Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Mara: The Catastrophe

Status
Please reply by conversation.
Hore suhu hellondre rilis cerita baru... semoga nih cerita gag banyak baper nya hehehehe
 
Lihat puisinya langsung ada feel aneh, pas tau yang nulis ente langsung, ohh... Pantesan.

Feel awalnya mirip sama pideo game yang anak setan, tapi gue yakin ini bakal lebih menarik. Lanjuttt ndre!
 
Ane menemukan cerita yang membuat semangat membaca berkobar lagi, semangat updatenya suhu. Tolong di halaman utama diberi index agar memudahkan mencari kelanjutan ceritanya.
 
Chapter III:
A Painter, Deceased Wife, and Their 'Child'






Kosasih Adiwilaga. Pelukis terkenal yang tengah melebarkan ketenarannya ke dunia bisnis. Ga cukup puas dengan penjualan karya-karyanya yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta, Kosasih merambah ke dunia kuliner. Sasarannya adalah kafe, tapi bukan sekedar kafe biasa tempat nongkrong dan minum kopi, tapi konsep kafe eksklusif yang juga memajang lukisan-lukisan terbaiknya. Kafe sekaligus ruang pameran.

Menurut hematnya, konsep kafe yang di gabung ruang pameran kecil ini cukup efisien untuk menekan bujet. Untuk menggelar pameran sendiri, butuh biaya yang cukup besar. Itu pun ga melulu para penikmat seni tertarik membeli lukisannya. Kadang, modal terlalu besar, ga sebanding dengan penghasilan sekali gelar pameran. Untungnya, sekarang Kosasih ga perlu mengikuti acara-acara pameran; sekarang dia bahkan di undang sebagai pengisi kehormatan acara pameran. Tapi berapa kali sih acara akbar pameran lukisan di gelar per tahunnya?

Maka, Kosasih putar otak. Cari cara lain untuk menjual karyanya, dan juga supaya ada pendapatan rutin. Dia pun membeli satu kedai kopi antik di bilangan segitiga emas Ibukota, menyulapnya menjadi kafe untuk kalangan atas, menempatkan lukisan-lukisan di dinding, serta merombak beberapa ruang lebih menjadi art space. Usahanya dengan cepat menanjak naik. Karena kafe nya terletak di kawasan bisnis segitiga emas yang penuh dengan kalangan atas yang singgah untuk melobi klien, lukisan-lukisannya cepat di lirik. Beberapa laku terjual dengan mudahnya. Beberapa lagi masih setia menghiasi dinding-dinding kafe.

Kosasih ga kehilangan ide. Konsep baru dikembangkan. Tiap tiga bulan sekali, kafenya berganti suasana dan tema, sesuai dengan tema lukisan yang di pamerkan. Memang dasarnya pelukis jagoan, tiap kali ganti tema, selalu ada satu-dua orang yang membeli lukisannya dengan harga fantastis. Apalagi dengan pemasukan rutin dari kafe yang selalu ramai pengunjung. Kondisi finansialnya meroket seketika.

Tapi memang selalu ada masa stagnan yang hadir ketika berada di puncak kesuksesan. Kosasih terkena sindrom art block untuk kesekian kalinya. Bukan berarti dia ga pernah mengalami ini sebelumnya, tapi kali ini yang terburuk yang pernah dia alami. Kosasih mati ide. Untuk mengkonsep saja, dia ga sanggup. Kosasih putar haluan, kali ini ingin menjajal aliran abstrak setelah aliran naturalisme, surealisme, dan kaligrafi dia kuasai. Mungkin dengan torehan acak yang tersinkron dengan pikirannya yang sedang kalut, bisa menciptakan karya hebat lainnya. Begitu yang ada di pikirannya, tadinya.

Tapi ternyata, lukisan abstraknya pun ga sesuai ekspektasinya. Hambar, tanpa makna.

Maka, dia mencari cara lain untuk menembusi art block-nya. Kosasih berjalan-jalan, mencari inspirasi. Sengaja melewati daerah-daerah kumuh, mencoba menyelami makna dari apa saja yang dilihatnya.

Lalu dia bertemu seorang bocah laki-laki yang sedang asik bermain dengan seekor anak kucing hitam. Mara. Dan siapa sangka, bocah itu mempunyai bakat hebat yang bisa menolongnya keluar dari situasi penat ini. Menurut Kosasih, kemampuan meniru mutlak milik Mara bisa dikembangkan ke tingkat yang lebih hebat lagi. Dan untuk itu, Mara harus belajar segala yang diperlukan sebagai persyaratan menuju ke tingkatan tersebut.

Kosasih tahu dan yakin, Mara akan menjadi penerus terbaiknya.


= = = = =​


Satu tahun berlalu, dan Mara sudah belajar banyak hal lebih cepat dari yang dia perkirakan. Kosasih jadi mengetahui ini; Mara ga pernah suka dengan pelajaran yang membutuhkan hitung-hitungan atau berpikir rumus seperti Matematika, Fisika, atau Kimia. Alasannya simpel, pelajaran-pelajaran itu membutuhkan pengembangan konsep dari rumus yang di ajarkan, dan Mara hanya bisa meniru dan menghapal rumusnya, bukan menyelesaikan soalnya. Otaknya ga di desain untuk itu. Justru pada pelajaran yang berhubungan dengan seni lah, Mara kelihatan menonjol.

Eh, bukan, lebih tepatnya, pelajaran-pelajaran yang memungkinkannya meniru. Apapun. Gambar, nada yang di dengar, bahasa, logat, gerak tubuh. Otaknya adalah tipe kanan yang bahkan, di antara tipe tersebut sekalipun, Mara adalah anomali.

Tapi sayangnya, meskipun dia bisa mengkopi dengan amat-sangat detil lukisan ayah angkatnya, Mara tetap ga bisa membuat lukisan sendiri dari imajinasinya. Dia harus selalu butuh contoh untuk ditiru, yang artinya, Mara ga akan bisa membuat karya baru selain karya-karya tiruan. Kali ini, harapan Kosasih hampir-hampir pupus, jika saja dia ga kebetulan mengalami satu peristiwa ini.

Peristiwa kecil yang menyadarkannya akan bakat Mara yang sebenarnya...


= = = = =​


"Bagaimana hari pertama kamu sekolah?" tanya Kosasih ketika Mara baru saja memasuki ruang utama.

Mara menyerahkan tas polo-nya pada salah satu pelayan, lalu melepas sepatu dan kaus kakinya. "Baik. Aku senang di lingkungan baruku, Ayah. Sekolah itu ternyata menyenangkan," jawab Mara pada Kosasih.

"Semenyenangkan apa?"

"Hmm. Bisa di bilang, menyenangkan karena aku bertemu banyak hal baru. Ayah mau kuceritakan?"

"Baiknya kamu ganti seragam kamu dulu, saya tidak mau anak saya masih memakai seragam sekolah ketika di rumah," lalu Kosasih melirik ke seorang pelayan yang sedang bersiaga, "tolong urus Mara dengan baik, lalu setelah itu siapkan makan siang. Ini sudah terlalu telat."

Sebenarnya bisa saja Kosasih makan siang duluan, tapi rasa enggannya akan kesendirian membuatnya lebih memilih menunggu Mara pulang sekolah, dan makan siang bersama.

Setengah jam setelahnya, Mara -dengan baju santainya- kini siap untuk makan siang. Beberapa menu makanan lezat tersaji di meja panjang, yang banyak kursi berderet namun yang terisi hanya dua. Acara makan siang itu berlangsung sunyi, karena memang aturan di kalangan atas bahwa ketika makan, sebisa mungkin ga ada suara. Baik suara kunyahan, bunyi denting alat makan dengan piring, atau bahkan bicara. Dan acara makan yang membosankan itu pun usai setelah lima belas menit berlalu.

"Jadi, apa saja yang mau kamu ceritakan ke saya?" tanya Kosasih setelah meneguk segelas air putih.

"Banyak, Ayah!" Mara sedikit berseru, dan menimbulkan lirikan tajam Kosasih padanya.

Kosasih ga pernah suka dengan nada bicara yang meninggi. Menurutnya, seorang aristokrat haruslah bertingkah anggun dan berwibawa, demi memberi kesan kalangan terpelajar bagi orang-orang tentang mereka. Satu hari di sekolah, dan dia sudah melanggar salah satu tata krama? Mestinya aku mengevaluasi lagi fungsi sekolah untuknya.

"Maaf, Ayah... aku terlalu gembira, jadi tak bisa mengendalikan sikapku sendiri," ucap Mara, lagi.

"Sudahlah, itu bukan masalah besar, Mara. Hanya, lain kali jangan di ulangi. Kamu sekarang sudah jadi anak dari Kosasih Adiwilaga, salah satu pelukis tersohor di negeri ini. Di tahun-tahun berikutnya nanti, kamu akan saya perkenalkan dengan banyak relasi. Sikap kamu harus lebih di jaga mulai dari sekarang. Kamu mengerti maksud pembicaraanku, Mara? Kesan orang terhadapmu menentukan penilaian mereka padaku, jadi buatlah kesan sebaik mungkin pada mereka. Ingat itu baik-baik."

Mara mengangguk pelan, lalu diam. Ga ada lagi hasratnya untuk bercerita setelah mendapat wejangan tata krama yang kesekian dari ayah angkatnya.

"Kamu jadi cerita, Mara? Tidak baik memulai sesuatu tanpa mengakhirinya," buru Kosasih.

"Baiklah... begini, aku... banyak ketemu--"

"--bertemu, saya koreksi," potong Kosasih.

"Ah, iya, bertemu... hhmmm, di sekolah tadi... aku bertemu banyak orang. Aku tak pernah di kumpulkan dalam satu ruangan bersama orang sebanyak itu sebelumnya. Dan mereka menyenangkan, aku di ajak mengobrol seharian," Mara mulai terkekeh riang, lalu melanjutkan, "aku juga bertemu banyak guru baru. Ternyata beban guru-guru di sekolah itu jauh lebih berat dari guru-guru homeschooling. Bayangkan, Yah, satu guru, menghadapi tiga puluhan anak murid. Bukankah itu melelahkan? Bagaimana mereka bisa bertahan dengan kondisi seperti itu?"

"Hmm, ya, ya, memang begitulah seharusnya guru-guru sekolah konvensional mengajar. Saya malah takut, dengan kredibilitas guru yang seperti itu, fokus mereka untuk mengajar kamu jadi berkurang drastis. Tapi tidak terlalu jadi masalah, lagipula kamu jenius. Kamu pasti bisa menyerap pelajarannya."

"Lalu... ada kantin. Ternyata, kantin itu adalah tempat makan dengan beragam menu tersedia, Yah. Banyak makanan yang tidak kita jumpai di restoran, tapi ada di sana, dan harganya murah. Teman-teman juga mengenalkanku pada gorengan, sate sosis, otak-otak, lidi-lidian, dan masih banyak lagi. Rasanya juga enak. Sepertinya, kantin akan jadi tempat favoritku, Yah."

Kosasih menatap Mara dengan sebelah alis terangkat. "Kamu tidak boleh ke kantin lagi. Kamu tahu, makanan di kantin itu tidak sehat. Banyak makanan di sana mengandung MSG? Tahu MSG itu apa? Monosodium Glutamat, penambah rasa makanan sintetis. Buatan," jelas Kosasih, "jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu secara terus menerus, dapat mengakibatkan obesitas, kerusakan bagian otak yang mengendalikan nafsu makan, kemungkinan terjadinya peradangan hati, memperlambat perkembangan kecerdasan, dan masih banyak segudang bahaya lainnya. Saya tidak mau kamu jadi bodoh hanya karena sering makan gorengan di kantin. Mulai besok, bawa bekal dari rumah. Makanan yang di buat para juru masak jauh lebih sehat, Mara."

"Tapi, Yah, aku...."

"Kamu mau membantah saya?"

Mara terdiam. Dia tahu konsekuensi dari melawan Kosasih: ga akan bisa bersekolah lagi. Mara mulai menyukai kehidupan barunya, dan ingin mengenal lebih jauh lagi. Jika dia melawan satu, hanya satu saja aturan yang di buat ayah angkatnya ini, maka dia akan kembali ke dunia membosankannya. Penuh warna monokrom. Hambar. Datar.

Melihat Mara terdiam, Kosasih mencoba meyakinkan sesuatu. "Ada lagi yang mau kamu ceritakan?"

Mara mengangguk. Pelan. "Ada, Yah, satu lagi," jawabnya, lesu.

"Apa itu?"

"Di kelas... ada seorang gadis. Dia cantik, tubuhnya juga sepertinya fit, eh tapi bukan itu intinya. Dia ini... ada 'sesuatu' di belakangnya..."

"Dan sesuatu itu?"

"Ada orang, pria dewasa, melayang di belakang si gadis dengan leher terjerat tali, Yah. Mukanya biru pucat, lidahnya menjuntai, dan matanya melotot tajam. Anehnya, pria ini cuma mengikuti si gadis, dan ketika aku tanya... 'dia' bilang, 'dia' ayah dari si gadis ini.

"Dan cuma aku yang bisa melihat keberadaannya..."

Kosasih terdiam sejenak. Dia berusaha bersikap setenang mungkin, tapi dia ga bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya seutuhnya. Dari caranya bercerita, Kosasih ga menangkap bahwa anaknya sedang berbohong. Jadi, anak ini juga seorang indigo?

"Maksud kamu, si 'pria' ini semacam hantu?" tanya Kosasih, memastikan.

Dan di balas anggukan pelan oleh Mara.

"Anehnya, aku jadi ingin membuat lukisan tentang 'pria' ini, Yah. Detil gambarannya tercetak jelas di ingatanku, dan aku rasa, aku bisa melukisnya semirip mungkin dengan yang ada di kepalaku..."

Oh? Bukankah Mara ga bisa berimajinasi? Atau, kalau memang benar dia seorang indigo, dan bisa melihat hal-hal yang ga bisa dilihat manusia biasa, jadi yang ada di pikirannya itu adalah ingatan akan penglihatannya, bukan buah dari imajinasi? Tiba-tiba, Kosasih mendapatkan konklusi baru.

Jadi, Mara memang tipe 'melihat' bukan 'membayangkan' ya? Hantu dan sejenisnya itu bukankah tak bisa dilihat mata pada umumnya? Jadi bukankah mereka tak akan tahu bahwa yang Mara lukis itu berdasarkan 'apa yang dia lihat' bukan 'apa yang dia imajinasikan'?

"Mara, Ayah mau lihat kamu melukis sosok 'pria' itu nanti. Bisa dimulai... hari ini?"

Lagi-lagi, Mara mengangguk pelan. Kini, matanya seperti menghindari bertatapan langsung dengan Kosasih. Entah menghindar dari apa.

"Bagus. Anak kesayangan saya memang harus rajin melukis. Kamu harapan saya, Mara. Cuma kamu," celoteh Kosasih pada Mara.

Tentu, di balik pujiannya, tersimpan maksud lain. Pameran kali ini sepertinya akan bertema mistis, decaknya dalam hati.

Tapi Kosasih terlalu larut dalam pikirannya sendiri, sampai ga menyadari bahwa Mara sesekali memandangnya, lalu kembali buang muka. Ada rona takut di wajah bocah itu. Karena yang dilihat Mara bukanlah ayahnya, namun...

"Sssttt, Mara ya? Jangan beritahu dia dulu, mau kan? Oh ya, salam kenal, 'anakku', hihi."

Sosok itu berbisik sambil meletakkan telunjuknya di bibir. Kemudian, sebelah tangannya perlahan menggerayangi bahu Kosasih, kemudian ke dadanya, dan pada akhirnya melingkari Kosasih dalam rangkulannya. Itu... sosok seorang perempuan. Wajahnya remuk, seperti bekas di hantam berkali-kali oleh benda keras. Untungnya, wajah rusak itu tertutupi oleh poni rambutnya yang menjuntai. Tapi bukan itu bagian paling menakutkannya.

Leher si perempuan terputar 360 derajat penuh, terlihat dari kulit lehernya yang tertarik, dan beberapa tulang leher yang mencuat ke permukaan kulit.

Entah sudah berapa lama sosok itu berada di belakang Kosasih, namun Mara baru menyadarinya ketika dia bercerita tentang sosok pria yang melayang di belakang teman sekelasnya. Sepertinya, pemicu kepekaan Mara adalah cerita tadi.

"Baiklah, kalau tak ada lagi yang mau dibicarakan, saya pergi dulu," ucap Kosasih, sambil bangun dari kursi. Dia kemudian merapikan kemejanya, lalu mengambil jas hitam yang tersampir di salah satu kursi.

"Ayah mau kemana?"

"Pergi. Ziarah. Kamu tahu, saya sebelum ini punya seorang istri. Dan hari ini, adalah... tepat sepuluh tahun meninggalnya istri saya."

Kosasih melihat jam di tangannya, lalu mendesah berat. "Sepertinya saya akan tiba petang nanti. Baiklah, saya pergi dulu, Mara."

Kosasih pergj begitu saja, tapi sosok perempuan itu tetap tinggal. 'Dia' mengawasi Kosasih sampai pria itu menghilang di balik pintu besarnya, lalu gantian memandangi Mara. Satu pandangan yang betul-betul mengusiknya.

"Ternyata rumor itu benar. Oh, ternyata 'anakku' adalah yang terkenal itu. Salam kenal, Mara... Sang Malapetaka." ucap si perempuan, sambil tersenyum lebar. Seringai yang menakutkan.

Mara membalas senyuman itu. Satu senyum kecil terulas di bibirnya. "Ayah mau kemana? Istri Ayah tepat ada di sini, di depanku," celotehnya pelan, setengah berbisik.






-A Painter, Deceased Wife, and Their 'Child': End-
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd