Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG FEBRUARY SUCKS (SEQUEL)

Nice4

Semprot Lover
Daftar
27 Aug 2023
Post
252
Like diterima
5.356
Bimabet
FEBRUARY SUCKS (SEQUEL)


PRAKATA:

Cerita ini sangat menggebrak di dunia cerita dewasa dan sangat menarik banyak perhatian pembaca dan penulis. Cerita berjudul “February Suck” ini ternyata tidak semua pembaca puas dengan akhir ceritanya. Melihat animo yang tinggi, banyak penulis, baik pro maupun abal-abal, yang turut meramaikan dengan membuat sequel versi mereka sendiri. Kini, puluhan sequel "February Suck" bertebaran di dunia maya, masing-masing dengan pandangan dan cerita yang unik. Sebagai penulis abal-abal yang tertarik untuk ikut meramaikan dengan membuat sequel cerita ini, author mencoba untuk menyajikan cerita ini dengan versi author, dan semoga sequel "February Suck" versi author ini dapat memberikan hiburan tambahan untuk suhu-suhu sekalian.

Cerita ini dibuat semata-mata untuk menjadi hiburan selingan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kejenuhan author dalam melanjutkan cerita yang sedang tayang.

Author juga ingin mengajak suhu-suhu untuk membudayakan memberi komentar yang beretika dan sopan, meskipun hanya dua atau tiga patah kata saja. Komentar dari pembaca adalah sumber motivasi utama bagi author untuk terus berkarya.

Chapter 1 adalah terjemahan dari teks aslinya. Author mohon maaf apabila ada kata-kata yang terasa kaku karena keterbatasan pengetahuan author, yang penting maksud dan makna cerita tersampaikan.

Cerita ini hanya terdiri atas lima chapter saja, dan akan diupdate setiap Hari Sabtu (seminggu sekali).
#######​



INDEKS:

CHAPTER 1 THE ORIGINAL STORY

CHAPTER 2 BERKAH TAK TERDUGA
CHAPTER 3 JEBAKAN



#######


CHAPTER 1
THE ORIGINAL STORY


Hal ini selalu terjadi. Februari terus saja menyebalkan, dan Februari tahun ini justru terasa lebih menyebalkan dari tahun-tahun sebelumnya. Bulan Februari tahun ini dimulai dengan cuaca yang sangat buruk. Selama dua minggu pertama, langit dipenuhi awan kelabu sehingga matahari sama sekali tidak terlihat. Suhu pun rendah, berada di bawah 10 derajat Celsius, dan kadang-kadang turun salju sebanyak satu atau dua inci. Meskipun cuaca buruk, banyak orang menantikan Hari Valentine. Mereka menganggapnya sebagai hari kebahagiaan di tengah-tengah bulan yang suram. Tahun ini, Hari Valentine jatuh pada hari Kamis. Hal tersebut membuat banyak orang memutuskan untuk mengambil cuti pada hari berikutnya, Jumat. Jadi, akan begitu banyak orang yang tidak pergi bekerja pada hari itu. Kondisi ini membuat penulis editorial menyarankan agar seluruh kota ditutup pada tanggal 15 Februari.

Aku dan Linda mempunyai rencana besar untuk merayakan Hari Valentine, sama seperti kebanyakan orang. Namun, pagi ini, kami terbangun dengan cuaca sangat buruk karena salju datang dengan tinggi dua inci. Salju terus turun dengan cepat. Pada sore harinya, saat kami seharusnya bersiap-siap untuk malam spesial kami, seluruh kota ternyata ditutup karena salju. Artinya, tidak ada kegiatan atau perjalanan yang diperbolehkan. Akhirnya rencana untuk makan malam dan dansa di pusat kota harus dibatalkan, aku dan Linda memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Malam Valentine yang semula diharapkan menjadi momen istimewa berubah menjadi acara makan pizza dan menonton film "Frozen" bersama kedua anak kami, Emma (6 tahun) dan Tommy (4 tahun). Setelah malam sedikit larut, Linda menidurkan Emma dan Tommy di kamar tidur mereka, meskipun mereka memprotes bahwa besok tidak ada sekolah.

Setelah anak-anak tertidur, aku menghela nafas sambil menyerahkan segelas anggur kepada Linda. "Maaf, Linda," kataku. "Ini tidak seharusnya terjadi."

"Jim, tidak perlu merasa bersalah. Ini bukan salahmu, dan sejujurnya, aku sangat menantikan apa yang telah kamu rencanakan untuk kita. Terlepas dari segala sesuatu, aku merasa senang dengan antisipasi terhadap rencana yang kamu susun. Bahkan, aku mendapat gaun pesta baru yang cantik berkat usaha dan perhatianmu. Terima kasih, sayang, untuk segala usaha dan kejutan yang telah kamu berikan." Ucap Linda penuh kasih sayang.

Linda, istriku, memiliki selera gaya yang sungguh unik dan istimewa. Keistimewaan ini tercermin dari kemampuannya membuat pakaian sendiri dengan penuh kreativitas. Meskipun mungkin tidak diungkapkan secara langsung, namun bagi Linda, penampilannya bukanlah sekadar mencari tampilan cantik yang klasik. Sebaliknya, dia lebih menuju pada ekspresi diri yang autentik dan memikat. Bahkan ketika sedang berdandan, Linda selalu terlihat menarik tanpa harus berdandan secara berlebihan. Kecantikannya bukanlah sekadar fisik, melainkan bagaimana dia mampu menciptakan gaya yang mencerminkan jati dirinya dengan begitu alami dan memukau.

“Ketika aku mengenang pertemuan kita yang pertama, aku tak bisa tidak terpesona oleh kecantikan dan kepribadian unikmu. Bahkan hingga sekarang, berlian yang kuletakkan di jarimu hampir sepuluh tahun yang lalu masih bersinar dengan cahaya yang sama indahnya. Hari ini, aku ingin mengucapkan cintaku padamu. Kita telah bersama dalam suka dan duka, merayakan kehidupan yang kita bangun bersama. Meskipun beberapa hari terakhir mungkin penuh kegelisahan, kita selalu bersyukur memiliki satu sama lain, anak-anak kita, rumah tangga kita, dan keyakinan akan kebahagiaan yang ada di masa depan. Aku mencintaimu lebih dari kata-kata dapat ungkapkan.” Kataku sambil merangkul tubuhnya yang hangat.

“Terima kasih atas kata-kata indahmu yang membuat hatiku hangat. Pertemuan kita yang pertama memang memiliki kenangan yang istimewa bagiku, dan berlian itu selalu mengingatkanku akan perjalanan panjang kita bersama. Aku sangat beruntung memiliki seorang suami seperti kamu. Aku juga mencintaimu lebih dari yang bisa aku ungkapkan.” Ungkap Linda membuat hatiku sangat hangat.

Kencan pertama kami menjadi kenangan yang tak terlupakan, seolah-olah menjadi lelucon di antara kami berdua. Pertemuan kami terjadi di perguruan tinggi, waktu di mana keuangan keluargaku sedang sulit. Orang tuaku harus menghentikan tunjangan mereka untuk membayar tagihan kesehatan ayahku, dan aku enggan mengambil pinjaman. Jadi, uang yang bisa kumiliki sangatlah terbatas. Meskipun kondisi keuangan Lindaku sedikit lebih baik, aku menolak tawarannya untuk mentraktir atau pergi ke Belanda. Aku memilih menabung untuk membawanya ke tempat yang istimewa.

Linda membuatku sadar bahwa yang terpenting adalah menghabiskan waktu bersama dan saling mengenal satu sama lain, dan kita bisa melakukannya dengan mudah di Wendy's. Meskipun kami mengalami perubahan dalam hidup kami dan berhasil naik kelas, kami masih sering mengunjungi Wendy's sebagai kenangan indah masa lalu kami. Wendy's bagi kami bukan hanya tempat makan, tetapi menjadi simbol perjalanan cinta kami yang dimulai dari keadaan sederhana namun penuh makna.

“Cinta memberi kita kekuatan dan dukungan untuk menghadapi segala tantangan. Bersama-sama, kita telah membuktikan bahwa cinta tidak hanya membuat kita lebih kuat, tetapi juga membimbing kita melalui setiap kesulitan.” Kataku lalu mencium pipinya.

“Ada kalanya hidup terasa sulit, dan aku ingin berbagi denganmu bahwa cinta benar-benar memiliki peran besar dalam melewati semua itu. Aku sendiri pernah merasakan kehilangan yang sulit, ketika pacar SMA-ku mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis pada malam Hari Valentine beberapa tahun yang lalu. Pengalaman itu membuatku mengerti betapa pentingnya memiliki cinta di sekitar kita. Bersyukur sekali memilikimu sebagai pasangan hidup yang selalu memberikan dukungan dan cinta yang tak terhingga.” Katanya sembari merangkul dan merebahkan kepalanya di bahuku.

Linda dan aku, kami berdua, sudah melewati banyak lika-liku dan perjalanan yang sulit dalam hubungan kami. Meski begitu, kekuatan kami berasal dari tekad untuk tetap kuat bersama. Kami dengan yakin menyatakan bahwa kami mampu melewati segala masa sulit yang telah dan akan datang. Pada Hari Valentine, kami saling menuangkan perasaan dengan mengucapkan "Selamat Hari Valentine." Kata-kata itu tidak hanya menjadi simbol cinta, tetapi juga kebersamaan yang telah kami bina bersama-sama.

Setelah momen yang penuh perasaan itu, kami memutuskan untuk merayakan Hari Valentine dengan cara yang lebih intim di kamar tidur. Di sana, dalam kehangatan dan kebersamaan, kami merayakan hubungan yang telah kami bangun dengan kasih sayang dan dedikasi. Momen indah di kamar tidur menjadi perwujudan dari cinta yang terus berkembang di antara kami berdua.

********

Kami akhirnya mendapatkan tiga hari akhir pekan yang seharusnya tidak kami miliki, semua berkat salju yang turun lebih banyak dari yang diperkirakan, sekitar delapan inci. Meskipun semuanya tertutup karena salju, untungnya, hampir tidak ada yang kehilangan listrik. Ini sangat membantu karena listrik sangat penting, terutama saat cuaca buruk seperti ini. Banyak orang di sekitar sini memiliki mobil salju, jadi meskipun cuaca ekstrim, mereka masih bisa bergerak. Ini memberikan kemudahan terutama bagi mereka yang benar-benar harus pergi ke suatu tempat, sehingga tidak terlalu sulit bagi orang-orang di sekitar sini.

Anak-anak kami sangat gembira. Sejak ayah dan ibu mereka berada di rumah sepanjang hari, mereka bisa bermain di salju, menikmati pizza, menonton film, dan yang terbaik, tidak ada sekolah. Linda dan aku pun ikut senang dengan situasi ini. Kami bisa menikmati waktu bersama tanpa ada tekanan, membuat momen keluarga kami menjadi lebih istimewa. Tak perlu khawatir soal makanan karena Linda selalu memastikan kami punya cukup persediaan makanan terlebih dahulu, sehingga semuanya bisa tenang.

Emma dan Tommy terlalu lelah sehingga tidur mereka nyenyak, memberi kesempatan kepadaku dan Linda untuk menikmati kegiatan yang kami sukai. Meskipun akhir pekan hampir sempurna, satu-satunya keluhan kecil adalah bahwa meski kami punya banyak film, anak-anak memilih menonton film yang sama berulang kali, yaitu "Frozen." Sebuah pilihan yang cukup lucu. Selain itu, aku berharap Linda mau dibelikan gaun baru, tapi sayangnya, dia tidak tertarik. Itu menjadi satu-satunya hal kecil yang kurang baik selama akhir pekan ini.

“Sayang, aku sempat berpikir, bagaimana kalau kita mengisi akhir pekan ini dengan sesuatu yang spesial? Aku ingin membelikanmu gaun baru yang cantik.” Kataku saat kami berkumpul di ruang keluarga.

“Oh, Jim, terima kasih, tapi sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan gaun baru.” Jawab Linda cukup mengejutkanku.

“Benarkah? Tapi, ini bisa menjadi cara menyenangkan untuk memeriahkan akhir pekan kita.” Aku coba memaksa.

“Aku tahu kamu berusaha memberikan kejutan yang menyenangkan, tapi aku merasa nyaman dengan apa yang sudah ada. Gaun baru mungkin bukan prioritasku saat ini.” Jawabnya lagi dan aku pasrah.

Minggu malam ini menjadi pengingat bahwa hari-hari santai berakhir dan tanggung jawab seperti sekolah dan pekerjaan akan kembali. Besok mungkin bukan hari yang paling menyenangkan, terutama bagi anak-anak dan beberapa orang dewasa. Ketika waktu tidur anak-anak tiba, Linda hendak membimbing Emma dan Tommy ke kamar mereka. Namun, Emma menahan tangan ibunya sebagai tanda keinginan untuk berbicara atau berbagi sesuatu.

"Ibu … Ayah … Akhir pekan ini adalah yang terbaik yang pernah ada! Aku merasa begitu bahagia bisa bermain dan menonton film bersama kalian. Terima kasih, Ibu, Ayah, karena sudah bersama-sama dengan kami selama tiga hari berturut-turut. Kami berdua merasa begitu bahagia bisa bersama-sama. Kami cinta kalian!" Kata Emma dengan kepolosannya.

Tiba-tiba, Emma melompat ke pangkuanku dengan penuh semangat, sedangkan Tommy bersama ibunya. Mereka memberikan pelukan hangat yang penuh cinta, sambil dengan tulus menyatakan betapa mereka mencintai kami sebagai orang tua mereka. Pelukan anak-anak itu manis dan penuh kasih sayang. Setelahnya, mereka bertukar tempat dan memberikan pelukan lagi, memperlihatkan rasa kasih sayang yang tulus di antara keluarga kami. Dalam momen yang penuh emosi itu, aku pun ikut menyatakan cintaku kepada mereka. Aku mengungkapkan kebahagiaanku karena memiliki mereka sebagai anak-anak terbaik.

Linda membimbing Emma dan Tommy ke kamar mereka, dan tidak lama kemudian, dia kembali dengan senyuman penuh makna. Aku terpaku pada langkahnya yang anggun, sementara tatapannya yang menggoda masih melekat padaku saat dia melintas. Istriku memasuki kamar tidur kami, dan tentu saja, dengan semangat yang memuncak, aku segera mengikutinya. Di dalam kamar yang penuh dengan aura keintiman, kami bercinta, mereguk kenikmatan yang tiada tara.

Baru saja kami menyelesaikan momen keintiman kami, tiba-tiba ponsel Linda berdering di nakas. Linda cepat mengambil ponselnya, dan wajahnya berseri-seri begitu melihat layar yang terang.

“Dee meneleponku … Aku harus mengangkatnya.” Ucap Linda dengan nada meminta maaf padaku.

Dee adalah teman baik Linda, dan juga menjadi teman baikku. Sebenarnya, Linda dan aku memiliki kelompok pertemanan yang sangat dekat satu sama lain. Kami terdiri dari lima pasangan suami-istri yang menjalin hubungan dengan keakraban yang luar biasa. Setiap pasangan dalam kelompok ini telah menemukan kebahagiaan dalam komitmen pernikahan masing-masing. Rasa aman melingkupi setiap pertemuan sosial kami, memungkinkan kami bahkan untuk berdansa dengan pasangan yang berbeda-beda, menambah nuansa variasi pada malam-malam tertentu. Dalam kelompok ini, kami bukan hanya teman, melainkan menjadi keluarga yang saling mendukung dan memahami satu sama lain. Suasana hangat dan akrab selalu hadir di setiap pertemuan kami, menciptakan ikatan yang kuat dan penuh keakraban di antara kami.

Aku dapat melihat semangat yang memancar dari wajah Linda saat dia berbicara dengan Dee. Matanya bercahaya dengan semangat yang menular ketika dia berbagi cerita atau tertawa lepas dengan sahabatnya itu. Setiap kali mereka berbicara, rasanya seperti sebuah pertukaran energi positif yang membuatnya semakin bersemangat. Saat panggilan berakhir, Linda dengan cepat menempatkan ponselnya di samping dan, dengan keceriaan yang meluber, dia menjatuhkan dirinya ke atas tubuhku.

“Jadi … Apa yang kalian bicarakan?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Kita akan mengakhiri Bulan Februari yang menyeramkan ini dengan kegiatan yang menyenangkan.” Ucap Linda dengan senyuman kebahagiaan.

“Apa yang kalian rencanakan?” Tanyaku jadi penasaran.

"Jim, aku sangat bersemangat dengan ide yang luar biasa dari Dee! Dia mengusulkan agar kita berkumpul dengan semua sahabat kita. Kita cari penjaga anak untuk anak-anak kita, lalu menikmati makan malam yang indah, dilanjutkan dengan berdansa di klub eksklusif. Selanjutnya kita menginap di hotel. Dee mengatakan, kita semua harus bersantai dan menikmati waktu tanpa harus mengkhawatirkan perjalanan pulang. Aku yakin rencana ini akan sangat menyenangkan untuk mengakhiri bulan yang menyebalkan ini!" Jelas Linda berapi-api.

“Apa rencana Dee untuk kita merasa nyaman dan aman saat kita keluar dari klub dan kembali ke hotel?” Kataku yang ingin memastikan bahwa malam yang direncanakan ini tidak hanya menyenangkan tetapi juga aman bagi kami semua. Pertanyaanku ini adalah pertimbangan yang bijak untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan semua anggota kelompok.

“Club yang kita rencanakan berada di dekat Madison Uptown, tempat kita pernah makan sebelumnya. Jadi, kalau kita makan di Madison, kita nggak perlu bayar masuk ke klub berikutnya. Mereka akan ada live band juga, loh, Jumat malam ini. Aku pikir ini bakal membuat malam kita lebih terencana dan aman, terutama untuk yang ingin merasakan suasana klub. Oh, dan aku udah atur pengasuh buat anak-anak kita! Phil dan Jane sudah menyusun rencana untuk anak-anak mereka semalam, dan Mrs. Porter juga setuju buat jaga anak-anak kita. Jadi, nggak perlu khawatir tentang pulang ke hotel dan mungkin minum terlalu banyak. Bagaimana, Jim?”

“Baiklah … Kita berangkat … Tapi ada syaratnya.” Kataku.

"Apa itu?" Linda menatapku dengan curiga. Aku mengambil wajah manisnya di antara kedua tanganku, dan menatap mata birunya.

"Kamu harus memakai gaun yang kamu beli untuk Hari Valentine, yang masih belum aku lihat." Jawabku.

"Keinginanmu adalah perintahku." Suara Linda begitu merdu di telingaku.

Malam itu, kami mengulangi percintaan sekali lagi, merayakan ikatan yang menghangatkan hati. Saat keintiman mengalir di antara kami, kebahagiaan dan ketenangan menyelimuti batin. Kemudian, kami tertidur dengan damai, meresapi kebersamaan yang telah membawa kebahagiaan dalam hidupku. Saat ini, aku merasakan kehidupan yang begitu sempurna, penuh dengan cinta yang tak terukur. Aku merasa diberkati dengan keluarga yang sungguh menyayangiku, dan tak lupa akan para sahabatku yang selalu berada di sampingku, meskipun kini mereka telah memiliki kehidupan keluarga masing-masing.

********

Aku duduk di sofa ruang tengah dengan jas yang elegan, menanti Linda yang sedang bersiap. Saat ia muncul dari kamar, mataku terpesona oleh kecantikan istriku yang begitu menakjubkan. Gaun biru yang dikenakannya membuat mata birunya bersinar lebih tajam. Gaun berlengan panjang dengan leher rendah, dan rok yang berhenti di atas lutut memberikan sentuhan keanggunan. Belahan roknya seperti memberikan pesan untuk memikat perhatian siapa pun yang memandang. Bahannya yang halus dan pas di tubuhnya tidak terlalu ketat, menciptakan dorongan ingin meraba dan menyentuh seluruh kain, seolah ingin memahami keanggunan yang tersembunyi di baliknya. Linda tersenyum sambil turun perlahan dari tangga, menyapa aku yang terkesiap dan terpana.

"Sayang," katanya lembut dan manis. Dia menutup mulutku dengan jari lembut di bawah daguku. Aku menelan ludah, tapi masih tidak bisa bicara. “Ini masih aku, sayang ... Aku yang seperti biasanya. Kamu tidak perlu menyanjungku seperti itu, tapi aku akui kalau aku senang kamu menyanjungku.”

Aku menggelengkan kepalaku dan menemukan suaraku. "Kamu tidak mengerti. Kamu tidak tahu betapa menakjubkan penampilanmu sekarang ini. Kamu..." Senyumannya membuatku gagal melanjutkan kata-kataku.

Aku menggenggam tangannya yang ramping dan berjari panjang dengan kedua tanganku, membungkuk di atasnya, dan menciumnya. Aku mendongak untuk melihat matanya bersinar dan melihat sedikit getaran dalam senyumannya. Malam ini, istriku terlihat luar biasa cantik dengan sentuhan makeup yang lembut dan tidak berlebihan. Wajahnya dipercantik dengan pilihan warna yang tepat, yang menyoroti kealamian kecantikannya. Riasan matanya yang ringan memberikan kilau lembut, dan bibirnya dihiasi dengan sentuhan warna yang menawan.

Segera setelah itu, aku membawa mobil meluncur di atas jalanan beraspal. Sepanjang perjalanan, kami menikmati suasana perjalanan yang tenang sambil memperbincangkan kisah-kisah tentang sahabat-sahabat kami. Saat akhirnya aku dan Linda tiba di restoran mewah tempat tujuan kami, aku melihat sahabat-sahabatku sudah berkumpul. Rasa kegembiraan menyelimuti kami ketika kami bergabung dengan mereka, merayakan momen yang penuh kebersamaan di tempat yang istimewa ini.

Kami bersepuluh berkumpul dan mumulai acara makan malam yang menyenangkan. Tempat itu begitu ramai pada Jumat malam, tetapi beruntungnya kami sudah memesan meja yang cukup besar sehingga kami, bersepuluh, bisa menikmati hidangan bersama. Suasana penuh tawa, obrolan, dan hidangan lezat membuat malam ini begitu spesial. Kami semua merasa bahagia, bersatu dalam kegembiraan, dan lega karena bulan Februari akhirnya berakhir. Di antara teman-teman yang hadir, Linda tetap menonjol sebagai wanita paling menarik di ruangan ini. Aku dengan sengaja menandai kehadirannya, menyentuh lengannya, bahunya, atau tangannya sesering mungkin untuk memberi tanda kepada sahabat-sahabatku bahwa Linda adalah milikku. Linda selalu membalas dengan senyuman manis yang membuat malam ini semakin istimewa.

Setelah menikmati acara makan malam bersama, kami bersepuluh menuju kamar kami masing-masing di hotel yang berhubungan langsung dengan restoran tempat kami makan malam tadi. Linda dan aku berjalan bersama menuju kamar kami, merasakan kenyamanan dan kehangatan yang ditawarkan oleh hotel ini. Saat masuk ke dalam kamar, kami menyambut suasana yang membuat kami merasa seperti di rumah. Kami pun menyimpan barang-barang kami di kamar hotel sambil merasakan kebersihan dan kenyamanan yang begitu menyenangkan. Setelah sejenak menikmati suasana kamar, aku bergabung dengan teman-teman yang telah berkumpul di lobi hotel. Suasana riang gembira terasa begitu kental di antara kami, mengisi malam dengan tawa dan obrolan yang menghangatkan hati.

“Aku harap kamu menikmati ini, Jim. Kamu tahu, aku sangat suka berdansa. Jadi, kamu harus menikmatinya juga seperti aku menikmatinya.” Ungkap Linda saat kami berjalan ke klub.

“Aku akan coba menikmati acara ini. Tapi kalau boleh aku jujur, aku lebih suka kita telanjang di kamar hotel.” Jawabku sambil bercanda.

“Kamu itu ya …” Linda meninju ringan lengan atasku, lalu melingkarkan tangannya di sekeliling lenganku dengan mesra.

Kami semua memasuki klub yang terlihat lumayan ramai. Untungnya, kami sudah memesan meja untuk sepuluh orang, tempat yang nyaman di tengah keramaian klub. Aku melihat sekeliling, meresapi suasana yang penuh semangat, dan memperhatikan sejumlah orang yang sepertinya sudah melupakan Bulan Februari yang menyebalkan. Tawa dan musik menciptakan energi positif di sekitar kami. Sementara itu, aku tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana beberapa pengunjung klub memandang dengan perhatian kepada kelima wanita yang menjadi bagian dari kelompok kami. Mungkin keunikan atau keceriaan mereka menarik perhatian orang di sekitar.

"Kau menarik banyak perhatian orang, sayang," bisikku pada Linda. "Kamu adalah wanita yang paling menarik di ruangan ini."

"Ah kamu." Lia menatapku, sambil mencubit lembut ke lenganku. “Kamu tidak perlu mengatakan itu, walau aku senang mendengarnya.” Linda pun tersenyum simpul.

“Sungguh, sayang. Ini adalah fakta. Kamu wanita tercantik di sini, maka gak heran banyak yang memperhatikanmu.” Bisikku lagi dengan perasaan bangga karena istriku ini memancarkan kecantikan dan daya tarik yang menarik perhatian banyak orang di klub ini.

Aku dan Linda sungguh menikmati malam ini. Kami berdua berdansa, meliukan tubuh kami dalam irama musik yang memukau, seolah dunia ini hanya berputar untuk kami. Setelah putaran pertama, kami singgah sejenak untuk menikmati minuman. Kemudian, tanpa ragu, kami kembali berdansa, mengekspresikan kebahagiaan kami melalui gerakan yang gemulai dan harmonis. Di tengah sorot lampu dan riuh rendah musik, rasanya seperti kami memiliki dunia sendiri. Setelah putaran ketiga selesai, kami memutuskan untuk kembali ke meja.

“Linda … Maukah kamu berdansa denganku?” Tiba-tiba Dave mengajak Linda untuk berdansa.

“Oh maaf Dave, aku agak lelah. Lagi pula, malam ini aku hanya ingin berdansa dengan Jim saja.” Tentu saja aku sangat senang mendengar ucapan Linda seperti itu.

Aku pun kemudian membisikan sesuatu pada Linda, “Apakah kamu siap meninggalkan tempat ini?”

“Tentu … Setelah kita menghabiskan minuman ini. Kita pergi ke kamar kita dan kita buat acara sendiri di sana.” Jawab Linda sambil memegang tanganku lembut di bawah meja.

Beberapa menit kemudian, band mengambil istirahat, dan suasana di lantai dansa mulai mereda. Sementara orang-orang mulai membubarkan diri. Suasana yang relatif tenang memungkinkan kami mendengar suara lumayan keras dari meja lain. Suara itu terdengar penuh kekaguman, dan dengan penasaran, kami semua menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Hei, bukankah itu Marc LaValliere?" Phil menunjukkan tangan ke arah seorang pria yang sangat tampan. Terpancar kekaguman dalam suaranya.

"Ya, benar! Itu Marc LaValliere!" Dee memekik penuh semangat.

Marc LaValliere, pemain sepak bola hebat di tim kota kami. Meskipun sering mendapat tawaran dari klub-klub besar di Eropa, Marc memilih tetap tinggal di kota ini. Ia bukan hanya sekadar pemain, melainkan menjadi sebuah ikon bagi kota kami. Marc dikenal sebagai pribadi yang baik dan memiliki reputasi yang positif di mata semua orang. Tidak hanya berbakat dalam sepak bola, Marc juga rajin berkontribusi dalam kegiatan komunitas. Keputusannya untuk terus berada di tengah masyarakat kami menciptakan suasana kebanggaan untuk masyarakat kota ini.

Tak ayal, Marc menjadi topik pembicaraan kami saat ini. Para pria berdiskusi tentang kepiawaian Marc dalam bermain bola, sementara para wanita memuji ketenaran dan sifat baiknya yang menawan. Ia benar-benar menjadi figur yang menginspirasi dan dicintai oleh banyak orang di kelompok kami.

“Selain terkenal, dia juga tampan. Setuju gak?” Semua wanita tersenyum seperti menyetujui ucapan Dee tersebut. Linda dan aku sama-sama tahu siapa dia, tetapi saat itu kami tidak terlalu tertarik pada apa pun selain satu sama lain. Kami membiarkan percakapan itu mengalir melewati kami, sambil saling berpegangan tangan di bawah meja, menciptakan dunia kecil kami sendiri di tengah keramaian yang sedang berlangsung.

Para pria di meja kami kembali pada obrolan seputar dunia sepak bola, terutama membahas pemain-pemain dengan gaji selangit. Sementara itu, para wanita masih asyik berbisik-bisik, membicarakan Marc LaValliere. Aku merasa agak tidak nyaman dengan situasi ini, tetapi aku memilih untuk diam daripada menyinggung perasaan mereka. Rasa tidak nyaman semakin meningkat ketika Dee melambaikan tangannya pada Marc LaValliere, yang disambut senyuman dan anggukan oleh pria itu. Bagiku, sikap Dee sudah terlalu berlebihan dalam menampakkan kekagumannya pada Marc LaValliere.

Tak lama kemudian, suasana penuh keceriaan kembali menghiasi ruangan saat musik mengalun kembali. Terlihat beberapa pasangan yang kembali berdansa sesuai dengan irama musik yang menghentak. Mereka terhanyut dalam gerakan dansa yang serasi, mengikuti alunan lagu yang cepat. Tubuh mereka bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah indah mengimbangi indahnya alunan musik.

"Apakah kita mau berdansa di sini, atau di kamar hotel?" Aku berbisik pada Linda. Sebelum Linda bisa menjawab, Jane menyela.

"Lihat! Dia datang ke sini!" Jane memekik pelan.

Benar saja, Marc LaValliere telah meninggalkan mejanya dan menuju meja kami. Aku melihat keempat wanita sahabatku mulai merasa sedikit canggung. Aku menduga mereka mungkin berharap untuk menjadi pasangan dansa Marc LaValliere. Sementara itu, Linda melihat ke bawah, dan memegang tanganku sedikit lebih erat.

"Hai, saya Marc. Apakah kamu ingin berdansa denganku?" Marc LaValliere berdiri di belakang bahu kiri Linda, mengulurkan tangannya padanya.

Aku merasakan Linda terkesiap saat dia melepaskan dengan cepat tanganku, seolah-olah tanganku adalah kentang panas. Keherananku semakin bertambah ketika Linda bergerak memunggungiku dan memberikan tangan kanannya kepada Marc. Dengan anggun, Linda bangkit dari kursinya dan meninggalkanku begitu saja. Aku menatap kepergian Linda dan Marc dengan pandangan tidak percaya, bingung oleh perubahan mendadak dalam perilaku istriku yang selalu mesra padaku.

"Hei, teman, sekarang hatiku terluka. Aku kira dia hanya ingin berdansa denganmu malam ini." Dave tersenyum seolah-olah mengingat penolakan Linda padanya saat diajak berdansa oleh Dave tadi.

"Ya, itu juga yang kupikirkan." Gerutuku.

"Tenang, Jim. Ini hanya sebuah dansa." Jane mencoba menenangkanku. Aku mencoba memercayainya, tapi entah kenapa aku mempunyai firasat buruk dengan hal ini.

Band memainkan beberapa lagu cepat, dan aku duduk di meja kami dengan perasaan tak menentu melihat Linda dan Marc LaValliere berdansa. Semua orang di ruangan ini sepertinya menyaksikan momen itu. Marc memiliki kemampuan berdansa yang jauh lebih baik daripada diriku, dan hatiku terasa berat menyaksikan Linda tampak begitu menikmati setiap langkah mereka. Mereka berdua seakan terlepas dari gravitasi dunia ini, terhanyut dalam alunan musik yang mengiringi mereka. Wajah kedduanya mencerminkan kegembiraan yang mendalam, seolah-olah mereka berada di dunianya sendiri yang penuh dengan kebahagiaan.

"Mereka tampak serasi … Ayo Jim, ayo bergabung dengan mereka!" Ajak Dee, jelas-jelas berusaha mengalihkan perhatianku.

"Tidak … Terima kasih." Jawabku dengan hati yang semakin kacau.

Lagu berikutnya memainkan melodi yang lambat, dan aku dengan cermat menyaksikan Linda, istriku, berada dalam pelukan erat Marc. Di mataku, mereka seperti tengah melebur satu sama lain, menciptakan dunia mereka sendiri di tengah alunan musik yang mendayu. Linda bersandar sepenuhnya dalam dekapan Marc, seolah-olah tak ada jarak di antara mereka. Terus terang, perasaan cemburu mulai menyusup ke dalam diriku. Tanpa sadar, tanganku mengepal menggambarkan panas yang terasa di hatiku. Tidak butuh waktu lama bagi aku untuk melihat Marc mengucapkan sesuatu pada Linda, dan senyuman manis terpancar di wajah istriku saat dia menjawab. Pelukan mereka semakin erat, dan tangannya Marc mulai menyentuh bagian tubuh Linda dengan keintiman yang seharusnya hanya aku yang berhak merasakannya.

Aku dengan jelas melihat Marc memberikan isyarat kepada pemimpin band untuk mengganti lagu yang lebih lembut, dan saat itu juga suasana seketika berubah. Senyum terukir di wajah Marc ketika ia memeluk Linda. Laki-laki itu jelas terkesan dengan apa yang sedang terjadi, sementara aku semakin merasa tak nyaman. Aku sudah cukup melihatnya dan memutuskan untuk bangkit dari kursiku. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tiba-tiba aku merasakan tangan Jane di lenganku, menghentikan langkahku.

“Tunggu Jim … Jangan bikin malu dia. Biarkan Linda menikmatinya.” Ucap Jane khawatir.

Aku mengibaskan tangan hingga pegangan Jane terlepas. Meski hatiku ingin menghentikan mereka, aku tahu itu akan mempermalukan Linda. Dengan perasaan kesal, aku menatap istriku yang begitu mesra bersama bintang sepak bola itu. Sepertinya dia begitu nyaman di sana, tanpa ingin ada campur tangan dariku. Aku tahu dia tidak ingin aku mencampuri momen ini. Akhirnya, aku merosot kembali ke kursiku dengan perasaan negatif yang sulit dijelaskan. Lagu slow itu akhirnya berakhir. Marc mengangguk ke arah pemimpin band, dan suasana berubah dengan lagu yang lebih cepat. Marc dan Linda meninggalkan lantai dansa, saling tersenyum, namun tanpa bersentuhan. Linda memberinya senyuman cerah terakhir saat dia berbalik ke arah meja kami, sementara Marc melangkah ke arah mejanya sendiri.

Perbedaan antara senyuman terbaik seorang wanita dan senyuman terbaik kedua tidaklah banyak. Aku sangat mengenal senyuman terbaik Linda, istriku, dengan begitu baik. Saat Linda mendekati meja kami dan mata kami bertemu, aku merasakan perubahan dalam senyuman yang biasanya memikat. Senyuman terbaiknya berubah menjadi senyuman terbaik kedua, dan itu cukup untuk membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dalam sekejap, aku tahu bahwa kami mempunyai masalah.

"Aku tidak pernah bosan memberitahumu kalau kamu adalah wanita paling menarik di sini," bisikku di telinganya saat aku memberinya tempat duduk. Aku meraih tangannya, dan menggenggamnya dengan kedua tanganku. “Sudah waktunya untuk mengadakan pesta dansa berikutnya di kamar kita.” Kataku kemudian.

Untuk sekejap yang begitu sangat singkat, aku hampir saja yakin bahwa Linda merasa takut. Mata indahnya melebar dan getaran halus pada tangannya terasa di ujung jari-jariku. Namun, sebelum aku bisa benar-benar memahami apa yang sedang terjadi, Linda cepat menyembunyikan perasaannya. Dia mengalihkan pandangannya dari diriku, memandangi sesuatu di seberang meja.

Tiba-tiba permintaan maaf dari Dee terdengar di tengah keramaian. "Maaf, semuanya, aku harus ke kamar mandi sekarang. Linda, ikut dengan aku ya?" Suara Dee yang mengumumkan keinginannya untuk pergi ke kamar mandi terdengar cukup keras dan mencolok.

Linda menatapku dengan ekspresi penyesalan yang tergambar jelas di matanya, dan rasanya itu hanya menambah keyakinanku bahwa kami sedang mempunyai masalah. Momen ini menciptakan ketidaknyamanan di hatiku, dan kecurigaan semakin menguat di benakku. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Linda di balik ajakan Dee untuk pergi ke kamar mandi. Pandangan matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata, dan aku merasa bahwa ada lapisan emosi yang belum terungkap sepenuhnya.

"Maaf, Jim. Aku juga perlu menyegarkan diri." Linda bangkit dan pergi, tanpa menghiraukanku. Linda dan Dee berjalan beriringan menuju kamar mandi.

Perasaanku benar-benar kalut, namun aku mencoba keras untuk mempertahankan ketenangan pikiran. Aku memberi diriku kesempatan untuk berpikir secara jernih, mencari ketenangan dalam diri. Berusaha meyakinkan diri bahwa lebih baik fokus pada hal-hal positif. Namun, upaya itu sirna seketika ketika mataku menangkap sosok Dee yang kembali sendirian. Pikiran dan hatiku yang sebelumnya mencoba untuk berpindah dari ketegangan kembali terbawa arus kebingungan.

"Di mana Linda? Apa dia baik-baik saja?" Tanyaku pada Dee setengah berteriak.

"Tenang, Jim." Kata Dee sambil tersenyum. "Linda baik-baik saja, dia lagi ada urusan. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia sudah dewasa, lho."

Saat itulah, teman-temanku mulai menyindirku tentang seberapa khawatirnya aku terhadap Linda. Aku mencoba memaklumi mereka, menyadari bahwa mereka tidak tahu betapa kompleksnya perasaanku. Aku pun berusaha untuk tetap tegar di tengah olok-olokan dari sahabat-sahabatku. Namun, sekitar lima menit berlalu, aku sudah tidak tahan lagi. Aku mengambil gelas dari meja dengan alasan ingin memesan minuman yang lebih ringan, lalu meninggalkan meja menuju bar. Di sana, aku mendekati salah satu bartender wanita.

"Maaf, tadi istri saya pergi ke kamar kecil sekitar lima belas menit yang lalu, dan belum keluar. Dia biasanya tidak pernah membutuhkan waktu selama itu. Bisakah Anda membantu saya atau menyuruh seseorang, untuk memastikan istri saya baik-baik saja?" Pintaku dengan nada ramah dan sopan pada sang bartender.

Matanya menatapku dengan ragu, dan seketika perasaan cemas menyergapku. Meski demikian, aku berusaha keras untuk tetap mengontrol diri, menahan gelombang kekhawatiran yang melanda. Setelah menghelan nafas dalam upaya untuk menenangkan diri, aku melanjutkan ucapanku dengan hati-hati.

“Sungguh, aku hanya ingin tahu dia baik-baik saja. Namanya Linda. Izinkan aku menunjukkan fotonya." Aku mengambil foto Linda di ponselku.

Tanpa aku duga Dee sudah berada di sampingku, "Dia baik-baik saja, tidak perlu dicek," ucap Dee pada bartender dengan suara mantap. "Semuanya baik-baik saja. Aku yang akan menanganinya." Dee meletakkan selembar uang lima dolar di atas meja bar.

Aku memperhatikan dengan rasa heran, mencoba memahami alasan di balik perkataan dan perbuatan Dee. Namun, yang membuatku semakin heran, adalah tatapan penuh simpati dari bartender ketika dia menyimpan uang tersebut. Ada kebingungan di udara, dan aku merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi di balik layar yang belum terkuak sepenuhnya.

“Apa yang terjadi? Bukankah dia pergi ke sana bersamamu? Karena kamu yang mengajaknya." Aku bertanya pada Dee dengan perasaan yang benar-benar bingung.

"Jim, dia tidak ada di kamar kecil. Dia sudah meninggalkan klub." Jawab Dee yang seketika itu juga terperanjat hebat.

"Pergi? Tanpa aku? Kenapa? Ada apa? Kenapa dia tidak memberitahuku? Kemana dia pergi?" Pertanyaan beruntunku mencerminkan rasa ketidakpercayaanku yang mendalam.

“Ayo ikut aku ke ujung bar.” Dee menyeretku dan aku mengikuti langkahnya. Suasana lebih tenang di sudut gelap di ujung bar. Dee menatap mataku. "Jim, Linda mencintaimu. Dia mencintaimu dan anak-anaknya lebih dari apa pun di dunia ini, dan dia akan selalu begitu, dan kamu tahu itu. Tapi dia ingin menghabiskan malam ini bersama Marc."

Aku berdiri kaku dengan mulut terbuka. Aku terkejut, mati-matian mencoba merangkai makna di balik kata-katanya yang seolah meruntuhkan tembok pemahaman. Namun, dalam detik berikutnya, kemarahan seperti api yang meloncat dari neraka menyusupi tubuhku. Hatiku berdegup kencang, dan darahku seolah-olah menjadi lautan panas yang membara. Semua pandangan di sekitar menjadi kabur, kecuali rasa marah yang memenuhi setiap serat jiwaku.

“Jadi pada malam yang seharusnya menjadi malam istimewa kami, dia meninggalkanku demi seorang pria brengsek.” Aku menatap tajam penuh amarah pada Dee sambil menggeramkan kata-kataku.

"Jim, dia tidak meninggalkanmu. Dia akan pulang menemuimu besok, dan kalian akan menikmati banyak malam istimewa bersama-sama." Ujar Dee terlihat mulai ketakutan.

"Dia bahkan tidak punya nyali untuk memberitahuku secara langsung kalau dia akan meninggalkanku. Dia menyelinap keluar dari pintu belakang." Kataku pedas sambil mengeratkan geraham.

"Jim, dengarkan aku. Dia tidak meninggalkanmu..." Ucapan Dee aku potong secepatnya.

"Kalau dia tidak meninggalkanku, lalu di mana dia? Faktanya dia tidak bersamaku sekarang!!" Aku berteriak sangat keras, dan tidak peduli siapa yang mendengarku.

"Tenangkan dirimu, orang-orang memperhatikanmu. Dengar, aku mengerti ini menyakitkan bagimu, tetapi ini hanya satu malam. Linda menyadari, kita semua menyadari, bahwa kamu adalah satu-satunya pria yang ada dalam hatinya dan akan selalu demikian. Kamu orang yang luar biasa." Dee berusaha menenangkanku.

"Ya, dan kita semua tahu di mana orang baik itu akan berakhir, bukan?" Aku menggeram sambil menahan kemarahan.

"Jim, bukan seperti itu. Kamu terlalu mempermasalahkan hal ini. Hanya malam ini saja, lalu dia akan kembali kepadamu besok dan semuanya akan seperti semula." Ucap Dee sambil menatapku sendu.

Aku mendengus padanya, “Jadi, Kawan, apa peranmu dalam semua ini? Sebenarnya tadi kamu tidak perlu ke kamar kecil, kan? Istriku sudah memberimu isyarat, kan? Dia menyuruhmu untuk menghentikanku dan menjauhkanku dari gangguan untuk melarikan diri dengan si keparat itu kan?”

"Ya, Linda yang memintaku melakukan itu, karena dia tidak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri dengan membuat keributan selama Marc bersamanya. Dia juga memintaku untuk memastikan kamu kalau dia mencintaimu, dan dia akan selalu pulang ke rumah untuk menemuimu." Ucap Dee.

Aku pun menyeringai sadis, “Lebih tepatnya dia tidak ingin malu karena telah meninggalkan suaminya untuk bermalam dengan pria brengsek itu. Apakah kamu tidak berpikiran untuk mengingatkannya kalau dia punya suami dan dia seorang istri, menikah denganku, dan apakah kamu tidak memikirkan kalau dia akan kehilangan semuanya karena hal ini?"

Dee terbelalak, "Tidak … Karena aku tahu dia tidak akan kehilanganmu karena hal ini. Kamu pria yang terlalu baik untuk membiarkan hal itu terjadi. Aku bilang padanya betapa beruntungnya dia. Dia beruntung karena pria yang dikagumi oleh setiap wanita menginginkan dirinya; tapi dia merasa lebih beruntung karena dia memiliki suami yang sangat mencintainya sehingga bisa melewati rasa sakit hatinya dan tidak membuat masalah ini menjadi masalah yang lebih besar dari yang seharusnya. Kamu tahu dia akan bersedia melakukan apa pun untukmu, untuk menebus semua ini."

"Bagaimana kalau aku tidak ingin berbaikan? Bagaimana kalau tidak ada cara untuk memperbaikinya?"

"Jim, aku tahu betapa kamu mencintai Linda, dan betapa dia mencintaimu. Ini tidak harus menjadi masalah besar. Ini hanya satu malam, pengalaman satu kali, dibandingkan dengan bertahun-tahun dan semua cinta kalian yang telah terbina bersama. Itu bukan masalah besar. Aku tahu dia akan pulang kepadamu, dan pada akhirnya kalian akan baik-baik saja seperti sedia kala." Dee berbicara dengan lembut namun percaya diri.

Dalam kebingungan dan kekesalan yang mendalam, satu-satunya pikiran yang melintas di benakku adalah menahan diri untuk tidak memukul wanita bodoh itu dan mengguncangnya hingga giginya bergetar karena omong kosong yang keluar dari mulutnya. Kata-katanya tidak berlogika yang membuatku semakin kesal dan marah. Rasanya sulit dipercaya bahwa seseorang bisa memiliki pandangan atau keyakinan yang begitu jauh dari akal sehat.

"Jadi, jika si keparat itu memilihmu, kamu akan melakukan hal yang sama?"

"Ya, saya akan melakukannya." Dia melemparkan jawabannya ke wajahku.

"Apakah Dave mengetahui hal itu?"

"Tidak, dan dia tidak perlu melakukannya, karena menurutku hal itu tidak akan pernah terjadi," katanya lembut.

"Mungkin sebaiknya aku memberitahunya."

"Jim, tolong jangan terlalu terbenam dalam pikiranmu. Aku tahu kamu sakit, tapi meratapi hal itu tidak akan membantu. Ayo, kembali ke meja makan, mari kita coba alihkan pikiranmu untuk sementara waktu. Ingatlah, kamu belum melakukan apapun yang salah. Dan hei, malam ini belum berakhir, kamu tahu. Aku belum menari satu langkah pun sepanjang malam, dan mungkin kita bisa merubahnya bersama. Yuk, berikan senyummu, Jim!" Kata Dee sambil tersenyum.

"Seharusnya aku bisa berdansa dengan istriku malam ini, tapi berkatmu dan keparat itu, aku kehilangan segalanya.” Ucapku penuh kekecewaan, aku langsung berjalan meninggalkan Dee.

Langkahku menuju meja penuh dengan ketegangan. Saat aku tiba, suasana langsung hening. Ekspresi di wajah mereka membocorkan pemahaman bahwa mereka mengetahui kepergian istriku bersama si keparat itu, tepat di belakangku.

"Eh, Jim, apa kamu akan baik-baik saja?" Dave bertanya ragu-ragu setelah dia memberi kursi kepada Dee.

Aku ingin memberitahu Dave tentang apa yang dikatakan Dee dan bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi kata-kata itu terasa terjebak di tenggorokanku. Sepertinya aku masih belum melepaskan diri dari peran sebagai orang yang peduli, yang selalu ingin menunjukkan kebaikan. Rasanya sulit mengungkapkan perasaan itu. Sepertinya aku perlu bekerja lebih keras untuk bisa lebih tegas, terutama dalam situasi-situasi sulit seperti ini.

"Itu tergantung pada apa yang kamu maksud dengan oke." Terdengar beberapa tawa gugup.

"Maksudku, ya, itu tindakan yang buruk, tapi kalian berdua akan berhasil, bukan? Kamu tidak akan menceraikan Linda karena masalah ini, bukan?"

"Aku tidak mengerti kenapa aku tidak melakukannya," jawabku dingin. Terdengar helaan napas di sekeliling meja. "Kenapa kalian semua terkejut?" Aku melanjutkan. "Kita semua tahu bagaimana perasaan kita tentang kecurangan: sekali dan selesai. Kita sudah menetapkannya sejak lama, bukan?"

"Tapi Jim, dia Marc LaValliere..." Dee menyela.

"Terus kenapa? Aku tidak peduli siapa yang menidurinya. Sekali curang tetap curang.”

"Jim, bagaimana dengan anak-anakmu? Kita semua tahu seberapa besar cintamu pada mereka dan betapa mereka sangat membutuhkan kehadiranmu. Pikirkan tentang mereka sebelum melakukan apapun," kata Jane dengan lembut. "Anak-anakku seumuran dengan mereka dan mereka sahabat karib. Ini bukan hanya tentang dirimu, Jim, tapi juga tentang kehadiranmu bagi mereka. Aku harap kamu bisa mempertimbangkan itu sebelum mengambil keputusan apapun."

"Apa kamu pikir, istriku sedang memikirkan mereka saat ini?"

"Nah, itulah sebabnya kamu menyewa penjaga anak, biar nggak perlu mikirin anak-anakmu terus," celetuk Dee sambil tersenyum, berusaha membuat suasana jadi lebih ringan. Tapi sepertinya lelucon itu kurang berhasil, dan aku merasa tetap tegang. "Ayolah, Jim, ini cuma satu malam. Kesempatan yang nggak akan datang lagi. Kamu nggak akan bercerai dari Linda cuma gara-gara satu malam, kan?" Dee berusaha meyakinkanku untuk tidak terlalu khawatir, sekaligus menyentuh soal keputusan besar yang tidak perlu diambil hanya karena satu malam.

"Mengapa tidak?" Aku memelototinya. Keheningan yang tidak nyaman terjadi.

"Jim, cobalah untuk melihat dari sudut pandang ini, mungkin ini bisa membantumu," ucap Jane dengan suara penuh simpati. "Bagaimana kalau model sampul majalah Sports Illustrated yang sangat cantik sedang ada di sini malam ini? Bayangkan dia memilihmu dari semua orang di sini untuk berdansa, lalu menawarkan untuk menghabiskan malam bersamamu. Bisakah kamu jujur mengatakan bahwa kamu tidak merasa tertarik? Bisakah kamu dengan tulus mengatakan bahwa kamu akan menolaknya?" Tatapan memelas di mata cokelat hangat Jane memberikannya tampilan yang memikat seperti anak anjing yang menggemaskan, yang biasanya cukup efektif untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi tidak malam ini.

Aku berdiri dan menatap Jane. "Ya, mungkin aku akan merasa tertarik, tapi aku akan menolaknya. Kamu tahu, aku punya istri, dan aku tidak ingin menyakiti perasaannya. Setidaknya, itulah yang akan aku lakukan sebelum malam ini." Ucapanku penuh dengan kejujuran.

Ada keheningan yang membekukan suasana. Aku melihat sekeliling meja pada setiap teman lamaku, yang sepertinya mendukung istriku yang berselingkuh. Pada saat itu, aku sungguh berharap untuk tidak pernah melihat mereka lagi. Aku mengeluarkan uang dua puluh dolar dan meletakkannya di meja sebagai pembayaran tagihanku, dengan nada sinis menyampaikan bahwa mereka harus membayar tagihan istriku yang berselingkuh.

"Itu untuk membayar tagihanku. Kalian semua membela pelacur yang datang bersamaku, jadi kalian harus membayar tagihannya," ucapku dengan nada tajam. Aku berbalik dan meninggalkan klub dengan langkah yang mantap, meninggalkan suasana kekecewaan dan kemarahan di belakangku.

“Jim … Tunggu …!!!” Teriak Dee tapi aku mengabaikannya.

Aku mengabaikan panggilan Dee dan teman-temanku yang lain, entah yang ke berapa. Rasanya seperti pukulan keras, kecewa yang mendalam merajam hatiku. Bagaimana bisa mereka, yang kupercayai selama ini, bersekongkol dengan istri selingkuhku? Rasa amarah menyelinap begitu dalam, terutama pada diriku sendiri karena telah terpedaya. Ini adalah pengkhianatan yang tak terbayangkan, mengoyak kepercayaan yang sudah terbangun dengan susah payah.

Sekarang, saatnya bagiku untuk melupakan mereka selamanya. Aku tidak lagi mau mempertahankan ikatan dengan orang-orang yang begitu tega merusak kedamaian hidupku. Ini bukan hanya tentang istriku, melainkan juga tentang hilangnya keyakinan pada persahabatan. Aku memutuskan untuk menghapus jejak mereka dari hidupku dan melangkah maju tanpa beban. Kesetiaan dan kepercayaan adalah harga yang mahal, dan aku tak sudi mempertaruhkannya untuk mereka yang telah memilih jalur pengkhianatan.


BERSAMBUNG

Note:

Terima kasih kepada para pembaca setia! Batas cerita aslinya berakhir di sini, dan sekarang kita akan memasuki bab baru dengan cerita hasil karya author sendiri. Author berharap suhu-suhu bisa menikmati setiap kata dan kalimat yang telah author susun dengan hati.​
 
Terakhir diubah:
Aduh.... Ini koq keren bangetzzzz.
Pokoknya harus lanjut ini, pengen tahu langkah selanjutnya yg akan di ambil Jimmy terhadap Linda.
Sekali selingkuh tetap lah namanya selingkuh
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd