Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Oh ,,,,
begitu toh ceritanya
Lucky Bang Zul,,
:jempol:
 
SEASON 2 – PART 61

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Zul”

Aku diam. Aku tidak tahu sekarang perasaanku seperti apa. Kalau ada sebutannya untuk campuran perasaan antara kaget, bingung sekaligus senang, aku ingin tahu sebutannya apa. Aku melongo, tak mampu tersenyum, dan mataku dengan tololnya menatap ke arah adikku sendiri.

“Zul?” tanyaku dengan nada tolol. Dia mengangguk dengan anggukan yang tegas. Dia melipat tangannya di depan dadanya dan dia menatapku dengan pandangan datar. Bibirnya membentuk garis horizontal sempurna, nafasnya teratur, walaupun masih ada nada-nada kebencian di tiap tarikan nafasnya.

“Sejak?”

Pertanyaanku yang kedua terdengar tidak kalah tololnya.

“Habis lebaran” jawabnya pelan. Secara refleks aku menghitung dengan menggunakan jariku. Aku menatap ke arah langit-langit dengan muka aneh. Senang mendengar bahwa adikmu akan menikah dengan temanmu, tapi sekaligus bingung karena aku sama sekali tidak tahu apapun soal mereka.

“Tapi kok aku selama ini….”
“Gak tau?” tanyanya balik.
“Iya…”
“Aku emang gak ngasih tau siapa-siapa soal kita berdua, ga ada satu orang pun yang tahu, mama gak tau, Mbak Kyoko gak tau… Aku capek selama ini pacaran sana sini, orang pada tau dan end up putus, gak suka aku kayak gitu terus…”

Aku masih melongo.

“Dan…. itu… kayak… Tiga bulan doang terus nikah?”
“Terus?” potong Ai.
“Eh… Ya gapapa juga… tapi… Kamu beneran mantep nikah sama dia?”

“Emang apa yang salah kalo aku pengen sama Zul?”
“Gak ada yang salah, orangnya baik, terus rajin juga, dan bener-bener idealis sama kerjaannya…. Tapi…”
“Tapi apa?”

“Gak tau, mungkin aku kaget dan aku seneng juga, jadi bingung aku harus kayak gimana nanggepinnya…”
“Ya.. Dan aku butuh Mas Arya jadi wali nikahku”
“Pasti mau… Kapan kamu rencananya nikah sama dia?”
“Gak tau, belum ada tanggal pastinya, tapi kayaknya tahun depan…”

Aku mengangguk dan menatapnya dengan tersenyum.

“Mas jangan lupa… aku masih belum bisa liat mas kayak dulu lagi detik ini” lanjutnya dengan tatapan yang tetap datar.
“Aku gak peduli. Aku tetep sayang kamu dan kamu tetep adikku…. Dan aku bakal nikahin kamu sama laki-laki pilihan kamu, apalagi kalo sama Zul”
“Sekarang mas bebas mau cerita sama siapapun, nanti malem aku mau bilang Mama…”
“Iya”

“Aku mau nanyain satu hal….”
“Apa itu?” aku merespon adikku.
“Soal Mas sama Arwen…. Is it over?”

“Udah berakhir, bahkan sebelum dia ada disini waktu kemaren…. Maafin aku, bener-bener aku bikin kamu kecewa, aku paham kok kalo kamu sekarang pun masih belum mau baik-baik aja sama aku”
“Hmm…”

Dia mengangguk dan memainkan jarinya. Dia lantas menarik nafas panjang.

“Tetep aja aku gak bisa maafin Mas Arya…. Bayangin kalo Mbak Kyoko tau… Bisa seancur apa dia….”
“Iya…” aku memijit keningku sendiri sambil bersandar dengan kosong di kursi. Campur aduk sekali perasaanku. “Ngomong-ngomong… Aku penasaran, jangan-jangan kamu gak pulang itu….”

“Iya, aku ke rumah Zul” jawabnya, seakan sudah tahu kesimpulanku.
“Oh..”
“Dia bisa bikin aku nyaman dan bisa bikin aku tenang lagi”
“Berarti dia tau?”
“Tau…”

Kaget tapi tetap bersikap tenang. Zul tahu. Entah kenapa rasanya agak tak nyaman mendengarnya, walaupun aku tahu dia tidak akan cerita ke siapa-siapa dan dia tidak akan menghakimiku.

“Dan dia gak akan mungkin ngomong soal ini ke Mas Arya”
“Paham” aku menarik nafas. Ya, mungkin nanti akan canggung untuk bertemu dengan Zul. Tapi aku akan pura-pura tidak tahu soal ini. Aku akan pura-pura tidak tahu, bahwa aku tahu dari adikku sendiri, kalau Zul tahu soal aku dan Arwen.

Aku mengangguk lagi. Dan aku menatap mata adikku yang terlihat datar itu. Tidak nyaman rasanya.

“Gitu paling… aku mau istirahat dulu….” dia beranjak dan mencoba berjalan ke arah kamarnya.
“Bentar” aku mencoba memanggilnya dan mencoba berjalan ke arahnya, lantas mencoba untuk memegang bahunya.
“Stop” dia menepis tanganku. “Aku masih jijik sama Mas Arya… Aku gak tau kapan bisa liat Mas kayak dulu lagi. Kayaknya gak pernah akan bisa….. Maaf..” dia lantas berlalu dan meninggalkanku di ruang makan sendirian. Aku berjalan, mengambil gelas dan air, lantas minum, sambil menatap ke jendela, menerawang ke arah studioku. Gerakanku sangat minim, aku hanya terpaku disana.

Perasaan yang aneh. Di satu sisi aku senang, senang sekali karena adikku ingin menikah. Dan orangnya Zul. Teman kuliahku yang kukagumi karena keteguhan hatinya bergerak di bidang usaha yang dia sukai. Dia pasti akan mencintai Ai, dia pasti akan melindunginya sebagaimana dia melindungi kecintaannya kepada kopi. Bahkan pasti lebih dari itu. Mengingat rumah Zul menjadi tempat kabur Ai selama konflik denganku.

Tapi di sisi lain, perasaan mengganjal masih menghantuiku. Entah sampai kapan Ai akan membenciku. Mungkin selamanya. Mungkin tidak. Tapi aku tidak ingin berspekulasi. Di saat aku bahagia soal pilihan hidup adikku, jarak antara kami berdua malah semakin jauh. Dan dia pasti akan tinggal di tempat suaminya setelah menikah nanti. Aku membayangkan hari-hari tanpa Ai disini. Pasti akan jauh berbeda. Sekarangpun sudah jauh berbeda. Dia sudah jauh.

Adikku sudah jauh dariku, dan sekarang dia akan menikah. Tanpa sadar aku tersenyum getir. Betapa mahal harga yang dibayar untuk sebuah perselingkuhan. Hanya orang bodoh yang melakukannya. Dan aku bodoh. Bodoh sekali.

Aku orang bodoh, sementara ayahku bukan orang bodoh yang seperti kusangkakan kemarin.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

Kyoko tiduran dengan nyamannya di atas kasur, dia menyingkapkan bajunya sehingga aku bisa menempelkan telingaku di perutnya. Aku menikmati suara detak jantung anak kami berdua. Dia memegang kepalaku dan membelai rambutku. Di dalam perut istriku ada manusia. Manusia buah percintaan aku dan dirinya. Anak yang sudah pasti akan kusayangi dan akan kucintai tanpa syarat.

Kyoko sedang tersenyum dan dia benar-benar senang atas berita tadi. Ai, di depan ibuku dan Kyoko memberitahu bahwa dia memutuskan untuk menikah dengan Zul. Mama dan Kyoko berebutan mencari tanggal untuk pernikahan Ai. Dan akan diputuskan, sementara ini, mereka akan menikah setelah Kyoko melahirkan. Dua bulan setelah melahirkan. Dan umur dua bulan, seharusnya anak kami berdua sudah bisa ada di keramaian.

Pada saat bicara tadi, aku juga akan menyumbang biaya pernikahan Ai, agar dia bisa melangsungkan pernikahan seperti gambarannya. Dia berterimakasih dan tersenyum kepadaku. Walau itu mungkin Cuma akting untuk memperlihatkan bahwa diantara aku dan dirinya tidak ada keretakan, tetap saja senyum adikku itu sangat kurindukan. Dan orang yang membuatnya tidak tersenyum lagi itu adalah aku.

Untungnya, Zul bisa membuatnya tersenyum dan bahagia. Jadi aku rela. Aku malah memikirkan keputusannya untuk menikah adalah keputusan yang baik untuk dirinya.

“Aya senang tidak?” tanya Kyoko.
“Seneng dong, dengerin kayak gini, aku seumur-umur belom pernah dengerin suara jantung bayi dalam perut ibunya” aku mengangkat kepalaku dan mencium perut Kyoko yang mulai maju itu. Aku lantas merayap ke sebelahnya dan membiarkan dia membenarkan baju tidurnya lagi. Aku menarik selimut yang menutupi badan kami berdua.

“Bukan Aya, soal Ai chan”
“Haha… Seneng dong… Lagian gara-gara berita ini, kita semua jadi kesenengan sampe kamu ga excited lagi liat belanjaanku tadi di Ikea” balasku.
“Hahaha, itu juga senang Aya, tapi Ai Chan, lebih senang… Kyoko selama ini memang suka melihat Ai Chan bicara lama sekali dengan Zul, setelah Mitaka ada”
“Tapi gak ada yang tau ya kalo mereka pacaran”
“Tidak ada Aya, Kyoko hanya menganggap mereka dekat seperti Ai dan Stefan dahulu”
“Haha…”

“Stefan sendiri tadi belanja dengan Valentine?” tanya Kyoko.
“Iya”
“Aya melihatnya bagaimana?”
“Liat apa yang gimana?”
“Stefan dan Valentine, bagaimana?” Kyoko tersenyum dan aku tersenyum balik.

“Kayak orang udah kawin lama” jawabku.
“Berarti mungkin Stefan nanti dengan Valentine ya? Padahal selama ini Kyoko pikir Stefan akan dengan Ai Chan….”
“Haha… Iya, mungkin, tapi kamu tau lah sayang, Stefan kayak gimana, dia kalo udah anggep cewek sebagai temen, biasanya udah gak dianggep cewek lagi sama dia, malah dianggap kayak bro gitu…. Ya kayak Ai lah…” jawabku. Mendadak aku memutar kenangan-kenangan Stefan dan Ai di kepalaku. Mereka berdua dulu lucu sekali untuk dilihat, dan dulu aku berharap mereka bersatu.

Kini kenyataannya berbeda. Zul dengan Ai, dan Stefan masih asyik sendiri.

“Pokoknya begini Aya…” Kyoko menengok kepadaku, sambil memegang tanganku di dalam selimut. “Stefan pasti akan mendapatkan kebahagiaan berkeluarga, karena keluarga itu penting…. Nanti juga Stefan pasti menemukan…. Mungkin kalau tidak Valentine, bisa yang lain Aya”
“Amin… Cuman Stefan susah sih, dia orangnya persisten abis….”

“Haha…. Lihat nanti Aya, ada waktunya, Stefan pasti akan lelah dan butuh rumah untuk pulang Aya”
“Aku gak bisa bilang apa-apa lagi selain Amin aja sayang”
“Hehehe”

Senyumnya manis sekali. Aku mencium lembut bibirnya dan lantas mulai mencoba menutup mataku.

“Selamat tidur sayang” bisikku sambil membiarkan dia menggenggam tanganku.
“Selamat tidur Aya, Oyasumi”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Wow” Arka bertepuk tangan setelah aku bercerita panjang lebar ke forum. Di studioku ada Stefan, Anin, Arka dan Jacob. Bagas tidak datang dan pasti tidak mau datang, karena agenda hari ini bukan latihan. Agenda hari ini adalah rapat untuk membahas Jepang. Tadi sebelum Arka dan Jacob datang, anak-anak Hantaman terlebih dahulu membicarakan soal percobaan main di Pontianak, sebelum tur di Kalimantan yang direncanakan diadakan tahun depan.

Toni harusnya datang, tapi biasa, dia pasti telat. Sekarang masih jam empat sore. Dan masih banyak waktu jika dia mau datang.

“Gak nyangka ya” Anin mengangguk sambil membayangkan sesuatu.
“Sama gak nyangkanya kayak ni monyet bisa nikah sama Zee” tawa Stefan.
“Eh tapi kan lo deket banget sama adeknya Arya, kok malah nikahnya sama orang laen sih?” tanya Arka ke Stefan.

“Deket kan sama aja kayak gue deket sama kakaknya, temen ini mah, as a bro, lagian akhir-akhir ini dia lagi ribet banget sama kerjaan, jadi jarang nongkrong bareng lagi gue sama dia……” lanjut si pendeta dewa kontol ini.

“Banyak cowok patah hati pasti” sela Jacob.
“Elo salah satunya?” candaku.
“Mungkin haha… Anak-anak Pierre T tuh yang pasti, terus siapa lagi ya…..”
“Toni” bisik Arka.

“Ya dia mah keliatan banget pengen deket sama adek gue” senyumku dengan konyol.
“Tapi keren-keren… Sekarang lagi jaman kayaknya kalo udah ada bau-bau sreg langsung ngajak nikah” Arka Nadiem mengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap Anin. Ya, Anin adalah salah satu orang yang seperti itu. Langsung sreg, langsung ngajak nikah tanpa banyak pembicaraan yang tak perlu. Efektif.

“Jangan kayak berapa taun terus jadinya malah jadi musuh?” ledek Stefan. Aku tahu dia pasti merujuk ke aku dan Karina.
“Ah, sama Kyoko juga gue pacarannya lama, dua taun kan?” aku menjulurkan lidahku ke Stefan. Dia tampaknya gemas ingin mencari gunting lantas merobek lidahku yang menjulur.

“Tinggal Stefan nih….” senyum Anin dengan penuh kemenangan.
“Lo ngomong begitu seakan-akan kagak kenal gue Nin” dia menatap sinis ke arah Anin.
“Iya kan, tinggal elo, Gue udah, Arya udah, Bagas malah duluan, terus sekarang malah Ai… Abis semua….”

“Eh kita bedua jangan ga diitung dong?” Jacob mengangkat tangannya.
“Mungkin maksudnya Hantaman plus keluarga gue aja kali” aku menekuk jidatku, karena sebenarnya Anin seperti tidak melihat kenyataan bahwa Arka belum menikah walau dia tidak single, Jacob masih jomblo-jomblo aja, Toni tidak tahu, bahkan Kang Wira pun masih asik menjomblo di usianya yang lebih tua daripada kami kalau di rata-ratakan.

“Aneh emang si monyet satu ini, mikirnya gimana sih elo, mabok robot kali yak” ledek Stefan.
“Justru gue udah lama ga beli apa-apa Fan sejak tau kita mau ke Jepang lagi” senyumnya penuh kemenangan.
“Plis terangin ke gue artinya apa kalimat lu tadi” sinis Stefan.

“Artinya gue ga beli apa-apa karena nabung, biar belanjanya di Jepang aja” tawanya.
“Taik”

“Ini by the way dari tadi abis ngomongin adek gue terus jadi ga bahas-bahas lagi ya soal jadwal manggung kita berdua….” aku tertawa, meregangkan tanganku dan mengambil minuman yang ada di depanku. Kebanyakan bicara buat kita jadi haus.

“Nah itu, kita harus ngasih jadwal cepet-cepet ke mereka, supaya mereka bisa langsung ngeset dan booking tempat-tempat… Dibagi tiga time framenya, dan itu kita dikasih kebanyakan manggung di Tokyo semua…. Yokohama sama Chiba paling satu tempat…” Anin melanjutkan topik yang tadi terpotong karena informasi kabar bahagia dari Ai.

“Ah, gue main dua kali, bisa mati gue, gimana ya…. Mepet.. Bisa berapa lama kita disana? Sebulan lagi? Jangan lah, kasian bini gue ditinggal kelamaan sama gue…. Tar anaknya ga apal sama bapaknya” sanggahku, membayangkan jadwal yang mengerikan karena aku harus main bersama Hantaman dan Quartetku sekaligus.

“Jadwalnya ntar si Toni bisa ngikutin gak ya?” tanya Jacob. “Dia kan parah banget manajemen waktunya”
“Bisa lah… Dia emang suka telat, tapi kan ntar di Jepang kita semua kemana-mana bareng, dan dia gak harus pulang pergi ke rumah” senyum Arka.
“Iya sih, tapi gue khawatir aja” Jacob menggaruk-garuk kepalanya.
“Gak bakal, dia bareng kita terus, santai lah men”

“Iya… Gak khawatir gue masalah Toni”
“Sebelom lu mikirin Toni, mending kita mulai corat coret kertas ini” Stefan menunjuk ke kertas kalender yang ada di tengah meja.
“Kita mulai dari mana terserah” sambung Arka.

“Gue deh yang mulai. Misal hari ini kita sampe, gue propose besoknya kita mulai dengan Hantaman, terus besok istirahat sehari, terus Quartet gue, terus istirahat sehari, terus Hantaman lagi, gimana?” aku memulai kegiatan yang tidak beres-beres ini.
“Jangan terlalu lama jedanya, kalo selang sehari, terus lo main sama Quartet lo, terus besoknya langsung Hantaman kan managable juga?” Anin mengemukakan pendapatnya.
“Terus gue sampe Indonesia almarhum ya? Sadisss” aku membayangkan pegalnya bermain gitar terus-terusan di dalam tur yang intens, bisa-bisa aku nanti tumbang.

“Hmm…” Stefan tampak berpikir. Arka juga berpikir. Jacob sedang putar otak. Anin mulai membakar rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
“Ah, bahkan kita aja ga tau bakal berapa kali main dimana, ini si Kairi ngejailin kita ya suruh atur sendiri terus propose ke dia tanggalnya……” kesalku.

“Kalo Quartet elo Cuma main dikit aja gapapa gak?” tanya Anin.
“Gapapa sih kalo gue, tapi terserah bos nya” Arka menunjuk ke arahku.
“Bas Bos Bas Bos… Ga tau, pusing, mendingan balikin ke Kairi deh, dia yang plot, dia kan orang label, pasti jago bikin jadwal” balasku.
“Kita juga orang label..” kesal Anin.

“Gimana kalo kasihin Bagas?” Stefan mendadak bersuara.
“Jangan, kesannya kita kayak make dia dan butuh pendapat dia kalo Cuma buat hal-hal sulit aja” jawab sepupunya, Anin.
“Tapi gimana, itu kan fungsi dia dalam kehidupan kita?” aku menjawab pernyataan Anin sambil memainkan handphoneku.

“Apa nunggu Toni?” potong Jacob.
“Orang suka telat lo suruh bikin jadwal? Itu sama aja kayak nyuruh orang bisu nyanyi di istana negara, begok” kesal Arka.

“Apa gimana dong, terserah, kita ber lima disini kayak orang super bego banget, bikin ginian aja susah…”
“Lah gimana, kan yang bikin susah elo Ya?” komplain Stefan.
“Ah gimana kok gue yang dibilang bikin susah?”
“Ya abis… Elo yang bilang ga mau lama-lama di Jepang, tapi giliran disuruh madetin jadwal manggung, ga mau, gimane sih elo…” Stefan menatapku dengan tatapan aneh dan dia memainkan rokok mati di tangannya. Eh bukan rokok mati, puntung itu.

“Pusing” jawabku sambil mengurut kepalaku.

“Kalo pusing gue tau obatnya” senyum Stefan.
“Paan?”
“Minum”
“Mana bisa mikir abis minum, ada-ada aja lo”

“Eh, inspirasi suka dateng abis mabok tau gak?” tawanya.
“Makanya lo rajin bikin lirik ya?” aku bertanya balik padanya.

“Udah, we call it a day, terus kita ke tempatnya Cheryl, minum, gue mabok, lo anterin gue balik, terus besok dapet inspirasi, bilang Toni, ga usah dateng aja, kita batalin rapat nya!!!” teriak Stefan dengan antusias. Dan aku cuma bisa pusing membayangkan Stefan mabuk.

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

“Mnnn”
“Sabar ya pak, bentar lagi sampe rumah” aku tersenyum sambil menyetir mobil Stefan di jalan menuju rumahnya. Bukan, bukan rumah yang di Cempaka Putih, tapi yang di Pondok Labu. Rumah mungil di tengah kompleks townhouse itu, yang baru saja dibeli oleh Stefan. Akhirnya setelah sekian lama, dia tinggal sendirian. Biasanya selama ini ada Mang Ujang yang selalu mendampinginya. Sekarang sendirian.

Aku mengambil handphoneku dan mulai mencari nomor yang akan kutelpon. Jangan ditiru. Jangan sekali-sekali meniru orang yang menyetir sambil menelpon.

“Halo sayang”
“Malam Aya”
“Udah mau tidur?”
“Sebentar lagi… Masih tunggu Aya….”
“Iya, ini lagi nganterin si Stefan, biasa mabok, aku taro di rumahnya, ntar aku pulang pake gojek aja….”
“Iya Aya, nanti Kyoko tunggu….. hati-hati ya, di jalan”
“Iya… Dah..” aku mengucapkan salam perpisahan ke istriku.
“Malam Aya”

Aku menaruh handphoneku di dashboard dan melanjutkan menyetir. Sesekali aku melirik ke arah Stefan yang tumbang di kursi penumpang. Rambut panjangnya awut-awutan dan dia terlihat begitu konyol. Orang mabuk memang konyol, tak perlu di deskripsikan lagi. Siapapun yang mabuk selalu konyol, bahkan bukan hanya mabuk minuman, mabuk di perjalanan juga pasti terlihat konyol.

“Bis nelpon siapa nyet” mendadak dia menanyakan hal yang harusnya dia sudah tahu dari kata-kata dan kalimatku.
“Bini” senyumku tanpa melihat ke sebelah. Fokus saja ke jalanan yang sepi ini, fokus mengantarkan paket sialan ini ke rumahnya.

“Oh gue juga bisa” mendadak dia membuka telponnya, lalu memasukkan nama dan telpon pun membunyikan nada sambung. Geblek. Speakerphone. Nelpon siapa sih anak.

“Halo Fan?” suara lemah perempuan terdengar di speakerphone. Aku hapal suara itu. Valentine.
“Gue ditinggal kawin sama temen gue lagi hahahahahhaa” tawanya panjang.
“Siapa? Gue udah mau tidur ini, ganggu aja sih malem malem….”
“Adeknya si Arya”
“Oh yang lucu itu ya?”
“Ho oh….”

“Ditinggal kawin bete apa gimana? Apa cemburu?” tanya Valentine bermain-main.
“Ga cemburu lah begok… cuma semua orang kawin aja dan gue enggak hahahahahahaha…..”

“Halo Valentine” aku menyapa.
“Eh Arya? Lagi dimana kalian?”
“Gue lagi nyetir, si Stefan lagi mabok, jangan lo tanggepin serius kalo ntar dia ngomong ngaco” lanjutku.
“Ahaha… Biasa kok, dia kalo lagi gak jelas kayak gini suka nelpon gue gak puguh, gue ladenin aja sampe dia rada sadar…” jawab Valentine.

“Oh bagus dong… Kawinin Fan si Valentine, kayaknya cocok buat jadi bini lo” candaku.
“Sembarangan…. ngentot…” balas Stefan dengan nada tolol.
“Kasar si Anjing”
“Sendirinya… mmmhhh…”

“Ahahahahhahahahahahahhaa” tawa Valentine terdengar renyah di ujung sana.
“Napain ketawa??” tanya Stefan kesal sambil mengambil handphonenya yang dia taruh di dashboard dari tadi.

“Kalian kayak lagi ML… Kayak lagi homoan…” tawanya.
“Dih” aku bergidik sambil tetap menyetir.

“Nnn.. ******…”
“Hahaha suara ngerang-ngerangnya kayak lagi diapa-apain sama elo Ya”
“Bangke!!”
“Nah itu pas lagi ditusuk dari belakang tuh teriak kayak gitu!” suara Valentine terdengar excited.

“SUNDAL AWAS GUE PERKOSA LO KALO KETEMU!!!” teriak Stefan dengan lemah sambil berusaha mengambil handphonenya dan ingin membantingnya.

“Woi woi woi” aku mengambil Handphonenya dan lantas mematikan speaker phone nya. Aku mengambil alih pembicaraan dengan Valentine. “Kacau ya tu anak” aku memulai pembicaraan.
“Banget”
“Kalo lagi mabok ya gitu…”
“Bukan, dia paling kacau kalau ada temen atau kenalannya kawin, ya gak sih? Suka gitu gak sih kalo dulu, dia tadi sih curhat kesel-kesel gitu ke gue pas dia baru denger kalo adek lo mau kawin” balasnya panjang.
“Emang sih… Pas gue sama Anin mau kawin abis dia bete nya”

“Yah…. Susah ya, kalo mind set nya kayak gitu”
“Kalo dia mau kawin, tapi cuma maunya sama elo, gimana?” aku bertanya ke Valentine.
“Apaan sih ahahhaha” balas perempuan cantik itu di ujung sana.
“Kagak, iseng aja”
“Boleh gak jawab gak sih?”
“Gak boleh, harus jawab, ntar kalo ga jawab, gue turunin Stefan di Simatupang” candaku.

“Turunin aja, biar besok kaget, bangun di trotoar”
“Dia pernah tau pas di Jepang, lagi musim dingin, mabok terus tepar sendirian di taman….”
“Iya dia pernah ceritaaa… Haha, itu pas lagi stress di kejar cewek psycho ya?” tanya Valentine.
“Ho oh”

“Ah, untung dia udah kurang-kurangin banget sleeping around nya di luaran sana” lanjut sang pemain cello ini.
“Oh ya?” aku agak kaget, wajar, karena aku tidak pernah melihat dia hunting dan genit kepada perempuan lagi.

“Iya, bagus lah, kasian, orang umur segitu butuh settle gak sih?”
“Setuju” aku senada dengan Valentine.

“ARYA JANGAN MODUSSSSS JANGAN KAYAK ARWENNNNN!!!!” teriaknya keras sambil berguling aneh di kursi penumpang.

“Ngomong apa si Stefan tuh?” tanya Valentine.
“Gak tau, diemin aja, eh udah dulu ya, biar lo istirahat dan gue lancar lagi nyetirnya”
“Ok Arya…”
“Bye”
“Bye, salam buat Stefan ya, bilang ke dia, cepetan kawin…”
“Oke, sama elo ya”
“Byeee” lalu Valentine mengakhiri telponnya.

“Tai jangan keras-keras teriaknya” kesalku sambil melempar Handphonenya ke arahnya. Dia tidak menangkapnya dan membiarkan handphone itu jatuh ke lantai mobil.
“Biarin. Modusin lagi aja Ya si Valentine… Nakalin lagi, tidurin aja… Rela kok”

“Rela kok? Berarti ada gak relanya ya?”
“TAIK!!!”
“Apa sihhh”

“TA… IKKK…”

Ah sudahlah, aku menggelengkan kepalaku dan fokus mengantarnya saja. Aku tersenyum dan melihat ke arah Stefan.

“Santai om, udah sampe depan gerbang…” aku menepuk badannya, memberitahu kondisi terbaru perjalanan kami berdua.

“WOI BANGSAT!!!!! JANGAN PEGANG PEGANG PANTAT GUE SIALAN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Hahaha...

Kayaknya valentine n stefan mabok trus ngewe dan jadi bunting,, fix Stefan nikah ma valentine tapi cerai....
 
Lama2 arya n stepan jadi pasangan homo hahahahahahahaaaa
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd