Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
Suhu males update gegara jarang ada yang komen mungkin..
Padahal ceritanya bagus banget bikin penasaran..
 
BAGIAN 13


Aku membuka mata. Terdengar suara orang-orang yang berlalu lalang di depan kamarku. Mungkin penduduk sini sedang melakukan aktivitas berdagang atau berburu. Duh, sekarang sudah jam berapa ya? Oh iya, HPku dipinjam Toni. Aku baru ingat kalau HPku dipinjam Toni dan Arya untuk memotret dan merekam aksi mesum terhadap Ria. Aku samperin saja mereka.

Aku bangkit dari tempat tidurku, lalu berjalan menuju pintu. Sepasang tanganku memegang pintu batu, lalu aku gelindingkan ke samping kanan.

Waaaah, Indah sekali pemandangan dipagi hari! Beberapa orang-orang, baik pria maupun wanita berjalan melintas di depanku sambil tersenyum ramah. Aku balas dengan senyum. Mereka berbincang-bincang yang bahasanya tidak kumengerti. Sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah, aku menutup pintu. Walaupun di desa ini sangat jarang terjadi pencurian, tapi aku tetap khawatir. Ya aku tutup saja deh.

Aku berjalan menuju ke arah Barat. Melewati jalan yang beralaskan batuan persegi empat dari batu yang tertata rapi. Seperti paving di jalan komplek perumahan. Walaupun bentuknya tidak sebagus paving, tapi bentuk dan penataannya rapi banget. Aku tidak tahu bagaimana mereka membuatnya. Kalau dipikir-pikir, batu besar piramida saja bisa dibentuk limas persegi empat, tentu batu yang tidak sebesar piramida yang dibuat alas jalan ini tidaklah sulit.

Orang berlalu-lalang berpapasan denganku. Mereka ramah. Ada anak laki-laki berumur 5 tahun sedang disuapi oleh seorang wanita. Mungkin itu ibunya. Ibu tersebut menyuapi sayur berkuah dengan potongan jagung yang bermangkukkan tempurung kelapa. Si anak lahap sekali memakannya. Sang ibu yang duduk di sebuah batu menyuapi secara perlahan-lahan dengan tangannya. Setelah ibu menyuapi makanan, anak tersebut lari. Secara tidak sengaja, ia lari dan menabrakku. Aku lantas memegangi agar tidak jatuh ke belakang. Tidak terlalu keras sih, tapi bagi anak seumuran dia mungkin terasa sakit.

“Hati-hati ya, Dek,” Ujarku kemudian duduk.

“Mana yang sakit?” lanjutku.

Ibu tersebut kemudian menghampiriku, lalu berbicara sesuatu. Haha, aku tidak tahu bahasanya. Tapi sepertinya ia mengucapkan terima kasih. Anak tersebut dituntun oleh ibunya untuk menepi.

Jalanan ini yang terlihat hanyalah manusia, tidak ada kendaraan seperti di kota. Kalau di tempatku, jangan sampai anak kecil seumuran dia main di pinggir jalan. Bisa bahaya. Beruntung di sini hanyalah manusia saja. Terkadang aku melihat penggembala yang menuntun hewan. Ada kambing, babi, bebek, dan juga ayam. Anak yang tadi menabrakku tampak ceria melihat hewan-hewan itu. Aku pun melanjutkan langkah kakiku.

Beberapa puluh meter berlalu. Jalan yang kulalui berada di samping irigasi yang dinding-dindingnya tertata batu. Airnya jernih. Di depan ada jembata. Aku belok ke kananm lalu belok lagi ke kiri menyusuri irigasi. Rumah penduduk di samping kanan ada yang pintunya terbuka, ada pula yang menutup. Aku melihat seorang pemuda yang duduk di depan rumah dan berpakaian sederhana, hanya mengenakan selembar kain yang menutup pusar sampai lutut. Ia sedang meraut bambu dengan pisau berwarna hitam. Mungkinkah itu batu obsidian yang pernah dikatakan Toni ya? Pemuda itu serius. Tapi setelah mengetahui aku lewat di depannya, ia menatapku dan tersenyum sambil berbicara bahasa dia. Coba ada Toni, aku jadi ngerti apa yang dia omongin. Hihihi.

Jalan ini sedikit berbelok ke arah kiri. Lalu di depanku ada pertigaan yang jaraknya sekitar belasan meter. Itu adalah jalan menuju ke tempat Toni, Arya, dan Ria. Mudah-mudahan saja Ria sudah bangun. Kalau tidak, pasti mereka berdua bersama dua teman Toni sedang menyetubuhi Ria.

Tidak berselang lama, aku sudah ada di pertigaan jalan. Aku belok ke kiri. Jalan ini sedikit lebih naik dengan susunan batu yang lebar seperti anak tangga yang terdiri dari balok pipih setinggi 12 centimeteran. Aku mengikuti jalan ini yang sedikit berbelok ke arah kiri. Seingatku rumah tempat tinggal Toni dan Arya menghadap ke arah Timur.

Langkah kakiku menyusuri jalan dengan pagar batu di sisi kiri. Entah sudah berapa meter aku berjalan, dari sini aku sudah bisa melihat rumah penduduk dan masyarakatnya yang ada di sebelah kiriku. Kepalaku mendongak sedikit ke atas. Kurang beberapa meter lagi aku sampai di rumah Toni. Mudah-mudahan mereka sudah menyelesaikan aktivitasnya.

Sekarang aku sudah sampai dan berdiri menghadap ke arah Barat, yaitu di depan pintu rumah Toni dan Arya. Aku pun segera masuk. Arya dan Toni lupa tidak menutup pintu. Huh, mereka ini memang sengaja atau lupa tidak menutup pintu sih?

Lho, kok? Kemana Ria?

Di dalam tidak ada Ria, hanya Arya yang sedang tidur telentang dan bertelanjang bulat. Posisi kepalanya berada di arah Barat, sedangkan kakinya berada di sebelah Timur. Jadi ketika aku masuk, aku melihat kakinya dahulu.

Huh, Arya. Dasar bocah ini mulai ketularan virusnya Ria. Suka tidur bugil sembarangan. Eh, kalau dipikir pikir tidak sembarangan. Lagian Arya tidurnya di kamar dia sendiri. Hihihi. Aku bangunkan saja deh.

Aku melangkahkan kaki menuju Arya, melewati sisi Utara, atau di sebelah kirinya. Kepalanya menoleh ke arah Utara. Dari sepasang bibirnya keluar air liur yang merambat turun menuju pipi kiri. Hihihi, udah gede masih saja ngiler.

"Arya. Bangun wooooooy!!!!" teriakku.

Arya mengerutkan dahi dan sepasang matanya masih terpejam.

"Banguuuun!!!" teriakku lagi.

"Mmmmm… eh, Anggu."

"Mana Ria?"

"Subuh tadi dibawa Toni dan teman-temannya."

"Ke mana?"

"Ke luar. Tadi habis ngentot aku langsung tepar."

"Huh, dasar. Pantesan kamu bugil."

"Eh?"

Sadar bahwa ia tidur telanjang, Arya langsung menutup kemaluannya dengan tangan kirinya. Tangan itu tidak dapat mencakup panjang kemaluan Arya, sehingga tangan kanannya bergerak untuk membantu tangan kiri menutupi penisnya yang menegang.

"Ngapain ditutupi? Toh aku sudah lihat itu kamu, hihihi."

"Kalau ke kamu ya malu."

"Jadi, kalau ke Ria nggak malu, gitu?"

"Hehehe…"

"Huh, dasar."

Arya kemudian duduk bersila. Ia mengambil pakaian tradisional untuk menutupi selangkangannya.

"Sini, Anggu. Silakan duduk dulu."

"Nggak. Aku mau cari Ria. Dibawa kemana sama mereka?"

"Tadi setelah giliranku ngentot, Toni ngobrol sama Ria. Katanya di desa ini ada tempat penyiksaan yang biasa digunakan para penjahat dan tawanan perang. Saat bercerita, Ria tampak sumringah. Akhirnya, Toni dan teman-temannya mengajak Ria pergi ke tempat itu."

"Lho, kok jadi siksa-siksaan sih? Bukannya tadi kalau dia sadar tidak ada lagi entot mengentot?"

"Iya, tapi Rianya yang meminta."

"Terus, setelah itu gimana?"

"Ria bersedia dianggap penjahat. Salah satu teman Toni kemudian mengikat pergelangan tangan Ria dan pergelangan kakinya, lalu mengangkat dan menggendong tubuh Ria keluar. Toni ngajak aku, tapi aku kecapean."

"Ke arah mana mereka pergi?"

"Mereka keluar dari pintu depan, lalu belok kiri. Aku tidak tahu pasti. Dia bilang, setelah menuruni undakan batu, di sebelah kiri ada jalan ke kiri yang di samping kiri dan kanannya terdapat tiang batu berbentuk limas segi empat."

"Mereka bawa Ria sambil telanjang ya?"

"Iya. Hanya Ria saja yang telanjang."

"Huh, Ria ini. Masochist nya sudah kelewatan. Kamu gimana sih? Bukannya menghentikan ulah Ria, malah membiarkannya."

"Aku juga gak habis pikir, habis ngentot semalaman pikiranku jadi kacau."

"Ya sudah kalau begitu, aku mau nyusul. Kamu gak ikut, Arya?"

"Nanti aku menyusul."

"Baiklah."

Aku pergi meninggalkan Arya yang masih duduk dengan rambut masih acak-acakan.

"Hati-hati, Anggu." Ujar Arya ketika aku masih berjalan menuju pintu keluar dan kubalas dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan mengacungkan ibu jari.

Aku melewati pintu, lalu belok ke kiri. Kuturuni anak tangga batuan berundak berbentuk balok yang tertata rapi yang tertuju ke arah pukul dua. Langkah kakiku berjalan teratur. Selingan angin berhembus menyibak rambutku yang panjang. Mentari bersinar dari arah kanan menerpa kulit dan pakaianku.

Enam menit melangkah, aku melihat jalan ke arah kiri. Tidak ada jalan lain, hanya itu jalan satu-satunya yang ada di sisi kiri. Dua batu berbentuk limas segi empat yang dikatakan Arya memang benar. Sebagian batu yang berwarna hitam itu ditumbuhi lumut.

Aku berdiri di antara dua batu menghadap ke arah Utara. Ria dibawa Toni dan dua rekannya melewati jalan ini. Jalannya sedikit mendaki dengan dasar batu balok.

Kulangkahkan kaki menyusuri jalan yang lebarnya sekitar satu setengah meter. Di sisi kiri dan kanan dipenuhi tumbuhan yang tangkainya tidak sampai masuk ke area jalan. Siulan burung bernyanyi menemani perjalananku. Walaupun mendaki, jalan ini tidak seterjal jalan menuju ke penginapan Toni dan Arya. Mungkin jalan ini jarang digunakan penduduk desa yang biasanya dipakai untuk mencari bahan makanan, bertani, atau berburu. Sampai saat ini aku belum melihat seorang pun yang berpapasan denganku.

Jalan yang menuju ke arah Utara kini berbelok ke arah kiri. Mungkin ke arah Barat. Belokannya tidak tajam, tapi jalannya menaik dan semakin tinggi. Namun, begitu melewatinya, jalannya sedikit datar dengan di sisi kanan dinding tebing, sedangkan di sebelah kiri jurang dengan pemandangan pedesaan. Dari sini, aku dapat melihat penginapan Toni dan Arya.

Bocah culun itu belum keluar dari penginapannya. Mungkin dia molor lagi. Kebiasaan cowok setelah bersetubuh dan ejakulasi langsung tidur.

Jalan yang kulalui berupa jalan yang lurus yang membelah di antara perbukitan, melewati kabut tebal yang seakan menyembunyikan sesuatu yang ada di hadapanku. Entah sudah berapa meter aku berjalan. Kakiku tidak merasakan letih. Pandanganku masih tertuju ke arah depan sembari melihat jalan yang menjadi pijakan kakiku. Puluhan meter kemudian, jalan ini berbelok ke kanan, sampai aku sadari jalan yang sekarang kulalui merupakan jalan setapak yang sempit. Ranting pohon dan dedaunan menghalangi jalan. Mungkinkah Toni membawa Ria ke jalan seperti ini? Ataukah, aku balik saja? Sudah kepalang tanggung. Aku lanjutkan saja.

Di hadapanku, terbentang tanah lapang yang dipenuhi rumput yang tingginya selutut. Lho? Di mana sih mereka?.

"Toniii!! Riaaa!!!"

Aku berteriak memanggil nama mereka. Nihil. Tak ada jawaban seorang pun yang merespon panggilanku. Di sebelah kiri, terdapat goa di sebuah tebing. Jaraknya tidak terlalu jauh. Aku pun berlari menuju ke tempat itu. Firasatku mengatakan, Ria ada di tempat itu.

Rerumputan yang aku belah padahal lumayan tinggi. Bukan cuma selutut, tapi ada yang lebih tinggi. Seingatku jenisnya itu Cogon Grass, seperti dalam game playstation 5 yang baru rilis, Ghost of Tsushima. Benturan tumbuhan itu tidak membuat kulitku terasa sakit, malah aku tidak merasakannya. Saat berlari, rumput-rumput itu seolah bergerak ke samping kiri dan kanan, seolah-olah menghindari kontak dengan kulit kakiku. Aneh. Aku tidak peduli. Aku harus ke tempat itu.

Jarak pandang terhadap goa yang awalnya terlihat kecil, sekarang tampak besar. Aku berhenti sejenak. Aku melihat ke atas tebing di depanku. Ternyata lumayan tinggi. Terlihat tetumbuhan yang tumbuh di dinding tebing. Mulut goa pun terlihat besar. Perkiraan tingginya 7 sampai 8 meter. Lebarnya sekitar 5 sampai 6 meter.

"NGGGRRRHOOOOOOO……. "

Tiba-tiba terdengar suara geraman mengerikan dari dalam goa. Baru melangkahkan kaki, muncul lagi suara itu.

Aku tidak boleh takut!! Aku harus tetap ke dalam sana. Kulangkahkan kaki untuk memasuki goa tersebut. Terus dan terus melangkah. Di dalamnya masih sedikit terang. Mungkin karena cahaya dari luar goa masih bisa masuk.

Di sisi kiri dan kananku terdapat stalagmit. Tapi tidak untuk di tengah yang kulewati. Bagian tengah dari luar sana sampai sini tidak ada halangan apapun. Sepertinya memang goa ini digunakan sebagai tempat sesuatu. Atau mungkin ruangan khusus.

Semakin masuk, suara aneh dan mengerikan dari dalam semakin jelas. Ada cahaya berwarna jingga. Aku pun terus memasuki goa. Goa ini membelok ke arah jam 10. Kemudian 8 meter membelok ke arah jam 2.

Aku tercengang!! Ternyata di sini banyak orang berkumpul. Mungkin sekitar tiga puluhan orang mengelilingi ruangan di dalam goa. Aku penasaran, mengapa banyak orang di sini? Aku kemudian melangkahkan kaki berjalan ke 5 orang yang berjajar menghalangi penglihatanku. Orang-orang itu seperti menyembunyikan sesuatu.

“Pe.. permisi.” Ujarku sembari menyelinap di antara orang.

Oh Tidak!!!! I.. Itu Ria!!!

Ria merangkak dengan tali ijuk yang mengikat ke sepasang putingnya. Salah satu pria gagah berdiri di depan Ria sembari memegang tali tersebut dengan tangan kiri dan menarik-nariknya dengan kasar hingga puting dan payudaranya ikut tertarik dan membuat Ria berjalan merangkak layaknya anjing. Bukan sekedar merangkak, tapi di punggungnya terdapat keranjang yang diikat melingkar ke pinggul dan dada. Keranjang tersebut memuat dua bongkahan batu yang cukup besar. Sedangkan di belakangnya, pria perawakan sangar memegang cambuk sembari memukulkan berkali-kali ke pantat Ria.

CTARR CTARRR CTARRR

UUOOOOHHH

Jeritan Ria terdengar nyaring. Mungkin suara aneh mengerikan dari depan goa itu berasal dari suara Ria. Bisa jadi demikian. Suara yang membentur dinding goa dan memantulkan gelombang suara bisa berubah bentuk seiring bentuk, luas, dan lebar goa.

Ria berhenti merangkak. Lalu pukulan mendarat di pantatnya.

“Toni? Itu Toni?” ujarku lirih melihat ke ujung kanan.

Benar firasatku. Mereka membawa Ria ke dalam goa. Toni, dan dua temannya juga ada di dalam sini. Toni terikat di dan terpasung dalam keadaan berdiri. Sepasang tangannya ke atas dan sepasang kakinya kebawah. Tubuhnya telanjang. Sedangkan dua teman Toni sedang duduk dan wajahnya menunduk sembari meneteskan air mata. Toni juga tertunduk.

Aku berlari mendekati Ria, tapi salah satu pria memegang tangan kananku.

“Jangan mendekati dia, Dik.” Ujarnya sembari menahan pergelangan tangan kananku.

“Iya, Dik. Dia adalah seorang pemerkosa. Inilah hukuman yang pantas bagi seorang pemerkosa.” Ujar seorang wanita yang ada di samping kiriku.

Apa? Sejak mereka bisa berbahasa Indonesia?

“Hukum dia!!”

“Hukum perempuan jalang itu!!”

“Hukum pendatang kurang ajar itu!!”

Orang-orang berteriak memenuhi ruangan ini. Aku jadi bingung, mengapa mereka Ria dianggap sebagai pemerkosa. Sepengetahuanku, Ria bukanlah pemerkosa, tapi seorang maniak. Ia lakukan persetubuhan atas dasar suka sama suka, bukan pemaksaan.

"Tolong lepaskan saya. Saya tidak akan macam-macam." Ujarku.

“Baiklah. Saya pegang ucapan adik, tapi kalau sampai macam-macam, adik akan bernasib sama dengan dia.” Ucapnya menunjuk ke arah Toni.

Apa yang terjadi pada dia? Toni, Ria, dan dua temannya?

Tangan kananku dilepas. Segera aku berlari menuju ke Toni. Aku lihat dari dekat, tubuhnya terdapat luka memar. Entah apa yang terjadi. Mengapa ini begitu cepat terjadi?

“Ma.. Maafkan aku, Anggu. Aku tidak bisa menolong Ria.” Ujarnya.

"Kenapa jadi begini?"

"Semua berawal saat aku bercerita tentang tempat ini. Kemudian Ria jadi bersemangat. Dia menuturkan bahwa dia menyukai siksaan. Dia suka direndahkan, dijadikan budak, dan dihukum. Aku tidak menyangka kalau Ria menawarkan diri untuk dijadikan penjahat sesungguhnya. Dia membuat ide gimana caranya agar dia bisa dihukum. Aku menjelaskan, bahwa hukuman di sini semuanya berat. Aku yakin Ria tidak akan sanggup. Dengan enteng, Ria bilang bahwa tidak apa-apa. Dia suka hukuman berat. Asalkan dilakukan telanjang. Aku pun menyetujuinya, asal dia tahu konsekuensinya. Temanku kemudian menggendong tubuh Ria. Di depan ketua adat, Ria mengaku bahwa dia sudah memperkosa dua penduduk desa, yaitu teman-temanku yang tadi ikut ngentotin dia semalaman bersama aku dan Arya, lalu…. " Ujar Toni kemudian berhenti.

"Lalu apa?"

"Ria dijatuhi hukuman berat. Sedangkan aku, dipasung di tempat ini.” Ujarnya.

Setelah mendengar ucapan Toni, aku tidak tahu apa yang akan aku perbuat. Apakah aku harus berdiam diri, ataukah aku menolong Toni? Dari segi jumlah, aku jelas kalah. Sebaiknya aku harus diam, kalau nekat bisa-bisa aku akan bernasib sama dengan Toni. Dipasung dan telanjang seperti dia. Itu sama dengan mati konyol. Toni nekat sih, makanya jadi seperti ini.

CTARRR

“Ooohh.” jerit Ria ketika pantatnya dipukul.

“Jalan!!!”

“I.. Iya.” Jawab Ria lirih.

Ia berputar di ruangan ini yang ukurannya lumayan lebar dan berbentuk lingkaran. Kira-kira diameternya sekitar 14 meter. Atapnya berbentuk kubah dengan lubang berdiameter sekitar 2 meter. Dari lubang itu keluar cahaya matahari yang menyinari ruangan ini. Selain dari sinar matahari, ruangan ini juga diterangi oleh belasan obor yang menempel di dinding goa. Aku lihat di bawah obor-obor itu terdapat alat-alat menyeramkan yang pastinya digunakan untuk menyiksa.

“Kamu tahu Anggu, teman-temanku yang ikut ngentotin Ria juga tidak bisa berbuat banyak. Mereka juga sedih. Sedih karena sebagai korban pemerkosaan dan sudah bersaksi di depan ketua suku bahwa Ria benar-benar memperkosanya.”

“Aku baru tahu kalau perempuan juga bisa dianggap pemerkosa.” Ujarku.

“Iya. Laki-laki maupun perempuan, di desa ini setara. Hukumannya sama-sama berat. Ria harus menjalani hukuman merangkak sambil membawa dua batu di punggungnya sebanyak tujuh puluh kali putaran. Tiga puluh lima putaran untuk satu korban. Batu yang di punggungnya bermakna, banyaknya korban yang ia perkosa.”

“Sudah berapa kali Ria berputar?”

“Enam puluh sembilan.”

“Jadi, setelah satu putaran lagi, Ria bebas?”

“Tidak. Ini hanyalah awal, setelah ini lebih mengerikan lagi. Aku tidak sanggup membayangkannya.”

Aku tidak tahu hukuman apa yang menanti setelah ini. Ria sekarang sedang berada di arah jam 5. Ia merangkak ke arah depan Toni dan di depanku. Ketika berjalan lambat, tali yang mengikat sepasang putingnya ditarik oleh pria yang berjalan di depannya. Aku lihat sepasang lututnya berdarah akibat menekan beban berat dan bergesekan dengan batuan sebagai dasar pijakannya.

Setelah melewatiku, ia menoleh ke arah kiri, menatapku dengan senyum.

“Anggu, maafkan aku. Mungkin ini yang terakhir kalinya kita bertatap muka. Toni, terima kasih sudah mewujudkan fantasiku. Tidak apa-apa jika aku mati, setidaknya aku mati dalam keadaan bahagia.” Ujarnya.

Jantungku berdegup kencang. Aku tidak menyangka Ria mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya penuh dengan keringat. Bulir-bulir keringat jatuh bercucuran membasahi dasar pijakan.

CTARRRR

“Aaaaagghhh…..”

Sebuah pukulan keras mendarat di pantatnya.

“Ayo Jalan!!!!” orang yang memegang tali di depannya menarik tali yang mengikat sepasang puting Ria.

Sambil terseok-seok, Ria melangkahkan tangan dan kakinya merangkak lebih cepat mengikuti tarikan tali yang dipegang pria itu. Dari depanku, Ia melangkah menuju ke arah pukul 7, lalu ke arah jam 9. Setelahnya, Ria dibimbing menuju ke tengah, mengikuti orang yang memegang tali kendali. Di tengah, Ria kemudian jatuh ke samping kanan, menghadap ke arah jam 12, membelakangiku. Dua buah batu yang ada di dalam keranjang ikut tumpah keluar dari keranjang dari anyaman bambu dan menggelinding sebentar. Dua orang pria kemudian mendekati tubuh Ria yang sudah lemas dan meringkuk.. Mereka berjongkok sedang melepaskan tali yang mengikat keranjang ke tubuh Ria.

Apakah hukuman permulaannya sudah selesai? Sepertinya begitu. Kata Toni, Ria sudah berputar 69 kali. Jadi, barusan adalah putaran terakhir.

Orang-orang yang sedari tadi menonton sedang seksama memperhatikan hukuman selanjutnya. Ada yang berdiri, dan ada pula yang duduk. Mereka semua berada di pinggir di dekat dinding goa. Tidak ada yang mendekat ke tubuh Ria.

Aku melihat Ria sedang didudukkan. Sepasang tangannya ditarik ke punggungnya, lalu mengikatnya. Ada dua ikatan yang mengikat tangan Ria. Telapak tangan kirinya berada di siku kanan, begitu pula pada tangan satunya sehingga bentuk antara siku sepasang tangannya membentuk siku-siku.

Ria hendak jatuh ke samping kiri, tapi salah satu orang tersebut menahannya. Orang yang tadi mengikat tali ke tangan ria beranjak pergi menuju ke arah jam 3, lalu kembali dengan sepasang tangannya memegang tali. Ia duduk di depan Ria. Orang yang menahan tubuh Ria dengan memegang pundaknya kemudian berpindah ke bawah ketiak. Ia mengangkat dan memutarkan tubuh Ria menghadap ke arah kiri.

Aku menoleh ke kiri. Dua pemuda rekan Toni masih duduk dengan wajah tertunduk. Mungkin Ria sengaja dihadapkan ke dua pemuda itu. Menghadapkan orang yang memperkosanya, merenggut keperjakaannya secara paksa.

Tali yang mengikat pangkal puting Ria dilepas, membentuk tonjolan yang lebih panjang dan menegang. Tekanan selama ia merangkak berkeliling dan ditarik-tarik membuat warnanya yang awalnya membiru, lama-lama normal kembali. Darah yang menyuplai makanan dan oksigen ke sel-sel di putingnya dapat menjalankan tugasnya.

Pria yang membawa tali itu berpindah duduk di samping kanan Ria. Ia berbicara ke temannya yang menahan tubuh Ria. Beberapa saat kemudian, ia berpindah duduk di belakang Ria. Ia menahan punggung Ria sambil tangannnya memegang pangkal puting kiri Ria, lalu menariknya ke depan dan membuat buah dadanya mengerucut. Rekannya yang memegang tali mengikatkan tali itu ke pangkal payudara kiri, melingkarkan tali searah jarum jam sebanyak enam kali.

“Aaaakhhhhh…”

Teriak Ria ketika tali di pangkal payudara kirinya ditarik lebih kuat hingga bentuk payudaranya membulat seperti bola, lalu mengikat dengan tali mati sebagai penutup. Menyisakan untaian tali di bagian payudara kiri atas.

“Uuugghh..”

Ria melenguh ketika pria di belakangnya menarik gundukan daging persusuan yang membulat dan mendorong tali yang mengelilingi pangkal buah dada ke arah tulang rusuk. Ia lakukan sambil menarik kulit di sekeliling buah dada di dekat tali. Mungkin biar lebih kuat. Sedari tadi Ria melihat apa yang mereka lakukan ke buah dadanya tersebut. Tidak ada perlawanan. Ria benar-benar pasrah. Orang yang memegang tali mengecek buah dada Ria yang sudah terikat tersebut. Gundukan daging yang mengeras akibat tekanan dari ikatan tali digeser ke atas, ke bawah, ke samping kiri, dan ke samping kanan secara kasar. Tindik yang tersemat di pangkal puting kiri Ria ditarik-tarik. Mungkin ingin melepaskannya. Tapi karena tidak bisa, akhirnya mereka membiarkannya tetap tertanam di tempatnya.

Beberapa detik kemudian, pria di belakang Ria beralih menjamah buah dada sebelah kanan Ria. Dengan sigap, puting kanan Ria dijepit oleh ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan, lalu menariknya hingga mengerucut. Rekannya menempelkan tali ke pangkal payudara kanan bagian bawah, memutari bongkahan persusuan Ria beberapa kali. Mungkin tujuh kali. Ia lakukan sangat kuat. Setiap tali itu memutar dan menariknya, Ria melenguh. Tali tersebut ditutup dengan simpul mati dan menyisakan untaian di atas dan di bawah tulang selangka sebelah kanan. Sama seperti yang mereka lakukan terhadap buah dada kiri.

Orang-orang masih menyaksikan sambil berbisik-bisik antara satu dengan yang lainnya. Toni hanya menunduk. Aku merasa kasihan. Aku lepas jaketku untuk menutup selangkangannya. Aku lingkarkan lalu mengikatnya pada bagian punggung bawah. Yang penting kemaluannya tidak terlihat. Aku rasa sekedar menutup kemaluannya tidak apa-apa. Para penjaga hanya melihatku sejenak, lalu berpaling melihat Ria.

Salah satu pria di dekat Ria pergi ke arah jam 3. Ia memutar tuas roda. Aku lihat roda itu mengulurkan tali panjang melalui atap, lalu turun ke bawah, ke tengah-tengah. Aku lihat di atas dekat lubang sinar matahari terdapat roda katrol. Aku baru menyadari ada katrol. Ada dua katrol. Pertama di atas tuas roda tempat pria algojo tadi berdiri. Katrol kedua berada di atas Ria. Mungkinkah Ria akan dihukum gantung?

“Mereka mau apakan Ria, Ton?”

“Kamu lihat saja sendiri. Kalau tidak kuat, kamu pulang saja, Anggu.”

“Digantung ya?”

“Ya.” Ujar Toni tetap menunduk.

Pria di dekat Ria mengaitkan dua utas tali yang mengikat sepasang payudara Ria ke ujung tali yang ada di atasnya. Dia mengikatkan simpul mati.

Aku tidak habis pikir, mengapa ada hukuman sekeji ini? Aku kira Ria dihukum gantung konvensional. Ternyata di luar ekspektasi. Dari tadi aku juga heran. Mereka mengikat payudara Ria. Jadi aku paham alasan para algojo itu mengikat buah dada Ria. Ternyata mereka ingin menggantung Ria dengan buah dadanya itu.

Pria yang berdiri di dekat Ria kemudian berdiri, melepaskan tubuh Ria hingga jatuh ke samping. Ia memberikan sebuah kode dengan tangan kepada rekannya yang memegang tuas pada roda yang bentuknya seperti roda kemudi pada kapal laut. Roda itu berputar secara perlahan menggulung tali, menariknya hingga dua roda katrol yang ada di atas Algojo dan di atas tubuh Ria berputar.

“Aaaagghh..”

Ria merasakan tarikan tali yang menarik buah dadanya. Tubuh Ria yang tidur miring, bagian dadanya terangkat. Tangannya yang terikat di punggung tidak dapat melakukan apapun, sehingga sepasang kaki Ria bergerak untuk menahan tubuhnya hingga ia berdiri dengan sepasang lututnya yang berdarah.Tubuhnya terlihat lunglai seakan ingin jatuh, tapi berusaha sekuat tenaga menyeimbangkan tubuh. Perlahan buah dadanya terangkat dengan tali yang membelit pangkalnya.

Bunyi derit roda katrol terdengar seiring sorak sorai penonton. Tubuh Ria yang tadinya berlutut, sekarang berdiri. Algojo tetap memutar roda yang menggulung tali yang ujungnya terhubung mengikat gundukan daging kembar milik Ria hingga sang pemiliknya berjinjit. Sekuat tenaga Ria menahan posisi ujung kakinya agar berjinjit dan menahan beban berat tubuhnya.

“Arggghh.. Sa.. sakit!!”

Teriaknya ketika ujung kakinya sudah tidak menyentuh landasannya. Algojo tetap memutar roda tanpa ampun. Tubuh Ria terus terangkat secara teratur. Sepasang kakinya bergerak-gerak. Otot-ototnya menegang. Tapi apa daya, jeritannya tidak akan mengurangi iba sang dua algojo sang eksekutor. Akibat gerakan menghentak dan menendang, tubuh Ria berputar berlawanan jarum jam, lalu berhenti yang disusul berputar searah jarum jam.

Beberapa menit kemudian, Sepasang kaki Ria tampak tenang. Aku lihat pria yang memegang kendali roda tali menghentikan putarannya. Ia menaruh tongkat kayu sebagai pengganjal agar roda itu tidak berputar ke arah sebaliknya yang dapat mengulur tali dan tubuh Ria jatuh. Kira-kira jarak ujung kaki Ria ke batuan padas sekitar dua jengkal, atau sekitar 40 centimeter.

PLOK PLOK PLOK PLOK

Suara tepuk tangan terdengar bergema. Kepala Ria bergerak melihat sepasang buah dadanya sambil mulutnya meringis. Seluruh beban tubuhnya ditarik oleh kumpulan kelenjar mammary duct yang dibungkus lemak dan kulit. Tidak benda keras seperti tulang yang menahannya. Murni, tubuh Ria terangkat oleh sepasang daging yang menempel di tulang rusuknya. Warna sepasang payudaranya sedikit merah. Seakan darah yang ada di dalamnya terjebak tidak dapat lari kemana-mana, hanya ke antar sel di dalam payudara.

Sepasang pantatnya terlihat memar. Begitu juga dengan lututnya. Entah sudah berapa kali pukulan yang diterima pantat Ria.

Algojo yang ada di tengah bergerak mendekat ke punggung Ria. Ia memegang rambut Ria, lalu menariknya dengan keras ke arah bawah hingga wajahnya mendongak menghadap langit-langit goa, memandang hamparan stalaktit yang ujungnya lancip-lancip. Ketika menarik rambut Ria, suara jeritan tidak terelakkan lagi.

“Ugghh… pelase.. Jangan kencang-kencang. Toket aku sakit banget.” Ujar Ria merintih. Aku tahu perasaannya bagaimana. Ketika rambut Ria ditarik, tentu tarikan itu memberikan beban ke sepasang payudaranya.

“Makanya jangan jadi pemerkosa.” Jawab algojo yang memegang rambutnya. Sepasang tangannya seperti bergerak memintal rambut Ria.

“Iya. Aku kapok. Tolong hentikan hukuman ini.”

“Maaf. Hukumannya tidak bisa dibatalkan.” Jawab Algojo sinis.

Beberapa menit kemudian, rambut Ria yang dipintal ternyata dibentuk kepang. Yaitu jenis kepang rambut klasik, atau three strands plait. Ujung rambut Ria yang tidak begitu panjang kemudian di ikat tali lalu dikaitkan ke tangan Ria yang ada di punggung. Wajahnya kini tidak menghadap ke arah langit-langit yang tepat berada di atasnya. Misalkan arah jam 12 itu adalah kepala Ria dan arah jam 6 itu kaki Ria, jadi dengan perut Ria menghadap ke arah kiri, wajah Ria menatap ke arah jam 2.

Setelah mengikat rambut Ria yang dikepang, Algojo tersebut bergerak menuju arah jam 12. Ia kembali berjalan mendekati Ria sambil memegang tali dan balok kayu yang panjangnya sekitar satu setengah meter dan berdiameter sekitar 8 centimeter.

“Mau kamu apakan aku dengan benda itu?” tanya Ria.

“Nanti kamu tahu sendiri, hehehe.” Ujar Algojo.

Algojo tersebut mengangkat kaki kanan Ria membentang ke samping. Kemudian balok kayu itu di letakkan di pantat Ria secara horizontal. Ia mengikat ujung pergelangan kaki kanan dan balok kayu dengan tali. Rekannya ikut mendekat dan membantu mengikat kaki kiri Ria pada balok kayu tersebut. Sekarang kaki kiri Ria membentang seperti melakukan split. Lurus dari kiri ke kanan.

“Tumben. Biasanya orang kalau di bentangkan kakinya seperti ini akan teriak kesakitan.” Ujar salah satu Algojo.

“Split seperti ini sih bukan apa-apa.” Jawab Ria.

“Oooh. Tapi setelah ini kamu pasti akan teriak.Hehehe.” Balasnya.

Memang. Bagi Ria, melakukan split itu mudah. Bukan hanya lurus, bahkan Ria bisa melakukan split sampai sepasang mata kakinya lurus ada di pusar.

Dua orang algojo mengikat tali di sepasang paha atas Ria. Jadi, balok kayu tersebut terikat dengan kaki Ria dengan 4 ikatan. Dua ikatan pada pergelangan kaki, sisanya pada paha. Salah satu dari mereka mengambil keranjang yang tadi digunakan untuk wadah batu di punggung Ria, kemudian diikat keempat sudutnya. Lalu diikatkan dua tali di sebelah kiri ke paha kiri dan dua tali di sebelah kanan ke paha kanan Ria. Jarak keranjang dengan selangkangan Ria cukup jauh, tapi lebih dekat dengan pijakan di bawahnya. Kira-kira jarak keranjang dengan bumi sekitar sejengkal.

Salah satu algojo mengambil batu ukuran tanggung, lalu melemparkan masuk kedalam keranjang.

“Aaakkhh.. Sakit.. Toket aku sakit.”

“Hahahaha baru cuma batu kecil, gimana kalau batu besar? Hehehe.”

“Aku mohon. Jangan. Jangan lagi.”

“Kamu sudah memperkosa dua perjaka di desa ini. Tau makna dari batu kamu kamu pikul selama kamu merangkak tadi?”

“......”

Ria bergeming. Jangan-jangan batu itu.

“Batu itu adalah dosa kamu terhadap satu korban pemerkosaan kamu. Jadi kamu harus memikul dua batu besar itu. Hahahaha.”

“Tidak!!! Tolong, jangan lagi. Toket aku bakal gak kuat.”

“Itu urusan toket kamu.”

“Aaaakkhh… sakit bangsat!!!” teriak Ria saat payudara kirinya disodok-sodok dengan rotan seperti mengunduh buah jeruk bali.

“Toket kamu keras. Pasti toket ini pernah dikenyot sama pemuda itu, hehehe.”

“Ohhhhhh.” Ria mendesah ketika temannya membelai kemaluan Ria.

“Memek kamu basah. Kamu suka ya disiksa seperti ini? Hahaha.” Ujarnya.

“Gimana kalau saya masukkan batunya sekarang? Kalian setuju?” ujar Algojo bertanya ke penonton.

“Setuju!!!!”

“Setuju!!!”

Mereka kompak menjawab.

“Kalau bisa langsung dua saja, biar mampus!!”

“Tenang. Pelan-pelan dulu, hehehe.” Jawab algojo.

Algojo mengambil sebuah batu yang cukup besar. Tidak tahu beratnya berapa. Mungkin diatas 25 kilogram.

“Kita hitung sama-sama,”

“Satu,”

“Dua,”

“Tiga,”

“AAARGGGHHHHKK”

Jerit Ria ketika batu itu dilempar masuk ke dalam keranjang. Tubuh Ria sampai memantul ke atas dan kebawah beberapa kali seperti pegas. Buah dadanya warnanya merah. Seperti akan meledak. Tidak tahu berapa besaran tekanan di dalam buah dadanya itu. Apakah sebesar 20 Psi, atau lebih? Aku benar-benar tidak mengetahuinya.

Keranjang yang berisi batu itu kemudian didorong dengan kaki Algojo dari belakang, menyebabkan keranjang berayun, juga tubuh Ria ikut berayun. Setelah berayun-ayun selama 2 menit, mereka mendorong keranjang itu. Tubuh Ria jadi berayun kembali. Tapi untuk yang ketiga, mereka mendorong keranjang sambil memutar tubuh Ria. Jadi, tubuh Ria berayun sambil berputar layaknya gasing.

Teriakan Ria menjadi-jadi. Para algojo memutar tubuh ria sambil memukulkan rotan ke tubuhnya. Kaki yang split sebagai sasaran. Akibat pukulan pada kaki, tubuh Ria yang berputar lambat, jadi semakin cepat.

Aku merinding melihatnya. Toni hanya menunduk, tapi selangkangannya yang aku tutupi jaket terdapat tonjolan. Apa? Toni horny?

Beberapa menit kemudian. Tubuh Ria kembali di tengah. Keringat bercucuran.

“Sekarang batu kedua.” Ujar algojo.

Sepasang tangan algojo memegang batu lalu mengangkatnya. Kemudian melemparkan batu itu ke dalam keranjang.

“AAAAAAAAAARGGHH”

Jeritan memekik dan menyayat hati terdengar menggaung. Batu yang jatuh ke keranjang terlebih dahulu membentur batu pertama, lalu menggelinding dan jatuh di sampinnya. Keranjang yang tadinya tingginya sejengkal dari bumi, kini hanya berkisar 4 centimeteran.

Sungguh kejam. Sepasang payudara Ria tidak hanya mengangkat beban tubuhnya, tapi dua buah batu besar!

Penonton bersorak bergembira layaknya tontonan penghibur.

Tidak sampai satu menit, para algojo mendorong kembali keranjang sambil memutarkan tubuh Ria. Jeritan Ria sampai serak dan terkesan putus-putus. Dengan posisi wajah mendongak, ia berteriak. Sepasang matanya sampai membelalak.

10 menit berlalu. Suara Ria kini parau. Semakin lama suaranya melemah, diminuendo dalam notasi musik.

“RIAAAAAAA!!!” teriakku melihat tidak ada gerakan pada tubuhnya.

Aku berlari mendekatinya, tapi aku dipegangi oleh seorang penjaga.

“Adik ingin dipasung seperti dia?” ujarnya menunjuk ke Toni.

Akupun diam. Aku didudukkan di samping Toni. Seorang algojo berdiri dibelakang Ria, lalu memegang pergelangan tangan. Sepertinya memeriksa nadinya. Setelah memeriksa, ia kemudian berbisik-bisik rekannya. Rekannya segera pergi dari tempat ini keluar goa menyisakan seorang algojo.

Sambil berdiri, tangan algojo itu bergerak ke selangkangan Ria. Aku lihat beberapa satu sampai dua jarinya masuk ke kemaluan Ria. Sepasang mata Ria membelalak tanpa memperlihatkan retinanya. Putih saja. Mulutnya membuka. Sepasang payudaranya berwarna biru.

Setelah mengobok-obok kemaluan Ria, ia pergi mengambil dua kotak kayu. Satu kotak dibuka, dan ia mengambil sebuah botol dari tanah liat. Ia mengeluarkan isi cairian botol berwarna kuning ke jarinya tangannya, kemudian jari-jari tersebut dimasukkan ke rongga peranakan Ria. Ia lakukan berulang-ulang. Lalu mengeluarkan jari tersebut dan membuat rongga vagina ria sedikit terbuka sambil mengeluarkan tetesan cairan kuning kental. Algojo itu mesum. Kemaluan mayat diobok-obok. Dasar necrophilia!!!

Tidak lama berselang, seorang pria kekar yang dari wajahnya adalah algojo yang tadi keluar, kini sudah kembali sembari membawa gentong berisi air. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Mereka seperti ingin melakukan sesuatu yang belum pernah aku mengetahuinya. Salah satu dari mereka berdua mengeluarkan bubuk putih, lalu dicampurkan dengan air. Bubuk menjadi bubur. Ia oleskan ke leher Ria secara berputar. Seluruh rambutnya juga diluluri bubuk tersebut.

Sebuah kotak dari dua kotak kayu diletakkan di atas dua batu di dalam keranjang. Salah satu algojo berlari menuju ke arah kanan, memutar roda hingga tubuh Ria terangkat lebih tinggi. Jarak keranjang dari bumi sekitar satu meter. Ia mengganjal roda tersebut agar tubuh Ria tetap pada posisinya.

“Selamat jalan menuju ke naraka.” Ujar algojo membuka kotak.

Seketika dari dalam kotak itu keluar ribuan semut api. Semut itu keluar menuju ke seluruh keranjang dan batuan, lalu merambat naik ke 4 tali menuju ke paha Ria. Dari paha, mereka selangkangan Ria. Ia masuk ke kemaluan Ria yang dipenuhi cairan kuning. Jangan-jangan itu madu.

“AAAAAAAARGGGGHHHHHHHH.. PANAS…. ME.. MEMEK AKU.. AAARRRGGGHHH”

Apa? Ria sadar?”

Tubuh Ria bergelinjang. Semut tersebut menyebar ke tubuh atas Ria. Sepasang buah dadanya juga dikerubungi semut. Hanya kepala, leher, dan rambut Ria yang tidak dihinggapi semut api. Mungkin bubur putih tadi adalah benda yang tidak disukai semut. Bawang putih. Mungkin bawah puting. Aku tidak tahu pasti.

Tubuh Ria kejang-kejang. Suaranya nyaring. Dari dalam lorong vaginanya keluar masuk ratusan semut. Tubuh Ria dibiarkan menggantung sambil membawa dua batu besar, dan kotak berisi semut.

AAAAGGHH

AAARGGHH

GGGGHHKKK

GGHHKKK

Lho, kok? Suaranya jadi aneh?

GGHKKK

GGUKK

GGUKKKK

KUUKKK

KUKURUYUKK!!!!

Aku membuka mata.

Astaghfirullahaladzim. Ternyata yang barusan cuma mimpi. Bersyukur ada suara ayam membangunkanku. Aku bangun dan segera duduk, lalu meludah ke arah kiri sambil membaca doa.

“Allahumma inni a’uudzubika min ‘amalisy syaithaani wa sayyiaatil ahlami.”

Duh. Sekarang jam berapa sih? Tidak ada ponsel. Beruntung di sekitar tempat tinggalku ada ayam-ayam milik warga desa yang sedang bersahut-sahutan, seperti alarm alami dari alam.

Aku berdiri, lalu beranjak dari tempat tidur. Dari ventilasi di sela-sela dinding batu, sepertinya mentari masih belum terbit. Aku keluar menggeser dan menggelindingkan pintu batu menuju keluar. Pintu batu itu tidak begitu berat, awalnya saja saat aku tiba disini aku merasa kesulitan. Suasana masih lengang. Hanya beberapa pemuda dan pemudi sedang bercengkrama di bawah pohon sambil menyantap umbi-umbian yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Salah satu pemuda datang mendekatiku sambil memegang obor. Ia memberikan potongan singkong bakar dan masih panas sambil berbicara yang aku tak dapat memahami.

"Terima kasih," ujarku tersenyum menerima singkong bakar yang dibungkus daun pisang. Dia pun membalas dengan tersenyum. Perawakannya lumayan lah, tidak seperti Toni. Ternyata ada yang ideal juga ya. Hihihi. Kalau dari penampilannya, sepertinya pemuda-pemuda itu adalah peronda. Mungkin agar desa itu tetap aman.

Air. Oh iya, dimana ya letak air? Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri. Di arah jam 10 ada pancuran air dari bambu. Sepertinya air ini dari irigasi. Aku kemudian berjalan menuju pancuran tersebut. Aku letakkan singkong di atas batu di sebelah kanan, lalu singkapkan kemeja lengan panjang ke atas siku. Aku kemudian berwudhu mensucikan diri.

Wuaah. Benar deh. Airnya segar sekali. Berbeda dengan air sungai di kota yang terkontaminasi limbah.

Gara-gara berwudhu saat mensucikan kaki, aku jadi kebelet pipis. Aku harus menunaikan salat subuh terlebih dahulu. Aku pun masuk kembali sambil membawa singkong ke tempat tinggalku dan mengerjakan salat subuh. Aku salat beralaskan tikar dari anyaman serat tumbuhan dan tanpa mukena. Bagiku, tidak ada ketentuan baku seorang akhwat mengerjakan salat dengan mukenah. Yang penting seluruh aurat saat mengerjakan ditutupi.

Aku berdoa, lalu makan singkong sampai habis. Pas banget pagi-pagi makan singkong. Porsinya pas pula di perutku. Kalau di kasih porsi cowok, bakal gak habis deh. Hihihi.

Oh iya. Ria!! Aku kemudian bangkit dan pergi menuju ke kediaman Toni dan Arya. Saat keluar, para pemuda yang sedang makan singkong menyapaku sambil melambaikan tangan. Aku melambaikan dan pergi menuju ke arah Barat. Aku melewati sungai irigasi, beberapa rumah penduduk, dan menuju jalan mendaki menaiki undakan batu.

Dari sini, aku melihat suasana malam ke arah Timur. Di bawah, rumah penduduk yang diterangi api sebagai penerang tampak indah dan mempesona. Aku sambar berhenti dan membungkuk dengan sepasang siku sampai telapak tangan menumpu pada dinding batu sebagai pagar pembatas antara jalan dan jurang. Ya. Desa ini berada di sebuah lembah.

Puas memandang, aku lanjut berjalan. Tak lama lagi aku sampai.

Nah, itu dia. Aku berjalan dan melihat pintu rumah tidak ditutup. Mereka semua ada di dalam dan tidur telanjang. Aroma amis dan aroma minuman arak tercium. Bukan, ini bukan amis biasa, tapi aroma sperma yang mengering. Ada beberapa yang masih basah. Ria tidur telentang di antara Toni dan Arya. Arya tidur miring di sebelah kanan Ria, sedangkan Toni berada di sebelah kiri Ria. Hanya saja posisi Arya membelakangi Ria dan Toni. Toni memeluk Ria sambil tangan kirinya mendekap buah dada kanan Ria. Sedangkan dua pemuda desa teman Toni tidur saling berpelukan. Hahaha. Benar-benar pemandangan kacau.

Aku tersenyum melihat Ria baik-baik saja. Jadi, aku bersyukur itu cuma mimpi. Aku mendekati Ria dan duduk di dekat Arya yang tidur miring menghadapku.

"Ria, bangun." Ujarku sambil memegang bahu kanan Ria dan menggerak-gerakkannya.

Ria masih belum bangun. Aku lakukan lagi sambil menggerakkan lebih kencang, namun tidak ada reaksi apapun. Tidak menyerah, aku bangunkan untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba tangan kiri Toni yang menelungkup pada payudara kanan Ria bergerak-gerak. Gerakannya meremas. Toni pasti mimpi lagi merah susu sapi nih. Ughh, pikiranku jorok banget.

"Hmmm, eh Anggu?"

"Toni. Sudah selesai kan acaranya?"

"Hmmmm… hoaaaaaaamm."

Toni menguap. Ia melihat Ria masih tidur.

"Tolong bantu bangunkan Ria."

"Tunggu dong Anggu. Aku masih belum puas."

"Gila. Memang cowok gak ada puasnya ya?"

"Bukan begitu, tapi janji Ria katanya ia bisa dipakai sampai dia bangun sendiri. Tadi Ria habis mabuk ikutan minum arak. Jadi teler deh. Lihat nih, aku giniin tidak bangun," ujar Toni sambil tangan kirinya memilin dan menarik-narik puting kanan Ria.

"Apa lagi yang ini." Lanjutnya membuka paha Ria, lalu dua jarinya masuk ke rongga senggama Ria.

"Huh, dasar. Ya udah kalau begitu. Aku tinggal dulu." Ujarku pergi meninggalkan mereka.

"Eh, Toni. Toiletnya di mana ya? Aku mau pipis nih." Ujarku ketika berada di pintu.

"Disini tidak ada toilet, tapi pancuran. Kalau mau buang air, ke sungai. Dari depan, kamu belok kanan. Tempatnya bagus kok." Ujar Toni.

"Makasih. Jangan lupa pintuunya di tutup kalau lagi gituan. Gak malu apa dilihat orang lewat?"

"Ya nggak dong. Sekalian aja aku ajak kalau mereka mau, hehehe."

"Apa? Memang kamu sudah ada yang melihat dan nganu ke Ria?"

"Nganu? Maksudnya ngentot?"

"I… Iya maksudku itu."

"Sudah kok, tapi waktu Ria gak sadar. Jangan bilang-bilang ya."

"Iya iya. Aku gak akan bilang," ujarku melangkahkan satu langkah ke depan.

"Eh tapi, beneran ya ada orang lain selain kalian berempat yang menyetubuhi Ria?" lanjutku.

"Banyak, tapi untuk jumlahnya rahasia, hehehe."

"Ya sudahlah. Lagian janji Ria selama belum sadar, kamu bebas ngapain aja. Tapi walaupun begitu, kamu gak bebas apalagi menyakiti dia." Ujarku.

Aku takut Toni kelewat batas. Aku tahu Ria mengizinkan mereka melakukan apapun. Memasukkan benda yang tidak seharusnya ke kemaluan Ria, dan lain-lain.

Ya sudahlah. Toh, intinya Ria tidak apa-apa.

"Aku tinggal dulu ya, Ton. Selamat menikmati sahabatku. Jangan sia-siakan waktunya. Mumpung Ria belum sadar, hihihi."

"Siap!!! Hati-hati, Anggu. Kalau ada apa-apa, kamu ke sini saja. Pintu rumah ini selalu terbuka buat kamu."

"Huh, ada ada saja. Bye-bye." Ujarku beranjak dari pintu meninggalkan Toni menuju ke arah Selatan.




Bersambung....
 
Haduhh... Cerita khas dari kak @RoroLilith memang harus dibaca sambil makan.. jadi pengen nambah nasi.. hehee 😆
Alhamdulillah Anggu cuma mimpi, tapi mimpi menjelang subuh bisa jadi kenyataan lho...hihi
 
Bimabet
wduh ternyata mimpi padahal.seru penyiksaan tipe gitu dan lagi lagi anfgu belum ditampilkan debut pelepasan perawannya haha sabae ajadah
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd