Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY M&Y Second Chapter

Status
Please reply by conversation.
PART 1

Udara pagi ini terasa lebih sejuk, langit yang muram menutup mentari menyinari bumi ini. Aku berjalan menuju bibir pantai sembari membawa secangkir teh hangat. Mencoba meresapi rasa ini, mencoba menikmati keindahan yang diberikan oleh semesta.

Debur ombak mengalir lembut mengiringi semilir sepoi angin dingin. Menerjang kulitku, membangkitkan rasa ini.

Entah mengapa, pagi ini terasa begitu sendu.

Membuka kembali luka hati yang telah lama sembuh.
Memaksaku mengingat masa itu, masa di mana rasa sakit itu begitu menyakitkan, begitu meluluhlantakkan hidup yang sudah mulai terbangun indah atas dasar mimpi kita bersama

Beberapa bulan sudah peristiwa itu berlalu, namun rasa sakit itu masih ada. Masih menorehkan bekas yang tak akan lekang oleh waktu.

Semua rasa indah itu hilang begitu saja, meskipun aku tahu betapa buruk kelakuannya.

Tapi...

Hanya dia penguat dalam hidupku, matahari hidupku. Sumber segala kekuatanku dalam menjalani hari demi hari. Dialah anakku, “Mariska”.

Bersama dia, aku kembali mendapatkan hidup yang selama itu di renggut oleh kesedihan akibat kehilangan orang tua dan suami tercintaku.

Ayahku, Jendral Budi. Terbunuh dalam sebuah serangan yang entah sudah direncanakan atau tidak. Mereka semua terbunuh dalam semalam. Bahkan para wanita yang selama ini menemani ayahku untuk memuaskan sisi gelapnya ikut terbunuh. Keji, memang.

Namun, aku menyadari. Bahwa yang ayah lakukan selama ini bukanlah hal yang baik, bahkan sangat buruk, tapi apa pun yang telah terjadi, dia tetap ayahku.

Dalam peristiwa tersebut, suamiku yang juga ajudan ayah ikut terbunuh. Namun yang begitu menyakitkan, dia terbunuh dengan kondisi bersama seorang wanita yang berada di ruangan yang sama dengan ayah. Sama-sama bejat dan tak bermoral.

Rasa sakit atas kehilangan dan rasa sakit atas bukti kelakuannya, menorehkan luka yang amat sangat dalam. Membuatku larut dalam kesedihan yang tiada berujung.

Untuk menghilangkan semua rasa itu, aku meninggalkan kota terkutuk itu dan tinggal di pulau yang memang menjadi tempat peristirahatan keluarga besarku selama ini.

Tinggal dan menetap di sini, memberiku secercah harapan untuk kembali memulai hidup baru hanya dengan “Mariska”. Pulau yang tidak begitu jauh dari deretan pulau-pulau wisata di sebelah utara ibu kota negeri ini. Memberikan akses yang cukup mudah bagiku untuk memenuhi kebutuhan hidup kita berdua.
Apalagi dengan kemampuanku dalam bidang medis. Membuatku dapat mengaplikasikannya kepada para penduduk di pulau sekitar yang membutuhkan bantuan. Hanya bermodalkan sebuah “Speed boat”, aku selalu berkeliling dari pulau ke pulau yang lain dengan mudahnya.

Mereka pun menerimaku dengan lapang dada, di saat kebutuhan medis yang membutuhkan biaya cukup tinggi, meskipun pemerintah negeri ini telah melindungi dengan asuransi gotong royong, namun segala persyaratan rumit menjadi penghalang bagi rakyat.

Sedangkan, aku tak pernah meminta biaya apa pun untuk semua obat dan pelayanan medis yang aku berikan kepada mereka. Semua itu aku lakukan hanya untuk memenuhi rasa kemanusiaan dalam diriku, ketika melihat kesulitan yang sudah di alami oleh rakyat negeri ini.

Seplastik ikan segar, seplastik mi instan, maupun seplastik beras, adalah bayaran yang sering kali aku terima. Bahkan seplastik buah segar menjadi favoritku. Mereka sering kali berhenti di pulau tempatku tinggal, dan menanyakan apa yang aku inginkan, karena mereka akan berlayar menuju ibukota negeri ini.

Senyum hangat dan sapaan lembut terdengar begitu meneduhkan hati ini.

Dalam seminggu, aku dan Mariska melakukan perjalanan setiap hari rabu dan jumat untuk berkeliling ke pulau-pulau di sekitar. Setelah matahari terbit, kita berangkat dan kembali ketika matahari sudah condong ke barat.

Perjalanan penuh edukasi dan permainan bagi Mariska. Bertemu dengan orang baru dan teman-teman seumur dengannya.

Tawa dan canda mengiringi kegiatan kita setiap hari, namun semua itu hilang ketika beberapa minggu yang lalu banyak anggota kepolisian dan tentara republik negeri ini bertempur melawan sekelompok teroris yang diberitakan di televisi.

Ledakan dan bunga api terlihat dari kejauhan, dentuman terdengar sampai di tempatku tinggal. Meskipun terpisah beberapa KM dari ibukota negeri ini, namun dikarenakan tidak adanya penghalang di antara pulau-pulau wisata dengan ibukota negeri ini, selain air laut dan deru angin. Membuat suara ledakan terdengar cukup keras, dan membuat suasana menjadi cukup menegangkan.

Menjelang malam hari, sebuah ledakan hebat yang berasal dari sebuah kapal perang negeri ini, menghentikan semua pertikaian panjang antara pihak yang berwajib dengan ”Kelompok teroris”. Ledakan keras membuatku dan Mariska ketakutan. Kami duduk di kamar lantai 2, memandang bunga api yang membumbung tinggi, menerangi gelapnya malam.

“Ma, takut...”, kata Mariska sembari meringku dalam pelukanku.

“Ga papa, sayang. Itu Polisi lagi ngejar orang jahat. Kamu sama mama di sini aman kok.”, jawabku.

“I...ya ma.”, sahutnya lemah.



Beberapa jam kemudian, menjelang dini hari. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumahku. Membuatku terkejut dan terbangun. Tak ingin membuat Mariska terbangun, aku bergerak perlahan menuruni tempat tidur, memakai piyama untuk menutupi tubuhku yang hanya terbalut dengan lingerie sutra tanpa lengan tipis.

Aku bergerak turun ke bawah. Disertai dengan rasa takut yang amat sangat, aku berjalan ke arah meja makan dan mengambil pisau untuk mempertahan diri apabila ada hal yang buruk terjadi.

Membuka sedikit gorden untuk melihat keluar rumah. Tidak ada seorang pun di luar, rasa takut semakin menjalar ditubuhku, memompa adrenalin ke dalam jantung memaksa bekerja lebih kuat. Membuat kewaspadaanku meningkat, mencoba beradaptasi dengan gelapnya ruangan, walau ada pencahayaan dari luar.

Aku berjalan perlahan, sembari menghunus pisau dapur yang kubawa. Bersandar pada dinding, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar kencang. Meskipun aku anak seorang jendral polisi dan menguasai bela diri, namun situasi seperti ini tak pernah kuhadapi.

Mencoba mengintip ke dalam dapur yang hanya dipisahkan oleh sebuah dinding dengan ruang makan, aku tak melihat apa-apa. Namun ketika aku membalikkan tubuh untuk mencoba mengecek tempat lain, seorang pria berdiri di hadapanku. Begitu cepat dia melucuti pisau yang aku genggam, mendorongku ke dinding, sementara tangan kirinya membungkam mulutku mencoba membuatku tidak berteriak minta tolong atau apa.

“Jangan teriak,”, kata lelaki tersebut. Dengan deru nafas yang memburu.

Aku hanya menggelengkan kepala, mengiyakan permintaannya.

Perlahan dia melepaskan tangannya dari mulutku, dengan wajah pucat namun tatapan mata yang sangat tajam menjelajah seisi ruangan.

Aku menyadari kalau laki-laki ini sedang terluka, karena ada tetesan darah dari tangan kanannya. “Ka..kamu terluka..?”, tanyaku tanpa sadar. Segera aku menahan tubuhnya, meskipun lebih tinggi dariku, namun jiwa dokterku bereaksi dengan cepat.

Lelaki tersebut tampak terkejut, ketika aku memegang pinggangnya, dan mengalungkan tangan kirinya ke pundakku. Lalu aku membawanya ke belakang, di samping dapur ada sebuah ruangan khusus untuk melakukan perawatan, meskipun tidak terlalu lengkap, namun cukup untuk menanggulangi hal seperti ini.

Aku buka pintu, aku papah dia perlahan menuruni tangga kayu untuk turun ke bawah.

Sesampainya di bawah, aku bantu lelaki tersebut duduk di atas tempat tidur Crank ABS lengkap dengan tiang infus dan sandaran kepala dapat terangkat 10 derajat dengan tuas engkol. Lalu buka baju basah lelaki tersebut dan melemparkannya ke sudut ruangan, tampak tubuh yang atletis dengan beberapa luka dan benda tajam yang tertancap di punggungnya. Aku terkejut, namun aku segera mengatasi keterkejutan tersebut dengan gerak cepat.
Aku membalikkan badan ke sebuah lemari kaca yang penuh dengan obat-obatan. Aku mengambil infus NaCL 0,9% lengkap dengan jarum dan selang. Aku baringkan miring lelaki tersebut, aku bersihkan tangannya dengan kapas alkohol untuk menghindari infeksi. Aku pasang infus pada tiang setelah sebelumnya aku buka infus dan memasang tube dengan ujung steril selang tetap bersih.

Memompa infus supaya memenuhi tube dan menghilangkan udara di dalam tube, lalu aku pasang abocath pada pembuluh darah vena. Lalu menyambungkan tube ke abocath dan mengikat dengan plester supaya tidak terlepas. Kemudian aku atur waktu dan cairan yang harusnya keluar.

“Darah...?”, tanyaku pada lelaki tersebut.

“AB+”, jawabnya singkat dengan nafas yang teratur.

Sungguh aku terkejut, seorang dengan luka yang begitu parah masih bisa menguasai dan mengendalikan dirinya sampai seperti ini.

“Aku ga bisa ngasih anastesi, jadi tahan ya.”, kataku sembari mempersiapkan alat untuk mencabut benda tajam di punggungnya.

Lelaki tersebut mengangguk. Lalu aku pasangkan face mask yang sudah terhubung dengan humidiflier untuk dapat mengalirkan oksigen dengan komposisi 24%-44% untuk menjaga metabolisme tubuhnya terjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuhnya.

Perlahan, aku bersihkan sekeliling luka dipunggungnya. Menekan beberapa titik untuk memastikan tidak adanya alat vital yang terluka. Aku pun mulai mencabut pecahan kaca dan besi yang tertanam di punggungnya.

Keringat membasahi wajah dan tubuhku, setelah hampir dua jam aku mencabut pecahan kaca dan besi pada tubuh lelaki tersebut. Tidak ada teriakan atau erangan rasa sakit, meskipun jarum steril aku gunakan untuk menjahit luka pada tubuhnya. Hanya terlihat usahanya untuk mengatur nafas tetap tenang.
Setelah itu, aku mulai membalut luka tersebut dengan kapas betadine dan kassa steril.

“Hahhhh....’, desahku ketika semua telah selesai.

Lalu aku baringkan tubuh lelaki tersebut, sembari berkata, “Jangan banyak bergerak, nanti lukanya ke buka lagi.”. dia hanya mengangguk. Aku buka dan lepas celana dengan bahan jeans namun cukup ketat dan terlihat nyaman.

Mencoba mencari lagi luka-luka yang lain. Setelah tidak terlihat luka serius, hanya lecet-lecet akibat gesekan entah dengan apa. Aku bersihkan dengan kapas alkohol lalu aku balur dengan betadine untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Setelah itu, aku bersihkan kapas dan kassa steril penuh darah. Memasukkannya ke dalam kantung plastik dan mengikatnya. Lalu aku mengambil air hangat dan handuk kecil dari dapur. Kembali ke ruangan itu, lalu aku basuh tubuh lelaki tersebut, yang ternyata sudah tertidur.

Aku peras handuk kecil tersebut setelah terendam air hangat. Aku bersihkan tubuh lelaki tersebut. Tampak banyak bekas luka sayatan dan peluru dari tubuhnya. Tampaknya lelaki ini banyak mengalami pahit dan kerasnya dunia, ya dunia yang tak pernah aku tahu.

Aku penasaran dengan lelaki ini, namun semua rasa penasaran tersebut hilang ketika banyak luka ditubuhnya, sehingga menurutku lebih baik menyelamatkan nyawanya baru aku tanya identitasnya.

Ketika aku hendak naik ke lantai atas, aku berhenti ketika aku melihat di mejaku terdapat bak stempel. Aku berjalan perlahan, menuju meja. Lalu aku ambil bak stempel tersebut, setelah aku basahi dengan tinta, dan mengambil selembar kertas putih. Aku dekati lelaki tersebut, aku pegang lembut tangannya mencoba menyamarkan usahaku dengan menyentuh pergelangan tangannya untuk menghitung denyut jantung, sembari tangan kiriku menempelkan bak stempel pada kelima jarinya. Lalu aku balikkan tangannya di atas ranjang sementara kertas putih aku letakkan di bawah telapak tangannya, menekan perlahan sambil memperhatikan wajah lelaki tersebut.

Kemudian aku perlahan namun pasti berjalan mundur, meletakkan kembali bak stempel di meja dan keluar ruangan. Aku tutup pintu dan menguncinya dari luar. Dengan segera aku naik ke atas dengan tergesa-gesa, berlari menuju kamar menutup pintu dengan cepat namun tidak menimbulkan kegaduhan agar tidak membangunkan Mariska.

Aku masuk ke kamar mandi yang tersedia di kamarku. Aku nyalakan shower setelah mengatur kehangatan air yang keluar. Aku bersimpuh di lantai membiarkan air hangat membasahi tubuhku. Mencoba menghangatkan tubuhku yang bergetar hebat, antara takut dan lega. Aku tak pernah berpikir kalau lelaki yang kutolong tadi orang jahat atau tidak. Tak sebersit pun terlintas dalam pikiranku. Entah mengapa aku begitu tangkas membantunya. Entah mengapa aku tak membiarkan lelaki tersebut mati karena lukanya. Aku tak tahu, yang kutahu saat ini aku begitu ketakutan dengan semua pikiranku. Tangis pun pecah, tubuhku bergetar sesenggukan. Air mataku meleleh deras tertutup oleh siraman hangat air shower.

Hampir satu jam lamanya aku berada di dalam kamar mandi, setelah berhasil menenangkan diri. Aku membersihkan diriku dari bekas-bekas darah dan langsung merendam lingere yang kupakai. Aku keluar hanya memakai handuk, membuka lemari pakaian. Mengambil pakaian dalam, kaos tipis, dan celana pendek terbuat dari katun. Memakainya.

Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Rasa kantukku hilang sudah.

Aku turun ke dapur, membuat segelas susu hangat untuk mengembalikan tenaga tubuhku. Aku duduk sementara mataku masih menatap pintu tempat lelaki tersebut aku tolong. Ada rasa ingin melihatnya kembali, untuk memastikan apakah pertolonganku berhasil atau tidak, namun rasa takut dan tegang menghalangiku bergerak.

Tiba-tiba bunyi ketukan pintu rumahku terdengar, seketika itu juga gelas yang kupegang terjatuh. Bunyi pecahan gelas segera terdengar cukup keras. Susu hangat yang baru kuminum setengah membasahi lantai dapurku.

Jantungku berdebar kencang, entah mengapa hari ini begitu melelahkan. Semua ketegangan ini hampir membuatku putus asa.

“Permisi Bu Dokter...”, terdengar suara lelaki dari luar.

Segera aku berjalan ke arah pintu, menyibakkan gorden untuk melihat siapa yang berada di luar. Ketegangan semakin menjadi-jadi ketika aku melihat beberapa aparat kepolisian berpakaian lengkap dengan senjata.

Sebelum membuka pintu, aku menenangkan diri terlebih dahulu, lalu dengan hati-hati, aku buka pintu rumah. “Selamat pagi pa...”, sapaku pada mereka.

“Selamat Pagi Bu Dokter Maya, maaf mengganggu pagi-pagi..”, jawab seorang yang tampaknya menjadi pimpinan mereka.

“Ya Pa “, jawabku

“Sebelumnya, saya turut berduka cita atas kepergian Bapak Jendral Budi.”, katanya.

“Iya Pa Ismail, terima kasih.”, sahutku.

“Maaf Bu Dokter, saya kesini hanya memastikan apakah Bu dokter baik-baik saja, mengingat kejadian kemarin jaraknya cukup dekat dengan pulau tempat Bu dokter tinggal. Meskipun kita sudah mempersiapkan pengamanan di sekitar pulau-pulau ini”, jelasnya lebih lanjut.

“Saya sudah lihat di TV semalam Pa Ismail. Apakah sudah beres semua Pa?”.

“Sudah Bu dokter, berkat bantuan dari Angkatan Laut.”.

“Apakah di rumah ini Bu dokter hanya sendirian?’.

“Ga Pa Ismail, saya sama anak saya Mariska. Kemarin sore ledakan terdengar sampai sini, Mariska ketakutan. Makanya dia sekarang sudah tidur tenang di atas.”

“Baik Bu Dokter. Kalau berkenan bolehkah kita berkeliling di daerah sini, untuk memastikan keamanan Bu Dokter.”.

“Silakan Pa Ismail, maaf saya mau bersih-bersih dulu.”

“Bersih-bersih Bu Dokter...?”

“Iya, tadi saya lagi minum susu di dapur, tapi jatuh gara-gara ketokan pintu ini.”

“Maaf Bu Dokter, saya ga bermaksud mengganggu. Saya hanya berusaha mengamankan saja. Maaf sekali lagi.”

“Ga papa Pa Ismail, saya sendiri yang ketakutan sebenarnya.”

“Maaf Bu Dokter untuk ke tidak nyamannya.”

“Ga papa Pa Ismail, selamat pagi ya Pa. Saya masuk dulu.”

“Siap Bu Dokter.”

Setelah itu para aparat kepolisian tersebut berjalan kembali ke arah pagar rumahku, dan berpencar untuk berkeliling. Aku tutup kembali pintu rumahku, lalu bersandar di belakangnya. Bingung dengan diriku sendiri, seharusnya aku serahkan lelaki tersebut tapi malah kulindungi.

Setelah beberapa saat, aku bangkit dan berjalan ke dapur untuk membersihkan pecahan gelas dan susu yang sudah mulai mengering.

Waktu menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi, aku yang telah membersihkan rumah. Duduk di sofa menyalakan TV melihat berita yang masih di dominasi oleh kejadian antara aparat kepolisian dan “para teroris”. Tanpa kusadari aku tertidur.



Aku merasakan kecupan ringan di dahiku, lalu terdengar suara lembut yang membuatku bertahan dengan semua cobaan ini. “Pagi mama, kok mama tidur di sini sih?”.

“Pagi sayang....”, jawabku setelah membuka mata dan tersenyum pada anakku.

“Mama.. mama kok tidur di sini, ga nemenin riska tidur kamar sich?”, tanyanya mendesak.

“Iya sayang, mama takut kalo ada orang masuk ke sini, makanya mama turun dan jaga di bawah.”, balasku, sambil mengangkatnya di pangkuanku.

“Kamu sudah mandi sayang...?”

“Riska, sudah mandi mama. Mama itu yang lum mandi.”

Aku tertawa mendengar jawabannya, segera aku menggelitiki pinggangnya. Tawa geli Mariska, membuat pagi hari ini terasa begitu lengkap.

Setelah bercanda dengan Mariska, aku menggendongnya dan mengajaknya kembali mandi bersama di kamar.



Di hari yang sama, waktu menunjukkan pukul tiga sore. Mariska baru saja tidur, setelah lelah bermain air denganku. Aku bereskan meja makan dan mencuci piring, setelah itu aku membuka pintu di samping dapur dan berjalan turun.

Aku buka pintu di kamar pasien yang terdapat di basemen rumahku, aku mengambil alat pengukur tekanan darah dan stetoskop. Aku sentuh dahi lelaki tersebut, suhu tubuhnya masih agak tinggi. Aku kembali lagi ke lemari kaca dan mengambil termometer. Aku selipkan di ketiak kiri, lalu aku memakai stetoskop sambil mengikat lengan kanannya memompa udara di dalamnya, menempelkan stetoskop pada sisi terbuka lengan kanannya. Mendengarkan denyut jantungnya lebih dalam.

Setelah mengetahui tekanan darahnya, aku menempelkan stetoskop pada dadanya, mencoba mendengarkan tubuh bagian dalam lelaki ini. Mencoba menganalisa kondisi tubuhnya. Terdengar denyut jantung yang berdetak penuh irama dan teratur. Turun lagi ke daerah perut, sambil memberikan ketukan ringan pada sisi hati dan ginjalnya.

Aku cabut termometer dan melihat suhu tubuh lelaki ini berkisar di 37 derajat. Cukup normal kataku dalam hati, mengingat luka yang dideritanya.

Kemudian, aku buka lilitan kassa pada tubuhnya. Lalu aku miringkan tubuhnya untuk melihat bekas jahitan semalam. Ternyata sudah mengering dan lukanya sudah tertutup rapat. Sungguh di luar dugaan. Hal semacam ini tidak pernah terjadi, proses pengeringan luka membutuhkan waktu 3-4 hari, sedangkan lelaki ini hanya beberapa jam saja.

Namun untuk menjaga hal yang mungkin terjadi, aku kembali membalur luka tersebut dengan kapas betadine dan kali ini aku rapatkan memakai plester. Setelah rapi aku rebahkan lagi tubuh ini. Aku berjalan ke lemari kaca, mengambil alat suntik dan dua botol cairan dengan nama Ceftriaxone & Ketorolac 10 mg. Aku tusukkan jarum suntik ke kedua botol tersebut dan mencampurkannya dalam botol kosong dengan tutup karet untuk menahan udara masuk dengan komposisi 6 cc Ceftriaxone 4 cc Ketorolac 10 mg.

Setelah itu aku kocok botol kecil tersebut untuk mencampurkan kedua obat tersebut, kemudian aku sedot kembali dengan jarum suntik. Aku kembali mendekati tubuh lelaki asing ini. Tampak kedamaian terpancar di wajahnya, deru nafas halus terdengar. Aku bersihkan lengan kanannya dengan kapas alkohol dengan memberikan sedikit tekanan agar pembuluh darahnya terlihat, lalu aku suntikkan obat tadi ke dalam tubuhnya.

Kedua obat tersebut merupakan antibiotik dengan obat pereda nyeri dan untuk menghilangkan memar-memar yang cukup banyak ditubuhnya.

Aku ambil kursi dan duduk di samping lelaki asing ini. Diam mengamati. Cukup lama aku duduk mengamati lelaki ini, hingga tanpa kusadari mataku terpejam, aku tidur.




Entah berapa lama aku tertidur, yang aku rasa hanyalah rasa nyaman hangat dan bau harum bantal yang biasa kupakai. Aku buka mataku, sedikit mengejap mataku untuk beradaptasi dengan cahaya lampu yang cukup terang. Aku segera duduk. Mencoba mengingat-ingat bagaimana aku bisa berada di kamarku.

Tiba-tiba aku teringat dengan Mariska, segera aku bangkit berdiri dan membuka pintu kamarku. Berlari turun ke bawah memeriksa hampir semua ruangan. Dengan nafas terengah-engah aku kembali naik ke lantai atas di mana kamar Mariska berada. Aku buka perlahan pintu kamarnya, tampak bidadari kecilku tertidur dengan nyenyak memeluk buku cerita yang setiap hari aku bacakan untuknya.

Rasa takutku berangsur-angsur reda, ketika melihatnya tampak tenang dalam tidur. Aku tutup kembali pintu kamar anakku, aku berjalan ke dapur untuk mengambil air mencoba menenangkan diriku. Mencoba berpikir siapa yang telah memindahkanku ke kamar. Aku duduk di kursi dapur sembari mengatur nafasku, menikmati segarnya air dingin dari kulkas.

“Apakah dia...?”, kataku pelan.

Detak jantungku yang sebelumnya mereda, kembali berdetak cepat ketika pikiranku mulai memikirkan hal-hal yang telah terjadi. Segera aku bangkit berdiri mengambil sebilah pisau dapur, berjalan pelan mendekati pintu yang menuju ruang periksa.

Meskipun aku pemegang sabuk hitam karate, namun entah mengapa ketika memikirkan lelaki ini aku merasakan rasa takut yang amat sangat. Aku atur nafasku untuk menenangkan diri, dan setelah itu aku buka kunci pintu ruangan periksa lalu turun secara perlahan.

Sesampainya di bawah, aku buka perlahan pintu kamar periksa, dan ternyata lelaki tersebut tidak ada. Detak jantungku kembali menguat, melihat situasi ini.
Aku kembali ke ruangan atas, mencoba mencari lelaki tersebut. Namun tiba-tiba, “Looking for me?”, suara lelaki tersebut ditelingaku. Aku terkejut, dan hampir berteriak, namun respons yang kuberikan adalah mengarah pisau yang bawa ke arahnya sembari mengambil jarak dengannya.

“Kamu?”, tanyaku tegang.

Tidak ada jawaban, hanya senyuman tipis darinya. Lelaki itu berjalan memutar, membuatku ikut berjalan memutar mencoba menjaga jarak dengannya. Aku berpikir langkah apa yang harus aku lakukan, namun dalam sekejap lelaki tersebut hilang dari pandangan mataku.

“Fokus...?!”, bisiknya lagi, namun kali ini sentuhan lembut bibirnya menyentuh telingaku. Sekujur tubuhku merinding seketika, dan membuatku seperti patung untuk beberapa saat. Namun, segera refleks tubuhku bekerja. Aku balikkan tubuhku, mengambil posisi kaki untuk pijakan kuat, lalu aku lakukan tendangan dengan kaki kanan disambung dengan tendangan berputar kaki kiri untuk menyerangnya.

Namun semua seranganku sia-sia. Lelaki tersebut mengelak dengan melangkah mundur, menjaga jarak. Jantungku semakin berdetak kencang, mengingat refleks tubuhku yang cukup terlatih. Namun semua seranganku dihindarinya dengan santai.

Kembali kami berjalan memutar sambil menatap satu dengan yang lain.

“Siapa kamu...”, tanyaku lagi

Tidak ada jawaban, malah lelaki ini berjalan langsung ke arahku, mendekat. Membuatku mengambil langkah mundur beberapa langkah. Tanpa kusadari, langkahku terhenti karena tembok. Merasa terpojok, aku tarik nafas dalam lalu aku angkat kaki kananku setinggi dada lalu aku arahkan serangan lurus ke lelaki tersebut. Telapak kaki mengarah tepat ke arah dadanya. Dia memiringkan tubuhnya membuat seranganku menjadi tidak efektif. Ketika kaki kananku menjejak lantai, segera aku sambung dengan serangan siku mengarah lurus ke arah kepala, namun tetap sia-sia. Dia berhasil menghindarinya, dan yang membuatku kesal adalah senyuman itu tidak pernah hilang dari wajahnya. Seakan-akan menertawakan semua gerakanku.

Senyum itu, membuatku kehilangan kendali. Serangan lanjutan pun aku lakukan. Pukulan, sikutan, tendangan. Kali ini dia tidak menghindar, dia menahan semua seranganku. Hingga pada saat aku lepaskan Mae Geri dia menahan kakiku dengan lengan kirinya, lalu mendorong tubuhku hingga membentur tembok, mengunci kedua tanganku di belakang tubuhku dengan mencengkeram kuat pergelangan tanganku.

Rasa takut pun menguat.

Dia menahan tubuhku tetap menempel di tembok.

“Budi’s daughter”, katanya berbisik ditelingaku. Membuatku bergidik ngeri.

Deru nafas hangat menerpa kulit leherku, memberikan sensasi berbeda. Antara rasa takut, tak berdaya dan basah.

“Le...lepas..in.... tolong....”, kataku gemetar.

“Don’t worry, doctor. I just want to say thanks for helping me...”, bisiknya lembut dan tiba-tiba dia menempelkan hidungnya pada leherku, menghirup aroma ketakutanku. Membuatku semakin tak nyaman.

Dia membalikkan tubuhku yang sebelumnya menempel pada dinding rumahku, berganti dia yang bersandar di dinding, sementara cengkeraman tangannya pada kedua pergelangan tanganku tidak mengendur.

Tangan kanannya mengerak melingkari perutku masuk ke dalam bajuku. Tangan kasarnya menyentuh perutku, memberikan sensasi tersendiri. Sementara dia masih menghirup aroma tubuhku. Bibirnya memberikan kecupan ringan pada sisi belakang telingaku, membuatku tanpa sadar melenguh karena gairah itu menguat tanpa bisa aku tahan.

Rasa takut dan sentuhan-sentuhan yang diberikan lelaki ini, membuatku tak berdaya. Aku merasa lemah, aku merasa pasrah, namun aku takut. Air mataku pun turun tanpa disadari.

“Ughhh....”, lenguhku tanpa sadar.

Dia melepaskan kedua tanganku. Namun segala dayaku telah pupus, entah karena apa.

Kini kedua tangannya, bergerak memberikan sentuhan-sentuhan lembut padaku. Membangkitkan gairah yang selama ini telah hilang. Membuat tubuhku menuntut penyelesaian.

Dia mencium lembut leherku, sementara kedua tangannya tengah meremas kedua payudaraku. Membuatku semakin kehilangan kendali akan tubuh ini. Tangannya dengan lincah membuka kait bra yang kupakai, dan bodohnya, aku berikan akses untuk itu.

Dia meremas payudaraku secara langsung membuatku kehilangan kontrol diri. Desahan demi desahan disertai bunyi ciuman dari dia membuat suasana semakin panas. Tubuhku menggeliat tanganku pun tanpa sadar memeluk dan meremas rambut lelaki ini.

Entah berapa lama aku menderita dalam gairah. Hingga tangannya menyentuh dan memainkan vaginaku, seketika itu juga aku mengerang panjang. Dengan tubuh bergelinjang hebat menerima rasa nikmat yang sudah lama tak pernah aku rasakan lagi.
Suasana menjadi hening untuk beberapa saat, setelah aku mendapatkan puncak gairahku. Namun pelukan lelaki ini tidak mengendur. Tangan kanannya masih bermain di payudaraku, sedangkan tangan kirinya masih juga bermain di vaginaku. Tubuh yang masih sensitif dengan puncak gairahku, kembali menggelinjang berkat sentuhan-sentuhan erotis yang dia berikan.

“Ahhh....sudah...aahhhhh”, erangku mencoba menghentikan perbuatannya.

Namun dia tidak berhenti, “You are so sexy...”, bisiknya.

“Ahhh...sto..p it pleaase...ugghhh....”.

Jari tangannya kembali beraksi di vaginaku, bergerak liar menggali dan menggaruk dengan intens. Gairah ini tak sempat padam, malah semakin panas. Sementara jari yang lain bermain dengan lembut pada puncak payudaraku, diikuti kecupan-kecupan basah dan panas di kedua telingaku. Menaikkan gairahku cepat, memaksaku memasrahkan diri padanya.

Kali ini aku mengerang lepas tanpa beban. Tubuhku bergerak mengikuti gerak liar jemarinya, berpadu menyatu indah dengan liarnya nafsu dunia. Lupa akan harga diriku, lupa akan rasa takutku dan statusku sebagai dokter, lupa akan dia, yang ada gairah yang semakin tinggi.

Kedua kakiku sudah tak sanggup menopang tubuhku, entah bagaimana caranya dia sudah duduk di kursi dapurku dengan aku berada di pangkuannya. Aku rebahkan kepalaku di pundak lelaki ini, sementara desahan dan erangan keluar dari bibirku.

Entah bagaimana rupaku saat ini, payudaraku terekspose sementara kaos dan celana pendekku entah kemana.

“Ahhhhh.....”.

Erangan panjang keluar dari mulutku, menandakan puncak gairah itu kembali hadir menyapa tubuh ini. Beriringan dengan gelinjang liar tubuhku menerima rasa ini. dunia terasa gelap untuk beberapa saat, hingga akhirnya kesadaranku hadir kembali namun tubuhku sudah tidak bertenaga, tubuhku serasa tidak bertulang.

Dia menarik tangannya dari vaginaku, membelai lembut perutku memberikan sensasi geli pada tubuhku, membuat tubuhku menggelinjang lemah. Keringat membasahi tubuhku. Dia tidak mempedulikan hal itu.

Lalu dia mengangkat tubuhku, dan tanpa kusadari aku mengalungkan tanganku pada lehernya. Sebagai respon aktif dari rasa takut akan jatuh. Dia menggendongku, membawaku naik ke kamarku. Membaringkanku di tempat tidurku, melepas bra dan celana dalamku. Aku pasrah dengan apa yang dia lakukan selanjutnya. Namun salah dugaanku, dia menyelimuti tubuh telanjangku dengan selimut. Mematikan lampu kamarku dan menyalakan lampu tidur yang terdapat di samping ranjangku. Setelah itu dia berdiri menatapku, sementara aku seperti kehilangan seluruh tenagaku dan rasa kantuk pun datang, namun aku sadar apa yang dilakukannya.

Dia duduk diranjangku, mengecup keningku, kedua mataku yang terpejam, dan bibirku. Ciuman lembut yang belum pernah aku rasakan, ciuman yang jauh dari nafsu dan gairah. Hanya ciuman lembut penuh kasih dan sayang.

“Sleep well, sexy....”, katanya pelan ditelingaku.

Aku pun tertidur.



Kicau burung terdengar begitu riang dan indah, sementara hangatnya sinar mentari menerpa wajahku. Aku duduk dan merenggangkan tubuhku, mencoba melepas penat akibat tidur yang cukup lama. Entah mengapa pagi ini terasa begitu berbeda dengan pagi yang pernah aku alami. Begitu lepas dan tanpa beban.

“Pagi mama....”, kata putriku menyapa di pagi ini.

Aku menoleh ke asal suara itu, melihat Mariska digendong oleh dia. Aku tersenyum dan menyapa kembali, “Pagi sayang...”.

“Hihihi... om, mama tidur ga pakai baju...”, kata putriku padanya.

Sementara dia hanya tersenyum, penuh arti. Namun aku, seperti di sambar geledek, segera aku menunduk dan melihat tubuhku yang polos.

“Aaahhhhhhh..... keluarrr.....!!!”, teriakku sambil melempar apa saja yang ada di sekitarku. Aku tarik selimut dan segera meringkuk didalamya.

“Hihihi.. om, mama marah tuh....”, tawa putriku yang tampak bahagia.

“Hahaha, iya mama marah. Yuk kita main di bawah saja...”, katanya.

“Ayuk om....”.

Sambil tertawa dia keluar kamarku dan menutup pintunya. Aku tak tahu semerah apa wajahku. Aku menutup wajahku dengan tangan ketika aku mengingat kejadian semalam, rasanya...rasanya.

Segera aku berlari ke kamar mandi di dalam kamar. Menyalakan shower dan membasahi tubuhku, mencoba menghapus rasa malu yang terus menerus menghantui pikiranku. Cukup lama aku membiarkan air hangat membasahi tubuhku, dan ketika aku melihat ke arah cermin di sisi kamar mandiku, aku melihat bekas kemerahan pada leherku. Seketika itu juga rasa malu menyerang pikiranku.

Hampir satu jam aku berada di kamar mandi. Setelah itu aku keluar dan mengunci pintu kamarku, menghindari kejadian tadi terulang kembali. Masih dengan tubuh telanjang aku membuka lemari bajuku, mencoba mencari baju apa yang akan kupakai.

“Pakai apa aja, kamu masih seksi kok”, tiba-tiba ada suara ditelingaku.

Dengan terkejut aku membalikkan badan, dan dia ternyata ada di sini, di dalam kamarku. Ketika aku akan berteriak, dia menarikku ke dalam pelukannya, dan dia mencium bibirku. Aku yang mencoba menahan tubuhku dengan menempatkan kedua tanganku didadanya, tiba-tiba tak kuasa berbuat apa-apa. Rasa itu kembali hadir.

Aku yang sebelumnya pasif, menjadi aktif menyambut lumatan lembut dan penuh gairah dari dia. Lelaki asing yang begitu penuh dengan aura maskulin, seolah melumpuhkan kemampuan diriku untuk bertahan.

Tanpa kusadari aku mengalungkan tanganku padanya, desahan pun keluar dari bibirku ketika dia mencium titik demi titik di leherku. Membangkitkan kembali gairah yang semalam telah memenuhi tubuh ini.

Tangannya membelai lembut payudaraku, bermain nakal dengan puncaknya. Membumbungkan gairahku ke atas awan. Ciumannya turun dan semakin turun, hinggap di puncak payudaraku. Menghisap lembut dan membelai dengan lidahnya.

“Aaahhhh......saa...yaaannngg.....aaahhhh”, erangku tanpa sadar menyebutnya sayang.

Tak berhenti di situ, ciumannya turun semakin ke bawah. Sampai pada vaginaku yang basah oleh ulah nakal lelaki ini.

Dia menghisap, menggigit lembut titik kenikmatan vaginaku. Membuatku benar-benar kehilangan kendali hingga akhirnya aku mengerang panjang ketika mulutnya bermain liar di vaginaku. Tubuhku bergetar hebat, menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan.

Aku pun jatuh karena kehilangan tenaga, dia menahan tubuhku. Memelukku erat beberapa saat. Mencoba menenangkanku dari rasa ini. aku menangis antara sedih, marah, dan bahagia. Aku sedih karena aku lemah di hadapannya, aku marah karena aku tidak bisa melawan gairahku sendiri, dan aku bahagia karena setelah sekian lama aku masih bisa merasakan nikmatnya gairah ini.

“Hikks...hikkss...jahat... kamu jahatt...hiksss...”, tangisku dalam pelukannya.

Dia tidak berkata apa-apa, hanya elusan lembut pada rambut dan punggungku.

Setelah tangisku berhenti, dia melepaskan pelukannya. Tangannya mengangkat wajahku, matanya menatap mataku tajam tapi seperti penuh kasih. Dia menghapus air mataku, mengecup keningku, mataku dan yang terakhir bibirku.

“Cantik, seksi....”, katanya setelah itu dia pergi meninggalkanku sendiri.

Aku seperti kehilangan ingatan, aku terduduk meringkuk di pojok kamarku. Bingung dengan diriku, namun aku harus bangkit, aku ingin penjelasan padanya.

“Mama, lama banget sich. Riska laper nich....”, kata anakku ketika melihatku berjalan menuju meja makan.

“Maaf sayang, mama sakit perut...”, jawabku sambil mengelus pipinya dan mengakhiri dengan ciuman di pipi.

“Mama..mama sakit ya, kok ga minum obat sich.”, sahutnya lagi.

“Iya, sayang. Nanti abis makan mama minum obat.”.

Aku pun duduk di meja makan, melihat begitu banyak makanan di meja. Aku tatap dia, dan bertanya, “Kamu yang masak?”. Dia melihatku dan mengangguk diiringi senyuman khasnya itu.




silahkan....
 
Terakhir diubah:
Waduh sampe lupa awalnya gmn? Ini lanjutannya ya hu?
Ijin baca ulang yang awal dah
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd