Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
BAGIAN 14


Udara dingin menerpa bagian kulit yang tak terbungkus oleh pakaian. Rasanya dingin bagaikan ditusuk-tusuk jarum. Wajah, telapak tangan, dan punggung tangan yang merasakannya. Bahkan, kain kemeja lengan panjang yang kukenakan cukup bagus menahan suhu dingin. Celana panjang jean ini tebal. Sayangnya, walaupun aku bersepatu, tapi aku lupa tidak mengenakan kaus kaki. Sehabis mimpi buruk, aku buru-buru keluar dan cuma mengenakan sepatu.

Jalan yang aku lalui merupakan jalan yang sama seperti jalan menuju ke rumah kediaman Arya dan Toni. Jalan bebatuan tertata rapi menuju ke arah Selatan. Perbedaannya dari jalan di sisi Utara, jalan di sisi Selatan ini sedikit menurun dan berbelok ke arah Barat. Dari sini pun pemandangan di sebelah kiri masih terlihat indah. Rumah-rumah penduduk, pasar tradisional, totem, monolith, juga dinding mural tampak jelas. Beberapa monumen batu yang terpahat seperti di relief berdiri tegak di beberapa tanah lapang persegi empat terlihat sedang dikerumuni orang-orang yang sedang bersih-bersih.

Belasan meter melangkah, di depanku terdapat beberapa pohon meranti kuning yang tinggi menjulang dari jurang di sebelah kiri. Aku melihat dan mengintip dari tembok pembatas yang tingginya seperutku. Wah! Benar-benar tinggi. Dahan-dahan pohon itu sampai melintang di atas jalan. Pohon-pohon itu berada di belakang rumah-rumah penduduk. Dari ketinggian tempatku berdiri, dari sela-sela pohon tampak rumah yang terlihat kecil itu keluar tiga anak kecil yang sedang keluar bermain saling berkejar-kejaran sambil membawa pedang mainan yang terbuat dari kayu.

Aku melanjutkan perjalananku. Berjalan di bawah dahan pohon meranti kuning. Dahannya tidak terlalu tinggi. Aku angkat sepasang tangan ke atas. Oh, ternyata telapak tanganku mampu menggapainya. Kulit dahan pohon ini berlumut dan ditumbuhi tanaman rambat. Telapak tanganku merasakan embun yang menempel di permukaan dahan. Beberapa bulir air bening menggantung di bagian bawah dahan. Diantaranya menetes jatuh dan mendarat di dahi dan hidungku.

Aku melanjutkan langkah kakiku, mengikuti jalan. Beberapa suara burung bersiul mengumandangkan suara yang indah. Mereka bersahut-sahutan menyambut datangnya fajar yang sebentar lagi terbit.

Lama kaki melangkah, kini aku berjalan di jalanan tanah yang di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi rumput liar. Hutan hujan tropis membiaskan cahaya mentari di bagian atas pepohonan. Kandung kemih dalam tubuhku terasa mencapai batas maksimal penampung urin. Aku buru-buru mempercepat langkah kakiku. Tiap guncangan kaki yang memijak ke tanah, getarannya sampai ke kandung kemih.

Di depanku, jalan berbelok ke kanan. Aku ikuti lurus, lalu selang belasan meter jalan sedikit berbelok ke kiri. Aku tidak tahan, aku kemudian berjalan ke kanan menjauhi jalan utama menuju ke semak-semak menyusuri pepohonan. Aku menoleh ke sekitar, tidak ada seorang pun. Hanya suara burung bersiul-siul, suara gesekan angin menerpa ranting pohon yang tinggi, dan suara-suara alam lainnya.

Aku buka resleting celana jean, lalu sepasang ibu jari aku selipkan masuk di celana dalam di sisi kiri dan kanan pinggulku. Aku menurunkan celana dalam dan celana jean sampai di lutut, kemudian berjongkok membelakangi jalan. Rerumputan bersentuhan dengan pantatku, diantaranya menyentuh kemaluanku. Aku menyingkirkannya lalu aku pun segera melonggarkan otot urethral sphincters untuk membuang cairan urin dan mengosongkan kandung kemih. Seketika, cairan kekuningan muncrat keluar menyirami tetumbuhan yang ada di bawah depan kemaluanku. Deras, hingga dedaunan rumput itu ikut terdorong oleh tekanan yang keluar dari uretra.

