Toa Nio.

Pada waktu itu, Hay-sim kongcu baru berumur tiga tahun dan beruntung dapat dibawa lari ke daerah sebelah barat pulau.

Di waktu Lok-sui Cian-liong mengetahui, adanya pemberontakan, ia segera datang untak menolongi, tetapi Sui Yun Nio beserta kawan-kawannya sudah lari, dengan menggondol segala barang-barang yang berharga dari pulau Hay-sim.

Setelah Hu-hay Sin-kun mengalami perobahan besar ini, keadaannya sudah menjadi berobah. Ia berusaha akan membunuh Sui Yun Nio, demi membalaskan dendam dari Sie Toa Nio. Tapi dalam tigapuluh tahun ini ia tidak pernah mendapat kabar tentang jejaknya wanita yang berhati jahat itu.

Kepandaian simpanan dari pulau Hay-sim, ilmu pukulan Wie-mo-ciang tidak luput juga telah terjatuh ke dalam tangannya Sui Yun Nio.

Salah satu kepandaian yang tersohor dari Lembah Merpati, yaitu ilmu pukulan im-yang-ho-hap-ciang adalah pukulan Wie-mo-ciang yang digabung menjadi satu dengan pukulan Hian-oey-ciang. Dari bukti inilah, Hu-hay Sin-kun dapat memastikan, yang menduduki Lembah Merpati tentu tidak lain adalah Sui Yun Nio.

Karena letak tempatnya dari Lembah Merpati masih dalam keadaan gelap, dan umpama betul ia dapat menemukan lembah ini, dengan kepandaiannya yang hanya dimilikinya sekarang belum tentu dapat mengambil suatu tindakan.

Ketua dari Lembah Merpati, tidak perduli laki atau wanita, yang sudah pasti ia berkepandaiannya telah mendapat sari dari dua ilmu silat ternama.

Dengan kepandaian Hu-hay Sin-kun yang didapat dari gunung es, biarpun telah mencapai tarap yang tertinggi, masih tidak dapat untuk menandinginya. Cara satu-satunya ialah dengan menambah tenaga dalamnya. Maka ia telah berdaya untuk mendapatkan nyali ikan mas dari danau Pook-yang. Kini bayangan dari nyali ikan mas telah menjadi buyar maka habislah keinginannya untuk dapat membalas dendam.

Setelah selesai Hu-hay Sin-kun menceritakan semua kisahnya, tidak henti-hentinya ia menghela napas panjang.

Tapi, mendadak Koo San Djie berteriak dengan nada kaget:

“Kepandaian Hian-oey-ciang dari guruku, kecuali aku yang telah mempelajari, hanya diturunkan kepada Lam Keng Liu seorang. Apa bisa jadi ia berada di Lembah Merpati?”

Hu-hay Sin-kun berkata:

“Dengan kepandaian yang telah kau miliki sekarang ini, biarpun sukar untuk mencari tandingannya dari kalangan Kang-ouw, tapi untuk menandingi Im-yang-ho-hap-ciang yang telah mendapat sari dari dua ilmu silat ternama, kukira masih menjadi suatu pertanyaan. Urusan ini harus dirundingkan dahulu dengan perlahan-lahan.”

Biarpun mulut Koo San Djie tidak mengatakan apa-apa, tapi dalam hatinya berkata:

“Kau mana tahu? bahwa aku tidak dapat menandinginya? Masih banyak pelajaran dari kitab Im-hoe-keng yang belum aku keluarkan.”

Hu-hay Sin-kun dan sastrawan Pan Pin mengetahui, apa yang dipikirkan oleh Koo San Djie.

Pan Pin tertawa dan berkata:

“Saudara kecil, aku mengetahui, kepandaianmu tidak dapat diukur, yang kami lihat baru sebagian saja. Tapi, dalam peribahasa mengatakan „Bersatu teguh, bercerai runtuh”. Jika dengan kau sendiri saja, memasuki Lembah Merpati yang masih belum jelas......”

Dengan menghela napas Koo San Djie menjawab:

“Aku mengetahui kebaikan hatimu orang tua. Tapi menolong orang, bagaikan memadamkan api yang tidak dapat ditunggu-tunggu.”

Bertiga mereka menjadi terdiam di tempat masing-masing.

Setelah sekian lama, baru Hu-hay Sin-kun berkata:

“Dari penyelidikanku dalam beberapa tahun, Lembah Merpati mungkin terletak di daerah......”

Baru berkata sampai di sini, mendadak orang kepercayaannya datang memasuki ruangan dan berbisik-bisik di kupingnya.

Hu-hay Sin-kun mengibaskan tangannya dan berkata:

“Silahkan mereka masuk.”

Seperginya orang tadi, Hu-hay Sin-kun sudah akan melanjutkan perkataannya yang belum habis itu, tetapi tiba-tiba masuk pula seorang, dengan menunjukan rasa ketakutannya, sudah lari menghampiri sang majikan. Dengan napas yang masih sengal-sengal, ia telah memberi laporan.

Mukanya Hu-hay Sin-kun sudah menjadi berobah, ia segera berdiri dan berkata kepada Lok-sui Cian-liong:

“Anak Lui dalam keadaan bahaya, harap kau dapat segera melepas burung memberitahukan kepada beberapa daerah.”

Lok-sui Cian-liong tidak menunggu sampai habisnya perkataan ini, badannya sudah terbang keluar, untuk menjalankan tugasnya.

Hu-hay Sin-kun hanya mempunyai seorang anak, itulah Hay-sim Kongcu, tidak heran kalau mendengar kabar yang mengatakan anaknya dalam keadaan bahaya, bukan main rasa kuatirnya. Kedua tangannya diremas-remas, mundar-mandir beberapa kali di dalam ruangan tadi. Mendadak ia berhenti di hadapan si Sastrawan Pan Pin dan berkata:

“Telah beberapa puluh tahun aku menyepi di pulau Hay-sim yang sepi ini, tidak pernah aku menanam bibit permusuhan. Tidak disangka, masih ada orang yang berani mengganggu anakku. Tidak lain, kecuali perbuatan orang Lembah Merpati, siapa yang berani mencari urusan dengan aku?”

“Entah di mana dia mendapat bahaya?” Sastrawan Pan Pin berkata.

“Orang bawahanku mengatakan,” jawab Hu-hay Sin-kun, “di daerah pegunungan perbatasan An-hui dan Cek-kiang, telah dua kali mereka menemukan tanda bahaya dari anakku. Arahnya ialah Barat daya, dan setelah sampai di daerah Hu-lam hilanglah jejak-jejak ini. Menurut pendapatku, tentu perbuatan dari orang Lembah Merpati. Dalam beberapa tahun, penyelidikanku pun telah curiga, bahwa letak dari Lembah Merpati berada di daerah Barat daya.

Sedang bernapsunya ia berkata, dari luar terdengar suara teriakan yang dibarengi masuknya dua orang:

“Sin-kun tentu tidak menyangka akan kedatangannya aku, tamu yang tidak diundang ini......? Ouw, si Sastrawan miskinpun berada di sini......?”

Yang datang ialah Thian-mo Lo-lo dan Tju Thing Thing.

Dengan cepat Hu-hay Sin-kun memberi hormat dan menyilahkan mereka duduk.

“Lo-lo telah mencapaikan diri datang kemari, tentu akan memberi suatu petunjuk yang berharga,” ia berkata.

Matanya Thian-mo Lo-lo dengan galak menyapu Koo San Djie sebentar, sampai ia lupa mendengar pertanyaannya Hu-hay Sin-kun.

Dalam hatinya Sastrawan Pan Pin tertawa dan berkata:

“Tentu dia masih mencurigai hubungannya Koo San Djie dengan Lam Keng Liu.”

Maka, ia telah berdiri untuk mengenalkan saudara kecilnya ini dengan Thian-mo Lo-lo dan Tju Thing Thing. Terdengar ia berkata:

“Saudara kecil ini adalah murid terakhir dari cianpwee Berbaju Ungu bernama Koo San Djie. Ia telah dapat mewariskan semua kepandaian dari......”

Thian-mo Lo-lo hanya memanggutkan kepalanya sedikit, ia tidak mau melihat kepadanya. Hatinya sangat membenci Lam Keng Liu, sampai semua dari golongan ini turut dibencinya juga.

Tapi Tju Thing Thing bebas berdiri, dia memberi hormatnya, sambil tertawa ia berkata:

“Kami orang telah lama mengenalnya.”

Koo San Djie mempunyai adat yang sedikit sombong, ia tidak suka kepada Thian-mo Lo-lo yang tidak ada sebab-sebabnya telah membenci kepadanya. Perasaan tidak suka ini telah terlihat dalam tingkah lakunya. Dengan membuang muka ia telah balik ke tempat duduk dan tidak mengatakan suatu perkataan pula. Biar bagaimanapun ia masih seorang anak-anak yang tidak dapat menyembunyikan segala perasaannya.

Justru hal ini telah membuat si Sastrawan Pan Pin berdiri, entah bagaimana ia harus menyelesaikan urusan itu. Untuk menyembunyikan rasa kurang enak yang terbenam di dalam hati.

Hu-hay Sin-kun sedang menguatirkan keselamatan anaknya, mana dapat memperhatikan semua ini? Dia segera mengulangi pertanyaannya:

“Lo-lo bukannya bersenang-senang di tempat Thian-mo, dari jauh-jauh telah datang ke tempat yang sepi , entah mempunyai maksud apa?”

Thian-mo Lo-lo menjawab:

“Kepandaian simpanan dari pulau Hay-sim, ilmu pukulan wie-mo-ciang, kecuali Sin-kun seorang adakah telah diturunkan kepada orang lain?”

Hu-hay Sin-kun mengeluarkan elahan napas panjang, kemudian berkata:

“Tidak disangka, karena kebodohan pada suatu waktu, maka mengakibatkan jatuhnya nama perguruan. Yang Lo-lo artikan, apakah si budak hina dari Lembah Merpati?”

Kemudian di hadapan Thian-mo Lo-lo, dia ceritakan kembali riwayatnya yang tadi ia telah ceritakan. Pada akhir penuturannya, dengan penuh kebencian ia berkata:

“Sebetulnya, aku sedang berusaha, tapi tidak disangka, urusan datang terlalu cepat. Terpaksa aku harus melayani juga. Pada hari ini, aku akan terjun kembali ke kalangan Kang-ouw, untuk mencari anakku.”

Thian-mo Lo-lo setelah selesai mendengarkan penuturannya Hu-hay Sin-kun, hatinya menjadi sedemikian panas. Dengan membanting-bantingkan kaki, ia berkata:

“Sedari dulu aku sudah curiga, ketua dari Lembah Merpati mesti ada dua. Yang satu perempuan, yalah Sui Yun Nio dan yang satu lagi laki sudah tentu si...... bajingan.”

Thian-mo Lo-lo yang berangasan, selalu berkata dengan suara yang nyaring. Tapi sewaktu mengatakan “bajingan”, suara ini sudah menjadi sangat perlahan, entah kenapa?

Thian-mo Lo-lo sudah menaruh dendam kepada Sui Yun Nio. Biarpun ia sangat membenci kepada si “Phoa An berhati ular” Lam Keng Liu yang tidak berbudi, tapi sudah menjadi satu sifat wanita, yang selalu memenangkan kekasih, dan menumpahkan semua kemarahannya kepada sang satru. Tidak terkecuali juga dengan Thian-mo Lo-lo ini.

Sedari tadi, Sastrawan Pan Pin tidak ada kesempatan untuk berbicara, sampai di sini baru membuka mulut:

“Urusan telah menjadi demikian mendesak, kita orang harus segera bertindak, berpisah menguber jejak mereka. Yang pertama, harus mencari Hay-sim Kongcu, dan kemudian menolong Ong Hoe Tjoe. Setelah selesai ini, baru kita sama-sama memasuki Lembah Merpati untuk membikin perhitungan.”

Hu-hay Sin-kun ragu-ragu sebentar kemudian berkata juga:

“Menurut pendapatku, kita harus dipecah menjadi tiga rombongan. Aku beserta Lok-sui Cian-liong sutee satu rombongan, Lo-lo dan Sastrawan Miskin satu rombongan, dari kedua sisi maju ke depan dan menempatkan kedua kawan kecil kita di tengah rombongan, agar sewaktu-waktu dapat memberi pertolongan kepada mereka. Bagaimana pendapat kalian?”

Dia menempatkan Tju Thing Thing dan Koo San Djie pada rombongan ketiga.

Sastrawan Pan Pin sudah lantas menyetujui usul ini:

“Karena urusan sudah mendesak, mari segera berangkat!”

Biarpun Thian-mo Lo-lo tidak setuju, karena Tju Thing Thing ditaruh menjadi satu dengan Khoo San Djie, tapi orang bermaksud baik, dengan menempatkan mereka berdua di tengah agar sewaktu-waktu dapat memberi pertolongan yang dibutuhkan, maka dengan tidak mengatakan apa-apa lagi, ia menyetujuinya.

Demikianlah, mereka meninggalkan pulau menuju ke daerah Barat-daya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd