Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG FEBRUARY SUCKS (SEQUEL)

CHAPTER 2
BERKAH TAK TERDUGA


JIMMY POV

Aku keluar dari klub dengan perasaan marah dan hancur. Aku berdiri di depan pintu klub dengan sesak di dada yang teramat menyiksa. Perasaan terkejut, tak percaya, dan kemarahan melanda diriku mengingat hinaan yang terjadi di depan mataku. Tidak ada yang lebih sakit dari yang namanya pengkhianatan. Apalagi, ketika pengkhianatan ini dilakukan oleh seseorang yang sangat dicintai dengan tulus. Sebaik-baiknya orang, sesabar-sabarnya orang, ketika ia disakiti, dari hati paling dalam ia pasti ingin membalas rasa sakit itu.

Rasa malu yang dia timbulkan membuatku tidak bisa memaafkannya. Rasa malu yang kurasakan ini terasa begitu menggodam dadaku. Sedemikian dalamnya rasa malu yang kurasakan ini hingga hatiku terasa sakit sampai tak tertahankan. Terbayang dengan jelas olehku betapa dia telah melecehkanku sedemikian keji. Sungguh, aku tak percaya, Linda mempunyai pikiran aku akan memaafkannya dan semuanya akan kembali normal ketika dia pulang. Aku jamin, dia akan mendapatkan kejutan besar.

Dengan bersusah payah aku berjalan ke hotel yang berjarak satu setengah blok. Aku bukan seorang pemarah, tetapi kemarahan yang aku rasakan ini adalah kemarahan terbesar yang pernah aku rasakan. Seharusnya malam ini adalah malam terindah untuk kami berdua, nyatanya sekarang aku sendirian. Sendirian aku berjalan menyusuri jalan yang baru saja aku lewati bersamanya dengan kemesraan. Sendirian aku memasuki hotel yang seharusnya menjadi tempat kami berdua memadu kasih. Dan sendirian aku menghadapi kehancuran di malam ini.

Aku pun masuk ke dalam kamar hotel, lalu menyalakan lampu setelah menutup pintu di belakangku. Mantel musim dinginku terlempar di lantai, dan aku berjalan lesu menuju kamar tidur. Di tengah tempat tidur, terhampar sepasang bra dan celana dalam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Warna biru gelap, lebih gelap dari gaunnya, dihiasi dengan renda hitam. Aku ambil pakaian dalam itu lalu kulempar ke dalam tempat sampah. Mereka memang pantas di tempat sampah karena pemiliknya pun adalah sampah.

Aku mengemasi barang-barangku ke dalam koper, meninggalkan barang-barang Linda di dalam kamar, dan pulang ke rumah. Mobilku melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan hotel dan luka yang dalam. Dibalik ketegaranku sekarang, sebenarnya aku rapuh. Pengkhianatan Linda begitu menusuk hatiku, dunia yang aku kenal runtuh dalam sekejap. Kebahagiaanku kini hancur berkeping-keping dan kenangan indah bersamanya kini menjadi kenangan pahit. Hatiku benar-benar luluh-lantak, bagaimana tidak, orang yang aku cintai, orang yang aku sayangi sepenuh hati tega melakukan perbuatan hina itu padaku.

Sepanjang perjalanan ponselku tiada henti berdering, entah berapa pesan teks dan panggilan yang aku abaikan. Semua itu berasal dari mantan sahabat-sahabatku yang aku rasa mereka ingin membicarakan peristiwa menyakitkan ini. Semuanya sudah terlambat untuk mereka sesali, tidak ada yang bisa mengembalikan keadaan menjadi seperti sebelumnya. Kertas yang telah menjadi abu tidak akan berubah kembali menjadi kertas seutuhnya. Tidak ada lagi yang dapat mereka perbuat karena semuanya sudah terjadi.

Aku sampai di rumah pukul sebelas malam. Segelas whisky ada digenggaman tangan kiriku dan sebuah pulpen ada di tangan kananku. Otakku berputar mencari kata-kata yang pantas aku tulis dalam selembar kertas yang berada di hadapanku. Aku pun menulis surat ke dalam secarik kertas itu untuk Linda.

……………..

Dear Linda,

Malam ini, kau telah memperlihatkan sejauh mana cintamu padaku dengan pergi bersama pahlawanmu, meninggalkanku seakan aku ini seorang pecundang di depan semua orang. Aku sangat terluka dan terhina, ditambah lagi teman-temanmu mendukung perbuatanmu dan membantumu melarikan diri. Rasa kecewa dan sakit yang teramat dalam melanda hatiku, karena aku merasa ditinggalkan dan dikhianati. Aku tidak pernah merasakan rasa sakit seperti yang kurasakan malam ini, dan kamu harus tahu perbuatanmu itu tidak akan pernah aku maafkan. Aku tak mengerti, apa yang ada di pikiranmu? Kau beri aku rasa sakit yang teramat dalam. Perbuatanmu itu sangat menyakiti hatiku. Tapi sudahlah, aku tak mau lagi melihatmu, pergilah dengan pahlawanmu, jangan lagi palingkan wajahmu kepadaku. Aku akan berusaha untuk melupakanmu.

Goodbye

Jimmy.


……………..


Setelah mencatat beberapa nomor-nomor penting dari dalam ponsel di atas kertas, aku mencabut SIM Card dari slotnya dan dengan berat hati membuangnya ke dalam tempat sampah. Aku menenggak habis whisky yang tersisa di dalam gelas dan meletakkan cincin pernikahanku di atas surat, sesaat sebelum bangkit dari tempat duduk. Aku bergerak menuju pintu, membawa koper yang berisi barang-barang pribadiku. Tak ada lagi pilihan, aku harus meninggalkan semuanya. Sambil berjalan menyusuri trotoar, aku merenungi lembaran hidup yang kini terasa suram.

Tak berapa lama kemudian, sebuah taksi melintas di hadapanku. Aku segera menghentikannya dan naik, meminta supir untuk mengantarkanku ke rumah orangtua Linda. Hanya setengah jam di dalam taksi, aku sampai di rumah mantan mertuaku. Aku terpaksa menekan bel di ujung atas pintu. Setelah tiga kali suara bel terdengar, pintu rumah pun terbuka. Tatapan aneh dari Sam dan Sarah menyambutku.

“Jim … Ada apa? Bukankah kamu seharusnya bersama Linda?” Sarah yang menyapaku terlebih dahulu dengan suara penuh keheranan, sementara tatapan Sam menggambarkan ketidakpercayaan.

“Semuanya telah berubah. Maaf kalau aku mengganggu ketenangan kalian.” Ucapku sendu.

“Masuklah … Kita bicara di dalam.” Ujar Sam dengan gesture khawatir.

Dengan meninggalkan koper di luar, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Segera kusampaikan kepada Sam untuk tidak membawakan koperku, karena aku takkan lama berada di rumah mereka. Ketegangan begitu terasa saat kami duduk bersama di sofa. Pandangan tajam dari Sam dan Sarah menghujani diriku, seolah-olah mereka tak sabar menanti penjelasan yang akan aku berikan.

“Sam … Sarah … Sebelumnya aku meminta maaf, karena apa yang aku akan sampaikan pada kalian bukanlah berita yang menyenangkan. Aku akan pergi dari kota ini, bahkan mungkin dari negara ini. Aku akan meninggalkan Linda dan kedua anakku.” Ucapanku langsung disambar Sarah dengan pekikan lumayan nyaring.

“Kenapa? Kenapa kamu akan meninggalkan keluargamu? Apa yang terjadi?” Kepanikan terdengar dari nada suara Sarah.

Aku menghela napas sebelum berkata, “Malam ini adalah malam yang sangat tidak terduga. Aku tidak menyangka Linda akan meninggalkanku. Dia pergi dengan Marc LaValliere untuk menghabiskan malam ini bersamanya.”

“A..apa???” Tentu saja Sarah terkejut dengan setengah menjerit.

Dengan segera, aku mulai menceritakan rangkaian peristiwa yang baru saja terjadi, dimulai dari kedatanganku di restoran hingga perjalanan pulang sendirian ke rumah. Aku menyampaikan semua ini dengan menahan beban di hatiku, suaraku terdengar tidak stabil, kadang-kadang aku merasa ingin menangis. Mata kedua mantan mertuaku terbelalak hebat, wajah mereka memerah. Terlihat jelas bahwa mereka terkejut dengan setiap detil cerita yang kuungkapkan.

“Aku merasa dibodohi dan dikhianati. Oleh karena itu, tidak ada pilihan selain aku meninggalkannya.” Itulah kalimat terakhir dari ceritaku.

“Oh … Bodoh sekali si Linda … Apa yang ada di otaknya?” Sarah terlihat begitu marah.

“Jim …” Sam mulai berkata dengan nada lembut. “Bisakah kamu pikirkan kembali keputusanmu. Bisakah kamu memberi Linda kesempatan untuk menceritakan alasannya atas perbuatannya itu? Siapa tahu, kamu bisa memakluminya.” Pinta Sam yang tentu saja segera kutolak.

“Maaf Sam … Perbuatan Linda sudah melebihi batas kesabaranku. Aku tidak bisa mentolerir kekejamannya. Dia menyentuh garis bawahku, dan aku tidak bisa memaafkannya.” Kataku dan Sam terdiam setelah mendengar pernyataanku itu.

“Jim … Bagaimana dengan anak-anakmu?” Giliran Sarah yang bertanya.

“Aku tinggalkan rumah, segala perabot rumah, kendaraan, dan lain-lain untuk Emma dan Tommy. Aku pergi hanya membawa tabunganku saja. Setelah nanti aku mendapatkan kerja di tempat baru, aku akan tetap membiayai keperluan anak-anak. Untuk sementara, aku minta tolong pada kalian untuk menjaga dan mengurus Emma dan Tommy.” Jelasku.

“Kamu bisa mengandalkan kami, Jim.” Sahut Sam dengan wajah prihatin.

“Jim … Kamu pergi kemana?” Suara Sarah begitu sedih, seperti seonggok radio yang baterainya sekarat.

“Aku tidak bisa memberi tahu kalian untuk saat ini. Saatnya nanti kalian akan aku kabari.” Jawabku.

Setelah bertukar pikiran tanpa menemukan solusi, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka. Kembali menggunakan taksi, aku melanjutkan perjalanan menuju bandara. Sesampainya di bandara aku membeli tiket di mesin penjualan otomatis dengan tujuan Skotlandia lalu check in tiket pesawat dan pasporku dulu, kemudian duduk di tempat tunggu penumpang, karena penerbanganku masih sekitar dua jam lagi.

#######



LINDA POV

Aku terbangun saat sinar matahari jatuh di pelupuk mataku. Pada awalnya aku bingung dimana aku berada, namun ketika aku melihat pria yang terbaring di sampingku, kenangan semalam tiba-tiba mengisi memoriku. Di sana, terbaring sosok Dewa Yunani, Marc LaVillier. Aku teringat akan malam penuh gairah itu, dan tiba-tiba saja, hasratku pun memuncak kembali.

Aku menurunkan selimutnya dan mulai memberikan kecupan di area sensitif Marc. Dalam hitungan detik, dia menjadi keras. Terasa tangan Marc menarik bahuku. Kami berciuman dengan penuh gairah sambil tanganku merangsang penisnya hingga ereksi penuh, sementara dia merangsang klitorisku. Aku naik di atas tubuh Marc dan memasukkan penisnya ke dalam terowonganku yang selalu mendambakannya. Kami melanjutkan hubungan seks seolah tiada hari esok, dan setelah orgasme keempat, Marc kembali mengisiku. Aku berguling dari atasnya dan melihat jam, sudah pukul 10.30 pagi. Aku menghela nafas, saatnya pulang ke hotel dan menghadapi realitas yang menunggu di sana.

Aku diantar pulang oleh supir pribadi Marc. Duduk tenang di jok belakang mobil mewah ini, aku merenungkan seluruh kejadian semalam hingga saat ini. Ada sedikit rasa was-was yang menggelayuti hatiku dengan apa yang telah kulakukan semalam, meninggalkan Jim begitu saja seperti itu. Tetapi aku memeluk keyakinan dengan ucapan Dee bahwa Jim akan memaafkanku dalam beberapa hari. Seperti yang dikatakan Dee bahwa suaminya, Dave, memaafkannya saat Dee tersesat, meskipun Dee harus memberikan izin khusus untuk Dave melakukan hal yang sama guna menyeimbangkan situasi. Aku siap untuk melakukan hal yang sama. Bagiku, itu semua sepadan untuk malam gairahku bersama Marc.

Aku tahu bercinta dengan Marc sangat luar biasa. Jim tidak akan bisa sehebat dan sedahsyat Marc. Tetapi, aku selalu akan mencintai Jim, aku ingin hidup menjadi tua bersama Jim. Aku berharap Jim dapat memahami bahwa ini hanya satu kali kesalahan dan aku sangat berharap Jim bisa melupakan insiden ini secepatnya.

Aku pun sampai di hotel dan ketika berada di lobby seorang pegawai hotel menghampiriku. Sungguh, aku terkejut bukan main ketika pegawai hotel tersebut memberikan kunci kamar hotelku sambil mengatakan kalau suamiku telah meninggalkan hotel tadi malam. Mataku membulat sempurna, kepanikan melandaku seketika. Aku berlari ke kamar hotel dengan hati yang super gundah. Aku menggunakan tangga untuk mencapai kamarku di lantai dua. Setelah pintu kamar hotel terbuka, kembali hatiku dikejutkan dengan bertebaran pakaianku di lantai.

“Jim …! Jim …!” Teriakku memanggil namanya sambil berlari-lari ke setiap sudut kamar.

Dengan langkah tergesa, aku keluar dari kamar hotel dan berjalan cepat menuju kamar hotel Dee dan Dave. Aku mengetuk pintu dengan keras sambil memanggil nama Dee berulang kali. Tak berapa lama kemudian, pintu kamar hotel Dee terbuka, dan wajah Dee terlihat layu baru bangun tidur.

“Dee … Jim pergi … Dia tidak ada di kamar hotel …” Kataku panik.

“Aku tahu … Aku sebenarnya berusaha menghubunginya tetapi dia tidak pernah mengangkat teleponku. Aku juga berusaha menghubungimu tetapi ponselmu mati. Tadi malam keadaan diluar kendali.” Jelas Dee semakin aku panik.

“Apa?!” Tubuhku gemetar, tangan-tanganku mengepal erat dan mata melotot ke arah Dee dengan ekspresi kebingungan yang mendalam.

“Maafkan aku, Linda … Aku dan semua orang tidak bisa mencegah Jim pergi. Mungkin sebaiknya kamu segera pulang, mungkin Jim sedang menunggumu di rumah.” Ucap Dee dengan nada sedih.

Aku langsung berlari keluar hotel dan pulang ke rumah menggunakan taksi. Air mataku mengalir dan perasaan kekhawatiran yang sangat menyiksa merasuki setiap serat tubuhku. Saat ini, aku merasakan dunia berputar tanpa henti di sekelilingku, dan aku tak bisa menahan rasa takut yang menghantui pikiranku. Aku tidak ingin Jim meninggalkanku. Aku berjanji akan membalas perbuatanku ini agar Jim mau memaafkanku.

Barulah aku menangis sejadi-jadinya begitu sampai di rumah. Mataku berkaca-kaca saat aku melihat foto pernikahanku terpajang di dinding ruang tamu. Di sana, hanya tersisa gambarku tanpa Jim yang bagiannya terobek. Sekarang aku benar-benar ketakukan, aku benar-benar merasa kehilangan. Aku berjalan gontai ke ruang tengah dan aku semakin frustasi dan putus asa ketika membaca surat darinya dan menemukan cincin pernikahanku bersama surat itu. Benarkah ini sudah berakhir?

Dengan perlahan, aku mengambil ponsel dari tas tanganku. Kuhidupkan ponsel yang sudah kumatikan sejak semalam. Saat layarnya menyala, beberapa notifikasi langsung bermunculan, tetapi tak satu pun dari Jim. Aku mencoba menghubungi pengasuh anak-anakku, dan dia memberi tahu bahwa anak-anakku telah diambil oleh orangtuaku. Segera saja, aku menelepon orangtuaku, dan tak lama kemudian, panggilanku terhubung. Langsung saja suara ibuku menyambar telingaku.

''Dasar anak bodoh, bodoh, bodoh … ! Beraninya kamu memperlakukan Jim seperti itu, dia pria terbaik yang kukenal selain ayahmu. Bagaimana kamu bisa mempermalukannya seperti itu dan menjadi pelacur pada malam itu?”

“Ba..bagaimana Mommy tahu?” Tanyaku terkejut dan ragu.

“Jim datang ke rumah tadi malam dan menceritakan semuanya! Kami tak bisa berbuat apa-apa, kami tak bisa menahannya. Dia pergi untuk selamanya.” Jawab ibu membuat kepalaku berputar-putar.

“Ke..kemana dia pergi?” Tanyaku terbata-bata.

“Tidak tahu! Kami membencimu!” Sahut ibu dan langsung saja sambungan teleponku terputus.

Dalam sejarah hidupku, aku belum pernah merasakan pukulan telak dan merasakan sakit instan seperti ini. Aku terduduk di sofa tanpa harapan. Aku coba menghubungi Jim namun ada pemberitahuan kalau nomornya tidak aktif. Aku menelepon semua orang yang mengenal Jim tetapi semuanya menjawab tidak tahu keberadaan Jim. Sepertinya Jim telah benar-benar meninggalkan kehidupan masa lalunya, dia meninggalkan aku dan anak-anaknya.

Duduk sendiri di ruang yang sunyi, aku merasa hampa. Air mata mengalir deras di pipi, betapa rapuhnya diriku saat ini. Aku menyesali atas apa yang telah kulakukan di malam itu. Mengapa aku bersikap gegabah dan egois? Mengapa aku tidak memperkirakan Jim akan marah sehebat ini? Dalam kesendirian yang menyiksa ini, aku hanya bisa menangis dan menyesali kesalahanku. Semoga suatu hari nanti, aku mendapatkan pengampunan darinya.

########



JIMMY POV

Pesawat yang aku tumpangi lepas landas dari London dan mendarat di Edinburgh saat matahari baru mulai muncul. Saat keluar dari pesawat, cuaca dingin langsung menyapa. Setelah menyelesaikan proses pemeriksaan dokumen, aku segera menuju terminal untuk mengambil bagasi. Aku juga memesan taksi untuk mengantarkan aku ke rumah kakek di Selatan Kota Edinburgh. Selama perjalanan, aku mengamati pemandangan kota. Bangunan-bangunan dari batu granit masih berdiri kokoh, tidak banyak perubahan dari yang aku ingat sepuluh tahun yang lalu.

Ketika taksi berhenti di depan sebuah rumah tua, aku turun dari taksi sambil membawa koper. Udara dingin Skotlandia langsung menusuk kulit, sehingga aku segera mengeratkan mantel yang aku pakai. Rumah tua itu terlihat megah yang terbuat dari batu. Aku kemudian melangkah menuju teras rumah, lalu mengetuk pintu. Pintu pun terbuka, dan muncul seorang wanita tua. Rambutnya putih, wajahnya berkerut, namun matanya bersinar dengan hangat.

“Jimmy … Kau kah Jimmy?” Suara khas nenek-nenek masuk ke dalam gendang telingaku.

“Iya, nek … Aku Jimmy.” Sahutku.

“Oh, Tuhan. Aku gak nyangka bisa bertemu denganmu lagi.” Nenekku yang bernama Margareth langsung memelukku.

“Kita masih diberi umur, Nek.” Kataku sambil melepas pelukan. “Apakah kakek ada?” tanyaku kemudian.

“Ada di dalam. Masuklah!” Margareth membawaku ke dalam rumahnya.

Aku mengikuti nenek melewati lorong yang remang-remang. Nenek membuka pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah. Saat aku masuk ruang tengah, aku melihat seorang pria tua yang sedang membaca buku duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya putih dan wajahnya dihiasi keriput.

“Jhon … Tebak siapa yang datang?” Ucap Margareth pada kakekku.

Pria tua itu mengangkat kepalanya dan tersenyum. Dia berdiri dan menyambutku dengan hangat. "Jimmy," katanya, suaranya serak tapi penuh dengan kasih sayang. "Selamat datang di Skotlandia. Aku senang sekali kau datang."

Aku menjabat tangannya dan merasakan kekuatan dalam genggamannya.

"Aku senang bisa di sini, Kek," kataku. "Aku selalu ingin bertemu denganmu."

Kakek memelukku erat dan aku merasakan kehangatan kasih sayangnya. Aku merasa seperti menemukan bagian yang hilang dari diriku.

"Mari duduk," kata kakek, "dan ceritakan padaku tentang perjalananmu."

Aku duduk di kursi di seberangnya dan mulai menceritakan tentang perjalananku dari London ke Skotlandia. Jhon mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan dan menceritakan kisahnya sendiri tentang masa mudanya di Skotlandia.

“Kenapa anak dan istrimu tidak kau bawa?” Pertanyaan Jhon membuatku termenung untuk beberapa saat.

Setelah menghela nafas aku pun berkata, “Aku akan bercerai, Kek …”

“Bercerai? Apa masalahnya?” Kini Margareth yang bertanya sembari meletakan botol minuman dan beberapa gelas di meja.

“Linda mengkhianatiku, Nek … Dia tidur dengan Marc LaValliere.” Jawabku

Dan langsung saja aku ceritakan seluruh kejadian di malam naas itu. Jhon dan Margareth mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian. Wajah mereka menegang saat aku menceritakan bagaimana Linda meninggalkanku di tempat dansa, pergi dengan Marc tanpa memberitahuku.

Nenek menggelengkan kepalanya dengan prihatin. "Itu tidak bisa dimengerti," bisiknya. "Dia seharusnya tidak melakukan itu padamu."

Jhon mengepalkan tangannya dengan marah. "Dia tidak pantas memperlakukanmu seperti itu, Jimmy," katanya dengan suara tegas. "Kau berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik."

"Aku tahu," kataku berusaha untuk tetap tegar. "Aku akan baik-baik saja."

Margareth mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku. "Kau selalu bisa datang kepada kami," katanya. "Kami akan selalu ada untukmu."

Aku tersenyum dan menepuk tangan Margareth. Aku merasa beruntung memiliki kakek dan nenek yang begitu penyayang dan perhatian. Kami pun mulai bercerita pengalaman masa lalu, terutama cerita kedua orangtuaku yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu dalam kecelakaan lalu lintas. Jhon dan Margareth banyak bercerita tentang keluarga bahagia kedua orangtuaku.

Di sini, aku merasa seperti menemukan kehidupan baru. Aku tahu kalau perjalanan hidupku masih panjang dan penuh dengan rintangan. Tapi di sini, di rumah kakek dan nenek, aku menemukan kekuatan dan semangat untuk memulai kehidupan baru. Aku yakin dengan dukungan mereka, aku akan menemukan kebahagiaan yang aku cari.

********

Skip Time

Dua minggu telah berlalu sejak aku menginjakkan kaki di Skotlandia. Rasanya seperti baru kemarin aku disambut hangat oleh Jhon dan Margareth, kakek dan nenekku yang luar biasa. Setiap hari di sini penuh dengan kehangatan dan kasih sayang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, aku telah menemukan tempat baru yang aku sebut rumah. Aku menemukan keluarga baru yang aku sayangi.

Dengan relasi yang dimiliki Jhon, aku akhirnya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik kimia. Aku bekerja sebagai operator pengolahan bahan kimia yang bernama Asam Sulfurik. Pekerjaannya tidak mudah, tetapi aku sangat menikmatinya. Sudah seminggu aku bekerja di pabrik kimia ini. Setiap hari aku berhadapan dengan Asam Sulfurik, bahan kimia yang berbahaya jika tidak ditangani dengan hati-hati. Pekerjaan ini menuntut skill yang tinggi dan tingkat kehati-hatian yang maksimal. Aku harus selalu fokus dan waspada agar tidak terjadi kecelakaan. Awalnya aku merasa gugup dan terintimidasi. Tapi dengan bimbingan para senior dan ketekunan, aku mulai terbiasa dengan ritme kerja di sini. Aku belajar banyak tentang prosedur keselamatan dan cara menangani Asam Sulfurik dengan aman.

Saat ini aku sedang sibuk mengoperasikan mesin di tempat kerjaku. Tiba-tiba, suara banyak langkah kaki menggema di ruangan. Aku melihat Mr Anderson, pemilik perusahaan, datang bersama beberapa orang stafnya. Mereka datang untuk melakukan inspeksi di area tempat aku bekerja. Mr Anderson memeriksa setiap sudut dengan seksama. Dia bertanya beberapa pertanyaan kepada para pekerja, termasuk aku. Aku berusaha menjawabnya dengan tenang dan profesional.

Di tengah inspeksi, tiba-tiba terdengar suara sirine peringatan darurat yang menggema di seluruh pabrik. Jantungku berdegup kencang. Aku juga melihat kepanikan di wajah para pekerja. Aku segera mencari sumber bahaya. Aku melihat ke atas dan melihat ada pipa yang bocor di atas kepala Pak Anderson. Cairan kimia berbahaya berwarna hijau terang mulai menetes dari pipa. Tanpa pikir panjang, aku berlari sekuat tenagaku. Adrenalin mengalir deras di tubuhku, rasa takut tergantikan oleh tekad untuk menyelamatkan Mr Anderson. Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga, menjauh dari bahaya yang mengancam.

Sayangnya, cairan kimia berbahaya itu malah jatuh tepat di kepalaku. Wajahku terasa panas, perih, dan lengket. Aku melihat ke bawah dan melihat cairan kimia itu telah membakar sebagian kulitku, terutama wajahku. Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhku. Dunia terasa berputar. Pandanganku kabur. Aku merasakan kakiku lemas dan tanah di bawahku seakan runtuh. Dalam sekejap, kegelapan menyelimutiku dan aku kehilangan kesadaran.

Ketika aku terbangun, aku berada di rumah sakit. Tubuhku terasa lemah dan sakit. Wajahku ditutupi perban dan aku merasakan perih yang luar biasa. Dokter menjelaskan bahwa aku telah terkena cairan kimia berbahaya dan harus menjalani perawatan intensif. Saat aku menyadari bahwa aku berada di rumah sakit dalam keadaan seperti ini, aku merasa cemas dan takut akan kondisiku yang tidak pasti. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku. Apakah aku akan sembuh? Apakah aku akan cacat selamanya?

Aku mencoba untuk menguatkan diri dan menerima kenyataan ini. Aku harus berani menghadapi situasi ini, seberat apapun itu. Aku harus yakin bahwa aku bisa melewati ini. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidur, ditemani oleh rasa sakit dan ketakutan. Aku sering merasa terpuruk dan putus asa. Aku bertanya-tanya mengapa ini harus terjadi padaku. Namun, aku tidak ingin menyerah. Aku harus tetap tabah dan menjaga semangat agar bisa melawan rasa sakit dan menghadapi tantangan yang ada. Aku terus berusaha untuk berpikir positif dan fokus pada pemulihan.

*********

Skip Time

Perlahan tapi pasti, kondisiku mulai membaik. Setelah dua minggu mendapat perawatan yang intensif, luka bakar di tubuhku mulai sembuh dan perban di wajahku dilepas. Aku memang memiliki bekas luka, tetapi aku bersyukur karena masih bisa melihat dan hidup. Pengalaman ini mengajari aku tentang arti kekuatan dan ketahanan. Aku belajar bahwa aku lebih kuat daripada yang aku bayangkan. Aku belajar bahwa aku bisa melewati rintangan terberat dengan tekad dan semangat.

Saat aku sedang berbaring di ranjang rumah sakit, tiba-tiba pintu ruang perawatanku terbuka. Aku melihat Mr. Anderson, pemilik perusahaan tempatku bekerja, masuk ke dalam ruangan. Aku merasa sedikit terkejut dan senang melihatnya. Mr. Anderson tersenyum padaku dan aku membalas senyumannya. Dia terlihat lebih tua dan lelah daripada saat terakhir aku melihatnya. Dia berjalan ke arahku dan berdiri di sisi kanan ranjangku.

"Jim," sapanya dengan suara lembut. "Aku senang melihat kondisimu sudah membaik."

Aku mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak," kataku. "Saya merasa jauh lebih baik sekarang."

Mr. Anderson menjabat tanganku dengan erat. "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang kau lakukan untukku," katanya. "Kau telah menyelamatkan hidupku."

Aku merasa terharu mendengar kata-katanya. "Itu hanya refleks, Pak," kataku. "Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama."

Mr. Anderson menggelengkan kepalanya. "Tidak semua orang akan seberani dirimu," katanya. "Kau adalah pahlawan, Jim." Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa malu dengan pujiannya.

Mr. Anderson duduk di kursi di samping ranjangku. "Aku ingin membantu pemulihanmu secara sempurna," katanya. "Aku sudah berbicara dengan dokter dan dia mengatakan kalau kau akan mendapatkan perawatan yang paripurna."

Aku merasa penasaran. "Apa maksudnya, Pak?" tanyaku.

"Aku ingin kau dioperasi plastik untuk memperbaiki kerusakan pada wajah dan tubuhmu," jelas Mr. Anderson. "Aku akan menanggung semua biayanya."

Aku merasa terharu dengan tawarannya. "Terima kasih, Pak," kataku. "Tapi saya tidak ingin merepotkan Anda."

"Kau tidak merepotkan," kata Mr. Anderson. "Ini adalah hal kecil yang bisa aku lakukan untukmu."

Air mata menetes di pipiku saat Mr. Anderson menawarkan untuk membantuku dengan operasi plastik. Aku tidak percaya apa yang aku dengar. Rasa syukur dan haru meluap dalam diriku karena akhirnya ada seseorang yang peduli dan ingin membantu memperbaiki kondisiku. Tawaran Mr. Anderson bagaikan secercah cahaya di tengah kegelapan. Dia memberikan aku harapan untuk kembali hidup normal dan mendapatkan rasa percaya diri. Aku sangat senang karena memiliki kesempatan untuk mendapatkan penampilan baru yang lebih baik. Aku membayangkan wajahku yang akan kembali mulus dan tubuhku yang akan kembali normal. Aku sudah membayangkan hidupku yang akan kembali bahagia.

########



LINDA POV

Siang ini, aku duduk sendirian di teras rumah, merenung dan menatap ke kejauhan. Aku berharap Jim akan kembali. Sudah dua minggu lebih aku tidak bisa menemukan keberadaannya. Aku sudah melapor pada polisi, tapi aku belum mendapat konfirmasi apapun. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia terluka? Apakah dia masih hidup?

Hatiku dipenuhi oleh penyesalan atas keputusanku meninggalkan Jim di klub dansa dua minggu yang lalu. Aku tidak pernah menyangka bahwa itu akan menjadi terakhir kalinya aku melihatnya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa berdoa agar Jim ditemukan dalam keadaan selamat. Aku ingin meminta maaf padanya atas semua kesalahanku. Aku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa aku mencintainya.

Tiba-tiba, sebuah mobil memasuki halaman rumahku, dan sorot mataku langsung tertuju pada Dee yang turun dari mobil dengan senyumannya yang khas. Rasa lega memenuhi hatiku seketika, kehadiran Dee memecah kesepian yang sedang menyelimutiku. Ternyata, Dee tidak datang sendirian, Jane pun keluar dari mobil. Senyuman semakin melebar di wajahku ketika melihat Jane, karena aku tahu kalau Jane selalu hadir di saat-saat aku sulit. Dengan gembira, aku menyambut kedatangan mereka, karena aku yakin kehadiran mereka akan membantu meredakan beban penyesalanku dan memberikan hiburan yang sangat aku perlukan.

“Hai cantik …” Sapa Dee lalu menempelkan pipinya ke pipiku.

“Dari mana kalian?” Tanyaku pada Dee dan juga Jane yang sedang menempelkan pipinya padaku.

“Kami baru saja shopping terus mampir deh ke sini.” Jawab Dee.

“Ayo masuk!” Ajakku pada keduanya.

Aku membawa Dee dan Jane langsung ke dapur. Senyum mereka menghangatkan hatiku di tengah kesedihan yang masih menyelimuti. Aku segera membuat coklat panas untuk kami bertiga. Aku meletakkan gelas berisi coklat panas di atas meja makan, diiringi tawa ceria Dee dan Jane. Kami duduk di seputar meja makan, ngobrol sambil menikmati coklat panas. Dee dan Jane melontarkan candaan yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Aku merasa terhibur dan terlupakan dari masalahku untuk sementara waktu.

“Belum ada kabar dimana Jim berada?” Tanya Dee di sela keceriaan ini.

“Belum … Aku masih kepikiran gimana aku menyakiti hatinya.” Tiba-tiba hatiku kembali resah.

“Kamu harus move on.” Ujar Dee sembari memegang bahuku.

“Benar, Lin ... Hidupmu masih panjang. Jangan buang waktu untuk memikirkan orang yang tidak jelas kabarnya.” Jane menimpali.

“Tapi aku masih sayang sama dia.” Kataku.

“Sayang boleh, tapi kamu juga harus sayang sama diri sendiri. Jim sudah tidak ada di hidupmu. Kamu harus fokus ke masa depan.” Ucap Dee.

“Iya, Lin ... Masa kamu mau terus-terusan terjebak di masa lalu?” Jane berusaha memberikan semangat.

“Tapi aku tidak tahu caranya melupakan dia.” Aku menatap kedua sahabatku satu persatu.

“Gampang. Kamu harus sibukkan diri dengan kegiatan apa saja. Lakukan hal-hal yang kamu suka.” Dee memberikan saran dengan penuh keyakinan, matanya penuh semangat.

“Iya, benar. Kamu bisa coba cari hobi baru, atau cari pekerjaan.” Sambung Jane dengan senyum tulus, memberikan dukungan tambahan.

“Aku masih merasa hampa.” Kataku lemas.

“Wajar kok. Tapi kamu harus yakin, rasa hampa itu akan hilang dengan sendirinya.” Ungkap Dee dengan penuh pengertian.

“Mungkin kamu bisa coba cari pengganti Jim.” Kata Jane dengan nada lembut.

“Ah, aku belum siap untuk itu.” Jawabku sambil menggelengkan kepala.

“Tidak apa-apa. Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu kamu bisa menemukan kebahagiaan baru.” Dee seperti ingin membujukku.

“Yang terpenting, kamu harus yakin bahwa kamu pantas bahagia.” Lanjut Jane tegas.

“Terima kasih atas saran kalian. Tapi aku masih butuh waktu untuk itu. Saat ini aku masih berharap menemukan Jim dan meminta maaf padanya. Aku hanya ingin kepastian, apakah rumah tanggaku ini masih bisa bertahan atau tidak.” Kataku lemah sarat dengan keputusasaan.

Dee dan Jane masih setia menemaniku. Dee menceritakan kisah inspiratif tentang sahabatnya yang bangkit dari keterpurukan setelah ditinggal kekasihnya. Jane pun berbagi pengalamannya saat berhasil move on dari cinta yang tak berbalas. Cerita mereka bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan. Perlahan, rasa bersalah yang selama ini menggerogoti hatiku mulai memudar. Aku mulai menyadari bahwa aku tak perlu terus terjebak dalam lingkaran kesedihan. Aku mulai yakin bahwa aku pun bisa melewati masa sulit ini. Aku bisa melepaskan Jim dan membuka hati untuk kebahagiaan baru.

########



JIMMY POV

Sehari setelah Mr. Anderson menawariku operasi plastik, aku memberanikan diri untuk menjalaninya. Aku tak ingin lagi melihat wajahku yang penuh luka bakar. Di ruang operasi, aroma antiseptik menusuk hidung. Aku berbaring di atas ranjang, dikelilingi oleh tim medis yang profesional. Rasa gugup menyelimuti diriku, namun tekad untuk mengubah hidupku menjadi lebih baik menguatkan tekadku.

Obat bius perlahan mengalir ke dalam tubuhku, membawaku ke alam mimpi. Aku tak merasakan apapun selama proses operasi berlangsung. Saat aku terbangun, rasa mual dan pusing menyambutku. Perlahan, kesadaran kembali dan aku melihat diriku berada di ruang pemulihan. Perban melilit wajahku, menutupi hasil operasi. Rasa nyeri dan ketidaknyamanan di area operasi tak terelakkan. Tim medis dengan sigap memberiku obat penghilang rasa sakit, meredakan sedikit rasa perih yang menjalar.

Aku dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemantauan dan perawatan lanjutan. Hari-hari berikutnya terasa berat. Aku harus beradaptasi dengan kondisi baru, wajah yang baru. Rasa sakit dan ketidaknyamanan masih menghantui, namun tekadku untuk bangkit tak goyah. Setiap hari, aku melihat perubahan kecil pada wajahku. Pada hari ketiga pasca operasi, bengkak mulai mereda, perban mulai dilepas. Perlahan, wajah baru mulai terlihat. Wajah yang tak lagi memiliki bekas luka bakar, wajah yang penuh harapan baru.

Jantungku berdegup kencang saat tim medis memberikan cermin padaku. Perlahan, aku membuka mataku lebar dan melihat wajahku yang baru. Sesaat, aku tak mengenali diriku sendiri. Wajah yang terpantul di cermin itu begitu asing, namun begitu luar biasa tampan. Bekas luka bakar yang mengerikan telah hilang, digantikan oleh kulit mulus dan fitur wajah yang rupawan. Aku takjub dengan wajahku sendiri. Aku tak percaya tim medis bisa melakukan transformasi yang luar biasa ini.

Perlahan, aku mulai membiasakan diri dengan wajahku yang baru. Aku mengamatinya dari berbagai sudut, mempelajari setiap lekuk dan garisnya. Aku merasa seperti dilahirkan kembali, dengan wajah yang sangat menjanjikan ini. Aku membayangkan bagaimana reaksi orang-orang saat mereka melihat wajahku yang baru. Aku yakin mereka akan terkejut dan kagum. Aku tak sabar untuk menunjukkan wajahku yang baru kepada dunia.

Tiba-tiba, pintu ruanganku terbuka. Jhon dan Margareth masuk, membawa sekeranjang buah dan bunga untukku. Senyum mereka langsung memudar saat melihat wajahku.

"Jim?" Margareth bertanya dengan ragu.

Jhon melangkah maju, mendekatkan diri denganku. "Astaga … Apa kamu Jim?"

“Ayolah … Jangan mencandai seperti itu …” Kataku sambil tersenyum. Jhon dan Margareth saling bertukar pandang. Ada rasa canggung di antara kami.

"Wajahmu... Oh My God …?!" Jhon akhirnya berkata.

Margareth memandangku lekat-lekat. "Ini luar biasa … Kau terlihat sangat tampan sekarang."

Aku berterima kasih atas pujian mereka, “Terima kasih atas pujiannya. Kalian memang yang terbaik.”

“Mantan istrimu akan menyesal melihatmu seperti ini, Jim.” Ujar Jhon sambil memukul pahaku pelan.

“Hati-hati Jhon! Dia masih belum pulih!” Pekik Margareth marah pada kakekku.

“Tenang saja … Dia laki-laki yang kuat.” Canda Jhon.

“Pahaku tidak apa-apa, Nek … Asal jangan muka saja. Ini belum pulih benar.” Sambungku sambil tersenyum.

Sepanjang perbincangan, aku merasakan kasih sayang mereka yang begitu besar. Dukungan dan semangat mereka bagaikan selimut hangat yang menyelimutiku, memberiku kekuatan. Rasa sayangku kepada mereka begitu besar. Aku menggenggam tangan mereka dengan erat, merasakan kehangatan dan kekuatan yang terpancar darinya. Saat ini, aku tahu kalau aku tidak sendirian. Aku memiliki mereka, dan itu adalah kekuatan terbesarku.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd