Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

Setelah sekian lama cman sekedar like.. Gw nongol lagi suhu megu :pandajahat:

Chatku chatku dan chatku hayo :pandaketawa:

eaaaa, si agan raja typo corrector kembali muncul
thanks atas penemuannya gan

Senja.... Tenangin gwe dunk... Gwe butuh nich.... Jangan Jay doang....

waduuh, ngantri yah
ada si agan @BadFace juga wkwkwk

lah kok senja bahas valensia segala, emang senja belum tau klo valensia udah ikut bergabung ama mafia yang mau menyelakaan si Koko.

hmmmm
siapa yang tahu apa yang ada dalam pikiran Senja? hahaha

Udh 1 maret.... Gelar tiker dulu... Sambil jagain senja biar si koko gk macem2... :D
Eh BTW itu si koko kok ibadah pagi jam 5.50 ya? Itu ibadahnya yg rutin harian apa yg minggu pagi? Bukan mau sara tapi kyk rancu aja itu si koko penganut apa, ibadahnya jam segitu dan settingnya kyk dikerjakan di rumah... CMIIW

silakan dijagain, gan. tapi sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk terjadi, tidak bisa diubah lho wkwkwk
well, pertanyaan yang cukup menarik actually
disini ga disebut si Jay itu penganut kepercayaan apa
tapi ane bisa bilang sejauh ini, bahwa Jay itu penganut kepercayaan yang sifatnya liberal. liberal dalam arti disini adalah, dia tidak terikat pada kepercayaan apapun, meskipun KTP-nya menyatakan bahwa dia penganut suatu agama. Bagi dia, apapun yang menurutnya benar, akan dia lakukan, ga terpatok pada satu agama/satu kitab suci saja
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
silakan dijagain, gan. tapi sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk terjadi, tidak bisa diubah lho wkwkwk
well, pertanyaan yang cukup menarik actually
disini ga disebut si Jay itu penganut kepercayaan apa
tapi ane bisa bilang sejauh ini, bahwa Jay itu penganut kepercayaan yang sifatnya liberal. liberal dalam arti disini adalah, dia tidak terikat pada kepercayaan apapun, meskipun KTP-nya menyatakan bahwa dia penganut suatu agama. Bagi dia, apapun yang menurutnya benar, akan dia lakukan, ga terpatok pada satu agama/satu kitab suci saja
Waduh... Jangan2 itu jay punya kepercayaan menyembah omen... :pandaketawa:
 
Oh kapan nih kelanjutannya Senja,
Apa harus nunggu sampe senja ya
 
ASikkkk, mg ini tripple update.. :semangat:Tapi jangan jangan seterusnya 3 mg lagi baru update....:((
 
EPISODE 31 : Sudden Fact

Disinilah aku dan Senja berakhir. Disini tak lain dan tak bukan adalah suatu kamar di hotel Mercure yang ada di Ancol. Ternyata kamarnya cukup mewah. Kami memesan kamar dengan twin bed, yaitu kamar yang dilengkapi dengan dua ranjang yang terpisah. Aku langsung rebahan di kasur yang lebih dekat kearah pintu, sedangkan Senja hanya duduk di tepi kasur lainnya.

“Ko, mao makan apa?” Tanya Senja.

Eh iya, aku mengajak Senja kesini, tapi lupa untuk mengajak makan malam. Waduh, aku sudah terlanjur malas bergerak pula. Hmmm, makan apa ya?

“Udah males gerak yah, ko?” Tanya Senja.

“Iya nih kayanya hahaha.” Kataku.

“Ato koko mao apa? Aku aja yang beliin.” Kata Senja.

“Ah, ga usahlah, Sen. Oh iya, Sen. Gimana kalo kita pesen in-room dining aja?” Tanyaku.

“Boleh boleh, ko.” Kata Senja sambil mengambil menu untuk in-room dining.

“Koko maonya makan apa?” Tanya Senja.

“Hmmm, apa yah? Sesuatu yang lekat ama Indonesia aja deh.” Kataku.

“Chicken Cordon Bleu mau?” Tanya Senja.

“Brrr... Itu kan makanan barat Sen...” Kataku.

“Oh, makanan barat ya? Aku kira makanan Indonesia. Hehehe.” Kata Senja.

Aduh, Senja... Senja... Ngegemesin juga nih anak.

“Soto Betawi gimana ko?” Tanya Senja.

“Nah, itu dia. Boleh, Sen. Aku Soto Betawi deh.” Kataku.

“Oke, ko. Bentar aku telpon room service nya ya.” Kata Senja sambil menuju telpon.

Aku melihat Senja berjalan kearah telpon, dan kemudian ia mengangkat pesawat telpon itu dan menekan nomor yang dituju.

“Halo, selamat malam, pak. Aku mau pesen in-room dining.” Kata Senja.

“Soto Betawi satu, Spaghetti Bolognaise satu.” Kata Senja.

“Udah, itu aja, pak.” Kata Senja.

“Betul.” Kata Senja.

“Iya. Terima kasih, pak.” Kata Senja sambil menutup pesawat telponnya.

“Katanya dua puluh sampe tiga puluh menit, ko.” Kata Senja.

“Oke.” Kataku.

Kemudian, Senja kembali duduk, kali ini ia duduk di tepi kasur tempat aku berbaring. Kemudian ia memegang bahuku sambil memijat-mijatnya sedikit.

“Kenapa, ko? Capek?” Tanya Senja.

“Yaah, dikit sih.” Kataku.

“Capek yah ko, karena maennya daritadi ngebosenin?” Tanya Senja.

“Well, actually ga loh, Sen. Gimana yah, aku ngerasa seolah-olah dapet pengalaman baru. Selama ini, aku ke dufan mah mainnya yang serem-serem aja. Apalagi kalo sama si Valensia noh. Kali ini, aku mainnya malah yang santai-santai aja. Ternyata lumayan enak juga. Nggak perlu memicu adrenalin, tapi malah kesannya tuh santai banget. Bisa sambil bengong gitu. Enak juga ternyata.” Kataku.

“Yee, malah bengong. Bengong mikirin apa, ko?” Tanya Senja.

“Mikirin macem-macem, Sen. Aku kan kalo bengong itu mikirinnya macem-macem, dari hal yang abstrak, acak, sampe hal yang real.” Kataku.

“Ahhh masa sih? Bukannya mikirin Villy sama Martha?” Tanya Senja.

“Yaah, ada juga sih mikirin mereka hehehe.” Kataku.

“Eh, ko. Aku boleh nanya sesuatu nggak ama koko?” Tanya Senja.

“Ga boleh.” Kataku.

“Iiihhh... Koko mah...” Kata Senja sambil manyun.

“Lagian pake minta izin mao nanya segala. Yaudah sih, nanya mah nanya aja, Sen.” Kataku sambil tertawa meledek.

“Ih dasar si koko. Aku mao nanya nih, ko. Koko kok bisa suka sih sama Martha sama Villy?” Tanya Senja.

“Hmmm, kok dari kata-kata kamu, seolah-olah kamu ga suka kalo aku suka sama mereka?” Tanyaku.

“Haah, masa sih? Nggak ah, ko.” Kata Senja dengan bingung.

“Oohh, mungkin perasaanku doang kali yah. Abaikan aja Sen perkataanku barusan. Hmmm kenapa ya? Entahlah, Sen. Rasa suka ini tuh muncul begitu aja. Tapi mungkin, karena mereka tuh begitu tulus suka ama aku, suka ama aku bener-bener apa adanya. Aku juga ngerasa bahwa mereka rela ngorbanin sesuatu yang penting demi aku. Dan aku sih ngerasa bener-bener nyaman ada di deket mereka. Entah kenapa, mereka bisa memberikan aku comfort yang bener-bener menenangkan.” Kataku.

“Comfort yang gimana nih ko maksudnya?” Tanya Senja.

“Hmmm, comfort yang gimana ya? Aku juga agak bingung jelasinnya. Comfort yang bisa ngilangin seluruh kekhawatiran aku.” Kataku.

“Hmmm, contohnya, ko?” Tanya Senja.

TING TONG... Suara bel kamarku berbunyi. Aku baru hendak bangun untuk membuka pintu, tetapi Senja mendahuluiku melakukannya. Oh, ternyata makanan kami sudah datang. Wuih, cepat juga. Rasanya belum sampai lima menit aku ngobrol dengan Senja.

“Yuk, ko. Makan dulu.” Kata Senja.

“Oke, yuk Sen.” Kataku.

Aku mengambil makanan yang sudah diantarkan room service. Aku segera menyiapkan makananku sendiri dan juga makanan Senja. Wuih, spaghetti bolognaise yang dipesan oleh Senja kelihatannya enak juga.

“Ko, mao sebagian nggak? Aku kebanyakan nih.” Kata Senja.

“Hmmm, yaudah kalo kamu kebanyakan. Nih kamu mao soto ga?” Tanyaku.

“Mau dong, ko. Keliatannya enak.” Kata Senja.

Kemudian, aku mengizinkan Senja untuk menyicipi soto yang kupesan.

“Hmmm, enak lho, ko.” Kata Senja.

“Spaghetti kamu juga enak. Yaudah, Sen. Yuk, makan.” Kataku.

“Makan.” Kata Senja.

Singkat kata, kami makan bersama-sama. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut kami selama kami makan. Hmmm, soto betawi ini ternyata enak juga. Yah memang sudah sepantasnya enak sih, harganya saja lebih dari 60000 rupiah. Buset, biasanya makan soto di pinggir jalan paling-paling cuma 20000 rupiah. Ini tiga kali lipatnya. Setelah selesai makan, aku membereskan piring-piring makan kami berdua, lalu meletakkannya di depan pintu kamar ini. Kemudian, aku juga membersihkan meja tempat kami makan tadi. Senja daritadi hanya duduk saja memperhatikanku. Dasar, tidak membantu sama sekali dia. Haduuh, benar-benar seperti tuan putri saja. Yaah, tapi aku juga tidak ambil pusing sih. Menurutku, itu juga merupakan salah satu daya tarik tersendiri darinya.

Setelah selesai, aku kembali ke kasurku. Kali ini, aku hanya duduk saja.

“Lanjut, ko. Jadi gimana?” Tanya Senja.

“Eh iya. Apanya yang gimana ya?” Tanyaku.

Mendengar hal itu, Senja hanya tertawa sambil menutup mulutnya.

“Aduuh koko mah, nggak pernah berubah dari dulu. Abis makan selalu aja langsung lupa semuanya. Dasar.” Kata Senja.

Hmmm, aku baru sadar bahwa aku memang punya kebiasaan seperti itu. Kenapa malah Senja yang sadar duluan ya bahwa aku punya kebiasaan seperti itu, yaitu kenyang bego hahaha.

“Oh, sorry nih, Sen. Kalo ga salah, kita tadi ngomongin soal comfort yah?” Tanyaku.

“Iya, ko. Contoh comfort yang koko dapet dari Villy dan Martha itu gimana?” Tanya Senja.

“Hmmm... Hmmmm.... Hmmmmmmm... Aku juga bingung sih, Sen.” Kataku.

“Yeeee koko mah. Udah kelamaan mikir, ujung-ujungnya nggak tahu. Emang koko nggak pernah berubah nih dari dulu.” Kata Senja.

“Hahaha. Sorry, Sen. Abis pertanyaan kamu susah banget sih jawabnya. Aku juga lupa sih comfort macem apa yang pernah mereka berikan ke aku. Tapi, aku inget gimana rasanya comfort yang aku dapetin dari mereka.” Kataku.

“Ooohh... Gimana gimana, ko?” Tanya Senja dengan antusias.

“Gini. Kamu nyadar kan tadi kalo aku tuh ngeri banget pas naik bianglala?” Tanyaku.

“Iya, ko. Sampe gemeteran gitu, tangannya sampe dingin.” Kata Senja.

“Iya, sebetulnya tuh aku takut ketinggian, Sen.” Kataku.

“Aku ngerti sih, ko. Wajar kalo takut ketinggian mah. Tapi yang aku bingung, koko nggak takut naik halilintar?” Tanya Senja.

“Beda sih, Sen. Kalo halilintar, emang kita dibawa ke tempat tinggi. Tapi abis itu langsung meluncur kebawah, diputer-puter, sampe kita hampir ga tau mana atas mana bawah. Kalo bianglala tuh, udah kita di tempat sempit gitu, terus kita ada di ketinggian, dan slow motion pula. Bener-bener dah.” Kataku.

“Ooohh, gitu. Iya, masuk akal sih, ko.” Kata Senja.

“Dan aku inget, saat naik bianglala itu, kamu pindah duduk ke sebelah aku, nenangin aku, dan bilang bahwa kamu ga akan ninggalin aku walau apapun yang terjadi. Intinya semacem nenangin aku gitu deh.” Kataku.

“He eh...” Kata Senja.

“Nah, itu tuh, Sen. Dari aku yang tadinya takut dan risau, tiba-tiba tuh semua rasa yang jelek-jelek itu jadi hilang. Padahal yang kamu lakuin itu simple aja kan, ga perlu yang muluk-muluk. Tapi, bener-bener mujarab buat ngilangin rasa panikku. Persis kaya gitu, Sen. Persis kaya gitu comfort yang aku dapet dari mereka berdua tuh.” Kataku.

“Eehh... Beneran, ko?” Tanya Senja.

Aku hanya mengangguk dengan yakin.

“Syukurlah, paling nggak, aku bisa ngasih sesuatu buat koko.” Kata Senja sambil senyum.

“Eh, maksudnya gimana tuh, Sen?” Tanyaku.

“Ko, aku mao cerita. Boleh nggak?” Tanya Senja.

“Ga boleh.” Kataku.

“Iiihhh... Koko mah jahaattt...” Kata Senja sambil manyun.

Aduuh, dasar si Senja ini. Kalo udah ngambek, mukanya itu ga nahan pengen aku unyeng-unyeng hahaha.

“Yaah kalo mao cerita mah cerita aja, Sen. Ga usah pake acara nanya-nanya.” Kataku.

“Iya, jadi gini, ko. Waktu koko pertama kali masuk ke perusahaan tempat kita kerja sekarang, waktu awal-awal koko dikenalin sebagai supervisor kita, si Martha bikin taruhan tuh. Yaah taulah ya ko, taruhan mana yang aku maksud.” Kata Senja.

“Yap.” Kataku.

“Yaah, koko boleh nggak percaya sih, tapi aku sebetulnya nggak setuju.” Kata Senja.

“Hmmm, aku percaya kok sama kamu.” Kataku.

“Nah iya, wajar aja sih kalo koko nggak percaya... Eh?? Koko percaya? Maksudnya?” Tanya Senja.

“Lho? Apalagi maksudnya? Aku percaya ya berarti aku percaya sama kamu kalo kamu ga setuju ama taruhan itu.” Kataku.

“Kenapa? Kok bisa percaya?” Tanya Senja.

“Lha, kan aku boleh ga percaya sama kamu. Berarti aku boleh dong percaya sama kamu?” Tanyaku.

“Tapi kan...” Kata Senja.

“Udah, Sen. Apa yang udah lalu dan terjadi, ga usah dijadiin patokan. Apapun yang keluar dari mulut kamu, aku bakalan percaya sepenuhnya. Itu aja, Sen.” Kataku.

“Makasih, ko. Dari dulu aku tuh orangnya nggak pinter ngomong, dan cuma koko yang dari dulu tuh percaya sama aku.” Kata Senja.

“Hah? Dari dulu?” Tanyaku.

“Iya. Inget nggak ko, waktu koko ajarin kita-kita pemrograman. Aku bilang kalo pemrosesan bahasa kode programku ada yang error, jadinya aku terlambat ngumpulin tugas. Waktu itu Pak Zendra sadis banget, aku dibilang bohong dan nggak masuk akal alasan aku. Bahkan, waktu aku tunjukkin ke beliau kalo bahasa kode programku error, dia bilang itu cuma rekayasa aku. Waktu itu, koko yang adalah asisten lab kita-kita, datengin aku, dan bilang kalo semuanya baik-baik aja. Eh, nggak taunya aku dapet nilai 90 di ujian akhir semester itu. Gara-gara itu, nilai bahasa pemrograman aku jadi B, hampir C tuh. Kalo nggak ada koko, aku udah dapet C.” Kata Senja.

“Oh. Sepuluh tahun lalu kan itu?” Tanyaku.

“Iiihhh... Koko mah... Sepuluh tahun lalu kita belom kenal kaliiii...” Kata Senja sambil manyun.

Nah, wajah ngambek inilah yang ingin aku lihat sebetulnya. Uuhh, betul-betul minta diunyeng-unyeng.

“Sorry, Sen. Aku cuma becanda kok. Iya, aku inget. Waktu itu si Pak Zendra emang sadis banget. Tapi aku perhatiin kamu kok, Sen. Saat kuis pas lab pemrograman, kamu tuh orang yang paling anti mencontek. Meskipun jelas-jelas kiri kanan kamu nyontek semua, tapi kamu tuh tetep jujur. Kamu juga apa adanya, bisa ya bilang bisa, ga bisa ya ngaku ga bisa. Makanya, aku percaya ama kamu kalo kamu tuh ga mungkin bohong. Makanya, aku bilang ke Pak Zendra, kalo aku udah ngebuktiin bahwa emang pemrosesan bahasa kode program kamu tuh error.” Kataku.

“Iya, koko kan orangnya juga sadis ama mahasiswa. Ngasih nilai pelit banget. Cuma Valensia yang nilainya 100 melulu sama koko. Jelas Pak Zendra percaya ama koko.” Kata Senja.

“Yaah, sorry nih, Sen. Aku sih cuma berusaha obyektif aja. Dia emang pinter sih, pantes dapet nilai 100.” Kataku.

“Iya, nilaiku tuh 60-70 melulu.” Kata Senja sambil manyun.

“Hahahaha. Yah segitu udah maksimal sih, Sen. Tapi pas ujian akhir, aku liat loh kesungguhan kamu. Ga tau kenapa, kamu tuh tiba-tiba jadi bisa gitu. Aku kan baca tuh hasil kode buatan kamu. Brilian lho. Makanya aku kasih kamu 90.” Kataku.

“Iihh kan parah... Brilian cuma 90... 100 dong...” Kata Senja.

“Brilian tapi ga sempurna, Sen. Hehehe. Mending kok. Nilai kamu tuh kedua terbaik lho diantara kalian berlima.” Kataku.

“Martha tuh ko kasian. Dari dulu nilainya koko kasih 40-50 melulu.” Kata Senja.

“Yaaahh... Mao gimana lagi, pemrograman kan menuntut kemampuan eksak, Sen.” Kataku.

“Iya, aku ngerti kok. Itu yang ngebuat Devina tuh kagum banget sama koko. Koko tuh orangnya nggak pilih-pilih dan selalu obyektif.” Kata Senja.

“Haaa? Devina?” Tanyaku.

“Iya, ko. Devina.” Kata Senja.

“Oh, gitu toh.” Kataku.

Tiba-tiba, aku jadi teringat akan konflik yang terjadi padaku. Menurut Pak Jent dan Mbak Fera, organisasi yang mengincarku ini adalah organisasi yang dikepalai oleh ayahnya Devina, dan katanya Devina juga sedang bersama ayahnya sekarang. Apa yang sebetulnya sedang terjadi ya?

“Ko, aku yakin Devina nggak salah kok.” Kata Senja.

“Hmmm, kamu betul-betul percaya sama dia ya, Sen?” Tanyaku.

“Bukan cuma aku. Tapi Martha sama Villy juga yakin kok kalo Devina nggak salah. Valensia pun juga aku yakin nggak salah.” Kata Senja.

“Oh iya, Sen. Aku perhatiin nih, kayanya rasa kepercayaan kalian berlima itu begitu kuat. Apakah ada sesuatu yang pernah terjadi?” Tanyaku.

“Kenapa koko ngomong gitu?” Tanya Senja.

“Habisnya, kalian itu kelihatan kompak banget. Selalu support satu sama lain. Selalu senang kalo salah satu dari kalian itu senang. Seolah-olah kalian itu satu kesatuan yang ga pernah lepas gitu. Padahal dulu kayanya kalian ga gitu-gitu amat.” Kataku.

“Nah, itu ko yang pengen aku denger. Emang dulu kita tuh nggak sedeket sekarang sih.” Kata Senja.

Mind to tell what happened? (Mau ceritain ada apa?)” Tanyaku.

“Aku dulu pernah suka sama orang, ko. Tapi, perasaan itu aku pendem, nggak ada yang tahu seorang pun. Tapi yah yang namanya rasa mah susah diumpetin ya. Kalo lagi ngumpul berlima, aku selalu aja ngomongin orang itu. Nggak ada apa-apa, ngomongin orang itu. Seolah-olah, buat aku tuh dia adalah segalanya.” Kata Senja.

“Oh, gitu. Yah, mungkin cukup wajar sih ya.” Kataku.

“Yah, singkat cerita, lama-lama tuh ada yang aneh diantara mereka berempat. Entah kenapa, ketika aku ngomongin cowok itu, mereka berempat tuh langsung nyambung. Bahkan, kadang satu orang bisa ngomong sesuatu yang bahkan aku belum tau dari cowok itu. Dua hal yang kita berlima setuju dari cowok itu adalah, cowok itu reseh dan pinter.” Kata Senja.

“Reseh dan pinter? Kok kayanya hal yang buruk dan baik sih? Hahaha.” Kataku.

“Iya. Cowok itu orang yang penuh dengan kekurangan, walaupun juga memiliki banyak kelebihan.” Kata Senja.

“Bagus, Sen. Dengan mengakui bahwa cowok itu punya kelemahan, paling ga kamu tuh ga dibutain ama cinta.” Kataku.

“Sorry, ko. Aku tanya. Kalo aku dibutain ama cinta, kenapa emangnya?” Tanya Senja.

“Bahaya, Sen. Zaman sekarang mah, cowok tuh pada kurang ajar semua. Kaya temen-temen aku, mereka mah pikirannya cuma ML melulu. Jarang zaman sekarang mah cowok yang bener-bener tulus gitu.” Kataku.

“Iya, ko. Aku yakin cowok yang waktu itu aku suka pun seperti itu. Tapi, aku tau ada yang beda dari cowok itu.” Kata Senja.

“Oohh, apa tuh?” Tanyaku.

“Dia nggak munafik, dan walaupun pikirannya jorok, tapi dia menghomatin cewek.” Kata Senja.

“Hmmm, gimana caranya yah dia pikirannya jorok, tapi menghormatin cewek?” Tanyaku.

“Aku nggak bisa jelasin hal itu sih, ko. Karena hal itu memang diluar logika banget. Tapi aku tahu, bahwa cowok itu bener-bener menghormatin wanita. Walaupun dia nggak ngomong, walaupun nggak kelihatan dari tingkah lakunya, tapi aku percaya, karena aku punya perasaan yang kuat tentang hal itu.” Kata Senja.

“Hmmm. Kata-kata yang ga bakal si Valensia bisa ucapin.” Kataku sambil terkekeh-kekeh.

“Tapi, dia juga setuju sama aku lho, ko.” Kata Senja.

“Haaa? Mustahil.” Kataku dengan penuh ketidakpercayaan.

“Yah itulah mungkin ya hebatnya rasa sayang, bisa mengubah seseorang sampe sedrastis itu.” Kata Senja.

“Eh? Maksud kamu, Valensia juga suka sama orang itu?” Tanyaku.

“Valensia itu orangnya sangat mementingkan logika dan persahabatan. Dia nggak rela kehilangan dua hal itu dari dirinya, karena itu dia nggak ngaku kalo dia suka sama cowok itu. Tapi, aku tau kok kalo sebenernya si Valensia itu suka sama cowok itu.” Kata Senja.

“Weeh, aku ga tau kalo dia itu bisa suka sama cowok. Hahaha.” Kataku.

“Iiihh koko mah parah banget. Padahal kan koko deket banget sama dia, tega banget ngatain dia...” Kata Senja sambil manyun.

Uuuhh... Lagi-lagi senjata manyunnya. Bener deh, kalo dia udah manyun, seolah-olah hatiku bener-bener luluh.

“Yaaa... Gimana yah Sen... abisnya...” Kataku.

“Iya, aku ngerti kok. Koko ama dia itu emang sahabat yang paling top. Kalian itu cocok banget loh kalo pacaran.” Kata Senja.

“Gitukah, Sen?” Tanyaku.

“Iya.” Kata Senja dengan yakin.

“Aku rasa sih ga, Sen.” Kataku.

“Lho, kenapa?” Tanya Senja.

“Kamu pasti udah denger dong, apa yang udah terjadi dengan Valensia?” Tanyaku.

“Hmmm. He eh...” Kata Senja.

“Kamu lihat sendiri kan? Aku yakin juga siapapun diantara kita bisa ngeliat, kalo si Valensia tuh ada problem. Yah tapi apa yang udah aku lakuin sekarang? Nolongin dia aja ga bisa, bahkan kayanya malah memperburuk situasi. Dia pun juga kayanya ga percaya sama aku buat nolongin dia.” Kataku.

“Kenapa koko bisa bilang gitu?” Tanya Senja.

“Harusnya kalo dia percaya sama aku, bukankah dia bakal cerita semuanya?” Tanyaku.

“Aduuhh... Koko ini...” Kata Senja sambil tertawa.

“Hee? Kenapa, Sen?” Tanyaku.

Kemudian, Senja berdiri dan kemudian duduk disebelahku. Ia pun memeluk tangan kananku.

“Koko bukannya harusnya tuh paling kenal ya siapa Valensia itu? Dia itu orangnya kuat, dan paling anti mengeluh ataupun minta tolong. Betul kan?” Tanya Senja.

“Iya sih, betul. Tapi aku yakin Sen, dia itu jelas-jelas butuh pertolongan.” Kataku.

“Kalo koko yakin begitu, ya jangan pernah putus asa, ko. Koko tinggal jadi lebih kuat dari ego dan pride nya dia, sampe-sampe dia mohon-mohon kan ama koko?” Tanya Senja.

Tinggal jadi lebih kuat dari ego dan pride-nya? Ah, betul juga ya. Kenapa aku sekarang down begini mengingat masalah yang terjadi pada Valensia? Bukankah dari dulu aku selalu berkompetisi dan tidak mau kalah dalam hal apapun darinya. Haduuh... Jay... Jay... Malam ini, kamu itu sudah jadi orang bodoh yang bahkan harus diingetin sama wanita polos ini. Memalukan sekali kamu, Jay.

“Betul kan?” Tanya Senja.

“Iya, betul. Kenapa aku baru nyadar sekarang ya?” Tanyaku.

“Ah, koko mah... Persis kaya Valensia... Pinternya ngoding ama komputer doang. Tapi kalo urusan duniawi nggak pernah pinter.” Kata Senja sambil tertawa.

“Yaah, derita seorang programmer, Sen.” Kataku.

“Iya, ko. Dulu cowok yang aku taksir tuh persis kaya gitu. Meskipun sering dibully, tetep aja dia nggak nyadar dan bawa fun aja. Pokoknya, dia tetep menjadi dirinya sendiri, nggak pernah sekalipun jadi orang lain. Pertama kalinya aku betul-betul kagum sama orang yang keras kepala begitu, dan juga sayang banget sama orang itu, seolah-olah aku pengen ngedampingin dia melewati masa-masa sulitnya sepanjang umur hidup aku.” Kata Senja.

“Wow, itu resolusi yang ga maen-maen lho, Sen.” Kataku.

“Emang. Perlukah aku punya resolusi yang maen-maen untuk orang yang aku bener-bener sayangin?” Tanya Senja.

“Hmmm, yah kamu betul sih.” Kataku.

Wuih, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban semantap itu dari Senja yang masih kekanak-kanakan. Mungkin sebetulnya tingkahnya saja yang seperti anak-anak, tapi jalan pikirannya sebetulnya cukup mantap dan dewasa.

“Terus, akhirnya karena suatu hal, aku nggak ketemu lagi sama cowok itu.” Kata Senja.

“Oohh, gitu. Sayang juga, ya.” Kataku.

“Tapi entah kenapa, aku nggak pernah berhenti berharap dan berdoa, bahwa suatu saat aku bakalan ketemu sama dia lagi. Saat aku lulus kuliah, aku harus pisah dari keempat temenku. Tapi, aku harus berjuang sendiri. Nggak selamanya aku bisa ngandalin mereka terus, karena mereka juga punya hidup mereka masing-masing. Meskipun begitu, harapanku untuk ketemu sama cowok itu nggak pernah sirna. Sampe akhirnya, aku kerja disini, dan ketemu lagi sama empat temenku itu. Heran yah takdir itu.” Kata Senja.

“Iya, Sen. Aku aja kaget banget pas ngeliat kamu berlima disini pas hari pertama. Ini mereka berlima janjian gitu bisa ngumpul disini bareng-bareng.” Kataku.

Senja hanya tertawa kecil mendengar perkataanku.

“Sampe akhirnya, suatu hari juga koko pun juga masuk. Bener-bener kaya masa kuliah dulu. Kita berlima konco-konco nya, koko yang selalu ngajarin kita.” Kata Senja.

“Halah, bisa aja kamu, Sen.” Kataku.

“Tapi banyak loh yang berubah sejak koko masuk. Si Martha jadi tertolong, Villy pun juga lebih ceria dalam sehari-harinya. Dan hal-hal kecil yang udah koko lakuin ke kita berlima tuh, bener-bener keren deh.” Kata Senja.

“Biasa aja, Sen.” Kataku.

“Apalagi waktu koko marahin aku pas malem-malem kita dari Dufan itu. Aku tuh bener-bener jadi banyak mikir.” Kata Senja.

“Hmmm, mikir banyak apa aja nih, Sen?” Tanyaku.

“Aku bener-bener sedih, karena aku pikir koko tuh pasti benci banget sama aku, karena aku pikir tuh koko pasti nganggep aku murahan dan buruk banget. Tapi, mungkin emang aku pantes dapet itu, aku bener-bener bego waktu itu. Tapi, saat itu juga aku mikir, bahwa memang koko tuh nggak berubah sama sekali. Koko masih tetep koko yang sama kaya dulu, koko bener-bener menghormatin cewek, dan pernyataanku waktu itu yang cuma berdasarkan perasaan, betul-betul terbukti malem itu.” Kata Senja.

“Eh, maksud kamu apaan Sen?” Tanyaku.

“Waktu Martha ngajak kita berempat taruhan, taruhan yang aku yakin koko ngerti yang mana, itu aku pikir taruhan yang konyol banget. Mungkin itu satu-satunya saat dimana rasa sayang aku ke cowok itu tuh bener-bener bikin aku buta. Aku takut keduluan sama yang lain, aku takut cowok itu nanti jadi nggak ngeliat aku, dan diatas semua itu, aku berharap bisa dapet perhatian dan rasa sayang dari cowok itu, walaupun sesedikit apapun.” Kata Senja.

“Sen... Cowok yang kamu maksud dari dulu itu...” Kataku.

“Iya, ko. Nggak lain dan nggak bukan adalah orang yang ada didepan mata aku sendiri. Dari dulu, dan sampai sekarang, aku selalu sayang sama koko.” Kata Senja.

Hah? Kamu becanda ya, Sen? Itulah yang ingin kutanyakan kepadanya, tetapi aku tahu pertanyaan seperti itu hanyalah pertanyaan untuk ngeles saja. Aku tahu, dari sikap, nada bicara, dan sinar matanya, bahwa Senja betul-betul serius dengan perkataannya.

I love you, ko. With all of my heart. (Aku sayang sama koko. Dengan sepenuh hatiku.)” Kata Senja.

BERSAMBUNG KE EPISODE-32
 
Duh cuma pertalite
:baca: dullu


Edited:
Feeling saya, senja is the perfect one
Get her and you'll not regret for all of the rest of your time, Ko...
: pandabaper :
 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd