Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 23

--------------------------------------------

5a8e7910.png

Karina Adisti.

Salah satu orang yang paling tidak ingin kutemui di jagat raya ini. Tidak, tidak segitunya, tapi rasa kemalasan entah kenapa merasuk ke punggungku dan aku lantas memalsukan senyum yang tidak tulus. Aku berdiri dan menjabat tangannya dengan gerakan yang kaku. Gerakan yang dibuat-buat.

“Apa kabar?” tanyaku datar.
“Baik, kamu?”
“Baik”

Kami menyelesaikan kontak fisik itu dengan cepat. Tangannya dingin, mungkin seperti tanganku. Tunggu. Karina pasti sudah tahu dari awal, kalau ada urusan dengan Hantaman, pasti ada urusan denganku. Ah entahlah, kita lihat saja kemana arah angin ingin pergi.

“Eh kalian kenal toh?” tanya Arwen dengan sumringah.
“Kenal” jawabku pelan. Karina hanya mengangguk dengan senyum. Senyum yang mungkin palsu, mungkin juga bohongan. Aku tahu pasti dia juga malas untuk bertemu denganku. Tapi mungkin atas nama profesionalisme, dia memaksakan. Aku pun akan memaksakan.

“Iya, kan kalian berdua udah kenal ya, jadi mungkin lebih nyambung entar pas masalah rombak aransemen” senyum Arwen, merasa telah berbuat sesuatu yang luar biasa baiknya. Memang baik. Tapi tidak baik untuk kesehatan hatiku sepertinya. Mas Awan mencoba tersenyum. Dia pasti tahu kalau aku dan Karina adalah mantan pacar. Terlihat kok di ekspresinya. Tapi aku ragu apakah dia tahu sejarahku yang cukup panjang bersama Karina. Mungkin dia hanya dengar-dengar sekilas saja. Dengar entah dari siapa dan entah kapan. Dan entah sudah dengar atau belum.

Kami berdua tidak menjawab omongan ARwen. Dan Arwen menatapku, tampak ingin aku merespon keceriaannya.

“Jadi…” Karina membuka percakapan.
“Iya, akustik plus orkestra” sambungku dengan nada agak datar.
“Menarik memang… Kalo Mas Awan gimana?” tanya Karina.

“Kalo saya sih, emang udah ngobrol sama BOD, mereka tertarik, kan sempet saya kasih CD nya Hantaman, album satu sama dua, mereka seneng katanya kalo dibikin live dengan balutan orkestra….” jawab Mas Awan.

“Ya kalo gitu ya udah, jalan aja” balas Karina dengan nada enggan.
“Masalah komposisi dan aransemen kan itu ranah kamu kan, ntar tinggal cari waktu sama Hantaman, kapan bisa dijadwalin buat rutin rapat” senyum Mas Awan.

Ya. Dia senyum, Arwen senyum. Aku anyep, Karina anyep.

“Kalo masalah untuk kontrak dan segala macem sampe ke produksi, tinggal saya sama perwakilan labelnya Hantaman ntar bicara” lanjut Mas Awan.
“Mereka indie” jawab Karina.
“Mereka sekarang udah punya label” sanggahku.
“Mereka tetep indie dan mereka mewakili label mereka sendiri” sanggah Karina.

Gak salah. Tapi tetap terdengar tidak nyaman di telingaku. Satu, itu karena Karina yang bicara. Dua, karena Karina sepertinya sudah tahu kalau kami sudah punya label sendiri. Entah dengar dari siapa. Tapi dunia musik sempit. Mungkin dia bisa dengar dari siapa saja yang mengenalku, Stefan, Anin atau Bagas.

“Ya kalau gitu, ntar saya kasih draft kontrak, silakan dibener-benerin aja Mas Arya ya…” senyum Mas Awan.

Aku bosan melihat orang senyum di tengah suasana awkward ini. Jadi aku memutuskan untuk senyum juga. Biar sekalian aneh.

“Intinya sih kita dari Hantaman tertarik, dan ini kesempatan yang bagus buat expand” sambungku.

Karina cuma senyum tipis.

“Bentar ya, saya ambilin draft kontrak….” Mas Awan mendadak pergi, keluar ruangan. Menyisakan aku, Arwen dan Karina di tengah suasana yang super awkward ini. Super aneh. Super gak nyaman, super gak enak.

“Anu, kalian kenal dimana?” Arwen tampak ingin memecah kesunyian yang dari tadi hadir sejak Mas Awan keluar dari ruangan.
“Musik” “Temen” jawab kami berbarengan dengan tidak kompak.

“Arya beberapa kali jadi gitarisku” suara Karina terdengar sangat dipaksakan hari ini.

“Oo…. Berarti bakal gampang dong ya kalo gitu?” lanjut Arwen polos.
“Yaaah… Susah-susah gak gampang sih” jawabku.
“Gak susah kok” senyum Karina. Jawaban kami selalu tidak kompak. Ya, seperti kami dulu, mungkin di dunia musik kompak, tapi as a couple? Susah. Entah kenapa aku dulu bisa lama pacaran dengan dia.

Arwen mendadak menyadari ada yang aneh dalam percakapanku dan Karina. Selalu tidak nyambung dan dua-duanya agak terkesan menghindar. Dia bolak balik melirik ke arahku dan Karina sambil menggigit bibirnya. Suasana hati Arwen dapat dengan jelas terlihat di ekspresi mukanya. Kalau senang, dia senyum terus, dan kalau bingung seperti sekarang, dia tampak seperti binatang yang kabur dari kebun binatang. Bingung mau ngapain.

“So… Jadi, kan dulu Mas Arya sempet ngegitarin Mbak Karina ya? Kapan itu?” tanyanya berharap suasana akan membaik.

“Udah lama” “Lupa” jawab kami hampir berbarengan lagi. Dan lagi-lagi tidak kompak. Ya, bodo amat.
“Yang pasti sih dia pianis yang bagus.... Pernah belajar di konservatorium di Jepang….” sambungku. Ya, Konservatorium Koyo. Tapi gak lulus. Lantaran terlalu perfeksionis. Jadi berkutat di situ-situ aja. Boom. Dor. Gue tembak. Tau ah.

“At least konservatorium, bukan sekedar les” oke. Sesak rasanya. Aku cuma bisa senyum awkward.
“Yang penting ilmunya kepake”
“Kepake terus, cuman mungkin agak kebanyakan main di luar Jazz” sambung Karina.
“Namanya orang cari makan”
“Cari makan juga harus sesuai dengan ranahnya…”

“Kayak jadi music directornya musik indie ya? Jazz banget…..” sindirku.

Sialan. Entah kenapa jadi perang sindir menyindir lagi seperti dulu.

“Cuma sebagian persen dari total kerjaan, bukan sebagian besar” oh, Hantaman maksudnya?

“Ah anu… Apa… Emm…. Mbak Karina kan pernah belajar di Jepang kan dan Mas Arya juga sering ke Jepang kan? Udah berapa kali?” mendadak Arwen bertanya kepadaku untuk lagi-lagi berusaha mengalihkan pembicaraan supaya jadi lebih produktif.

“Iya, belajar. Bukan buat nyari jodoh ya..” senyum Karina terkembang. Oh. Sepertinya dia menembakkan sindiran. Kena sih. Sialan.
“Dapet jodohnya kan? Daripada kesana buat belajar tapi gak dapet belajarnya” sindirku balik.
“Haha” tawa Karina garing.
“Hahaha” balasku dengan garing juga.

Arwen terlihat sedikit panik, dan dia menelan ludahnya. Matanya yang bulat terlihat khawatir dan dia mengulum bibirnya tanda tak enak.

“Nah, Mas Arya, ini draftnya, di dalem udah ada kartu nama saya…. Ntar kita janjian lagi ya….” Mendadak Mas Awan masuk sambil membawa map yang lumayan tebal.
“Oh oke” aku berdiri dan menerimanya. “Mudah-mudahan lancar dan asyik kerjasamanya” aku menerimanya, sambil mengajaknya bersalaman. “Sampe ketemu lagi” lanjutku.
“Eh udah mau pulang? Baru saya minta bikinin kopi padahal ke OB” bingung Mas Awan.

“Iya nih, mau jemput istri, lagipula, kan maksud pertemuannya udah sampe…. Ntar kita janjian lagi” Arwen mendadak ikut berdiri juga karena dia sudah pasti sepaket denganku.
“Arwen bareng?” tanya Mas Awan.

“Iya mas, nebeng soalnya hehehehehe” tawanya awkward. Dia pasti merasakannya juga. Perasaan tak nyaman akibat pertemuan dengan Karina.
“Yaudah, sampe ketemu ya…”
“Iya Mas…”

“Sampe ketemu lagi” aku menjabat tangan Karina dengan dingin dan terpaksa.
“Sampe ketemu lagi” balasnya dengan malas, dan dia menatap mataku dengan tatapan kosong yang cenderung sombong.

Crap.

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Mobilku berjalan di tengah jalanan Jakarta, menjauh dari tempat tadi. Arwen diam dan tampak pasrah mengikuti arah mobil ini berjalan dengan tololnya. Dan aku bahkan tidak bertanya kepadanya, mau kemana atau turun dimana?

“Mas” bisiknya mencoba memecah keheningan.
“Kenapa?”

“Anu…”
“….” aku membalasnya dengan dengusan nafas yang keras.

“Itu apa…”
“…”

“Mas Arya, sama Mbak Karina…. Itu….”
“Hmm?”

“Apa ya… Emm…. Pernah… Punya pengalaman gak enak?”
“Sering” jawabku pelan.

“Ah… Emm…. Pas manggung?”
“Bisa”

“Oh, apa emang…. Ga nyambung aja sebagai rekan?” tanyanya mencoba menyelidik. Duh, Jangan sok jadi detektif deh.
“Bisa dibilang gitu”

“Emm…”
“Kamu mau kemana abis ini?” tanyaku.
“Eeh… Gak tau…” jawabnya bingung. “Paling balikin aja ke tempat tadi kali ya? Atau kalau ngerepotin, turunin deket sini aja, biar saya naik Gojek…”

“Mendung” aku menunjuk ke arah kumpulan awan hitam. Great. Alam kayaknya nurut sama suasana aneh tadi. Awan hitam menggumpal dengan tololnya di langit Jakarta, mau memuntahkan kencing dewa yang biasanya bikin beberapa daerah banjir itu.

Arwen mengajakku berbicara sambil memainkan handphonenya. Tampaknya dia sedang mengobrol dengan seseorang lewat media sosial.

“Gapapa kan biasanya mereka bawa jas ujan?”
“Biasanya….”

“Anu…. Kalian….”
“Kalian itu siapa?” tanyaku dengan nada terdengar kesal, walau aku berusaha tersenyum dan melirik ke arah perempuan yang sedang kebingungan ini.

“Kalian mantan pacar?” tanya Arwen.
“Kok bisa nyimpulin gitu?” tanyaku, retoris.
“Anu… Maaf kalo saya ga sopan, tapi tadi… Saya baru aja coba nanya ke Mas Awan lewat wassap…. Kalian berdua kenal dimana, dan kok kayaknya gitu tadi suasananya…..”

“Aahh… Ya… gitu deh…” jawabku dengan malas, sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Tidak gatal sama sekali. Entah. Otakku yang gatal mungkin.
“Emm… Terus gimana?” tanyanya. Entah apanya yang terus gimana. Entah dia bertanya soal sejarahku dengan Karina, atau dia menanyakan soal kelanjutan proyek ini.

“Apanya yang gimana?” tanyaku balik.
“Ah… Maaf…. Saya keterusan ya…. Maaf Mas….” Arwen tampak mengulum bibirnya, sambil menunduk. Dia tampaknya malu dan merasa tidak enak kepadaku. Auranya terasa seperti anak SD yang dihukum guru karena lupa mengumpulkan PR.

“Ya gimana… Gak bisa ditutup-tutupin”
“Iya” jawab Arwen pelan. “Saya turunin di halte depan situ aja Mas” Arwen menunjuk ke sebuah Halte bis.
“Kagok, udah kelewat” jawabku sambil menolak.

“Iya” jawabnya pasrah. Mendadak hujan rintik turun, berusaha menjebak mobilku di tengah kemacetan sore hari khas Daerah Khusus Ibukota Jakarta. “Maaf Mas… Saya gak tau…” lanjut Arwen dengan nada yang datar.
“Gapapa…”
“Sekali lagi maaf…”
“Gapapa, bukan salah kamu… Kan kamu gak tau, lagian, saya bisa ketemu dimana aja sama dia kalo emang udah ditakdirin kayak gitu” jawabku diplomatis.

“Iya Mas, tapi maaf banget….” mohonnya.
“Iya saya maafin, walau kamu gak salah… Udah lah, toh kewajiban kamu dah beres, udah ngenalin saya ke mereka…. Dan ini gak berarti kita mundur kok…” jawabku.
“Iya…”

Mobilku meluncur perlahan, berusaha menembus lautan mobil ini. Tanganku berulang kali mengetuk-ngetuk setir. Entah tanda tak nyaman akibat Karina, atau senewen karena macet.

“Tapi Mas… Saya masih ngerasa salah… Karena suasana tadi gak enak…” bisiknya.
“Udah, biarin aja… Toh abis ini kan udah tinggal urusan kita, bukan urusan kamu lagi…” balasku.
“Tapi…”
“Udahlah, gak bisa dihindari kok…”

“Iya Mas…”
“Yaudah…. Ntar lah, kita ngobrol lagi” lanjutku disaat mobil ini sudah terbebas dari lampu merah.

Dan mudah-mudahan aku juga terbebas dari perasaan tidak enak ini.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Stefan, Anin dan Bagas ada di teras studioku di sore hari menjelang malam itu. Kami saling bertatap-tatapan, kecuali Bagas.

“Taik hahaha” tawa Stefan kecil. Aku hanya bisa tersenyum dengan ekspresi tidak enak. Anin menatapku dan dia berusaha untuk menyelidik, bagaimana perasaanku sebenarnya. Bagas hanya diam, sama sekali tidak menatap kami bertiga. Tangannya melipat dengan sempurna.

Aku masih ingat tadi, saat aku menelpon Stefan.

--

“Lo dateng jam berapa ntar ke studio?” tanyaku tanpa mengucap halo atau salam apapun. Dan memang, hari ini adalah hari dimana kami harusnya latihan rutin setiap maghrib sampai malam.

“Eh, kaget gue, ya maghrib lah, kayak biasa” jawab Stefan di telpon. “Gimana tadi ketemuannya?”
“Tokai Fan”

“Tokai apaan? Gak bagus? Produsernya ngehe? Music Directornya banci kaleng?” tanyanya bercanda.
“Bukan”
“Kenapa? Arwen tiba-tiba telanjang di ruang rapat? Striptease?”
“Karina”

“Lo ketemu Karina?” kagetnya.
“Karina music directornya”
“KONTOL AYAM”

“Ha. Ha. Ha. Ha.” tawaku garing, menertawakan nasib yang membawaku kembali bertemu dengan Karina.
“Terus gimana?”
“Ya gimana apanya? Ya rapat bentar tadi…”

“Karina Nyet”
“Ya gimana lagi?”
“Karina Ya…… Lo pasti ga nyaman sumpah… Kalo gue sih sebodo amat, toh gue ga pernah ada sejarah apa-apa sama dia…” teriaknya di telingaku.

“Ya mau gimana lagi? Masa mundur? Ga profesional amat?” balasku.
“Ya kalo lo ga nyaman gimana? Kita cabut dari project itu juga ga masalah sih…. Kalo buat gue ya….” jawab Stefan.

“Kagak lah, makanya ntar kudu diobrolin…. Masa ngehindar? Gue bisa ketemu dia dimana aja Fan…. Lagian ini kesempatan bagus buat kita….”
“Ya pikirin diri lo sendiri dulu deh sebelom lo mikirin kita, lo nya nyaman gak?”
“So far selama gue sama Karina bermusik dulu emang dia perfeksionis abis, tapi itu malah bikin musiknya jadi bagus… Dan itu aja deh yang gue kejar…”

“Terus bini lo gimana?” tanya Stefan tajam.
“Iya… Itu… Yaudah lah, makanya diobrolin aja ntar!”

--

“Kalau gue sama Stefan sih lanjut gapapa, cuman, kalo elo gak nyaman, bisa mundur, gak masalah….. Gak usah dipaksain…” ucap Anin, berusaha mengerti perasaanku.

“Hhh……..” aku mengeluarkan nafas panjang yang berat. Aku diam sambil menatap langit-langit. Aku membayangkan bagaimana nanti rasanya bekerja sama dengan Karina. Terlebih lagi bagaimana perasaan Kyoko nantinya. Apakah dia bisa rela mendengarku bekerjasama lagi dengan mantan pacarku. Mantan pacarku yang suka kuceritakan kepadanya, betapa perfeksionis dan menyebalkannya dia kalau mengerjakan apapun?

“Tapi enaknya orang kayak gitu tuh, dia yang bakal banyak mikir, kita tinggal terima-terima aja…” sambung Stefan.
“Itu yang selama ini gue lakuin kalo jadi gitarisnya……” jawabku.

“Dan sekarang ketauan kenapa elo lama bisa pacaran sama dia…” Stefan mengambil kesimpulan.
“Ah… Ya tapi gimana ya, ini demi kita berempat…”

“Kagak usah dipaksain tapi” tegur Stefan.
“Makanya ntar kalo jadi, gue minta tiap ketemu dia ada Anin kek atau elu kek….”
“Itu bisa diatur, tapi elonya sendiri gimana Ya? Jangan lupa, Kyoko perasaan Kyoko juga mesti lo pikirin!” lanjut Stefan dengan seringainya.

“Hmm… Iya, dan gue gak mungkin gak bilang ke dia… Tapi ini kerjaan men….. Mau bilang apa lagi? This is a fucking job… Dan tadi udah gue baca sekilas, pembagian royalti tiket dan albumnya juga bagus… Duitnya lumayan ini….” aku beralasan, mencoba beralasan dengan logika, walau perasaanku tidak nyaman.

“Ini mantan lo begooooo” potong Stefan.
“Ini duit dan kesempatan kita, kita ga usah keluarin biaya produksi Fan, rekaman bukan kita yang ngedit, rekaman bukan kita yang mastering, kita tinggal aransemen ulang, jreng, dapet duit royalti, laku? Pasti…. Produsernya bekas orang major label, kita bisa reach orang-orang yang selama ini gak kenal siapa kita….. Tapi… Ya taiknya ya Karinanya, tapi setelah lewat masa-masa aransemen bareng dia, udah lah… Kelar semua…..” jawabku panjang.

“Mungkin gak sih dia main piano bareng kita entar?” tanya Anin dengan muka khawatir.
“Mudah-mudahan enggak… Pasti dia males juga kerjasama sama gue, itu pasti, dia udah males gitu liat gue tadi….” jawabku. “Cuman kita majuin profesionalitas kita lah, kita gak bisa ngehindar mau kerjasama sama siapa guys…. apalagi kalau tawarannya bagus kayak gini….. Dan gue ntar harus bilang sama bini gue….”

Aku menatap mereka semua dengan perasaan super aneh. Aneh karena aku yang harusnya menghindari Karina, malah lebih condong untuk meneruskan kerjasama ini. Tapi walaupun pertaruhannya ada di seputar sejarahku yang tidak enak dengan Karina, kerjasama ini sungguh sangat menarik, dan bisa menambah pundi-pundi uang tanpa kita harus bekerja terlalu banyak. Dan kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Setahuku, project music hall tersebut dengan band indie sudah banyak. Walau ini awalnya dari ide iseng Arwen yang disampaikan ke kami dan Mas Awan, tapi kalau dari pihak pengambil keputusan di sana menyukai, bagaimana?

Ini kesempatan besar, dan menurutku, kesempatan besar biasanya dilalui dengan jalan yang sulit dan tidak enak.

“Guys gini… Dulu waktu tur Jepang, taruhannya banyak juga kan? Keselamatan Stefan, kesehatan Anin….. Dan banyak banget hal-hal yang ga enak yang kita hadapin pas kita lagi berjuang ke titik ini” aku melanjutkan kalimatku untuk membuat mereka tenang, atau lebih tepatnya untuk membuat perasaanku tenang. “Ini Cuma masalah mantan pacar, masalah kecil…. Dan coba kita liat dampak besarnya…”

“Iya sih” Anin menggaruk kepalanya.
“Gak salah, dan kalo lo udah bilang oke ya gimana, kita sih bukannya apa-apa, kalo gue emang pertimbangin lo nyaman apa engga kerja sama kuntilanak itu……” sambung Stefan.
“Kerja sama kuntilanak mana ada nyamannya sih Fan, cuman lemesin aja biar lo gak kesurupan….” balasku.

“Haha… Iya sih.. Yaudah lah, cuman lo mesti bilang sama Bini lo, entah gimana caranya, gue gak tau….” tegur Anin.
“Wajib”

“Terus si Arwen pas tau gimana? Kaget? Struk? Bugil?” tanya Stefan sambil bercanda ala dirinya.
“Ya dia kaget, terus gak enak gitu…. Dan emang orang-orang disana juga kayaknya tau soal gue ama Karina…” jawabku.
“Pada taruhan gak lo bakal balikan sama dia apa kagak?” canda Stefan tak lucu.
“Gak lucu sumpah, kalo gue balikan lagi sama dia, lo masukin aja landak ke pantat gue!” kesalku.

“Si Arwen pasti ngerasa utang budi sama elo banget nih, bisa-bisa besok lo suruh ngangkang dia ngangkang” tawa Stefan.
“Selangkangan aja mulu dipikirin….” sela Anin.
“Robot aja mulu dipikirin….” balas Stefan.

“Monyet”
“Elo yang monyet”

“Terus gimana? Oke kan?” tanyaku ke Anin dan Stefan. Kalau Bagas, dia pasti oke-oke saja. Lagipula dia ada dan duduk di sini biasanya hanya formalitas saja. Dia membatasi dirinya hanya untuk bermain drum bersama kami, bukan sebagai pengambil keputusan.

“Lanjut lah… Udah… Kita tanggung bersama kenestapaan Achmad Ariadi Gunawan bertemu dengan perempuan mistik penghisap darah, Karina Adisti….” tawa Stefan sambil menyalakan rokok.
“Yaudah, ntar gue temenin terus pas lo ngaransemen dan ngatur komposisinya sama Karina….” jawab Anin.

“Oke” aku lantas memberikan draft kontrak yang kudapat dari Mas Awan tadi ke Stefan, agar dia yang memeriksa dan merevisi apapun yang harus diperiksa dan direvisi.

Aku pun bangkit dan siap-siap menyetem gitar untuk sesi latihan malam ini.

“Bentar” mendadak kami bertiga kaget dan langsung menatap ke Bagas. Dia dengan muka tanpa ekspresinya memandangi kami bertiga bergantian.

Sungguh, kami tak menyangkan dia akan membuka mulut dan mengeluarkan pendapatnya terkait masalah ini. Dan kami semua saling berpandangan, seakan tak percaya Bagas mau urun ide ataupun sepatah dua patah kata tentang proyek ini.

“Keputusan kita serahkan ke Kyoko saja. Biar dia yang tentukan jalan atau tidak” ucapnya dengan tenang.
“Kenapa?” tanya Stefan. “Ini kan kerjaan lakinya, kalo dia ga setuju, biar si Arya lah yang ngeyakinin dan jaga perasaannya…. Kita juga ngelakuin hal yang sama entar” balas Stefan.

“Biar Kyoko saja…”
“Kenapa?”
“Rejeki yang dihasilkan tanpa keikhlasan istri itu akan berat dan tidak berkah”

“Kok tumben…”
“Begini” Bagas memotong perkataan Anin.

“Supaya Arya rela merasa tidak enak bertemu dengan Karina, harus Kyoko yang merestui. Kalau Kyoko setuju tanpa ada beban, maka Arya akan merasa ringan bertemu dengan Karina yang suka menyulitkan dia.” Bagas memberikan alasannya.

Damn.

Masuk akal. Kalau aku yang berusaha membuat Kyoko setuju, dan dia menyetujui dengan sulit, berbelit-belit, tidak rela tapi pura-pura ikhlas seperti biasa, tentu akan jadi pikiran buat kami berdua. Pertama aku merasa tidak enak pada Kyoko karena ada hubungan bisnis dengan mantan pacar, yang kedua aku pasti akan merasa tidak nyaman tiap bekerja dengan Karina nanti. Bisa-bisa kepalaku hanya memikirkan perasaan Kyoko yang mangkel tiap kali aku harus bertemu Karina.

Dan satu lagi. Kalau aku memastikan bahwa Kyoko rela tanpa harus kubujuk, pasti Kyoko juga merasa aman. Setahuku dia memang suka menertawakan cerita-ceritaku soal rese-nya Karina di berbagai kejadian.

Cerdas. Kenapa tidak terpikir?

“Hebat lo, giliran ada hal sulit aja, gampang banget ngomongnya…..” senyumku.
“Kalian manusia kalau panik, sulit berpikir..” jawabnya pelan sambil berdiri, dan berjalan dengan sigap ke dalam studio.

Aku, Anin dan Stefan saling bertatapan, sambil menggelengkan kepala. Ajaib. Bagas memang ajaib. Kalau dia jadi Presiden, dijamin, dalam hitungan minggu, Indonesia bisa jadi negara adidaya.

Bagas for President!!

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya om racebannon:beer:


Kalian manusia kalau panik, sulit berpikir..” jawabnya pelan sambil berdiri, dan berjalan dengan sigap ke dalam studio.

Bagas keren...:Peace:

Jangan2 Bagas bukan manusia?:bingung:
 
Tagline gw dr terbit pertama nih... Bagas for President!! Hahahahah
 
Duh udh mo masuk scene yg ga diarepin kyoko sangat sayang utk disakitin....
 
#2019bagaspresident ada2 aja suhu RB ini mah.. Tpi overall keren sih updateannya..
Ditunggu kelanjutan nya suhu RB.. Terimakasih sudah sempetin update.. :ampun:
 
Terakhir diubah:
Dan jauh disana ada Bagas, yang tumben-tumbenan mau datang ke acara seperti ini, sedang melihat ke arah Toni dengan mata nanar. Entah kenapa. Sampai detik ini kami semua tidak tahu apa yang jadi masalahnya. Entah kenapa dia tidak suka kepada sosok Toni.
Buat side story nya bagas dong suhu
 
Ini part yang gw suka.
Hidup Haji Bagas for President
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd