Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

minute affection

SchDresden

Guru Semprot
Daftar
3 Mar 2018
Post
522
Like diterima
1.105
Lokasi
nol ya
Bimabet
INTRODUCTION

Ini merupakan attempt pertama bikin cerita di forum ini. Cerita ini sebetulnya udah lama nyangkut di notes hp. Baru kali ini akhirnya bisa muncul disini setelah mendapat ide dari sekitar dan membaca beberapa karya suhu-suhu disini. Thanks for all of your help.

Disclaimer:
-Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat dsb itu hanya kebetulan semata.
-Silahkan memberi kritik dan saran yang bertujuan untuk pengembangan cerita
.

without further ado, please enjoy.

--------------------------------

TABLE OF CONTENTS

intro
part 0/prologue
part 1
 
Terakhir diubah:
Part 0/Prologue

-----------------------------

04.59

Tick. Tick. Tick.

Bunyi jam di dinding merayap dengan tenang menunjukkan waktu menjelang pukul 5, hanya untuk diredam bunyi alarm yang memecah kesunyian pagi.

Beep beep beep! Beep beep beep!

'Mmgh.' suara lenguhan keluar dari mulutku dengan malasnya.

Suara alarm masih memekik, menunggu untuk dipadamkan.

'Hey, bangun yuk.' ajak sebuah suara, lebih tepatnya suara halus seorang wanita sambil memelukku dari belakang.

'Lima menit lagi,' ucapku tanpa membuka mata.

'Ayo, nanti kita telat loh.' kali ini suara itu terdengar jelas sekali, berbisik tepat di daun telinga.

'Okay, okay.' jawabku sambil beralih ke posisi duduk dan menarik nafas panjang sebelum mematikan alarm dan menyusul wanita itu ke kamar mandi.

Wanita itu berdiri di depan wastafel, tanpa sehelai benangpun.

'Kamu mau apa pagi ini?' tanyanya menghadap kaca sambil mengikat rambut.

'Liburan.' jawabku sambil tertawa kecil.

Mendengar jawabanku, dia berbalik sambil tersenyum lalu menghampiriku yang berdiri di pintu kamar mandi. 'Maksud aku, kamu mau sarapan apa?'

'Sandwich, please.' jawabku sambil mendekatkan wajahku padanya.

'Coming right up,' ujarnya sambil mendaratkan telapak tangannya di wajahku.

Dia pun melangkah ke arah dapur, menutupi tubuhnya hanya dengan sebuah apron, menyisakan punggungnya yang putih seperti gading dan bokongnya yang menggoda visus, sementara aku melangkah masuk ke kamar mandi, melaksanakan tugas yang setiap pagi selalu kulakukan. Beberapa detik kemudian bunyi flush toilet bergema di kamar mandi, diikuti decitan keran wastafel dan dentuman lembut handuk.

Aku melangkah keluar dari kamar mandi mengikutinya ke dapur, lalu mengambil sebuah pouch di dalam lemari.

'Kamu mau kopi, babe?' tanyaku.

'Uh huh.' jawabnya sambil mengangkat sebuah roti dari atas sebuah pan.

'Gulanya berapa sendok?' tanyaku lagi.

'Satu sendok, pake susu dikit.'

Beberapa saat kemudian kami duduk di meja makan saling berhadapan setelah menikmati sajian yang dibuat oleh satu sama lain.

'Besok kita jadi pergi?' tanyanya sambil bertopang dagu. Matanya menatapku lekat-lekat.

'Tenang aja, aku udah ngambil cuti buat besok.' sambungku sambil memainkan handphone, sesekali kupandangi kilau rambutnya yang kembali tergerai, disinari lampu meja tempat kami duduk saat ini.

Dia tersenyum lebar dan melangkah ke kamar mandi.

Sambil menguap kusambungkan handphone ke bluetooth speaker dengan volume rendah agar tidak mengundang emosi sekitar. Lalu kubuka spotify dan memutar lagu random, menemaniku mengecek chat sisa semalam yang belum sempat dibaca atau dibalas.

Sebuah intro lagu dengan kombinasi genjrengan gitar dan betotan bass yang padu langsung memenuhi ruangan saat aku beranjak untuk membuka gorden. Tepat di saat aku menarik gorden ke samping, seketika itu juga mataku silau dibanjiri cahaya matahari pagi.

When I wake up in the morning, love
And the sunlight hurts my eyes
And something without warning, love

Bears heavy on my mind

Bill Withers - Lovely Day

Kepalaku menghadap ke samping menghindari cahaya dan disitu kulihat foto-fotoku bersama wanita tadi diatas sebuah meja.

'Let's do this.'

Bisikku pada diriku sendiri sambil menyeruput kopi yang masih bersisa.

And that's how this story began.
 
Part 1

-----------------------------

12.33

'Terima kasih dok,' ucap seorang ibu-ibu sambil beranjak dari hadapanku.
'Sama-sama bu.' balasku sambil ikut berdiri.

Ibu itu kemudian melangkah keluar ruangan setelah diantar seorang perawat sampai ke pintu. Aku menuju wastafel untuk mencuci tangan yang padahal sudah bersih.

'Dok, barusan dr. Kamal titip pesan, katanya disuruh ketemu beliau di kantin.' ucap suster tadi padaku sambil merapikan file di meja.
'Okay, makasih ya.' sahutku sambil mengeringkan tangan.

Kemudian aku berkemas-kemas dan menenteng tas keluar, meninggalkan Mita yang masih berberes di dalam ruangan.

Sebetulnya aku mau makan di luar, mampir ke kantornya Albert yang tak jauh dari rumah sakit tempatku bekerja. Di dekat situ ada rumah makan yang terkenal dengan sotonya dan air putih yang gratis selama kita mengambilnya sendiri.

Masalahnya aku tak bisa mengabaikan panggilan mentorku ini. Dulu sewaktu masih pendidikan, tak terhitung rasanya berapa kali dia sudah menyelamatkanku dari masalah. Dia jugalah yang merekomendasikanku saat aku hendak melamar pekerjaan setelah lulus. Bagiku dia adalah sosok seorang kakak yang mengayomi adik-adiknya.

'Oi Rik! Sebelah sini!' panggilnya sambil melambaikan tangan.
'Iya bang, ada apa?' jawabku sambil duduk di sebelahnya
'Bulan depan lu bisa bantuin gua jaga IGD ga?'
'Kenapa emangnya?'
'Rio bulan depan nikahan, trus rencananya cuti beberapa hari mau honeymoon, ini dia lagi nyari orang buat gantiin dia.'
'Oh ya? Kok gua ga dapet undangan?'
'Dia baru ngasih tau gua aja, bisa ga lu kira-kira? Duitnya aman lah,'

Damn.

Bukan masalah uangnya, tapi bulan depan adalah momen krusial dalam hidupku seandainya perkara besok berhasil. Tapi yang sedang minta tolong padaku sekarang ini adalah orang yang mungkin sampai beberapa tahun kedepan bakal terus nge back-up pekerjaanku disini.

'Yaudah bang, lagian Bang Rio juga udah sering bantu gua.'
'Woke, gua kabarin dia sekarang.' Kamal langsung membuka handphonenya untuk menelpon Rio. Aku pun secara tak sadar menirunya membuka handphone.

'Oi dimana lu? Ditungguin ga nongol' chat Albert.
'Lanjut aja bro, lagi ada urusan' balasku.
'Oke.' tutupnya.

'Rio nyuruh kita pesen aja dulu, bentar lagi dia mau kesini.' kata Kamal sambil mematikan handphonenya'
'Oke bang.' sahutku singkat.

Sebuah pesan masuk ke handphone;

'Rik, nanti malam ajak Dennis sama Albert sekalian mampir kerumah buat makan malam.'

Begitulah isi sebuah pesan dari seseorang yang kukenal sangat baik, seseorang yang sudah berkontribusi besar dalam hidupku. Setelah mengucapkan afirmasi dan terima kasih pada sang pengirim pesan, tak butuh waktu lama bagiku untuk mengabari Dennis dan Albert untuk ngopi sepulang kerja demi menggagalkan ramalanku sendiri kalau Albert bakal membeli sate ayam pengkolan langganan kami untuk makan malam hari ini.

--------------------------

17.30

Mataku terpaku pada bulir-bulir air yang sedang balapan lari ke dasar kaca karena godaan gravitasi. Kulihat lebih jauh lagi, gelembung-gelembung kecil yang berumur pendek bertebaran di jalanan yang basah di bombardir air hujan.

'Gimana Rik? Lu ada rencana propose ke Ruri?' tanya Albert.
'Ada lah, tunggu aja tanggalnya.'
'Yaelah kasih tau aja sih kapan, nanti gua bantuin.' sela Dennis.
'Santai Nis, kok malah lu yang heboh.' kataku sambil tertawa.

Dua orang yang duduk didepanku adalah Albert dan Dennis, dua orang teman dekatku yang kuanggap sudah seperti saudara sendiri.

Sedari jaman sekolah, kami selalu bareng. Alasannya sederhana, teman-teman merasa kalau kami ini tidak lulus seleksi 'pilih-pilih teman' versi orang tua mereka, menjadikan kami bertiga 'kaum marjinal' di lingkungan itu.

Albert adalah seorang laki-laki yang membawa harapan keluarganya dari timur sana karena sedari kecil ayahnya sudah tiada. Dulu dia dititipkan pada seorang kerabat yang tinggal di kota ini dengan harapan dia bisa bersekolah dengan layak.

Teman-teman sekolah dulu ogah berteman dengannya karena fisiknya yang 'berbeda' dan parahnya, orang tua murid menjauhkan mereka darinya karena rumor belaka kalau Albert ini anak seorang 'tukang pukul'. Padahal dia orang yang sopan dengan budi pekerti yang baik, bertolak belakang dengan apa yang dikatakan orang-orang akan penampilannya.

Kini ia sudah bisa dibilang sukses, tapi sayangnya ibunya malah pergi menyusul ayahnya sebelum sempat merasakan kesuksesan anak laki-laki tertuanya.

Dennis adalah orang yang bisa dibilang paling nakal dan sukses dari kami bertiga ini. Awalnya aku kenal dengan Dennis setelah bertengkar dengannya semasa sekolah gara-gara main bola, tapi sejak saat itulah kami menjadi akrab.

Image miring lekat dengan dirinya sejak kecil, orang-orang selalu membicarakan kalau dia punya seorang ibu yang 'terkunci' di sebuah apartemen dan seorang ayah di tempat tinggi yang dia tak tahu siapa hingga saat ini.

Tapi dia tak pernah ambil pusing akan omongan orang, malahan kini dia mempekerjakan beberapa orang yang mencibirnya dahulu di usaha kecil miliknya sendiri.

Dan aku sendiri, tereliminasi akibat lebih memilih berteman dengan dua orang ini, dan sampai hari ini tak pernah sekalipun aku menyesali keputusan itu.

Bahkan selepas sekolah, kami bertiga kuliah di satu univ yang sama. Walaupun berbeda fakultas dan jurusan, kami tinggal satu kontrakan. Ketika orang-orang pulang melepas rindu bersama keluarga setiap semesteran, kami malah memilih nongkrong di warteg diujung jalan kontrakan, makan nasi telor tempe sambil sesekali benyanyi mengikuti alunan petikan gitar yang biasanya dijoki oleh Albert.

Alasannya ada dua, yang pertama karena krisis moneter bulanan yang komplikasinya makin terasa apabila makin mendekati akhir bulan, dan yang kedua kami tak punya rumah dan keluarga untuk sebenar-benarnya kembali. Aku masih ingat betul saat si mas penjaga warteg itu menangis saat kami hendak pamit karena masa studi kami telah berakhir.

'Sate ayam pengkolan enak kayanya ntar malem nih.' ucap Albert mengganti topik.
'Gausah,' cegahku. 'Tante Eni ngajak kita makan malam dirumahnya nanti.'
'Wah boleh juga,' sambung Dennis. 'Udah lama juga kita gak ketemu Tante Eni.'
'Yaudah sejam lagi kita gerak.' kataku sambil menyeruput kopi.'

----------------------------

19.10

'Tan, kami udah deket rumah nih,' kataku sambil memegangi handphone di telinga.
'Oke, masuk aja, pagar gak dikunci kok.' balas seseorang dari sisi lain telepon.
'Siap.' tutupku singkat.

Kami tiba di sebuah rumah dengan pagar hitam yang lumayan tinggi. Aku turun dari mobil dan membuka pagar, tampaklah halaman depan yang lumayan luas dengan berbagai macam bunga ada di tamannya, mobil pun diparkir di depan garasi sambil aku menutup lagi pagar itu.

'Rik! Udah lama gak ketemu!' seru seorang wanita berusia lima puluhan yang baru keluar dari balik pintu teras. Wajahnya sudah tak secantik dulu, tapi masih mengingatkanku pada wajah seorang ibu.
'Apa kabar tan?' tanyaku sopan sambil mencium tangannya.
'Baik, kamu gimana?' balasnya
'Sehat, Om Hadi mana? ucapku berbasa-basi.
'Ada tuh di depan TV, masuklah dulu,' balasnya lagi.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah, diikuti Albert dan Dennis yang sedang menyalami Tante Eni setelahku.

'Sehat Nis? Al?' tanya Tante Eni pada dua orang itu.
'Sehat tante,' jawab mereka kompak.

Apabila kalian penasaran bagaimana Dennis dan Albert bisa kenal Tante Eni, beberapa tahun yang lalu waktu kami baru lulus jadi sarjana, Tante Eni dan Om Hadi menyarankan kami tinggal disini selama beberapa minggu sampai kami mendapat pekerjaan, dan out of courtesy karena sudah diijinkan tinggal disini, kami membantu mereka mengerjakan berbagai macam odd jobs, termasuk menjadi tukang reparasi, tukang kebun dan tukang setir.

Memori menyerang otakku seraya aku melangkahkan kaki di dalam rumah tempat aku menghabiskan sebagian masa hidupku dulu. Tak banyak yang berubah dari rumah ini kecuali sekarang lebih banyak hiasan di dalamnya. Bahkan foto keluarga dalam frame kayu yang seharusnya aku tidak ikut didalamnya pun masih ada, tak bergerak dari dinding ruang tengah.

Kemudian kudapati seorang laki-laki sedang duduk di ruang tengah sambil menonton dokumenter NatGeo, channel TV kesukaannya.

'Om, apa kabar?' sapaku sambil berdiri di belakangnya.

Sontak dia berdiri mendengar sapaanku tadi.

'Eh, Rik! Baik, baik!' jawabnya tersenyum sambil menepuk-nepuk bahuku. 'Gimana kerjaan di rumah sakit?'
'Gitu-gitu aja om, aman.' ucapku sambil mengembangkan senyum dan mencium tangannya.
'Ayo duduk dulu.' persilahkannya pada kami ke arah ruang tengah untuk bergabung dengannya.

Aku duduk satu sofa di samping kanannya persis sementara teman-temanku duduk di sofa sebelah kananku lagi yang menghadap sembilan puluh derajat terhadap sofa yang kududuki, seolah-olah kami berempat membentuk letter L. Kuperhatikan rambut di kepala pria ini semakin tipis dibandingkan beberapa tahun lalu, tapi senyumannya masih tetap sama seperti dulu.

Kedua orang yang tinggal dirumah ini adalah orang yang sudah berjasa merawatku sejak kedua orang tuaku tiada akibat kecelakaan mobil lima belas tahun yang lalu. Mereka sebetulnya tak keberatan jika aku benar-benar tinggal bersama mereka, apalagi sejak sepupuku; anak laki-laki mereka, tenggelam di laut tak lama berselang setelah kejadian itu. Kami bertiga sudah sama-sama merasakan pahitnya kemalangan, dan kupikir perasaan itu juga yang menjadikan mereka sudah mengganggapku seperti anak sendiri.

Tapi aku memilih hidup mandiri sejak selepas SMA. Alasannya sederhana, mereka punya dunianya sendiri, dan aku juga tak mau dianggap menjadi pengganggu bagi Eva, anak perempuan mereka yang sekarang sedang kuliah. Aku tak ingin banyak bergantung pada mereka, jikalau suatu hari mereka juga pergi, aku tak akan kesulitan menghadapi hidup yang memang terkenal tidak adil ini.

Setelah makanan siap, kami kemudian duduk berlima di meja makan berbentuk persegi, masing-masing duduk berpasangan di satu sisi, menyisakan satu sisi kosong dan aku yang duduk sendiri menghadap kedua kawanku. Tak ada yang spesial dari makan malam ini, seperti makan malam pada umumnya, yang terdengar adalah dentingan alat makan yang berorkestra dengan obrolan meja makan. Sebagai tamu yang baik, tak lupa kami bertiga membantu beres-beres setelah makan. Setelah sebuah sesi a trip down memory lane dan mendengarkan nasihat, kami melangkah ke pintu depan, bersiap untuk pulang.

'Tante denger besok kamu mau pergi sama Ruri ya?' tanya Tante Eni dengan nada setengah bercanda padaku yang sedang memakai sepatu.

'How on earth did she know?' gumamku dalam hati.

'Mungkin.' jawabku singkat.
'Kemana?' balasnya tak kalah singkat.
'Mau tau aja deh tan, hehe.' balasku lagi dengan nada setengah mengejek.
'Ih kamu mah,' ucapnya dengan sedikit cemberut.
'Hati-hati di jalan,' sela Om Hadi yang membantuku membunuh topik pembicaraan sambil tersenyum.

Dari sekian banyak hal bagus yang bisa ditiru dari seorang Om Hadi, hanya satu hal yang tak bisa sepenuhnya kutanamkan pada diriku. Tak ada orang yang se-tidak-mau-tahu-urusan-orang-lain seperti dia. Awalnya kupikir dia murni bersikap cuek, tapi setelah kulihat lebih dekat lagi, dia hanya memilih untuk tidak mengusik urusan orang lain, siapapun itu orangnya. Kalaupun dia tahu sesuatu akan urusan seseorang, dia hanya akan meninggalkannya pada level superfisial. Bahkan untuk obrolan ringan politik level warung kopi sekalipun, dia tak pernah mau membahasnya denganku. Kurasa hal itu juga yang membuatnya terkenal jauh dari kata masalah. Silence is gold indeed.

'Makasih ya om, tante.' ucapku pada Om Hadi dan Tante Eni.
'Pamit dulu, om, tante,' ucap kedua orang secara bersamaan di belakangku sambil sedikit membungkuk.
'Oke, hati-hati ya.' kata Tante Eni sambil melambaikan tangannya ditemani Om Hadi.

Aku pun melangkah masuk ke dalam mobil menyusul Albert dan Dennis, meluncur pergi ke kegelapan malam ditemani lampu jalan.

'Beneran tuh besok lu jalan sama Ruri?' cuap Dennis dari sisi pengemudi.
'Jangan-jangan besok itu tanggal yang lu maksud ya?' sambung Albert dari sisi sebelahnya.
'Udah, lu tunggu kabar dari gue aja nanti.' potongku sambil cengengesan.

Sebuah pesan masuk, dari Ruri.

'Rate this, gonna wear it for tomorrow.' tulisnya disusul oleh sebuah gambar dirinya berpose mengenakan lingerie merah yang serasi.
'Solid 5/7.' balasku sambil tertawa kecil.

'What?' 'Serius ihhh.' balasnya cepat sambil disusul sebuah emote, wajah merah dengan bibir melengkung ke atas.
Aku hanya menulis 'Lmao see ya tomorrow' dan tak lama kemudian dia membalas 'Don't be late'.
'Okay.' tutupku singkat dan layar pun padam.

Sepanjang jalan aku tersenyum sendiri membayangkan besok.

Ah waktu, kalau saja kau bisa di-skip langsung jadi besok...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd