Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 47

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Talk over a dinner.

Ratusan, bahkan ribuan kata-kata coba kurangkai jadi kalimat. Kalimat-kalimat yang lurus, yang baik, yang memungkinkan untuk memberikan sedikit banyak pengertian ke orang ini. Pengertian bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini salah. Salah, karena mengkhianati orang-orang di sekitar kita. Pasangan, teman, orang tua, you name it.

Mungkin aku akan mencoba membujuknya kembali ke hubungan awal kami berdua sebelum Jogja. Jadi teman lagi. Jadi teman yang bisa tertawa bersama, bahkan mungkin kita bisa mengerjakan hal-hal bersama, yang produktif. Kalau sekarang, jauh dari kata produktif, yang ada memakan perasaan kami berdua sedikit demi sedikit. Menguras tenaga, pikiran, bahkan juga biaya. Menyewa hotel budget memang tidak mahal, tapi jika dikalikan beberapa kali?

Dan masih banyak hal-hal lainnya yang tidak masuk akal dan tidak baik jika diteruskan.

Mungkin lebih mudah bagiku, kalau aku tidak menikmati pernikahanku dengan Kyoko. Tapi Kyoko sempurna. Terlalu sempurna. Terlalu baik, istri yang berbakti dan cintanya hanya untuk diriku saja. Dia tidak pernah terlihat mengeluh, bahkan mungkin dia masih terbiasa untuk melayaniku habis-habisan, walau dia sudah capek berkegiatan sehari-hari di tempat kerjanya.

Dan tidak mungkin Arwen bisa menggantikan tempat Kyoko. Ya, mereka berdua sama-sama ceria, sama-sama manis, tapi Kyoko jauh lebih membekas di hatiku. Keceriaan dan manisnya Arwen hilang setelah kami terlibat dalam hubungan seperti ini. Kami berdua tidak pernah mengobrol lagi dengan baik, dan kami tidak bisa bercanda bersama lagi, bahkan dia takut untuk datang ke Mitaka lagi.

Sudah jelas, ini semua harus diakhiri.

Sekarang aku sedang berada di dalam mobilku, matahari sudah mulai turun, mencoba merubah hari dari terang menjadi gelap. Aku sedang berjuang di tengah-tengah lautan kuda besi, di sungai dari aspal ini, menuju tempat itu. Seperti biasa, dia mengisyaratkan untuk dijemput di dekat kantornya, sebuah stasiun radio yang teronggok di selatan Jakarta.

Dan bisa kulihat dia berdiri di pinggir jalan dari kejauhan. Dandanan khasnya. Boyfriend jeans, oversize t-shirt, dengan sneakers dan ransel yang berwarna senada.

See? She’s that stunning. Dia cantik, manis, dandanannya pun menarik. Tidak sulit baginya untuk menemukan lelaki yang menyukainya. Tidak harus aku yang menjadi tempat dia bermesraan. Tidak harus aku.

Aku mendekatkan mobilku ke arahnya, dan tak lama kemudian dia pun masuk ke dalam mobil. Kami berdua lantas diam. Musik dengan santainya mengalun di mobilku, dan kukecilkan volumenya agar kami bisa bicara dengan santai.

“Dinner dimana?” tanya Arwen dengan senyum tipis yang agak dipaksakan. Atau mungkin dia menahan senyum lebarnya, berusaha untuk tidak terlalu ekspresi di depanku.
“Yang deket aja”
“Daerah Senopati atau Kuningan?”
“Jam segini ke arah Kuningan pasti kacau di Gatot Subroto.... Tapi Senopati pasti tempatnya pada penuh orang....” jawabku, menerka-nerka kondisi di kedua tempat itu.

Tentu kami akan berusaha untuk tidak menarik perhatian orang banyak. Kalau kami nongkrong di daerah Kemang atau Senopati, sudah pasti orang yang seliweran di daerah itu akan hapal dengan tampang kami berdua. Yang satu gitarisnya Hantaman, yang satu penyiar, anak radio. Sudah pasti menarik perhatian, apalagi kami berdua akan membicarakan hal serius yang tidak boleh diketahui oleh banyak orang.

“Terserah Mas Arya” bisiknya sambil memperhatikan jalanan yang ramai. Dia memeluk ranselnya, seakan-akan itu sangat berharga.

“Kuningan aja, Epicentrum Walk kan sepi”
“Iya”

Tempat itu... mall selingkuh kalau kata orang. Walau terletak di tengah kawasan bisnis yang ramai, tapi mall itu selalu sepi. Tidak pernah ramai, dan tidak pernah ada tenant yang benar-benar awet disana. Padahal dia dikelilingi oleh banyak gedung perkantoran dan apartemen. Ada bioskop disana, tapi mall nya selalu sepi. Bioskopnya sering digunakan untuk premier film. Walau begitu, tetap sepi.

Saking sepinya sampai diberi julukan mall selingkuh. Orang jalan kesana, tentu tidak akan menemukan muka-muka yang familier dan juga sepi. Jadi itu sepertinya pilihan yang baik untuk kami berdua.

Jam segini, maghrib, menjelang jam makan malam, perempatan Kuningan-Gatot Subroto memang seperti neraka macetnya. Dulu, sebelum banyak pembangunan, memang sudah macetnya parah, apalagi sekarang, banyak pembangunan disana-sini, yang membuat kita warga Jakarta selalu berharap, agar cepat selesai dan mengurai kemacetan yang ada.

Sambil merayapi kemacetan, kami berdua tetap terdiam, suara kami tertelan oleh keramaian jalan raya dan alunan lagu yang mengalun dengan pelannya. Lagu jazz instrumental. Lagu yang memang kufavoritkan untuk mengisi kekacauan di kala macet. Aku selalu mendengarkan musik yang berbeda-beda. Kalau menyetir sendiri, aku lebih suka mendengarkan lagu-lagu seperti ini, terutama kalau jalanan macet. Kalau sedang butuh menyetir ke luar kota atau menyetir di tempat sepi yang butuh sedikit kecepatan, ada lagu-lagu rock 90an yang siap membantu.

Tak lupa juga cd-cd dengan genre favorit Kyoko. Lagu-lagu pop 80 an yang selalu berusaha dia nyanyikan, sing along bersama, walaupun bahasa inggrisnya rusak. Dan itu salah satu sumbe kebahagiaanku. Mendengar ia menyanyi lagu-lagu pop 80an dengan bahasa inggris yang terbatas.

Kyoko memang sumber kebahagiaanku. Dan Arwen bukan. Aku telah salah, melepaskan hasratku, nafsuku kepadanya. Dan sekarang aku akan membuatnya menjadi baik seperti sedia kala. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.

Ya, sekarang mobilku sudah bebas dari jebakan perempatan Kuningan – Gatot Subroto. Sekarang jalan ke arah Epicentrum memang lancar, kontras dengan jalan sebaliknya yang padat tak merayap. Kuningan adalah area perkantoran, tak heran kalau arah Mampang sangat padat. Semua orang ingin pulang, bertemu dengan keluarga masing-masing, merasakan kehangatan rumah. Dan proses sekrang juga begitu. Aku ingin kembali pulang ke Kyoko, merasakan kehangatan sepenuhnya, dan menghentikan semua hal-hal panas yang terkait dengan Arwen, agar tidak terbakar nantinya.

“Mending muter dimana?” tanyaku ke Arwen, berbasa-basi agar kami berdua tidak terlalu diam seperti sekarang.
“Bisa depan Pasfest atau yang deket KPK”
“Yang gak macet yang mana?”
“Deket KPK udah pasti gak macet, karena disana belum numpuk mobilnya....” jawab Arwen pelan, sambil menatap mukaku tanpa ekspresi. Dia menatapku dengan tajam, seakan-akan aku adalah barang yang paling ia inginkan di dunia.

“OK” jawabku pelan sambil memacu mobilku menuju tempat yang dituju. Benar ternyata, terasa lebih cepat walaupun lebih jauh.

Urusan di Kuningan sampai ke Epicentrum memang cepat, sekarang tinggal masuk ke dalam parkiran Mall. Sambil mengarahkan mobilku ke tempat yang benar, aku melirik ke arah sebuah apartemen. Disana kami pernah berhubungan. Disana juga kami berdua papasan dengan Kang Wira dan Kang Bimo, yang malah excited kepada affair kami.

Mereka berdua malah memberikan perlindungan ekstra ketika di Singapura. Dan mereka berdua juga mengamini hubunganku dengan Arwen. Membangga-banggakannya dan selalu mengatakan kalau aku pria yang beruntung karena Arwen mau untuk kutiduri. Tidak, aku tidak harus bangga dan aku tidak beruntung. Karena aku suami Kyoko. Kyoko yang luar biasa. Kalau aku single, mungkin aku juga akan bangga. Tapi sekarang tidak. Aku bertanggung jawab untuk mempertahankan pernikahanku dengan Kyoko yang tanpa masalah dan semuanya baik-baik saja.

Baiklah. Mobil sudah terparkir dengan baik di parkiran. Kini aku dan Arwen tinggal turun dan memilih restoran yang cocok.

--------------------------------------------

types-10.jpg

Kami berdua duduk di pojokan, di tempat yang tidak terlalu terlihat dari luar di restoran Jepang itu. Kami sudah selesai memesan, dan makanan yang kami pesan sudah berdatangan satu per satu. Dan untung saja sejak perjalanan kami dari parkiran tadi sampai kesini, dia tidak mencoba untuk menggenggam tanganku atau apapun. Dia cuma diam, memeluk tangannya sendiri.

Kini mungkin saat yang tepat untuk memulai. Rasanya canggung dan kaku, tapi kalau tidak dimulai, maka tidak akan selesai.

“Mungkin kamu bingung kenapa tiba-tiba saya ngajakin makan, biasanya saya selalu gak mau kalo kamu ajak makan di luar...” aku memulai pembicaraan dengan suara pelan. Arwen mengangguk sambil menatapku dan makan pelan-pelan.

“Saya langsung aja ya, bingung soalnya harus ngomong apa lagi... Cuma intinya, dari sejak Jogja sampe sekarang, yang kita lakuin itu salah” lanjutku.
“Iya... Aku tau...” jawab Arwen dengan nada yang kaku. Dan dia menghindari tatap mataku secara tiba-tiba. Air mukanya berbeda. Berbeda dengan yang kita lihat di media sosial, ataupun mungkin dia sehari-hari. Dia dulu kukenal sangat cerita. Sekarang auranya terasa suram.

“Kita gak bisa kayak gini lagi” bisikku. “Ini salah”
“....” dia diam sambil mengangguk. Dia menghentikan makannya, menaruh sumpitnya di atas piring dan menopang dagunya dengan tangan kirinya, dengan gerakan yang canggung. Tangan kanannya, terutama jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja tanpa suara. Dan dia menatap jarinya dengan tajam, tanpa mengeluarkan suara.

Memoriku kembali ke Jepang, dua tahun yang lalu, disaat aku dan Kyoko masih berusaha saling mengenal, dengan semua kejadian lucu disana, dan semua hal yang manis-manis serta menggemaskan. Aku tidak ingin lagi mewarnai pernikahanku dengan hal-hal seperti ini.

“Aku boleh jujur?” tanya Arwen mendadak. Aku mengangguk, mencoba mendengarkan apapun yang ingin dia lontarkan. “Aku gak pernah ada di situasi kayak gini sebelumnya..... Dan aku sampe sekarang gak tau harus ngapain” dia bicara seperti itu tanpa melihat mukaku. Suaranya pelan, seperti takut.

“Sama, ini juga situasi yang asing banget buat saya....” jawabku. “Mungkin saya tahu kita harus ngapain....” Arwen menaikkan matanya dan menatapku dengan sendu. Dia pasti menunggu kata-kataku keluar dari mulutku.

“Kita harus balik kayak dulu lagi, sebelom Jogja” senyumku pelan. “Jujur, saya kangen jaman-jaman kita masih kayak dulu, temenan, kamu gak takut ke Mitaka, kamu bisa ketawa-ketawa dan becanda sama kita semua, sekarang kamu malah kayak kehilangan Zul, Kyoko dan yang lainnya juga....”

Arwen diam. Dia mengangguk. “Aku tau... Tapi aku gak tau harus ngapain....” dia mengulang pernyataannya.
“Ya... We end this. We go home, dan besok, kita jadi Arya dan Arwen yang dulu, yang bisa temenan dengan santai, bisa jalan bareng tanpa takut sama orang lain. Bisa rame-rame nonton konser sama temen-temen kita.... Bisa ngobrol di Mitaka sama Zul dan Kyoko lagi....”
“Aku udah gak bisa liat muka Mbak Kyoko, Mas...” dia memotong kalimatku dengan mukanya yang tajam. Dia mengulum bibirnya dan rasanya matanya terlihat berat. “Aku kayak nyiksa diriku sekarang dengan pikiran-pikiran yang gak bisa aku tahan, dan tiap liat postingan apapun yang Mas Arya share di instagram atau facebook, rasanya aku selalu pengen nangis....” akhirnya dia bicara panjang.

“Aku tau kenapa. Karena aku gak punya semua itu” matanya tampak mulai berkaca-kaca dan dia menelan ludahnya sehabis bicara. Dia menarik nafas panjang, setelah mengeluarkan kalimat yang tampaknya berat itu. Dia lantas mengambil sumpitnya dan memain-mainkannya di tangannya tanpa bermaksud untuk mengambil makanan apapun yang ada di meja.

“Boleh jujur?” tanyaku. Arwen mengangguk. “Kamu cantik. Good looking. Kamu pinter, kamu juga baik banget anaknya, dan saya kangen kamu yang ceria kayak dulu.... You deserve better than this... Banyak pasti cowok di luar sana yang lebih pantes buat kamu, ketimbang hal kayak gini sekarang...” bisikku dengan nada serius.

“Aku gak tau” jawabnya pelan tanpa ekspresi.

“Anu, maaf” mendadak ada suara yang mengagetkan kami. Seseorang dalam pakaian kantoran lengkap dengan pasangannya yang juga berpakaian ala office girl menegur kami.
“Ya?” siapa ini?

“Mas Arya kan?”
“Eee... Iya?”
“Boleh foto gak?” tawa si lelaki, dengan malu-malu.

Aku hanya bisa tatap-tatapan dengan Arwen, rasanya kaget sekali. Seperti tersambar petir di siang bolong.

“Boleh” senyumku garing sambil menelan ludah.
“Sini saya fotoin, mau foto berdua kan?” senyum Arwen dengan manisnya. Senyum yang sepertinya sudah dilatih, karena dia memang seseorang yang wajib tersenyum di depan kamera, apapun suasana hatinya.

“Ah gak usah, dia aja” jawab si perempuan. Dan yang mengajakku foto hanya malu-malu sambil memberikan handphonenya ke Arwen.

“Saya itung ya... 1... 2... 3.” Senyum Arwen sambil mengambil foto kami berdua. Dia tampaknya mengambil beberapa foto. “Tadi saya fotoin banyak ya” Arwen lantas memberikan handphone tadi ke lelaki itu.

“Eh foto bertiga, mumpung Mas Arya lagi sama Mbak Arwen, kan jarang-jarang ketemu dua orang sekaligus” seru si lelaki antusias, sambil memberikan handphonenya ke sang perempuan, yang sepertinya pacarnya.

“Eh... Boleh......” muka Arwen mendadak tiba-tiba berubah air mukanya. Dia tahu dia tidak bisa menolak permintaan orang itu. Kalau dia menolak, justru malah dicurigai.

“Mau ada proyekan ya? Atau mau live di radio lagi? Pasti keren banget!!!” ujar si lelaki dengan antusias, karena dia sepertinya cukup mengikuti berita soal Hantaman.

“Oh, engga, kebetulan papasan aja di pasfest, terus makan bareng, udah lama gak ketemu saya sama Arwen....” jawabku berbohong.

“Woh, oke deh...”

Kami bertiga lantas berpose di depan kamera handphone, yang dipegang oleh si perempuan. Aku dan Arwen mengapit lelaki itu, dan kami berdua memberikan senyum bohongan. Senyum pura-pura ceria. Senyum pura-pura antusias.

Setelah puas, kedua orang itu lantas berpamitan dan berterimakasih kepada kami. Di dalam hati kami, mungkin kami ingin mereka berdua cepat-cepat pergi saja. Dan kami melambaikan tangan kami dalam kepura-puraan ke kedua orang itu. Setelah mereka hilang, kami duduk kembali dan aura meja kami malah jadi makin muram.

Aku bersandar sambil mempermainkan handphoneku.

“Dia sampe parkiran, dia aplot ke ig, terus ngetag kita berdua, selesai......” ucapku. “Tapi gak banyak yang tau soal kita, itu cuma perasaan saya aja yang gak enak.... Kita bisa ada di situasi kayak gitu lagi, tapi gak harus ngerasa aneh kayak gini kalo kita balik lagi kayak dulu” ucapku panjang setelah kami diam cukup lama. Rasanya makanan yang tersedia di meja sudah anyep dan tidak tampak membuat kami berdua berselera.

Dia hanya mengangguk. Dan mukanya gelisah.

Kami diam cukup lama, seperti menunggu bom waktu meledak.

Lima menit berlalu dan kami diam berdua, sambil merasa canggung, merasa tidak nyaman. Dan aku berharap lelaki tadi meng-upload foto kami bertiga nanti, setelah dia pulang, sampai ke rumahnya.

Tapi tidak. Mendadak ada telpon masuk.

Stefan.

Aku memilih untuk tidak mengangkatnya. Untung saja handphoneku dimatikan suaranya, sehingga Arwen tidak mengetahui apa yang terjadi di handphoneku. Mendadak dia melihat handphonenya sambil kemudian menutup matanya. Tanpa suara dia memperlihatkan layar handphonenya kepadaku. Sebuah chat. Dari temannya. Aku melihat nama temannya dan namanya cukup familiar, sesama penyiar radio sepertinya.

“You stupid bitch!!! Lo gila ya? Mau sampe kapan? Lo malah foto bedua lagi? Gila apa?” dia lantas menutup layar handphonenya.

“Ini yang minjemin apartemen ke kita waktu itu...”
“Oh..” jawabku dengan garing. Berarti foto kami berdua sudah muncul di instagram, dan orang itu men-tag kami berdua. Aku dengan lambat, membuka instagramku dan melihat notifikasi. Dari sekian foto yang orang tag, foto terbarunya adalah foto kami bertiga tadi. Dengan caption seperti ini, “Gak nyangka bisa papasan sama mas arya , gitarisnya HANTAMAN!!! IDOLA!!! Sama penyiar radio kesayangan kita juga mbak arwen. ternyata mereka berdua temenan!! Dunia sempit guys!!!”

Like nya sudah 45 orang. Dan akan bertambah jadi ratusan mungkin nanti tengah malam.

Oh era informatika. Aku melihat media sosial, ada pesan dari Stefan masuk.

“WKWKWKKWKWKW KONTOL!!!! FOTO BARENG SI ANJING, UDAH DIRESMIIN NIH POLIGAMI? WKWKWKWKWKWKWKWWKKWKWKWKW” ketiknya dengan kurang ajar. Aku hanya diam saja, sambil menutup layar handphoneku.

“Udah gak lucu... Fotonya gak salah, momennya gak salah, cuma kita berdua yang salah” aku menarik nafas panjang dan kemudian melanjutkan kalimatku. “kalau kita masih kayak dulu, mungkin perasaan kita gak bakal kayak gini. Mungkin kita malah bakal seneng. Mungkin.”

Dia mengangguk dengan lemas. Dia menyesap minumannya dan dia terdiam dalam pikirannya sendiri. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, aku tidak bisa membacanya sama sekali dari ekspresinya yang terlalu datar.

“Ini harus selesai... Sekarang” aku menekankan jariku di meja. Arwen menatapku dengan aura hopeless. Dia tampak baru saja seperti ditabrak mobil. Dia mengangguk dengan lemah. Dia tampaknya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini semua memang harus diakhiri.

--------------------------------------------

rain-b10.jpg

“Gak dapet-dapet?” tanyaku ke Arwen. Dia menggeleng dengan lemah. Di situasi seperti ini, memang sulit mendapatkan tukang ojek online. Malam hari, gerimis. Siapa yang mau berhujan-hujan mengantarkan orang yang rumahnya jauh dari sini?

“Saya anterin mau?” tanyaku. Hari sudah makin malam. Tidak aman juga untuk dirinya kalau pulang menggunakan ojek online, walaupun dia sudah biasa.
“Gak usah....” jawabnya pelan. Dia semakin irit bicara dari tadi, sejak insiden instagram itu. Dia hanya menjawab seperlunya lewat anggukan atau gelengan kepala.

Mendadak handphoneku berbunyi, dan namanya membuat jantungku berhenti sebentar.

WIFE – Kyoko.

Dengan terpaksa aku mengangkatnya.

“Ya?”
“Ayaa.... Kok tak bilang bertemu dengan Arwen?” nada istriku begitu ceria, terdengar dari sana.
“Ah, iya, kebetulan mau ketemu Rendy di kuningan, terus papasan sama dia, makan malem deh... Sori tadi ga bilang” jawabku sekenanya.

“Sudah lama Kyoko tidak bertemu, masih bersama? Kyoko ingin bicara” aku diam. Jantungku rasanya seperti dibelah-belah. Aku lantas memberikan handphoneku ke Arwen. Dia bingung dan kaget.

“Istri saya, mau ngomong” mukanya malah jadi pucat setelah aku mengatakan siapa yang mau bicara dengannya. Tapi pelan-pelan, dia mengulurkan tangannya untuk menerima handphoneku.

“Halo mbak” sapanya dengan nada kaku. “Ah iya, maaf..... Saya lagi sibuk banget, gak sempet main kesana lagi.... Salamin buat Mas Zul...” dia tampak panik. “Oh kenapa? Engga, udah ini mau naik gojek... Hahaha...” mukanya terlihat begitu panik sampai-sampai aku takut, dia akan pingsan. “Oh... Gak, gak usah, kasian Mas Arya jauh-jauh anterin saja..... Oke...” Arwen lantas dengan cepat mengembalikan handphoneku ke diriku.

“Ya?” aku berbicara kembali dengan Kyoko.
“Antarkan Arwen Aya, kasihan, sudah malam dan di Kemang sudah hujan deras, mungkin di Kuningan belum.....”
“Tadi udah aku mau anterin sih, tapi dia nolak, katanya mau pake Gojek aja….” jawabku, sambil melihat Arwen yang bersender di dinding area drop off mall ini. Dia terlihat sangat lemas, makin makin sepertinya. Tadi seperti ditabrak mobil, sekarang seperti disambar petir.

“Aya kok begitu? Kasihan, kan dia teman Aya..... Antar kan ya? Jangan didiamkan” mohon Kyoko dengan nada manja.
“Oke” aku menarik nafasku panjang dan menatap Arwen, yang tampaknya sedang menerawang ke kegelapan malam, dengan muka yang kaku dan aura yang amburadul.

“Nah, begitu dong Aya, lain kali jangan sampai Kyoko bilang seperti itu…”
“Iya sayang”
“Yasudah, antarkan ya, hati-hati di jalan” lanjut istriku.
“Iya”
“Bye Aya”
“Bye”

Aku menghela nafas panjang. Panjang sekali saat telpon itu selesai. Aku lantas menatap ke Arwen. “Istri saya suruh saya anterin kamu”
“I know” jawabnya. Hujan malah semakin deras.
“Ayo”

Dia menatapku dengan tatapan dingin. Untung saja tadi dia mengangguk ketika aku menekankan bahwa kami berdua harus mengakhiri hubungan ini.

--------------------------------------------

rain10.jpg

Diam.

Diam yang awkward, di perjalanan ini. Aku menyetir dalam diam. Arwen di sebelahku dalam diam. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, karena gelap. Karena hujan. Tadi deras di Kuningan, sekarang malah gerimis di dekat rumahnya.

Sudah jam 10 malam. Perjalanan membutuhkan waktu lama, karena mobil tidak bisa bergerak selincah motor. Karena hujan. Hujan di Jakarta sama dengan macet, jam berapapun. Akhirnya kami terpaksa diam lama sekali. Rasanya, walaupun aku sudah memutuskan untuk mengakhiri kisah kacauku denan Arwen, rasanya masih tak nyaman.

Mungkin sulit dan butuh waktu untuk kembali seperti dulu lagi.

Mungkin.

Tapi entahlah.

Diam kali ini sangat-sangat tidak nyaman. Entah apa yang ada di pikirannya, ketika Kyoko mengajaknya bicara. Percakapan biasa, percakapan antusias khas Kyoko. Tapi dia pasti menerimanya dengan tidak nyaman. Pasti, kalau aku ada di posisinya, aku akan merasakan hal yang sama.

Dengan pelan, mobilku masuk ke sebuah komplek, di bagian lain Jakarta. Dia menunjuk ke arah sebuah belokan. Aku menurut. Dari caranya menunjuk, terlihat dia sangat tidak nyaman.

“Habis taman itu, ada belokan ke kanan, rumahku disitu.....” aku mengangguk, mendengar suaranya yang terdengar lirih dan lemah. Aura keceriaannya tampaknya sudah tersedot habis sejak sekian lama. “Aku turun di taman aja, deket pos itu.... Kalau diturunin di depan rumah, pasti banyak pertanyaan, siapa yang nganter” lanjutnya.

Aku mengangguk dan aku lantas mendekati pos satpam yang terlihat sepi, tanpa penghuni itu.

Gerimis rintik membasahi mobil ini. Suara hujan ringan turun, dengan suasana malam yang gelap, cenderung gelap pekat dan suara musik di dalam mobil tertelan. Arwen menarik nafas panjang dan dia menatapku dengan tatapan yang benar-benar berat.

“Makasih udah dianterin.... Walau sebenernya gak perlu”
“Gakpapa, kasian kalo kamu keujanan, malem-malem.... Lagian besok kan pasti kamu bakal ngantor juga” balasku. Sial. Entah kenapa aku jadi hapal jadwal rutinnya. Dia mengangguk lemah. Dan dia menatapku seperti anak kucing hilang yang menatap jenazah ibunya yang baru saja tergilas mobil.

“Can I get a hug?” tanyanya, dengan nada beraharap. Aku menatapnya dengan berat. Aku terdiam beberapa detik.

“Please?” tanyanya lagi. Pelukan perpisahan mungkin. Ah, tidak ada salahnya memeluknya sebentar sebelum ia turun dan semua kembali menjadi normal lagi. Aku melepas seatbeltku dan lantas menghadap ke dirinya. Aku tersenyum kecil dan membuka tanganku. Dia menggenggam bahuku, menatapku dengan tatapan sedih, dan lantas mulai merangkul leherku. Aku merangkul punggungnya. Kami berdua terdiam. Dia membenamkan kepalanya di bahuku, dan rangkulan tangannya terasa erat dan hangat. Aku menggosok-gosok punggungnya dan dia tampak nyaman di dalam pelukanku.

Mendadak aroma tubuhnya masuk ke dalam hidungku, dan perlahan, kami saling meregangkan pelukan. Aku menatap matanya yang teduh, yang sekarang mulai berkaca-kaca. Jarak hidung kami tidak lebih dari sejengkal. Aku bisa merasakan nafasnya dan dia bisa merasakan nafasku.

Entah setan datang dari mana, mendadak hal yang tidak kuduga terjadi.

Shit. Dia mencium bibirku dengan ganas. Aku mundur dan berusaha menghindar.

"Hei!” dia tidak peduli, malah mencoba naik ke pangkuanku, mendorong tubuhku agar dia bisa memelukku. Aku menahan badannya dan dia tampaknya makin ingin memeluk badanku. “Apa-apaan…” dia mencium bibirku agar aku tidak mengeluarkan suara apapun. Dan aku mendorong tubuhnya kembali ke kursi.

Auranya tidak jelas. Nafasnya terlihat sangat berat, matanya basah, menatap diriku dengan nanar.

“Kamu ngapain??” tanyaku dengan nada meninggi.
“Mas… Please…”
“Nggak! Apa-apaan?”
“Mas…” suaranya bergetar dan dia mencoba memegang tanganku. Aku menepis tangannya. Hujan turun makin deras.

“Gak kayak gini caranya…. Udah lah… It has to end!! Ini udah gak sehat banget, jangan sampe obrolan kita tadi sia-sia!” bentakku.

“Mas gak tau apa yang saya rasain….” dia menatapku dengan mata basah, dan dia tidak peduli air mata mengalur di wajahnya.
“Yang pasti ini salah”
“Aku gak peduli”

Dan mendadak, dia membuka kunci pintu mobil, merangsek keluar di tengah hujan. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak kuasa berteriak. Karena teriakanku akan menarik perhatian orang-orang di sekitar rumahnya, bahkan mungkin menarik perhatian orang rumahnya. Aku hanya bisa melihat sosok itu, di tengah hujan, berjalan dengan cepat ke arah sebuah rumah. Tangisnya pasti akan disembunyikan oleh hujan.

Tapi luka di dalam dirinya mungkin tidak bisa.

And I’ve created a monster.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
yes, udah balik ke schedule normal MDT. Can't wait what will happen next. Somehow yang dibilang Stefan di beberapa episode terakhir ini nggak ngitung sejauh apa madness yang bisa dibikin sama cewek yg perasaan & psikologisnya lagi sakit. So, kita liat aja monster macam apa yang udah dibentuk sama Arya.
 
Setelah Kanaya, sekarang Arwen. Monster versi terbaru dengan fitur yang bisa jadi lebih lengkap dan merusak. Hehe...
 
Gini ni ... kerennya om rb... klo sudah masuk part dark-nya... seperti ikutan kesedot rasa ga nyamannya, rasa jengkelnya, frustrate-nya...
Bisa orgasm ini pembaca dalam rasa galaw hahahahaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd