Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LisAn: The Shy Hotwife and the Cuck

Terima kasih banyak atas komentar dan dukungan suhu sekalian.
Untuk beberapa chapter ke depan, tidak ada adegan seks (karena underage) dan minim dialog.
Semoga kisah ini tetap menarik bagi para semproters.
Komentar dan saran saya harapkan supaya thread ini tetap ramai.

:shakehand


Chapter 2: Our First Encounter

11 tahun yang lalu…
Lis dan Anta kelas 11 SMA.


Sekolah Menengah Atas Negeri C, tempat Lis dan Anta bersekolah, merupakan salah satu sekolah top 5 di sebuah kota besar di Indonesia. Berbagai prestasi terukir oleh siswa-siswinya, dan alumni SMA ini banyak yang menjadi orang sukses baik di pemerintahan maupun perusahaan dalam negeri dan internasional. Satu stigma yang lekat dengan SMA C adalah tawuran pelajar. SMA ini adalah satu-satunya sekolah top 5 dengan kemampuan tawuran terbaik di kota ini. Para siswi SMA C sangat dikagumi, karena banyak yang cantik dan menawan. Para siswa SMA C sangat disegani karena harus menghadapi tantangan tawuran setiap hari selama menjadi siswa di SMA ini.

Ada dua kubu utama di SMA C: kubu geng dan kubu rohis. Geng memberikan ‘keamanan’ dan solidaritas, tapi anggotanya harus sering nongkrong bersama. Rohis memberikan ‘nama baik’ di depan guru-guru sehingga lebih mudah mendapat nilai bagus, namun anggotanya harus rutin mengikuti kajian dan ceramah. Mereka yang tidak masuk dalam dua kubu ini sering disebut dengan ‘netral’. Jika anggota Geng diserang oleh SMA lain, maka Geng akan membalas SMA musuh dengan setimpal. Bagi siswa non-Geng, tergantung seberapa besar respek Geng pada orang tersebut. Mereka yang bukan non-Geng biasanya memilih kabur dari ancaman serangan SMA lain dengan berbagai cara. Karena hampir semua SMA di kota itu tidak memiliki hubungan baik dengan SMA C, sebagian besar siswa SMA C masuk ke kubu Geng.

Seandainya siswa-siswi SMA C secara acak ditanya, “Apa yang terlintas di benakmu mengenai Anta?” Maka kurang lebih jawabannya adalah:
“Anta? Sepertinya dia lumayan pandai, sepuluh besar di angkatan kita.”
“Yang jelas dia sopan, pendiam, dan sangat bisa diandalkan.”
“Rata-rata sih. Engga ganteng, tapi juga engga jelek-jelek amat.”
“Oh, si ‘Hantu Parkiran tiap Jam Makan Siang’ itu kan?”
“Setauku dia netral, tapi dua kubu lainnya respect ke dia.”

Tidak banyak yang tahu bahwa Anta merupakan remaja yatim-piatu yang tinggal di panti asuhan sejak kecil. Sayang sekali, panti asuhan yang diampu oleh Pak Bejo tutup ketika Anta kelas 9 SMP karena tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah daerah ataupun yayasan lain. Anak asuh panti tersebut sebagian besar dialihkan ke panti lain yang lebih stabil. Berkat posisi Pak Bejo sebagai guru purna tugas dari SMA C, Anta bisa bersekolah di SMA C di bawah perwalian Pak Bejo. Kepandaian Anta membuatnya mendapatkan beasiswa dari para alumni SMA C yang cukup untuk biaya sekolah dan biaya tempat tinggal. Untuk meminimalisir pengeluaran, Anta tinggal di kos sebesar 2x2 meter di sebuah rumah susun yang berjarak 10 kilometer dari sekolahnya. Apabila siswa-siswi lain menggunakan motor maupun mobil pribadi untuk keseharian mereka ke sekolah, Anta memilih untuk memakai sepeda tua sebagai sarana transportasinya.

Anta selalu apatis dengan cinta. Sejak kecil, dia tidak tertarik sama sekali dengan konsep menjalin hubungan ataupun berkomunikasi dengan orang lain. He had no interest in others, and doubted anyone was interested in him. Ia sempat jatuh cinta ketika SMP, namun berakhir mengenaskan dan membekas dalam jiwanya. Semua berubah setelah panti asuhan tutup. Anta tersadar betapa eksistensinya tak berarti di mata dunia. Tak ada orang yang bersedih jika Anta yang malang terbuang ke jalanan. Ibarat jatuh tertimpa tangga, Pak Bejo meninggal ketika Anta naik ke kelas 11 SMA. Tak ada lagi sosok yang menguatkan Anta untuk terus hidup. Tetapi, Anta terlalu pengecut untuk mengakhiri nyawanya. Sejak itu, ia bertekad untuk membangun hubungan baik dengan orang lain supaya mereka memiliki pandangan positif padanya dan merasa kehilangan ketika Anta tiada kelak. I have nothing else to lose, but I have everything to gain from this bleak world!

* * *​

“Anta, ikut ke warung makan depan sekolah ya. Saya ingin bicara sama kamu,” ajak Pak Karim, Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan yang kini merangkap sebagai wali Anta yang baru. Ia menyetujui permintaan Pak Bejo untuk menjadi wali Anta karena hutang budi pada Pak Bejo dan juga waktu perwalian yang singkat, hanya 2 tahun.
“Baik pak,” ucap Anta lirih.
“Maaf ya mengganggu ritual siang kamu.”

Karim berjalan ke arah gerbang sekolah, namun benaknya terngiang peristiwa kala kenaikan kelas beberapa bulan yang lalu. Anta hadir ke kantornya, memohon untuk pindah kelas.
“Tapi standar kamu itu di kelas IPA 1,” tegas Pak Karim. SMA C memiliki satu kelas unggulan yang berisi 30 siswa-siswi terbaik di angkatan itu. Peringkat 31 dan seterusnya diacak ke kelas-kelas yang lain.
“Iya, tetapi saya ingin di IPA 5, Pak.”
“Padahal kebanyakan teman kamu ada di IPA 1, kan? Mengapa pindah?”
Anta menggaruk rambutnya, memandang Pak Karim sejenak, kemudian menundukkan kepalanya, “Karena saya orang miskin, Pak. IPA 1 memang bagus dan kompetitif, tapi saya tidak yakin bisa punya teman di sana karena status sosialnya berbeda jauh.”
Pak Karim menghela nafas, lalu menyetujui permintaan Anta. “Sebagai wakasek saya tidak setuju, tetapi saya ijinkan karena bagaimanapun saya wali kamu selama SMA.”
“Terima kasih, Pak Karim. Saya tidak akan membocorkan hal ini.”

Kedua lelaki itu kemudian bercengkrama soal kehidupan sekolah dan tantangan hidup di warung. “Lho Anta engga pesan?”
“Tidak, Pak. Saya selalu bawa bekal.”
Pak Karim tersenyum. Di zaman ini jarang sekali siswa SMA, pria, yang membawa bekal makan siang ke sekolah. Apalagi bekal itu buatan sendiri, mengingat kondisi Anta yang yatim-piatu. “Saya tadi teringat kamu karena ada peristiwa di kantor.”
“Peristiwa apa pak?”
“Ada siswi yang minta surat ijin untuk bekerja paruh waktu. Kalau kamu butuh surat ijin untuk kerja paruh waktu, segera hubungi saya ya.”
“Saya biasa kerja serabutan yang menguras fisik setahun terakhir, tapi sepertinya tahun depan saya perlu fokus ke ujian universitas. Jadi saya mungkin perlu suratnya kalau ada kesempatan di kantoran.”
“Kamu ini! Kenapa tidak bilang?!”
“Hehe, maaf pak.”
“Saya dapat informasi tentang lowongan untuk mengisi drama di radio. Nanti saya teruskan ke kamu, ya. Masih ada seminggu untuk mendaftar audisi.”
“Siap pak! Terima kasih banyak!”

Hari berlalu, siang pun datang. Kali ini tidak ada hal yang mengganggu ritual siang sang penunggu parkiran di jam makan siang. Anta duduk di samping jeruji pagar sekolah sembari melahap bekal makan siangnya dan memandang ke jalan raya di samping sekolah. Aktivitas meditasi rutin di pojok parkiran ini adalah kebiasaan Anta untuk mengobservasi bagaimana orang-orang dan kendaraan berlalu lalang. Bengong. Satu-satunya waktu hening Anta di tengah kesibukan sekolah dan kerja paruh waktu, serta kebisingan di rumah susunnya.

“Adu, aduduh!! Sakiit…,” pekik seorang siswi berjilbab pelan. Tampak lengannya ditarik kasar oleh teman (?) perempuannya yang mengenakan cardigan pink. Beberapa siswi lain mengikuti di belakang mereka berdua. Lengan siswi itu ditarik kencang kemudian dihentakkan oleh si cardigan pink ke arah motor-motor yang terparkir rapi di dekat gerbang parkiran. Bullying?
Brakk! Sang korban terhempas dan terduduk lemas. Anta tak dapat melihat ekspresi pucat sang korban karena tertutup barisan motor. Mereka juga tak dapat melihat Anta.
Cardigan pink berjongkok. Plakk!! “Auwww…awwh,” sang korban tertampar keras.
“Heh, kamu jadi cewe jangan ganjen!” cetus satu dari 4 siswi yang mengerubungi korban.
“Gak usah cari perhatian, deh!” balas lainnya.
“Jauh-jauh kamu dari Sony! Gak perlu sok imut!”
“Ta, tapi aku engga ada macam-macam dengan siapa-siapa,” tutur perempuan itu lirih bergetar.
“Ah, alasan aja kamu! Sini, aku lanjutkan lagi yang kemarin!” Ia meraih jilbab sang korban dan hendak menariknya kuat kuat.

“Oi!!” bentak Anta. Tap, tap, tap. Ia menghampiri kerumunan itu. “Yakin mau dilanjut?” lanjutnya lembut namun mengintimidasi.
Para siswi itu tercekat, mematung. “Sialan, si penunggu! Padahal kemarin parkiran engga ada orang!” pikir salah satu pelaku.
“A, awas ya kalian kalau lapor!” desis si cardigan pink sambil berlari ke arah kafetaria sekolah menjauhi parkiran yang kemudian diikuti oleh gerombolannya.

Keheningan menyelimuti dua sejoli ini di parkiran sekolah. “Perlu bantuan untuk berdiri?” ujar Anta penuh simpati. Gadis itu menggeleng.
Sunyi.
“Aku akan duduk di sana. Jaga diri ya, jangan mau diseret ke tempat sepi di pinggir sekolah lagi,” ucap Anta lembut.
Anta kembali duduk di pinggir pagar dan melanjutkan mimpi di siang bolongnya.
“Nafsu makanku hilang. Aku ga ingin ikut campur, tapi masalahnya terlalu konyol untuk bullying seperti ini,” renung Anta.
Bising lalu lalang kendaraan memenuhi pikiran Anta.

Srek, srek, srek. Perempuan ini melangkah gontai, jilbabnya masih acak-acakan. Rambut hitamnya tampak terurai di punggungnya. Ia tampak syok. “Terima kasih,” bisiknya.
“Silahkan kalau mau duduk di sini. Ini tempat umum kok, cuman sepi.”
Ia menyandarkan dirinya di seberang Anta, masih tertunduk lesu.
“Aku akan ke dalam supaya kamu bisa lebih tenang.”
Gadis itu mendongakkan kepalanya, memandang Anta lekat-lekat dengan tatapan sayu menahan tangis.
“Aku di sini?” Gadis itu mengangguk. Anta batal beranjak dari duduknya.

Tik, tok, tik, tok. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit waktu berlalu dalam diam. Gadis itu terus menundukkan wajahnya tanpa menangis. Teng, tong, teng, tong. Waktu istirahat telah usai.
“Mau tetap di sini?” tanya Anta. Gadis itu menggeleng.
“Masuk ke kelas?” Gadis itu mengangguk. Anta tahu perempuan itu seangkatan dengannya, namun berbeda kelas.
“Yakin? Mereka nanti mengganggumu di kelas.”
“Mereka kakak kelas,” ucapnya.
“Mau jalan ke kelas bersama?” Gadis itu menggeleng.
Anta menggaruk kepalanya dan meraih tempat bekalnya. “Aku biasanya di sini setiap jam makan siang. Kalau terjadi lagi di parkiran, teriak aja.” Gadis itu mengangguk.
“Aku Anta, by the way.”
Ia mendongakkan kepalanya, bertemu pandang dengan Anta, “Lis.”

* * *​

Esok menjelang tanpa kejadian penting. Siang itu, Anta membeli nasi segitiga dari kafetaria sekolah lalu berjalan ke pojok parkiran sambil membawa bekalnya. “Lis?” sahut Anta ketika ia melihat sosok perempuan duduk memunggunginya di tempat Anta biasa duduk.
“Ha, hai,” balasnya sambil memeluk kedua lututnya.
“You okay?” Lis mengangguk. “Onigiri?” Lis mengangguk.
Lis membuka nasi segitiga itu dan bersiap melahapnya, “Mmm, terima kasih ya untuk yang kemarin. Maafin aku.”
“Bukan salahmu. Itu salah mereka. Kamu uda merasa lebih baik?”
“Jauh lebih baik,” Lis mengunyah nasi itu pelan-pelan, “maaf ya aku merepotkan dan memakan bekalmu.”
“Itu memang untukmu, kok. Ini bekalku,” kata Anta menenangkan. “Yang penting gadis ini merasa lebih baik. Toh kalau dia tidak di sini atau tidak mau, onigiri itu bisa untuk makan malamku,” pikir Anta.
“Terima kasih,” ujar Lis ceria. Senyumnya begitu manis.

Sejak kejadian itu, Lis selalu datang tepat waktu masuk sekolah dan pulang sesegera mungkin. Waktu istirahat pagi ia habiskan di perpustakaan, selalu ada guru yang beristirahat di sana menikmati hembusan AC ruangan. Satu-satunya celah untuk mengganggu Lis adalah waktu istirahat siang, ketika perpustakaan tutup. Untungnya, Lis menemukan tempat untuk berteduh menyelamatkan diri dari para kakak kelas yang mengganggu: pojok parkiran mengobrol bersama Anta. Siapa yang mau berulah di depan siswa yang punya hubungan dan reputasi baik di depan para guru? Anta juga disegani oleh kedua kubu. Banyak pula siswa kelas 12 yang mengenal Anta yang banyak membantu mereka di berbagai kegiatan dan kesempatan. Lis dan Anta pun semakin mengenal satu sama lain berkat kebersamaan ini.

“Doain ya, Lis. Sore ini aku ada rekaman radio pertamaku,” ucap Anta sembari memainkan jemarinya untuk menghilangkan rasa tegang.
“Yeyy! Semoga lancar!” balas Lis riang dengan mata yang berbinar.

Rekaman berjalan lancar. Senja hampir usai. Anta memasang senter di bagian depan dan belakang sepedanya. Ia mengayuh menyusuri jalan raya. Di jalur yang ramai itu, tampak gerombolan motor dari lawan arah. Mereka berseragam SMA, berboncengan. Anta tak menyadari bahwa gerombolan motor itu berbalik arah setelah melihat Anta. Mereka membuntuti siswa pesepeda itu dan menyadari bahwa ia berasal dari SMA C...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd