Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Episode mendekati lahirnya New Mitaka

Makasih apdetnya om & smoga lancar RL nya juga sehat selalu.
:beer:
 
MDT SEASON 2 – PART 16

--------------------------------------------

“Jadi jadwal tetap untuk bulan ini di studio ini, Hantaman itu latihan setiap hari ganjil, Senen, Rebo sama Jumat… Mulainya maghrib sampe jam 8-9 an. Kalau selasa, itu latihannya Quartet Jazz gue, nah, diluar semua waktu itu bebas lah kalian mau mulai latihan jam berapa, beresnya jam berapa… Atau mau nonton gue latihan juga bebas…” aku menjelaskan jadwal tetap di studio ini.

“Kalo sekarang kayaknya kita bakal anu Mas…. Apa, kita biasain dulu sama peralatan dan suasana disini, baru besok mulai rekaman benerannya….” senyum Panji, sementara anak-anak Speed Demon yang lain sedang tidak fokus, karena sibuk melirik kesana kemari, melihat gitar-gitarku, tumpukan koleksi CD, Kaset dan Piringan Hitamku, dan juga konfigurasi peralatan rekaman yang terpasang dengan rapih.

“Bebas” jawabku sambil memainkan handphoneku.
“Anu, tapi boleh kan kami nanti nonton Hantaman latihan?” tanya Nanang dengan antusias.
“Kayake mendingan kita ke rumah sodaraku pas Hantaman latihan Nang, ndak enak ntar gangguin…” bisik Panji. “Lagipula kita kan belum ketemu mereka, kan mau nginep sana, mosok dateng malem-malem…”

“Lha iya” Nanang menepuk kepalanya sendiri. Sementara yang lain masih bingung melihat-lihat kesana kemari.

“Anu mas, itu… MOTU ya?” tanya Ibam sambil menunjuk ke arah meja consoleku.
“Iya, MOTU 1248” jawabku. Ibam menunjuk ke audio interface yang tersambung ke komputerku. Semua sound dari ruangan rekaman masuk kesana dan terhubung ke komputer.

“Itu kan mahal mas”
“Emang” senyumku. Pricelistnya 1500 USD.

“Kok bisa beli mas?” tanyanya polos.
“Pertanyaanmu kok aneh sih….” kesal Panji. Karena mungkin di kepala Panji, sangat wajar kalau studio recording punya set up yang baik dan terkini.

“Nabung hahaha” jawabku asal supaya tidak terlalu banyak info yang tidak penting yang mereka dengar.
“Makanya kalok punya duwit itu ditabung to…” Panji tampaknya gregetan melihat kelakuan anggota band nya yang lain.

Aku lantas duduk di komputerku, sambil memandang mereka yang tanpa dikomando menyebar di dalam studioku, sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang memfoto gitar-gitarku yang terjejer rapih disana. Ada yang malu-malu melihat tumpukan piringan hitam.

“Itu kalo mau nyetel setel aja…” aku mengagetkan Billy dan Ibam yang sepertinya terkagum-kagum melihat banyaknya piringan hitam. Apalagi piringan hitam yang bisa dibilang jadul. Mereka mungkin bingung, darimana aku bisa mengumpulkannya.
“Ndak kok mas, liat-liat aja” senyum Billy.

“Entertain yourself ya, sama Nanang, kalo mau coba-coba bunyiin gitar-gitar gue, bunyiin aja” senyumku sambil bangkit berjalan keluar, menemani Stefan yang sedang merokok di teras studio. Aku menemukannya teronggok di kursi teras, dimana asap mengepul dari mulutnya tak henti-henti.

“Ngerokok mulu”
“Gapapa, gue sebenernya lagi penasaran sama anak-anak itu… Pengen liat pas mereka main soalnya” senyum Stefan.
“Baru besok mereka latihan”
“Gak disuruh test drive dulu gitu?” tanya Stefan.
“Besok aja, masih kaget kali… Biar mereka main-main dulu aja di dalem, liat-liat CD, liat-liat gitar gue”

“Yaudah lah… Tapi… Soal Kyoko gimana tuh?” tanya Stefan. Kyoko sedang di dapur, seperti biasa, memasak makanan untuk berbuka puasa. Dia puasa setengah hari, berlatih katanya. Dia sepertinya ingin mencoba seminggu dulu berpuasa setengah hari, lalu di minggu ke dua mulai coba-coba untuk puasa full seharian.

“Itu yang bikin gue bingung…. Gue gak tau dia mau kerja dimana, dan dia juga ga tau mau ngerjain apa….”
“Skillnya dia emang cuman di bidang masak memasak dan kopi mengkopi sih ya” balas Stefan.
“Itu dia, sedangkan…. Ah… kita berdua sih udah ga mikirin gaji dulu lah, kita semua tau kok, orang di industri ini di Jakarta, yang penghasilannya gede kan yang punya tempat, bukan pegawainya…”

“Tapi ada loh barista yang bayarannya mahal di sini…” sanggah Stefan.
“Tapi ga ada yang langsung berani pasti gaji Kyoko mahal-mahal, yang penting sih dia butuh kegiatan yang bisa bikin dia untuk adaptasi disini… Kan gak mungkin juga kan lo tarik jadi karyawan di kantor elo… Dia gak bakal bisa gawe di majalah elo…”
“Lagian kita juga ga lagi nyari orang” jawab Stefan.

“Ngomong-ngomong, kok lo hari ini gak ngantor, gue sampe lupa kalo ini hari kerja” aku memicingkan mata ke arah Stefan.
“Udah ijin hari ini, urusan MDT”
“Ijin siapa, ke bokap?”
“Kagak lah, kalo ke bokap mah gak dikasih kalo bukan tur atau manggung, gue ngomongnya ke HRD….”
“Ngabisin jatah cuti?” tanyaku.

“Gue ga punya jatah cuti” jawab Stefan dengan agak getir.
“Oh anaknya yang punya sih ya, jadi suka-suka sendiri” ledekku.
“Gue dipotong gajinya tauk, lagian HRD juga ga pernah ga ngasih… Dan bokap juga jarang di kantor, kesana kemari dia mah…”

“HRD nya ngasih terus soalnya takut karena elo anaknya yang punya”
“HRD nya baik, kontol” kesal Stefan sambil membakar rokok lagi.
“Sebaik apa si bapak ini ya sampe ngasih ijin elo bolos” Lagipula sepertinya tidak ada pegawai di kantor itu yang memberitahu ayahnya.

“Gue bolos kayak gini kan paling sekali sebulan…. Dan kok jadi ngomongin gue, kan ini ceritanya mau ngomongin bini elo… Dan HRD nya ibu, bukan bapak” balas Stefan.

“HRD nya lo modusin ya” tawaku.
“Kagak, gak minat gue sama emak-emak”

“Hahahaha…” tawaku sambil menatap ke arah dapur, dimana aku bisa melihat siluet Kyoko yang sedang berjibaku dengan makanan. “Yah… gitu deh… soal bini gue, masih bingung kita”
“Lo ga pengen suruh dia buka sendiri?” tanya Stefan dengan mimik serius.
“Engga. Ga punya duit. Duit gue abis buat MDT dan mobil”

“Itu mulu jawaban elo kalo ditanya soal duit?” bingung Stefan.
“Abis apa lagi?”
“Duit hasil manggung atau hasil penjualan di itunes dan kawan-kawannya gimana? Atau dari CD kita?” tanya Stefan.

“Ya buat makan lah, emangnya elo, anak orang tajir, gawe kantoran pula” jawabku.

“Ga mau minjem ke bank?”
“Cicilan mobil gue gimana?”
“Ga mau minjem gue?”
“Keenakan itu namanya, ntar ada problem gue ga bisa balikin, gue digigitin sama elo” aku menatap mukanya dengan perasaan kesal soal masalah keuangan.

“Gini deh, kapan lo ga sibuk urusan rekaman monyet-monyet ini, kita ngobrol bertiga ya, di luar, sambil makan…”
“Eh jangan” aku memotong Stefan.
“Kenapa kok?” bingungnya.

“Gue belom bilang ke Kyoko kalo lo tau soal masalah ini, gak enak gue sama dia…. Dia kan orangnya tertutup banget kalo soal perasaannya dia…”
“Kok konyol sih, lo kan dah bilang ke si Zul si Kyoko cari kerjaan di bidang café mengkafe dan kopi mengkopi, tapi masa dia ga boleh tau kalo lo diskusiin sampe sejauh ini sama gue, dari awal dia ketauan nangis diem-diem?” bingung Stefan.

“Ya, kalo ke Zul kan cuman sebatas ngomong gitu doang… Kalo ke elo kan sampe daleman-dalemannya problem ini tau juga, ntar dia ngerasa kalo dia udah ngerepotin elo loh Fan…” aku menarik nafas panjang dan melihat entah kemana.

“Lo tolol kok dipiara…”
“Hah?”
“Ya lo bilangnya kalo gue posisinya sama aja kali sama Zul, kalo gue juga diminta cariin link buat doi… Tolol amat jadi laki…. Bisanya mesra-mesraan doang sih, ga bisa ngibul, gimana bisa maen cewek kalo Cuma modal ganteng ama terlalu baek doang mah….” tawa Stefan.

“Kampret”
“Elo yang kampret otaknya mampet” ledeknya.

“Maklumin aja lah” kesalku sambil meregangkan badanku. Ya, mungkin kesibukan kepalaku yang memikirkan problem Kyoko dan lain lainnya menyebabkan aku jadi agak sulit berpikir taktis. Kepalaku jadi agak berat kalau memikirkan banyak hal.

Mulai dari masalah label MDT, lalu ke proses rekaman Speed Demon yang akan segera dimulai, lalu cara-cara untuk membuat Kyoko nyaman. Tentunya aku tidak ingin begitu saja menggampangkan masalah Kyoko, yang sudah mulai terurai sedikit demi sedikit. Masalahnya sudah ketemu. Dia tidak betah disini, dan proses adaptasinya terganjal banyak hal karena dia tidak berkegiatan di luar rumah. Dan untuk mencari kegiatan, pastinya sangat sulit.

Sementara untuk Speed Demon, walaupun aku sudah berkali kali menjadi produser dan menangani rekaman banyak musisi dan band, yang satu ini berbeda. Bisa dibilang ini adalah “anak” ku. “Anak” nya Hantaman lebih tepatnya. Kami sekarang sedang berusaha mengaplikasikan hal-hal yang selama ini kami lakukan sendiri untuk band kami sendiri, kepada band lain. Kami berkomitmen untuk mengawal mereka, tidak hanya di proses rekaman saja, tapi di proses-proses setelahnya. Tur, Promo, Distribusi Album, dan entah masih banyak lagi, selama mereka bernaung di label Matahari Dari Timur.

Dan belum lagi soal Working Group-ku bersama Arka Nadiem, Jacob Manuhutu dan Toni.

Walaupun kami sudah mulai menemukan chemistry yang asik, tapi tentunya PR besar masih menghadang kami. Yakni goal untuk membuat album. Goal untuk menjadikan karya-karyaku di musik jazz mengkristal di sebuah album. Tapi, sejauh ini kami baru sekali manggung. Dan itupun membawakan karya-karya agung para musisi Jazz legendaris, bukan karya kami sendiri.

Ah gila. Seribet ini ternyata hidup menjadi musisi yang dewasa.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Bukan sekali dua kali ini kami berlatih disaksikan oleh orang-orang. Tapi baru sekali ini Speed Demon melihat kami berlatih. Mereka tampak duduk dengan tenang di lantai studio, memperhatikan kami berempat. Ya, mereka tidak jadi ke tempat saudaranya Panji dalam waktu dekat. Sehabis buka puasa, mereka malah entah kenapa terhanyut ke dalam sesi latihan kami. Panji yang dari tadi cerewet, dan berulang kali mengingatkan teman-temannya soal pentingnya bersilaturahmi dulu ke tempat saudaranya, kini malah tertegun.

Tertegun melihat kami beraksi di ruangan kecil itu.

Stefan sedang diam, menenteng microphone dengan jumawanya, memperhatikanku yang sedang bergerak lincah dengan gitarku. Aku mencabik gitar Hagstorm Vikingku, membunyikan nada-nada miring yang mencoba merusak konsentrasi orang-orang yang menonton. Jariku meliuk-liuk. Nafasku jadi satu dengan gerakan tanganku.

Seperti biasa, aku punya cara tersendiri untuk membangun nada solo gitarku. Aku mengambil nafas dari improvisasi Jazz. Di awal, aku mencoba membangun nada-nada yang aman, memainkannya dengan pelan, nada demi nada, mencoba membangun suasana. Ketika Anin dan Bagas merespon permainan gitarku yang makin lama makin cepat dengan permainan mereka yang semakin padat, aku mulai berani menjelajah gitarku, kenada-nada miring dan nyelekit, dengan gerakan yang cepat.

Tanganku menyapu fret-fret gitar dengan ganasnya.

Setelah kurasa hampir mencapai puncaknya, aku memperlambat permainanku dan mencoba mencari nada-nada kunci yang bisa berdiri sendiri. Disaat itulah aku mulai melambat, melambat dan melambat, sampai akhirnya menghilang, menjadikan kalimat soloku penuh. Perkenalan, mencoba mengakrabkan diri, dan berpisah secara baik-baik kepada pendengar musik Hantaman.

Setelah aku melambat, kini pusat perhatian kembali tertuju pada Stefan.

Suaranya yang kencang dan parau meliputi seluruh ruangan. Raungan dalam ruangan. Walaupun dia terlihat kalem karena ini bukan di panggung, bukan berarti dia tidak garang. Lirik demi lirik dalam bahasa Inggris dia lafalkan dengan logat yang benar-benar fasih. Jika kita menutup mata dan tidak melihat tampangnya, kita pasti akan menyangka dia bule, atau ras apapun yang bahasa ibunya adalah Inggris, bukan pria keturunan tionghoa yang penuh tato di sekujur tubuhnya.

Anin dan Bagas bersatu dalam unit yang sulit dipecahkan. Kalau Bass dan Drum sudah kawin, jangan harap ia bisa cerai. Dentuman suara drum dan Bass bersahutan, mengiringi aku dan Stefan yang biasanya selalu liar dan bertualang entah kemana. Jika ada istilah kembali pulang ke rumah, rumah bagi Hantaman adalah Bagas dan Anin. Ke merekalah kami semua akan berpulang, setelah Stefan selesai meracau dan menghentak di panggung, atau setelah aku membuat gitarku menari.

Dan musik makin kencang, sebelum akhirnya selesai.

Bagas membunyikan apapun yang bisa dia bunyikan dan aku menyuruh gitarku untuk berteriak-teriak, menutup lagu terakhir di sesi latihan kami berikut ini.

Selesai. Dan sepi.

Aku melemaskan tanganku dan mengajak Stefan high five dan dia menyambutku.

“…” hening.

Aku merasakan ada empat pasang mata di ruangan itu yang terpaku.

“Woi” bisik Stefan di microphone, membangunkan anak-anak Jogja itu dari mimpi indah mereka.

“Ah… Iya mas Siap!” Panji mendadak duduk tegak dengan muka masih kaku.
“Keren su”
“Iyo asem… Nggilani…” mereka tampak tertegun, dengan muka yang tidak berekspresi. Rata-rata mulut mereka terbuka lebar, sehabis melihat kami berlatih.

“Aku durung pernah nonton Hantaman live… Lah iki… Nonton latihanne…” bisik Ibam ke Panji.
“Menengo…” Panji menyuruh Ibam diam, sambil menelan ludah, sementara kami tampak biasa-biasa saja dan membereskan alat-alat kami. Kalau bulan puasa, kami biasanya buka puasa sebelum latihan, makan makanan-makanan yang ringan, lalu berlatih, sehabis berlatih lalu makan berat. Sepertinya Kyoko sudah menyiapkannya.

Aku mengambil handphoneku dan melihat pesan-pesan apapun yang mungkin masuk.

“Aya, makanan sudah siap, bilang Kyoko kalau sudah ingin dibawakan kesana, mungkin tidak perlu dibantu, ada Ai Chan sudah pulang dari kantor” Oh baguslah, aku agak capek hari ini, jadi agak malas bergerak.

“Mas…” Nanang tampak berusaha mengajakku bicara, tapi dia masih terpaku di lantai studio.
“Ya?”
“Anu apa…”
“Apa?”
“Itu… Apa namanya itu…”
“Siapa namanya apa?

“Itu loh yang tadi, apa…” bingungnya dalam kebingungan yang membingungkan.

“Apa apaan, ngomong yang jelas dong….” kesalku.
“Kesambet gitarnya Arya nih” senyum Anin yang baru saja selesai merapihkan bassnya.

“Anu iya itu.. Alat musik….”
“Gitar?” tanyaku.
“Nah iya! Anu… Kok bisa gitu ya bunyi nadanya ya? Keren banget ampun….”

“Ya….. Gue tadi masukin nada-nada dan lick-licknya Kurt Rosenwinkel sih, emang agak-agak outside dia kalo solo, dan enak banget dimasukin ke lagu-lagu keras” senyumku sambil duduk di lantai juga, meraih botol air mineral yang dari tadi nangkring.
“Siapa mas?”
“Kurt Rosenwinkel”
“Siapa itu anu……..”

“Gitaris”
“Iya band apa dia mas? Biar tak cari di yutub”
“Dia gitaris Jazz…”
“Oalah…”

“Gak ngerti kan si kontol ini ngomong apa?” Stefan menarik kursi dan dia duduk di atas kursi sambil melipat kakinya.
“Enggak mas….”

“Ga usah buat dipikirin hahaha…..” tawaku, mencoba membawa Nanang yang sedang melayang ini kembali ke bumi.

Billy dan Panji tampak berbisik bisik dalam bahasa jawa. Mereka tampaknya takjub oleh hal tadi. Hal yang dimana kami selalu lakukan rutin setiap hari ganjil. Latihan.

“Anu Mas Bagas…” Mendadak Ibam bangkit dan menghampiri Bagas yang belum pindah dari kursi drumnya, tapi sudah asyik sendiri lagi dengan handphonenya. “Mainnya kok bisa keren banget gitu ya?”
“Makasih” jawab Bagas tanpa melihat ke Ibam sama sekali.
“Anu, kok bisa ya mainnya padet banget gitu ya?” tanyanya dengan polos.
“Latihan”

“Nah iya, latihannya gimana, apa ada tips-tipsnya”
“Yang sering”
“Ah, seberapa sering”
“Sering artinya gak jarang-jarang” jawab Bagas dingin sambil melihat terus ke arah handphonenya. Entah apa yang dia baca. Apakah situs berita online ataupun mantra pesugihan. Kami tidak peduli dan tidak ingin tahu.

Ibam menggelengkan kepalanya.

“Master…” bisiknya ke dirinya sendiri.
“Kalau kata Kang Bimo apa Ya master?” tanya Stefan sambil santai.

“Mamas Terbang” tawaku. Mamas Terbang. Master. Mamas, dalam Bahasa Sunda artinya kelamin laki-laki, dalam penyebutan yang halus.

“Halo…. Makan dulu” Kyoko mendadak masuk, membawa masakannya dalam nampan besar. Berbagai potongan ayam goreng yang menjadi makanan favorit untuk dia masak tampak menggoda. Belum lagi dengan beberapa lauk lainnya yang juga menyebabkan rasa lapar di perut berubah menjadi perih karena terangsang asam lambung.

“Wah makaaan… Ayo guys, disikat…” Anin mengajak anak-anak Speed Demon dengan ramahnya untuk menyerbu masakan Kyoko.
“Ahaha… Belum semua, Aya, bisa tolong?” tanya Kyoko, sambil menunjuk ke arah dapur dengan matanya.
“Siap” jawabku sambil berlalu ke dapur dengan langkah cepat.

“Bantuin Mas…” tegur Ai sambil menata piring makan yang akan dibawa ke studio. Aku mengangguk dan segera membantu membawakan sisa makanan yang belum sempat Kyoko bawa dan berjalan bersama Ai.

“Nah, ini piring dan lala-lala lainnya ya, sama sisa yang tadi belom kebawa kesini” aku membuka keheningan di dalam studio ketika mereka hanya bisa menatap ke tumpukan makanan, tanpa bisa dimakan karena piring dan alat makannya belum ada.
“Thanks…” Stefan mengambil piring yang masih tertumpuk di tangan Ai.
“Sabar kenapa sih!” bentak Ai pelan dengan sinis.

“Udah laper”
“Kan elo gak puasa”
“Pura-puranya iya lah, wong mereka aja kagak puasa” senyum Stefan sambil menatap ke anak-anak Speed Demon yang mendadak terdiam lagi.

“Ih bandel ya” tawa Ai.
“Anu…” mereka tampak kehabisan suara. Entah kenapa.

“Ah, gara-gara si monyet sialan ini sih, mereka jadi batal, digodain ama rokok tadi siang” aku memberitahukan penyebab batal puasanya anak-anak Jogja itu ke Ai.
“Hmm… Kampret emang, dasar elo ya…” Kesal Ai sambil menaruh piring di lantai.

“Eh diambil lo makanannya..” senyum Ai ramah ke arah Panji. Panji hanya terdiam, dengan mulut terbuka dan mendadak ia mengangguk. Ai lalu tersenyum ke mereka semua, lalu berdiri dan beranjak pergi.
“Mau kemana lo?” tanya Stefan yang sudah mulai makan.

“Tidur”
“Cepet amat tidurnya”
“Kan kudu sahur besok, gila” balas Ai.
“Mimpi buruk ya cyin” canda Stefan ke Ai.

“Ngeliat muka lo hampir tiap hari aja rasanya kayak mimpi buruk” ledek Ai sambil berlalu.

Dan aku merasakan ada keheningan yang tidak wajar. Anak-anak Speed Demon tampak menatap Ai yang berjalan keluar, dan mereka tidak berhenti menatap ke pintu ketika Ai sudah keluar. Kyoko tampak tersenyum dan melirik kepadaku.

“Woi, apaan lagi nih?” kesalku. Stefan hanya tersenyum geli saja, Anin juga dan Bagas diam.

“Anu… Itu…. Tadi?” Ibam tampak terpesona.
“Tadi paan” tanyaku. Aku sudah mulai makan. Lapar sekali rasanya.

“Siapanya Mas Arya?” tanya Nanang, penasaran.
“Istri keduanya” ledek Stefan.
“HAH?” Kaget mereka berempat hampir bersamaan.

Kyoko tertawa tanpa suara dan aku hanya bisa melempar kekesalanku dengan dengusan di hidungku.

“Adek gue itu” jawabku, menjawab pertanyaan mereka soal Ai tadi.

Mereka berempat mengangguk bersamaan, masih tertegun. Entah apa yang membuat mereka tampak kehilangan suara dan kehilangan gerak.

“Allahuakbar” geleng-geleng Panji sambil malu-malu mengambil makanan.
“Kenapa takbir segala, mau solat emangnya elo?” tanyaku sambil senyum aneh.

“Bukan, adiknya Mas Arya aduh…” dia menggelengkan kepala dan berusaha menahan pernyataan spontannya. Dia tahu mungkin ucapannya akan agak tidak sopan jika dilanjutkan.
“Aduh kenapa… Apaan sih?”

“Subhanallah Mas….” senyum Ibam sambil tetap menatap ke arah pintu.
“Maksudnya apa sih” kesalku.

“Bego, mereka suka sama adek lo tau… Love at first sight… Hahahahaha” tawa Stefan puas.

“Alhamdulillah, masih dikasih lihat malaikat beneran” Ibam lalu menangkupkan kedua belah tangannya di mukanya dengan muka bersyukur.
“Iya Alhamdulillah” bisik Billy sambil melakukan hal yang sama.

Aku menggelengkan kepala sambil menepuk jidat.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya om racebannon:beer:

Maaf om koreksi sedikit,ini harusnya alat ato lalapan ya?
“Nah, ini piring dan lala-lala lainnya ya, sama sisa yang tadi belom kebawa kesini” aku membuka keheningan di
 
Terima kasih Hu. Selalu ngangenin klo Bagas dah maenkan drumnya... My favourite mah Bagas. Sehat selalu yah Om Bagas...
 
Selalu mengundang senyum kalau masalah interaksi sehari-hari dgn anak2 speed demon, ai & stefan, juga si misterius man aka bagas. Dsitu kali' yg buat apdetannya selalu ditunggu

Makasih apdetnya om & sehat selalu
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd