Hantaman – Japan Februari 201X
Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta
--------------------------------------------
“Aya?” suara Kyoko membuyarkan tidurku.
“Mmm?”
“Bangun Aya” aku bisa melihat muka senyumnya, samar-samar di hadapanku.
“Mmm….” jawabku dengan malas, badanku terasa lemah, dan mataku terasa berat. Kepalaku? Jangan ditanya. Rasanya seperti dipaku ke tempat tidur.
“Makan, Aya, Ima wa, Shogo desu” ucapnya lembut sambil berbisik ke telingaku. Aku kaget dan bangun terduduk. Aku melihat ke jam tanganku. Jam 11 siang. Kyoko tersenyum sambil menunjuk ke arah meja. Ada satu tas plastik minimarket, tampaknya berisi bento dan minuman.
“Aya tidurnya susah sekali, dibangunkan” senyum Kyoko, yang masih memakai pakaiannya kemarin malam. Dia terpaksa tidur disini, karena aku yang terpengaruh oleh sedikit minuman beralkohol malam tadi, memaksa dirinya menemaniku dengan segala kemanjaanku yang keluar entah dari mana. Pakaianku lengkap, masih memakai pakaian yang tadi malam juga. Aku merogoh sakuku dan menemukan handphoneku mati total. Pasti baterainya habis.
“Aya makan, lalu Kyoko pulang ke Mitaka, besok setelah Aya show di Koenji, Kyoko datang lagi ya” senyumnya manis.
“Mmm… Iya” aku masih pusing, dan mencari-cari entah apa.
“Chotto” Kyoko bangkit dan mengambil botol yang berisi air mineral. Dia lantas menyodorkannya kepadaku. Aku meraihnya dengan lemas, dan bersumpah. Aku tidak akan pernah mencoba-coba lagi menyentuh alkohol.
“Aya, semalam Aya seharusnya jangan setuju sama Nii-san” lanjut Kyoko.
“Iya” jawabku pelan sambil menenggak air untuk membasahi kerongkonganku yang tampaknya kering kerontang.
“Rain Kali, jangan minum osake dan Biru lagi ya” dia menatapku dengan serius, tapi tetap dibalut senyumnya yang manis.
“Hai.. Wakarimashita” senyumku balas.
“Ima… Taberu…” Kyoko mengambilkan makanan dalam kantong plastik itu. Ya, seperti yang sudah kuduga, bento khas minimarket. Masih hangat. Sepertinya dia baru saja membelikannya untukku.
“Kyoko tabemashitaka?” tanyaku menanyakan apakah dia sudah makan atau belum.
“Tabemashita” senyumnya, menandakan dia sudah makan. Aku mengangguk dan mulai menyantap makanan yang rasanya bahkan lebih enak daripada restoran jepang di Indonesia ini.
“Aku jadi makin gak sabar” senyumku.
“Tidak sabar apa Aya?” tanya Kyoko, dia memperhatikanku makan.
“Kita, kekkon”
“Haha” dia mengangguk, menandakan perasaan yang sama.
“Nanti kita seperuti ini ya, tiap hari” lanjutnya. Aku mengangguk. Iya, setiap hari akan seperti ini dan semesra ini.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
“Anin kemana?” tanyaku ke Stefan dan Zee yang sedang merokok di dalam kamar.
“Akiba” jawab Zee sekenanya. Dia memakai kaus lengan panjang dan training abu-abu. Mukanya tampak kusut. Dia pasti kecapaian. Stefan berbaring di kasur, memakai celana pendek dan t-shirt yang sudah bolong-bolong. Aku lantas duduk di kursi, di sebalah Zee.
“Ke Akiba sama?”
“Ilham dan si Sena” jawab Stefan.
“Nyerah juga si Ilham”
“Gak kuasa lah dia nentang perintah homoannya” ledek Stefan, mukanya kusut, seperti keset yang baru saja diinjak sepatu berlumpur.
Aku tertawa pelan, memperhatikan wajah kusam mereka berdua dan rokok yang mengepul di bibir mereka. Sadar aku tidak punya kegiatan, kubuka handphoneku dan menemukan notifikasi pesan di sosmed. Dari Arwen rupanya.
“Mas ini bikin iri aja deh di IG, gue pengen banget ke Jepang, Cuma ga sempet aja dan ga ada dana”
“Boong banget ga ada dana, emang kurang ya duit penyiar radio?”
“Eh, disini tuh diitung nya per jam on air...” tawanya di ujung sana. “Dan gue lagi banyak cuti jadi kayaknya produser kesel, jadinya ditaro di jam malem dan sedikit jamnya”
“Cuti ngapain”
“Jalan-jalan” jawabnya.
“Tuh bisa jalan-jalan mulu”
“Kalo domestik sih gampang pulang pergi hahahahahaha”
“Kalo mau cuti, sekalian yang ultimate gitu loh, ke Jepang” lanjutku.
“Yaudah deh, ntar nabung”
“Emang ke Jepangnya pengen ke mana?” tanyaku.
“Gak tau hahaha...”
"Ke Mitaka aja, enak lho" balasku.
“Ngapain ke Mitaka?” aku heran.
“Kan calon bini dari Mitaka tuh” aku menjelaskan lantas menjelaskan, kenapa Mitaka wajib dikunjungi.
“Oh gitu? Asiik kalo main kesana ada tebengan” candanya.
"Ditunggu, haha"
Dengan tak sadar ada kepala yang mengintip percakapanku. Kepala setan. Aku kaget.
“Gue kirain ngobrol ama siapa, taunya bukan ama Kyoko, abis asik bener” Stefan memicingkan matanya.
“Ngapain nyontek, emang lo pikir ujian” kesalku.
“Kagak, kirain lagi pacaran terus mau gue ledekin, taunya lagi ngasih harapan palsu lagi ke cewek lain lagi” ledek Stefan.
“Apaan sih, ga gitu kali, emangnya elo sama Chiaki”
“Gue ama Chiaki maksudnya ngemodus bego. Elo beda, pasti deh, kayak kasus Kanaya lagi entar” tawanya.
“Obrolan mabok lo pas di Osaka jangan di bawa-bawa, kampret”
“Nah gitu aja ngambek” Stefan menyalakan rokok lagi dan memandangku dengan mata yang meledek.
“Abis situ gak ngaca”
“Ah boys… Complicated” Zee menggelengkan kepalanya dan melihat kami berdua dengan tatapan yang agak meledek. Dia mendengus menahan tawanya dan menghisap rokoknya sampai pantas untuk dimatikan di asbak.
Ah, untung usulan kami untuk menghentikan jadwal latihan disetujui oleh Kairi. Selain karena kami sudah sangat hapal dengan lagu-lagu kami, kami juga butuh waktu istirahat seperti ini. Fisik kami sudah terkuras, dan mental kami juga. Dengan masa-masa tenang seperti ini, alias doing nothing, tidur-tiduran, ngobrol dan santai di hotel, pasti semuanya terisi lagi.
“Gue mau tidur lagi” aku bangkit dari kursi dan ngeloyor begitu saja ke kamarku.
“Tar malem jadi kan?” tanya Stefan.
“Jadiin aja”
“Masih hangover dong elo?” tanyanya sambil meledek.
“Lo taik ya” dengusku, berharap bisa melupakan kejadian semalam. Hanya beberapa gelas saja dan selesai. Tamat. Alkohol terakhirku, kecuali kalau aku ditodong pistol dan aku harus memilih antara nyawaku atau minum alkohol.
“Makanya semalem gue nahan diri, biar bisa nyaksiin elo kepayahan” lanjut Stefan, seakan tak peduli aku sedang jalan di luar.
“Ntar malem gantian” aku mengintip Stefan dari sudut mataku, membalas ucapannya.
“Haha”
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
“Cheers!!” gelas-gelas berdentingan di dalam Bar. Ternyata di Nakano banyak bar, dan tak sedikit ada yang bertema otaku. Anin bersikeras mengajak kami ke Bar Gundam, tapi ternyata disana minumnya sedikit, dan isinya adalah orang-orang yang sedang asyik merakit Gundam. Tentu saja Stefan langsung bersungut-sungut dan meninggalkan tempat itu.
Sekarang kami sedang ada di sebuah bar biasa, dengan segala macam jenis minuman keras yang terpampang disana. Gayanya adalah irish pub, tentunya dengan televisi yang menyiarkan sepakbola terus menerus dan kami duduk di bar table yang terpisah dari bar utama.
Bir, dan segala macam minuman lainnya tumpah ruah di meja kami. Tak ketinggalan soft drink yang ada di depanku.
“Jadi inget Mega Kuningan” aku membuka pembicaraan sambil menenggak soft drink.
“Iya, disana kita mulai segalanya ya, sampe tempat itu udah sekarat kayak sekarang” dia meringis, membayangkan bagaimana tempat itu jadinya sekarang setelah ditinggal Cheryl.
“Dan disana juga si Arya bikin baper cewek” tawa Stefan.
“Tokai”
“Kanaya apa kabar Bang?” tanya Sena polos sambil menghisap rokoknya, dan memperhatikan sekeliling.
“Mana gue tau” jawabku dengan tegas.
“Who’s Kanaya, his ex?” tanya Zee yang tampaknya hari ini melonggarkan remnya dengan meminum banyak-banyak minuman keras.
“Oh iya, sampe ribut gara-gara Kyoko kan?” tawa Stefan. Aku memicingkan mataku.
“Sayang Cuma kita doang ya disini” Anin tampak mengalihkan pembicaraan. Ya, Cuma Aku, Stefan, Anin, Sena dan Zee. Bagas sudah pasti tidak mau ikut, dan Ilham katanya capek, ingin istirahat, setelah mengantarkan Anin ke Akiba lagi siang-siang.
“Elo sih nyiksa Ilham ke Akiba lagi, belanja apa tadi?” tanyaku.
“Ga belanja apa-apa, bingung” senyum Anin sambil mengusap-ngusap kepalanya dan melirik sejenak ke arah Zee.
“Eh kontol, jangan ngalihin pembicaraan” potong Stefan.
“Well, I want to know more about this Kanaya” senyum Zee. Iya, terlihat kok, setelah beberapa gelas, dan botol, rem Zee sudah mulai terlihat longgar.
“Ga usah”
“Ribut gara-gara Kyoko hahahaha” tawa Stefan.
“So, putus, karena Kyoko, jadi Arya sudah punya gf lalu ke Jepang dan malah sama Kyoko?” tebak Zee asal.
“Sembarangan” kesalku sambil menghabiskan minuman ringan berwarna hitam dan berasa entahlah yang sangat terkenal itu.
“Oh, udah begini malah, ditinggal ke Jepang” Stefan melingkarkan jari tangannya dan telunjuk tangan sebelahnya bergerak maju mundur dalam lingkaran itu, mencontohkan tindakan persetubuhan laki-laki dan perempuan.
“Kalian jangan pake kedok minuman buat ngomongin orang, gue tau kalian belom mabok kok” kesalku. Aku melambai ke arah Bartender dan menunjuk kembali botol kosong di tanganku, mengisyaratkan bahwa aku butuh cairan minuman ringan lagi. Bartender mengangguk dan dia sedang menyiapkannya untukku.
“Dulu gue pikir Bang Arya bakal sama Kanaya loh” celetuk Sena.
“Woi” selaku pelan.
“So? What’s the status?” tanya Zee penasaran. Mukanya sudah agak merah dan dia membakar rokoknya.
“No status”
“Mereka gak pernah pacaran kok, Cuma temen doang” Anin tampak membantuku. Bagus. Teman sejati.
“Temen doang emang, tapi sampai ngewe” tawa Stefan.
“Ngewe doang emang, tapi sampe dikejar ke Osaka” ledekku ke Stefan.
Mendadak semua mata menatap Stefan dengan perasaan yang tak enak. Iya, kami semua tahu ini salah Stefan.
“Gila ya, bullshit banget omongannya sampe bisa bawa cewek ga pake biaya ke Osaka dan Kyoto” aku gantian meledek.
“Oh, lebih gila mana sama orang yang udah ngegele bareng, ditidurin, di anu anu terus ga jadi dipacarin, eh balik dari Jepang malah bawa cewek” ledek Stefan ganti.
“Ya yang ngebullshit sama cewek innocent dan bikin dia jadi blingsatan lah” balasku.
“Oh iya, yang satu lagi juga ceweknya blingsatan, ampe berantem dan ga ngomong lagi ampe sekarang” balas Stefan.
“Nah kalo ini abis ngebullshit malah kabur, gila, pengecut abis, tititnya ga ada ni orang” balasku.
“Lebih ga ada titit mana orang yang ngilang ke Jepang sebulan, terus ditungguin, malah bawa pacar, eh calon istri deng…” balas Stefan.
“Siapa juga yang nungguin gue” kesalku.
“Kanaya”
“Ya bukan salah gue kan, gue ga ada janji apa-apa, emangnya Stefan, mulutnya manis bener….” ledekku.
“Itu mah ceweknya aja yang lebay”
“Lebay gara-gara digodain kan” balasku.
“Iya deh, Stop, I Love You” Stefan menirukan kata-kata Kanaya yang dia katakan kepadaku menjelang kedatangan Kyoko ke Indonesia.
“Kampret” umpatku.
“Elu? Emang kampret… Suka tebar pesona sih” Stefan menunjukku lalu menggoyang-goyangkan jarinya di hadapanku.
“Udah saling celanya?” potong Anin.
“Belom, tuh, demenan lo di sebelah elo, diem aja, kaku amat kayak kanebo kering” ledek Stefan. Zee melirik ke arah Anin. Dan Anin seperti disambar petir. Dia hanya diam.
“Diem Nin? Ini ada nih ceweknya, kemaren pas giliran ditawarin kenalan sama Arwen ga mau, maunya sama Zee doang katanya” ledek Stefan.
“….” Anin tampak tak berdaya. Mati kutu.
“Sayang padahal Arwennya nganggur, single lho Nin” aku tersenyum, mengalihkan pembicaraan lagi.
“Nganggur soalnya itu bini cadangan elo kan sekarang” ledek Stefan.
“Monyet”
“Iya kan? Rajin amat di chattingin, kesannya gak dichattingin kangen, gitu” ledeknya lagi.
“Oh si kontol, biasa aja kali, ga usah iri kalo gue bisa gampang temenan ama cewek” celaku.
“Gampang temenan dari hongkong, itungannya lo bikin baper cewek bego” sela Stefan lagi.
“Gue kan ramah, gak kayak situ, modus”
“Elo gak modus tapi TP” Tebar Pesona, maksudnya.
“Jangan salahin gue kalo gue ganteng, kampret” candaku. Anin, Zee dan Sena tertawa. Sena sampai tersedak oleh minuman.
“Zee ikutan ketawa, padahal dia juga kena sama elo tuh” ledek Stefan ke Zee.
“Hey, saya dulu mabuk, and nothing happened” Zee berusaha membela diri.
“Tapi suka kan sama si Arya?” tanya Stefan menggoda, dia menenggak minuman lagi untuk menaikkan kadar alkohol di darahnya. Dan Stefan yang sudah mulai mabuk? Tanpa rem pasti.
Anin menghabiskan segelas besar bir, langsung, mungkin dia berusaha menahan gerakan-gerakan dan tingkah aneh bin awkwardnya di depan Zee.
“Nope” jawab Zee pelan. “I was drunk, it could happened to anyone, and any men in front of me”
“Masa?”
“Really”
“Masa?”
“Hey”
“Tapi menurut elo, dia ganteng gak?” tanya Stefan.
“Haha” Zee hanya tertawa tanpa membalas pertanyaan Stefan”
“Jawab eh”
Zee malah meminum birnya, dan dia habiskan dalam sekali minum “I think we need more” bisiknya ke kami semua.
“Jangan kebanyakan, ntar teler loh” aku berusaha mengingatkan Zee.
“Si ganteng sok baik” ledek Stefan.
“Kontol” ucapku dengan jelas ke muka Stefan.
“Zee, jawab, ganteng gak”
“Kalo gak mau gak usah” Anin dengan senyum anehnya tampak berusaha membantu Zee menjawab pertanyaan Stefan.
“Iya bang, ga usah dipaksa” Sena membeo.
“Ga usah ikutan dah lu, sayang lo susah dicela, abis baek bener sih anaknya” balas Stefan.
“Eheehehehe” tawa Sena bangga.
“Tapi alay, sumpah”
“Yah, abis dipuji dibanting” kesal Sena.
“Udah, Zee, dia ganteng gak? Achmad Ariadi Gunawan? Arya? Yang follower Instagramnya jauh lebih banyak daripada gue sama Anin? Yang sebelom bikin album kedua pernah iseng jadi bintang iklan rokok padahal ga ngerokok? Yang sempet dibahas satu artikel di Cosmo Girl sehalaman sendiri?” ledek Stefan.
“Jangan ingetin gue soal Cosmo Girl!” kesalku.
“Gimana bisa lupa? Satu artikel, masih inget gue, latar belakang artikelnya sok-sok grafiti grafiti gitu, terus foto elo gede-gede senyum sambil megang gitar” tawa Stefan.
“Stop, kontol” kesalku.
“Stop I Love you?” tawa Stefan.
“Fuck”
“Gue masih inget judulnya” Sena mendadak bersuara.
“Iya kan? judulnya, Daydreaming about Arya Achmad” tawa Stefan keras. Dan seisi mejaku tertawa dengan kerasnya. Bahkan Zee sampai menunjuk mukaku dengan lepasnya. “Girls, simak yuk keseharian gitaris Band Hantaman, raja Pensi di Jadebotabek” Stefan membuka handphonenya dan ia tampak membaca screenshot dari artikel tersebut.
“Wah anjing dia nyimpen”
“Wait wait wait… Let me see” Zee mengulurkan tangannya dan Stefan memberikan handphonenya ke Zee.
Zee memperhatikan mukaku yang terpampang di halaman majalah itu. Aku memeluk Hagstorm Vikingku dengan aneh, menurutku, entah kenapa foto itu yang dipakai oleh mereka waktu itu, artikel itu keluar sesaat sebelum album kedua kami keluar.
“Arya, selain sebagai gitaris rock, dia juga main jazz lho, dia bahkan sering tampil di pagelaran tahunan Java Jazz” Zee membacanya dengan logat melayu.
“Udah ah geli anjir” kesalku.
“Dia juga produser musik dan mengelola studio di Jakarta Selatan” Zee meneruskan bacaannya. “Pengagum Wes Montgomery dan Pearl Jam ini sayangnya sudah tidak single lho girls, the lucky one is Karina Adisti, pianis jazz asal Jakarta yang juga sedang naik daun” lanjut Zee.
“Well” Zee berhenti membaca.
“Emang, kan, itu waktu masih sama Karina diwawancaranya” aku memasang muka kesal yang ditekuk dengan mengesalkannya.
“But you looks good in here” puji Zee.
“Berarti bener ganteng kan?” tanya Stefan dengan asal.
“Saya tak bicara seperti itu tadi” potong Zee.
“Ah, bilang aja ganteng, Nin, kecengan elo bilang Arya ganteng!!” ledek Stefan.
Anin diam dan terdiam. Ia kaku. Kaku sekaku-kakunya.
“That’s not what I said” Zee menunjuk ke arah Stefan.
“Ngeles aja ni cewek” ledek Stefan. Zee hanya menggelengkan kepalanya. Dia mengembalikan handphone Stefan. “Tapi kocak juga, harusnya umuran kita gini masuknya ke Cosmopolitan yak, bukan Cosmo Girl” tawa Stefan.
“Soalnya gue bukan bankir atau designer, gue musisi” senyumku ke Stefan.
“Musisi ganteng” ledek Stefan lagi.
“Makasih”
“Geli anjir lo bilang makasih” kesal Stefan.
“Daripada gue diem aja lo ledekin mulu” tawaku.
“Jadi, siapa yang bakal jadi Kanaya baru karena elo ganteng” Stefan sepertinya menjadikanku bulan-bulanan malam ini.
“Gue sumpahin kalo ntar balik ke Jakarta ada Chiaki baru” kesalku.
“Engga bakal ada dong”
“Oh mau tobat?”
“Engga, tapi gue ga akan ngelanggar peraturan gue lagi”
“Oh, men and their rules” komentar Zee.
“Ah berisik lo… Giliran kalo minum aja bisa ngobrol panjang, kalo sehari-hari sok cool” ledek Stefan. Zee Cuma mengangkat bahunya sambil senyum tipis dan membakar lagi sebatang rokok. Dan Anin membeku di sebelah Zee.
“Eh bentar, napa banyak banget notifikasi di FB ya?” Stefan bingung, dan dari sudut mataku aku menangkap senyum tipis Zee. Dia meminum bir di depan mukanya. “Wah kontol!!” umpat Stefan.
“Apaan?” tanyaku.
“Ini kerjaan si elo pasti!” tunjuknya ke Zee.
“Apaan?”
“Liat facebook dah” kesal Stefan. Aku melihat lewat handphoneku sendiri. Facebook Stefan, terpampang dan sudah banyak komen di statusnya. “I’m gay and super proud” tulis akun Stefan.
“Hahaha, pasti ulah elo ya?” tanyaku ke Zee yang Cuma nyengir tipis dan anteng menghisap rokoknya.
“Cepet amat tangannya” kesal Stefan, yang diiringi oleh tawa cengengesan Anin dan Sena.
“Yeah, cepat, as fast as your smooth talk bullshit to girls maybe” ledek Zee.
“BURN!” teriak Anin sambil menunjuk ke Stefan. Mendadak suasana di meja jadi sepi. Dan semua jadi awkward karena mendadak Anin heboh sendiri.
“Apaan sih” bingung Stefan ke Anin. Dan Zee Cuma melirik Anin pelan sambil menggelengkan kepala. Haha, oh Anin dan kekakuannya di depan Zee, gimana bisa tertarik perempuan ini kalau dia begitu terus?
--------------------------------------------
“Mending elo aja Nin daripada gue” aku meminta ke Anin untuk menggantikanku.
“Jangan gue mual banget nih” Sena dan Stefan memapah Anin yang berjalan pelan sekali, karena tampaknya ia minum terlalu banyak.
“Gak enak gue sumpah, untung ga kayak waktu pas kemaren itu ni anak” aku melirik ke Zee yang berada dalam tanganku. Aku memeluk bahunya karena Zee jalannya sangat sempoyongan, sulit sekali berjalan sendiri. Ya, kasusnya sama seperti Anin, minum terlalu banyak.
“Untung gue lagi ngurusin gorila gila ini” ledek Stefan ke Anin.
“Bisa diem gak berisik banget lu pada” keluh Anin yang tampaknya pusing.
“Udah lo jalan aja fokus!” bentak Stefan. Anin meringis, mukanya merah dan sedikit bekas muntahan ada di jaketnya.
“Itu jaket mesti dicuci” komentar Sena.
“Dan sayang kita lagi nolongin ni anak, kalo engga, gue abadiin momen Zee dan Arya” Stefan melirik ke belakang.
“Biasa aja kali, liat nih dia Cuma jalan teler doang dan gue Cuma bantuin dia jalan….” ya, aku terpaksa memeluk bahu Zee, membimbingnya untuk berjalan lurus, agar selamat sampai tujuan. Dan sebenarnya, dia tidak tidur di hotel kami. Dia harusnya pulang ke tempatnya sendiri atau entah kemana, karena ini Tokyo, dan perjalanan ke Yokohama tidak begitu jauh. Atau dia dan Ilham menginap di tempat lain yang bukan hotel kami, entahlah.
“Si Ilham dah tidur yak?” tanya Stefan.
“Gue hubungin ga bales tuh, mau gue telpon, simcard kita ga bisa nelpon” jawabku.
“kan bisa wassap call atau line call”
“Kalo dia tidur ga enak juga, ntar si Zee tidurin di kamar lo aja, kita sekamar bedua Fan” aku memberi ide.
“Bebas, gapapa kan sempit-sempitan” sahut Stefan.
“Lagian lo ga mabok ini”
“Terpaksa, kalo gue mabok pasti jadi urusan lagi ntar…. Jadi batesin minum lah, banyak Cuma bir doang tapi, Cuma supaya biar enak aja”
“Bir dibilang Cuma” komentarku.
“Hmmm…” Zee bersuara dengan lemasnya. Tangannya mendadak bergerak menahan dirinya di badanku. “Wait” ucapnya.
“Kenapa?”
“I’m going to throw up” shit. Aku celingukan, mana selokan atau kamar mandi umum yang bisa digunakan? Hotel masih 200an meter lagi sih, tapi tampaknya butuh untuk sejenak berhenti agar Zee bisa langsung muntah tanpa menunggu ke hotel, daripada mendadak aku dimuntahi.
“Noh disono bang” Sena menunjuk ke aliran selokan yang ada di depan rumah.
“I’m not gonna make it” bisik Zee. Badannya mulai berontak.
“Nah itu di pot aja” seruku sambil membimbingnya ke pot tersebut.
Zee lalu berjalan sendiri dengan ngaconya, dan tangannya memegang sisi pot besar itu, dan dia mengeluarkan isi perutnya disana. Kami bertiga melihatnya dengan geli dan jijik. Untung Anin sedang mabuk parah, karena walau good looking, tapi aksi muntah Zee di pot besar itu sungguh tidak enak dilihat. Dan pot besar itu punya restoran, entah restoran apa, tapi biarlah, mau gimana lagi. Paling besok pegawai-pegawainya kaget lihat bekas muntahan disana.
“Cakep-cakep begitu yak” ledek Stefan.
“Namanya juga orang mabok”
“Jadi nggilani tau gak” tawa Stefan.
“Untung ga genit lagi kayak waktu kemaren itu”
“Ah bilang aja mau biar kalian ngewe kan, mumpung ga ada pacar elo” Stefan memicingkan matanya dan mukanya terlihat mesum.
“Mana bisa begitu” jawabku.
“Done” Zee berdiri dengan tololnya di depan pot yang sudah amburadul itu. Aku menarik tangannya perlahan dan membimbingnya jalan lagi, menuju hotel.
“Ini kacau sih” tawaku melirik ke pot isi muntah itu sambil kami merayap lagi ke arah hotel.
“No shit” komentar Stefan.
“Gak difotoin itu bang? Zee jackpot di pot?” tanya Sena.
“Gak usah, kasian orang mabok”
Ah, akhirnya, lewat perjuangan yang susah payah, kami berhasil tiba di hotel. Perlahan kami memasuki lobby dan lift. Kami menunggu lift membawa kami naik ke lantai tempat kami menginap. Setelah sampai, kami lantas merayap kembali ke kamar-kamar kami.
“Lo ama Zee tunggu, gue masukin Anin ke kamarnya, terus gue beberes kamar gue dulu, ntar gue samperin”
“Oke” jawabku. Masih jam 12 malam, terlalu pagi untuk mabuk parah seperti ini. Tapi yasudah lah, yang penting bisa bersenang-senang. Dan untung malam ini tidak ada aneh-aneh lagi. Aku melihat Stefan dan Sena merayap ke depan kamar Anin, dan mereka tampak mencoba mencari kunci kamar di saku celana dan jaket Anin.
“Arya” bisik Zee. Matanya nanar menatapku.
“Yak?”
“Can I use your bathroom? Please?” tanyanya, dengan mata penuh harap.
“Of course” aku lantas mengambil kunci kamarku di saku celanaku. Dia pasti ingin buang air, kecil maupun besar, ataupun membersihkan dirinya yang habis muntah. Andaikata dia nanti tepar dan ketiduran di kamarku, bisa berubah sedikit aransemennya, yakni aku yang tidur di kamar Stefan, mungkin.
Aku membuka pintu kamarku, dan memapah Zee ke kamar mandi. Aku lantas menunggu sampai Zee menutup pintu kamar mandi dan lalu aku menyalakan lampu. Aku menghela nafas panjang, untung malam ini sudah berakhir. Kulepas jaketku dan kutaruh dengan rapih di punggung kursi. Aku lantas mengintip ke jendela luar, untuk memperhatikan lampu Tokyo, di malam hari yang dingin ini.
Sambil menghadap ke jendela, aku duduk di kasurku, membelakangi pintu kamar dan kamar mandi. Aku memeriksa handphoneku. Wah, sudah diduga, banyak pesan yang bernada lucu dan kangen dari Kyoko. Aku tersenyum dan membalasnya. Loh, mendadak di read dan Kyoko membalas lagi.
“Belum tidur?” tanyaku.
“Belum, Aya, sebentar lagi mau” jawabnya.
“Aku pengen liat kamu dong”
“Sebentar”
Tak lama kemudian masuk notifikasi video call dan Kyoko. Tak pakai lama, aku mengangkatnya.
“Hai Aya” Kyoko sudah tampak nyaman dengan baju tidurnya di atas futon.
“Halo”
“Aya tidak minum kan?”
“Engga”
“Gimana teman-teman?”
“Zee ama Anin mabok, yang laen biasa aja” tawaku.
“Haha….” tawa Kyoko.
“Kangen” aku menggodanya.
“Onaji”
“Besok tonton aku di Koenji?” tanyaku.
“Mungkin tida… Tapi besok Kyoko mau tidur disana” senyumnya.
“Oke…”
“AYA!” mendadak Kyoko tampak kaget.
“Heh?” Aku melihat bayangan manusia lain di layar handphoneku. Di belakangku ada sesosok manusia. Dan mendadak sambungan video call putus. Aku menengok kebelakang, dan sudah ada Zee yang berdiri disana. Tubuh mungilnya hanya dibalut dengan pakaian dalam. Dan dia memandangku penuh nafsu. Shit. Kyoko pasti lihat tadi.
“You know, before your wedding, maybe we can give it one shot” Dia lalu melepas BH nya dengan perlahan dan aku tertegun melihatnya.
“Zee, jangan please” Aku bangkit perlahan, mencoba tidak melakukan gerakan tiba-tiba.
“Just once, I want to taste you” senyumnya dengan penuh arti. Aku perlahan, mengikuti dinding, merayap ke arah pintu.
“Gak bisa, sori, lo mabok dan gue ga mau”
“Hahaha…” tawa Zee dan dia dengan pelan mengikutiku. Zee memeluk buah dadanya yang proporsional itu dan dia mendekatiku. “Or should I take this off too?” tanyanya kepadaku, dan dia berusaha berjalan sambil melepas celana dalamnya. Oke. Aku sudah sampai pintu. Aku keluar dan lantas menutup pintunya dari luar.
“Kenapa?” Stefan menghampiriku. Tampaknya dia sudah selesai membereskan kamarnya untuk diinapi Zee dan Anin sudah aman di kamarnya sendiri.
“Zee”
“Kenapa dia?”
“Bugil di dalem, ngajakin gue ngewe” aku menarik nafas lega karena sudah bebas.
“Wih”
“Jangan wah wih wah wih, Kyoko liat” balasku.
“Kok bisa”
“Doi tadi pengen ke WC, terus sambil dia ke WC gue video call an sama Kyoko, pas dia mulai ngelucutin bajunya, Kyoko liat, soalnya gue duduk ngebelakangin WC….”
“Terus?”
“Ga tau”
Aku melihat ke handphoneku. Ada satu pesan dari Kyoko. Aku menelan ludah. Bunyinya, “Kyoko kesana, sekarang”.
“Sayang, maaf, tadi dia mabok dan aku sekarang udah keluar kamar” terkirim, dibaca. Tapi tanpa balasan.
“Sayang?” masih tanpa balasan.
“Kyoko? Kamu lagi kesini? Gak kejadian apa-apa, aku udah ngehindar dari Zee, dia mabok kayak kemaren itu…”
“Anjing” umpatku. Aku menunjukkan semua pesanku ke Stefan. “Di read doang kagak dibaca”.
“Wahaha, ngambek tuh doi” tawa Stefan.
“Masalahnya dia ga pernah ngambek sampe kayak gini…. Sekalinya ngambek itu kemaren pas gue disuruh minum ama kakaknya, dan pas gue manja-manja ke dia, udah ga ngambek lagi… Sekarang ga tau deh” aku menggaruk kepalaku.
“Udah pasti ngambek Ya, pasti disangka semaleman karena Zee mabok terus bugil di kamar elo, dia flirting lagi ke elo dan pas si Zee keliatan di kamar lo, Kyoko pasti udah mikir macem-macem… Makanya sekalian aja tidurin, biar marahnya Kyoko bener” tawa Stefan, lagi.
“Ngaco”
“Biarin”
“Terus gimana sekarang?” tanyaku.
“Tungguin dan jelasin ke pacar lo lah, kok nanya gue, bukannya lo yang paling ahli ya masalah percintaan kayak gini” Stefan mendadak berjalan ke arah lain.
“Lo ngapain?” tanyaku.
“Gue punya ide bagus” jawab Stefan ceria. Aku mencoba menghubungi Kyoko lagi. Line call. Shit. Baru mulai nada sambung, sudah ditutup oleh Kyoko.
“Sayang? Nanti aku jelasin ya?” aku mengetik pesan itu ke Kyoko. Perjalanan Mitaka – Nakano Cuma 10-15 menit, dan baru mulai jam 12, masih banyak transportasi umum. Sial, Cuma di read. “Sayang, bales dong, maaf banget, itu semua tiba-tiba” jelasku lagi.
Cuma di read.
Kampret. Aku gusar mendadak. Kayaknya aku harus tunggu di lobby biar Kyoko nanti gak keburu naik.
“Yuhu” sapa Stefan. Dia tampak menarik Anin yang sedang teler.
“Ngapain lo?”
“Ide bagus gue ini” tawanya, dan aku heran kok dia bisa sendiri membawa Anin yang teler sampai sini.
“Eh jangan” Aku melihat Stefan membuka pintu kamarku, memasukkan Anin yang teler mengambil kunci pintu yang tergantung di dalam, menutup pintu, dan menguncinya dari luar. Semuanya terjadi dalam gerakan yang cepat. “Fan, jangan dong…” aku berusaha merebut kunci dari tangan Stefan.
“Biarin, biar Anin pecah perawan sama si Zee” tawa Stefan puas. Dia lalu mengantungkan kunciku ke dalam sakunya.
“Ah kampret, bukan bahan becandaan ini” keluhku.
“Udah men, lucu kali mereka berdua drunk sex, pasti ga puguh besok ceritanya” Stefan membayangkan banyak hal sepertinya di kepalanya. “Pasti yang satu susah ngaceng, yang satu protes dalam hati kenapa bukan Arya tapi karena gue horny dan mabok yaudah deh yang ada aja” tawa Stefan dengan puasnya.
“Gak lucu” aku melihat handphoneku dan sebentar lagi harusnya Kyoko datang, dalam 5-7 menit. “Gue kebawah dulu, siapa tau bentar lagi Kyoko dateng”
“Selamat berantem ya” Stefan lalu ngeloyor pergi dan masuk ke kamarnya. Sialan. Aku bergegas berjalan ke arah lift, dan turun kebawah. Entah kenapa perjalanan di dalam lift terasa sangat lama, padahal hanya turun beberapa lantai saja.
Aku berjalan ke lobby dan mendapati lobby kosong. Aku dengan gelisah lalu keluar ruangan. Sial. Jaketku di dalam. Aku Cuma pakai kemeja saja untuk membalut tubuhku. Anginnya agak kencang, dan jalanan agak sepi, ada beberapa orang yang lewat dari dan ke minimarket. Jalanan masih terang oleh lampu jalan. Aku celingukan, menunggu pacarku yang sedang marah itu datang.
Ah sial. Ah mudah-mudahan tidak ada hal menyebalkan yang terjadi antara Anin dan Zee. Sial, aku pikir setelah Chiaki, tidak akan ada lagi masalah baru.
Dan saat itu aku melihat sosok yang aku kenal berjalan dari kejauhan. Lebih dari sekedar kenal. Orang ini yang nantinya akan jadi istriku. Aku bisa lihat dia berjalan dengan cepatnya menuju hotel. Aku menghela nafas dan sepertinya menerima apapun yang akan terjadi.
Kyoko mendekat dan dia berhenti kira-kira satu meter di depanku.
“Sayang” aku membuka suara. Kyoko diam. Dia menatapku dengan tatapan yang berat. Nafasnya tampak memburu karena dia pasti jalan atau malah lari dari rumah ke halte bis, lalu di dalam stasiun, dari stasiun setelah turun kereta juga pasti jalan dengan cepatnya ke arah hotel.
Kyoko masih diam. Mukanya tampak merah dan tatapannya agak tidak fokus. “Sayang…” aku mendekatinya dan berusaha memeluknya. Dia mendadak menahan tanganku. Matanya mendadak terlihat berkaca-kaca, dia sepertinya menahan lelehan air matanya.
“Sayang tadi…”
“Doushite?” tanyanya.
Doushite. Kenapa.
Dan air mata terlihat mulai meleleh dari matanya.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG