BAB 02.01 Bocah Angon Menjadi Nelayan
Di musim semi, di danau Pook-yang yang luas, disana-sini terlihat perahu nelayan yang selalu sibuk dengan muatannya.
Para nelayan yang mengandalkan penghidupannya dari danau ini sudah ramai-ramai memasang layarnya, menuju ke tengah sungai, memulai penghidupannya seperti biasa.
Kota Pook-yang yang terletak di pinggir danau, sedari dulu telah menjadi pusat jual beli hasil perikanan. Maka tidak heran, jika di sana sini terdapat banyak toko-toko dan rumah makan.
Di dekat pelabuhan, seorang nelayan she Ong yang telah berumur lebih dari enampuluh tahun telah melamun, dia memikirkan nasibnya, dia bersama istrinya telah lama tinggal di situ, hanya mempunyai seorang anak perempuan yang kini berumur enambelas tahun, suami istri ini memanggilnya Hoe Tjoe yang mempunyai arti kerang tua bermutiara.
Si nelayan tua sering menghela napas, jika memikirkan nasibnya, biarpun telah berumur tua, masih harus keluar menangkap ikan sendiri. Ong Hoe Tjoe biarpun sangat pintar dan berbakti, tapi bagaimanapun ia sebagai seorang anak perempuan, tidak bisa meneruskan usaha ayahnya menangkap ikan. Maka kedua orang tuanya hanya mengharap-harapkan agar mereka dapat memungut seorang mantu yang dapat diandalkan.
Hari ini, baru saja si kakek nelayan mau menurunkan perahunya untuk menangkap ikan, mendadak, matanya telah dapat melihat seorang pemuda yang berumur kurang lebih enambelas tahun sedang mendatangi. Pemuda ini berparas cakap, alisnya seperti pedang, badannya sehat dan dadanya lebar. Ia mengaku bernama Koo San Djie yang mengatakan bahwa ia tidak berhasil menemukan familinya dan bersedia membantu menangkap ikan, tentu saja sambil menumpang meneduh.
Empe Ong yang melihat pemuda itu, dari kasihan menjadi suka kepadanya dan memang dia sedang membutuhkan seorang pembantu, maka sudah lantas melulusi permintaannya dan mengajak ke tengah danau.
Si pemuda yang bertenaga besar dan menguasai perahu, dalam sebentar saja telah memperoleh ikan yang banyak.
Ini hari pendapatan si ne!ayan tua telah bertambah beberapa kali lipat dari hari biasanya, bukan main senangnya si kakek nelayan yang dapat pembantu demikian bagusnya. Setelah mereka berdua kembali, belum pula ia sampai di pintu rumah, si kakek nelayan berteriak-teriak girang:
Mamanya Hoe Tjoe, lihat aku telah mendapatkan seorang pembantu yang cakap
.. ha
... ha
Dengan sebelah tangan masih menenteng keranjang ikan. Koo San Djie mengikutinya memasuki ruangan rumah yang kecil terbuat dari atap, disusul oleh munculnya Ong Hoe Tjoe ibu dan anak.
Si nenek yang melihat Koo San Djie yang gagah dan cakap, tentu saja menjadi suka kepadanya. Dengan menarik lengan bajunya, ia berkata:
Kau datang dari mana? Seorang anak yang cakap
..! Masuklah ke dalam! Duduk dulu.
Terdengar pula si kakek menyelak:
Apa tidak bisa bicara nanti? Telah seharian penuh kita belum beristirahat sama sekali. Lekas suruh Hoe Tjoe masak dan jangan lupa membeli arak, kini aku akan meminumnya sampai puas. Ha....... ha....... ha
...
Si kakek sampai lupa segala apa, bukan main girangnya hari itu.
Ong Hoe Tjoe yang menyembunyikan diri di belakang baju ibunya telah mengintip gerak geriknya si pemuda yang baru datang ini, ia lebih memperhatikan dari pada kedua orang tuanya, mukanya yang cakap dadanya yang lebar, matanya yang terang dan
segala-galanya, tidak ada satu dari si pemuda yang tidak disukainya, ia telah memandangnya sedari tadi dengan mata tidak berkesip, ingatannya telah melayang-layang, jauh, sampai pun perkataan ayahnya, tidak terdengar sama sekali.
Waktu itu, Koo San Djie telah meletakkan keranjangnya, dengan menundukkan kepalanya mulai membuka gulungan kaki celana yang tadinya digulung ke atas.
Melihat kelakuan dari anak perempuannya di dalam hati sang kakek tertawa, dengan setengah mengusir ia berkata:
Lekas, pergi, mengapa kau belum pergi juga?
Sambil menunjuk ke arahnya Koo San Djie ia berkata pula:
Ia bernama Koo San Djie, untuk seterusnya ia akan membantu di rumah kita, ia ada lebih kecil dari padamu, untuk seterusnya kau harus sering-sering memperhatikan adikmu ini.
Mendengar perkataannya si kakek, Koo San Djie segera maju untuk memberi hormat kepada encinya yang baru ditemuinya ini.
Enci ada baik? sapanya.
Seumur hidup Ong Hoe Tjoe, baru ini ada orang yang memanggil ia enci, suara ini didengarnya sudah sangat merdu sekali. Tidak terasa, mukanya menjadi merah, tanpa menyahut, ia membalikkan badannya dan terus lari keluar untuk membeli arak.
Aku hanya mempunyai seorang anak perempuan nakal yang tidak mengerti aturan, harap kau dapat memaafkannya, kata si kakek nelayan sambil tertawa.
Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Koo San Djie belum pernah menghadapi keadaan yang seperti ini, entah bagaimana ia melayaninya, ia hanya tersenyum berdiri di tempat semula.
Si nenek setelah menuangkan teh dan mempersilahkan Koo San Djie duduk, lalu dia pun duduk di sebelahnya, sambil menanyakan ini dan itu.
Umpama anak laki-laki lain sepantaran Koo San Djie yang menghadap si nenek ini, tentu tidak suka dengan obrolan-obrolan si nenek yang sangat cerewet. Tapi, tidak demikian dengan Koo San Djie yang belum pernah marasakan cinta kasihnya seorang ibu, ia menjadi suka dengan si nenek tua yang dianggapnya sangat ramah tamah.
Malamnya mereka berempat bersantap bersama-sama dengan riangnya, terutama si kakek dan nenek nelayan yang memang kekurangan seorang anak laki-laki, kini mereka dengan tidak disangka-sangka telah mendapatkan seorang anak sebagai Koo San Djie yang cakap dan gagah, bagaimana tidak menjadi girang?
Mereka sudah memikirkan untuk memungutnya menjadi mantu. Ong Hoe Tjoe yang dibesarkan di tempat yang ramai sebagai kota Pook-yang, sudah dapat menebak maksud dari kedua orang tuanya, entah disengaja atau tidak, ia telah menjadi lebih memperhatikan dirinya Koo San Djie.
Hanya Koo San Djie yang belum mengetahui isi lubang udang dibalik batu, ia belum pernah merasakan keramaian rumah tangga, ia kemari hanya bermaksud untuk mencari sesuatu barang berharga yang hanya terdapat dalam cerita.
Pada hari keduanya, Koo San Djie telah meminta tolong kepada si kakek nelayan untuk mencarikannya sebuah perahu kecil yang laju.
Demikianlah, setiap hari ia membantu si nelayan tua menangkap ikan, pergi pagi pulang malam, mendayung perahu menangkap ikan. Dan mulai dari sini, di dalam rumahnya si nelayan pun telah bertambah ramai dengan datangnya sang penghuni baru, karena itu, penghasilannya pun kian hari kian bertambah.
Lama kelamaan, Koo San Djie telah menjadi penghuni yang tetap dari keluarga Ong ini, Ong Hoe Tjoe dengan teliti telah melayani segala kebutuhannya sehari-hari untuk adiknya yang baru didapatinya. Kedua orang tuanya merasa senang, melihat keadaan yang menjadikan mereka muda kembali.
Koo San Djie masih tolol, tidak merasa akan maksud dari kakak itu. Setelah mendapatkan perahu kecilnya, setiap malam ia pergi mengelilingi danau, satu atau dua putaran, baru dia kembali, dan sebagai biasa Ong Hoe Tjoe telah menantinya di depan pintu.
Dari kelakuan inilah Koo San Djie merasakan sesuatu yang belum pernah dirasai, kini bayangan Ong Hoe Tjoe tidak pernah lepas dari pandangannya.
Pernah juga Ong Hoe Tjoe bertanya, mengapa ia setiap malam mengendarai perahu kecilnya? Tapi Koo San Djie, menjawab dengan senyuman yang menarik dan tertawanya yang riang. Pernah juga dia menggeleng-gelengkan kepalanya, setelah inipun Ong Hoe Tjoe tidak pernah bertanya lagi.
Pada suatu hari, sepulangnya Koo San Djie dari menjual ikan, ta telah melihat sesuatu yang berbeda dari hari biasa.
Kota Pook-yang biarpun ramai, tapi bukan terletak di tempat jalan hidup, kecuali, pedagang-pedagang tukang jual beli, jarang sekali didatangi oleh pelancong-pelancong dari luar daerah, tapi kini mendadak sontak, dalam waktu seharian saja telah datang demikian banyak orang, di antaranya tidak sedikit orang-orang yang telah ternama dari golongan sungai telaga.
Maka, dengan terburu-buru ia telah kembali ke pelabuhan, dengan alasan sakit kepala, ia telah membiarkan si kakek berlayar sendiri. Dengan membawa sedikit uang, dia telah kembali pula ke dalam kota.
Ia telah memilih sebuah rumah makan yang terbesar di daerah itu, dibangun di pinggir telaga yang besar, langsung ia menuju ke atas loteng yang telah penuh sesak dengan segala macam orang.
Jika pada hari biasa, pelayan rumah makan mana mau melayani anak nelayan yang berpakaian rombeng ini? Tapi tidak demikian dengan hari ini, dari pelayan sampai pemilik rumah makan, semuanya menunjukan rasa yang sangat khawatir, karena tamu-tamunya yang datang pada hari ini, jika bukannya berbadan besar, tentu bermuka galak.
Koo San Djie kemari hanya bermaksud untuk menyelami keadaan dan kepandaian
dari orang-orang yang akan memperebutkan ikan mas besar dari danau Pook-yang.
Sebelumnya, belum pernah ia memasuki rumah makan, maka dengan lagak yang dibuat-buat seperti orang agung, ia mengeluarkan uang yang lantas diberikannya kepada pelayan.
Berikan aku arak yang bagus beserta makanannya, terdengar suaranya yang nyaring.
Baru sekali ini si pelayan mengalami seorang tamu memesan makanan dengan memberi uangnya terlebih dahulu, tapi biar bagaimanapun, ia harus menahan gelinya, sesudah mengambil uang, si pelayan segera lantas berlalu.
Kejadian ini telah membuat pemudi yang duduk dihadapan Koo San Djie tertarik, dia menahan gelinya, dengan menutup mulut dan tertawa, dia berkata:
Orang desa memang sangat kasihan, makan saja harus membayar uang dahulu.
Yang duduk semeja dengan si pemudi, seorang nenek yang berambut putih, sambil pelototkan matanya, segera membentak si pemudi itu, katanya:
Jangan kau mencari gara-gara!
Koo San Djie mendengar si pemudi mentertawakan padanya, dia mengangkat kepala, memperhatikan si pemudi dan si nenek di sebelahnya, tidak ada yang menarik perhatian, makanan pun sudah datang, maka, dia melahap makanannya, dengan tidak memperdulikan mereka pula.
Si nenek berambut putih itu adalah Thian-mo Lo-lo, kepandaian silatnya sangat tinggi, sifatnya keras dan berangasan, tidak sembarangan orang berani berurusan dengannya.
Si pemudi adalah murid kesayangan yang bernama Tju Thing Thing.
Sebelumnya, Thian-mo Lo-lo tidak memperhatikan Koo San Djie, setelah matanya kebentrok dengan sinar matanya si pemuda yang tajam, dia menjadi kaget. Hatinya memikir:
Dari aliran mana datangnya anak ini? Matanya yang tajam telah menandakan kepandaiannya yang susah diukur!
Tju Thing Thing yang nakal menjadi tertarik melihat Koo San Djie yang makan seperti orang kelaparan, sebentar saja makanan di meja telah bersih disapunya, setelah menaruh kedua sumpit yang kotor, lengan baju menyeka mulut yang penuh minyak.
Koo San Djie yang melihat Tju Thing Thing memperhatikan gerak gerik dirinya, tentu saja menjadi kikuk. Meskipun dia bebas pergi, karena belum mendapatkan sesuatu hasil, apa begini saja dia harus meninggalkan tempat ini?
Dalam keadaan bingung, mendadak terdengar suara ejekan yang tidak enak untuk telinga.
Tidak perlu kita pergi ke panggung sandiwara, disini pun kita dapat menonton Pemudi Menemui Anak Nelayan. Ha, ha, ha
...
Berbareng terdengar tepuk tangan yang riuh dari kawan-kawannya.
Tidak nyana, suara jengekan ini telah menimbulkan amarah si Kurus Oey Liong dan si Sastrawan Pan Pin, mereka adalah dua orang tamu dari rumah makan itu juga.
Yang mengeluarkan perkataan tadi adalah salah satu di antara kedua iblis dari Yu-san, si Iblis Pipi Licin.
Yang bersorak bernama Iblis Penyabut Roh, kawan dari Iblis Pipi Licin.
Si Iblis Pipi Licin dan si Iblis Penyabut Roh berdua tidak kenal kepada Thian-mo Lo-lo. Tokoh silat tua tersebut duduk di hadapan mereka, jika saja tahu bahwa nenek berambut putih ini adalah Thian-mo Lo-lo yang tidak mudah dihadapi, tidak nanti mereka berani mencari setori disini.
Dengan tidak disengaja, kedua iblis dari Yun-san telah menerbitkan onar yang mereka cari sendiri.
Thian-mo Lo-lo membalikkan mukanya, semua orang disapunya dengan matanya yang tajam, ia membentak dengan suara yang geram:
Siapa yang berani kurang ajar dihadapanku?
Perlahan-lahan Si Iblis Pipi Licin berdiri dari duduknya, dengan suara yang dibikin-bikin ia berkata:
Kau seorang nenek, jangan suka galak-galak, memangnya kau bisa menelan orang?
Thian-mo Lo-lo tertawa dingin, seperti seekor burung alap-alap yang akan menerkam mangsanya, ia melesat ke arah Iblis Pipi Licin.
Biarpun orangnya masih di udara, tapi angin telapak tangan Kim-kong dari Thian-mo Lo-lo yang dibanggakan sudah menderu-deru, datang menyerang
Mendadak telah menyelak seorang Tojin yang bermuka kurus seperti mayat, dengan lengan bajunya yang lebar ia mengibaskan ke arahnya Thian-mo Lo-lo.
Apa kau orang ingin mempertontonkan kepandaian di atas loteng ini? Terdengar suaranya membentak keras.
Thian-mo Lo-lo sedang menyerang si Iblis Pipi Licin, karena datangnya angin dingin dari lengan bajunya si Tojin kurus, serangan tadinya batal.
Baru kini dilihatnya dengan jelas, orang yang menyelak adalah si Tojin kurus Min Min Djie yang dalam kalangan sungai telaga terkenal dengan Telapak Dingin Tulang Putihnya.
Di sanapun terdengar suaranya si Sastrawan Pan Pin yang berkakakan:
Yang berada disini terdiri dari tokoh-tokoh silat lihay, apa tidak baik menyimpan tenaga untuk besok?
Thian-mo Lo-lo tidak dapat menahan hawa amarahnya, dia tidak memperdulikan segala perkataan, dengan telunjuknya, ia menuju ke arah Iblis Pipi Licin:
Apa kau berani ikut untuk bertanding?
Dengan mengajak Tju Thing Thing ia sudah mendahului lompat keluar dari jendela.
Tju Thing Ting menengok ke arahnya Koo San Djie yang masih bengong terlongong-longong, kemudian iapun menuruti jejak gurunya, melesat keluar.
Berbarengan kedua iblis dari Yun-san pun meninggalkan tempat duduknya.
Si Iblis Pencabut Roh yang sudah menjadi benci kepada Koo San Djie, sewaktu lewat dia menepok bahu si pemuda.
Semua orang di atas loteng tidak ada satu yang tidak mempunyai kepandaian, semuanya tahu, tepokan ini yalah tepokan yang terkenal dari si iblis yang bernama Tepokan Peminta Nyawa, dengan tidak terasa, mereka telah mengeluarkan keringat dingin untuk keselamatan Koo San Djie.
Si Kurus Oey Liong lantas berseru:
Jangan menurunkan tangan jahat!
Tidak menunggu sampai habis ucapan itu, tubuhnya sudah melayang terbang, menahan serangan dari si Iblis Penyabut Roh yang kejam.
Tapi, semua telah terlambat, angin telah sampai di sekitar kepala Koo San Djie.
Sedari tadi, Koo San Djie hanya menonton segala kejadian-kejadian yang berlangsung di atas loteng, mana ia dapat menyangka ada orang yang datang menyerangnya?
Bersama dengan terasa angin dingin, kepalanya menjadi pusing, kupingnya mendengar seperti ada orang menjerit. Maka dengan segera ia mengeluarkan tenaga Bu-kiat-sian-kang, dengan sekali tarikan napas kepalanya telah mengeluarkan asap, menahan datangnya hawa jahat. Sebentar saja, seluruh loteng telah bersembur bau amis hawa jahat yang di dalam pun telah dapat dibikin bersih oleh Bu-kiat-sian-kang nya yang lihay.
Dengan tidak bergerak satu tapakpun, Koo San Djie telah memunahkan serangan pembokongan yang jahat. Hanya si Kurus Oey Liong yang melihatnya telah menjadi kemekmek keheranan.
Sampai disini, Koo San Djie sudah dapat meraba-raba, sampai dimana kepandaiannya orang-orang yang datang itu. Biarpun mereka sudah mempunyai nama yang terkenal, tapi dalam pandangannya Koo San Djie, tidak satupun yang dapat menandinginya. Jika tidak ada orang pandai yang datang lagi, ia sendiri sudah cukup untuk menandingi semua orang yang telah datang ini.
Ia akan menggunakan Bu-kiat-sian-kang untuk menguasai ikan mas, dan dengan Pit Badak Dewa, ia akan membuka batok kepalanya, sesudah mendapatkan nyali ikan, tidak nanti ada yang dapat merebutnya pula. Memikir sampai disini diingatnya pula esok adalah harian Ceng-beng, maka ia segera meninggalkan loteng, pulang kerumah Ong Hoe Tjoe.
Karena terburu-buru, dengan tidak disengaja, ia telah menggunakan ilmu Awan dan Asap Lewat di Mata.
Semua orang yang masih ada di atas loteng, hanya melihat gumpalan asap, dan kemudian lenyaplah si anak nelayan yang lihay, tidak satu yang tidak menjadi kaget karenanya.
Koo San Djie tidak menyangka, karena kepandaiannya inilah yang telah menyebabkan terbunuhnya keluarga si kakek nelayan.
Setelah keluar dari rumah makan, Koo San Djie sudah lantas lari pulang ke rumah.
Sampai di rumah, si kakek nelayan belum pulang, si nenek sedang menambal jala, dan Ong Hoe Tjoe tengah bersandar di pintu, menunggunya.
Melihat ia kembali, Ong Hoe Tjoe sudah lari menghampirinya, sambil tertawa-tawa si gadis berkata:
Kemana saja kau setengah harian ini? Sudah lama aku menunggu makan.
Perlahan-lahan Koo San Djie memegang tangannya Ong Hoe Tjoe yang masih mencoba untuk berontak, tapi lama kelamaan iapun menyerah, untuk dipegang dalam genggaman Koo San Djie. Dengan bergandengan tangan, mereka masuk ke dalam rumah.
Ong Hoe Tjoe segera mengeluarkan makanan yang telah lama disediakan.
Koo San Djie berkata:
Aku sudah makan.
Ong Hoe Tjoe cemberut dan berkata:
Biarpun sudah makan, harus makan sedikit, aku belum makan sama sekali.
Dengan terpaksa Koo San Djie menemaninya makan bersama.
Ong Hoe Tjoe berkata dengan pandangan yang penuh arti:
Aku tahu......, kau bukan anak sembarangan, tidak lama lagi, tentu kau pergi dari tempat ini......
Dengan heran Koo San Djie bertanya:
Mengapa kau mengetahui?
Dengan menundukkan kepalanya, perlahan-lahan Ong Hoe Tjoe berkata:
Aku sudah tahu......, dan akupun mengerti, untuk seterusnya kaupun tidak menyukai aku pula......
Koo San Djie menjadi sibuk, katanya cepat:
Aku sangat berterima kasih pada kalian yang sangat sayang kepadaku, siapa yang mengatakan aku tidak suka?
Ong Hoe Tjoe berkata:
Mengapa kau tidak berterus terang kepadaku?
Koo San Djie memandang Ong Hoe Tjoe yang kini ada dalam keadaan sedih. Memang jika besok malam ia berhasil dapat merebut nyali ikan, ia harus pulang ke tempat gurunya. Tapi, hingga kini, keluarga Ong Hoe Tjoe masih belum mengetahuinya.
Biarpun ia tinggal di rumah mereka belum berapa lama, tapi masa yang pendek inilah yang mengesankan, masa yang terindah dalam hidupnya.
Si kakek nelayan suami istri memperlakukannya sebagai anak, selalu memperhatikan segala kebutuhannya, selalu terbayang didepan matanya. Dalam keluarga ini, semua orang hanya mengharapkan kepadanya.
Umpama betul, ia dapat meninggalkan mereka, entah bagaimana perasaan sedih mereka ini?
Bermacam-macam pikiran telah mengaduk di dalam benak Koo San Djie, sehingga ia telah lupa untuk menjawab pertanyaan Ong Hoe Tjoe .
Melihat Koo San Djie tidak menjawab pertanyaannya, Ong Hoe Tjoe sudah lantas melanjutkan perkataannya:
Beberapa hari ini aku selalu tidak enak, seperti setengah mengimpi, aku telah mengimpikan kau pergi meninggalkan rumah ini...... Akupun telah ditangkap, dibawa ke suatu tempat yang sangat menakutkan...... Aku merasa sangat takut...... Aku merasa sampai sangat takut sekali bahwa aku tidak dapat bertemu denganmu pula.
Terdengar suaranya Koo San Djie yang memberi hiburan:
Kau jangan coba memikir hal yang tidak karuan. Mungkin aku meninggalkan tempat ini, tapi aku akan datang pula untuk melihatmu.
Semula, Ong Hoe Tjoe hanya sembarangan berkata saja, tidak tahunya kalau Koo San Djie betul-betul akan meninggalkannya. Ia sudah tidak dapat membendung air matanya yang meluap mengalir. Kedua tangannya gemetar, badannya sudah terjatuh ke dalam rangkulannya Koo San Djie, dengan suara sesenggukan ia berkata:
Apa betul kau hendak pergi......?
Dengan lesu Koo San Djie membenarkan perkataannya, menjadi bimbang, entah harus...... harus bagaimana, ia menghadapi keadaan yang seperti hatinya pun berat untuk meninggalkannya.