Ah, lega rasanya setelah mengejan. Seperti sebagian beban dalam hidup menjadi berkurang.

"Alhamdulillah," lirihku.

Sekarang, aku harus mencari air untuk membasuh kemaluanku. Ini yang paling tidak kusukai kalau buang air sembarangan. Duh, aku juga lupa tidak bawa tisu. Payah.

Aku berpikir sejenak. Oh iya, apa aku pakai daun seperti yang pernah dilakukan Ria ya? Mungkin itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Cairan urin kalau mengenai pakaianku, bisa tidak sah digunakan untuk salat.

Di sekelilingku banyak aneka tumbuhan. Aku pakai daun apa ya?

Aku menoleh ke kiri lalu ke kanan. Kulihat di sebelah kanan ada tumbuhan yang daunnya sebesar daun jambu biji. Tangan kananku meraihnya, lalu memetik tangkainya. Tekstur permukaannya tidak kasar. Dengan tangan kiri, aku pun mengusapkan sehelai daun hijau ini ke kemaluanku.

Hmmm… rasanya gimana gitu. Aneh aja kemaluanku bergesekan dengan daun yang tumbuh di hutan hujan tropis. Tidak ada pilihan lain, ini lebih baik ketimbang celana dalamku kena cairan najis. Aku ambil lagi dua helai daun, lalu aku usapkan kembali.

Aku rasa sudah cukup. Aroma pesing terasa menyengat hidung. Aku kemudian berdiri, lalu aku naikkan celana dalamku, disusul celana jean. Aku akhiri dengan menaikkan resleting dan mengencangkan ikat pinggang. Aku segera pergi meninggalkan tempat ini.

Langkah kakiku berjalan menuju jalanan tanah. Aku kemudian melanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah, aku berhenti. Apa aku kembali saja ya? Gak enak kalau pergi sendirian, ditambah jalan ini sepi dan belum berpapasan dengan seorang pun.

Menurut Toni, penduduk di sini tidak berani macam-macam. Mereka takut dengan hukuman yang berat. Mungkin ada baiknya aku jalan-jalan sambil mencari tempat untuk mandi. Kata Arya, sungainya lewat sini. Aku ikuti saja jalan ini. Aku lanjut berjalan di dalam hutan. Suara burung dan tonggeret terdengar mendominasi.

Pemandangan indah dan sejuk. Mungkin ini yang menyebabkan penduduk sini belum modern. Mereka khawatir jika pembangunan modern membuat alam menjadi rusak. Aku tidak kecewa deh bisa liburan semester di sini, walaupun… aku kabur dari rumah. Mudah-mudahan nanti mama dan papa tidak marah.

Berjalan sekitar puluhan meter, di depanku ada jurang. Setelah mendekat, di bawah jurang ini ternyata ada sungai. Tidak begitu dalam, mungkin sekitar 20 meter. Airnya jernih dan memperlihatkan dasar sungai berwarna hijau dan hitam. Di seberang, hamparan hutan lebat nan hijau menyejukkan mata. Ada jembatan gantung menuju ke seberang. Jarak dari tebing tempatku berdiri dengan tebing di seberang sana mungkin sekitar 8 meter. Aku lihat di sebelah kanan, ada air terjun. Ada jalan di sebelah kananku, mungkin menuju air terjun itu. Aku ikuti saja. Kalau lurus melewati jembatan gantung, entah aku akan nyasar ke mana.

Jalan menuju ke air terjun ini menyusuri pinggiran tebing. Lebarnya antara satu setengah sampai dua meter. Syukur tidak hujan. Mungkin kalau hujan, pijakan kaki pada jalan berpadas ini bisa licin. Di sebelah kiri tidak ada tembok maupun pagar kayu penghalang. Jika tidak hati-hati, aku bisa jatuh ke sungai. Sambil berjalan, aku bisa melihat pemandangan indah sungai bertebing dengan ceruk dan air yang indah memukau mata. Aku pernah ke green canyon di Pangandaran dan green canyon di Undisan. Menurutku ini jauh lebih indah. Aku takjub, pemandangan alam Indonesia sangat kaya. Budaya, Suku, dan kepulauan yang masuk salah satu terbesar di dunia. Walaupun sewaktu SMA pernah berlibur ke Jepang, Korea Selatan, dan China, bagiku Indonesia masih memiliki porsi yang besar dalam diriku. Aku tidak menampik, bahwa aku menyukai drama korea. Wajar sih, jaman sekarang suka dengan korea, tapi aku sebatas suka saja. Tidak sampai fanatik dan berlebihan. Diantaranya, aku pernah nonton konser NCT langsung di Korea. Wah, gila deh. Penontonnya banyak banget. Kebanyakan cewek. Kalaupun ada cowok, kemungkinan itu diajak sama ceweknya. Waktu itu aku membeli tiket VIP dan bisa menonton dari jarak dekat. Hihihi.

Oh iya, aku tiba-tiba teringat dengan ponselku. Huh, sial banget. Kenapa sih aku bisa sampai lupa ngambil ponselku yang ada pada Arya dan kawan-kawan? Padahal selain tujuanku membangunkan Ria dan mengajaknya untuk keluar, aku ingin mengambil ponselku. Biar saja deh, toh mereka pasti menjaga ponselku. Mudah-mudahan saja mereka tidak menghabiskan daya baterainya. Bisa gawat kalau habis. Aku tidak mempermasalahkan mereka yang mengambil foto dan merekam video sampai penyimpanan ponsel penuh. Yang penting baterainya. Semoga saja masih tersisa banyak. Aku kan juga ingin foto-foto di tempat ini. Ditambah malam ini ada acara ritual yang sakral. Aku ingin mengabadikannya.

Lama kaki melangkah, aku sudah berada di dekat air terjun. Suara deru dan gemuruh air yang jatuh dari ketinggian yang awalnya terdengar pelan, kini terdengar lebih jelas. Percikan air yang jatuh lalu terbawa angin sampai mengenai pakaianku. Kalau lama-lama berada di sini, pakaianku jadi basah. Aku lepas saja deh, sekalian mandi. Lagi pula, tempatnya asik. Tidak terlihat batang hidung seorang pun di tempat ini. Jembatan gantung pun terhalangi oleh dinding tebing sungai yang berkelok. Tadi dari atas sana, aku tidak bisa melihat bagian bawah air terjun, hanya bagian atasnya saja.

Aku berdiri di tepi sungai, lalu bersiap untuk mandi. Aku lepaskan jilbab yang menutup rambutku. Aku lipat dan kuletakkan di atas batu yang agak besar di samping kiriku. Aku lepaskan kancing kemeja dari bawah tepat di bawah pusar sampai atas di dekat sepasang tulang selangka. Aku turunkan ke bawah sampai kerah leher belakang berada di punggung, kemudian aku keluarkan tangan kiri dari lengan kemeja, disusul lengan kanan. Aku lipat lalu aku letakkan di atas jilbab. Selanjutnya, aku melepaskan sepasang sepatuku, lalu kuletakkan di dekat kemeja yang sudah kulipat. Aku membuka pengait celana jean, lalu menurunkan resleting. Sepasang tangan aku letakkan di pinggul kiri dan kanan memegang celana jean. Aku menurunkan seraya mengangkat kaki kiri keluar disusul kaki kanan. Saat aku keluarkan, bagian dalam celana jean ikut ketarik juga, mirip jajahan tahu walik. Hihihi. Akhirnya aku betulkan dan melipatnya.

Sekarang ada dua pakaian yang melekat di tubuhku, yaitu bra dan celana dalam. Aku kemudian menghadap ke kanan, ke air sungai. Aku gerakkan sepasang tanganku ke punggung untuk melepaskan pengait, lalu meloloskan pembungkus sepasang gundukan hingga sepasang tali bra menggantung di pergelangan tanganku. Sekarang, sepasang bongkahan daging penuh dengan lemak yang di dalamnya terdapat kelenjar mammary duct dan sedang tidak aktif memproduksi air susu.

Eh, ingat-ingat air susu jadi teringat sama Ria. Memang sih, walaupun Ria belum pernah hamil, ia sudah bisa memproduksi air susu. Ria pernah bercerita, kalau dia bisa memproduksi air susu ketika dia lagi horni berat. Hormon dalam tubuhnya bisa merangsang kelenjar mammary duct untuk memproduksi air susu. Aku gak habis pikir, barangkali aku juga bisa seperti itu kalau pas lagi horni.

Iiishh, mikirin apa sih aku ini. Toh saat aku melakukan seks masih jauh. Hilal jodohku aja masih belum terlihat, apalagi urusan bersenggama.

"Astaughfirullahalazim. Anggu, Anggu. Tobat."

Hatiku berbisik seolah sedang mengetuk dan menjauhkan imajinasi negatif dalam pikiranku.

Tanpa sadar, bra yang tadi menggantung di sepasang pergelangan tanganku tidak ada.

Eh? Itu!! Oh tidak!! Sejak kapan braku jatuh dan hanyut terbawa arus sungai? Duh, gawat. Posisi bra dari tempatku berdiri sudah agak jauh. Kulihat air sungai ini tampak tidak begitu deras, tapi bra satu-satunya yang kupunya mengapung di permukaan sana. Sial!! Ini sih akibat aku keburu-buru saat keluar dari rumah. Bisa-bisanya aku mikir jorok saat melepaskan bra.

Dengan cepat, aku menanggalkan celana dalam. Aku letakkan di atas celana jean, kemudian tanpa pikir panjang aku pun melompat ke air.

BYUUURR

Suara tubuhku yang menceburkan diri ke air ini menggema. Dinding tebing dengan ceruk-ceruk membuat rambatan suara yang memantul terdengar lebih dalam. Airnya dingin dan menyegarkan. Seluruh tubuhku basah. Cukup lama aku menenggelamkan diri di dalam air, mungkin sekitar belasan detik. Kemudian kepalaku muncul ke permukaan.

Fiuuuhh!!!

Aku menghirup oksigen, kemudian berenang mengikuti arus. Kecepatan laju renangku cukup cepat, itu karena dibantu oleh arus yang mengalir dari belakang. Dasar sungai ini dalam, mungkin sekitar lima meter atau lebih. Lebarnya bervariasi, antara lima sampai delapan meter. Aku ikuti sungai ini yang berkelok-kelok. Tak berselang lama, aku sudah berada di bawah jembatan gantung. Aku tadi berdiri di sisi atas sana sebelum berbelok ke air terjun.

Aku berenang terus mengikuti sungai ini. Belok ke kiri, belok ke kanan. Tanpa sadar aku terkejut dengan apa yang ada di hadapanku. Di depan buntu! Tebing tinggi menjulang dari bawah sampai ke atas. Ada pusaran air di depanku! Dengan cepat, aku balik badan lalu kembali berenang melawan arus. Aku sungguh tidak menyadarinya. Sepertinya air sungai ini masuk ke bawah tebing hingga di depannya membentuk pusaran air. Aku sudah tidak memperdulikan bra itu, yang penting aku selamat tidak sampai masuk ke pusaran itu.

Dengan sekuat tenaga, aku berenang melawan arus yang tidak begitu deras. Sial banget. Gara-gara ke tempat ini, aku jadi kehilangan bra satu-satunya yang kumiliki. Tidak ada lagi penggantinya. Oh iya, masih ada Ria. Tapi, aku risih pakai bra yang dikenakan Ria. Apa lagi ukurannya berbeda. Itu urusan nanti, yang penting aku selamat.

Aku berenang melawan arus cukup lama. Memang tidak secepat saat aku mengikuti arus, tapi dengan kondisi fisik yang sering berolahraga, bagiku hal ini tidaklah susah. Lagian jaraknya tidak jauh, mungkin sekitar seratus meteran. Jika aku kelelahan, aku akan menepi dan berpegangan pada batuan padas di sisi tebing kiri maupun kanan. Berpegangan sambil tetap berendam di dalam air. Di sisi kiri dan kanan tidak ada tempat untuk berpijak. Hanya dinding dengan ceruk dan lekukan abrasi yang membentuk relief alami.

Setelah berenang melewati liku-liku tebing, akhirnya aku sampai di dekat air terjun. Aku berpegangan pada batu di sisi kiri, kemudian aku naik dan berdiri. Aku lihat pakaian-pakaianku yang ada di atas batu di seberang sana masih pada tempatnya. Mungkin begini ya rasanya mandi telanjang bulat di alam bebas sendirian. Kemarin sore, aku mandi telanjang berdua bersama Ria di pantai dan air terjun dekat pantai. Barangkali, air sungai ini mengalir ke air terjun yang kemarin aku dan Ria mandi. Aku ingat air terjun itu keluar dari goa di atas tebing. Mungkin juga pusaran air barusan itu menuju ke dalam goa itu.

Sudahlah. Aku juga tidak ada rencana untuk mengejar braku yang hanyut. Aku kemudian lanjut menceburkan diri ke sungai. Segar deh air alami bersentuhan dengan kulit. Beda dengan di kota yang sudah dicampur kaporit dan disaring berkali-kali. Aku memandang cahaya mentari yang mulai menyinari bagian atas tebing. Mungkin sekitar pukul enam pagi. Sambil berendam di air dalam, sepasang kakiku menghentak untuk memberikan daya dorong agar tubuhku terapung dan kepalaku berada di atas permukaan air.

Aku melihat ke atas menghadap air terjun. Dari atas, air terbelah menjadi dua. Ada batu besar yang membelah air terjun ini. Aku kira batu itu aman. Takutnya jatuh. Bisa gawat kalau menimpaku. Hihihi.

Ada beberapa pohon beringin yang tumbuh di sisi kiri dan kanan air terjun. Mungkin ada 3 pohon. Akar-akarnya merambat turun di dinding batuan padas. Rindang. Dahan dan daunnya menaungi air terjun. Mungkin kalau mandi di siang hari, tempat ini pun tetap sejuk.

Sambil mengamati alam di sekitarku, sepasang tanganku menggosok seluruh area kulit tubuhku. Aku menggosok ketiakku, dimulai dari sebelah kiri, lalu ke sebelah kanan. Tidak ada sabun. Aku hanya mengandalkan air sungai saja. Bagiku, ini sudah cukup. Aku ingin tahu sih, penduduk sini kalau mandi menggunakan sabun seperti apa. Kalau aku bertanya pun, pasti percuma. Para penduduk tidak akan mengerti apa yang aku ucapkan. Mungkin aku tanya ke Toni saja ya?

Cuaca pagi ini berawan. Aku bersyukur, jadi aku bisa jalan-jalan menikmati keindahan alam di sekitar pedesaan.

Badanku aku gosok. Ketika telapak tangan menggosok, beberapa kotoran yang menempel di kulitku terasa lepas terbawa arus. Rambut aku basahkan dengan cara menyelam dan menggosok kulit kepala. Saat muncul ke permukaan, wajahku tertutupi oleh rambut. Aku singkirkan dengan tangan kiri, menyibakkan ke belakang. Sepasang payudaraku juga aku gosok. Di mulai pada bagian bawah sampai ke atas. Aku gosok kulit payudaraku ini secara teratur. Memang beda deh, saat aku memegang payudaraku sendiri dengan orang lain. Kemarin, saat Ria mengarahkan telapak tanganku ke payudaranya ada sensasi lain. Aku tidak tahu itu apa. Yang jelas nafsu. Haha.

Sepasang putingku juga aku bersihkan. Beda dengan punya Ria yang mencuat timbul keluar. Punyaku masih sembunyi dan tenggelam diantara areola. Hanya saat terangsang atau kedinginan putingku mencuat keluar. Aku akan mempersembahkan tubuhku ini kelak kepada suamiku. Kalau pacar sih gak boleh. Beda dengan Ria. Pacaran aja sudah mau begituan. Sebagai seorang sahabat, aku sudah mengingatkannya. Tapi, tadi aku malah memperbolehkan Arya untuk menikmatinya. Sudah terlanjur sih. Rianya sendiri bilang boleh diapain aja. Aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya bersenggama. Bagaimana rasanya dinding-dinding vaginaku bergesekan dengan kemaluan laki-laki. Toh, saat nikah nanti aku akan menikmatinya. Karena Ria, aku bisa merasakan apa yang disebut orgasme. Titik-titik sensitif, seperti klistoris, puting, leher, dan belakang daun telingaku dijelajahi olehnya. Mengingat suara desahanku saat orgasme, mungkin nanti saat bersetubuh pada malam pertama dengan suamiku bakal ramai banget. Hihihi.

Teringat Ria, semoga saja tidak terjadi apa-apa dengannya. Aku harap Arya, Toni, dan teman-temannya tahu diri memperlakukan wanita.

Aku menggosok selangkanganku. Lipatan paha dalam atas aku gosok dengan jemari tanganku. Labia mayora, juga labia minoraku. Aku tidak berlama-lama menggosok area itu. Rambut pubisku yang lebat juga tak luput dari tanganku. Aku bersihkan rambut kemaluanku, kemudian beralih ke pantat dan anusku.

Merasa cukup, aku akhirnya menuntaskan mandiku. Aku berenang ke samping kanan. Namun, ketika hendak memanjat naik ada dua ekor monyet duduk di depanku. Aku terkejut lalu tercebur kembali ke air. Bukan hanya dua, tapi ada beberapa ekor di sekitar sini. Ada yang memanjat di akar yang merambat di tebing, ada pula yang jongkok di atas tebing. Aku melihat ke sebelah kanan.

“Heii!!! Hussss…. Hussss. Pergi sana!!!” teriakku mengusir tiga ekor monyet yang duduk di dekat pakaianku.

Salah satunya membuka kemeja dan kerudungku yang sudah dilipat. Ia menenteng sambil menciumnya. Monyet satunya bergerak membuka celana jeans. Saat ditarik, celana dalamku jatuh.

“Astaughfirullahhaladzim. Dasar monyet!!! Pergi dari sini!!” teriakku sambil menyiratkan air ke mereka.

Mereka kemudian melompat sambil membawa pakaianku. Duh, ngapain sih mereka itu? Oh, aku baru ingat. Sebelum pergi dari rumah, aku menyemprotkan parfum aroma apel. Mungkin mereka tertarik lalu mencari buah apel. Tapi, mana mungkin parfum yang aku semprotkan kemarin lusa bisa masih tersisa? Baju satu-satunya itu sudah terkena keringatku. Mungkin binatang itu punya indra penciuman yang berbeda. Aku tidak tahu, apa yang mereka lakukan di tempat ini.

GGGRRROOOAAAAAAAARRR

Terdengar raungan hewan disusul derap langkah dari atas. Tiba-tiba monyet-monyet itu lari berhamburan. Tiga monyet yang memegang pakaianku lompat dari atas batu ke akar dinding berlarian. Mereka melepaskan pakaianku. Celakanya, pakaianku terlalu minggir dan jatuh. Celana jean, kemeja, kerudung, dan celana dalam.

Arus air membawa pakaianku. Aku pun segera mengejar dengan berenang. Namun, aku melihat ulat yang berenang mendekat ke arahku. Dalam sekian detik, aku bisa menangkap ular itu berbisa. Dari ciri-ciri bentuk kepala, bentuk mata, dan cara berenang dengan tubuh serta kepala mengapung di atas air, itu adalah ular berbisa. Aku balik badan dan berenang melawan arus menuju ke dekat air terjun. Aku tidak peduli dengan pakaianku itu, yang terpenting adalah keselamatan jiwaku.

Sial banget. Tadi braku hanyut, sekarang hampir seluruhnya hanyut. Ya Allah, sebeginikah hukuman akibat aku tidak mematuhi mama. Aku tidak mengira bakal terjadi kejadian seperti ini. Pakaian-pakaian itu adalah pakaian satu-satunya yang kubawa.

Aku tidak menoleh kebelakang untuk melihat keberadaan ular itu. Memang aku tadi terlihat panik, tapi dalam beberapa detik aku sudah bisa tenang. Gaya renangku cuma menggunakan gaya bebas. Walaupun aku bisa gaya dada dan kupu-kupu, aku tidak sempat berfikir akan berenang gaya itu. Reflek saja gaya bebas.

Sesampainya, aku naik ke atas. Aku lihat ularnya berenang di seberang lalu masuk ke dalam ceruk di bawah tebing. Jangan-jangan ini adalah habitat mereka. Aku buru-buru pergi deh. Aku langsung mengenakan sepasang sepatuku. Aku tidak langsung beranjak pergi. Antara malu dan takut. Malu, karena telanjang bulat dan hanya mengenakan sepatu. Takut, karena di sini ada ular berbisa. Tempat yang indah, namun di sisi lain ada ularnya. Beruntung aku tidak sampai digigit. Lagian kalau aku digigit, mana muat tubuhku di makan ular yang ukurannya sekitar satu meter. Yang ada, aku keracunan.

Setelah berpikir, aku putuskan untuk meninggalkan tempat ini. Aku berjalan menuju ke jembatan gantung dengan jalan yang mendaki. Di sisi kiri, banyak lubang goa kecil di batuan padas. Aku sedikit ngeri melihat lubang itu. Takut ada ular, atau hewan lainnya. Di sebelah kanan, air sungai. Aku jalan di tengah. Kalau jalan dekat dinding, takut ular, kalau ke kanan takut jatuh. Memang sih airnya dalam dan kemungkinan selamat jika pendaratannya bagus. Akan tetapi, sebagus-bagusnya mendarat di air dan selamat, belum tentu aman. Mungkin saja ada ular lain yang nongol keluar. Hiiiiyy, serem.

Sambil menahan dingin, aku berjalan dengan tangan kananku menyilang di dada dan tangan kiri menutupi kemaluanku. Aku merasa sedih, kenapa ini terjadi padaku. Musibah pakaian hilang, seluruh auratku jadi terumbar. Rambutku belum mengering dan acak-acakan. Tidak mungkin aku berdiam di sini menunggu teman-teman. Mereka lagi asik dengan dunianya sendiri. Aku harus tegar.

Pelan-pelan, sepasang kakiku melangkah. Ini belum setengah jalan. Aku harus terus maju!!

Langkah demi langkah aku berjalan. Sang surya masih belum meninggi. Dipastikan ini masih pagi hari. Belum ada seorang pun yang kutemui. Mungkin aku coba dulu melihat pakaianku sambil menyisir dari atas sini. Sorot mataku melihat sungai yang ada di bawah sambil mengamati jalan.

Jembatan gantung sudah dekat, tapi aku masih belum melihat tanda-tanda keberadaan pakaianku yang hanyut. Udara yang berhembus menerpa langsung ke kulitku. Baru pertama kalinya aku telanjang sambil jalan di alam bebas sendirian.

Sekarang aku ada di samping jembatan gantung. Jalan ke kiri adalah jalan menuju ke desa, sedangkan ke kanan aku tidak tahu menuju kemana setelah menyeberangi jembatan gantung. Gimana nih? Apa aku harus balik ke desa atau mencari pakaianku?

Tidak lama aku berdiri, dari arah kanan terdengar suara pemuda yang sedang berbicara dengan bahasa daerah. Aku segera berlari ke semak-semak di depanku untuk bersembunyi. Sambil mengintip, terlihat dua orang pemuda yang sedang berjalan melewati jembatan gantung. Pemuda di depan sedang memikul harimau. Jangan-jangan suara itu yang tadi aku dengar. Mereka santai saja melewati jembatan gantung itu. Saat mereka melewati jalan di depanku, aku berdebar-debar takut ketahuan. Aku tidak mau ketelanjanganku dilihat orang lain.

Mereka sedang asik berbicara melewati jalan ini. Setelah kuintip sudah jauh, baru aku keluar secara perlahan. Aduh, gimana ini? Masak aku pulang telanjang?



Bersambung...
 
Aku akui, update ceritanya sedikit. Bingung sih, habis telanjang mau ngapain. Antara ke jalan-jalan atau kembali ke desa.

Karena banyak yang bertanya tentang ilustrasi tokoh, aku jelaskan saja asal muasal cerita ini. Tahun lalu, beberapa minggu sebelum rilis. Aku dapat cerita dari Ramit454ni via PM/DM. Ceritanya ingin aku tambah dan diedit. Katanya sudah dapat izin dari penulis aslinya. Dari yang ceritanya sekitar 3 ribu kata menjadi 15 ribu kata. Its totally gore!! Bahkan, penulis aslinya pun memintaku untuk jangan dibikin gore. 🤣. Jadi aku bikin trit sendiri.

Nah, sekarang aku kasih tahu penulis aslinya siapa. Dia adalah bramloser. Kadang aku minta masukan, dll. Cerita ini adalah request dari Ramit454ni dengan tokoh Anggu, atau Anggu Batary. Kalian gogle aja deh. Aku juga gak ingin nyantumin fotonya di sini.

Aku tahu, Ramit454ni kecewa kenapa cerita ini tidak jadi gore dan mungkin bramloser senang ceritanya jadi cerita eksib. Tapi belum tentu, siapa tau aku khilaf. 🙈

Kalau cerita ini jelek, jangan salahkan bramloser ya. Aku sekedar ngelanjutin aja. Mungkin ada yang mengira gaya penulisanku sama dengan dia, tapi benar-benar tidak sama. Jauh banget. Aku gak ada apa-apanya. 😅
 
Whoa....
Anggu....
What adventure will come upon you?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd