Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

Bimabet
tak terasa udah setahun lebih saya mengikuti cerbung karya suhu @meguriaufutari. Banyak pelajaran yg bisa diambil dalam cerita yg beliau buat, bukan hanya dijudul ini saja melainkan dijudul yg lain pun banyak, terutama pengetahuan2 tentang dunia pemograman & dunia bawah tanah. endingnya ya saya lumayan sangat suka sekali suhu, walaupun sijay gak milih sidevina, tetapi malam pertama dihabis kan dengan devina, sangattt luar biasa. Saya pesan kepada ts jangan terlalu mengabulkan kehendaknya pembaca , sebab nanti cerita yg sudah ts rancang sedemikian rupa bisa berubah , & menghilangkan ciri khas nya sipenulis, sya yakin tiap penulis itu punya ciri khas didlam menyampaikan tulisannya, tetap semangat berkarya ya suhu :semangat:. mohon maaf kalau ada kata2 sya yg tidak berkenan untuk suhu:ampun::ampun:. & terimakasih untuk cerita malaikat paling semputna diantara 5 malaikat :mantap::mantap::Peace:
 
Side story nya mana ya.... ko g datang2..... suhu megu juga g pernah muncul lg...
 
Bacanya keinget ama 4 hearts and a fool.ending yg bikin kesel sebenernya,kenapa mesti diembat semua.Tapi yah nubi cuma reader bisa apahh
 
EPISODE 24 : Aneh

“Mbak Fera...” Kataku.

Didepanku berdiri Mbak Fera, yang sudah siap dengan dua pisau di tangan kirinya. Jujur, aku bisa dikatakan karyawan baru di PT Ancient Technology. Aku tidak begitu mengenal Mbak Fera. Apakah dia bisa diajak kompromi? Bisakah aku menceritakan semuanya padanya? Saat ini aku memang sendirian, betul-betul sendirian. Sepertinya memang tidak ada jalan lain selain mempercayainya.

“Oke, Mbak Fera. Aku-“ Kataku sambil berusaha mengangkat kedua tanganku untuk menyerah.

SYUUTTT! Satu pisau lagi melesat dengan cepat melewati sela leherku. Gila, akurasi lemparan yang bukan main tepatnya.

“Jangan bergerak, Jay. Biarkan aku melumpuhkanmu dengan baik-baik.” Kata Mbak Fera.

Hmmm, ada yang aneh. Setahuku Mbak Fera bukan orang paranoid yang mudah panik. Akan tetapi, mengapa ia terlihat begitu panik akan reaksiku yang sebetulnya normal-normal saja. Kepanikan ini... Tidak salah lagi, kepanikan yang dibuat-buat. Hmmm, tunggu. Untuk apa dia sengaja berpura-pura panik? Sebagai pertahanan diri kah agar aku tidak berbuat macam-macam? Tidak, kurasa bukan itu. Nafsu membunuh yang dipancarkan oleh Mbak Fera bukan nafsu membunuh yang dibuat-buat. Kenapa dia ingin membunuhku?

Eh? Bagaikan ada lampu yang tiba-tiba menyala dalam kepalaku. Tiba-tiba, aku teringat tentang kejadian di kantor polisi. Ya, waktu itu aku sedang diinterogasi oleh polisi. Kemudian, Valensia mendatangiku. Dia mengatakan bahwa setelah semua ini, semuanya akan bahaya, atau sejenis itulah. Dia menyuruhku untuk kabur, dan jangan mempercayai siapapun. Saat aku keluar dari ruangan interogasi di kantor polisi itu, aku melihat Valensia dan beberapa orang berseragam hitam dari ujung rambut sampai ujung kakinya dibutakan oleh flash grenade. Ya, itulah yang waktu itu terjadi di kantor polisi itu.

Cih, kenapa aku baru sadar sekarang? Itu memang kejadian yang sangat aneh. Valensia menyuruhku untuk kabur, kemudian dia keluar dari ruangan. Diluar ruangan, aku melihat Valensia dan beberapa orang seragam hitam itu. Ya, pertanyaannya adalah, siapa sebetulnya orang-orang berseragam hitam itu? Kalau mereka hendak memfitnahku, harusnya mereka tidak perlu membuat drama flash grenade itu. Mungkinkah, tujuan mereka sebetulnya selain membungkam mulut si preman Otong itu adalah... membunuhku? Cukup masuk akal sepertinya.

Disitu juga ada Valensia. Aku tidak mengerti mengapa Valensia bisa terlibat dengan mereka. Aku tahu betul Valensia. Kami berdua sahabat baik, bisa dibilang sama-sama hancur dan sama-sama kere. Harusnya sih tidak ada untungnya jika dia membunuhku. Dari kata-katanya yang memberitahuku untuk lari, sepertinya tidak ada kebohongan. Mungkin dia juga yang melempar flash grenade untuk mengacaukan kelompok seragam hitam itu.

Lalu, saat kami bertemu didekat Sungai Ciliwung, lagi-lagi dia harus membuat drama dengan menusukku menggunakan pisau bohongan? Kenapa ya? Ah, apakah karena dia diawasi? Ya, pasti itu. Harusnya sih tidak ada alasan lain. Oke, mungkin dalam hal ini, hanya Valensia yang bisa kupercayai. Dia memberitahuku untuk tidak mempercayai semua orang, apakah itu termasuk juga Mbak Fera yang saat ini berada dihadapanku dengan nafsu membunuh yang sangat tebal itu?

Sekarang, analisisku beralih ke Mbak Fera. Mengapa ia begitu paranoid begitu aku bergerak sedikit saja? Sekali lagi, kepanikan itu hanya dibuat-buat. Nafsu membunuh itu pun begitu nyata sekali. Ah! Lagi-lagi seolah-olah ada lampu yang menyala dalam kepalaku. Nafsu membunuh yang begitu nyata... Kepanikan yang dibuat-buat... Aku mengerti. Analisisku sekarang adalah Mbak Fera datang kesini bukan untuk menolongku, melainkan untuk membunuhku. Mungkinkah ia juga tergabung dalam sindikat yang sama seperti si preman Otong dan para tidak jelas berseragam hitam itu?

Sepertinya pertarungan memang tidak terhindarkan. Tidak, mungkin memang hanya pertarungan yang bisa menjawabnya. Aku tidak punya jalan lain selain bertarung dengan Mbak Fera dan menerobos kabur dari pandangannya.

“Hooo, jadi kamu memutuskan untuk melawan ya?” Tanya Mbak Fera.

“Lho? Kok jadi tenang lagi, mbak? Tadi kayanya panik banget.” Kataku sambil mengejek.

Mendengar perkataanku, Mbak Fera berpikir sebentar, dan kemudian ia tersenyum tipis.

“Kamu sudah menebak semuanya ya?” Tanya Mbak Fera.

“Begitulah.” Kataku.

“Hebat juga analisis kamu. Pantas saja Diana menyuruhku untuk berhati-hati kepadamu.” Kata Mbak Fera.

Cih, sampai Ci Diana pun juga musuh ya? Yah, tapi memang inilah kondisiku sekarang. Aku sepertinya tidak bisa mengeluh, hanya bisa menerima semuanya dan menghadapinya.

Tidak ada waktu untuk bersedih. Lebih baik aku segera membentuk taktik untuk menghadapi Mbak Fera. Yang aku tahu adalah, Mbak Fera jago melempar pisau dengan akurasi yang sangat luar biasa. Tidak hanya itu, waktu sebelumnya ia menolongku dari mantannya Martha yang aku lupa siapa namanya, ia sempat melempar pisau dimana pisau itu kemudian berbelok sendiri di udara. Aku tidak mengerti trik apa yang digunakannya. Lebih baik, aku tidak meremehkannya. Aku harus menganggap bahwa Mbak Fera ini adalah manusia super yang bisa mengendalikan laju pisaunya kapanpun dia mau, sekalipun pisau itu sudah melesat di udara. Berdasarkan fakta itu, harusnya Mbak Fera ini adalah seorang petarung jarak jauh. Petarung jarak jauh itu biasanya cenderung lemah dalam pertarungan jarak dekat.

Aku tidak boleh main-main. Aku harus memperpendek jarakku dengan Mbak Fera sampai sedekat jangkauan tangan, dan aku juga tidak boleh membiarkan Mbak Fera mengambil jarak untuk melempar pisau. Aku segera berdiri dengan cepat dan berlari sekencang-kencangnya kearah Mbak Fera. Seperti yang kuduga, dia begitu sigap dengan gerakanku yang tiba-tiba itu. Ia langsung melempar pisaunya dengan cepat. Kali ini tepat kearah mata kananku. Aku segera menghindarinya dengan mengelakkan kepalaku kearah kanan. Langkah pertama sukses, aku berhasil menghindari lemparan pisaunya dan memperdekat jarak antara aku dan Mbak Fera. Aku langsung melancarkan tendangan sapuan kearah kakinya. Mbak Fera segera melompat keatas untuk menghindarinya. Bagus, jika dia melompat ke udara, dia akan kesulitan untuk menghindari serangan yang datang. Aku segera melancarkan tendangan tusukan dengan kaki kiriku kearah perutnya. Akan tetapi, sebelum aku sempat melancarkan tendangan tusukan, tiba-tiba nafsu membunuhnya naik dengan tinggi. Aku segera menghentikan seranganku. Betul saja, dia melemparkan pisau dengan sangat cepat. Aku melihat arahnya, kali ini mengarah ke leherku. Pisau itu sangat cepat, jauh lebih cepat daripada yang tadi-tadi. Aku dengan reflek semata langsung menggulingkan tubuhku kearah kanan. Pisau itu menyerempet bahu kiriku. Ukh, perih sekali rasanya. Walau hanya menyerempet, pisau itu tetap menancap ke tanah dengan cukup dalam. Pasti lemparan pisaunya itu sangat kuat dan cepat.

Eits, aku tetap tidak boleh kebanyakan berpikir. Aku segera kembali mendekati Mbak Fera yang baru mendarat di tanah dari lompatannya. Aku segera melancarkan serangan yang bertubi-tubi, dengan tangan dan kakiku. Sial, tapi semua gerakanku bisa ditebak olehnya. Ia menghindarinya dengan mudah.

“Saatnya kita menyudahi permainan ini, Jay.” Kata Mbak Fera.

Kali ini, sepertinya Mbak Fera akan memfokuskan dirinya untuk menyerang. Baiklah, aku fokus bertahan saja untuk melihat seperti apa pola serangannya. Ia melancarkan tusukan dan sabetan pisau dengan cepat. Kecepatan tusukan dan sabetan pisaunya pun tidak main-main. Pada suatu titik, ia melancarkan tebasan pisau kearah kakiku. Gawat, aku terpaksa melompat kebelakang untuk menghindarinya. Akan tetapi, belum sempat aku mendarat ke tanah dari lompatanku, ia sudah melempar satu pisau lagi kearah mataku. Dengan sekuat tenaga, aku menggulungkan badanku di udara, sehingga aku berhasil menciptakan momentum yang membuat tubuhku bergerak ke kiri. Kemudian, ia melempar satu pisau lagi kearah perutku. Akan tetapi, karena tubuhku bergerak kearah kiri, otomatis gravitasi membuatku menghindari serangannya secara otomatis.

“Sayang sekali, satu pisau terbuang dengan percuma.” Kataku mengomentari kesalahannya dalam melempar pisau.

“Melupakan fakta kecil akan fatal bagimu, Jay.” Kata Mbak Fera.

Dalam sekejap, aku langsung merinding. Aku merinding karena aku paham betul apa maksud dari perkataannya. Apa yang kupikirkan itu betul-betul terjadi. Pisau yang sudah melewat melewatiku itu tiba-tiba berbelok dengan sendirinya. Ah, aku tidak mungkin bisa menghindar dari serangan ini. Pisau itu terlalu cepat untuk kutangkap. Dan akhirnya, aku membiarkan pisau itu menancap di perut sebelah kananku. Ah, sial. Kenapa harus di perut? Ini gawat. Aku terjatuh tanpa bisa mempertahankan posisiku akibat tertusuk pisau.

“Sudah berakhir, Jay. Pisauku itu dilumuri oleh neurotoksin yang sangat keras. Kamu akan mati dalam hitungan detik.” Kata Mbak Fera.

Ah, berita buruk yang sangat buruk. Aku segera merasa sangat lemas dan terjatuh beberapa saat kemudian. Dalam sisa kesadaranku, aku bisa mendengar Mbak Fera melangkah mendekatiku. Ah, inilah saatnya, sepertinya dia akan menghabisiku. Saat ia sudah dekat, ia mengambil tanganku. Eh? Apa yang dia hendak lakukan? Oh, dia hendak membawaku. Saat ia mengangkat tubuhku ke dalam papahannya, aku segera beraksi dan melancarkan serangan tinju mendadak ke perutnya. JREEBB. Seranganku mengena telak. Mbak Fera langsung kesakitan dan otomatis melepaskan tanganku yang sudah berada di bahunya. Walaupun orang sekuat Mbak Fera sekalipun, tinjuku yang kulancarkan dengan sekuat tenaga ini pasti membuatnya kesakitan.

Aku sudah lepas dari genggaman Mbak Fera. Aku memilih satu-satunya jalan yang masuk akal. Aku mengambil batu dari tanah, kemudian melemparkannya dengan kencang kearah kepalanya. Sepertinya tinjuku memang telak sekali, terbukti dengan Mbak Fera begitu kesulitan menghindar dari serangan lemparan batuku. Lemparan batuku pun mengenai kepalanya dengan telak. Setelah itu, aku terus berlari dari pandangannya. Aku tidak bisa mengambil keputusan gila dengan melawan Mbak Fera. Walaupun sudah terkena seranganku, aku yakin dia belum kehilangan kesadaran. Bunuh diri namanya jika aku nekat untuk tetap melawannya.

Aku terus berlari... berlari... dan berlari. Sampai akhirnya, aku tiba di daerah yang lumayan membuatku familiar. Dari sini, aku tahu jalan untuk kembali ke markas kontrakanku itu. Sial, ternyata musuh-musuh datang dari tempat tidak terduga. Aku tidak bisa membahayakan diriku sendiri untuk menaiki transportasi umum. Terpaksa aku berjalan ke markas kontrakanku itu, walaupun jaraknya sangat jauh, sekitar 20 kilometer.

Pisau Mbak Fera tadi yang menusuk perut kananku itu dilumuri neurotoksin ya? Berbahaya sekali. Jika bukan karena pisau mainan Valensia yang kusembunyikan di pinggang kananku, pastilah aku sudah meregang nyawa. Ya, pisau ajaib berbelok yang dilempar Mbak Fera tadi tidak menusuk perut sebelah kananku, melainkan menancap di gagang pisau mainan Valensia. Oleh karena itu, aku begitu sehat sekarang karena pisau itu tidak berhasil mencapai kulitku.

Aku terus berjalan tanpa melihat kiri kanan. Aku berusaha semaksimal mungkin agar jangan sampai terlihat orang. Aku sempat merogoh seluruh kantong celanaku untuk memeriksa apa yang kupunyai. Hmmm, dompet di kantong kanan celanaku. Tiba-tiba, aku merasakan ada sesuatu di kantong belakang celanaku. Apa ini? Aku segera mengeluarkan benda itu dari kantong belakang celanaku. Rupanya kertas. Aku segera membukanya. Kertas itu bertuliskan SGT-2032210978-622653 yang ditulis dengan tinta berwarna biru. Sejak kapan kertas ini berada di kantongku? Aku sangat yakin bahwa tulisan itu bukan tulisan tanganku. Bukan juga tulisan tangan orang yang kukenal. Hmmm, kenapa kertas ini berada di kantong belakang celanaku.

Aku bingung dan juga kedinginan karena seluruh pakaianku basah kuyup karena tadi aku tercebur ke sungai akibat drama penusukan Valensia itu. Sial dingin sekali. Tapi kertas ini hebat juga ya, tidak basah meskipun celanaku begitu basah kuyup. Eh? Tidak basah? Tunggu, apakah ini kertas spesial yang anti basah? Aku segera mencari-cari genangan air di jalanan. Kebetulan sekali, aku langsung menemukannya dalam sekejap. Aku mencelupkan sedikit kertas itu ke genangan air di jalan itu. Eh? Kertasnya basah kok? Kenapa tidak basah ya waktu aku tercebur ke sungai tadi? Aneh sekali, betul-betul aneh sekali.

Tunggu! Bagaimana jika kertas itu mendarat di kantongku setelah aku naik dari sungai? Ya, masuk diakal jika begitu. Kertas ini baru mendarat di kantongku saat aku naik ke sungai. Karena kalau tidak, pastinya kertas ini pun juga sudah basah sepenuhnya. Satu-satunya yang mungkin adalah... Mbak Fera? Apakah dia memasukkan kertas ini ke kantongku saat aku tadi pura-pura terjatuh? Hmmm, kenapa dia harus memasukkan kertas ini ke kantongku? Apakah ini sebuah pesan untukku? Ataukah... rencana cadangan untuk membuatku bingung kalau-kalau ternyata aku berhasil melarikan diri dari tangkapannya?

BERSAMBUNG KE EPISODE-25


Aku telat menemukan tritnya, ini ya kalau sempet acara kejutan ulang tahun atau mimpi jay doang
Aku kesel banget ini wkwkwkwk
 
EPISODE 39 : The Truth About Valensia

Aku berjalan dengan mantap menuju stasiun kereta api. Ya, aku hendak mendatangi markas grup mafia Naga Emas Hijau itu. Kok bisa kebetulan sekali ya markas mereka itu berada di dekat sini? Yah bagus deh, jadinya aku tidak perlu capek-capek pergi ke kota yang jauh. Dalam waktu yang berapa lamanya aku tidak tahu, aku pun sudah sampai di stasiun kereta api. Aku segera membeli tiket kereta api menuju kota yang tidak jauh dari sini. Setelah mendapatkan tiketnya dan menjalani seluruh prosedurnya, aku segera pergi ke tempat tunggu untuk kereta api.

Menurut jadwal, kereta api nya masih kira-kira setengah jam lagi. Mungkin keburu jika aku ke toilet dulu. Karena mungkin banyak pikiran, aku tidak terlalu memperhatikan tanda toilet, apakah itu untuk laki-laki atau wanita. Aku main masuk saja ke suatu lorong yang jelas ada gambar orangnya, tidak memperhatikan ada roknya atau tidak. Saat aku masuk, aku melihat seseorang berambut panjang dan lurus sepertinya sedang terbatuk-batuk dan mungkin habis muntah di wastafel. Eh, jika kuperhatikan dadanya, dadanya agak menonjol, dan tubuhnya pun tubuh wanita. Ya ampun! Aku salah masuk toilet ya! Akan tetapi, aku lebih kaget lagi ketika sosok yang sedang muntah itu menoleh kearahku.

“Eh... Se... Senja!!” Kataku dengan kaget.

“Lho? Ko Jay? Ngapain koko masuk WC cewek?” Tanya Senja dengan bingung.

Hmmm, dia muntah-muntah begitu. Jangan-jangan dia hamil akibat hubungan denganku waktu di Hotel Mercure?

“Sen... kamu muntah-muntah... kenapa?” Tanyaku.

“Ko, koko tunggu diluar dulu ya... Nanti aku ceritain” Kata Senja sambil melanjutkan batuk-batuknya.

Kemudian, aku pun segera keluar dari toilet wanita ini. Di luar, aku menunggu Senja dengan was-was. Waduuh, betulkah dia hamil? Jujur sih, seandainya jika dia hamil, aku memang bersedia bertanggung jawab. Akan tetapi, menghamili orang diluar nikah, aku belum pernah merasakannya. Dan sepertinya aku akan menanggung malu yang besar. Akan tetapi, yah sudah berbuat harus berani bertanggung jawab sih.

Tidak lama kemudian, Senja pun keluar. Sepertinya ia masih merasa tidak enak.

“Sen... kamu...” Kataku.

“Ko... Nanti aja ngomongnya... Yang penting kita mesti ke gerbong ruang tunggu... sama koko mesti cepet beli tiket kereta... aku tau... kemana Valensia pergi...” Kata Senja.

“Oh, kesini bukan?” Tanyaku sambil menunjukkan tiket kereta yang akan kutuju.

“Lho... iya betul, ko... Kok koko tau?” Tanya Senja.

“Aku udah dapet informasi sih tentang keberadaan markas besar grup mafia Naga Emas Berapi itu.” Kataku.

“Mafia Naga Emas Berapi?? Mafia Naga Emas Hijau kali koo...” Kata Senja.

“Oh, Mafia Naga Emas Hijau ya? Lagian pilih nama aneh banget. Udah hijau, emas pula, kan bikin orang suka salah jadinya.” Kataku.

“Hahahaha. Koko mah emang-emang nih.” Kata Senja.

“Oh iya, Sen. Kamu sendiri tahu darimana si Valensia mao pergi ke kota itu?” Tanyaku.

“Oh, gini ko. Sebetulnya pas aku mao balik ke hotel, aku ngeliat Valensia dari jauh, bersama komplotannya tiga orang. Aku pikir daripada aku balik ke hotel, aku mending ngikutin mereka dari jauh.” Kata Senja.

“Aduh kamu, Sen. Kalo kamunya bahaya gimana?” Tanyaku.

“Nggak mungkin, ko. Kan Valensia ada sama-sama mereka. Aku tau kok dia nggak mungkin ngebahayain aku.” Kata Senja.

“Oke. Terus?” Tanyaku.

“Nah, aku ngikutin mereka sampe kesini. Dan aku tahu mereka beli tiket ke kota yang ditunjuk di tiket koko itu. Jadinya, aku juga beli tiket ke kota itu. Tadinya aku mao ngikutin mereka, eh tapi ternyata aku liat, Valensia misahin diri dari mereka dan pergi ke toilet. Ya, akhirnya aku ikutin ke toilet, dan aku temuin langsung dia di toilet.” Kata Senja.

“Terus, gimana, Sen?” Tanyaku.

“Yaah, ternyata aku dihajar babak belur sama dia. Hehehe.” Kata Senja.

“Laahh... Kamu ini... Dihajar babak belur kok malah hehehe kamu?” Tanyaku dengan heran.

“Yaah, habisnya ternyata aku terlalu naif, ko. Aku nggak nyangka dia bakal ngehajar aku sampe babak belur. Lumayan lho, aku sampe mual-mual sama muntah-muntah gitu.” Kata Senja.

Mual-mual dan muntah-muntah? Ooohh, ternyata itu akibat perbuatan Valensia ya? Kupikir karena dia kubuat hamil diluar nikah. Yaah, tidak jadi bertanggung jawab deh aku.

“Ooohh... jadi kamu tadi muntah-muntah karena diserang sama Val?” Tanyaku.

“Iya, ko.” Kata Senja.

“Ooohh, kupikir karena waktu itu.” Kataku.

“Hah? Waktu itu yang mana, ko?” Tanya Senja.

Lho? Kok aku malah jadi keceplosan. Ups.

“Lupakan saja, Sen. Ga penting kok.” Kataku.

“Iiiihhh... Koko maahh...” Kata Senja sambil manyun.

“Ah, yang lebih penting, Sen. Terus ada lagi ga informasi yang kamu punya tentang Val?” Tanyaku.

“Hmmm, mungkin bukan informasi ya, ko. Tepatnya perasaanku aja, sih.” Kata Senja.

“Oke. Apa tuh?” Tanyaku.

“Kok aku ngerasa, kayanya si Val buat aku babak belur tuh, karena pengen ngelindungin aku dari temen-temennya ya?” Kata Senja.

“Hmmm, kenapa kamu mikir gitu?” Tanyaku.

“Entah kenapa, aku ngerasa kalo emang Val itu jahat, kenapa dia mesti cuma nonjokin aku doang? Kan bisa aja dia panggil temen-temennya untuk bunuh aku.” Kata Senja.

Oh, begitu ya? Masuk akal sih perkataan Senja. Aku tahu apa yang Valensia rencanakan, tapi aku sekarang tidak punya banyak waktu untuk bercerita dan berdebat.

“Oke, Sen. Mulai dari sini, akan bahaya. Kamu tolong ke rumah sakit, cari Villy sama Martha. Si Villy sekarat karena dia menghirup asap kebanyakan.” Kataku.

“Ko, aku ikut koko.” Kata Senja.

“Tapi...” Kataku.

“Aku tau, ko. Disana itu bahaya banget, dan dijaga ama banyak penjaga pasti karena itu markas besar grup mafia yang besar. Tapi, aku jamin aku berguna untuk koko.” Kata Senja sambil mengeluarkan pistol dari kantong celananya.

“Astaga, kamu dapet pistol itu darimana, Sen?” Tanyaku.

“Dari temenku. Aku nggak pergi dari hotel untuk alasan yang sia-sia, ko.” Kata Senja.

“Yah, tapi tetep aja, Sen. Kalo kamu ikut, mungkin kamu nggak bisa pulang hidup-hidup, lho.” Kataku.

“Mungkin begitu. Tapi, aku lebih milih ikut, dan mungkin berguna buat koko, dengan demikian kesempatan koko untuk bisa pulang hidup-hidup dari sana bertambah sekian persen. Mending begitu, ko.” Kata Senja.

“Sampe sebegitukah?” Tanyaku.

“Bukannya aku udah pernah bilang sama koko kalo aku akan ngasih semuanya buat koko, meskipun koko nggak ngasih aku apa-apa?” Tanya Senja.

Aih, lagi-lagi aku dikalahkan oleh Senja dalam hal kata-kata. Memang aku tidak pernah meragukan ketulusan Senja. Ia betul-betul mencintai diriku apa adanya. Meskipun aku belum tentu mencintai dirinya, tapi dia tetap akan mencintaiku sampai seterusnya. Entah, aku tidak mengerti apakah ada keberuntungan yang lebih besar dari ini bagi aku yang hanya seorang manusia biasa ini.

“Sen. Sorry, tapi tetep aja. Aku nggak bisa ngebawa kamu dalam hal ini.” Kataku.

“Oke, gimana kalo gini? Aku pengen tau apa yang sebetulnya terjadi sama Valensia dan Devina. Mereka berdua itu sahabat baik aku. Apapun yang terjadi, aku pengen dateng langsung ke mereka, dan nanya sendiri dengan mulutku, dan denger sendiri dengan kupingku apa yang keluar dari mulut mereka.” Kata Senja.

“Sen, aku tau apa yang terjadi dengan Valensia. Aku bisa kasihtau ke kamu, apa yang terjadi dengan dia.” Kataku.

Mendengar perkataanku, Senja tampak begitu terkejut.

“Koko... Tau darimana?” Tanya Senja.

“Ada, sumber yang bisa aku percaya penuh.” Kataku.

“Oke. Kalau Devina?” Tanya Senja.

“Kalo Devina, sayangnya aku belum tahu apa-apa.” Kataku.

“Nah, berarti aku memang harus pergi kan?” Tanya Senja.

“Sen, tapi...” Kataku.

“Ko, kita berlima itu udah kaya satu kesatuan. Kalo ada satu yang susah, yang lain akan bantu. Tadi aku denger dari koko, kalo Villy lagi di rumah sakit. Aku rasa, Martha tinggal di rumah sakit untuk jagain Villy kan? Nah kalo gini, siapa yang akan ngebantuin Valensia sama Devina?” Tanya Senja.

“Kamu yakin kamu betul-betul pengen pergi?” Tanyaku.

Senja hanya mengangguk dengan yakin. Tidak ada keraguan sedikitpun dari pancaran sinar matanya. Kalau begini, aku memang tidak mungkin bisa menghentikannya. Mungkin, memang sudah jalan bagi Senja untuk mengikutiku ke markas grup mafia Naga Emas Berapi itu. Jujur, aku tidak bisa menang berdebat melawannya kalau dia sudah serius dan yakin.

“Sen. Aku mohon satu hal dari kamu.” Kataku.

“Koo... Aku udah bilang kan... kalo aku tuh mau ikut...” Kata Senja.

“Aku mohon satu hal, tolong bantu aku nolongin Valensia.” Kataku sambil mengulurkan tanganku.

Mendengar hal itu, Senja berpikir sejenak. Kemudian, ia tersenyum, dan mengambil uluran tanganku. Kemudian, kami segera bersiap-siap. Tidak lama kemudian, kereta yang kami hendak naiki pun datang. Kami pun menaiki kereta itu dan mengambil tempat di tempat duduk yang sudah disediakan. Perjalanan ke kota itu tidak terlalu lama.

“Rileks aja ya, Sen.” Kataku sambil menggenggam tangannya.

“Iya, ko.” Kata Senja dengan mantap sambil balik menggenggam tanganku.

“Oh iya, ko. Tadi koko bilang tau tentang Valensia. Gimana ko ceritanya?” Tanya Senja.

“Jadi, waktu kamu pergi ke tempat temen kamu itu, kira-kira beberapa jam kemudian grup Mafia Naga Emas Berapi itu nyerang kamar tempat Pak Budi menginap. Ada empat orang yang menyerang Pak Budi, termasuk Valensia.” Kataku.

“Mereka ngincar virus yang Pak Budi sebut ya?” Tanya Senja.

“Iya. Tapi Pak Budi menolak untuk ngasihtau dimana virus itu berada. Karena merasa bahwa apapun yang terjadi Pak Budi ga bakalan buka mulut, akhirnya mereka memutuskan untuk membakar Pak Budi hidup-hidup dalam kamar hotelnya. Nah, katanya sih sebagai “hadiah perpisahan”, Valensia memutuskan untuk memberitahu motifnya bergabung dengan grup mafia itu, karena Pak Budi begitu penasaran mengapa orang sepintar dia memutuskan untuk bergabung dengan grup mafia.” Kataku.

“Iya. Terus, ko?” Tanya Senja.

“Jadi gini...” Kataku.

--- Saat kamar Pak Budi Antasari sudah hampir dilalap api ---

“Kenapa? Kenapa orang seperti dirimu... memutuskan untuk bergabung dengan mereka...?” Tanyaku.

“Pergilah duluan, aku akan menyusul.” Kata Valensia kepada ketiga rekannya.

Dalam sekejap, ketiga rekannya pun segera pergi dari kamar yang sudah tersulut api itu.

“Kenapa? Bukannya memikirkan nasib anda, malah memikirkan diriku?” Tanya Valensia.

“Aku sudah dengar dari Jay tentang dirimu. Tiga temanmu yang wanita juga mengatakan beberapa hal tentang dirimu. Sepertinya mereka sangat percaya pada dirimu, dan aku tahu kepercayaan mereka itu bukan sesuatu yang tidak berdasar. Karena itu, kenapa?” Tanyaku.

“Hmmm. Oke, karena mungkin umur anda tinggal sedikit, biar saya jawab rasa penasaran anda itu.” Kata Valensia.

Aku hanya diam saja, dan berusaha mendengarkannya dengan cermat di tengah suara api yang menyala-nyala di kamar ini.

“Tentunya anda sudah tahu, bahwa grup mafia Naga Emas Hijau sangat menginginkan virus yang anda kembangkan. Tugasku di grup itu adalah mereplikasi virus itu.” Kata Valensia.

“Aku sudah tahu sampai sejauh itu.” Kataku.

“Tapi ternyata memang virus buatan anda itu bukan virus sembarangan yang bisa direplikasi oleh software engineer kelas dua. Karena itu, grup mafia itu mencari software engineer yang top grade, terutama dari kalangan IT dari dunia bawah. Entah sial atau beruntung, pencarian mereka berujung pada seseorang.” Kata Valensia.

“Dirimu?” Tanyaku.

“Andai demikian, maka aku tidak perlu repot-repot melakukan hal ini.” Kata Valensia.

“Apa maksudmu?” Tanyaku.

“Orang yang mereka incar, tidak lain adalah orang yang namanya baru saja anda sebutkan tadi.” Kata Valensia.

“Oh. Jay ya?” Tanyaku.

“Nggak mungkin dia yang nggak tahu apa-apa begitu, bisa ngatasin situasi ini dengan benar. Karena itu, saya membuat kesepakatan dengan mereka.” Kata Valensia.

Valensia tampak menutup matanya sejenak.

“Aku akan bekerja untuk mereka, dengan segala kemampuan dan hati, asalkan mereka tidak menyentuh orang itu, orang yang sebetulnya sangat aku sayangi.” Kata Valensia.

“Bagaimana bisa mereka percaya dirimu begitu saja?” Tanyaku.

“Memang sulit awalnya. Mereka sengaja memfitnah dirinya di kantor polisi sebagai jaminan agar aku bekerja dengan sepenuh hati. Saat aku sudah bisa membuktikan kemampuanku dengan meretas arsip Bank Vikthoria, barulah mereka mengakuiku. Barulah saat itu, mereka memutuskan untuk percaya pada diriku, dan melepaskan Ko Jay.” Kata Valensia.

“Jadi, selama ini kamu memang menyimpan rasa kepadanya ya?” Tanyaku.

“Sudahlah, harapan itu sekarang hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang akan kusimpan terus, bahkan sampai aku mati sekalipun.” Kata Valensia.

“Tapi, kamu sangat sayang kepada dia kan? Tidakkah kamu ingin menyatakan perasaanmu, dan hidup bahagia bersamanya? Bisakah kamu menjalani hidup seperti sekarang ini? Terikat selamanya pada mereka, dan harus terpisah dari orang yang kamu sayangi.” Tanyaku.

Kemudian, Valensia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

For him, I’ll do anything, even if I have to dive into the depth of hell. (Untuk dia, akan kulakukan apapun, walau harus menyelam ke neraka yang dalam.)” Kata Valensia.

“Aku dengar bahwa kamu dan Jay pernah bercita-cita menjadi investigator cyber kelas dunia. Apakah kamu bahkan rela mengorbankan cita-citamu itu?” Tanyaku.

“Ya.” Kata Valensia.

Kulihat ia pun menitikkan air matanya dari matanya yang sebelah kiri. Aku tidak bisa melihat mata sebelah kanannya karena tertutup oleh rambutnya.

“Grup mafia itu sudah memenuhi janjinya. Sekarang saatnya aku memenuhi janji kepada mereka. Anda sudah mendengar terlalu banyak, sekarang matilah dalam kobaran api ini.” Kata Valensia sambil menghilang dari pandanganku dengan cepat.

Ukh, sial! Mana mungkin hal ini kubiarkan! Aku harus hidup! Aku harus hidup dan memberitahukan ini kepada Jay! Bagaimana pun juga, aku tidak bisa membiarkan gadis semuda Valensia menjalani hidup yang begitu pahit! Aku harus hidup!

---

“Begitu ya rupanya, ko?” Tanya Senja.

Aku hanya mengangguk. Senja pun tampaknya juga terhanyut pada keheningan yang begitu dalam.

“Ternyata, dia begitu sayang ya sama koko.” Kata Senja.

“Ya. Aku ini bego, selama ini ga sadar sama sekali.” Kataku.

“Tapi, mungkin itu yang dia pengen. Entah dia gengsi, atau takut kehilangan koko.” Kata Senja.

“Iya. Dia udah melakukan hal yang begitu besar buat aku. Sekarang gantian. Aku pasti akan nolongin dia.” Kataku.

“Aku yakin koko pasti bisa.” Kata Senja.

“Kok kamu begitu yakin, Sen?” Tanyaku.

“Martha, Villy, sama aku aja koko berhasil nolongin. Tentunya Val juga bisa dong. Aku yakin koko bisa, karena koko itu extraordinary.” Kata Senja.

“Jujur, Sen. Kalau aku bisa berharap aku jadi extraordinary, aku pengen banget bisa jadi extraordinary sekali ini aja, karena kali ini lawanku bukan lawan yang main-main. Bukan preman-preman kacangan sewaan mantannya Martha.” Kataku.

“Tenang aja, ko.” Kata Senja sambil menggenggam tanganku dan mencium pipiku.

“Makasih, Sen.” Kataku sambil mencium bibirnya.

Kami hampir sampai di kota tujuan kami. Dari kereta ini, aku bisa menemukan markas mereka yang sangat luas dan menjulang tinggi ke langit. Val, tunggu aku.

BERSAMBUNG KE EPISODE-40


Suka gondok kalau baca cerita, ada 1 tokoh cewe yg keras kepalanya minta ampun kaya senja gini -_-
 
Bimabet
Capek baca marathon, bikin mata seperti gara2 kurang tidur.. :pusing:
Overall ceritanya..:jempol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd