Pagi suhu2 semua, eike update dulu ya
Happy reading
Part 2
Dalam 10 menit kami sudah siap menunggu kedatangan mang Iyus. Bi Linda mengenakan kebaya encim tipis berwarna pink, dengan kain panjang putih bercorak merah. Karena tembus pandang, aku dapat melihat tali behanya yang tipis berwarna putih. Buah dadanya yang montok nampak menggumpal menantang di dadanya. Mendadak suasana begitu kaku. Aku mencoba beberapa kali bersikap santai dan mengajak bercakap-cakap. Namun, bi Linda seakan tak ingin memberi angin padaku. Setelah senyap beberapa menit, terdengar ia berkata. "Rafi, bibi merasa apa yang baru saja kita lakukan itu ngga bener.." "Tapi bibi suka kan..?" Tanyaku membela diri.
"Sebaiknya kita anggap itu kesalahan terbesar yang pernah kita lakukan, dan lupakan. Yang penting, jangan ulangi lagi " Aku terdiam. Bi Linda juga.
( "Kata-kata itu terdengar getir di kupingku. Maafkan bibi Rafi, Bibi tak mampu menjawab pertanyaanmu. Kamu tau bibi suka. Kamu tau bibi ingin melakukan lagi. Tapi, rasa setia pada pamanmu mengalahkan segala-galanya" )
Kebisuan kembali menyelimuti kami berdua. Ruangan asri rumah bi Linda itu terasa semakin luas dan mencekam dengan kesunyian itu. Suara jangkrik dan kodok sawah terdengar saut menyaut. Sesekali terdengar suara angkutan pedesaan melewati jalan raya. Juga suara delman dan motor melintas. Ahh, desa yang tenang dan damai. Tempat yang sangat sempurna untuk berlibur dan bermalas-malasan. Tapi tidak dengan kebisuan seperti ini. Aku menguap seraya melihat arloji. Sudah 20 menit lebih kami tak berkata-kata. Dan mang Iyus belum juga datang. Isterinya sudah terlihat gelisah sambil terus-terusan memandang jam dinding. "Ngga biasanya mang Iyus begini.." suaranya terdengar lirih.
KRIIIIIING… Kami berdua terlonjak karena kaget. Telepon sialan, makiku dalam hati.
( "Telepon keparat !!" )
Bi Linda bergegas mengangkatnya. Tampaknya mang Iyus lagi yang menelepon. Mereka terlibat pembicaraan sejenak.
"Lo bapak ini gimana sih ? Kita kan udah siap dari tadi.. " Terdengar suara bi Linda meninggi.
"Iyaa saya ngerti.. tapi apa segitu mendesaknya sampai bapak musti batalin janji makan malam dan nginep disana ??" O..oo.. naga-naganya aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
"Apa ?? Cuma gara-gara ibunya pusing-pusing bapak harus nganter ke dokter ?? Apa perempuan itu ngga bisa anter sendiri ?? Dengar Pak, saya juga punya hak sebagai isteri pertama. Hari ini semestinya adalah hak saya. Bilang sama perempuan itu, kalau mau jadi isteri kedua harus berani tanggung konsekuensi.. kalau bukan harinya, jangan minta-minta antar ke dokter !!!" BRAAAAK !!! Bi Linda membanting gagang telepon seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menutup muka dengan kedua tangannya.
( "Suami egois !! Tak adil !! Aku benar-benar merasa seperti keranjang sampah. Sesak di dadaku semakin menggunung dan menggunung, lalu mendesak keluar. Air mataku mulai mengalir. Tiba-tiba aku terkesiap. Belum pernah aku membentak-bentak suamiku sebelumnya. Belum pernah aku mengahiri pertengkaran dengan bantingan telepon. Belum pernah aku seberani ini. Lalu, bayang-bayang pergumulanku dengan Rafi melintas. Karena itukah aku jadi berani ?" )
Aku memberanikan diri melirik ke arah bi Linda . Perempuan itu tengah duduk sambil menutup muka di sofa. Shit ! Kenapa liburanku harus diwarnai hal-hal seperti ini ?? Kenapa pula aku memilih tempat ini sebagai tempat berliburku ?? Aku menghela nafas. Ingin rasanya aku mendekati wanita yang tengah bersedih itu dan menghiburnya. Tapi saat itu, aku benar-benar tak tau harus berbuat apa.
KRIIIIIIING.. Setan !! Sekali lagi ia mengejutkanku, akan kulempar ke tong sampah. Telepon itu berdering berkali-kali namun bi Linda tak juga beranjak mengangkatnya.
"Bibi ingin saya yang mengangkatnya ?" Aku menawarkan diri. Bi Linda mengangkat mukanya. Matanya merah dan basah oleh air mata. Ia tersenyum kecil, dan menggeleng. "Ngga usah Fi.. kamu baik sekali.. biar bibi yang angkat.." Kasihan benar bibiku yang cantik ini. Andai aku dapat menghiburmu. Telepon itu ternyata dari mang Iyus lagi. Mereka lagi-lagi terlibat pertengkaran soal hak isteri pertama dan kedua. Bi Linda juga tanpa tedeng aling-aling menuduh mang Iyus telah melalaikan kewajibannya untuk memenuhi haknya sebagai isteri pertama. Aku membuka pintu depan dan duduk di teras agar tidak mendengarkan pertengkaran itu. Tapi sia-sia, karena di daerah yang sepi seperti Cilimus, orang bisa mendengar suara lebih dari 50 meter. Aku memenuhi paru-paruku dengan udara malam yang segar. Aaaahhh.. aku tersenyum sendiri mengingat pengalamannya hari ini. Adakah kesempatan seperti itu akan terulang lagi ?
"Saya ngga peduli. Bapak ngga pulang selama sebulan juga saya ngga peduli. Sekarang saya akan kunci rumah, dan pergi tidur. Saya ngga mau liat mukamu malam ini !!" BRAAAKK !! Lagi-lagi bi Linda mengakhiri pembicaraannya dengan acara banting telepon. Diam-diam aku kagum pada bibiku ini. Sehari-hari ia tampak begitu lincah dan ramah. Bertolak belakang dengan apa yang baru saja kuliat. Ia bagai seekor singa betina yang mengaum menggetarkan sukma. Aku menghela nafas, lalu masuk kembali dan mengunci pintu. Terlihat bi Linda masih terduduk di sofa besar dekat meja telepon. Ia kini bersandar sambil menutupi matanya dengan tangan kanan. Tangan kirinya memegang tisu yang sesekali digunakan untuk menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya. Dengan hati-hati aku duduk di sampingnya. Walau sempat ragu, kujulurkan tanganku memeluk pundaknya. "Mau berbagi cerita dengan saya bi..? Mudah-mudahan bisa mengurangi beban bibi." Bisikku dengan lembut. Tiba-tiba isteri pamanku ini menjatuhkan kepalanya ke dadaku dan menangis tersenguk-senguk.
"Bibi sangat setia pada pamanmu Fi.. bibi banyak berkorban untuknya.. tapi kenapa sekarang bibi disia-siakan…" Lalu ia menceritakan bagaimana ia membantu mang Iyus membangun usahanya. Ia juga bercerita bahwa tanah rumah ini adalah pemberian orang tua bi Linda . Ia juga bercerita suatu ketika mang Iyus ditipu orang sehingga harus menjual sebagian hartanya. Bi Linda menjual seluruh perhiasannya untuk menolong suaminya itu. Dan begitu banyak cerita lainnya yang menyimpulkan betapa tegarnya perempuan ini. Ia pun tetap tegar ketika harus menerima kenyataan untuk dimadu. Kami terdiam beberapa saat. Tangan kananku memeluk pundaknya dan tangan kiriku membelai lembut rambutnya. Tangan kanan bi Linda memeluk leherku sementara kepalanya masih terus bersandar di dadaku.
( "Pemuda ini sungguh penuh perhatian. Kelembutannya melebihi lelaki manapun yang pernah kukenal. Hanya beberap menit, dan ia sanggup mengurangi kesal di hatiku." Perempuan itu mendongak memandang wajah keponakannya. "Rafi, sorot matamu sungguh sejuk. Bibi benar-benar merasa aman di dalam pelukanmu." Harum nafas pemuda itu terasa begitu dekat dengan bibirnya. Tiba-tiba Linda merasa sangat sayang padanya. Ia seakan telah mengenal lelaki itu sangat lama )