Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
BAGIAN 22

Bunga kemboja, yang sepengetahuanku ditanam di areal pemakaman ini entah mengapa menjadi petunjuk bagi mereka untuk memilih peserta selanjutnya. Aku benar-benar takut. Takut bagaimana nantinya tubuhku dirasuki sosok astral dan dikuasai olehnya, lalu bergerak tidak atas kemauan dan kesadaranku sendiri. Sebelumnya aku tidak pernah kerasukan.

“Batalin aja deh, atau kamu aja Ria yang gantiin aku,” kataku sambil memegang salah satu lengan Ria.

“Duh, gimana ya … sebenarnya aku mau … ” respon Ria menunduk sejenak. “Iya, kita batalkan saja. Gimana Yarna, Arya?”

“Setuju, nanti aku usahakan,” jawab Arya. Sedangkan Yarna, ia mengangguk.

Di depan sana, ketua suku melangkahkan kaki mendekati kami. Tiap langkahnya gagah, menandakan betapa besar kekuasaan dan jabatan yang diembannya. Sedikit di antara para penduduk sekitar yang menonton acara ini melihat ke arah kami. Mereka sibuk bercengkrama dengan orang-orang yang ada di sampingnya.

“Ria, berdiri,” suruh Arya.

Kulihat Yarna sudah berdiri sedari tadi. Begitu pula dengan Arya dan Ria. Hanya aku saja yang masih duduk selonjoran.

Aku pun berdiri dibantu oleh Ria sambil tetap tangan kiriku menyilang di dada. Ketua suku itu kemudian berbicara kepada Yarna. Mereka berdua berbicara yang aku tak mengetahui apa yang diucapkannya. Arya pun turut berbicara kepada ketua suku. Aku dapat mendengar namaku dan nama Ria diucapkan oleh Arya. Aku yakin, Arya dan Yarna sedang memperjuangkan agar aku tak mengikuti budaya dan adat mereka dan menawarkan Ria sebagai penggantiku.

Pembicaraan mereka cukup panjang, sampai-sampai Arya dan Yarna mengangguk-angguk oleh tutur kata dari ketua suku.

Arya menoleh ke aku. “Maaf, Anggu …”

“Eh?” kataku yang segera paham maksud dari perkataannya. Yaaaah, mau gimana lagi. Aku yakin mereka sudah berupaya keras.

“Gapapa, aku tetap berusaha melindungimu. Ingat, kan janjiku waktu di pantai?” ujar Ria memelukku dari depan sambil mengelus-elus punggungku. Tangan kiri yang menyilang di dadaku terhimpit oleh tubuhnya. Aku singkirkan perlahan tangan kiriku itu lalu kedua tanganku memeluk balik tubuhnya. Karena postur tubuhku lebih tinggi, buah dadanya menghimpit bagian bawah buah dadaku. Tetap saja sih, payudaranya menggencet buah dadaku. Bayangkan, tubuhnya yang berpostur 158 sentimeter dengan postur tubuhku 170 sentimeter. Seperti itulah gambaran perbandingannya. Pipinya menyandar di pundak sebelah kananku dengan memeluk erat-erat seperti tak ingin melepaskan momen ini.

Di malam ini, tubuh kami saling berhimpitan di tengah udara yang dingin.

Aku masih ingat janjinya di pantai kemarin. Terbukti ia turut andil besar saat penyelamatanku dari genggaman manusia-manusia kanibal. Aku percaya, Ria tak akan membiarkan hal-hal buruk menimpaku.

Kurasakan kehangatan tubuhnya di permukaan kulitku. Perbedaan suhu tubuh di malam hari yang dingin membuat tubuh kami menghangat, berbeda dengan kulit kakiku yang masih terasa dingin. Sepasang buah dadanya menghimpit dadaku membuat dua bola mata Arya malu-malu menatap kami. Ketika kutatap wajahnya, ia mengalihkan pandangannya. Berbeda halnya dengan lelaki pemimpin suku dan Yarna. Dia menatapku dengan tatapan datar dan tanpa ada nafsu. Huh, dasar si Arya saja yang mesum.

“Jadi gimana? Kamu mau ikut berpartisipasi?” tanya Ria.

“Ya, tapi kamu janji jagain aku loh ya. Aku nggak tau nanti bakal kayak apa dan aku belum pernah kerasukan.”

“Iya-iya.” Ria melepaskan pelukan pada tubuhku.

“Aku juga akan jaga kamu,” seloroh Arya.

“Makasih.”

Ternyata tatapan Arya masih tertuju ke buah dadaku ini. Aku menundukkan kepala dan melihat payudaraku yang menggantung bebas. Dengan sigap, aku menyilangkan kembali tangan kiriku ke dada.

“Awas loh ya, kamu jangan macam-macam,” ancamku ke Arya.

“Enggak akan. Masih ada Ria kok.”

“Enak aja, perjanjiannya sudah selesai. Kamu juga gak boleh grepe-grepe aku,” jawab Ria.

“Weeek,” kataku dengan menjulurkan lidah ke arah Arya dan disambut tawa manisnya.

“Udahlah, Anggu. Relakan saja kayak aku, enggak perlu kamu tutup-tutupi kayak gitu,” ujar Ria yang kedua tangannya berkecak pinggang dan sedikit memajukan payudaranya itu.

“Emang aku itu kamu, huf!!” balasku lalu tangan kananku memegang pundaknya, menarik hingga tubuhnya berputar ke arah Arya. “Nih, kalau kamu mau lihat toket … gratis tis tis.”

“Jangan liat punyaku,” imbuhku dengan sedikit rasa kesal.

“Hihihi, kalau Arya udah bolak-balik lihat punyaku. Mungkin dia penasaran sama punyamu. Makanya, umbarin aja, toh nanti lama-lama dia juga bosan lihat.”

“Iiih, jangan harap!” kataku kemudian ngeloyor pergi. “Ayo, Yarna. Ikut temani aku.”

Tangan kananku menggapai pergelangan tangan kiri Yarna, menariknya untuk ikut denganku. Namun, dia kemudian berhenti.

“Maaf ….”

“Loh, kenapa?”

“Hanya kamu yang boleh masuk,” ujar Arya.

“Masak nemenin aja enggak boleh?” gerutuku lalu disambut gelengan kepala Arya.

“Nanti aku takut kenapa-kenapa di dalam sana.”

“Takut dientot?” kata Ria.

“Riaaaaaaa!!”

“Hihihi, maaf.”

Aku memasang wajah cemberut sambil menatapnya. Dasar, temanku yang satu ini emang kompor. Mau gak mau, aku jalan sendiri. Aku pergi meninggalkan teman-temanku. Saat berjalan menjauh, kira-kira belasan meter, aku merasa ada yang mengikuti. Aku berhenti, lalu menoleh ke belakang. Ternyata yang ngikutin aku itu ketua suku. Dia dengan aba-aba tangan mempersilakanku untuk berjalan.

Dengan tanpa alas kaki, aku berjalan di hamparan tanah dan rerumputan. Rumputnya tidak setinggi di hutan kemarin. Saat kaki melangkah, beberapa helaian dedaunan rumput itu bergesekan dengan kulit kakiku. Rasanya dingin saat rumput berembun itu bersentuhan dengan kulit kakiku.

Beberapa orang di antara masyarakat yang menonton melihatku. Aku jadi merasa bangga sih dilihatin, tapi malu. Apalagi dengan kondisi yang hanya mengenakan cawat tradisional saja. Sedari tadi, tangan kiriku tidak lepas dari depan dadaku. Aku masih ogah menunjukkan seluruh gunung kembar milikku ini meski mereka secara umum sudah melihat sebagian bongkahannya. Lagian, dadaku ini tak bisa ditutupi dengan satu tangan saja. Tapi, kalau aku nutupin keduanya dengan kedua tangan, kayak aneh aja. Masak, masyarakat di sini ceweknya bertelanjang dada, cuma aku aja yang masih nutupin pakai tangan.

Tanpa kusadari, kini aku sudah berada di depan rumah tempat di mana orang yang memiliki ilmu magis itu berada. Rumah yang tak berpintu itu sungguh besar. Aku tak dapat melihat bagian dalamnya lebih jelas, karena penerangan cahaya api di sana tidak seterang di luar.

Aku menoleh ke arah kiri, di mana Arya, Ria, dan Yarna berada. Ria malah melambai-lambaikan tangan dengan punggung tangannya seperti menyuruhku untuk segera masuk. Sang ketua suku, dia berdiri berdiam diri. Sepertinya memang aku disuruh masuk lebih dulu. Duh, aku deg-degan. Pikiranku membayangkan di dalam ada sesuatu yang menyeramkan.

Dengan mengumpulkan keberanian di dalam diri, aku melangkahkan kaki menaiki tangga berundak ini. Tangga dari tumpukan batu ini permukaannya sedikit kasar, mungkin yang menginjaknya agar tak terpeleset.

Langkah demi langkah kakiku bergantian menaiki tangga ini. Sampai pada langkah terakhir, telapak kakiku menginjak lantai batu terakhir yang teksturnya lebih halus. Di sini, aku sudah memasuki ruangan yang luas yang di sekitarnya terdapat api sebagai penerang yang tak mampu menerangi seluruh ruangan ini.

Jauh di hadapanku, sebuai tirai yang mungkin terbuat dari rajutan akar-akaran dan dedaunan menutupi pandangan yang ada di baliknya. Aku merasa bergidik ngeri, saat tirai itu bergerak menyamping dan menampilkan sosok yang ada di baliknya. Melihatnya, aku berhenti melangkah lebih jauh, lalu melangkah mundur.

“Jangan takut, masuklah.”

“Eh?” kataku pelan. Aku tidak nyangka suara dari dalam sana berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

“Kemari, masuklah,” suruhnya dengan nada suara yang agak berat dan dalam.

Aku kemudian melangkah mendekat. Dalam belasan langkah, aku pun sudah di depan tirai. Kusibak tirai di hadapanku dengan tangan kananku, lalu memasukinya. Di hadapanku, terdapat sosok pria yang kuperkiraan tingginya lebih pendek dari aku.

“Duduklah.” Ia berucap sambil tangan kanannya menjulur mempersilakanku untuk duduk.

Tangan kiriku yang sedari tadi menutupi dadaku, kemudian secara perlahan duduk bersimpuh menghadapnya. Jarak antara kami berdua kurang lebih dua meteran. Di antara kami terdapat cawan berisi air yang dan bunga-bunga.

Lelaki yang duduk bersila dan bertelanjang dada itu mengenakan topeng kayu menyerupai tengkorak yang terdapat lubang untuk mata dan hidung. Di lehernya melilit kalung dari tulang-belulang dan gigi-gigi taring hewan. Untuk bawahnya, ia sepertinya mengenakan kain dari kulit yang dimotif apik melilit di pinggangnya.

Pemuka adat muncul, kemudian duduk di samping kiri di arah jam sepuluh. Pria bertopeng itu bercakap-cakap sejenak kepada ketua adat. Ketua adat itu mengangguk-anggukkan kepala. Aku tak tahu yang mereka bicarakan.

“Anggu. Tahukah mengapa daun kemboja itu jatuh ke kamu?” tanya dukun itu.

Eh? Dia tahu namaku? Setahuku, saat mereka berdua bicara tidak satu pun namaku terucap, tapi dia bisa tahu.

“Enggak tahu,” jawabku.

“Darahmu mengundang bangsa lelembut ke mari,” jelasnya sambil jari telunjuk kanannya bergerak menunjuk ke arahku. “Termasuk yang jahat.”

“Eh?” aku kaget dengan apa yang ia maksud. Konon, darah menstruasi itu disukai bangsa jin.

“Tidurlah di sini, dengan bantuan roh leluhur, saya akan bantu mengusirnya.”

Memang, di dalam tirai ini terlambari kulit hewan yang melindungi dinginnya batu sebagai alasnya.

“Nanti aku bakal tidak kenapa-kenapa, ‘kan?”

“Tidak perlu khawatir. Bagimu, ini seperti tertidur,” jelasnya meyakinkanku. Ya mudah-mudahan aja itu benar.

Aku yang duduk bersimpuh kemudian mengubah posisi ke tidur telentang. Kurebahkan badanku secara perlahan dengan tangan kiri yang tetap menyilang di dada. Kuposisikan tidurku dengan tidur telentang dan merapatkan kaki. Di sebelah kananku terdapat tirai yang menuju ke luar. Di sebelah kiri, ketua adat dan pria bertopeng.

Dukun itu kemudian berdiri lalu mendekatiku sambil membawa cawan. Ia duduk di samping kiriku. Ia menyipratkan air dalam wadah cawan itu dari ubun-ubun turun ke wajah. Cairan yang terasa dingin dan wangi ini hampir mengenai bola mataku, untunglah aku memejamkan mata, jadi tidak sampai mengenai permukaan bola mataku. Ia lakukan lagi menyipratkan cairan itu. Tangan kanan yang memegang setangkai bunga mawar itu digunakan sebagai alat untuk menyipratkan cairan beraroma harum ke leher, lalu turun ke dadaku. Ia tidak memintaku untuk menyingkirkan tangan yang menyilang di gundukan gunung kembarku. Meski begitu, aku yakin tatapan matanya tetap tertuju ke sana.

Ia mencelupkan bunga mawar, lalu dicipratkan ke perutku. Pembalut alami bikinan Yarna pun tak luput dari cipratan itu. Sepasang pahaku selanjutnya diciprati sampai ke ujung kaki.

“Sekarang duduklah,” perintah sang dukun.

Meski mulutku tak menyahut untuk menjawab perintahnya, tapi aku melakukan apa yang diperintahkannya. Aku duduk menghadap ke arah samping kiri sang dukun. Jadi, posisi dukun ada di sebelah kiriku.

Tanganku masih tetap menyilang di dada, aku tak ingin gegabah mempertontonkan area pribadiku ini kepadanya maupun ke lelaki pemimpin suku yang duduk di ujung sana. Kulihat tangan kanan dukun itu bergerak di punggungku hingga dalam beberapa detik pundakku terasa berat.

“Rileks, jangan ditahan,” kata sang dukun.

Suhu badanku menghangat. Indera pendengaran sebelah kiriku mendengar suara dari dukun yang merapalkan mantra. Aku tak mengerti ucapan atau kalimatnya bagaimana. Yang jelas, semakin lama mulutnya mengeluarkan merapal mantra, pundakku terasa lebih berat dari sebelumnya. Kucoba tak melawannya, dan dalam seketika diriku mengeram. Aku merasakan bahwa yang mengeram itu bukanlah aku, melainkan sosok yang sedang menguasai ragaku ini. Payudaraku yang tadinya terhalangi tangan, kini bebas.

Dukun itu berbicara dalam bahasa daerah kepada sosok yang ada di ragaku, lalu suara dari mulutku membalas kata-kata sang dukun. Suara yang keluar dari kerongkonganku serak dan berat.

Cukup lama ia bercakap-cakap dengan makhluk astral di dalam tubuhku ini, lalu ia menyediakan bunga yang kemudian tanpa keinginanku, tangan kiriku meraih beberapa bunga lalu memakannya. Aku bisa merasakan bunga-bunga yang ada di mulutku, namun aku tak bisa merasakan rasa dari bunga-bunga yang dikunyah dan ditelan. Setelah itu, pandanganku menjadi gelap.

Dalam pandangan gelap, aku mendengar sorakan dari penonton meski hanya sebentar. Aku tak tahu setelahnya. Kesemua inderaku menjadi hampa.

***
Aku membuka kelopak mata. Retinaku menangkap tampilan yang kabur. Kumemejamkan mata lalu membuka beberapa kali hingga aku melihat sebuah atap kayu dan jerami. Badanku terasa remuk. Otot-otot dan tulangku lemas, seperti habis diinjak-injak oleh sekawanan gajah. Di beberapa bagian tubuhku terasa sakit.

Ruangan yang kecil ini hanya diterangi oleh sebuah api yang diletakkan di dekat pintu yang terbuka dan bertirai. Dapat kudengar segelintir orang berlalu lalang di balik tirai itu.

Aku gerakkan kepalaku sedikit ke kiri hanya ada sebuah dinding batu dengan hiasan berupa gambar wajah ketua suku dari kulit hewan. Lalu, aku menoleh sedikit ke kanan. Seseorang sedang duduk bersandar pada ranjang batu tempatku berbaring. Karena duduknya membelakangiku, jadi aku hanya melihat bagian punggung kepalanya saja. Tampaknya ia sedang tertidur.

“H .. hei,” sapaku lirih.

Orang tersebut kemudian terbangun, lalu menoleh ke arahku. Aku dapat melihat raut wajahnya dengan jelas meski membelakangi cahaya. Refleksi cahaya perapian dari dinding memperjelas wajah lelaki yang familiar.

“Syukurlah, kamu sudah sadar,” jawabnya kemudian duduk di kursi dari potongan batang pohon.

“I .. iya.”

“Apa yang kamu rasakan?” tanyanya yang kemudian memutar badan mengambil sesuatu yang ada dibaliknya.

“Lemas dan pegal.”

“Nih, minum dulu,” katanya sambil tangan kanannya memegang gelas dari potongan bambu kering yang tepiannya sudah dihaluskan. “Biar kamu cepat pulih.”

Tangan kirinya mengangkat punggung kepalaku hingga aku setengah duduk, lalu ia mengarahkan bambu itu ke mulutku. Aku pun meneguk cairan yang rasanya sedikit pedas dan pahit itu. Beberapa tetes cairan itu jatuh di leher dan dadaku.

Setelah menegak beberapa tegukan, ia pun menyingkirkan gelas dan kusaksikan tubuhku hanya ditutupi oleh selembar kulit hewan dan diletakkan di selangkangan saja. Itu pun menutup dari pinggul sampai paha atas. Karena motifnya ada belahannya, jadi sebagian samping paha atas masih terlihat.

Ih, kenapa harus seperti ini?

Kulihat tatapan sorot matanya menatap sepasang gunung kembar yang tertaburi potongan bunga-bunga yang aromanya wangi, lalu kembali menatap mataku. Meski cuma sebentar, tapi tetap saja ia melihatnya. Dasar lelaki mesum. Mata kok gak jauh-jauh dari payudara.

“Dasar kamu, Arya. Pasti waktu aku nggak sadar, kamu sudah lihat banyak.”

“Ma … maaf,” jawabnya sambil menurunkan kepalaku perlahan dan kembali ke bantal dari tumpukan jerami yang dirajut.

Ia meletakkan gelas bambu ke meja di belakangnya, lalu kembali memutar badan ke arahku. “Maaf, ya. Aku enggak sengaja.”

“Huh, dasar. Kurang puas apa tadi lihatnya?”

“Kalau itu …”

“Yah, apa boleh buat. Lagian aku lagi capek.”

Kedua tanganku berada di samping badanku, belum bergerak untuk menutupi dadaku. Rasanya seperti kebas. Namun, karena efek dari minuman itu, secara perlahan rasa sakit di tubuhku mulai mereda.

“Gimana rasanya? Apa masih sakit?”

“Sudah mendingan,” jawabku kemudian menatap ke arah langit-langit.” Emang tadi waktu aku kerasukan, ngapain aja?”

“Heboh dan … menggemparkan.”

“Apa iya?” tanyaku keheranan sambil menoleh menatap Arya.

“Tadi kamu bertarung dengan beberapa orang, dan … kamu memilki beberapa kepribadian.” Ia menunduk lalu kembali menatapku. “Kamu kerasukan beberapa makhluk halus. Salah satunya makhluk yang cukup kuat.”

“Iyakah? Aku benar-benar tak ingat.”

“Ya, mungkin karena itu badanmu sakit-sakit. Kamu sempat bertarung melawan mbah dukun dan kamu kalah, lalu lari menaiki pohon dan melompat dari dahan ke dahan.”

“Sial.”

“Aku bersyukur, kamu bisa selamat. Kalau bukan karena mbah dukun, mungkin kamu hilang di dalam hutan.”

Aku terdiam mendengar penjelasannya. Memang, sebelum aku tak sadar, yang kuingat sepertinya aku mendengar sorakan penonton dan kondisiku bertelanjang dada.

“Makasih, sudah jagain aku.”

“Sama-sama,” jawabnya. “Mau minum obat tadi lagi? Katanya mbah, kalau masih sakit, kamu minum lagi.”

“Enggak usah. Aku sudah gak sesakit sebelum minum tadi.”

“Syukurlah.”

“Bunga-bunga ini …?” tanyaku sambil bola mataku menyorot ke bunga-bunga yang terhampar di permukaan kulitku.

“Oh, itu salah satu penangkal agar kamu tidak dirasuki makhluk jahat yang merasukimu,” katanya seraya duduk dan pandangannya tertuju ke atas kepalaku. “Itu juga buat nangkal.”

“Apaan? Aku nggak bisa lihat,” tanyaku yang penasaran karena bola mataku tak dapat melihat benda di atas kepalaku.

“Cuma bambu kuning dan daun kelor.”

“Kalau pakaianku ini, siapa yang ganti? Seingatku sebelum kerasukan, gak pakai ini deh.”

“Mbah yang ganti pakaianmu. Yang tadi dibuang, banyak darahnya.”

“Kok kamu tau kalau banyak darahnya?”

“Itu …”

“Kamu ngliatin waktu aku di salinin?”

“Maaf. Tadinya aku nolak, tapi mbah gak bisa sendiri, jadi …”

“Jujur aja, kamu lihat kan? Vaginaku … memekku?” tanyaku dengan lugas.

“I … iya.”

“Hmmm, gitu.” Aku memalingkan muka ke arah kiri. “Dia cowok atau cewek?”

“Cewek.”

Seperti apa yang kuduga. Kalau cowok, itu namanya kurang ajar. Tapi, kenapa harus Arya?

“Ria ke mana?”

“Dia nonton upacara.”

“Soal bahan tesis kamu …,” tanyaku kemudian aku memejamkan mata lalu melihat langit-langit. “Kenapa bukan Ria yang jagain aku?”

“Itu Ria sendiri yang minta. Lalu … soal data tesis itu sudah kekumpul banyak. Aku dibantu Ria dan Toni untuk mengumpulkan data. Ria nonton upacara sambil videoin upacara itu.”

Dasar wanita itu, bisa-bisanya seenaknya sendiri.

“Menurutmu, dari data yang kamu temukan, kamu bisa membuktikan kalau suku ini berhubungan dengan suku Maya?”

“Iya, aku tinggal mencari teori dan data-data lain yang memperkuat analisaku.”

“Baguslah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong, kenapa sih matamu dikit-dikit lihat ke payudaraku? Kurang puas apa ngelihatin waktu aku masih nggak sadar?” tanyaku yang memergoki fokus matanya tertuju ke dadaku.

“Enggak kok.”

“Enggak enggak, tapi dari tadi ngelihatin terus. Mentang-mentang aku tak berdaya dengan kondisi seperti ini bukan berarti kamu bisa melihat seenaknya.”

“Maaf,” jawabnya yang kemudian dari belakangnya masuk seorang wanita paruh baya yang bertelanjang dada dan di beberapa bagian tubuhnya terajah motif tribal dan bertindik. Di hidungnya terdapat tindik berhiaskan taring yang menembus tulang muda di antara dua lubang pernapasan.

Ia tampak berbicara dengan Arya dengan bahasa daerah. Dalam percakapannya, Arya menyebut namaku yang kemudian dibalas anggukan oleh wanita itu.

“Dia siapa?”

“Beliau adalah seorang dukun.”

“Du .. dukun?”

“Dukun yang menyembuhkanmu.”

“Oh, tabib gitu?”

“Iya. Emang kamu kira dukun apa?

“Dukun yang suka nyantet orang. Soalnya sih kamu pakai diksi itu, jadi negatif tauk kalau pakai dukun.”

“Ya kamunya aja yang beranggapan negatif. Di tempat nenekku, malah ada istilah dukun bayi.”

“Dukun bayi, apaan tuh?”

“Yang bantu persalinan, mirip bidan gitu.”

“Oh …”

Aku kemudian memandang wanita itu lalu berucap, “terima kasih, Nek. Sudah nolongin aku.”

Arya pun menerjemahkan perkataanku lalu dibalas senyuman olehnya. Kulihat ia berjalan mendekatiku, menuju ke samping tempat tidur batu tempatku berbaring. Ia berdiri di dekat pinggul kananku. Sepasang tangannya meraih satu-satunya lembaran yang menutupi aurat di bawah perutku, lalu disingkirkan hingga aku sekarang telanjang bulat.

“Eh, mau apa ini?” tanyaku kaget ketika sepasang kakiku dilebarkan membuka dan menampilkan alat kelamin yang dipenuhi rambut pubis. Tentu saja, bukan saja mbah dukun, teman cowokku itu dapat melihat sajian kemaluanku yang tak berpenghalang di bawah sana.

“Dia lagi memeriksa memek kamu, biar pendarahannya cepat selesai,” jawab Arya yang pandangan matanya bolak-balik mencuri sesuatu di pangkal pahaku yang membuka lebar.

“Huh, dasar kamu itu pandangannya memang nggak bisa lepas ya dari memekku.”

“ … “ Ia terdiam tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.

“Kalau mau lihat, lihat aja,” tawarku yang tentunya membuatnya memberi harapan.

“Eh, beneran?”

Aku mengangguk pelan yang kemudian membalas, “iya, mumpung aku lagi good mood. Anggap aja karena kamu tadi jujur.”

Padahal bukan karena mood-ku yang lagi bagus, tapi akunya aja yang malas. Ngelarang pun sudah percuma, apalagi sampai menutupi selangkanganku dengan tangan. Aku yang lagi lemas ini emang lagi males ngapa-ngapain. Sudah terlanjur kondisi seperti ini sih. Toh, aku yakin dia sudah ngelihat banyak ketelanjangan tubuhku ini disaat aku tidak sadarkan diri. Selain itu, aku ingin memberinya imbalan dan keleluasaan karena dia berkata jujur saat aku tanya apakah dia lihat memek aku sewaktu aku tadi tidak sadarkan diri.

Nenek itu kemudian membuka lebih lebar lagi sepasang kakiku, lalu tangannya bergerak tertuju ke alat vitalku. Kurasakan jarinya menyibak labiaku. Pandangan matanya tertuju ke selangkanganku. Kulihat Arya juga melihat ke arah sana. Setelahnya, wanita tua itu berbicara ke Arya, lalu Arya mengambil kendil. Diserahkannya kendil ke nenek itu. Tutup kendil itu kemudian dibuka lalu diletakkan di samping pinggul kananku. Tangan nenek masuk ke kendil, lalu mengusapkannya langsung ke area selangkanganku. Dari atas rambut pubis sampai ke bawah kemaluan. Rasanya dingin-dingin sejuk gitu.

“Kamu sudah tahu kalau aku lagi mens?” tanyaku saat Arya lagi melihat tangan wanita tua yang lagi meluluri area paling pribadiku itu.

“Baru tahu saat dibilangi tabib.”

“Kamu nggak tahu ya, kalau mens itu gak bisa selesai dalam satu atau dua hari. Apalagi bisa mampet dalam seketika.”

Dia menggelengkan kepala. Huh, emang cowok gak tahu atau dianya saja yang kurang pengetahuan.

“Katanya mbah, dengan ramuan oral dan ramuan yang dilulurkan, hal itu bisa.”

“Iyakah?”

“Aku belum tahu. Ini saja baru tahu sekarang ada pengobatan yang begini.”

“Oh ….”

“Ya kita lihat saja nanti. Ada satu hal yang tadi mbah bilang, kalau dalam beberapa bulan ke depan, kamu akan mengalami gangguan menstruasi.”

“Kok bisa begitu?”

“Entahlah.”

Apa karena efek dari minuman ramuan obat ini ya? ataukah ada hal-hal lain? tapi mudah-mudahan hal itu tidak berlangsung lama. Kalau cuma sampai bulan depan, bagiku itu bukan masalah besar.

Perempuan dengan wajah keriput dan sebagian rambutnya beruban itu berbicara ke Arya, lalu segera Arya bergerak mengambil kendi yang lain. Ia pun meletakkan kendi di dekat kendi yang isinya sudah digunakan untuk meluluri selangkanganku.

Tampak Nenek itu berbicara ke Arya. Arya tampak menggeleng-geleng seraya kedua telapak tangannya membuka dan bergerak menandakan penolakan. Nenek itu tersenyum sambil tertawa pelan.

“Kalian ngomong apa, sih?”

“Anu … itu …”

“Anu itu. Jadi cowok itu yang tegas, dong.”

“Si mbah minta aku bantu lulurin ke badan kamu, tapi aku nolak.”

“Oh gitu, kenapa kamu nolak? Bukannya ini kesempatan bagus buat kamu?” tanyaku memanas-manasinya.

“Eh, maksudnya … kamu tidak keberatan kalau aku meluluri badan kamu?”

“Iyah, mumpung aku lagi
mood, loh.”

“Beneran boleh, Anggu?”

“Iya, tapi kamu jangan bilang-bilang ke Toni dan Ria. Entar kamu cerita ke mana-mana.”

“Eh, iya. Janji, aku gak akan cerita ke siapa-siapa.”

“Nah, gitu.”

Arya berbicara ke wanita tua di sampingnya, lalu tabib itu menepuk pundak Arya. Ketika Arya menoleh, mbah tabib berbicara kepadanya. Wajahnya tampak kaget gitu, lalu dengan senyum ramah si nenek pergi meninggalkan kami. Arya tampak mengantarkan perempuan tua itu keluar, lalu menutup pintu batu.

Sekarang hanya ada sepasang insan di ruangan ini. Arya kembali duduk di dekat tempat tidurku.

“Ih, kenapa sampai ditutup gitu pintunya?”

“Biar nggak ada yang gangguin.”

“Gangguin? ganggu apa?”

“Lulurin kulit kamu, Anggu. Hehehe.” Kulihat mata Arya kini sudah tidak malu-malu melihat tubuh telanjangku. Gimana tidak, ia aku ijinkan untuk menjamah tubuhku. Matanya tak berkedip saat melihat tonjolan kecoklatan yang ada di salah satu gunung kembar di dadaku. Apa yang dia pikirkan? bukankah dia sudah pernah melihatku telanjang dada waktu aku tiba bersama Ria dan Yarna? Dia juga sudah melihat ketelanjangan Ria dan menyetubuhinya, bukan sekedar melihat puting Ria saja. Aku tahu dia memiliki nafsu yang besar ke tubuhku ini. Mudah-mudahan saja dia tidak memiliki niat untuk memperkosaku. Dengan memperbolehkan tubuhku ditatapi dan disentuhnya, bukan berarti dia dengan seenaknya merenggut keperawananku. Kuharap dia tidak seperti kedua laki-laki tua kanibal yang melecehkanku beberapa waktu yang lalu.

“Kalau dilihat-lihat dengan seksama, badanmu seksi juga.”

“Eh? masak, sih?”

“Iya.”

“Bagus mana sama Ria?”

“Bagus kamu.”

“Beneran, nih?”

“Iya. Apalagi, kamu belum pernah disentuh laki-laki.”

Oh, itukah yang ada dipikirannya? karena itu dia melihat tubuhku bagus. Dia tidak tahu saja fakta sebenarnya, bahwa tubuhku ini sudah pernah
dicabuli oleh orang lain yang usianya jauh di atas dia.

“Lalu, kalau sudah pernah disentuh, badan aku jelek dan gak seksi gitu?”

“Eh, bukan seperti itu … maksudku …”

“Hahaha, jangan dipikirkan. Aku senang kamu menilai aku begitu. Makasih, ya.”

"Sama-sama.” Ia menunduk sejenak, lalu menatap ke mataku. “Jujur, aku nafsu lihat kamu Anggu."

"Sungguh?"

"Iya, Anggu. Bahkan aku gak ngebayangin bisa lihat kamu telanjang kayak gini. Anggu yang biasa memakai baju tertutup, sekarang bugil di depan mataku. Makasih Anggu."

"Eh … kok makasih sih?"

"Abisnya sekarang fantasiku jadi kenyataan, hehehe."

"Memangnya kamu pernah fantasiin aku kayak gimana?"

"Emang boleh nih Anggu, blak-blakan ngomongnya?"

"Silakan aja, aku mau denger. Toh, aku bukan anak kecil. Di sini juga hanya ada kita berdua saja."

"Itu …” Ia menundukkan kepala lalu bibirnya berucap, “aku pernah onani sambil ngelihat foto IG-mu dan ngebayangin ngentotin kamu Anggu."

"Ealah, fantasiin seperti itu.” Bisa-bisanya dia onani sambil lihat foto sosial mediaku.

“Kamu nggak tersinggung?” tanyanya seperti terkaget-kaget atas responku.

“Enggak. Kumpulanmu bareng Toni, wajar sih kayak gitu.”

Dia kemudian menundukkan kepala lagi, lalu aku bertanya kembali. “Sering kaya gitu memangnya?"

"Lumayan Anggu. Seminggu bisa dua kali. Itu pas aku masih perjaka."

"Tapi memangnya kamu masih perjaka, Arya?"

"Beneran masih. Kalau gak karena Ria, mungkin aku masih perjaka. Kamu gak percaya?"

"Percaya gak percaya sih, kan gak ada bekasnya, beda sama cewek yang punya selaput dara. Lagian cowok seumuran kamu sekarang masih ada yang perjaka ya?"

"Ya banyak sih yang gak perjaka, tapi aku masih kok …”

Aku mengerutkan dahi, lalu dia berkata, ”... sebelum tiba di pulau ini, hehehe."

"Hihihi, iya-iya mantan perjaka,” kataku santai sambil mata dia sudah lebih rilek memandangi buah dadaku. “Perasaan kamu gimana setelah first sex sama Ria?"

"
Feeling good sih Anggu, kayak bebas aja".

"Kamu gak nyesel?"

"Kalau dipikir-pikir enggak menyesal. Apalagi rasanya enak banget.”

“Menurutmu, kamu merasa nggak kehilangan keperjakaanmu di orang yang sudah tidak perawan. Mengapa tidak ke yang sama-sama belum pernah ngelakuinnya.”

“Eeemmm … aku tahu hal itu dan konsekuensinya. Kalau pun nanti calon istriku kelak bertanya, mungkin aku akan berkata jujur. Entah nanti dia menerima atau tidak.” Lirikan matanya tertuju ke samping, lalu kembali menatapku. “Kamu gak pengen nyoba Anggu?"

"Nyoba? ngentot gitu maksudmu?"

"Iya …. maaf kalau nyinggung kamu, Anggu."

"Santai aja. Tadi sudah aku bilang kalau kita sudah sama-sama dewasa,” balasku sambil tersenyum. Aku tidak ingin perasaannya jadi tidak nyaman.

“Kamu sudah tahu kalau seharian tadi, aku hampir diperkosa."

"Tahu sih, tadi Ria cerita tapi belum tau detailnya."

"Okelah aku akan cerita."

Aku kemudian menceritakan tentang kejadian-kejadian secara berurutan. Dimulai saat aku pergi ke sungai dimana pakaian dan sepatuku hanyut. Persis apa yang kuceritakan pada Ria. Wajah Arya tampak tertegun, entah heran apa
horny. Bingung sih lihat ekspresinya.

"Berarti kamu udah gak perawan, Anggu?" tanyanya setelah aku selesai menceritakan semuanya secara mendetail.

"Enak aja … masih dong."

"Tuh, dari ceritamu berarti kamu kan udah nge-seks, meski tanpa coitus."

Mendengar penjelasan Arya, aku malah jadi mempertanyakan statusku.
Am I still virgin? Mungkin aku juga bingung kalau orang bertanya padaku. Dibilang perawan mungkin benar kalau berkaca dari anatomi tubuhku, kalau selaput daraku belum robek. Tetapi, aku pernah berhubungan seks, bahkan bisa dibilang kalau aku bukan benar-benar diperkosa, karena jujur aku juga menikmatinya.

Aku telah menceritakan secara detail apa yang sebenarnya terjadi ke Arya, termasuk di mana penis tua bangka kanibal itu sempat mencoba memasukkannya ke vaginaku. Bisa dibilang coitus sekian persen. Mungkin kepalanya sempat terbenam di dalam memek tembemku.

"Tauk deh. Kalau kamu nganggap aku masih perawan atau gak itu sih hak kamu."

“Tadi kamu cerita, kamu pernah memeknya digesekin kontol dan kontolnya hampir masuk,” jelasnya yang ia mendengar dan memahami kejadian itu.

“Ya masuk dikit, tapi nggak sampai penuh.”

“Ya, itu sama aja kamu udah pernah.”

“Gitu, ya?”

Arya mengangguk lalu berujar, “gimana rasanya?”

“Hmmmm … lumayan.”

“Hahaha. Nggak pengen nyoba lagi?”

“Tauk deh.” Aku mengerutkan dahi. Aku tak ingin dia memancing-mancing lebih jauh lagi, takutnya malah kebablasan.

"Iya deh, jangan dibahas lagi.
By the way, memangnya kamu gak ingin dilulurin nih?”

“Oh iya, baru inget. Kamu itu ihhh … sampai lupa karena kelamaan ngobrol.”

“Beneran nggak apa-apa, ‘kan? kalau aku nyentuh tubuh kamu. Nanti kamu malah gampar aku.”

Dont worry about it, tapi kamu tahu batasan ya, kalau aku bilang gak boleh jangan diterusin.”

“Iya deh aku janji.”

“Mulai dari belakang dulu yah?”

“Siap.” Dia dengan sigap mengambil kendi berisi ramuan yang nantinya dioleskan ditubuhku. Ia memindahkan kendi dari ranjang ke meja di sebelah kiriku dan di sebelah kiri dari Arya.

Dengan tubuhku yang lemah, aku berusaha memutar dan membalikkan tubuh ke arah kanan. Namun, aku belum berhasil.

“Bantuin dong, aku masih enggak ada tenaga nih.”

“Eh, iya.”

Tangan Arya kemudian memegang lengan atas sebelah kiri dan tangan satunya di pinggul sebelah kiri. Untuk pertama kalinya tubuhku selain telapak tangan disentuhnya. Ia menarik, lalu tubuhku mulai menggelinding 180 derajat ke arah kanan. Dari posisi berbaring terlentang ke posisi tengkurap. Karena aku memutar ke arah kanan, jadi badanku dengan Arya jaraknya lebih dekat. Sebelah kanan dari tubuhku ini sampai di tepian ranjang. Sampai-sampai, tangan kananku ini jatuh menggantung.

Badanku masih terasa agak kaku. Beberapa sendi tulangku juga masih mati rasa seperti sulit untuk digerakkan. Sebenarnya agak risih sih gimana tadi Arya menatap ke payudara dan memekku, tapi aku percaya kalau Arya masih bisa menahan nafsunya. Kalau Toni sih aku mana mau dilulurin kaya gini, bisa-bisa aku dimangsa predator kayak dia dan keperawananku lenyap.

Arya paham dengan kondisiku. Ia meraih tangan kananku, lalu mengangkat dan meletakkan di atas ranjang di samping pinggangku, namun beberapa saat kemudian terjatuh lagi. Dengan inisiatifku, aku kemudian menggerakkan tanganku, lalu aku angkat dan kuletakkan di atas kepalaku. Dengan posisi yang absurd ini, aku yakin dia melihat jelas bentuk payudara kiriku yang tertindih dan menggembung ini meski cuma bagian sampingnya aja. Aku yakin dia suka.

“Silakan Arya, kamu mulai dari punggungku aja,” tawarku dengan melirik ke arahnya.

Oh iya, posisi kepalaku menoleh ke arah kiri, jadi aku bisa melihat Arya yang ada di sebelah kiriku.

“Hei Arya, kok malah bengong sih?” gerutuku.

Aku melihat wajah Arya yang berada di samping kiriku. Kulihat telapak tangannya sudah dilumuri dengan ramuan lulur dan berada di atas punggungku, tetapi arah tatapannya tertuju ke arah lain.

“Kamu liatin apaan sih?”

“Maaf, Anggu. Aku gagal fokus lihat…”

“Lihat apa? Pantatku ya?” tebakku. Dalam benakku aku sudah menduga, kalau ia melihat ke arah lain. Tatapannya sungguh mesum.

“Iya….”

“Jangan kaget kayak gitu. Cringe tauk. Kamu kan udah pernah lihat punya Ria atau di situs bokep di internet. Enggak ada bedanya, ‘kan?”

“Enggak Anggu, punya kamu lebih sekal dan bulat.”

“Ih kamu genit banget sih, Ar,” ujarku dalam hati. Entah kenapa aku merasa senang dengan pujian Arya. Apakah ini yang dirasakan Ria ketika pamer tubuh, ketika orang lain merasa
exciting melihat tubuh kita. Perasaanku seperti terpuaskan walau dengan hal sesederhana itu. Diriku seperti terberkati memiliki bentuk tubuh seperti ini.

“Kamu mau bilang aku gendut kan Arya?”

“Gak … enggak,” ucapnya sambil menggelengkan kepala. “Sebaliknya, malah aku suka tubuh seperti kamu Anggu, seksi malah.”

“Dasar kamu ini. Buruan lulurin aku, nanti keburu kering obat lulurnya loh.”

Arya yang berdiri di sebelah kiriku kemudian menggerakkan telapak tangannya dan mulai menyentuh kulit punggungku. Agak kasar sih, gak seperti tangan Ria, tapi ada sensasi yang mulai menghinggapi tubuhku, seperti terkena tersengat listrik bertegangan rendah yang menjalar ke seluruh tubuh. Aku akui, rasanya tangan menjamah tubuh sendiri dengan tangan orang lain itu berbeda. Aku masih mengingat betul bagaimana tangan Ria yang merangsang tubuhku di air terjun itu, ditambah kejadian saat tubuhku dijamah oleh manusia kanibal. Dibandingkan dengan tangan orang kanibal, tangan Arya masih lebih halus. Meski bukan pria pertama yang menjamah tubuhku, tapi inilah yang berbeda antara disentuh tangan cewek sama tangan cowok.

Beberapa saat kemudian, kulitku mulai merasakan hangat dari rempah-rempah lulur itu. Hangatnya tidak sepanas balsam, namun tidak seperti minyak kayu putih. Hangatnya seperti tubuhku didekap seseorang, padahal udara di sekitarku sebelumnya terasa dingin. Agak dejavu sebenarnya, teringat sensasi seperti ketika tangan kedua laki-laki tua kanibal yang menjamah tubuhku dengan paksaan. Untung deh, orang-orang itu kena getahnya dan sekarang tinggal bangkainya saja.

Oh iya, saat ini aku merasa kalau mensku sudah berhenti. Memang apa iya efek sebuah ramuan bisa secepat ini?

“Badan kamu kenapa gerak-gerak gitu? apa terasa sakit ya?”

“Itu karena kamu tadi terlalu kasar. Niat ngelulurin atau mijat sih?” protesku yang merasakan tangannya yang tidak hanya meluluri ramuan, tapi memijatnya.

“Ma … maaf. Kamu gak suka aku pijat?”

“Ya suka, tapi pelan-pelan aja. Ingat, aku ini cewek, jangan samakan dengan mijitin Toni yang badannya kekar.”

“Maaf maaf.”

“Ya udah, cepet lanjutin.”

“Siap!!” tegasnya bak prajurit TNI.

Kedua telapak tangan Arya kembali menyapu seluruh punggungku. Tanganya bergerak dari punggung di bawah leher sampai ke atas pantat. Setelah itu, tangannya kembali menuju ke atas. Saat mengusap bagian pinggang kiri dan kananku, aku merasakan geli. Tubuhku bergerak menghindar.

“Geli ya?”

“He em.”

“Kalau begitu, tidak aku usap area itu saja ya?”

“Ya diusap dong, tapi … jangan ditekan keras-keras. Cukup pelan-pelan saja. Gerakannya juga yang lembut,” saranku kepadanya.

Tangannya kulihat mengambil cairan kental di dalam kendi, lalu mengusapkan ke pinggang kiri dan kanan. Aku merasakan, bagaimana tangannya menyentuh area sensitif di pinggangku. Rasanya tidak segeli saat tangannya pertama menyentuhnya.

“Nah gitu,” ucapku.

Tangannya bergerak ke pinggul, lalu kembali ke atas. Tangan Arya yang berada di sebelah kananku bersentuhan dengan tangan kananku. Memang saat telungkup, tangan kanan kuletakkan di dekat pinggang. Berbeda dengan tangan kiriku yang aku letakkan di atas kepalaku.
Saat tangannya bergerak dari pinggang ke ketiak, aku merasakan bagaimana ruas-ruas permukaan jarinya menyentuh bagian samping payudaraku. Tekanan, friksi, dan pergerakan di kulit yang membungkusi kelenjar persusuanku. Meski aku tahu, antara kulit dan kelenjar itu ada lemak. Hal itulah yang membuat payudaraku terasa kenyal.
Officially, payudaraku sudah disentuhnya meski cuma sampingnya aja. Tapi bagiku itu tetap nyentuh sih, gak perlu harus keseluruhannya. Bahkan, ia sengaja menekan gundukan di dadaku itu baik di sebelah kiri maupun di sebelah kanan. Baginya, payudaraku adalah payudara kedua yang disentuh setelah Ria.

Jarinya berulang kali naik-turun antara ketiak dan pinggang. Bahkan, ia sengaja berlama-lama di area payudaraku itu.

“Ihh, kamu apakan susu aku sih?” protesku saat jarinya berhenti di payudaraku bagian samping.

“Ngelulurin sambil mijat.”

“Pantes aja, ngelulurin cukup satu kali, itu kamu tadi bolak-balik sampai nyenggol buah dadaku.”

“Maaf, kamu nggak suka?”


“Suka, tapi bilang dong sedari awal kalau mau mijitin, jadi aku bisa siap-siap.”

“Siap-siap?”

“Ada deh, hihihi.”

“Kalau gitu, aku lanjut lagi ya?”

“Iya.”

Sekarang dia memijatku dengan cairan lulur di area pundak, baik sebelah kiri maupun sebelah kanan. Aku merasakan ada tekanan dari usapan telapak Arya. Gerakan tangannya yang memijat dengan jari-jari tangan terasa seperti mencengkram kulitku.

“Hmmmpp!!” lenguhku.

“Kamu kenapa, Anggu? kok kayak nahan sesuatu?”

“Sakit, tapi gak apa-apa, kamu terusin aja.”

“Berarti dibagian sini ada cedera otot ringan.”

“Oh gitu.”

“Soalnya tadi waktu kesurupan, kamu dikejar warga sambil
rolling dan salto di bebatuan masuk ke dalam hutan. Gerakannya kayak Sakawuni di acara tutur tinular gitu,” jelasnya sambil tetap memijat di area punggung leher yang sebelumnya rambutku disingkirkan ke samping. “Andaikan tidak kekejar, mungkin sekarang kamu …”

… nggak dipijitin, hihihi,” selorohku.

“Bukan gitu …”

“Dipijit plus-plus.”

“Bukan juga.”

“Mesum.”

“Bukan, Anggu.”

“Berduaan di dalam ruangan yang sama … dengan kondisi telanjang … apa coba kalau nggak mesum?’

“Yaah, itu kamu sendiri yang bugil.”

“Hihihi,” tawaku terkikih-kikih.

“Beruntung loh dukun itu sakti, bisa ngejar dan nangkap kamu.”

“Oh, iya. Waktu ketangkap, kondisiku seperti apa?”

“Bugil, hehehe.”

“Iiiish iya, aku tahu aku bugil. Maksudnya, diapain gitu?”

“Gak tau sih jelasnya, tapi pas kamu ketangkap, dia menidurkan setengah duduk, lalu tangannya seperti menekan perut lalu naik ke dada, lalu ke atas seperti membuang sosok yang ada di dalam tubuh kamu.”

“Dada? Dia pegang toket aku nggak?”

“Bukan megang, tapi cuma nyentuh sekilas sih. Itu pun cuma sekali saja.”

“Ohhh.”

“Seperti ini gerakannya,” kata Arya yang kemudian kurasakan tangannya berada di punggung, lalu secara perlahan naik ke atas sampai ke punggung leher, kemudian lepas. Dengan gerakan seperti itu, aku yakin tangan si dukun sudah menyentuh dan menyenggol buah dadaku. Meski yang dipraktekkan Arya di punggung, aku bisa merasakan kalau gerakan itu ada di bagian depan tubuhku. Huh, dasar si dukun itu. Kalau ketemu, aku omelin aja deh. Mungkin aku ajak Arya buat jagain kalau dukun itu macam-macam.

Sialan, dukun itu beruntung banget. Mana kondisiku nggak sadar. Untung ada saksi yang lihat. Aku tak tahu, Ria menyaksikan juga atau tidak.
Aku tidak menyangka. Di awal pertemuan dengan dukun itu, aku tidak merasa seperti dilecehkan, tapi tidak nyangka saat kondisiku kesurupan, dia nyentuh dadaku yang paling pribadi. Tapi, mau nggak mau yang sudah terjadi harus diikhlasin.

Kondisiku sekarang begitu dilematis. Pijatan Arya di sekujur tubuhku benar-benar mulai terasa ada yang tidak biasa, bukan merasakan sakit lagi. Entah karena sentuhannya, atau ada efek dari ramuan lulur, atau dari ramuan oral. Sekarang ini aku terangsang dan merasa bergairah. Jujur saja, aku malu kalau mulutku mengeluarkan suara desahan dan terdengar oleh Arya. Kugunakan lengan kiriku untuk menutup mulutku. Jadi, ada gunanya tanganku berada di atas kepala ini. Ditambah, posisi kepalaku yang menoleh ke kiri.

Tangan Arya menggerayangi pantatku yang sekal dan bulat itu. Tak ayal, adrenalin dalam darahku meningkat dan membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ditambah, ia melebarkan pantatku dan merasa kalau lubang pembuangan fesesku ditatapinya. Uuuh, malu tapi di sisi lain aku
horny. Kedua bibirku menutup rapat menahan desahan ketika lubang kecil berbentuk bintang itu ditekan-tekan oleh jarinya. Kalaupun harus berhenti, ini sudah kepalang tanggung. Sensasi yang kurasakan benar-benar terasa nyaman. Rasanya bikin nagih dan tak ingin berhenti.

Harus aku akui, kalau ruas-ruas jemari Arya benar-benar pintar menari-menari di atas pantatku, terutama saat jarinya bergerak dari tulang ekor menuju ke perineum, yaitu area di antara vagina dan dubur.

“Mmhhh,” lenguhku dengan sepasang bibirku mengatup dan tertahan oleh lengan kiriku. Bagaimana tidak melenguh, jarinya dengan lancang bergerak dari perineum ke bibir vaginaku. Sungguh, dia adalah orang kedua dari teman-temanku yang menyentuh memekku. Kalau yang pertama, tentu saja Ria yang binal itu.

Tiba-tiba, kurasakan tangannya bergerak ke atas, Ia mengurut area pantat dan punggungku. Aku tak tahu bagaimana ia mengurut. Mungkin saat mengurut, ia menggunakan ibu jarinya. Rasa pegal berangsung-angsur mulai lenyap dan kini berganti dengan rasa nikmat yang sulit terungkap dalam kata-kata.

Tangan Arya beranjak memijat ke bagian atas, yaitu di punggungku. Kali ini kurasakan tangannya menelapak lebar di sana. Ia berhenti dan selama beberapa detik tak bergerak dari sana.

Tiba-tiba …

KRETEK!!!!

“Aaaaah!!!” jeritku saat terdengar ruas-ruas tulang punggungku yang berbunyi.

“Sakit?”

“Dikit,” jawabku spontan.

“Tahan dikit ya,” pintanya yang kurasakan tangannya berpindah beberapa senti ke bawah.

KRETEK!!

“Hmmmm!”

“Gimana, enak?”

“Lumayan.”

Setelah itu, ia memijat di area lumbar, yaitu bagian berbentuk cekungan di antara punggung atas dan pantat. Tangan Arya mulai bergerilya di area itu. Ia mengurut ke atas dan ke bawah, terkadang ke samping ke arah pinggang. Aku sedikit merasa geli saat tangannya pinggangku diurut. Dia cukup cekatan. Jari-jari tangan Arya terkadang mengurut kadang juga mengetuk-mengetuk pelan di area ini. Rasa nikmat dan geli pun berpadu jadi satu.

Selanjutnya, ia kembali memijat ke gundukan kembar di bawah punggungku. Pantatku bukan dipijat, tepatnya diremasi. Mungkin ini alasan mengapa ia beralih pijatan dari pantat ke punggung. Perkiraanku, dia menikmati sajian yang paling dinikmatinya.

Dugaanku salah. Ternyata ia melakukannya cuma sebentar. Pantatku diremasi beberapa detik, lalu beralih memijat pahaku. Paha belakang, tepat di bawah pantat dipijatinya. Ia memijat dari paha atas. Dapat kurasakan saat memijat paha atas, bibir kemaluanku bergesekan dengan jarinya.

"Hmmm … Mmmhhh…," desah yang keluar dari mulut yang tertahan oleh lengan kiriku. Entah dia mendengar atau tidak, yang aku yakin sih dia mendengarkannya, tapi dia pura-pura cuek. Ini bukan kebetulan, ia dengan sengaja menggesekkan jarinya di selangkangan sampai mengenai labiaku. Paha sebelah kiri atas dipijat sambil menempelkan jarinya di bibir kemaluanku. Tangannya bahkan dengan lancang menggeser kaki kananku dan membuat selangkanganku membuka lebih lebar. Ia lakukan seperti si nenek tabib tadi yang melebarkan kakiku. Kalau dalam keadaan normal, tentu aku marah, tapi aku bertingkah sebaliknya. Aku seolah-olah mewajarkan perbuatannya. Uhhhh!!!

"Terusin Arya… jangan berhenti," jeritku menyemangatinya dalam hati.

Tak kusangka, ia beralih memijat ke arah bawah, ke arah betis.

Di saat aku menginginkan kemaluanku digeseki oleh jarinya, dia malah berpindah ke yang lain. Apakah aku harus mengatakannya, bahwa aku menginginkannya? Tapi aku malu. Sungguh, aku tak memiliki keberanian untuk berucap. Mungkin kalau Ria jadi diriku, pasti mengatakan, “Arya, gesekin memek aku, dong?” ya begitulah kira-kira..

Arya memijat dari paha atas sampai ke betis, lalu lanjut ke ujung jemari kaki. Tiap jari-jari kakiku bahkan ditarik hingga berbunyi. Ia melakukannya juga ke kaki kananku. Memijat paha atas, sampai ke ujung jari, lalu menarik kelima jemari kaki kananku.

"Gimana Anggu, sudah mendingan?"

“Iya.”

“Kalau gitu aku pijat lagi ya?”

“Eh, kok gitu?” tanyaku kaget. Kukira udahan.

“Pijatan barusan itu baru permulaan saja, sekarang intinya.”

“Emang ada yang begitu?”

“Senam aja ada pemanasan, inti, dan pendinginan. Begitu juga pijat.”

“Nggak pernah dengar tuh, tapi aku nurut aja deh. Toh yang ngerti pijat memijat itu kamu.”

“Hehehe, kamu nikmati saja.”

“Iya.”

Ia kembali memijatku di area punggung. Di antara ruas-ruas tulang rusuk bagian belakang diurut dengan tekanan yang membuatku merasa nyaman.

“Tadi aku dengar kamu mendesah. Pantatmu sampai gerak-gerak gitu. Nggak apa-apa kan?”

"Enggak, kok. Geli aja tadi. Pijatanmu malah terasa nyaman. Kamu lanjutin aja pijatannya."

Tak dapat kupungkiri kalau aku sungguh menikmati pijatannya, terutama di area selangkanganku. Saat dipijat, rasanya sungguh nyaman, atau lebih tepatnya
horny, uhh!!

Kurasakan tangannya bergeser memijat di sekitar lumbar punggungku. Pikiranku sudah tak mempedulikan kalau sekarang tubuhku sedang dijamah dan dimesumin oleh lelaki yang bukan muhrim. Sensasi saat kulit di tubuh telanjangku ini disentuh laki-laki membuat kewarasanku lenyap dan dikuasai oleh berahi.
Please, don’t stop it. Touch every inch of my body. Jamahlah tubuhku ini, Arya.

Aku yang posisinya menoleh ke kiri dapat melirik ke wajah Arya, bagaimana dia memandangi tubuhku ini.

"Uuuuh," desahku saat tangan Arya secara tiba-tiba memijat selangkanganku dan
strike mengenai kelentit. Aku yakin dia sengaja melakukannya.

“Enak, Anggu?” tanyanya.

Uh, kenapa sih dia tanya-tanya itu? Kalau aku bilang enak, apakah dia senang? Tapi harus kuakui memang enak.

“Kok, diem?”

“Iya, enak,” selorohku lalu melenguh nikmat. Bagaimana tidak, dia kembali membelai lempitan kemaluanku.

Aku terus mendesah ketika Arya menggesek-gesek di bibir memekku. Stimulus yang diberikan Arya terhadap titik kelemahanku membuatku bergairah dan otakku dikuasai oleh berahi. Aku tak malu lagi untuk mendesah lebih kencang. Dan tentu saja, dia menikmatinya.

Kurasakan sekarang labiaku tersibak, membuat rongga sempit perawanku jadi tak berpenghalang. Ditambah, kedua kakiku yang melebar saling berjauhan.

“Kalau dilihat-lihat bentuk lubang memek kamu ciut,” ucapnya yang kurasakan jarinya melebarkan labia mayora, persis di samping lorong kawinku.

“Oh, ini ya yang namanya
hymen?” tanyanya.

“Ehhmmmm … iya,” jawabku sambil mendesah saat kurasakan lorong kawinku yang selaput daranya masih utuh disentuhnya.

“Beda ya sama punyanya Ria.”

“Beda gimana?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Kalau Ria, di sini sudah tidak ada ini gitu,” jelasnya sambil kurasakan lorong memekku ditusuk pelan.

“Tidak ada ini gimana?” tanyaku penasaran.

Hymen. Ini …”

“Aaahh …. Jangan ditusuk gitu, nanti robek loh.”

“Hehehe, maaf,” katanya cengengesan. “Oh iya, berarti kamu masih perawan ya, Anggu? Selaput daranya belum robek.”

“Nah, itu kamu tahu. Meski aku sudah dimesumin dan hampir diperkosa, tapi mereka belum bisa merenggut keperawananku.”

“Iya, aku ikut bersukur.”

“Bersukur apaan?”

“Kamu masih perawan.”

“Terus, kalau masih perawan, kamu mau merawani gitu? Ihh jangan harap ya.”

“Hahahaha, enggak kok. Ya kecuali kamu mau sih.”

“Iiihh, amit-amit.”

“Why? Am I not your type?”

“Nggak, eh maksudku bukan saatnya aja. Kamu cakep kok, cuma aku belum siap aja.”

Aku memang tak ada rencana untuk melepaskan keperawananku sama dia. Meski tubuhku sedang dikuasai nafsu dan berahi, namun aku masih bisa menahannya. Mudah-mudahan keperawananku selamat.

“Selain selaput dara, lalu apa lagi bedanya?” tanyaku kembali.

“Heeemmm …” Dia bergumam dan kurasakan labia minora sebelah kiriku dibelai-belai, lalu disusul sebelah kanan. “Ini kamu lebih kecil.”

“Ini apaan?”

“Apa ya namanya ini, gelambir?”

“Iiiihhh, dasar dodol. Itu bukan gelambir, tapi labia minora.”

“Oh, labia minora.”

“Emang ayam, ada gelambirnya …. Jangan nyamain sama hewan itu,” protesku.

“Iya, aku tidak tahu. Makasih sudah ngasih tahu.”

“Gimana tadi, labiaku kecil?”

“Iya. Terus klistorismu juga kecil.”

“Punya Ria besar ya?”

“Hahaha, iya. Tapi ada lagi yang beda.”

“Apa?”

“Warnanya beda.”

“Punyaku hitam gitu?”

“Bukan … bukan gitu. Memek kamu lebih gelap dari Ria.”

“Wajar, rasnya aja beda. Dia blasteran,” jelasku kepadanya. “Yang paling penting bukan warnanya, tapi fungsinya.”

“Fungsinya apa?”

“Ya buat pipis sama bersenggama.”

“Ini buat bersenggama …,” ucapnya dan kurasakan gua peranakan terluarku disentuhnya. “ … lalu yang buat pipis di mana, Anggu?”

“Itu, ke bawahan dikit jari kamu,” saranku yang kemudian kurasakan jarinya mulai turun ke arah klistoris.

“Ini?”

“Kurang kebawahan dikit.”

“Ini?” tanyanya yang kurasa lubang tempat keluarnya urin disentuhnya.

“Iya.”

“Ohh. Kukira pipis itu lewat sini.” Jari arya menyentuh selaput daraku.

“Iiiih, bukan. Ketahuan deh kalau kamu waktu SMP dan SMA nggak mendengarkan penjelasan guru biologi.”

Dia tertawa mendengar celotehanku. “Sudah? Gak lanjut lagi mijitnya?”

“Masih.”

“Ya buruan. Pijitin kayak tadi,” pintaku yang tentunya memberikan angin segar.

Entah mengapa, sensasi saat lempitan di antara labiaku digesek-gesek terasa tidak karuan. Pijatan jemari di area yang paling pribadiku seperti memberikan sebuah stimulus terhadap saraf-saraf di sana. Tentu saja, desahan dari mulutku tak terbendung. Aku tidak lagi menahannya. Biarlah, aku memang tak ingin menahannya lagi. Sekarang aku sedang bergairah. Aku tak memperdulikannya, lagian di sini hanya ada aku dan dia.

Pijatan Arya terasa candu, terutama saat kelentitku ditekan dan digesek-gesek dengan nakal. Pinggulku bergerak-gerak kesana-kemari.

Beberapa detik kemudian, kurasakan pantat sebelah kiriku yang bulat itu diremas-remas. Ia meremas sambil menggesek kemaluanku. Dia menggerakan telapak tangan di pantatku dengan memutar disertai sedikit pijatan. Gerakan tangannya terasa lebih variasi. Terkadang Arya mengurut bagian bawah pantatku ke atas, menahannya lalu melepasnya, sehingga membuat pantatku bergoyang, lalu di lanjut dengan mengurut menyamping dari bagian luar ke bagian dalam pantatku sehingga belahan pantatku menyempit, menahannya lalu melepasnya lagi. Selain itu, Arya juga meremas-remas bongkahan pantatku seperti adonan roti, sesekali cubitan-cubitan kecil juga dilayangkan ke kulit pantatku.

Sungguh, adrenalin dalam darahku sepertinya mulai meningkat. Aku horny. Pikiranku bukan berfokus ke pantat yang dipijatinya, melainkan ke memekku. Aku sepertinya akan orgasme, namun …

PLAAAK!!!

"Maaf Anggu, aku kelepasan."

“Aiiiih, Aryaaaaa!!!”

“Maaf … maaf.”

Sebuah tamparan kecil yang mendarat di pantat membuatku gagal orgasme. Sejenak momen hening terjadi seketika itu.

“Kenapa sih, kamu nampar pantat aku? Emang pantatku itu samsak?”

“Pantat kamu ngegemesin, reflek jadinya kebablasan.”

“Ya nggak gitu kali. Sebisa mungkin kamu harus nahan diri, ngontrol biar tanganmu enggak ngelakuin kekerasan.”

“Maaf.”

Sial, saat diriku telah dikuasai nafsu, dia menggagalkannya. Apakah dia sengaja? Tapi jujur, sesaat tamparan kecil itu seperti ada rangsangan yang
memacu gairahku.

Efek dari obat oral dan lulur itu sudah mulai ada manfaatnya. Aku sudah bisa merasakan energi dalam tubuhku mulai kembali normal. Dengan sedikit energi itu, aku mencoba mengangkat pinggulku ke sedikit atas, sehingga pantatku lebih tinggi dari punggungku. Tentunya telapak tangan

Arya masih nempel di pantat dan jarinya masih hinggap di memekku.

“Nih … kalau mau nampar, nampar aja. Tapi jangan keras-keras.”

“Eh, beneran?”

“Hu uh.”

PLAK!! PLAK!! PLAK!!

“Aaaah … aaaahh … aaah!”

Telapak tangan Arya kemudian beberapa kali melayangkan tamparan kecil ke arah pantatku.

"Aneh ya, tadi kamu nolak, sekarang minta. Emang enak ya Anggu, Ria juga keenakan aku perlakukan kaya gini."

“Entahlah,” balasku kemudian.

Arya terus bermonolog, menceritakan perlakuannya ketika ngentot dengan Ria. Aku hanya mendengar dan tidak menjawabnya. Mulutku hanya terus memproduksi erangan yang terdengar menggema di seluruh ruangan ini.

"Pantat kamu nafsuin banget Anggu, lebih montok daripada punya Ria, hehehe."

Celotehan Arya terus terdengar di telingaku, hal-hal berbau mesum terus keluar dari mulutnya. Hal itu justru membuatku semakin bergairah. Diriku semakin gila, harusnya aku marah mendengar kata-kata seperti itu, tapi anehnya diriku semakin horny. Aku suka kalau tubuhku dipuji oleh orang lain.

Beberapa saat kemudian, setelah ia menampar-nampar pantatku, pinggulku diangkat ke atas dengan posisi menungging. Jelas, posisi pantatku jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan kedua kaki yang melebar dan menumpu pada lutut. Bentuk tubuhku dari samping layaknya perosotan taman kanak-kanak. Aku yakin memekku yang terpampang bebas ini bisa dilihat jelas oleh indera penglihatannya.

Beberapa waktu yang lalu aku sempat berkhayal, ketika diriku melewati terowongan akar, yaitu saat aku mengejar pakaianku yang hanyut, aku membayangkan bagaimana posisiku saat itu bila dilihat oleh mata lelaki. Tak disangka, khayalan itu sekarang jadi kenyataan.

Sapuan tangan Arya kemudian mengusap ramuan lulur dan memijat di sekujur kakiku, tak terkecuali di bagian telapak kakiku. Ketika mengusap kakiku dia menggunakan kedua tangannya. Posisiku masih tetap sama, menungging. Namun, karena hentakan tarikan kecil ketika Arya memijat pahaku, bagian selangkanganku tertarik sedikit melebar sehingga lebih mengangkang. Kalau dilihat dari belakang, aku yakin memekku yang habis digesek-gesek tadi terekspos sangat jelas. Sepasang labiaku, juga lorong sempit yang mengatup rapat terlihat sangat gamblang.

"Memek kamu basah, Anggu. Kamu horny, ya?”

“Iya.”

“Menikmati dong, saat aku colek-colek?”

“Iya, sayangnya sih kamu tadi nampar pantat aku.”

“Kenapa?”

“Soalnya, tadi aku hampir orgasme.”

“Mau aku bikin orgasme lagi?”

“Boleh, tapi nanti aja.”

“Oh, kenapa?”

“Ya enggak aja. Kamu fokus lanjutin aja mijatnya.”

Dia pun kembali memijat pantat yang habis ditamparnya.

“Ngomong-ngomong, memek kamu nafsuin banget.”

“Nafsuin gimana?”

“Lebih sempit gitu.”

“Lalu?”

“Ya nggak kayak Ria, yang yang sudah agak longgar."

“Dasar, kamu tidak harus mengatakan seperti itu. Longgar-longgar gitu, kamu toh menikmatinya.”

“Hehehe, iya, sih.”

“Awas loh ya, aku bilangin ke Ria.”

“Yaaaaah, jangan dong. Aku nanti nggak bisa ….”

“Nggak bisa apa? Ngentot?”

“Hehehe, iya.”

“Jangan ngarep deh. Belum tentu Ria mau ngentot lagi sama kamu lagi, hihihi.”

“Hmmmm, tapi barang kali mau. Karena punyaku gede.”

“Iiih, ge er.”

“Hahaha, tapi beneran loh, dia sampai orgasme berulang-ulang.”

“Iya-iya, aku percaya.”

“Aku tak menyangka saja, keperjakaanku lenyap di memek Ria. Andaikan di memek kamu.”

“Terus?”

“Ya pasti lebih yahut,” selorohnya. “Nggak nyangka ya, cewek yang berpakaian tertutup, sekarang bugil. Udah cantik, kulitnya bersih, memeknya
rapet pula.”

Pujian-pujian mesum yang diucapkan Arya seakan terus memompa nafsuku. I want more. Sungguh, aku ingin Arya tidak berhenti untuk ngomong pujian mesum seperti itu.

"Memek kamu makin basah tuh, Anggu."

Aku akui, memang sekarang dalam kondisi horny, aku tidak menampiknya, bahkan apa yang kurasakan terasa lebih dari pengalaman dengan dua lelaki tua kanibal yang melecehkanku. Bagaimana Arya men-threat tubuhku dengan pijatannya memberikan feel menyenangkan. Hormon estrogen dan progesteron yang diproduksi oleh tubuhku seperti meledak tak terkendali, sehingga cairan lubrikasi di liang kawinku juga ikut terpompa keluar. Hanya satu yang kupikirkan sekarang, aku ingin orgasme!

Arya masih mengusap ramuan lulur, memijat, dan mengurut di bagian kedua kakiku, dari bagian pantat sampai ke telapak kaki, dia melakukannya dari atas ke bawah, ke atas ke bawah berulang-ulang. Sambil melakukan aktivitas itu, aku yakin fokus mata Arya masih tertuju pada memekku. Membayangkan kemaluanku ditatapinya itu, entah mengapa membuat memekku sedikit berkedut dan berkontraksi. Cairan lubrikasiku yang terproduksi dari kelenjar bartholin itu terus keluar tanpa henti. Rasanya seperti meluber dan bercampur dengan lulur yang terletak di area selangkangan.

“Mmmhhh,” desahku yang secara tiba-tiba permukaan memekku disentuh dan digeseki sesuatu.

Sepasang pantatku sepertinya diremasi secara perlahan. Atas respon perlakuan Arya, sepasang mataku terpejam diiringi desahan. Aku menikmati kemaluanku dirangsang olehnya. Namun, ada hal lain yang kurasakan. Ada gerakan lembut menyapu secara teratur dari kelentit sampai ke perineum. Aku membuka mata, lalu menoleh ke arah belakang. Ternyata Arya berjongkok di antara betisku. Kepalanya terbenam di antara pantatku.

“Emhhh … Arya. Kamu … apain …. memek aku?” tanyaku yang membuat libidoku makin meningkat. Aku bertanya-tanya, sejak kapan dia ada di sana?

“Kamu suka?” tanyanya yang disusul suara kecipak dan seruput hisapan di bawah sana.

“Iyaah … suka.”

Pikiranku melayang ke angkasa. Rasanya sungguh nikmat. Bagaimana lidahnya menyapu belahan diantara labia minoraku. Lubang pipisku teras seperti diusap-usap oleh indra pengecap yang tak bertulang itu. Tekanan dan gerakannya sungguh membuat andrenalinku meningkat. Detak jantungku pun turut berpacu makin cepat, menyebabkan aliran darah yang hangat itu tersuplai ke seluruh sel-sel di seluruh tubuhku.

Saat kelentitku disapu bak dawai gitar dengan teknik
alternate picking, aku mendesah tak karuan. Pantatku makin bergerak-gerak. Napasku terengah-engah. Aku tak tahan lagi. Di dalam diriku seperti ada sebuah TNT yang akan meledak. Saking enaknya, tanpa kusadari tubuh depanku terangkat dengan menumpu dengan siku dan kepalaku menunduk dengan mata terpejam.

“Oohhhh … Aryaaaa …”

Dengan lancang, sepasang payudaraku yang menggantung bebas itu diremasinya. Tangannya yang panjang dan postur tubuh yang tinggi tentu sangat mudah menjangkau toketku ini.

“Makin enak, ‘kan?”

“I… iyaah …”

Kurasakan keletitku digigit-gigit kecil. Dengus napasnya yang menghembus itu juga kurasakan oleh permukaan kelaminku. Hangatnya gas karbon dioksida yang bercampur dengan uap air dari paru-parunya itu menghantam organ kewanitaanku.

Erangan, lenguhan, dan desahan yang keluar dari mulutku makin panjang. Itu karena sepasang putingku dipilin oleh jemari tangan Arya. Bahkan, putingku ditarik-tarik ke arah belakang. Diperlakukan demikian membuat jiwaku melayang makin tinggi. Entah, mungkin sudah terbang melewati bulan menuju andromeda dengan kecepatan cahaya.

Dalam sepersekian detik, aku merasakan ledakan supernova dalam tubuhku. Setelah ledakan itu, jiwaku yang melayang di antara bintang-bintang mendadak kembali ke dalam raga. Kurasakan tulang belulangku di dalam ragaku seperti lenyap hingga raga yang menumpu dengan kedua siku dan lutut ambruk ke arah samping. Namun, Arya yang ada di belakangku dengan sigap menahan tubuhku dan membuat pantatku kembali menungging.

Tak kusangka, rasanya sungguh nikmat. Mungkin ini yang paling nikmat di antara orgasme-orgasme sebelumnya. Apakah karena aku melakukannya dengan sukarela tanpa paksaan? Bukan, bukan itu. Itu karena aku melakukannya dengan salah satu pria tampan di kampusku yang belum tumbuh rasa cinta.

“Hhhh …. Hhhhh … Hhhhh.”

Aku terengah-engah. Napasku tidak beraturan. Detak jantungku masih cepat.

“Wuiihh … dramatis banget orgasmemu, Anggu.”

Aku tak membalas komentarnya. Sungguh, aku saat ini tak dapat berkata-kata. Tubuhku yang dilumuri oleh lulur ini sudah bercampur dengan peluh keringat yang keluar dari pori-pori kulitku. Tanpa terasa, tubuhku yang ditahan oleh Arya ambruk ke sebelah kanan dan membuatku tidur menyamping ke arah di mana Arya yang tadinya berdiri di samping tempat tidur ini.

Di bawah sana, Arya mengubah posisi tubuhku yang tidur menyamping menjadi tidur telentang. Dia masih duduk di antara kedua kakiku yang membuka lebar.

“Hhhh … Se … sejak kapan kamu bugil? Kaget tauk.”

Tanyaku tiba-tiba melihat tak ada lembaran kulit hewan yang melingkar di pinggulnya. Penisnya yang panjang itu mengacung ke arah selangkanganku.

"Sebelum kamu orgasme,” katanya yang tatapannya tertuju ke mataku. “Aku tahu, kamu bakal orgasme, jadi aku sekalian aja bugil.”

Dia kemudian mengambil cawan kulit hewan yang tadinya digunakan untuk menutupi kemaluannya, lalu diusapnya kain dari kulit hewan ini ke memekku.

“Memek kamu basah banget,” celotehnya sambil mengelap vulvaku.

Aku tak tahu harus berkata apa. Tak kusangka dia gunakan cawat tradisional bekas pakainya untuk mengelapnya memekku. Masih ada rasa geli alat vitalku diusapinya.

“Makasih.”

“Sama-sama,” ucapnya sambil menggerakkan tangannya untuk usapan terakhir, lalu menyingkirkan pakaian tradisional yang bercampur cairan lubrikasi dan lulur itu di samping.

“Lihat tuh, penis kamu tegang."

"Iya. Habisnya postur badan kamu nafsuin banget, apalagi lihat kamu mendesah gitu dan juga memek kamu yang imut-imut, laki-laki normal juga bakal ngaceng Anggu. Gak cuma aku aja, mungkin semua lelaki normal juga ngaceng ngeliat kamu yang kayak begini."

"Memang tubuh aku senafsuin kayak gitu ya Arya?"

"Banget Anggu"

"Terus, kalau tegang gitu … kamu mau ngapain Arya."

"Tegang-tegang memangnya lagi sidang skripsi? bilang aja kontolmu ngaceng gitu"

"Hahaha, iya deh. Kalau kontolmu ngaceng, terus mau ngapain?"

"Entotin kamu Anggu, kalau boleh … hehe."

"Huh dasar. Memang deh, gak kamu … gak Toni sama-sama berotak mesum.”

“Hehehehe.”

“Iihh, malah cengengesan.” Aku menghela napas sekali. “Enggak, enggak boleh.”

“Yaaaah, ayolah Anggu. Mau ya … mau ya?”

“Enggak,” protesku atas rengekan dia.

“Sekali aja. Udah gak nahan nih, pengen nyoblos.”

“Enggak boleh.”

“Ayolah, lepasin perawan sama aku. Aku janji deh, nggak akan ninggalin kamu.”

“Idih, emang kita pacaran?”

“Ya, enggak. Tapi kalau mau sih.”

“Hmmm… sayangnya aku belum ada rencana buat itu.”

“Yaaaah, kenapa?”

“Ribet tauk,” jawabku menegaskan kalau aku benar-benar tak ingin berpacaran. Memang sih dia ganteng, badan atletis dan tinggi. Kulitnya pun bersih. “Begini saja, kamu gesekin aja kontol kamu di memek aku. Atau, aku bantu kocokin pake tangan, atau pakai ini.”

Tangan kananku bergerak dan menelungkupi buah dada sebelah kanan.

“Aah, iya deh.”

“Nah, gitu. Lagi pula kamu udah ngerasain ngentot sama Ria. Baru aja kemarin kamu melakukannya bareng Toni. Aku kurang baik gimana coba …
udah ngasih banyak ke kamu. Ngeliat aku telanjang, gerepein aku, jilat memek aku, terus ngeremas susu aku. ”

“Iya sayang.”

“Ihhh, sayang sayang,” balasku yang kemudian menoleh, lalu menjulurkan lidah ke arahnya.

Aku melihat raut wajahnya yang mengekspresikan kekecewaan. Aku tahu kalau dia pengen menyetubuhiku, mungkin sejak Ria telanjang di pantai dan main kubur pasir, hasrat itu telah muncul. Meski polos, saat itu wajahnya mesum banget, tapi ya lama-lama terpengaruh juga sama Toni.

“Kemarikan pe … kontolmu.”

Dia pun merangkak dari posisinya dia di antara sepasang pahaku menjadi mengangkang di atas perutku. Berat badannya menumpu pada kedua lutut yang terletak di sisi kiri dan kanan pinggangku. Ujung kakinya yang ditekuk itu menempel di kulit pahaku. Posisi kedua kakiku masih selonjoran dan membuka mirip huruf V.

Penisnya mengacung lurus di lembah di antara sepasang gunung kembarku. Urat-urat disekelilingnya seperti menunjukkan begitu kekar dan perkasanya senjatanya itu. Kepala penisnya yang berwarna merah kehitaman itu berdiameter lebih besar dari batang yang menopangnya, berbeda dengan milik Toni yang seingatku kepalanya berdiameter lebih kecil namun batangnya di dekat bekas jahitan khitan lebih besar. Dengan inisiatif sendiri, tangan kananku meraih ekor depan lelaki yang mengangkang di atas perutku.

“Ohhhh … gila. Lembut banget tangan kamu Anggu,” pujinya yang membuatku tersanjung.

“Biasa aja deh,” pungkasku dengan melingkarkan seluruh jari-jari di tangan kananku ke batang kemaluannya. “Ini bukan pertama kalinya kan?”

“Pertama kalinya dong …,” kilahnya kemudian tersenyum. “ … sama kamu.”

“Ih, dasar. Jangan ngegombal gitu.”

“Beneran loh, tanganmu memang berbeda dari milik Ria.”

“Sama aja deh.”

“Lebih panjang.”

“Huh, kukira apa.”

Kugerakkan tanganku mengocok perlahan dari pangkal ke arah kepala, lalu kembali ke arah pangkal. Kutekan genggamanku senyaman mungkin dan tidak terlalu kuat. Saat kutekan dan mengocok, kulit yang membungkusi batang kejantanannya ikut bergeser kemanapun tanganku bergerak, bahkan saat kutarik, kulit di batang penisnya menutupi hampir separuh kepala penisnya. Aku lakukan hal itu agar tidak ada gesekan antara kulit tanganku dengan kulitnya. Mungkin ini yang disukainya.

Hangatnya, kerasnya, dan panjangnya tongkat sakti Arya kini dalam genggaman tangan kananku. Matanya merem-melek saat tanganku mengocok pentungan miliknya. Meski ini bukan pertama kalinya aku mengocok dan memegang penis laki-laki, tapi inilah pertama kalinya dengan sukarela aku melakukan hal ini. Lelaki yang bukan muhrim dapat merasakan layanan dariku, layanan yang seharusnya untuk suamiku kelak.

“Jangan diem aja, dong. Lanjutin tugas kamu,” gerutuku disela-sela dia yang matanya merem-melek menikmati kocokanku.

“Hehehe, aku sampai kelupaan.”

Tiba-tiba kedua tangan Arya hinggap di buah dadaku dan langsung memilin putingku yang membuatku terkejut.

“Aaaaaah … Arya. Bukan itu maksudku,” desahku. Bagaimana tidak terangsang, rasanya saja seperti tersengat listrik dan memekku di bawah sana turut merasakan sengatan dan berdenyut-denyut keenakan. Aku tak habis pikir, padahal jarak puting dan memek itu jauh, namun ketika putingku dipilin, memekku berdenyut. Begitu juga sebaliknya. Saat Arya menjilat memekku dan mengenai kelentit, putingku ikut merasakan geli.

“Gimana Anggu?”

“Lulurin. Iihh … nyebelin deh.”

“M~Maaf.”

Badan atasnya kemudian memutar lalu tangannya meraih dan mengambil kendi berisi ramuan lulur itu, lalu mendekatkan di samping di sebelah kiriku. Ia pun meluluri bagian payudaraku.

Entah, kenapa sih kok dia langsung ngelulurin payudara dulu, kok bukan yang lainnya dulu. Bahkan, ia meremas-remas cukup lama di buah dadaku ini.

“Tadi udah memerah susu aku, kurang puas apa?”

“Hehehe, kurang anggu. Tubuhmu itu seperti candu dan membawa daya tarik bak magnet.”

“Magnet kan ada umurnya. Gak bosen?”

“Beda, bentuknya itu loh, proporsional.”

“Jadi, kalau udah gak proporsional, gak candu dong?”

“Yaa, enggak gitu juga.”

“Yah, anggap aja gitu. Dari perkataanmu menunjukkan hal demikian.” Aku mengerti, bahwa nantinya dalam pernikahan harus kuat dan menerima
kekurangan masing-masing. Tubuhku saat ini proporsional, namun nanti setelah menikah, ditambah setelah melahirkan satu atau dua anak, pastinya ada yang berbeda. Mudah-mudahan saja suamiku kelak bisa menerima hal itu. Bukan diambil enak-enaknya aja. “Ngarep banget yah kamu.’

“Ngarep apa?”

“Ngambil sari-sari dalam tubuhku … keperawananku.”

"Iya, Anggu. Aku udah seneng sih sebenernya bisa ngegerepein tubuh kamu."

Tempatku berbaring dan menjadi alas tidurku ini seperti altar yang terbuat dari batu. Batu yang menjadi saksi kelakuan bejat kami berdua. Batu dengan pahatan yang di atasnya terdapat alas dari kulit hewan dan memiliki ketinggian sekitar satu meter dari tanah tidaklah terlalu luas, namun masih ada space untuk seseorang yang duduk mengangkangiku. Aku pun tak mendengar derit akibat gerakan brutal orgasmeku tadi. Pastinya, batu ini sangat kuat. Dengan luas seperti ini, aku yakin sebenarnya tempat tidur ini bisa untuk ditiduri dua orang meski nantinya harus berdempet-dempetan.

“Kamu kuat banget, padahal udah aku kocokin dari tadi loh?” tanyaku saat tangannya lagi sibuk meremas sepasang payudaraku. “Nggak sakit nahan lama-lama kayak gitu?”

“Mungkin harus dikocok pakai yang lain, baru bisa keluar.”

“Pakai apa emang?”

“Memek kamu?”

“Idih, ogah!”

“Hehehe.” Dia nyengir gak jelas setelah aku beri ketegasan kalau aku tidak mau disetubuhinya.

“Awas loh, jangan macam-macam.”

“Iya, tenang aja.”

“Tenang aja tenang aja, nanti kebablasan.”

“Hehehehe,” tawanya cengengesan menunjukkan gigi-gigi serinya yang putih bersih. “Boleh enggak, kalau ngocoknya pakai susu kamu?”

Aku menghela napas sejenak, lalu berkata, “boleh, asalkan cepet keluar. Pegel tauk ditindih sama kamu kayak gini.”

“Eh, maaf. Aku duduk terlalu ke bawah.”

“Ya udah, buruan. Habis itu lulurin badan aku.”

“Iya .. iya.”

Aku melepaskan genggaman tangan kananku yang membungkusi tongkat beruratnya, kemudian ia memajukan sedikit hingga sepasang paha yang tadinya menempel di kulit di atas perut kini bersentuhan dan menempel di gundukan buah dada hingga aku merasakan suhu tubuhnya di kulit susuku. “Tolong dong, dempetin dua toket kamu dan bikin kontolku dijepit.”

“Huh, banyak maunya ya,” gerutuku sambil manyun. Kedua tanganku kemudian bergerak di sisi samping payudaraku, kemudian melebarkan jari telunjuk dan ibu jari hingga membentuk huruf C. Aku tekan dan kudorong gundukan persusuanku hingga senjata Arya yang mengacung dan sejajar dengan tulang dadaku terjepit dan terbenam. Hanya sebagian kepala penisnya saja yang mengintip keluar di antara apitan toketku. “Udah, buruan. Kurang nekan apa?”

“Entar, aku coba dulu,” ujarnya kemudian pinggulnya bergoyang-goyang hingga terjadi friksi antara penisnya dan payudaraku. Ketika pinggulnya mundur, kepala penisnya lenyap bersembunyi di antara buah dadaku. Sebaliknya, ketika pinggulnya maju, kepala penis dan sebagian batang yang menopang kepala penisnya menyembul keluar. Bukan hanya itu saja, meski sudah diluluri ramuan, ketika penisnya didorong, kulit payudara yang menggeseki penisnya sedikit ikut terdorong. Ketika penisnya ditarik, kulit payudaraku juga sedikit ikut ke dalam.

“Uhhh … Uhhh,” lenguhan lirih keluar dari mulut lelaki si pemilik penis.

Penisnya yang tadinya bersih, sekarang ikut terluluri oleh ramuan yang dibuat tabib. Baik kepala penisnya sampai batangnya. Mungkin kantong buah pelirnya juga ikut terluluri. Kurasakan rambut-rambut yang tumbuh di skrotum Arya bergesekan di kulit dadaku.
Awalnya gerakannya lembut, lama-kelamaan gerakannya makin cepat dan intens.

“Aaaaaaah …” desahku saat sepasang putingku dijepit oleh ibu jari dan jari telunjuknya, lalu dipilin-pilin kayak mainin plastisin. Diperlakukan seperti itu, memekku berdenyut-denyut geli terlubrikasi oleh cairan dari kelenjar bartholin.

Kulihat sepasang matanya memejam dan dari mulutnya yang membuka mengeluarkan suara desahan. Cukup lama ia menggesekkan penisnya di belahan payudaraku. Namun, belum ada tanda-tanda kalau dia akan segera ejakulasi. Tangan yang mengapitkan buah dadaku terasa lelah.

“Anggu …,” sapa lelaki berkulit bersih itu.

“Hemmm?” balasku sambil menaikkan sepasang alisku.

“Request ya?”

“Apa?”

“Lepaskan tangan di toketmu, terus letakkan di atas kepalamu.”

“Emang kenapa?”

“Nurut aja, entar aku kasih tahu.”

“Okeh, tapi cepet dikeluarin ya?”

“Iya.”

Tangan Arya melepaskan jepitan di kedua putingku. Aku tersenyum sejenak. Karena aku sudah janji, mau nggak mau aku wajib menuruti keinginannya.

Kulepaskan sepasang buah dada dari genggaman tanganku, lalu kugerakkan dan kuletakkan ke atas kepalaku. Tanganku gak sampai lurus gitu, soalnya sekitar dua atau tiga jengkal sudah dinding batu. Tanganku juga sempat menyentuh potongan dahan kelor dan bambu kuning yang berdiri di atas sana. Untung tidak sampai jatuh. Jadi, tanganku kutekuk sedikit. Kira-kira bentuk tanganku kalau dilihat dari sudut pandang Arya seperti simbol wajik pada kartu remi gitu. Tentu saja, sepasang ketiakku yang ditumbuhi beberapa bulu-bulu halus kecil yang baru tumbuh itu terlihat di hadapan pemuda setinggi 180 centimeter itu. Aku sedikit minder, mengingat kulit ketiakku tidak semulus punya Ria. Selain itu, bulu-bulu di ketiaknya pun tak ada. Tapi, aku tak berkecil hati. Sebagai wanita yang kesehariannya mengenakan pakaian tertutup, hal itu lumrah. Berbeda dengan Ria yang pakaiannya terbuka. Aneh kali ya kalau pakai tanktop, atau kemben tapi bulu ketiaknya lebat. Hahaha.

Oh iya, karena buah dadaku tidak kupegang, jadinya dadaku kini melebar saling berjauhan. Kontol Arya kini tak terjepit lagi. Terlihat sih senjatanya yang masih keras mengacung tegak berada di antara payudaraku. Hampir seluruh permukaan penisnya sudah terlumuri oleh ramuan lulur, kecuali ujung penisnya yang berbentuk huruf I di mana tempat mengeluarkan urin dan sperma.

“Begini? Atau tangannya kurang gimana?”

“Iya, gitu udah cukup.”

“Terus, kamu gimana biar cepet keluar? Ngocok sendirikah? Atau cuma gesek-gesek di dadaku?” tanyaku penasaran. Aku tak tahu gimana dia cepat berejakulasi dengan posisi kedua tanganku di atas kepala.

“Begini caranya,” ujarnya dengan menunjukkan bagaimana ia memuaskan penisnya.

Kedua tangan Arya bergerak dan langsung menangkupi sepasang buah dadaku. Kulihat ia meremas pelan gundukan yang di dalamnya dipenuhi kelenjar persusuan. Jari-jemarinya yang panjang tentu mudah menjangkau luasnya payudaraku itu. Ia cukup menikmatinya. Terlihat sepasang kelopak matanya mengatup rapat.

Sekitar semenit kemudian, remasannya berhenti, lalu pangkal putingku dijepit olehnya. Aku melenguh lirih saat tonjolan kecoklatan milikku dijepit oleh ibu jari dan jari telunjuknya. Aku dapat melihat ujung putingku yang nyembul di antara jari-jarinya itu.

“Aaaaah … Aryaaaaaa!!” seruku memekik kaget.

Aku benar-benar tak menyangka aja Arya melakukan hal ini. Jemari yang mencapit putingku itu digerakkan saling berdekatan, membuat sepasang payudaraku menggencet kontolnya. Reflek, tanganku memegangi lengannya.

“Anggu, tolong dong tangannya ke posisi tadi,” mohonnya yang matanya membuka mengetahui lengannya dipegang oleh tanganku.

“Ihhh, tapi jangan kayak gini. Sakit tauk.”

“Bentar aja, please … “ Ia memohon kembali. “Biar cepet crot.”

“Janji ya? Awas kalau enggak.”

“Iya, sueer.”

Tangan yang memegang lengannya kukembalikan ke posisi semula, berada di atas kepalaku. Tangannya masih tetap sama seperti tadi, menjepit putingku dan saling mendekatkannya. Setelahnya, pinggulnya bergerak-gerak dan membuat penis di antara buah dadaku timbul-tenggelam. Gesekan-gesekan antara penis dan payudaraku tak begitu aku hiraukan, justru aku khawatir putingku yang dijepitnya itu. Nggak enak banget rasanya.

Mata Arya memejam rapat. Sodokan penis di payudaraku masih stabil. Dia merasakan enaknya sensasi seperti ini, justru aku yang tak menikmatinya. Beberapa detik kemudian, putingku ditarik sedikit ke atas dan mengerucut.

“Uhhhh … Aryaaa .. auuuhhh.”

Sepasang putingku makin didekatkan, makin didekatkan, hingga sepasang putingku kini saling menempel. Bahkan, kedua putingku kini dijepit hanya dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Aku melenguh merasakan sensasi tak enak ini. Sakit, dan sedikit perih. Mau nolak pun gak enak, karena aku sudah janji. Dalam hatiku hanya berteriak biar dia cepet keluar, memuntahkan cairan yang telah tereproduksi dari sepasang testisnya itu.
Tiba-tiba tangan kirinya membungkam mulutku. Getaran suara lenguhan dari kerongkonganku pun otomatis keluar dari hidung.

“Aku suka kayak gini ….. Hhhh … cewek pasrah .. dientot sepuasnya …,” ucapnya.

“Mhhhhh … mhhhh.” Aku hanya melenguh mendengar ucapannya. Tak kusangka ia berkata demikian.

“Seperti Ria …. yang aku entot … ketika tidak sadar … aahhh …,” sambungnya kemudian.

Apa? Jadi benar, selama Ria tidak sadarkan diri, Toni dan kawan-kawan tetap menyetubuhinya. Aku sempat melihat beberapa foto di galeri ponselku di mana Ria yang sedang tidur telentang dan matanya terpejam disetubuhi oleh Arya. Mungkin ini yang dia maksud. Posisi tanganku di atas, lalu tidur telentang seperti orang yang pasrah.

Penisnya bergerak menggeseki payudaraku makin cepat. Sepasang puting yang dalam jepitan jari tangan kanan Arya makin ditekan dan dipilin kuat. Kurasakan puting kiri dan kananku saling melilit akibat dipelintir oleh jepitan jarinya. Kedua kakiku menekuk dan menerjang-nerjang saking sakitnya.
Kedua tangan di atas kepalaku bergerak memegangi tangan kanan Arya yang memelintir sepasang putingku, namun disergah oleh tangan kirinya dan kembali dipaksa untuk kembali di atas kepalaku. Mulutku pun otomatis tak tertutupi oleh tangannya.

“Aaaaahh … Aryaaaaa … sakiiitt taukk!!” seruku. Namun tak disangka, perlakuannya makin brutal. Dia tak menghiraukan rasa sakit yang kuderita. Ia tetap menggenjot pusakanya di antara buah dadaku.

“Uuooooohhh!!!!!” lenguhnya melolong panjang disertai oleh semburan amunisi berupa cairan bening dan ada gumpalan jeli kecil berwarna putih. Mana ekspresi mukanya jelek pas lagi ejakulasi.

Semprotan pejunya ada empat kali. Untuk yang pertama terlontar cukup jauh sampai mengenai dagu bawah dan leher depan. Untuk sisanya tidak sejauh pertama yang sampai muncrat di bawah dagu, melainkan meluber di dada atas, lalu merambat turun di leher. Sebagian juga sampai menuruni pundak di samping leher hingga jatuh di altar batu.

Tangan kiri Arya yang memegang tanganku dilepas, lalu mengusap cairan sperma di dagu, leher serta di dada atas, bercampur dengan ramuan
lulur.

“Ihhhh, kok malah diusap gitu sih?”

“Siapa tau jadi ekstra protein dan vitamin buat kulit kamu.”

“Ada-ada aja kamu.” Aku memandang bagaimana ia mengoleskan cairan sperma yang bersenyawa dengan ramuan lulur. “Iiiih Arya!! Jangan
didekatin ke hidungku. Baunya gak enak tauk!!”

“Maaf … maaf.”

“Maaf maaf, mau sampai kapan pentilku kamu jepit gitu?” gerutuku melihat tangan kanannya masih menjepit sepasang putingku yang saling melilit.

“Eh, iya lupa.” Ia pun melepaskannya disambut desahan dariku. Bentuk buah dadaku yang tadinya menggembung dan saling menghimpit, kini kembali saling berjauhan. Rasanya putingku kebas. Mana bentuknya masih mancung gitu.

Penis Arya masih lemas berada di antara buah dadaku. Sepertinya kontolnya senang banget tuh. Lubang di ujung penis yang habis mengeluarkan cairan putih itu seolah-olah mulut manusia yang membuka dan ngos-ngosan. Meski sudah mengeluarkan peju dan lemas, bentuk penisnya masih tetap besar. Gila emang, kemaluan Ria aja yang sudah sering dijejal penis dan benda asing aja kewalahan, apa lagi aku yang belum pernah. Duh, bisa-bisanya pikiran kotorku berpikir kayak gitu.

Tubuhku yang masih berbaring di tengah altar ini dengan posisi tubuhku menghadap ke atas memandang langit-langit ruangan meski penerangan yang terbilang sederhana. Tubuh telanjang Arya masih belum beranjak dari tempatnya, membiarkan penisnya masih berada di antara buah dadaku. Lelaki dengan tinggi 180 centimeter dan terbilang proporsional dengan otot-otot di lengannya memandangku dengan raut bahagia. Wajar, karena dia merupakan pemain basket di kampusku. Meski dalam pertandingan antar kampus banyak kalahnya, tapi dia masih tetap semangat bermain.

“Udah puas, ‘kan?”

“Iya, makasih ya.”

“Sama-sama,” kataku memandang wajahnya yang masih dipenuhi peluh keringat. “Ayo, sekarang lulurin aku.”

“Siap!”

Dia pun beranjak dari tubuhku. Ia kemudian berdiri di samping tempat tidur, di sebelah kananku. Kulirik penisnya yang menggantung dibiarkan tak ditutupi.

“Kamu suka?” tanyanya sambil meluluri lenganku.

“Suka apaan?”

“Kontol aku? Sampai kamu lihat-lihat gitu.”

“Biasa aja. Harusnya itu aku yang tanya.”

“Tanya apa?”

“Kamu suka susu aku ya?”

“Suka sekali, makasih ya.”

“Aaahhh … Aryaaaa!! jahat!!” jeritku saat jarinya menyentil puting kananku yang masih lancip.

“Habisnya gemesin sih.”

“Sakit tauk. Aku tau kalau gemes ke susuku, tapi ya jangan disentil lah.”

“Tapi kamu menikmatinya kan? Tuh buktinya putingnya masih tegak gitu.”

“Yaaah … itu sih bukan tegak, tapi bengkak. Kamunya ini kebangetan main pelintir.”

“Iya, iya maaf.” Dia menoel-noel lembut putingku. Kali ini tidak sesakit tadi, tapi masih terasa nyeri sedikit. Aku maklumi hal itu.

“Emang Ria kamu gituin juga, ya?”

“Iya.”

“Gila emang kamu ya.”

“Mungkin itu fetish baru aku.”

“Hah? Sebelumnya kamu nggak kayak gitu deh. Aku pertama kenal kamu loh nggak begini-begini amat.”

“Iyakah? Kamu tau kalau sebelum aku ngentotin Ria, aku punya fetish?” tanyanya sambil mengusapi cairan lulur di perutku ke arah atas, lalu meluluri kedua buah dadaku.

“Enggak … taunya kamu culun.”

“Oh …”

Fetish-mu apa?”

“Ya itu, suka memperlakukan cewek yang pasrah gitu, kayak boneka,” jelasnya sambil kedua buah dadaku diremas-remas lembut. “Tapi jangan bilang-bilang ke teman-teman yang lain, loh. Termasuk Ria.”

“Hihihi. Kamu ini. Sudah begituin Ria, masih ngerahasiain.”

“Ya, kalau bisa jangan.”

“Toni pastinya tau dong.”

“Iyalah. Dia malah yang nyaranin aku buat ngentotin Ria. Katanya mumpung dia gak sadar, padahal sudah pagi.”

“Oh iya, seingatku perjanjiannya sampai pagi ya?”

“Iya itu. Asalkan dia tidak bangun aja, kami boleh memuaskan nafsu.”

“Ria bisa gak sadar gitu, pasti kalian apa-apakan.”

“Toni tuh, dia pakai obat bius ke Ria.”

“Apa? Obat bius? Ria tau kalau dia dibius?”

Arya menggelengkan kepala. “Kami membiusnya sewaktu Ria tidur kelelahan.”

“Gilak emang. Gak bahaya pakai obat itu ke Ria?”

“Kata Toni tidak apa-apa. Dia cerita, kalau di sebelah barat desa ada tanaman opium yang hasil ekstraknya digunakan untuk obat-obatan. Tabib di sini juga pakai obat itu untuk luka-luka serius,” jelasnya. Aku pernah dengar hal itu. Opium mengandung morfin yang bila digunakan bisa menyebabkan tidak sadarkan diri. Dahulu digunakan untuk obat anastesi untuk operasi.

“Tau enggak, pas Ria sadar. Dia malah bilang, anjir sakit banget badanku … habis kamu apakan?”

“Kamu apakan?” tanyaku mengikuti ucapan Ria.

“Tapi jangan bilang ke Ria.”

“Okay.”

“Jawabannya ada di galeri ponsel kamu.”

“Tapi ponselku sekarang ada di Ria.”

“Buset, duh bisa gawat.”

“Ya mudah-mudahan aja Ria nggak buka galeri.”

“Semoga aja begitu.”

“Ngomong-ngomong, kamu ngidap somnophilia deh.”

Somnophilia?”

“Ya itu tadi, kamu suka terangsang dan horny terhadap hubungan sex dengan lawan main yang tertidur.”

“Ya, bisa jadi begitu. Tapi anehnya, Toni bisa tahu fetish-ku itu.”

“Hmmm, iya juga ya. Kok, bisa sih kamu begitu?”

“Habis nonton bokep begitu kali, jadinya ketularan. Apalagi, ketika Ria habis dibius, tiba-tiba ada hasrat dalam diriku yang ingin keluar. Awalnya sih belum. Setelah Ria dibius, yang pertama kali menyetubuhi itu dua pemuda desa temannya Toni. Toni malah berinisiatif mengambil foto dan merekam bagaimana tubuh Ria yang diberdirikan, diikat, lalu dientot berbagai macam gaya. Dia bak boneka yang kami bisa apa-apakan sepuasnya.”

“Pastinya putingnya juga dipelintir juga ya? Hihihi.”

“Iya.”

“Ketahuan, kalau kamu menikmatinya. Tuh, burungmu ngaceng lagi, hihihi.” Sewaktu dia menceritakan bagaimana dia menyetubuhi Ria yang tidak sadar, penisnya menegak.

“Hahaha, iya. Gimana nggak ngaceng, aku cerita sambil grepe-grepe badan kamu, Anggu.”

“Ih, modus.”

“Hehehe, boleh nggak gesek-gesek lagi?”

“Iya, tapi beresin dulu lulurinnya.”

“Siap!”

Aku memalingkan muka ke atas ketika Arya memandang wajahku. Terdengar suara tawa yang ditahan. Memang sih, agak aneh aja momen seperti ini. Dua insan laki-laki dan perempuan bertelanjang bulat dalam satu ruangan yang sama seperti ini dan telah melakukan hal-hal mesum.

“Aneh ya kamu. Tadi oke-oke aja sampai orgasme, eh sekarang jual mahal.”

“Lah iya dong. Kamu bukan apa-apa aku, cuma teman saja.”

“Teman tapi mesra.”

“Cuma saat ini aja, hahaha.”

Setelah itu, kulihat tepian bibirnya melebar dan tersungging ke atas. Gimana gak senang, dia mendapatkan privilege yang seharusnya diperoleh dalam pernikahan. Kedua tangannya mengambil ramuan lulur, meratakan ke masing-masing telapak tangannya, kemudian mengoleskan ke perut bawahku. Dari pusar, telapak tangannya berseluncur ke rambut pubisku. Rambut pubisku tentu saja kotor oleh cairan kental itu. Aku tidak pernah mengoleskan seperti itu ke daerah yang dipenuhi rambut keriting kecil itu, bahkan body lotion pun belum pernah. Aku hanya menyabuninya saja, itu pun hanya sabun-sabun tertentu yang kadar ph-nya cocok yang boleh menyabuni area terlarang itu.

Tangannya kini mengoleskan area vulva. Untuk kedua kalinya, permukaan memekku diluluri oleh zat selain sabun khusus. Pertama oleh tabib, kedua oleh si penikmat tidur, Arya. Aku tidak berpikir macam-macam tentang zat yang ada di dalam kandungan lulur itu, lagian saat ini rasanya nyaman dan manfaatnya terasa, tapi nggak tau dalam jangka waktu kedepannya bagaimana. Tuh kan, aku malam mikir yang enggak-enggak.

Sedari awal, kedua kakiku melebar saling berjauhan. Cukup lebar, tapi tidak sampai membentuk sudut siku-siku. Aku tak melebarkan kedua kakiku lebih dari ini meski aku bisa melakukannya, karena selama ikut latihan yoga sama Ria, aku sudah bisa split secara horizontal. Selangkangan yang tak terhimpit oleh paha itu tentu mudah dijamah oleh tangannya, sama halnya dengan posisiku sebelumnya yang menungging. Aku menundukkan kepala melihat jarinya yang nakal membelah lempitan di antara labia minoraku dari arah bawah ke arah atas. Tubuhku seperti tersengat listrik diiringi oleh desahan yang tertahan.

“Kamu apakan jembutku?” tanyaku melihat rambut pubisku yang panjang itu dibentuk ala-ala mohawk.

“Gimana, keren kan?” balasnya menoleh ke arahku sambil jari nya menari-nari di lempitan di bawah kelentitku.

“Jelek! emang aku anak punk, huh!”

“Hahaha,” tawanya dengan melanjutkan meluluri paha atas. Dimulai dari selangkangan, lalu tangannya meluluri ke tulang pinggulku menuju ke arah lutut. Gerakan tangannya tak hanya mengoles dan melaburi kulit putihku dengan cairan kental, namun mengurut dengan tekanan yang terasa nyaman. Hal itu juga dilakukan tidak hanya di satu kaki, tapi keduanya secara bersamaan.

Posisi dia yang berdiri di sebelah kananku ini membuat tubuh dia sedikit membungkuk untuk memijat kedua kakiku. Kilauan pantulan pelita yang berwarna merah itu terlukis dikulitnya yang dipenuhi peluh keringat. Otot-otot di lengan, pundak, juga perutnya membentuk bukit-bukit kecil dan lembah itu menandakan kalau dia seorang olahragawan.

Sekarang ia mengoleskan cairan lulur ke lutut. Dari sana, ia lanjut menuju ke tulang kering sampai ke ujung jemari kakiku. Terasa sedikit geli saat telapak kakiku diolesinya, tapi karena mengeluh kegelian, akhirnya dia menyudahinya.

“Sudah selesai,” ujarnya.

“Makasih ya,” kataku menatap ke wajahnya yang menggambarkan raut kekecewaan.

“Cuma gitu saja?” tanyanya kemudian.

“Oh, iya. Aku lupa, hihihi.”

Dia sumringah, lalu kembali naik ke atas ranjang batu tempatku berbaring. Ia berada di antara kedua kakiku. Berbeda dengan sebelumnya, kini hampir seluruh permukaan kulitku terluluri cairan tabib. Kedua tangannya memegang kedua kakiku dibalik lutut, membukanya hingga melebar dan membuat organ kewanitaanku terpampang olehnya.

“Eh, geseknya nggak di sini aja?” tawarku sambil telapak tangan kiriku menepuk lembut dadaku.

“Mau gesek-gesek di sini.”

“Iiih, jangan …”

“Cuma gesek aja.”

“Beneran loh ya, awas …” Aku mengancamnya dengan tatapan tajam. Aku tak mau kalau dia sampai memasukkan penisnya ke vaginaku.

“Mhhh!!” desahku merasakan belahan di antara pahaku digeseki oleh kejantanan milik Arya.

Aku kembali digagahinya. Gerakan pinggulnya mendorong dan menarik tongkat berurat yang membelah di antara labiaku. Aku menunduk dan melihat kepala penisnya yang jauh-mendekat seperti kepala kura-kura yang keluar dan masuk dari cangkangnya. Rambut pubisku yang tadinya mohawk, sekarang jadi jabrik. Gesekan-gesekan penisnya itulah yang membuatnya berubah.

Sensasi kelentitku digeseki oleh penisnya, membuatku kembali terangsang. Badanku kembali menghangat. Derap jantungku terasa lebih cepat.
Aliran darah di dalam venaku menjadi lebih deras. Akibatnya, desahan dari kenikmatan ini tak terelakkan. Lawan mainku juga mendesah. Wajahnya yang berkeringat itu tersenyum menatapku. Sepertinya dia senang. Ya, bagaimana tidak senang. Dia berbuat mesum ke cewek perawan. Hahaha.

Tiba-tiba ia memelankan genjotannya.

“Eh, udahan kah?” tanyaku dalam hati.

“Bo … boleh nggak kalau aku masukin dikit kontolku ke memek kamu?”

Apa? Serius? Dia mau ngentotin aku?

“Nggak.” Aku tidak mau lebih dari ini.

“Dikit, kepalanya aja.”

“Jangan, aku nggak mau.”

“Please …. Dikiiiit aja. Janji cuma dikit.”

“Enggak.”

“Ayolah, cuma sebentar aja. Pleasee Anggu.”

Duh, kok malah dia merengek kayak gini. Aku tak mau melakukan hal itu, tapi aku juga merasa terlanjur terangsang. Mungkin enggak ya dia seperti kakek kanibal itu yang pernah memasukkan penisnya ke vaginaku, tapi cuma kepalanya aja. Meski cuma dikit, tapi selaput daraku masih utuh.

“Iya, tapi ingat. Cuma kepalanya aja,” ancamku yang tentunya membuatku khawatir karena kepala penisnya jauh lebih besar dari pria kanibal.

“Makasih, Anggu,” jawabnya puas.

Kulihat ia mengarahkan ujung penisnya ke pintu gua garbaku. Labiaku terasa dibelahnya. Kurasakan ujungnya seperti hendak merobek selaput daraku, tapi aku tidak merasa perih. Mungkin karena cairan pelicin sudah membasahi daerah itu dan selaput daraku seakan rileks menerima kehadiran kontol Arya. Berbeda dengan kakek kanibal itu yang terasa sakit.

Pinggul Arya bergerak-gerak dan kurasakan lorong di bawah sana seperti dihujam-hujam pelan. Sungguh, kami layaknya sepasang kekasih yang bersenggama. Aku terbuai membayangkan ketika aku untuk pertama kalinya kehilangan keperawananku kelak di depan suamiku, apakah momennya akan seperti ini?

Secara resmi, penis Arya adalah satu-satunya yang dapat kunikmati bagaimana penisnya yang masuk ke liang peranakanku. Meski hanya sedikit, tapi tetap saja ini disebut ngentot bukan?

Kedua kakiku diangkat, lalu pahaku dirapatkan. Kalau dilihat dari samping, mungkin bentuk tubuhku seperti huruf L tidur. Ujung kakiku lurus ke atas. Bahkan, aku tak dapat melihat raut wajah Arya karena terhalang dua kakiku sendiri. Yang tadinya memegang dibalik lutut, tangannya beralih memegang sepasang betisku.

“Ooh … oh … oh.”

Arya mendesah saat kepala penisnya menghujam lorong di bawah lubang pipisku. Aku yang ikut terangsang, secara tak sadar kedua tanganku meremasi payudaraku. Salah satu tanganku bahkan memilin pelan putingku. Aku benar-benar terkuasai berahi. Kedua mataku terpejam menikmati nafsu ini.

“Aaah … Aryaa … aah.”

Suara tenggorokanku mendesah sambil menyebut namanya.
Tak lama kemudian, aku merasakan perih di organ kewanitaanku.

“Ma … maaf Anggu.”

Tiba-tiba Arya melepaskan kedua kakiku, turun dari ranjang, lalu berlari meninggalkanku. Kulihat dia membuka pintu dan keluar dari ruangan ini dan membiarkanku sendiri, seorang diri.

“Aduuuh … kok sakit sih? Jangan-jangan …”

Aku kemudian mengarahkan jariku ke kemaluanku. Mengorek liang senggamaku lalu kulihat cairan yang ada di jariku itu. Warna cairan di jariku tak terlihat jelas seperti apa. Aku tidak tahu, apakah ini darah atau cairan lulur. Atau, campuran dari keduanya, karena penerangannya hanya dari api yang hampir padam. Apa aku harus kecewa atau tidak dengan kejadian ini?

Kini aku terbaring sendirian di altar ini, dengan tubuh yang terlumuri oleh ramuan lulur.

Mataku menatap ke atas, mencoba intropeksi dengan kejadian yang kualami ini. Aku tahu kalau kejadian tadi bisa saja terjadi. Aku menyadari kalau tadi aku benar-benar menikmatinya. Aku juga yang memperbolehkan untuk memasukkan kepalanya saja. Duh, aku juga salah sih. Bisa-bisanya aku mengiyakan keinginan Arya. Mana Arya bilang maaf dan main kabur begitu saja. Cawatnya pun tidak dibawanya. Dia benar-benar kabur sambil telanjang bulat.

“Lihat besok aja deh,” kataku dalam hati dengan tetap berpikir positif. Senyum kecil menghiasi wajahku. Aku pun mulai menutup mata.


Bersambung …
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd