Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG MY LOVE JOURNEY 2 (Boski Storys)

Bimabet
My Love Journey 2 – Boski Storys






CHAPTER 1.10



POV 3


Seorang pemuda sedang berdiri di bawah pohon yang rindang pada sebuah taman yang letaknya persis di depan SMA. Pemuda yang bernama Candra itu terus mengawasi gerbang sekolah, ada yang laki-laki itu tunggu walaupun hatinya kurang yakin kalau orang yang ditunggunya itu bersekolah di sana. Widya adalah wanita yang ditunggu Candra.

“Gila panas banget ni hari, mana ****** gue mana tau lagi sekolahan si Widya, berat nih Ransel..tapi gue yakin dia sekolah disini dulu...!! Maki Candra dalam hati sambil mencopot tas di belakang punggungnya. Tiba-tiba Candra terkejut ketika seseorang menyapanya tanpa Candra ketahui sejak kapan orang itu berada di sini.
“Brengsek lu ...! Gue cariin ke mana-mana ... Gak taunya, lu nongkrong di sini...!” Orang itu menimpuk bahu Candra.
“Eh lu ... Lang ... Lu ngapain di sini ...?” Tanya Candra pada lelaki seumurannya. Dialah Galang, salah seorang pentolan dan tangan kanan Johan.
“Biasa ... Ada pesenan anak sekolah sini, lagian lu ngapain di sini ...? Si boss johan nyariin lu tuh!” Jawab Galang.
“Gue lagi ada masalah, jadi males ngumpul untuk hari ini, bilang aja ntar gue kesana!” Jawab Candra dengan nada sedikit meremehkan dan kembali melirik ke arah gerbang sekolah. Beberapa detik berselang terdengar bel dari arah sekolah menandakan jam sekolah telah habis. Galang memperhatikan Candra dengan serius. Tiba-tiba galang menarik kerah Candra dan berkata keras pada Candra.
“Denger yah Can ...! Gue gak peduli siapa lu …! Lu udah buat boss Johan uring-uringan, jadi lu jangan macem-macem ... Dah lu ikut gue ...!” Ucap Galang sambil mengangkat tangan dan muncullah beberapa orang berwajah garang dari arah mobil yang terparkir tak jauh dari situ.
“Apa-apaan lu Lang ...!” Candra meronta sedikit panik mendapat perlakuan keras dari Galang. Belum sempat Candra tersadar penuh, Galang lalu memiting tubuh Candra hingga tak berkutik, terlihat para siswa pun telah bergerombol keluar untuk pulang dari arah gerbang sekolah, dengan cepat dua orang berwajah garang meringkus Candra dan menyeret Candra ke arah mobil.

Candra pun meronta mencoba melawan hingga menimbulkan keributan yang menarik perhatian para siswa yang baru keluar gerbang sekolah. Hingga, “bugg!!!” sebuah hantaman mengenai punduk Candra hingga pingsan, lalu Candra pun digotong lalu dimasukan ke dalam mobil. Saat kedua orang berwajah garang membawa tubuh candra, tiba-tiba terdengar teriakan.
“Caaaaanndraaaa..” Suara teriakan wanita memanggil nama Candra.
“Ayo cepet jalan…!” Perintah Galang, lalu Galang naik ke dalam mobil dan diikuti yang lainnya. Dan mobil pun langsung menancap gas meninggalkan lokasi.


###


Lima belas menit sebelumnya ....

Widya merasakan dirinya seperti hilang di tengah rimba belantara, karena pikirannya tidak fokus pada pelajaran. Pikirannya terus mengembara pada kejadian malam tadi. Widya masih memikirkan perkataan ayahnya semalam. Ada perasaan menyesal yang mendalam atas tindakan dirinya yang mudah saja menyerah akan situasi tadi malam.

Widya duduk dihadapan ayahnya, Rangga, dengan menundukkan kepala tak berani dia menatap wajah ayahnya. Terdengar hembusan nafas ayahnya yang begitu berat saat Widya menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Fuuuufftt....” Rangga menghembuskan nafas dan masih diam, dahinya sesekali dipijat oleh tangannya sendiri.
“Wid, kamu tahu kan ... Ayah selalu keras mendidik Rizki dibandingkan kamu, tahu kenapa ayah memperlakukan kamu berbeda dengan Rizki?” Tiba-tiba Rangga bertanya perihal perbedaan perlakuan dirinya yang berbeda pada kedua anaknya. Widya hanya bisa menggelengkan kepala, Rangga pun berdiri dan berjalan pada pintu yang terbuka dipandanginya langit di kegelapan malam.
“Ayah keras ke adik kamu karena ayah ingin Rizki menjadi seorang laki laki yang kuat penuh tanggung jawab akan hidupnya dan menjadikan seorang pemimpin bagi keluarganya, ayah tak ingin dirinya menjadi lemah, dan yang terutama papah ingin Rizki selalu melindungi dan menjaga kamu, serta mamah jika ayah tak ada di sisi kalian, tapi tidak dengan kamu. Kamu adalah anak perempuan ayah yang ayah didik dengan penuh kelembutan dan kasih sayang ditambah dibekalin dengan wawasan dan pendidikan yang luas agar kamu bisa menentukan jalan hidup kamu. Terlepas dari itu semua ayah ingin kamu ingin tak dianggap sebelah mata jika kamu berumah tangga.” Papar Rangga tanpa menoleh pada Widya.
“Maafin Widya … hiikks ... Tapi semalam itu tak seperti ayah dan Rizki pikirkan ... Widya melakukannya dengan terpaksa ... Hiikss ...” Widya pun akhirnya menceritakan semuanya dari awal hingga akhir, Rangga hanya bisa menghembuskan nafasnya mencerna semua perkataan Widya.
“Ayah mengerti maksud dan tujuan kamu melakukan semua itu, tapi kamu tidak memikirkan akibatnya. Rizki yang tak mengerti apa yang terjadi pada dirimu tentu akan kecewa melihat kamu dilecehkan begitu, dia sangat menyayangi kamu!!, padahal ada cara lain tanpa harus menyanggupi ancaman itu, tapi entahlah apa yang ada diotak kamu yang dibutakan oleh rasa cinta yang akhirnya kamu hanya menerimanya, betapa murahnya harga diri kamu ...” Lirih Rangga menutupi kekesalannya. Lalu Rangga berbalik dan berdiri dihadapan Widya.
"Ayah cuma segitu aja menasihati kamu, Wid. Kewajiban Ayah cuma membesarkan dan mendidik kamu agar menjadi anak yang sukses. Tapi Ayah nggak akan melarang kamu seperti yang dituduhkan adekmu itu. Itu pilihan hidup kamu, Ayah bisa apa?" Rangga yang bicara pelan namun menyindir sangat halus, membuat hati Widya terasa sakit dengan sindiran Ayahnya, "Ya sudah, cuma gitu aja Ayah bicara sama kamu. Tolong pikirkan lagi pembicaraan ini!" Lanjut Rangga. Setelah Rangga meninggalkan Widya, pecahlah tangis Widya yang sedari tadi dia tahan.
“Hiiks, dek ... Maafin kakak … Kamu dimana dek ... bodoh ... bodoh …!” Widya memukul kepalanya sendiri menyesali diri.
Sepanjang jalan menuju rumah dinas, Widya memperhatikan setiap sudut jalan dengan harapan dapat menemukan sosok Rizki, hingga semua sirna harapannya saat Ratna memaksa untuk pulang ke rumah.

“Teeeeeeeettttt ...!” Bel pertanda jam sekolah telah habis menyadarkan lamunan Widya, dengan malas ia menutup buku catatannya. Ketika saat hendak memasukan buku ke dalam tas terbesit sebuah pikiran dimana adiknya berada, dan lalu dengan terburu-buru merapihkan tasnya dan langsung berlari keluar kelas.

“Bego kenapa gak kepikiran pasti dia ada di rumah tante Haimah. Aku mesti nyusulin Rizki … Aku yakin pasti di sana!!” Terbesit dalam benak Widya kalau adiknya berada di tantenya, dia yakin Rizki ada di sana.
Saat Widya keluar dari gerbang sekolah terdengar teriakan keributan dari seseorang dari seberang jalan membuat para siswa yang hendak pulang malah berkerumun menonton keributan.
“Ada apaan sih?” Gumam Widya sambil berdesakan diantara siswa yang penasaran dengan keributan itu. Akhirnya Widya bisa melihat suatu kejadian seseorang yang sedang meronta-ronta yang tengah diseret ke arah sebuah mobil. Dan Widya pun kaget setelah mengetahui siapa orang yang tengah diseret.
“Candra, ngapain dia kesini?” Gumam Widya dengan tangan menutup mulutnya tak percaya lelaki yang melecehkan dirinya semalam berada di lingkungan sekolahnya. Timbul rasa benci pada Candra tapi perasaan itu hanya sementara.
Saat tiba-tiba salah seorang dari mereka membokong Candra memukul belakang kepala dengan keras hingga Candra pun jatuh pingsan. Melihat Candra yang ambruk dan lalu diangkut dengan cepat ke dalam mobil dengan spontan Widya menjerit histeris melihat lelaki yang pernah memasuki relung hatinya disakiti oleh seseorang.
“Cannnndraaaa…!” Teriak Widya berlari hendak menolong Candra membuat salah satu dari mereka melirik ke arahnya lalu dengan bergegas masuk ke dalam mobil dengan cepat meninggalkan lingkungan sekolah Widya.
“Tooolloong… tolloonngg kejar mereka...!” Teriak Widya langsung berbalik pada semua siswa berharap agar membantu dirinya untuk mengejar mobil yang membawa Candra, tetapi sia-sia tak seorang pun yang berani mengejar mereka, entah takut yang jelas terlihat dari sebagian besar siswa yang ada malah terkesan cuek membiarkan dan malah meninggalkan Widya yang bingung kepanikan.
“Candraaa... huuu...” Akhirnya widya menangis jatuh bersimpuh di tengah jalan.
Meski hatinya membenci sosok Candra tetapi melihat lelaki yang pernah dia puja disakiti dan diculik di hadapan dirinya membuat hatinya menjadi luluh iba.



###



Pov 3


Teng ... Teng … Teng ...! Bel berbunyi tanda waktu sekolah sudahlah selesai. Rizki, Yoyo dan Jamal pun berlarian keluar kelas mendahului yang lainnya. Ketiga orang bersahabat itu sangat tergesa-gesa keluar kelas. Sementara murid-murid yang lain masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran termasuk Rara yang nampak santai mempersiapkan diri untuk pulang. Sambil memasukan buku ke dalam tasnya, pikiran Rara tertuju pada ucapan bu Halimah tempo hari.

“Gak ngerti maksud bu Halimah ... Jelas-jelas dia tantenya, kenapa dia nyuruh aku untuk gak berhenti ngelawan si monyet buluk, lagian disuruh berhenti juga aku gak akan mau..!!” Pikir Rara tanpa disadari hanya dia sendirian dalam kelas.
“Eh pada kemana kok dah sepi...?” Gumamnya sambil celingak-celinguk memperhatikan kelasnya yang sudah kosong melompong.

Rara pun segera meraih tasnya lalu bergegas keluar kelas. Jalannya agak lambat, karena tetap saja pikirannya tertuju pada ucapan bu Halimah yang menyuruhnya melawan si monyet buluk. Gadis itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran bu Halimah yang memintanya demikian itu. Dan saat melintas di depan ruang guru, Rara mendengar suara lembut yang memanggilnya.

“Rara ...!” Suara panggilan itu agak mengejutkan Rara.
“Eh bu ... manggil saya?” Rara menoleh dan mendekati bu Halimah yang memanggilnya.
“Inget pesen ibu yah ...! Jangan pernah nyerah ama Rizki, kalo bisa ajarin dia belajar, ibu yakin kamu bisa … Ya udah, cuma gitu aja ibu manggil kamu ...” Pinta bu Halimah tanpa basa-basi. Rara hanya tercengang setelah mendengarkan permintaan bu Halimah itu lagi. Bu Halimah pun tersenyum melihat wajah Rara yang terus melongo dan menatap tanpa kedipan.
“Kagak salah nih guru? Katanya suruh ngelawan tapi suruh ngajarin …! Bikin ribet amat nih urusan ama si monyet buluk!” Ungkap Rara dalam hatinya yang semakin pusing saja.
“Ya udah ... Ibu duluan yah ...!” Pamit Bu Halimah yang masih tersenyum tanpa mengunggu jawaban kesanggupan Rara.
“Ehh ... Tapi bu ...!!!” Cegah Rara, tapi bu Halimah hanya mengangkat dua jempol. Rara pun hanya menepok jidat melihat sikap bu Halimah.

Dengan langkah gontai Rara pun berjalan menuju di mana sepedahnya berada. Hingga tiba di pelataran parkir sekolah, Rara menemukan sesuatu pada sepedahnya dia pun berlari mendekati sepedah dan hati gadis itu langsung kesal.

Dug... Brak…!!! Rara menendang nemo (nama sepedanya) dengan geram hingga terguling.

“Brengsek!!! Ini pasti kerjaan si monyet buluk!” Kesal Rara melihat kedua ban sepedanya telah kempes, dia yakin yang berani melakukannya hanya si Rizki.
“Ada apa non? Kok sepedahnya sampe teguling!” Tiba-tiba satpam sekolah telah berdiri di sampingnya.
“Anuuu pak ... Ban sepeda..” Jawab Rara sambil menunjuk ke arah ban sepedanya.
“Oalah ... Gembos toh bannya ...” Ujar Satpam sambil berdiri tanpa melakukan sesuatu.
“Kok bapak gitu sih jawabnya?” Kesal Rara merasa pak Satpam seperti cuek tak peduli.
“Lah emang bapak musti berkata WOOW gitu!” Ujar satpan sedikit lebay semakin membuat Rara kesal.
“Ngasih solusi kek atau bantuin kek!!!” Gerutu Rara sambil cemberut.
“Emang mulut bapak bisa niup itu ban...? Apa kata dunia kalo mulut bapak dipake niup ban? He he he ... ”Jawabnya sambil terkekeh tertawa.
“Iiihhh udah sono akh ...! Jangan buat aku kesel...!” Rara mendorong pak satpam.
“Yaelah ... Dibecandain dikit aja kok sewot banget ...” Ujar pak satpam.
“Habisnya..”
“Yaudah, bapak bantuin deh ... Bapak akan bawa ke tukang tambal ban ...” Pak satpam mengajukan diri untuk menolong gadis itu.
“Gak usah pak! Tunjukin aja tempatnya!” Tolak Rara yang masih kesal.
“Jauh loh non..!!” Sambung pak Satpam.
“Biarin pak ... Sekalian pulang.” Kata Rara yang mulai melunak.
“Ya udah, sini bapak tunjukin!” Ujar pak satpam lalu berdiri di samping Rara. “Ntar non keluar gerbang ambil kanan … Truuuuusssss, ampe nemu pertigaan nanti ambil kiri ... Truuussss, neng jalan nemuin jembatan kecil, nah lewatin tuh jembatan, nah non jalan lagi terus sampe nemu perempatan langsung ambil kanan … Truuussss, ade patung doraemon, non ambil kanan lagi, jalan lagi truuuusssss….”
“Teras terus mulu … yang jelas ngasih tahunya dong!” Rara mulai gak sabar.
“Jauh non cantik …. Sampe mana tadi ... Ooo patung doraemon yah … Nah, tadi belok kanan jalan, 500 meter ntar non nemu tukang bakso, di situ non lirik kanan lirik kiri, ati-ati soalnya itu perempatan jalan rame disana ... Nah non nyebrang dari situ, sebelah kanan jalan, sebelah tukang fotokopi, di situ tukang tambal ban mangkal.” Lanjut satpam menyudahi keterangannya.
“Makasih dah bikin pusing pak ...! Gimana nanti aja!” Rara melengos kesal sambil menggandeng sepedahnya lalu melenggang pergi meninggalkan pak satpam yang hanya bengong merasa tak berdosa pada gadis itu.


###


Pov Rizki


Teng ... Teng … Teng ...! Bel berbunyi tanda waktu sekolah sudahlah selesai. Seusai belajar aku dan kedua sahabatku langsung berlarian menuju kantin, seperti biasa nongkrong sambil makan gorengan. Hatiku merasa senang karena bisa ngerjain cewek rese yang sudah berani melawanku. Aku ingin sekali memberikan pelajaran untuknya tetapi aku harus tetap membuat hal tersebut seakan-akan aku bukan pelakunya.

“Ha ha ha ... Rasain lu, dah gue kerjain…” Dengan tertawa keras membayangkan Rara yang kesusahan ke tempat tambal ban yang memang jauh jaraknya dari sekolah.
“Lu tega banget bos ... Anak cewek lu kerjain ...” Protes Jamal sambil mencomot gorengan lalu memakannya dengan satu kali suapan.
“Denger yah Mal ... Kalo dia cewek beneran males ladenin ... Lah dia cewek jadi-jadian ... Ha ha ha, tul gak Yo” Kataku ringan.
“Terserah lu ....!” Yoyo yang asik memakan gorengan tak merespon baik.
“Kalian berdua payah! Lagian tuh cewek jadi-jadian berani beraninya ngelawan gue!” Kesalku tetapi kedua sahabatku ini tak merespon malah asik memakan gorengan.
“Akhhh ...!!! Kalian diajak ngobrol malah cuek!! Bikin males aja, gue cabut dulu!” Aku merasa kesal kepada kedua sahabatku ini seperti tidak mendukung. Aku pun langsung beranjak pergi.
“Ttttuungguu...!!” Yoyo mengejarku dan Jamal pun berdiri hendak menyusul.
“EEEEhhhh ... Bayarnya mana?” Teriak Bu Kantin mencegah kami pergi.
“He he he ... Besok aja bu kita bayarnya, sekarang ngutang dulu.” Ucap Jamal sambil cengengesan.
“Kalian tuh bikin ibu bangkrut aja!!” Gerutu Ibu Kantin yang memang sering dihutangin oleh kami bertiga. Jamal hanya nyengir sambil berlari menyusulku dan Yoyo.

Aku dan Yoyo pun berjalan cepat beriringan keluar sekolah meninggalkan Jamal di belakang. Aku tidak banyak bicara karena masih merasa kesal pada kedua sahabatku ini yang tidak mendukungku memberi pelajaran pada perempuan jadi-jadian itu. Saat di pertigaan tak jauh dari depan gerbang sekolah, aku segera berbelok ke arah kiri.

“Bos ... Lu mo balik kemana? Kok ke arah kiri, bukannya lo balik ke arah kanan?” Tanya Yoyo melihatku yang hendak berpisah memang jika aku pulang ke rumah dinas papah searah dengan rumah mereka berdua.
“Haaah ... Haaah ... Haaah ...! Tunggu woy ...! Istrirahat dulu!” Ucap Jamal yang baru saja datang, kelelahan mengejar aku dan Yoyo.
“Gue mo ke rumah tante dulu ... Gue mo nginep beberapa hari di sono ... Gue kangen ama sepupuku!! Gue duluan!!” Jawabku sedikit berbohong karena malu kalau memberitahukan alasan yang sebenarnya pada Yoyo.
“Wooii ... Wooiii ... Sante dulu bos, lu buru buru amat … Kagak biasanya!!” Yoyo langsung menahanku saat aku hendak melangkah meninggalkan mereka.
“Ha ha ha ... Sorry, gue harus buru-buru, kagak enak ama tante gue, dah janji untuk nganter dia!!” Bohongku, padahal sebenarnya aku ingin bertemu dengan kang Dudi untuk menanyakan informasi yang aku tanyakan tadi pagi. Aku tak ingin membuat kedua sahabatku ini terlibat masalah.
“Dah gue anter ...! Kebeneran gue dapet warisan dari engkong gue ... Kalian berdua musti liat apa yang diwarisi engkong gue.” Jamal yang langsung menarikku ke arah jalan yang berlawanan dengan kutuju.

Aku dan Yoyo keheranan tetapi kami tetap mengikuti jalan Jamal dari belakangan. Ada apa dengan Jamal sekarang ini, tetapi aku rasa ada sesuatu yang membuat dia bahagia. Memang kami bertiga jika pergi ke sekolah hampir tidak pernah berbarengan, kami bertiga bertemu menunggu di depan sekolah, berbeda dengan pulang sekolah yang selalu berbarengan. Wajar jika aku dan Yoyo tidak mengetahui apa yang ada di benak Jamal yang tengah berseri. Saat kami berada di sekitar 100 meter dari pertigaan, Yoyo pun menahan langkahnya dan tentu aku dan Yoyo pun berhenti melangkah.
“Kalian tunggu gue bentar sebentar di sini!!” Jamal pun berlari ke seberang jalan menuju sebuah rumah. Aku memperhatikan Jamal yang langsung menuju belakang rumah dan menghilang.
“Warisan apaan sih dia dari engkongnya?” Tanya Yoyo padaku.
“Lah meneketehe ... Kolor engkongnya kali ... Ha ha ha ...” Jawabku membuat Yoyo tertawa, membayangkan kolor engkongnya dipake Jamal. Memang Jamal diantara kita mempunyai fisik yang lebih besar alias gendut, yang aku tau dia kalo pake celana dalam pasti untuk ukuran dewasa, jadi wajar kalo celetukku mendapat warisan kolor engkongnya.

Tak berselang lama, aku lihat Jamal keluar dari rumah itu dengan mengendarai sebuah sepeda motor yang membuatku dan Yoyo melongo melihatnya. Ya gimana tidak melongo, Jamal yang berbadan besar mengendarai sebuah sepada motor berwarna merah bermerek H**** yang pernah booming di eranya. Motor yang dinaiki Jamal terlihat menjadi ‘ceper’. “Tit ... tittt…!” Jamal memencet klakson motornya dengan wajah bangga lalu berhenti di hadapanku dan Yoyo.







“Gimana keren gak motor warisan engkong gue?” Jamal membanggakan diri sambil menepuk setang motor. Motor bebek keluaran tahun 70-an dari negeri sakura yang masih mulus dan original.
“Kagak salah nih motor? Wajar banget lu bilang warisan engkong lu, emang sejaman ama engkongmu lagi muda, Mal ...” Kata Yoyo dengan tatapan kagum.
“He he he … Kemaren sepulang bermotor langsung merajuk ama nyak babe untuk dibeliin motor Yo ... Tapi mereka kagak ngasih. Katanya gue belum cukup umur ... Gue langsung kabur ke engkong gue, eh dia langsung ngasih kunci motor ini, dia ngasih motor ini ketika gue ceritain ke dia!!” Cerita Jamal sedikit berbangga menjadi cucu kesayangan engkongnya yang selalu memenuhi segala permintaannya.
“Minta motor mudaan dikit kek, jangan kayak gini!” Yoyo meremehkan motor yang dikendarai Jamal.

Entah kenapa aku sangat terpesona dengan motor warisan milik Jamal. Aku mendekati dan mengelus mengamati motor ini dari depan belakang samping, tak peduli Yoyo dan Jamal yang sedang beradu argumen. Motor ini klasik yang terlihat retro, desain dari setiap bagian memiliki keunikan sendiri.

“Keren ...” Gumamku terpesona melihat sebuah motor tua yang terawat, mesin yang masih bersih tanpa kotoran olie yang menempel pada mesin, cat orsinil yang masih terlihat mengkilat meski ada beberapa yang sudah pudar akibat tergesek. Hampir semua item yang menempel masih orsinil di tempatnya tak ada item-item tambahan yang menempel di body motor.




Dan yang membuatku terpesona akan motor tua ini adalah betapa terawatnya motor. Hal ini membuktikan bahwa pemilik motor yang begitu sayang sehingga telaten dalam merawatnya. Meski ini bukan jamannya tetapi melihat kondisi motor yang masih enak dipandang, motor yang dipakai Jamal ini masih bisa bersaing dengan motor masa kini. Melihat keadaan motor membuatku berandai-andai, jika saja aku seperti si Jamal yang mempunyai engkong yang amat menyayanginya, pasti aku pun bakalan memiliki motor. Sayang kakekku telah lama meninggal dunia saat aku berusia tujuh tahun. Papah ...? Akh, gak bakalan aku dibelikan motor olehnya, secara dia nganggap aku anak pungut.

“Lu suka boss..?” Jamal membuyarkan lamunanku akan motor ini.
“Ehh ... Kagak ... Gue salut ama engkong lu, Mal ... Ini motor bener-benr dirawat ama engkong lu ...” Pujiku.
“Pastinya ... Makanya gue kagak malu makenya ... Gue bisa naikin motor kebanggaan dia waktu muda!! Lu beda ma Si Yoyo, dia gak tau betapa artistik dan klasiknya nih motor ...” Jawab Jamal penuh kebanggaan, Yoyo gak bisa berdebat lagi mungkin dia akui selera tak selamanya sama, berbeda denganku, aku selalu tertarik dengan motor yang benar-benar terawat oleh pemiliknya, tak peduli itu motor tua ataupun baru.
“Ayo! Gue anter bos ... Yo, lu kalo kagak mau, lu pulang jalan sendiri!!” Cibir Jamal, sambil menepuk jok belakang agar aku duduk di belakangnya.
“Ikuuut ...! Lu pelit amat ...?” Yoyo yang mendahuluiku menaiki motor, Jamal pun terkekeh melihat reaksi Yoyo, dan aku duduk di belakang Yoyo.
“Letsss goooo…!!!” Jamal langsung menancap gas memboceng kami berdua. Entah kemana yang dituju, yang kutahu dia ingin kita menikmati motor barunya ini. Dengan tertawa lepas kami bertiga mulai menikmati perjalanan dengan menaiki motor Jamal.



###


Pov 3



Tiga orang laki-laki duduk di samping jendela sebuah rumah kosong memperhatikan terik matahari siang itu yang menyoroti bumi dengan begitu panasnya. Tiga pasang mata mereka tiada henti-hentinya memandang ke arah jalan memperhatikan orang yang berlalu-lalang di sana. Mereka berada di tempat itu sejak satu jam yang lalu. Ketiga orang berseragam SMA itu adalah Rudi dan kedua temannya yang berniat mencari Rizki.

“Lu kelamaan sih ... Telat deh kita mo nyegat tuh bocah keburu bubar ... Sia-sia kita ke sini ...” Dumel Rudi pada kedua temannya sambil mengunyah permen karet.
“Lu kali yang telat, boker ampe berjam-jam ...” Temannya tidak mau disalahkan.
“Apa kagak salah, kita nyegat di sini ...? Dari tadi si Rizki kagak ada batang hidungnya?” Tanya temannya pada Rudi.
“Gue yakin sih lewat sini ... Secara ni arah emang menuju ke rumah si lonte semalam!!” Jawab Rudi sekenanya sambil celangak celinguk ke arah datatangnya rombongan anak SMP.

Tiba-tiba mata Rudi melihat sesuatu yang menurutnya sangat menarik. Dari kejauhan nampak Rara yang berjalan sendirian menggiring sepeda di belakang gerombolan anak SMP lainnya, ketika hendak melewati ketiga orang ini.

“Cuy, liat tuh cewek lewat.. sendirian…!!” Rudi menunjuk ke arah Rara.
“Ah ogah gue godain anak SMP ... masih bau pesing…!! Lagian gak ada yang bikin enak dipandang, badan kayak papan penggilesan ...” Timpal salah satu temen Rudi saat melihat Rara yang memakai seragam SMP.
“Ha ha ha ha ....” Disambut dengan tawa teman yang satunya.
“Dasar kalian bego ... Liat noh tanda atribut sekolahnya ... Kita bisa cari info!” Ujar Rudi sambil menoyor jidat temannya yang tertawa. Hingga akhirnya Rara pun melintas di hadapan mereka.
“Hei cewek ... Bisa ngobrol bentaran gak!” Ujar Rudi mendekat, dan kedua temannya langsung menghadang di depan sepeda.
“Sante dulu ... Cantik, bisa kenalan gak?” Ujar yang menghadang sambil menahan stang sepeda.
“Apaan sih ...?! Minggir sono ...!!” Ketus Rara merasa terganggu.
“Yaelah, galak amat jadi cewek!!” Salah seorang menarik sepeda Rara hingga terlepas.
“Bentar doang...!!” Pinta Rudi sambil memegang tangan Rara.
“Lepasin kagak!!!” Rara melotot mengancam pada Rudi tanpa menarik tangannya.
“Cie... cie... Galak amat nih rud, tapi kalo dipikir-pikir meski kurus, cantik juga nih cewek ...” Ujar cowok yang memegang stang tadi, lalu menjiwil pipi Rara.
“Eh bangsat!!! Lu jadi cowok kurang ajar banget!!!” Rara menepis tangan yang mencolek pipinya dengan keras.
“Mpuaaahhh…” Rudi melepehkan permen karetnya ke arah Rara hingga menempel pada rambut Rara.
“Lu jadi cewek banyak tingkah yah!!!” Hardik Rudi semakin menggenggam kuat tangan Rara.
“Dih, perlu dikasih pelajaran nih cewek tengil ...!” Ujar cowok yang memegang sepeda Rara, lalu dibantingnya sepada itu. Rara pun lalu menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Rudi.
“Ehhh, nih cewek ngelawan!” Rudi menjambak ujung rambut Rara hingga terjatuh, tetapi saat menjatuhkan diri Rara melancarkan tendangan ke arah Rudi mengarah pada pinggang Rudi. Dan tendangan Rara mengena telak pada sasarannya. “Heggg…!” lenguh Rudi menahan rasa sakitnya sambil mundur beberapa langkah.
“Brengsek!!!” Dua temannya langsung menyerang Rara yang terjatuh. Saat mereka hendak menendang tubuh Rara yang terbaring di Jalanan.

“Bruuggg ...!!!”

“BANGSAT ...!!! BERANINYA AMA CEWEK … KALO KALIAN BERANI LAWAN GUE …!!!” Tiba-tiba sebuah teriakan dan terjangan mengarah pada kedua orang itu. Kedua orang yang akan menyerang Rara terjejer beberapa langkah ke belakang baru kemudian terjatuh karena tendangan dan pukulan orang yang baru datang itu mengenai badan mereka.



###



Beberapa Saat yang sebelumnya ...


POV Rizki


Untuk ukuran motor bebek keluaran tahun 70-an, mesin motor Jamal termasuk mesin yang sangat mulus di kendarai. Kondisi motor masih bagus membuat tenaganya pun masih maksimal. Kami melaju di jalanan yang sepi jarang orang yang lewat. Tiba-tiba dalam hati ini juga ingin mempunyai motor.

“Mal, motor lu beneran mantap ... Suara mesinnya masih bersih, engkong lu bener-bener ngerawat dengan baik.” Pujiku saat diboceng oleh Jamal.
“Pikir-pikir enak juga pake motor tua lu, Mal ...” Yoyo ikut nimbrung padahal sebelumnya dia sedikit meledek pada motor bebek tua ini.
“Ha ha ha … Gimana keren kan? Makanya aku tuh kagak nolak diwarisi motor ini meski pengen punya motor keluaran baru. Entah kenapa, pas ngeliat motor tua yang masih mulus ini ngedadak lupa dengan motor baru.” Tawa Jamal tak merasa menyesal dengan apa yang dimilikinya.
“Bos!!! Itu di depan ...!” Tiba-tiba Yoyo berteriak sambil telunjuknya mengarah ke depan. Aku langsung melihat seorang siswi berseragam persis denganku sedang dikelilingi tiga orang anak SMA salah satunya sedang menjambak siswi tersebut hingga jatuh.
“Bos ... Itu anak SMP kita lagi dikerjain ama mereka ...” Ujar Jamal sambil memacu gasnya agar cepat mendekati siswi itu.

Ketika sampai tanpa babibu lagi, aku langsung melompat turun dan berlari, melihat salah satu dari mereka hendak menendang siswi yang terjatuh.

“BANGSAT ...!!! BERANINYA AMA CEWEK … KALO KALIAN BERANI LAWAN GUE …!!!” Aku berteriak keras sambil melompat menendang menerjang mengarah pada kedua orang yang hendak menendang siswi itu. “Bruuggg ...!!!” Tendanganku mengenai punggung salah satu dari mereka hingga terjerembab dan mendorong salah satunya lagi hingga mereka berdua terjatuh. Tanpa disangka dari sudut mataku melihat siswi yang masih terbaring dijalani melancar serangan tendangan ke arah perut lelaki yang menjambaknya.
“Hueeegg ...!” Erang lelaki itu menahan sakit di perutnya.
Tanpa peduli dengan siswi itu, aku langsung melancarkan tendangan ke arah rahang salah satu yang kuterjang lagi, sebelum mereka tersadar akan serangan pertamaku tadi. “Bug ... bug ... bug ...!” Entah berapa kali aku lancarkan tendangan yang keras tenaga ke arah wajahnya. “Crooott …!” Darah segar mengucur dari hidungnya, sedangkan lelaki yang terdorong oleh temannya merangkak mundur melihat aku dengan brutal tanpa ampun menendang rekannya.

Melihat sosok yang kutendang tadi terdiam mungkin pingsan terkena tendanganku, tak kuhiraukan lelaki yang sudah mundur menjauh. Sekarang akan aku ingin membantu siswi melawan lelaki yang menjambak tadi, tetapi hal yang tak kuduga pun berlangsung. Siswi itu sudah bangun dari jatuhnya dengan posisi kuda-kuda dan cepat memutar tubuhnya melancarkan sebuah tendangan ke arah rahang seperti menampar dengan keras.

“Hiaatttt ...!!!” Pekik siswi dengan keras saat menendang.
“Plaaaakkk…!!!” Tanpa persiapan untuk menahan, orang yang diserang si siswi masih dalam posisi membungkuk menahan sakit di perutnya, sebuah tendangan keras dwi hurigi mengenai rahang lelaki itu hingga terpental terjatuh. Aku terperangah kagum melihat sosok siswi yang kutolong ternyata tanpa merasa takut dia bisa melawan balik dengan teknik tendangan dari suatu beladiri. Dengan sigap siswi itu langsung berbalik ke arahku dengan memasang kuda-kuda mungkin hendak melawan dua orang sisanya yang telah kubereskan barusan. Dan tiba-tiba saja mata kami bertubrukan. Mata coklatnya yang dalam seolah menghisap napas dan duniaku. Membuat waktu terasa berhenti.

“Haaaaa… Lu…!” Kami bersamaan berteriak.
“Geblek ...! Ternyata si cewek jadi-jadian yang gue tolong!” Gumamku mengetahui siswi yang kutolong adalah Rara. Entah kenapa hati ini berdesir melihat wajah marah Rara meski dibalik penampilannya yang acak-acakan ada suatu keindahan dibaliknya.
“HIIAATT!!! DASAR LU MONYET BULUK BISANYA BIKIN GARA GARA!”Tanpa kusarai ia melancarkan dua tendangan dwi chagi ke arah pinggangku, dengan cepat beberapa tepisan tanganku berhasil menahan tendangan itu.
“MAKASIH KEK, DAH GUE BANTUIN!!!” Kesalku mendapat perlakuan olehnya, ingin kubalas serangannya tapi entah kenapa hati ini tak sanggup menyerangnya.
“MAKASIH…!!! NAJISS…!!! KALO GAK GARA-GARA LU, GAK AKAN DAPAT MASALAH INI...!” Teriak Rara kembali hendak menyerangku. Aku pun langsung memasang kuda-kuda untuk menahan serangannya.
“OIII.. SUDAH SUDAH, LAWAN LU TUH PADA KABUR!!” Cegah Yoyo yang menahan Rara lalu menunjuk ketiga orang yang telah lari kabur, salah satunya dipapah oleh rekannya, dan sedangkan Jamal langsung mendekatiku.
“Lu gak papa bos?” Tanya Jamal mengkhawatirkannku.
“Bego lu ...! Kenapa kagak dikejar mereka?!” Kesalku sambil menoyor kepala Jamal.
“He he he ... Nyali gue masih kecil dibandingkan lu bos!!” Kekehnya.
“NGAPAIN SIH LU NAHAN NAHAN GUE?” Rara yang masih emosi melihat aku terus meronta ingin menyerangku.
“Tahan Ra... tahan… istighfar Ra…” Bujuk Yoyo menenangkan Rara.
“LU TUH….! LEPASIN GAK...??” Rara memelototi Yoyo membuat ciut nyali Yoyo.
“Yo lepasin dia, ini salah gue...!!” Entah kenapa aku merasa bersalah saat melihat sepada yang terjugruk di pinggir jalan, jika aku tak menjahilinya mungki kejadian ini tak kan terjadi. Yoyo pun tak lagi menahan Rara, dengan nafas memburu Rara langsung bergegas mendekatiku dan ...
“Plaaakkk…!” Sebuah tamparan keras mengenai pipiku.
“Kalo lu berani, hadapin gue secara jantan, jangan bisanya jahilin aja!” Makinya.
“Bos lu kagak apa apa?” Jamal kembali memapahku.
“Yo anter gue ke tempat tambal ban ... Mal, lu bonceng si cewek jadi-jadian ini, duluan ke sana ...” Pintaku dan langsung berjalan ke arah sepeda yang tergolek dijalani tanpa mempedulikan omongan Jamal.
“Mo ngapain lu, jangan sentuh sepedah gue!” Rara menahan tanganku.
“Ayo Ra ... Kita tunggu di sana, masih jauh nih, biar si Boski ama Yoyo yang mapah sepeda lu!!” Ajak Jamal melepas pegangan Rara di tanganku, terlihat wajah yang ragu atas sikapku ini.
“Oke, tapi kalu lu macem-macem ama Nemo-ku ini, awas lu sampe mati gue kejar lu!” Ancam Rara lalu pergi mengikuti Jamal.
“Yah ... Apes ... Jadi jalan nih ...” Keluh Yoyo. Aku langsung memapah sepeda tanpa menghiraukan keluhan si Yoyo.
“Bos ...! Jangan tinggalin gue dong!” Yoyo lalu mengejarku yang telah berjalan lebih dulu.


###


Pov Ratna

Siang ini aku mulai berkemas-kemas pakaian anakku. Aku pasti akan merindukannya untuk beberapa hari ini. Aku biarkan Rizki untuk tinggal beberapa hari di rumah tantenya. Selain untuk menenangkan hati anakku juga untuk memberikan sedikit ‘pelajaran’ buat ayahnya.

“Haaa … Baru saja sehari tanpa Rizki terasa sepi ... Rizki … Rizki … Kamu tuh kalo dah ngambek persis ayah kamu ...” Celotehku sendiri sambil memasukan beberapa helai baju dan seragam sekolah untuk bekal selama di sepupuku Imah. Sebagian besar bajunya telah kumasukan ke dalam dus, agar pada saat pindah nanti tak berabe.

“Jam setengah dua siang berarti Imah dan Rizki udah pulang … Aku mesti buru-buru pulang keburu kang Rangga pulang ...” Gumamku sambil memandang jam dinding. Kemudian aku pun bersalin berganti pakaian, tak lupa membuat sepucuk surat yang kutulis pesan untuk putriku jika dia pulang nanti tak mengkhawartirkanku jika tak ada di rumah.

Setelah semua siap aku pun mengunci rumah dan seperti biasa jika rumah kutinggal pergi, pasti kusembunyikan kunci pintu di balik pot untuk memudahkan Widya dan Rizki saat pulang. Memang dari komplek rumah dinas suamiku sedikit jauh menuju jalan raya, maka aku pun berjalan menuju ke sana untuk mencari taksi atau kendaraan umum. Ketika aku sampai di gerbang kompleks, seorang prajurit penjaga kompleks menyapaku.

“Bu Rangga, mau kemana? Loh kok sendirian? Kalo gak salah Bapak semalam ada?” Tanya salah seorang anggota yang sedang berjaga di pos.
“Eh Pak Wicak … Iya pak sendirian, anak-anak belum pulang. Lagian … anu pak ... Saya mau ke rumah sepupu, nganterin baju Rizki ... Dia menginap disana ... Suami saya tadi pagi ada tugas dadakan mesti ke markas pusat ...” Jawabku ramah, bagaimana pun juga aku harus menjaga image sebagai istri dari komandan mereka.
“Oohh pantes ... Semalam dia nongkrong dipos tapi sekarang dia gak keliatan? Bapak tuh sering tugas keluar daerah, kadang saya suka kesian ngeliat ibu ditinggal sendirian ama anak-anak !!” Lanjutnya
“Resiko pak, jadi istri abdi negara ...” Jawabku sambil terkekeh kecil. “Mari pak ... Saya lanjut dulu, mau nyari taksi atau angkutan umum!!” Pamitku.
“Ooo ia bu ... Eh sebentar bu … Mari bu aku antar!” Tawar Pak Wicak sambil hendak mengambil tas jinjinganku.
“Gak usah pak ...! Gak berat kok ... Lagian gak nyebrang jalan!!” Tolakku tanpa menyakiti perasaannya.
“Baik lah bu ... Kalo gitu, ati-ati di jalan ...”
“Makasih pak ... Mari ...!” Kataku sambil berlalu dari hadapannya.

Aku pun langsung berjalan keluar komplek meninggalkan Pak Wicak yang telah kembali ke pos jaga, lalu aku berteduh di bawah pohon rindang menunggu taksi atau kendaraan umum jurusan ke arah rumah Imah sepupuku. Saat aku berdiri menunggu angkutan umum, tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah yang tidak aku kenal mengklakson dan berhenti di depanku.
Tiin ... tinn ...!!!
Jendela pintu belakang pun terbuka hingga aku dapat mengenali siapa penumpang yang berada dimobil itu.
“Maaass Aryo…” Gumamku agak terkejut saat melihat sosok Mas Aryo tersenyum padaku. Dia pun turun dari mobil menghampiriku.
“Ratna ... Kamu sedang apa di sini? Apa rumahmu di komplek asrama tentara ini?” Tanyanya sambil celangak-celinguk memperhatikan keadaan sekitar.
“Iya mas ... Kita tinggal di asrama ini?” Jawabku.
“Ooo ... Terus kamu mau kemana?” Tanya Mas Aryo.
“Eeuu ... Ke rumah Imah, Mas...“ Jawabku agak gugup.
“Imah, maksudmu Halimah sepupu kamu?” Tanyanya lagi sedikit kaget.
“I-iya, mas ...”
“Gimana kabarnya dia? Lama aku tak bersua dengannya!!”
“Baik mas… dia sek..” Belum juga beres bicara.
“Udah aku antar, sekalian aku pengen ketemu dia ... Kita lanjutkan ngobrolnya di mobil!” Ucapnya sambil merebut tas jinjingku, tanpa menawar lagi lalu tanpa persetujuanku dia masukan ke dalam mobil.
“Ayoo, Ratna ...!” Ajak Mas Aryo yang membukakan pintu, ada sedikit keraguan aku diantar oleh dia, bagaimanapun juga aku adalah wanita yang telah bersuami, sedikit tak pantas jika aku menerima tawaran dari mantan kekasihku ini.
“Ayoo Ratna ... Malah bengong!” Mas Aryo menarik paksa.
“Ehh ...” Aku sedikit menahan tarikannya.
“Udah gak papa, aku gak ngapa ngapain kok, lagian aku cuma pengen ketemu Halimah, dah lama tak bertemu dia ...” Tanpa basa basi Aryo mendorongku agar masuk ke dalam mobil, dan dia pun langsung naik, hanya saja Mas Aryo berpindah duduk di sebelah supir, dia ternyata mengerti tak mungkin duduk di sampingku apalagi dengan situasi aku yang tak nyaman.

Tapi tak kupungkiri aku sedikit terpana melihat wajahnya. Entah kenapa, ada secuil rasa rindu pada Mas Aryo dalam hati ini. Sosok yang pernah singgah dalam hatiku dan menoreh luka di sana. Sekarang telah hadir dengan keadaan yang masih tetap sama seperti dulu. Betapa bahagianya aku dulu, Mas Aryo yang selalu saja mengalah memenuhi segala permintaanku. Ah, semua hanya kenangan indah yang musti kulupakan, sekarang aku memiliki kang Rangga sosok suami yang begitu tulus mencintai dan menyayangiku sampai sekarang, aku mesti menghilangkan perasaan itu pada Mas Aryo.

“Alamatnya Ratna?” Tanya Mas Aryo sedikit membuyarkan lamunanku tentangnya.
“Ehh... Anu... Jalan... A***** Nomor 8 mas, komplek D***ng ...” Jawabku sedikit gugup.
“Pak Husin ... Antarkan ke jalan disebutkan tadi!!” Perintah Mas Aryo pada supirnya.
“Baik pak..!!” Jawab supir.

Dalam perjalanan Mas Aryo terus mengajak mengobrol tentang keluargaku, tentang kejadian lucu saat aku bersamanya, tapi dia tak pernah menyinggung tentang keadaan dirinya selama ini. Aku bisa menangkap di raut wajahnya sedikit raut wajah kesedihan di balik tawanya saat dia bertanya tentang keluargaku yang sekarang.

“Aku barusan ketemu suamimu di kantornya, dia terlihat gagah dengan seragamnya, aku yakin selama ini dia sangat bahagia hidup dengan kamu ...” Ucap Mas Aryo dan aku bisa merasakan kalau raut wajahnya berubah dingin.
“Yaa ... Tapi kok kamu tahu..? Apa kamu kenal dia...? Seberapa banyak kamu mengenal dia?” Jawabku pelan dan penasaran kalau Mas Aryo bisa tahu suamiku, padahal aku tak ingin membicarakan suamiku padanya apalagi membicarakan kekurangannya, karena bagi diriku kang Rangga adalah pemimpinku yang mesti kujaga kehormatannya jadi tak layak bagi diriku membicarakan di belakangnya.
“Tidak ... Aku tak mengenalnya ... Aku baru tahu tadi, kebetulan ada kerjaan ke kantor dia, aku melihat foto kalian sekeluarga di atas meja kerjanya, seorang lelaki yang berani memajang foto keluarga di atas meja kerjanya menandakan dia lelaki yang sangat bahagia bersama istri dan anak-anaknya ...” Jawabnya menatap lurus kejalan, aku diam tak menanggapi penilaiannya terhadap kang Rangga.

Hingga tanpa terasa kita telah sampai di tempat tujuan.

“Mas, itu pagar cat hijau!” Tunjukku ke rumah Imah. Akhirnya mobil pun berhenti, kami pun turun, saat hendak membuka gerbang pagar.
“Teh…” Seorang wanita yang baru turun dari mobil menyapaku, dan ...
“Kamu ...?!” Sosok wanita itu terbelenga melihat Mas Aryo berdiri di sampingku.




Bersambung ...
 
My Love Journey 2 – Boski Storys






CHAPTER 1.10



POV 3


Seorang pemuda sedang berdiri di bawah pohon yang rindang pada sebuah taman yang letaknya persis di depan SMA. Pemuda yang bernama Candra itu terus mengawasi gerbang sekolah, ada yang laki-laki itu tunggu walaupun hatinya kurang yakin kalau orang yang ditunggunya itu bersekolah di sana. Widya adalah wanita yang ditunggu Candra.

“Gila panas banget ni hari, mana ****** gue mana tau lagi sekolahan si Widya, berat nih Ransel..tapi gue yakin dia sekolah disini dulu...!! Maki Candra dalam hati sambil mencopot tas di belakang punggungnya. Tiba-tiba Candra terkejut ketika seseorang menyapanya tanpa Candra ketahui sejak kapan orang itu berada di sini.
“Brengsek lu ...! Gue cariin ke mana-mana ... Gak taunya, lu nongkrong di sini...!” Orang itu menimpuk bahu Candra.
“Eh lu ... Lang ... Lu ngapain di sini ...?” Tanya Candra pada lelaki seumurannya. Dialah Galang, salah seorang pentolan dan tangan kanan Johan.
“Biasa ... Ada pesenan anak sekolah sini, lagian lu ngapain di sini ...? Si boss johan nyariin lu tuh!” Jawab Galang.
“Gue lagi ada masalah, jadi males ngumpul untuk hari ini, bilang aja ntar gue kesana!” Jawab Candra dengan nada sedikit meremehkan dan kembali melirik ke arah gerbang sekolah. Beberapa detik berselang terdengar bel dari arah sekolah menandakan jam sekolah telah habis. Galang memperhatikan Candra dengan serius. Tiba-tiba galang menarik kerah Candra dan berkata keras pada Candra.
“Denger yah Can ...! Gue gak peduli siapa lu …! Lu udah buat boss Johan uring-uringan, jadi lu jangan macem-macem ... Dah lu ikut gue ...!” Ucap Galang sambil mengangkat tangan dan muncullah beberapa orang berwajah garang dari arah mobil yang terparkir tak jauh dari situ.
“Apa-apaan lu Lang ...!” Candra meronta sedikit panik mendapat perlakuan keras dari Galang. Belum sempat Candra tersadar penuh, Galang lalu memiting tubuh Candra hingga tak berkutik, terlihat para siswa pun telah bergerombol keluar untuk pulang dari arah gerbang sekolah, dengan cepat dua orang berwajah garang meringkus Candra dan menyeret Candra ke arah mobil.

Candra pun meronta mencoba melawan hingga menimbulkan keributan yang menarik perhatian para siswa yang baru keluar gerbang sekolah. Hingga, “bugg!!!” sebuah hantaman mengenai punduk Candra hingga pingsan, lalu Candra pun digotong lalu dimasukan ke dalam mobil. Saat kedua orang berwajah garang membawa tubuh candra, tiba-tiba terdengar teriakan.
“Caaaaanndraaaa..” Suara teriakan wanita memanggil nama Candra.
“Ayo cepet jalan…!” Perintah Galang, lalu Galang naik ke dalam mobil dan diikuti yang lainnya. Dan mobil pun langsung menancap gas meninggalkan lokasi.


###


Lima belas menit sebelumnya ....

Widya merasakan dirinya seperti hilang di tengah rimba belantara, karena pikirannya tidak fokus pada pelajaran. Pikirannya terus mengembara pada kejadian malam tadi. Widya masih memikirkan perkataan ayahnya semalam. Ada perasaan menyesal yang mendalam atas tindakan dirinya yang mudah saja menyerah akan situasi tadi malam.

Widya duduk dihadapan ayahnya, Rangga, dengan menundukkan kepala tak berani dia menatap wajah ayahnya. Terdengar hembusan nafas ayahnya yang begitu berat saat Widya menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Fuuuufftt....” Rangga menghembuskan nafas dan masih diam, dahinya sesekali dipijat oleh tangannya sendiri.
“Wid, kamu tahu kan ... Ayah selalu keras mendidik Rizki dibandingkan kamu, tahu kenapa ayah memperlakukan kamu berbeda dengan Rizki?” Tiba-tiba Rangga bertanya perihal perbedaan perlakuan dirinya yang berbeda pada kedua anaknya. Widya hanya bisa menggelengkan kepala, Rangga pun berdiri dan berjalan pada pintu yang terbuka dipandanginya langit di kegelapan malam.
“Ayah keras ke adik kamu karena ayah ingin Rizki menjadi seorang laki laki yang kuat penuh tanggung jawab akan hidupnya dan menjadikan seorang pemimpin bagi keluarganya, ayah tak ingin dirinya menjadi lemah, dan yang terutama papah ingin Rizki selalu melindungi dan menjaga kamu, serta mamah jika ayah tak ada di sisi kalian, tapi tidak dengan kamu. Kamu adalah anak perempuan ayah yang ayah didik dengan penuh kelembutan dan kasih sayang ditambah dibekalin dengan wawasan dan pendidikan yang luas agar kamu bisa menentukan jalan hidup kamu. Terlepas dari itu semua ayah ingin kamu ingin tak dianggap sebelah mata jika kamu berumah tangga.” Papar Rangga tanpa menoleh pada Widya.
“Maafin Widya … hiikks ... Tapi semalam itu tak seperti ayah dan Rizki pikirkan ... Widya melakukannya dengan terpaksa ... Hiikss ...” Widya pun akhirnya menceritakan semuanya dari awal hingga akhir, Rangga hanya bisa menghembuskan nafasnya mencerna semua perkataan Widya.
“Ayah mengerti maksud dan tujuan kamu melakukan semua itu, tapi kamu tidak memikirkan akibatnya. Rizki yang tak mengerti apa yang terjadi pada dirimu tentu akan kecewa melihat kamu dilecehkan begitu, dia sangat menyayangi kamu!!, padahal ada cara lain tanpa harus menyanggupi ancaman itu, tapi entahlah apa yang ada diotak kamu yang dibutakan oleh rasa cinta yang akhirnya kamu hanya menerimanya, betapa murahnya harga diri kamu ...” Lirih Rangga menutupi kekesalannya. Lalu Rangga berbalik dan berdiri dihadapan Widya.
"Ayah cuma segitu aja menasihati kamu, Wid. Kewajiban Ayah cuma membesarkan dan mendidik kamu agar menjadi anak yang sukses. Tapi Ayah nggak akan melarang kamu seperti yang dituduhkan adekmu itu. Itu pilihan hidup kamu, Ayah bisa apa?" Rangga yang bicara pelan namun menyindir sangat halus, membuat hati Widya terasa sakit dengan sindiran Ayahnya, "Ya sudah, cuma gitu aja Ayah bicara sama kamu. Tolong pikirkan lagi pembicaraan ini!" Lanjut Rangga. Setelah Rangga meninggalkan Widya, pecahlah tangis Widya yang sedari tadi dia tahan.
“Hiiks, dek ... Maafin kakak … Kamu dimana dek ... bodoh ... bodoh …!” Widya memukul kepalanya sendiri menyesali diri.
Sepanjang jalan menuju rumah dinas, Widya memperhatikan setiap sudut jalan dengan harapan dapat menemukan sosok Rizki, hingga semua sirna harapannya saat Ratna memaksa untuk pulang ke rumah.

“Teeeeeeeettttt ...!” Bel pertanda jam sekolah telah habis menyadarkan lamunan Widya, dengan malas ia menutup buku catatannya. Ketika saat hendak memasukan buku ke dalam tas terbesit sebuah pikiran dimana adiknya berada, dan lalu dengan terburu-buru merapihkan tasnya dan langsung berlari keluar kelas.

“Bego kenapa gak kepikiran pasti dia ada di rumah tante Haimah. Aku mesti nyusulin Rizki … Aku yakin pasti di sana!!” Terbesit dalam benak Widya kalau adiknya berada di tantenya, dia yakin Rizki ada di sana.
Saat Widya keluar dari gerbang sekolah terdengar teriakan keributan dari seseorang dari seberang jalan membuat para siswa yang hendak pulang malah berkerumun menonton keributan.
“Ada apaan sih?” Gumam Widya sambil berdesakan diantara siswa yang penasaran dengan keributan itu. Akhirnya Widya bisa melihat suatu kejadian seseorang yang sedang meronta-ronta yang tengah diseret ke arah sebuah mobil. Dan Widya pun kaget setelah mengetahui siapa orang yang tengah diseret.
“Candra, ngapain dia kesini?” Gumam Widya dengan tangan menutup mulutnya tak percaya lelaki yang melecehkan dirinya semalam berada di lingkungan sekolahnya. Timbul rasa benci pada Candra tapi perasaan itu hanya sementara.
Saat tiba-tiba salah seorang dari mereka membokong Candra memukul belakang kepala dengan keras hingga Candra pun jatuh pingsan. Melihat Candra yang ambruk dan lalu diangkut dengan cepat ke dalam mobil dengan spontan Widya menjerit histeris melihat lelaki yang pernah memasuki relung hatinya disakiti oleh seseorang.
“Cannnndraaaa…!” Teriak Widya berlari hendak menolong Candra membuat salah satu dari mereka melirik ke arahnya lalu dengan bergegas masuk ke dalam mobil dengan cepat meninggalkan lingkungan sekolah Widya.
“Tooolloong… tolloonngg kejar mereka...!” Teriak Widya langsung berbalik pada semua siswa berharap agar membantu dirinya untuk mengejar mobil yang membawa Candra, tetapi sia-sia tak seorang pun yang berani mengejar mereka, entah takut yang jelas terlihat dari sebagian besar siswa yang ada malah terkesan cuek membiarkan dan malah meninggalkan Widya yang bingung kepanikan.
“Candraaa... huuu...” Akhirnya widya menangis jatuh bersimpuh di tengah jalan.
Meski hatinya membenci sosok Candra tetapi melihat lelaki yang pernah dia puja disakiti dan diculik di hadapan dirinya membuat hatinya menjadi luluh iba.



###



Pov 3


Teng ... Teng … Teng ...! Bel berbunyi tanda waktu sekolah sudahlah selesai. Rizki, Yoyo dan Jamal pun berlarian keluar kelas mendahului yang lainnya. Ketiga orang bersahabat itu sangat tergesa-gesa keluar kelas. Sementara murid-murid yang lain masih sibuk merapikan buku-buku pelajaran termasuk Rara yang nampak santai mempersiapkan diri untuk pulang. Sambil memasukan buku ke dalam tasnya, pikiran Rara tertuju pada ucapan bu Halimah tempo hari.

“Gak ngerti maksud bu Halimah ... Jelas-jelas dia tantenya, kenapa dia nyuruh aku untuk gak berhenti ngelawan si monyet buluk, lagian disuruh berhenti juga aku gak akan mau..!!” Pikir Rara tanpa disadari hanya dia sendirian dalam kelas.
“Eh pada kemana kok dah sepi...?” Gumamnya sambil celingak-celinguk memperhatikan kelasnya yang sudah kosong melompong.

Rara pun segera meraih tasnya lalu bergegas keluar kelas. Jalannya agak lambat, karena tetap saja pikirannya tertuju pada ucapan bu Halimah yang menyuruhnya melawan si monyet buluk. Gadis itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran bu Halimah yang memintanya demikian itu. Dan saat melintas di depan ruang guru, Rara mendengar suara lembut yang memanggilnya.

“Rara ...!” Suara panggilan itu agak mengejutkan Rara.
“Eh bu ... manggil saya?” Rara menoleh dan mendekati bu Halimah yang memanggilnya.
“Inget pesen ibu yah ...! Jangan pernah nyerah ama Rizki, kalo bisa ajarin dia belajar, ibu yakin kamu bisa … Ya udah, cuma gitu aja ibu manggil kamu ...” Pinta bu Halimah tanpa basa-basi. Rara hanya tercengang setelah mendengarkan permintaan bu Halimah itu lagi. Bu Halimah pun tersenyum melihat wajah Rara yang terus melongo dan menatap tanpa kedipan.
“Kagak salah nih guru? Katanya suruh ngelawan tapi suruh ngajarin …! Bikin ribet amat nih urusan ama si monyet buluk!” Ungkap Rara dalam hatinya yang semakin pusing saja.
“Ya udah ... Ibu duluan yah ...!” Pamit Bu Halimah yang masih tersenyum tanpa mengunggu jawaban kesanggupan Rara.
“Ehh ... Tapi bu ...!!!” Cegah Rara, tapi bu Halimah hanya mengangkat dua jempol. Rara pun hanya menepok jidat melihat sikap bu Halimah.

Dengan langkah gontai Rara pun berjalan menuju di mana sepedahnya berada. Hingga tiba di pelataran parkir sekolah, Rara menemukan sesuatu pada sepedahnya dia pun berlari mendekati sepedah dan hati gadis itu langsung kesal.

Dug... Brak…!!! Rara menendang nemo (nama sepedanya) dengan geram hingga terguling.

“Brengsek!!! Ini pasti kerjaan si monyet buluk!” Kesal Rara melihat kedua ban sepedanya telah kempes, dia yakin yang berani melakukannya hanya si Rizki.
“Ada apa non? Kok sepedahnya sampe teguling!” Tiba-tiba satpam sekolah telah berdiri di sampingnya.
“Anuuu pak ... Ban sepeda..” Jawab Rara sambil menunjuk ke arah ban sepedanya.
“Oalah ... Gembos toh bannya ...” Ujar Satpam sambil berdiri tanpa melakukan sesuatu.
“Kok bapak gitu sih jawabnya?” Kesal Rara merasa pak Satpam seperti cuek tak peduli.
“Lah emang bapak musti berkata WOOW gitu!” Ujar satpan sedikit lebay semakin membuat Rara kesal.
“Ngasih solusi kek atau bantuin kek!!!” Gerutu Rara sambil cemberut.
“Emang mulut bapak bisa niup itu ban...? Apa kata dunia kalo mulut bapak dipake niup ban? He he he ... ”Jawabnya sambil terkekeh tertawa.
“Iiihhh udah sono akh ...! Jangan buat aku kesel...!” Rara mendorong pak satpam.
“Yaelah ... Dibecandain dikit aja kok sewot banget ...” Ujar pak satpam.
“Habisnya..”
“Yaudah, bapak bantuin deh ... Bapak akan bawa ke tukang tambal ban ...” Pak satpam mengajukan diri untuk menolong gadis itu.
“Gak usah pak! Tunjukin aja tempatnya!” Tolak Rara yang masih kesal.
“Jauh loh non..!!” Sambung pak Satpam.
“Biarin pak ... Sekalian pulang.” Kata Rara yang mulai melunak.
“Ya udah, sini bapak tunjukin!” Ujar pak satpam lalu berdiri di samping Rara. “Ntar non keluar gerbang ambil kanan … Truuuuusssss, ampe nemu pertigaan nanti ambil kiri ... Truuussss, neng jalan nemuin jembatan kecil, nah lewatin tuh jembatan, nah non jalan lagi terus sampe nemu perempatan langsung ambil kanan … Truuussss, ade patung doraemon, non ambil kanan lagi, jalan lagi truuuusssss….”
“Teras terus mulu … yang jelas ngasih tahunya dong!” Rara mulai gak sabar.
“Jauh non cantik …. Sampe mana tadi ... Ooo patung doraemon yah … Nah, tadi belok kanan jalan, 500 meter ntar non nemu tukang bakso, di situ non lirik kanan lirik kiri, ati-ati soalnya itu perempatan jalan rame disana ... Nah non nyebrang dari situ, sebelah kanan jalan, sebelah tukang fotokopi, di situ tukang tambal ban mangkal.” Lanjut satpam menyudahi keterangannya.
“Makasih dah bikin pusing pak ...! Gimana nanti aja!” Rara melengos kesal sambil menggandeng sepedahnya lalu melenggang pergi meninggalkan pak satpam yang hanya bengong merasa tak berdosa pada gadis itu.


###


Pov Rizki


Teng ... Teng … Teng ...! Bel berbunyi tanda waktu sekolah sudahlah selesai. Seusai belajar aku dan kedua sahabatku langsung berlarian menuju kantin, seperti biasa nongkrong sambil makan gorengan. Hatiku merasa senang karena bisa ngerjain cewek rese yang sudah berani melawanku. Aku ingin sekali memberikan pelajaran untuknya tetapi aku harus tetap membuat hal tersebut seakan-akan aku bukan pelakunya.

“Ha ha ha ... Rasain lu, dah gue kerjain…” Dengan tertawa keras membayangkan Rara yang kesusahan ke tempat tambal ban yang memang jauh jaraknya dari sekolah.
“Lu tega banget bos ... Anak cewek lu kerjain ...” Protes Jamal sambil mencomot gorengan lalu memakannya dengan satu kali suapan.
“Denger yah Mal ... Kalo dia cewek beneran males ladenin ... Lah dia cewek jadi-jadian ... Ha ha ha, tul gak Yo” Kataku ringan.
“Terserah lu ....!” Yoyo yang asik memakan gorengan tak merespon baik.
“Kalian berdua payah! Lagian tuh cewek jadi-jadian berani beraninya ngelawan gue!” Kesalku tetapi kedua sahabatku ini tak merespon malah asik memakan gorengan.
“Akhhh ...!!! Kalian diajak ngobrol malah cuek!! Bikin males aja, gue cabut dulu!” Aku merasa kesal kepada kedua sahabatku ini seperti tidak mendukung. Aku pun langsung beranjak pergi.
“Ttttuungguu...!!” Yoyo mengejarku dan Jamal pun berdiri hendak menyusul.
“EEEEhhhh ... Bayarnya mana?” Teriak Bu Kantin mencegah kami pergi.
“He he he ... Besok aja bu kita bayarnya, sekarang ngutang dulu.” Ucap Jamal sambil cengengesan.
“Kalian tuh bikin ibu bangkrut aja!!” Gerutu Ibu Kantin yang memang sering dihutangin oleh kami bertiga. Jamal hanya nyengir sambil berlari menyusulku dan Yoyo.

Aku dan Yoyo pun berjalan cepat beriringan keluar sekolah meninggalkan Jamal di belakang. Aku tidak banyak bicara karena masih merasa kesal pada kedua sahabatku ini yang tidak mendukungku memberi pelajaran pada perempuan jadi-jadian itu. Saat di pertigaan tak jauh dari depan gerbang sekolah, aku segera berbelok ke arah kiri.

“Bos ... Lu mo balik kemana? Kok ke arah kiri, bukannya lo balik ke arah kanan?” Tanya Yoyo melihatku yang hendak berpisah memang jika aku pulang ke rumah dinas papah searah dengan rumah mereka berdua.
“Haaah ... Haaah ... Haaah ...! Tunggu woy ...! Istrirahat dulu!” Ucap Jamal yang baru saja datang, kelelahan mengejar aku dan Yoyo.
“Gue mo ke rumah tante dulu ... Gue mo nginep beberapa hari di sono ... Gue kangen ama sepupuku!! Gue duluan!!” Jawabku sedikit berbohong karena malu kalau memberitahukan alasan yang sebenarnya pada Yoyo.
“Wooii ... Wooiii ... Sante dulu bos, lu buru buru amat … Kagak biasanya!!” Yoyo langsung menahanku saat aku hendak melangkah meninggalkan mereka.
“Ha ha ha ... Sorry, gue harus buru-buru, kagak enak ama tante gue, dah janji untuk nganter dia!!” Bohongku, padahal sebenarnya aku ingin bertemu dengan kang Dudi untuk menanyakan informasi yang aku tanyakan tadi pagi. Aku tak ingin membuat kedua sahabatku ini terlibat masalah.
“Dah gue anter ...! Kebeneran gue dapet warisan dari engkong gue ... Kalian berdua musti liat apa yang diwarisi engkong gue.” Jamal yang langsung menarikku ke arah jalan yang berlawanan dengan kutuju.

Aku dan Yoyo keheranan tetapi kami tetap mengikuti jalan Jamal dari belakangan. Ada apa dengan Jamal sekarang ini, tetapi aku rasa ada sesuatu yang membuat dia bahagia. Memang kami bertiga jika pergi ke sekolah hampir tidak pernah berbarengan, kami bertiga bertemu menunggu di depan sekolah, berbeda dengan pulang sekolah yang selalu berbarengan. Wajar jika aku dan Yoyo tidak mengetahui apa yang ada di benak Jamal yang tengah berseri. Saat kami berada di sekitar 100 meter dari pertigaan, Yoyo pun menahan langkahnya dan tentu aku dan Yoyo pun berhenti melangkah.
“Kalian tunggu gue bentar sebentar di sini!!” Jamal pun berlari ke seberang jalan menuju sebuah rumah. Aku memperhatikan Jamal yang langsung menuju belakang rumah dan menghilang.
“Warisan apaan sih dia dari engkongnya?” Tanya Yoyo padaku.
“Lah meneketehe ... Kolor engkongnya kali ... Ha ha ha ...” Jawabku membuat Yoyo tertawa, membayangkan kolor engkongnya dipake Jamal. Memang Jamal diantara kita mempunyai fisik yang lebih besar alias gendut, yang aku tau dia kalo pake celana dalam pasti untuk ukuran dewasa, jadi wajar kalo celetukku mendapat warisan kolor engkongnya.

Tak berselang lama, aku lihat Jamal keluar dari rumah itu dengan mengendarai sebuah sepeda motor yang membuatku dan Yoyo melongo melihatnya. Ya gimana tidak melongo, Jamal yang berbadan besar mengendarai sebuah sepada motor berwarna merah bermerek H**** yang pernah booming di eranya. Motor yang dinaiki Jamal terlihat menjadi ‘ceper’. “Tit ... tittt…!” Jamal memencet klakson motornya dengan wajah bangga lalu berhenti di hadapanku dan Yoyo.







“Gimana keren gak motor warisan engkong gue?” Jamal membanggakan diri sambil menepuk setang motor. Motor bebek keluaran tahun 70-an dari negeri sakura yang masih mulus dan original.
“Kagak salah nih motor? Wajar banget lu bilang warisan engkong lu, emang sejaman ama engkongmu lagi muda, Mal ...” Kata Yoyo dengan tatapan kagum.
“He he he … Kemaren sepulang bermotor langsung merajuk ama nyak babe untuk dibeliin motor Yo ... Tapi mereka kagak ngasih. Katanya gue belum cukup umur ... Gue langsung kabur ke engkong gue, eh dia langsung ngasih kunci motor ini, dia ngasih motor ini ketika gue ceritain ke dia!!” Cerita Jamal sedikit berbangga menjadi cucu kesayangan engkongnya yang selalu memenuhi segala permintaannya.
“Minta motor mudaan dikit kek, jangan kayak gini!” Yoyo meremehkan motor yang dikendarai Jamal.

Entah kenapa aku sangat terpesona dengan motor warisan milik Jamal. Aku mendekati dan mengelus mengamati motor ini dari depan belakang samping, tak peduli Yoyo dan Jamal yang sedang beradu argumen. Motor ini klasik yang terlihat retro, desain dari setiap bagian memiliki keunikan sendiri.

“Keren ...” Gumamku terpesona melihat sebuah motor tua yang terawat, mesin yang masih bersih tanpa kotoran olie yang menempel pada mesin, cat orsinil yang masih terlihat mengkilat meski ada beberapa yang sudah pudar akibat tergesek. Hampir semua item yang menempel masih orsinil di tempatnya tak ada item-item tambahan yang menempel di body motor.




Dan yang membuatku terpesona akan motor tua ini adalah betapa terawatnya motor. Hal ini membuktikan bahwa pemilik motor yang begitu sayang sehingga telaten dalam merawatnya. Meski ini bukan jamannya tetapi melihat kondisi motor yang masih enak dipandang, motor yang dipakai Jamal ini masih bisa bersaing dengan motor masa kini. Melihat keadaan motor membuatku berandai-andai, jika saja aku seperti si Jamal yang mempunyai engkong yang amat menyayanginya, pasti aku pun bakalan memiliki motor. Sayang kakekku telah lama meninggal dunia saat aku berusia tujuh tahun. Papah ...? Akh, gak bakalan aku dibelikan motor olehnya, secara dia nganggap aku anak pungut.

“Lu suka boss..?” Jamal membuyarkan lamunanku akan motor ini.
“Ehh ... Kagak ... Gue salut ama engkong lu, Mal ... Ini motor bener-benr dirawat ama engkong lu ...” Pujiku.
“Pastinya ... Makanya gue kagak malu makenya ... Gue bisa naikin motor kebanggaan dia waktu muda!! Lu beda ma Si Yoyo, dia gak tau betapa artistik dan klasiknya nih motor ...” Jawab Jamal penuh kebanggaan, Yoyo gak bisa berdebat lagi mungkin dia akui selera tak selamanya sama, berbeda denganku, aku selalu tertarik dengan motor yang benar-benar terawat oleh pemiliknya, tak peduli itu motor tua ataupun baru.
“Ayo! Gue anter bos ... Yo, lu kalo kagak mau, lu pulang jalan sendiri!!” Cibir Jamal, sambil menepuk jok belakang agar aku duduk di belakangnya.
“Ikuuut ...! Lu pelit amat ...?” Yoyo yang mendahuluiku menaiki motor, Jamal pun terkekeh melihat reaksi Yoyo, dan aku duduk di belakang Yoyo.
“Letsss goooo…!!!” Jamal langsung menancap gas memboceng kami berdua. Entah kemana yang dituju, yang kutahu dia ingin kita menikmati motor barunya ini. Dengan tertawa lepas kami bertiga mulai menikmati perjalanan dengan menaiki motor Jamal.



###


Pov 3



Tiga orang laki-laki duduk di samping jendela sebuah rumah kosong memperhatikan terik matahari siang itu yang menyoroti bumi dengan begitu panasnya. Tiga pasang mata mereka tiada henti-hentinya memandang ke arah jalan memperhatikan orang yang berlalu-lalang di sana. Mereka berada di tempat itu sejak satu jam yang lalu. Ketiga orang berseragam SMA itu adalah Rudi dan kedua temannya yang berniat mencari Rizki.

“Lu kelamaan sih ... Telat deh kita mo nyegat tuh bocah keburu bubar ... Sia-sia kita ke sini ...” Dumel Rudi pada kedua temannya sambil mengunyah permen karet.
“Lu kali yang telat, boker ampe berjam-jam ...” Temannya tidak mau disalahkan.
“Apa kagak salah, kita nyegat di sini ...? Dari tadi si Rizki kagak ada batang hidungnya?” Tanya temannya pada Rudi.
“Gue yakin sih lewat sini ... Secara ni arah emang menuju ke rumah si lonte semalam!!” Jawab Rudi sekenanya sambil celangak celinguk ke arah datatangnya rombongan anak SMP.

Tiba-tiba mata Rudi melihat sesuatu yang menurutnya sangat menarik. Dari kejauhan nampak Rara yang berjalan sendirian menggiring sepeda di belakang gerombolan anak SMP lainnya, ketika hendak melewati ketiga orang ini.

“Cuy, liat tuh cewek lewat.. sendirian…!!” Rudi menunjuk ke arah Rara.
“Ah ogah gue godain anak SMP ... masih bau pesing…!! Lagian gak ada yang bikin enak dipandang, badan kayak papan penggilesan ...” Timpal salah satu temen Rudi saat melihat Rara yang memakai seragam SMP.
“Ha ha ha ha ....” Disambut dengan tawa teman yang satunya.
“Dasar kalian bego ... Liat noh tanda atribut sekolahnya ... Kita bisa cari info!” Ujar Rudi sambil menoyor jidat temannya yang tertawa. Hingga akhirnya Rara pun melintas di hadapan mereka.
“Hei cewek ... Bisa ngobrol bentaran gak!” Ujar Rudi mendekat, dan kedua temannya langsung menghadang di depan sepeda.
“Sante dulu ... Cantik, bisa kenalan gak?” Ujar yang menghadang sambil menahan stang sepeda.
“Apaan sih ...?! Minggir sono ...!!” Ketus Rara merasa terganggu.
“Yaelah, galak amat jadi cewek!!” Salah seorang menarik sepeda Rara hingga terlepas.
“Bentar doang...!!” Pinta Rudi sambil memegang tangan Rara.
“Lepasin kagak!!!” Rara melotot mengancam pada Rudi tanpa menarik tangannya.
“Cie... cie... Galak amat nih rud, tapi kalo dipikir-pikir meski kurus, cantik juga nih cewek ...” Ujar cowok yang memegang stang tadi, lalu menjiwil pipi Rara.
“Eh bangsat!!! Lu jadi cowok kurang ajar banget!!!” Rara menepis tangan yang mencolek pipinya dengan keras.
“Mpuaaahhh…” Rudi melepehkan permen karetnya ke arah Rara hingga menempel pada rambut Rara.
“Lu jadi cewek banyak tingkah yah!!!” Hardik Rudi semakin menggenggam kuat tangan Rara.
“Dih, perlu dikasih pelajaran nih cewek tengil ...!” Ujar cowok yang memegang sepeda Rara, lalu dibantingnya sepada itu. Rara pun lalu menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Rudi.
“Ehhh, nih cewek ngelawan!” Rudi menjambak ujung rambut Rara hingga terjatuh, tetapi saat menjatuhkan diri Rara melancarkan tendangan ke arah Rudi mengarah pada pinggang Rudi. Dan tendangan Rara mengena telak pada sasarannya. “Heggg…!” lenguh Rudi menahan rasa sakitnya sambil mundur beberapa langkah.
“Brengsek!!!” Dua temannya langsung menyerang Rara yang terjatuh. Saat mereka hendak menendang tubuh Rara yang terbaring di Jalanan.

“Bruuggg ...!!!”

“BANGSAT ...!!! BERANINYA AMA CEWEK … KALO KALIAN BERANI LAWAN GUE …!!!” Tiba-tiba sebuah teriakan dan terjangan mengarah pada kedua orang itu. Kedua orang yang akan menyerang Rara terjejer beberapa langkah ke belakang baru kemudian terjatuh karena tendangan dan pukulan orang yang baru datang itu mengenai badan mereka.



###



Beberapa Saat yang sebelumnya ...


POV Rizki


Untuk ukuran motor bebek keluaran tahun 70-an, mesin motor Jamal termasuk mesin yang sangat mulus di kendarai. Kondisi motor masih bagus membuat tenaganya pun masih maksimal. Kami melaju di jalanan yang sepi jarang orang yang lewat. Tiba-tiba dalam hati ini juga ingin mempunyai motor.

“Mal, motor lu beneran mantap ... Suara mesinnya masih bersih, engkong lu bener-bener ngerawat dengan baik.” Pujiku saat diboceng oleh Jamal.
“Pikir-pikir enak juga pake motor tua lu, Mal ...” Yoyo ikut nimbrung padahal sebelumnya dia sedikit meledek pada motor bebek tua ini.
“Ha ha ha … Gimana keren kan? Makanya aku tuh kagak nolak diwarisi motor ini meski pengen punya motor keluaran baru. Entah kenapa, pas ngeliat motor tua yang masih mulus ini ngedadak lupa dengan motor baru.” Tawa Jamal tak merasa menyesal dengan apa yang dimilikinya.
“Bos!!! Itu di depan ...!” Tiba-tiba Yoyo berteriak sambil telunjuknya mengarah ke depan. Aku langsung melihat seorang siswi berseragam persis denganku sedang dikelilingi tiga orang anak SMA salah satunya sedang menjambak siswi tersebut hingga jatuh.
“Bos ... Itu anak SMP kita lagi dikerjain ama mereka ...” Ujar Jamal sambil memacu gasnya agar cepat mendekati siswi itu.

Ketika sampai tanpa babibu lagi, aku langsung melompat turun dan berlari, melihat salah satu dari mereka hendak menendang siswi yang terjatuh.

“BANGSAT ...!!! BERANINYA AMA CEWEK … KALO KALIAN BERANI LAWAN GUE …!!!” Aku berteriak keras sambil melompat menendang menerjang mengarah pada kedua orang yang hendak menendang siswi itu. “Bruuggg ...!!!” Tendanganku mengenai punggung salah satu dari mereka hingga terjerembab dan mendorong salah satunya lagi hingga mereka berdua terjatuh. Tanpa disangka dari sudut mataku melihat siswi yang masih terbaring dijalani melancar serangan tendangan ke arah perut lelaki yang menjambaknya.
“Hueeegg ...!” Erang lelaki itu menahan sakit di perutnya.
Tanpa peduli dengan siswi itu, aku langsung melancarkan tendangan ke arah rahang salah satu yang kuterjang lagi, sebelum mereka tersadar akan serangan pertamaku tadi. “Bug ... bug ... bug ...!” Entah berapa kali aku lancarkan tendangan yang keras tenaga ke arah wajahnya. “Crooott …!” Darah segar mengucur dari hidungnya, sedangkan lelaki yang terdorong oleh temannya merangkak mundur melihat aku dengan brutal tanpa ampun menendang rekannya.

Melihat sosok yang kutendang tadi terdiam mungkin pingsan terkena tendanganku, tak kuhiraukan lelaki yang sudah mundur menjauh. Sekarang akan aku ingin membantu siswi melawan lelaki yang menjambak tadi, tetapi hal yang tak kuduga pun berlangsung. Siswi itu sudah bangun dari jatuhnya dengan posisi kuda-kuda dan cepat memutar tubuhnya melancarkan sebuah tendangan ke arah rahang seperti menampar dengan keras.

“Hiaatttt ...!!!” Pekik siswi dengan keras saat menendang.
“Plaaaakkk…!!!” Tanpa persiapan untuk menahan, orang yang diserang si siswi masih dalam posisi membungkuk menahan sakit di perutnya, sebuah tendangan keras dwi hurigi mengenai rahang lelaki itu hingga terpental terjatuh. Aku terperangah kagum melihat sosok siswi yang kutolong ternyata tanpa merasa takut dia bisa melawan balik dengan teknik tendangan dari suatu beladiri. Dengan sigap siswi itu langsung berbalik ke arahku dengan memasang kuda-kuda mungkin hendak melawan dua orang sisanya yang telah kubereskan barusan. Dan tiba-tiba saja mata kami bertubrukan. Mata coklatnya yang dalam seolah menghisap napas dan duniaku. Membuat waktu terasa berhenti.

“Haaaaa… Lu…!” Kami bersamaan berteriak.
“Geblek ...! Ternyata si cewek jadi-jadian yang gue tolong!” Gumamku mengetahui siswi yang kutolong adalah Rara. Entah kenapa hati ini berdesir melihat wajah marah Rara meski dibalik penampilannya yang acak-acakan ada suatu keindahan dibaliknya.
“HIIAATT!!! DASAR LU MONYET BULUK BISANYA BIKIN GARA GARA!”Tanpa kusarai ia melancarkan dua tendangan dwi chagi ke arah pinggangku, dengan cepat beberapa tepisan tanganku berhasil menahan tendangan itu.
“MAKASIH KEK, DAH GUE BANTUIN!!!” Kesalku mendapat perlakuan olehnya, ingin kubalas serangannya tapi entah kenapa hati ini tak sanggup menyerangnya.
“MAKASIH…!!! NAJISS…!!! KALO GAK GARA-GARA LU, GAK AKAN DAPAT MASALAH INI...!” Teriak Rara kembali hendak menyerangku. Aku pun langsung memasang kuda-kuda untuk menahan serangannya.
“OIII.. SUDAH SUDAH, LAWAN LU TUH PADA KABUR!!” Cegah Yoyo yang menahan Rara lalu menunjuk ketiga orang yang telah lari kabur, salah satunya dipapah oleh rekannya, dan sedangkan Jamal langsung mendekatiku.
“Lu gak papa bos?” Tanya Jamal mengkhawatirkannku.
“Bego lu ...! Kenapa kagak dikejar mereka?!” Kesalku sambil menoyor kepala Jamal.
“He he he ... Nyali gue masih kecil dibandingkan lu bos!!” Kekehnya.
“NGAPAIN SIH LU NAHAN NAHAN GUE?” Rara yang masih emosi melihat aku terus meronta ingin menyerangku.
“Tahan Ra... tahan… istighfar Ra…” Bujuk Yoyo menenangkan Rara.
“LU TUH….! LEPASIN GAK...??” Rara memelototi Yoyo membuat ciut nyali Yoyo.
“Yo lepasin dia, ini salah gue...!!” Entah kenapa aku merasa bersalah saat melihat sepada yang terjugruk di pinggir jalan, jika aku tak menjahilinya mungki kejadian ini tak kan terjadi. Yoyo pun tak lagi menahan Rara, dengan nafas memburu Rara langsung bergegas mendekatiku dan ...
“Plaaakkk…!” Sebuah tamparan keras mengenai pipiku.
“Kalo lu berani, hadapin gue secara jantan, jangan bisanya jahilin aja!” Makinya.
“Bos lu kagak apa apa?” Jamal kembali memapahku.
“Yo anter gue ke tempat tambal ban ... Mal, lu bonceng si cewek jadi-jadian ini, duluan ke sana ...” Pintaku dan langsung berjalan ke arah sepeda yang tergolek dijalani tanpa mempedulikan omongan Jamal.
“Mo ngapain lu, jangan sentuh sepedah gue!” Rara menahan tanganku.
“Ayo Ra ... Kita tunggu di sana, masih jauh nih, biar si Boski ama Yoyo yang mapah sepeda lu!!” Ajak Jamal melepas pegangan Rara di tanganku, terlihat wajah yang ragu atas sikapku ini.
“Oke, tapi kalu lu macem-macem ama Nemo-ku ini, awas lu sampe mati gue kejar lu!” Ancam Rara lalu pergi mengikuti Jamal.
“Yah ... Apes ... Jadi jalan nih ...” Keluh Yoyo. Aku langsung memapah sepeda tanpa menghiraukan keluhan si Yoyo.
“Bos ...! Jangan tinggalin gue dong!” Yoyo lalu mengejarku yang telah berjalan lebih dulu.


###


Pov Ratna

Siang ini aku mulai berkemas-kemas pakaian anakku. Aku pasti akan merindukannya untuk beberapa hari ini. Aku biarkan Rizki untuk tinggal beberapa hari di rumah tantenya. Selain untuk menenangkan hati anakku juga untuk memberikan sedikit ‘pelajaran’ buat ayahnya.

“Haaa … Baru saja sehari tanpa Rizki terasa sepi ... Rizki … Rizki … Kamu tuh kalo dah ngambek persis ayah kamu ...” Celotehku sendiri sambil memasukan beberapa helai baju dan seragam sekolah untuk bekal selama di sepupuku Imah. Sebagian besar bajunya telah kumasukan ke dalam dus, agar pada saat pindah nanti tak berabe.

“Jam setengah dua siang berarti Imah dan Rizki udah pulang … Aku mesti buru-buru pulang keburu kang Rangga pulang ...” Gumamku sambil memandang jam dinding. Kemudian aku pun bersalin berganti pakaian, tak lupa membuat sepucuk surat yang kutulis pesan untuk putriku jika dia pulang nanti tak mengkhawartirkanku jika tak ada di rumah.

Setelah semua siap aku pun mengunci rumah dan seperti biasa jika rumah kutinggal pergi, pasti kusembunyikan kunci pintu di balik pot untuk memudahkan Widya dan Rizki saat pulang. Memang dari komplek rumah dinas suamiku sedikit jauh menuju jalan raya, maka aku pun berjalan menuju ke sana untuk mencari taksi atau kendaraan umum. Ketika aku sampai di gerbang kompleks, seorang prajurit penjaga kompleks menyapaku.

“Bu Rangga, mau kemana? Loh kok sendirian? Kalo gak salah Bapak semalam ada?” Tanya salah seorang anggota yang sedang berjaga di pos.
“Eh Pak Wicak … Iya pak sendirian, anak-anak belum pulang. Lagian … anu pak ... Saya mau ke rumah sepupu, nganterin baju Rizki ... Dia menginap disana ... Suami saya tadi pagi ada tugas dadakan mesti ke markas pusat ...” Jawabku ramah, bagaimana pun juga aku harus menjaga image sebagai istri dari komandan mereka.
“Oohh pantes ... Semalam dia nongkrong dipos tapi sekarang dia gak keliatan? Bapak tuh sering tugas keluar daerah, kadang saya suka kesian ngeliat ibu ditinggal sendirian ama anak-anak !!” Lanjutnya
“Resiko pak, jadi istri abdi negara ...” Jawabku sambil terkekeh kecil. “Mari pak ... Saya lanjut dulu, mau nyari taksi atau angkutan umum!!” Pamitku.
“Ooo ia bu ... Eh sebentar bu … Mari bu aku antar!” Tawar Pak Wicak sambil hendak mengambil tas jinjinganku.
“Gak usah pak ...! Gak berat kok ... Lagian gak nyebrang jalan!!” Tolakku tanpa menyakiti perasaannya.
“Baik lah bu ... Kalo gitu, ati-ati di jalan ...”
“Makasih pak ... Mari ...!” Kataku sambil berlalu dari hadapannya.

Aku pun langsung berjalan keluar komplek meninggalkan Pak Wicak yang telah kembali ke pos jaga, lalu aku berteduh di bawah pohon rindang menunggu taksi atau kendaraan umum jurusan ke arah rumah Imah sepupuku. Saat aku berdiri menunggu angkutan umum, tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah yang tidak aku kenal mengklakson dan berhenti di depanku.
Tiin ... tinn ...!!!
Jendela pintu belakang pun terbuka hingga aku dapat mengenali siapa penumpang yang berada dimobil itu.
“Maaass Aryo…” Gumamku agak terkejut saat melihat sosok Mas Aryo tersenyum padaku. Dia pun turun dari mobil menghampiriku.
“Ratna ... Kamu sedang apa di sini? Apa rumahmu di komplek asrama tentara ini?” Tanyanya sambil celangak-celinguk memperhatikan keadaan sekitar.
“Iya mas ... Kita tinggal di asrama ini?” Jawabku.
“Ooo ... Terus kamu mau kemana?” Tanya Mas Aryo.
“Eeuu ... Ke rumah Imah, Mas...“ Jawabku agak gugup.
“Imah, maksudmu Halimah sepupu kamu?” Tanyanya lagi sedikit kaget.
“I-iya, mas ...”
“Gimana kabarnya dia? Lama aku tak bersua dengannya!!”
“Baik mas… dia sek..” Belum juga beres bicara.
“Udah aku antar, sekalian aku pengen ketemu dia ... Kita lanjutkan ngobrolnya di mobil!” Ucapnya sambil merebut tas jinjingku, tanpa menawar lagi lalu tanpa persetujuanku dia masukan ke dalam mobil.
“Ayoo, Ratna ...!” Ajak Mas Aryo yang membukakan pintu, ada sedikit keraguan aku diantar oleh dia, bagaimanapun juga aku adalah wanita yang telah bersuami, sedikit tak pantas jika aku menerima tawaran dari mantan kekasihku ini.
“Ayoo Ratna ... Malah bengong!” Mas Aryo menarik paksa.
“Ehh ...” Aku sedikit menahan tarikannya.
“Udah gak papa, aku gak ngapa ngapain kok, lagian aku cuma pengen ketemu Halimah, dah lama tak bertemu dia ...” Tanpa basa basi Aryo mendorongku agar masuk ke dalam mobil, dan dia pun langsung naik, hanya saja Mas Aryo berpindah duduk di sebelah supir, dia ternyata mengerti tak mungkin duduk di sampingku apalagi dengan situasi aku yang tak nyaman.

Tapi tak kupungkiri aku sedikit terpana melihat wajahnya. Entah kenapa, ada secuil rasa rindu pada Mas Aryo dalam hati ini. Sosok yang pernah singgah dalam hatiku dan menoreh luka di sana. Sekarang telah hadir dengan keadaan yang masih tetap sama seperti dulu. Betapa bahagianya aku dulu, Mas Aryo yang selalu saja mengalah memenuhi segala permintaanku. Ah, semua hanya kenangan indah yang musti kulupakan, sekarang aku memiliki kang Rangga sosok suami yang begitu tulus mencintai dan menyayangiku sampai sekarang, aku mesti menghilangkan perasaan itu pada Mas Aryo.

“Alamatnya Ratna?” Tanya Mas Aryo sedikit membuyarkan lamunanku tentangnya.
“Ehh... Anu... Jalan... A***** Nomor 8 mas, komplek D***ng ...” Jawabku sedikit gugup.
“Pak Husin ... Antarkan ke jalan disebutkan tadi!!” Perintah Mas Aryo pada supirnya.
“Baik pak..!!” Jawab supir.

Dalam perjalanan Mas Aryo terus mengajak mengobrol tentang keluargaku, tentang kejadian lucu saat aku bersamanya, tapi dia tak pernah menyinggung tentang keadaan dirinya selama ini. Aku bisa menangkap di raut wajahnya sedikit raut wajah kesedihan di balik tawanya saat dia bertanya tentang keluargaku yang sekarang.

“Aku barusan ketemu suamimu di kantornya, dia terlihat gagah dengan seragamnya, aku yakin selama ini dia sangat bahagia hidup dengan kamu ...” Ucap Mas Aryo dan aku bisa merasakan kalau raut wajahnya berubah dingin.
“Yaa ... Tapi kok kamu tahu..? Apa kamu kenal dia...? Seberapa banyak kamu mengenal dia?” Jawabku pelan dan penasaran kalau Mas Aryo bisa tahu suamiku, padahal aku tak ingin membicarakan suamiku padanya apalagi membicarakan kekurangannya, karena bagi diriku kang Rangga adalah pemimpinku yang mesti kujaga kehormatannya jadi tak layak bagi diriku membicarakan di belakangnya.
“Tidak ... Aku tak mengenalnya ... Aku baru tahu tadi, kebetulan ada kerjaan ke kantor dia, aku melihat foto kalian sekeluarga di atas meja kerjanya, seorang lelaki yang berani memajang foto keluarga di atas meja kerjanya menandakan dia lelaki yang sangat bahagia bersama istri dan anak-anaknya ...” Jawabnya menatap lurus kejalan, aku diam tak menanggapi penilaiannya terhadap kang Rangga.

Hingga tanpa terasa kita telah sampai di tempat tujuan.

“Mas, itu pagar cat hijau!” Tunjukku ke rumah Imah. Akhirnya mobil pun berhenti, kami pun turun, saat hendak membuka gerbang pagar.
“Teh…” Seorang wanita yang baru turun dari mobil menyapaku, dan ...
“Kamu ...?!” Sosok wanita itu terbelenga melihat Mas Aryo berdiri di sampingku.




Bersambung ...
akhirnya updet juuga bosky....

makasih om, atas hidangannya di saat darurat ibu pertiwi....

semoga TS sehat selalu
 
Bimabet
Sehat hu,,,,, hihihi
Lankutken,,,,,
Rangga itu nama panjang ranggadek.... Ranggenah.... Heuheu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd