Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG MY LOVE JOURNEY 2 (Boski Storys)

My Love Journey 2 – Boski Storys






CHAPTER 1.6



Pov 3rd


Seluruh warga sedang berkumpul di rumah Rangga, sedang berdiskusi. Salah satunya pak RW dan kepala keamanan warga sedang mengintrogasi Candra.

Meskipun Candra adalah salah satu warga di sini. Untunglah Candra nggak babak belur dihakimin warga, perihal tindakan asusilanya pada Widya.

Sedangkan Rangga, Ratna berada di dalam kamar, sedang mengitrogasi Widya. Terlihat Widya meringkuk di atas pangkuan Ratna, kini tubuhnya telah terbungkus selimut menutupi pakaiannya.

"Coba ceritakan sama Ibu, Nak, apa yang terjadi tadi?" Ratna mencoba menanyakan pada Widya yang terus terisak menangis. Sedangkan Rangga terus mondar-mandir di hadapan Ratna, entah apa yang ada di benaknya, sesekali Rangga mengusap wajahnya.

"Hiiikks maafin Widya, Bu...! Widya salah..." Dengan sedu sedan Widya meminta ampunan dari Ibunya.

"WIDYA... APA BETUL YANG DITUDUHKAN ADEK KAMU?" ujar Rangga sedikit keras.

"Stttt...!! Sudah tenang dulu, biar Widya cerita dulu!" Ratna menenangkan Rangga, Widya makin membenamkan wajahnya di pangkuan Ratna.

"TAPI, BU, KALO BENER, MAU DITARUH DI MANA MUKA AYAH.. AYAH SUDAH MEMUKUL RIZKI, TRUS AYAH NGEBIARKAN WIDYA... AKHHH!!" Rangga menghentakkan tanggannya menahan amarah.

"huuhuu.. Maafi Widyya Pah, Widyaa khilap. Huhuhu..." Widya terus meratap.

"Sudah, sudah. Tapi bener yang dikatakan adekmu tadi, nggak usah diceritakan detil cukup katakan, ‘iya’ yang dituduhkan adekmu." tanya Ratna.

"Hiikkss... Iyaaa, Bu.. " Widya mengangguk lemah.

"Arrrgghhh!!" Meluaplah amarah Rangga, lalu pergi keluar kamar,

Bergetarlah tubuh Ratna tak kuasa mendengar pengakuan putrinya.

"Buuu...! Jangan maraahh, huuhuu ini salah Widya..! Huuu..." Widya bangkit dan bersimpuh dihadapan Ratna, Ratna tak bergeming hanya sesegukan menangis.

"Buuu!!" Widya terus mengharapkan menerima maaf dari Ibunya.

"Gak usah meminta maaf pada Ibu, Ibu juga salah hiiks andai saja tadi Ibu mendengar perkataan Adikmu mungkin ini tidak terjadi hiiks, Ibu merasa berdosa." tangis Ratna.

"Enggak, Bu. Widya yang salah, seharusnya Widya bisa jaga diri tapi tadi huhuhu..." Widya pun kembali menyesali mengapa dia hanya menikmati pelecehan pada dirinya tak mampu menolak.

"BRENGGSEK KAMU!!" terdengar oleh Ratna makian Rangga dari arah ruang tamu.

"AAMPPUN PAK..! MAAF SAYA KHILAF!" Suara Candra pun terdengar.

"SUDAH PAK, SUDAH TENANG!" Beberapa orang mencoba menenangkan Rangga.

"Papah kamu." Ratna pun langsung berdiri meninggalkan Widya untuk menenangkan Rangga suaminya.
_____



Di lain tempat....

Boski alias Riski berjalan tak tentu arah, menyururi jalan di keheningan malam. Rasa sesak di dada saat Ayahnya lebih membela Kak Widya dibanding dirinya tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Ibu yang dia sayangi pun tak mampu melindungi dia, Begitulah yang ada pada benak seorang bocah yang sedang beranjak dewasa.

Geeelllegaaarrr

Langit pun seakan tau suasana dalam hati Rizki, gemuruh petir diiiring rintik hujan menambah kepedihan hati. Suasana sekitar pun juga sangat mengerti, tak satu pun kendaraan yang melintas entah semua pada enggan untuk keluar karena sudah larut malam atau memang karena hujan yang turun membuat malas untuk keluar.

Meski di bawah guyuran hujan kecil, Rizki terus berjalan entah akan ke mana setidaknya kali ini Rizki ingin menentramkan hatinya. Dirinya mencoba untuk tegar tanpa tetes air mata menghadapi segala masalah

Tin... Tin...

Sebuah mobil berjenis van berhenti tepat samping Rizki.

"Rizki kamu ngapain malam malam di sini? Hujan-hujanan lagi." Sesosok wajah yang dia kenal muncul dari kaca mobil.

"Tante?! " Rizki terkejut melihat tante kesayangannya ada di tempat ini.

"Kaaakk Rizki...!! " Dua orang anak perempuannya menyusul muncul dari jendela belakang mobil.

"Cepet masuk!!" ajak Tante Halimah menyuruh Rizki masuk ke dalam mobil. Rizki pun akhirnya naik ke dalam mobil.

"Kamu mau ke mana Riz?" tanya pengemudi mobil yang ternyata dia adalah om Agus suami tante Halimah bernama lengkap Agus Setiawan, layaknya tante Halimah dia juga seorang pengajar hanya saja dia mengajar di suatu Perguruan Tinggi Negeri terkenal di kota ini.

"Cuma jalan-jalan kok, Om. Hehehe... Eh, kalian dari mana? " Rizki mencoba menutupi apa yang dia alami dengan mengalihkan pertanyaan pada ketiga adik sepupunya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya Tante Halimah mempunyai tiga orang putri, yang pertama Zazkia Candrakirana 12 tahun kelas 6 SD, yang kedua Azkia Mutiasari 10 tahun duduk kelas 4 SD dan yang paling Bontot Aulia Permatadewi 8 tahun kelas 2 SD. Hubungan mereka seperti saudara kandung lihat aja, Aulia langsung duduk di pangkuan Rizki.

"Habis jalan-jalan ke Mall." jawab Azkia dengan menyenderkan dirinya pada Rizki, Rizki pun mengerti dipeluknya tubuh kecil Azkia.

"Terus kamu mau ke mana malam-malam, om rasa ini jalan bukan ke arah rumah kamu? " tanya Om Agus curiga, karena dirinya tau sifat keponakan yang bengal ini yang sering menutupi permasalahannya.

Tante Halimah pun menoleh ke belakang seakan dirinya pun mencurigai Rizki.

"Mau ke rumah Om. Hehehe... Boleh ‘kan Om, Rizki nginep malam ini?" jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Kenapa tidak, buat keponakan kesayangan Tante-mu ini!" ledek Om Agus, meskipun begitu Om Agus pun menyayangi Rizki. Sama seperti halnya Tante Halimah Dia juga sangat mengharapkan memiliki seorang anak lelaki jika tak ada sesuatu pada diri istrinya pasti lah dia meminta istrinya untuk hamil lagi meskipun peraturan pemerintah melarang memiliki Anak lebih dari tiga, Om Agus pasti akan melanggarnya. Tapi jangan salah, meskipun dia mengharapkan seorang anak laki-laki bukan berarti dirinya mengabaikan putrinya. Dia pun tetap melimpahkan kasih sayangnya pada seluruh Putrinya ini.

"Terus, besok sekolah kakak gimana dong? Kan nggak ada seragamnya, Aulia lihat kakak nggak bawa tas?" tanya aulia bingung.

"Kan dilemari kak Zazkia ada seragam kakak, kakak sengaja nyimpen di sana jaga-jaga kalo kakak nginep di rumah dedek Aulia." jawab Rizki dengan gemas sambil mengusek-ngusek pipi Aulia.

"Ihhh, sakit tau!" ujar Aulia cemberut.

"Terus, buku pelajarannya?" tanya Zaskia masih penasaran, Rizki tak langsung menjawab seperti mencari jawaban yang tepat.

"Aakhhh sante aja! Buku-buku dan semua dibawa sama temen kakak." jawab Rizki.

"Fix, ini anak pasti ada masalah?" Dalam hati Tante Halimah, tapi dia tau enggan lebih banyak bertanya lagi pada Rizki, dia mengetahui Rizki anak yang sering memendam masalah dibandingkan Widya kakaknya, terlebih jika Rizki merasa terpojok dia pastinya akan lari darinya seperti halnya sekarang ini lari dari rumahnya.

"Ooh, ya udah kalo gitu!" Zaskia pun nggak bertanya lagi.

"Kak, entar bobonya sama aku ya!" ujar Azkia.

"Ihhh, ama dede!" Aulia tak mau kalah.

"Apaan sih, Dek? Kak Rizki ‘kan biasanya bobo ama Kak Zaskia." ujar Zaskia, memang bener kalo menginap Rizki selalu tidur dengan Zazkia, alasannya karena ranjang yang dipakainya lebih gede.
Sebenernya mereka itu tidur dalam satu kamar yang besar, tapi Ranjang Zaskia terpisah dari adik adiknya, sedang Aulia dan Azkia, tidur di ranjang tingkat.

Mereka tidur satu kamar bukan berarti rumah tinggal om agus kecil, masih ada 2 kamar kosong yang tak terpakai tapi karena usia mereka yang masih belia dan belum bisa mengurus kamar maka mereka ditempatkan dalam satu ruangan, intinya lebih efisien untuk membersihkan ruangan.

"Ihh, ‘kan kakak ‘kan udah gede! Ngalah dong ke adiknya!" Aulia langsung cemberut.

"Udah, udah! Entar kita tidur bareng-bareng kita tidur tumpukan di kasurnya kak Zaskia, gimana?" tawarku sebagai jalan tengah agak mereka tak bertengkar memperebutkanku untuk tidur bersama.

"Yeee assiik!" ujar Aulia dan Azkia, hanya Zaskia yang cemberut merasa keberatan.

"Udah dong, jangan cemberut ntar cantiknya ilang!" bujuk Rizki, Zaskia pun tak menjawab disandarkan kepalanya pada Rizki, sekarang Rizki diapit oleh ketiga sepupunya, dikiri kanan Zaskia dan Azkia yang menyandar pada dirinya, sedang Aulia berada di pangkuannya.

Rizki sangat menyayangi mereka dibandingkan dengan kakaknya Widya mungkin karena mereka unurnya yang masih di bawah Rizki atau mungkin karena kak Widya yang sering jahilin Rizki, entahlah yang jelas bagi Rizki dia sangat menyayangi seluruh keluarganya hanya saja dengan cara yang berbeda dia ungkapkan.

Tante Halimah tak menghiraukan mereka berempat di belakang, dirinya seperti sedang mengetik SMS pada seseorang.

"Teh, Rizki sekarang ada bersamaku, apa ada masalah?"

Ternyata Tante Halimah mengirimkan SMS pada Ratna memberitahukan keberadaan Rizki.


--oo0oo--​


Kembali ke Rumah Nenek Wira....

Malam semakin larut dan suasana dalam rumah pun sudah sepi, para warga telah pergi pulang ke rumahnya masing-masing. Permasalahan Candra dan Widya telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan oleh keluarga masing-masing dengan penengah ketua RW dan kepala Keamanan.

Hanya saja Ratna yang gelisah menunggu anak bungsunya pulang di teras rumah. Sedangkan Rangga sedang menasihati Widya dalam rumah.

"Ayah cuma segitu aja menasihati kamu, Wid. Kewajiban Ayah cuma membesarkan dan mendidik kamu agar menjadi anak yang sukses. Tapi Ayah nggak akan melarang kamu seperti yang dituduhkan adekmu itu. Itu pilihan hidup kamu, Ayah bisa apa?" Rangga yang bicara pelan namun menyindir sangat halus, membuat hati Widya terasa sakit dengan sindiran Ayahnya, dia akui kesalahan dirinya yang amat sangat menyukai Candra dari masa SMP. Kejadian tadi adalah sebenernya malam yang bahagia bagi Widya di mana Candra mengungkapkan perasaannya dan menyatakan ingin jadi pacar Widya di hadapan teman-temannya bak bagai gayung bersambut Widya menerimanya. Tapi ternyata kawan-kawan Candra telah mempengaruhi Candra dengan memberikan tantangan padanya jika Candra diterima menjadi pacar Widya musti dibuktikan dengan menjamah payudara Widya di hadapan mereka. Bodohnya Widya seperti menyutujui tantangan mereka dia hanya diam saja saat Candra Menjamah tubuhnya.

"Ya sudah, cuma gitu aja Ayah bicara sama kamu. Tolong pikirkan lagi pembicaraan ini!" Ujar Rangga. sebenernya Rangga bukan lelaki berkarakter lembut mungkin karena dasar pendidikan militernya dari kecil dari sang Ayah hingga menjadi personil militer. tapi dia mencoba menjadi seorang Ayah yang jadi panutan bagi putrinya tanpa melalui kekerasan. Ya, seperti tadi menasihati dan sindiran sindiran yang pedas mungkin sebagian orang itu salah menasihati seorang anak yang beranjak dewasa tapi itulah yang dilakukan Rangga pada Widya, berbanding terbalik dengan Rizki, Rangga memang sedikit keras apalagi sifat Rizki yang suka ngebantah dan ngelawan.

Rangga pun meninggalkan Putrinya yang menangis menyesali diri untuk menemui Ratna.

Ratna yang harap-harap cemas akan kepulangan putranya sesekali Ratna menengok kanan kiri jalan mengharap dirinya melihat kepulangan Rizki.

"Bu sudah toh, gak usah cemas gitu! Rizki bukan anak kecil lagi, dia pasti nggak apa-apa." bujuk Rangga.

"Ayah nggak ngerti dengan perasaan Ibu. Perasaan Rizki. Ayah yang hanya bisa memarahi dia dan terlalu bersikap memaksa tanpa mengetahui apa sebenarnya terjadi, hiiks... Ayah nggak tau perasaan dia ‘kan... Ibu tau karena Ibu selalu bersamanya, tak seperti Ayah yang jarang pulang.. hikks.." Ratna meluapkan kekesalannya pada Rangga.

"Yah, Ibu juga salah. Andaikan tadi Ibu mendengar kekhawatiran Rizki.. Akhhh..hiikss" Dirinya pun menyalahkan sendiri.

"Sudah, Bu..!" Rangga menenangkan Ratna.

"Sudah ... mungkin bagi Ayah itu sudah beres, tapi... heeeuu.." Makin kesal dengan sikap Rangga yang tak mengerti juga akan kekesalannya.

"Terus apa Ayah melihat perbedaan Ayah pada Widya dan Rizki. Widya yang jelas-jelas salah hanya dinasihati saja. Sedangkan Rizki yang jelas-jelas tak terima kakaknya dilecehkan malah Ayah tendang." Emosi Ratna makin meninggi, Rangga hanya terdiam dia sadari kesalahannya.

"Kenapa Ayah diam?" tanya Ratna sengit.

"Sudahlah mungkin ini terlalu berat untuk Ayah pikirkan, kita pulang sudah larut malam!" Ratna pun melengos meninggalkan Rangga yang diam mematung.

Saat Ratna hendak masuk ke dalam rumah, Rangga mengejar Ratna dan memeluknya dari belakang.

"Maaf..! Ayah minta maaf!" ucapnya sambil memeluk erat tubuh Ratna. Ratna sesaat diam tak bereaksi.

"Sudahlah Yah, kita pulang! Ibu terlalu lelah malam ini." ujar Ratna sambil melepaskan pelukan Rangga.

"Wid, ayo kita pulang dah malam besok kamu musti sekolah!" ajak Ratna pada Widya yang masih menangis di sofa. lalu Ratna mengambil tasnya dan kembali ke parkir mobil langsung menaikinya.

Selang beberapa menit setelah mengunci pintu Rangga dan Widya pun menyusul Ratna. tanpa menunggu Rizki mereka pun pulang ke Rumah Dinas.


--oo0oo--​


Di waktu yang sama, di mana Rizki dan keluarga Tante Halimah sudah sampe di rumah. Rizki yang langsung menuju ruang tengah.


"Kak Rizki... sini!" Aulia memanggil dari sofa tamu.

"Apaan?"

"Bagus, nggak?" tanya Aulia sambil memperhatikan Bando merah bermotif mickey mouse yang dipakainya.

"Bagus... bikin Aulia Cantik!" Puji Rizki.

"Tuh ‘kan, apa kata dedek juga, kakak ga percaya ke dede sih." bangganya pada Azkia.

"Bukan jelek dek, tapi kakak bosen liat mickey mouse, bagusan ini!" sedikit meledek sambil menunjukan topi bermotif Frozen.

"Ga suka..!" gerutu Aulia.

"Udah, udah, bagus kok dua-duanya. Bikin cantik adek-adeknya Kak Rizki." Sambil mengelus kepala kedua adik sepupunya.

Hampir satu jam Rizki bercengkrama dengan kedua sepupunya ini.


Tiba-tiba....

"Riz, sini bentar tante mau bicara! Kalian semua belum ganti baju, dah sana ganti, cuci kaki, cuci muka sikat gigi trus tidur!" Perintah Tante Halimah pada ketiga putrinya lalu Tante Halimah pergi ke depan.

"Yach, Mamah! Lagi assyik juga, disuruh tidur, ga asiik akh..! Yuk dek..! " ujar Azkia merasa kecewa karena masih ingin bercengkrama dengan Rizki. Lalu mengajak adeknya Aulia pergi ke kamar mandi.

Rizki pun hanya bisa menuruti perintah Tantenya, dia mengikuti Tantenya ke ruang tamu.

"Mah, ini ke manain?" ujar Om Agus sambil membawa isi dalam kantung belanjaan yang telah dibongkarnya diikuti oleh Zaskia.

"Simpan aja di ruang tivi, Pah, biar besok Mamah beresin! Kamu duduk di sini Riz!" ujar Tante Halimah duduk di kursi soffa panjang sambil menepuk kursi di sebelahnya. Rizki pun menuruti perintah Tante-nya.

Tante halimah memandangi Rizki dengan tajam mencari jawaban di raut wajah Rizki. Rizki menyadari dirinya sedang diamati oleh Tante Halimah, lalu menundukan kepalanya seperti enggan melihat Tante Halimah.

Melihat reaksi Rizki yang tak biasanya Tante Halimah hanya tersenyum, lalu menarik kepala Rizki agar bersandar di pangkuannya lalu dielusnya dengan lembut. Rizki hanya terdiam di pangkuan Tante-nya matanya hanya terpejam.

"Cerita ke Tante ada masalah apa dengan kamu?" tanya Tante Halimah Rizki tak menjawabnya.

"Tante lihat kamu tak seperti biasanya, Rizki yang ceria, suka ngebantah. Tapi sekarang, kamu kok diam?" Halimah dengan lembut bertanya.

"Nggak apa-apa kok, Tante. Cuma suntuk aja." lirih Rizki.

"Oooo, terus sepanjang jalan muka ditekuk terus sih..! Kamu kabur ya, dari rumah?" Tante Halimah kembali bertanya.

"Enggak kok, Tante. Rizki nggak kabur, tadi Rizki dari rumah temen." bohong Rizki.

"Rumah temen...?? Perasaan temen sekolah-mu nggak ada di daerah tadi!" Dengan gaya berfikir.

"Bbukan ttemen sekolah kkok ccuma ttemen maen aja tante." gagap Rizki Merasa tantenya tahu dia berbohong.

"Ooya...! " Tante manggut-manggut seolah mempercayai Rizki. Diciumnya kening Rizki, lalu dengan sedikit berbisik sambil mengusap kepala Rizki.

"Tante tau kamu berbohong, kamu tuh keponakan tante yang paling bandel, tapi paling tante sayangi jadi Tante tau kamu itu berbohong atau engga." bisiknya, Rizki pun menoleh ke wajah Tante Halimah.

Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.

"Ditanya kok malah nangis? Tadi pagi, Tante hukum kok gak nangis, tapi sekarang..?" Tante Halimah tersenyum pada Rizki lalu mengusap air mata Rizki.

"Kamu betengkar sama ibu..?" tanya Tante Halimah, Rizki menjawab dengan Mengelengkan kepala.

"Hmmm... Kak Widya atau Ayah Kamu?" lanjutnya bertanya. Kali ini Rizki kembali terdiam, malah membenamkan wajahnya pada perut Tante Halimah, mulai terdengar suara sesegukan oleh Tante halimah.

"Mah buatin teh hangat, dong!" Om Agus tiba-tiba muncul. Tante halimah mengisyaratkan agar Om Agus menjauh dan tak banyak bicara, sambil menunjuk ke arah Rizki, seolah sudah mengerti Om Agus hanya mengacungkan tangan menandakan ok.

"Kakak, buatin Papah teh hanget!" teriak Om Agus sambil kembali ke dalam.

"Udah ah, masa jagoan tante nangis sih, malu dong dengan nama Boski! " hibur Tante Halimah sambil meledek.

"Tante, apa Ayah nggak sayang lagi ama Rizki?" Tiba-tiba Rizki berkata begitu membuat Tante Halimah sedikit terkejut.

"Kok, Rizki bilang gitu sih sama Ayah? Di mana-mana yang namanya Ayah pasti sayang, kenapa kamu, marahan sama Ayah?" Rizki kembali terdiam dan membenamkan wajahnya kembali.

"Ya sudah, kalo Rizki nggak mau bicara sama tante. Udah ya, sekarang kamu bangun trus cuci muka, ganti itu baju. Nih lihat, kelihatan kotor gini, baju kamu ‘kan di lemari Zaski, kalo ngantuk langsung tidur! Entar besok, kesiangan, Tante juga mau, bersih-bersih dulu nggak enak ini badan, udah lengket!" ujar tante Halimah, sambil membangunkan Rizki lalu dia berdiri, saat hendak meninggalkan Rizki.

"Tante...!! " tahan Rizki.

Tante Halimah menoleh ke arah Rizki.

"Apa Rizki, boleh tidur di sini? "tanyanya ragu.

"Ya boleh, dong sayang! Masak sama keponakan tersayang nggak dibolehin untuk nginep sih." jawabnya lembut.

"Aannu Tante, maksud Rizki... Rizki Tinggal sama Tante di sini!" Lanjutnya.

Semakin yakin Tante Halimah menduga Rizki sedang ada lari dari masalah di rumahnya.

"Iya. Entar kita bicarain sama Ibu dan Ayah kamu, sekarang kamu cepet ganti baju!" Tante Halimah mencoba mengalihkan perhatian.

"Tapi Tan.. " Rizki mencoba untuk menerangkan maksudnya.

"Udah sana, banyak mikir!" Tante Halimah menarik Rizki agar beranjak dari duduk.



Beberapa menit kemudian....


Di depan pintu kamar Putrinya Halimah memperhatikan Rizki yang telah bersiap siap untuk tidur bersama adik sepupunya di kamar. Sambil mengeleng-gelengkan kepalanya dia langsung pergi ke teras rumah dan menelepon Ratna.




Halimah mengakhiri pembicaraannya dan kembali masuk ke dalam rumah.



--oo0oo--​


Satu jam sebelumnya di mana Ratna yang sedang menunggu dalam mobil...

tit...tit... tit... HP-nya berbunyi menandakan SMS masuk di sana, lalu dibuka SMS yang masuk.

Tertulis di sana.

"Teh, Rizki sekarang ada bersamaku, apa ada masalah?"

Rasa lega hati Ratna mendengar kabar Rizki dari adik sepupunya. dirinya sekarang tak mengkhawatirkan kondisi Rizki sekarang.

"Udah nggak ada yang ketinggalan lagi, Wid?" Rangga sambil menaiki mobil, Ratna pun langsung menyembunyikan HP-nya.

"Nggak, Pah. Udah Widya cek." jawab Widya duduk di belakang, terlihat duduknya yang gelisah saat Ratna menoleh ke arahnya dan menghindari kontak mata dengan Ratna.


Selama perjalanan pulang hati Ratna tak menentu dengan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil, tatapan matanya kosong pikirannya terus berputar, meski Rizki telah diketahui keberadaannya tapi apa dia mau pulang kembali ke rumah, Ratna tau Rizki sedikit kecewa dengan Ayahnya yang kurang perhatian pada dirinya.

"Apa mesti aku bicarakan sama Kang Rangga, agar dia mengerti ini bukan sekedar masalah Widya tadi?" Gumamnya.

"Yah!" ujar Ratna pelan tanpa merubah posisinya.

"Yah...!!" sedikit keras, tapi tak terdengar jawaban dari suaminya, dan Ratna mulai tersadar dari lamunannya, begitu pula pandangan matanya telah terfokus kembali.

"Di mana ini" gumamnya sambil menoleh kiri kanan Jalan baru disadari bahwa ini bukan perjalanan menuju rumah dinas. lalu Ratna menoleh ke arah suaminya, Rangga yang juga serius menyupir sesekali dia menoleh pada suatu tempat seolah sedang mencari seseorang. Ratna pun melihat ke arah belakang melihat putri sulungnya ternyata Widya pun matanya sibuk seperti mencari seseorang di sepanjang jalan sama yang dilakukan Rangga.

"Ayah ini mau ke mana?" tegur Ratna sedikit keras.

"Eehhh.. anu.. Bu lagi cari...??" Gagap Rangga seperti enggan menjawab, tanpa berani menoleh kearah Ratna malah pandangannya lurus ke depan.

"Hmmm ternyata kalian juga khawatirin keberadaan si Rizki juga.... Dasar sok tegar...! Sok jaim, biar aku kerjain mereka biar tau rasa..!" Dalam hati Ratna seolah tau apa yang dikerjakan Rangga dan Widya

"Mau ke mana sih? Ibu udah ngantuk, pengen cepet balik. Udah putar balik mobilnya!" ketus Ratna pada Rangga, Rangga menengok ke arah Ratna seolah ada yang ingin dikatakannya tapi terasa berat.

"Tttapi Bbu..!" Tiba-tiba Widya dengan sedikit keberatan.

"Udah, putar balik!" ujar Ratna memaksa.

"Yaaa..!" jawab Rangga lemas, lalu diputar balik mobilnya dan mengarah pulang. sedangkan Widya hanya terdiam semakin merasa bersalah pada Rizki.

"Rasain, emang enak mainin perasaan orang!" tawa Ratna dalam hati, lalu kembali dengan posisi menyandarkan kepalanya dikaca tapi sekarang dia tersenyum melihat Rangga dan Widya yang telah mengkhawatirkan keberadaan Rizki.

Sesampainya di Rumah Dinas. Tiba-tiba HP Ratna berdering, dibaca tulisan yang tertera di layar HP. Ratna pun turun mendahului Widya dan Rangga dengan menunjukan sikap yang masih kecewa pada mereka berdua, setelah masuk ke dalam rumah, diangkatnya telepon dari Halimah. Sambil mengamati Rangga dan Widya menurunkan beberapa perkakas dari dalam mobil






“Sudah tenang rasanya, Rizki nggak kenapa-napa" Gumamnya, saat melihat Rangga dan Widya akan masuk ke dalam rumah, Ratna pun langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa menunggu suaminya.



--oo0oo--​



Seusai menelepon Halimah kembali masuk ke dalam rumah, tepat di hadapan kamar tidurnya, ada rasa keraguan untuk memasuki kamar. Kamar yang sudah enam bulan tidak dia tiduri selama ini. Nafasnya berdegup kencang, berat rasanya untuk membuka pintu. Dengan menghembuskan nafas, dirinya berbalik menjauhi kamar menuju kamar putrinya.

Perlahan membuka pintu, kepalanya mulai mengintip ke dalam kamar, dilihatnya Rizki yang telah tertidur di tengah para putrinya. Tubuh Rizki dipeluk oleh ketiga putrinya seperti enggan ditinggalkan. Zazkia yang paling pinggir kanan memeluk Rizki di antara mereka, Aulia yang tak mau ketinggalan memeluk Rizki, sedangkan Azkia di samping kiri yang juga memeluk Rizki. Sedangkan Tangan Rizki merangkul kepala mereka seperti membalas perlakuan mereka padanya.

Halimah mengeleng melihat kelakuan mereka, tak dipungkiri olehnya Rizki yang terlihat dingin pada perempuan di luar sana, tapi jika pada keluarga perempuannya dirinya begitu menyayanginya melindunginya hingga para putrinya merasakan kehilangan kehangatannya jika Rizki tak ada dekat dengan mereka.

Halimah lalu berdiri di samping mereka, dikecupnya kening putrinya dan terakhir diusap pipi Rizki dengan lembut.

“Rizki …Rizki…! Lihat kamu di sini jauh berbeda dengan di sekolah! Kamu memang berbeda dengan lelaki lain, di balik sifat Bengal-mu, kamu tetap saja menyayangi wanita yang kamu sayangi.” Gumamnya, lalu lama dikecupnya kening Rizki, hingga Rizki sedikit terusik dengan hembusan nafas Halimah. Halimah pun menutupi tubuh mereka dengan selimut.

Lalu dia duduk di ranjang kosong, matanya memandang ranjang yang ditiduri Rizki dan anak-anaknya. 6 bulan lamanya, dirinya tidur di sana tanpa diketahui oleh putri-putrinya. Ya, memang Halimah tidur setelah putri-putrinya tertidur dan bangun lebih awal dari putri-putrinya. Karena itu, mereka tak mengetahui bahwa Halimah selama enam bulan ini, sejak dirinya keluar dari rumah sakit dia tidur di kamar anaknya.

Ingin rasanya ia merebahkan diri di ranjang kosong milik Azkia, tapi dirinya takut Rizki akan mengetahui kondisinya saat ini. Dengan dengusan nafas dipaksakan, Halimah pun bangkit dan kembali keluar kamar tidur putrinya lalu diraihnya daster miliknya di atas rak meja dan masuk ke kamar mandi.

Halimah membasuh wajahnya membersihkan polesan make-up dan kotoran di wajahnya di washtafel. Setelah beres, dia membuka pakaian. Dilolosinya pakaian yang dikenakan hingga menyisakan pakaian dalamnya, lalu Halimah berdiri di hadapan cermin washtafel menatap bayangan tubuhnya di cermin. Tersembul senyum di atas bibirnya, melihat kemolekan tubuhnya hingga akhirnya tubuhnya bergetar tak kuat menahan tangis. Tubuhnya jatuh bersimpuh, di atas lantai kamar mandi. Halimah menangis keras menangisi kondisi tubuhnya saat ini, disandarkan tubuhnya pada dinding kamar mandi, lalu tangannya merogoh ke dalam cup Bra kiri yang dikenakan, meraih sesuatu di dalamnya dan melemparkan ke arah cermin dan terjatuh di hadapannya.

Teronggok sebuah implant menyerupai karet berbentuk tonjolan payudara di hadapan kakinya. Tonjolan keseksian di balik Bra kini sudah tak terlihat pada dada kiri Halimah, malah Bra tak lagi menutup dadanya, terlihat luka sayatan di dada kirinya. Halimah mengusap air matanya menenangkan diri lalu dirinya kembali berdiri dan membuka Bra. Kembali Halimah melihat bayangan dirinya di cermin, tubuh yang dimilikinya tak seindah dulu. Payudara kirinya telah sirna berganti dengan luka sayatan dan tonjolan payudara kanan yang juga terdapat luka sayatan di bagian atasnya.

Enam bulan yang lalu, Halimah harus menjalani mastektomi atau operasi pengangkatan payudara. Halimah menderita kanker payudara. Selama ini, dia menganggap enteng tonjolan-tonjolan yang ia rasakan di payudaranya. Dari keteledorannya ini, berujung dengan kehilangan payudara kirinya dan luka sayatan di payudara kanannya. Kanker itu telah mengerogoti semua bagian pada payudara kirinya hingga musti diangkat tetapi dirinya masih beruntung payudara kanannya masih tergerogoti sebagian oleh kanker, hingga masih bisa dipertahankan, hanya saja meninggalkan luka sayatan.

Sekeluarnya dari rumah sakit, rasa percaya diri akan keseksian tubuhnya telah sirna. Dia merasa dirinya sudah tak pantas dinikmati oleh suaminya. Akhirnya, selama enam bulan ini Halimah selalu menghindari tidur bersama suaminya. Dia memilih tidur di samping putri-putrinya, untungnya Agus tak banyak pertanyaan atas perubahan sikapnya.

Dan saat ini kehadiran Rizki memaksa dirinya untuk tidur bersama Agus suaminya. Dia merasakan tak siap menghadapi suaminya apa lagi mesti melayani suaminya.

Halimah mulai bersalin pakaian dalamnya dengan yang baru, kembali dia sisipkan implant pada bra yang dikenakannya, lalu menutupi tubuhnya dengan daster yang dibawanya.

Dengan perasaan berkecamuk dirinya mulai meninggalkan kamar mandi menuju kamar tidurnya, hingga di depan pintu kamarnya Halimah kembali terdiam. Dengan gemetaran tangannya mulai membuka handle pintu dan memasuki kamar tidurnya.

Agus yang masih belum tertidur, dirinya duduk di atas ranjang menyandarkan badannya pada tembok, terulas senyum di wajahnya saat Halimah masuk ke dalam kamar mereka. Hati halimah berdegub kencang melihat dirinya tengah dipandangi Agus. Halimah membuang wajahnya menghindari tatapan Agus, lalu melangkah ke arah meja riasnya, diraihnya sisir lalu mulai merapihkan rambutnya menghilangkan kegugupannya di hadapan Agus. Agus hanya tersenyum sesekali, dirinya tertawa kecil melihat aksi Halimah yang gugup akan dirinya. Ya, kegugupan yang sama terlihat di mata Agus, kegugupan saat Halimah saat melewati malam pertamanya bersama dia.

"Papah belum tidur?" tanya Halimah dengan senyum dipaksakan sambil tak berhenti menyisir.

"Belum, lagi nunggu wanitaku yang cantik untuk nemenin tidur Papah." Sahut Agus tersenyum dan memberikan rayuannya untuk istrinya.

"Ihh, apaan sih, gombal...!! Gak cocok weeeks..! Udah tuir." jawab Halimah mencoba menghilangkan kegugupanya.

"Emang bener kok, dia tuh memang cantik di mata Papah." Agus menyanggahnya.

"Hmm!" Terdengar deheman halus dari bibir Halimah. Dia lalu menyimpan sisirnya.

"Pah, mungkin Rizki akan tinggal dengan kita untuk sementara waktu." Lirihnya tanpa menoleh pada Agus.

"Hmmm!" Agus berdehem tanpa menjawab.

"Kelihatannya, Rizki punya masalah dengan Kak Rangga." Lanjut Halimah.

Agus pun bangkit dan mendekati Halimah, tangannya memegang kedua pundak Halimah dari belakang. Lalu mulutnya mendekati telinga Halimah.

"Mah. Besok aja ya, bahasnya. Papah lagi kangen sama Mamah, wanita cantik Papah yang selalu nemenin dihidup Papah." bisiknya pada telinga Halimah, lalu dikulumnya kuping Halimah yang membuatmya mengelinjang kegelian.

“Papah kangen kamu, Papah akan selalu menunggu kamu untuk tidur kembali bersama Papah! Dan akhirnya, kamu kembali ke sini!” bisiknya membuat jantung Halimah semakin berdetak kencang.

Tangan Agus mulai mengelus bahunya, sesekali diciumnya leher dan pundak Halimah. Halimah hanya diam tak bereaksi, malah air matanya kembali menggenang di pelupuk matanya. Saat tangan Agus hendak menurunkan tali dasternya, Halimah langsung menahan, menolaknya dan berdiri ingin menjauh dari Agus.

Tiba-tiba...

Agus memeluk erat tubuhnya. “Mah, Papah mohon jangan tinggalkan Papah lagi, sudah terlalu lama Papah tidur sendiri. Papah butuh kamu!”

“Maafkan Mamah, Pah! Mamah malu.” Lirih Halimah menahan tangis tanpa melepas pelukan Agus. Tak dipungkiri olehnya perasaan akan kerinduan jamahan kehangatan suaminya pada tubuhnya, tetapi rasa malu dan ketidak percayaan dirinya akan kondisinya membuat Halimah membuang perasaan itu.

Agus membalikan tubuh Halimah, lalu mengecup bibirnya lembut. Halimah hanya memejamkan mata pasrah akan lumatan bibir Agus pada bibirnya, akhirnya airmata yang dia tahan mulai menetes tak terbendung.

Agus lalu melepas ciumannya disapunya air mata yang jatuh di pipi Halimah dan tanpa bicara kembali mencium bibir Halimah. Tanpa terasa oleh Halimah daster yang dipakainya telah melorot, terlepas dari tubuhnya. Dengan sigap Halimah melepas ciuman Agus dan lengannya menutupi dadanya, tapi Agus malah menggendong Halimah lalu dibaringkannya tubuh Halimah di atas ranjang.

Agus makin gencar mencumbui Halimah, Halimah tak kuasa menahan cumbuan Agus, Setiap dia menahan wajah Agus, Agus selalu menepisnya. Hingga tangan Agus membuka Bra-nya. Halimah yang tak kuasa menahannya hanya memalingkan wajahnya tak ingin melihat ekspresi suaminya melihat dadanya. Mulutnya mengigit jari tangannya sendiri, menahan rasa malu dan isak tangis.

Tapi, yang Halimah rasakan adalah kecupan lembut pada sayatan luka pada bekas payudara kirinya. Kecupan yang selama ini dia dambakan. Entah apa yang dirasakan Halimah? Agus hanya ingin mencurahkan perasaannya pada Halimah, agar dia merasakan bahwa rasa sayang dan cintalah yang membuat dirinya tak mempermasalahkan kondisi istrinya.

Tak henti-hentinya Agus menjilati luka sayatan, kadang beralih pada sayatan di atas payudara kanannya, sesekali Agus mengulum puting yang tersisa pada Halimah.

“Paaahh…!!” Halimah pun mulai merasakan gairah yang selama ini dia pendam.

Wajah yang tadi berpaling kini dia memperhatikan aksi suaminya yang memperlakukan mesra pada dadanya. Saat Agus menyadari Halimah memperhatikannya, dia pun beringsut kembali mencium bibir Halimah dan berkata dengan mengelus kening Halimah.

“Jangan pernah Mamah lari lagi dari Papah! Bagi Papah, Mamah adalah anugerah terindah untuk Papah. Mamah yang telah menerima Papah menjadi pemimpin Mamah, Mamah yang telah memberikan tiga putri yang cantik ke dunia ini untuk Papah. Rasanya tak adil bagi Papah, hati Papah serasa hancur mendiamkan Mamah selama ini, tapi Papah pendam perasaan itu, Papah ingin Mamah sadar bahwa di samping Mamah ada Papah dan anak-anak kita, Papah selalu menyayangi dan mencintai Mamah dengan segala kekurangannya. Jadi jangan pernah Mamah menyangka Papah tak tertarik hanya karena gara-gara masalah ini!” ucap lembut Agus dengan mengusap luka sayatan pada payudara kiri Halimah.

“Bagi Papah, keindahan dan kecantikan seorang itu, hanya ada di balik sayatan luka ini dan itu tercermin pada sosok Mamah yang telah merawat Papah, melayani Papah dan juga anak-anak, rasa sayang tanpa pamrih Mamah curahkan pada kami. Jadi Papah mohon buang perasaan minder dan kurang percaya diri Mamah, karena Papah tidak mempermasahkannya.” Lanjutnya sambil menatap lembut mata Halimah seolah meminta jawaban darinya, tersorot di mata bening Halimah seolah masih ada sedikit keraguan dalam hatinya akan Agus.

“Maukan Mamah, layanin Papah? Kita lakuin bersama seperti dulu lagi.” Kembali Agus bertanya dan memberikan kepastian akan keseriusan dia akan menerima kondisi Halimah. Halimah hanya mengangguk pelan tak menjawab.

Seolah mendapat ijin, Agus tersenyum dan mulai kembali mencumbui Halimah. Agus mencium bibirnya dan terus bergeser ke arah leher Halimah. Halimah pun mulai menggelinjang tak kuasa menerima rangsangan dari cumbuan Agus, Tangan Agus mulai mengusap perut lalu turun merogoh ke balik celana dalam Halimah.

Masih mencumbu leher Halimah. Agus berbisik. “Papah kangen sama yang ini, yang selalu basah kalo Papah pegang.” Agus menggoda Halimah, ucapannya seakan menepis pikiran kotor Halimah, Halimah hanya tersipu malu.

“Papah buka, ya?” Agus kembali berbisik. Halimah pun mengangguk pelan. Agus lalu bangkit dan memposisikan di antara paha Halimah dan membuka cd-nya. Vagina yang terawat rapi dengan bulu-bulu tipis di sekitar belahan vagina-nya. Di ujung belahan tersembul tonjolan daging. Disibaknya bulu kemaluan Halmah oleh Agus lalu lidah Agus mulai menyapu di tonjolan daging itu.

“Uuuugghhh.. Pppaaaahhh! “ Mulai terdengar rintihan dari mulut Halimah, tangannya meraih kepala suaminya lalu ditekannya kepala Agus seakan tak ingin berhenti sapuan lidah Agus dari vaginanya. Rasa rindu akan sentuhan di tubuhnya telah terobati hari ini.

Perasaan percaya diri pun mulai ada. Dulu dia merasa dengan kehilangan satu payudaranya akan membuat suaminya berpaling darinya dan gairah akan seksualnya pun menurun. Tapi dengan perlakuan Agus yang tak berbeda pada dirinya malah seakan lebih hangat dan menerima dia apa adanya, perasaan birahinya pun semakin meledak.

“Paaaahhh…. Aaakhhh!!” Erangan Halimah makin terdengar keras saat jemari agus mulai mengobok liang peranakannya.

Clok..clokk... cloook…

Agus yang terus berusaha membangkitkan gairah Halimah mencolok jemarinya pada liang peranakan itu dengan sesekali menyapu dan menghisap klitorisnya.

Melihat liang vagina Halimah semakin basah, Agus pun mulai mengarahkan Penisnya dan mulai memasukan penisnya ke dalam vagina Halimah.

“Aaargghh...!!” Teriak kedua pasutri itu bersamaan ketika kedua kelamin mereka sudah bersatu.

Agus pun mulai menggenjotnya perlahan, dia tak ingin terburu-buru malah dia ingin agar Halimah kembali lagi rasa percaya dirinya untuk melayaninya.

Tak banyak gaya yang dibutuhkan Agus dengan posisi misionaris, Agus terus menggenjot batang penisnya, pandangannya lurus memandangi ekspresi wajah Halimah.

“Akh.. akhh.. akhh!!” Desahan Halimah seiring genjotan Agus.

Genjotannya Agus semakin cepat, mulai terasa akan mencapai puncaknya, lalu Agus menempelkan tubuhnya pada tubuh Halimah, tangan kanannya merangkul leher Halimah lalu dilumatnya bibir Halimah dan tangan kirinya mulai memilin Puting payudara kanannya. Halimah pun membalas kuluman mulut Agus dengan memeluk erat tubuh Agus sedangkan lidahnya mulai menari-nari di dalam mulut Agus.

Hingga…

“Paaaahhhh.. aakuuuu...!!” Erang Halimah tak kuasa menahan puncak orgasmenya.

“Tttaaahaannn Maaaahhh....! Papppah juga.” Agus makin gencar menggenjot penisnya di vagina istrinya.

Crooott... Crooot... Seerrrrr… Akhirnya Agus dan Halimah mencapai puncak orgasme yang hampir bersamaan.

Tersembul senyuman di bibir Halimah, kepuasan seks yang telah lama ia tinggalkan, tanpa merasa berat pada tubuhnya menahan beban tubuh Agus malah Halimah makin mempererat pelukannya.

Dengan nafas tersengal, serta air mata kebahagiaan Halimah berbisik. “Terima kasih, Pah. Terima kasih sudah melepas beban perasaan Mamah. Hiksss... Mamah bahagia Papah masih mau menerima Mamah. Hiksss...”

Agus tak menjawab, bibirnya malah mencium leher Halimah. Dia tak ingin mengungkapkan dengan kata-kata, melainkan dengan perlakuanya pada istrinya. Saat ingin melepaskan penisnya untuk merubah posisi tidurnya yang menindih Halimah.

“Jangan dilepas Pah..! Mamah masih ingin merasakan kehangatan penis Papah dalam vagina Mamah hanya untuk malam ini saja!” Cegah Halimah.

Dengan lembut Agus melepaskan rangkulan Halimah dan melepaskan penisnya pada vagina Halimah yang sudah mulai mengkerut. Lalu tersenyum dan berbaring di samping Halimah, di arahkannya kepala Halimah agar bersandar di dadanya, sambil mengelus rambutnya. “Kenapa hanya untuk malam ini, selamanya akan Papah berikan untuk mamah? Papah mencintaimu, Mah. Papah sangat menyayangi kamu. Papah nggak mau Mamah lari lagi. Papah ingin Mamah selalu di samping Papah selamanya, sampai maut memisahkan kita!” ucapnya. Mendengar perkataan suaminya yang tulus membuat tubuh Halimah bergetar, tangisan kebahagiaan mulai tercurah di dada Agus.

Dia berjanji dalam hatinya untuk membuang segala pikiran kotornya tentang dirinya maupun suaminya. Melihat kesungguhan hati Agus , Halimah tak ingin lagi membuat suaminya menunggu dan terus menunggu kehadiran dirinya di samping Agus.

Mereka pun tak terasa tertidur tanpa melepaskan pelukan terhanyut akan kehangatan sebuah ikatan. Ikatan dua insan yang telah berikrar akan menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangannya dalam sebuah pernikahan. Pernikahan sehidup semati dalam susah maupun senang akan dilewati bersama-sama.


--oo0oo--​



Di rumah dinas Rangga....

Ratna terjaga dalam tidurnya di malam hari, tak ditemui sosok Rangga di sampingnya. Dia pun langsung bangun dan mencari Rangga di setiap sudut ruangan tapi tak ditemukan, hingga..

Klooonteng.. Bunyi pintu pagar seperti terbuka.

Ratna mengintip di balik gorden jendela. Terlihat Rangga memakai jaket kesatuannya sedang berdiri seorang diri di depan gerbang. Berbekal senter, dia terus menyoroti setiap ujung jalan seperti sedang mencari dan menunggu seseorang.

Ratna pun hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Di balik didikan keras pada Rizki ternyata Rangga tetap mengkhawatirkan putra bungsunya yang tak pulang. Ratna pun kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan tidurnya.





Bersambung

(update
minggu depan tetep pantengin masih digelombang yang sama)
mantep ceritanya nee... smg lancar jaya karyanya.... dan sukses rl-nya...
 
jgn ada incest y om suhu. Jgn sampe ratna balik sama bapaknya cwek yg tomboy itu.
 
Ijin numpang ngelurusin badan disini om @D 805 KI
9tgJSk5.jpg
 
halloo bosqi...apa kabarnya nihh....hhhh..
maaf bosqi bru bsa nyapa...hhh...
anyway btway kpan nih mw di lanjut lagi....
 
My Love Journey 2 – Boski Storys






CHAPTER 1.7



Pov 3



Di dini hari di kediaman dinas Rangga.....

Ratna yang terbangun dari tidur lelapnya, tak dia merasakan Rangga disampingnya. Teringat semalam yang dia lihat Rangga yang menanti Rizki di depan rumah. Ratna pun langsung bangun dari baringnya dan langsung keluar kamar, untuk mencari Rangga di luar rumah, tapi Ratna tak menemukan Rangga di sana. Dengan perasaan bersalah Ratna pun kembali masuk ke dalam rumah. “Andaikan semalam dirinya memberitahukan di mana Rizki sekarang tak akan mungkin Rangga se-khawatir gini.” Gumam Ratna membatin.

Setelah dirinya membasuh muka, Ratna pun mempersiapkan sarapan untuk keluarganya, Widya yang sudah terbangun pun keluar dari kamarnya dengan langkah gontai dia duduk di kursi makan memperhatikan Ratna yang tengah membuat nasi goreng.

“Bu, Rizki semalam pulang?” Tanya Widya.

“Nggak.” jawab acuh Ratna.

“Mah, maafin Widya! Jikalau bukan karena Widya, Rizki mungkin nggak akan pergi.” ucap Widya lirih.

“Sudah, sana mandi! Ntar kesiangan!” suruh Ratna, hatinya terenyuh akan penyesalan Widya. Tapi ya mungkin ini harus dimana Widya harus menyadari kesalahaannya dan mulai belajar untuk memperbaikinya semua itu untuk dirinya juga.

Dengan masih bermalas-malasan Widya pun beranjak ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian, Widya yang telah bersiap dengan seragamnya duduk di meja makan untuk sarapan, Ratna pun menyodorkan Nasi goreng buatannya lalu duduk menemani Widya sarapan.

Tak seperti hari-hari biasanya, Widya merasakan sarapan pagi ini terasa sepi. Dia yang biasanya sering menjahili adik satu-satunya saat sarapan, kini tak ada di samping tempat duduknya. Begitu juga Ratna, dia merasa kehilangan tawa dan canda putra putrinya saat sarapan. Sekarang hanya ada Widya yang duduk di hadapannya yang tak bergairah untuk sarapan.

“Ayah mana, Bu?” Tanya Widya seusai sarapan.

“Entahlah, dari semalam Ayah pergi.” Jawab Ratna lalu membereskan piring bekas makan Widya.

Perasaan Widya makin tak menentu.

“Kkira-kkira Riizzki tiddur di mana, Bu?” Tanya Widya yang sedikit gugup menanyakan Rizki.

“Sudahlah, kamu sekarang pergi sekolah! Rizki baik-baik saja.” Sahut Ratna yang sedang mencuci piring tanpa menoleh ke arah Widya, terdengar dengus nafas Widya di telinga Ratna.

“Widya pergi dulu, Bu.” pamit Widya pada Ratna.

Setelah kepergian Widya, tak lama kemudian terdengar suara pintu depan yang terbuka, Ratna pun langsung menuju ke depan.

“Ayah..!!” seru Ratna saat mengetahui suaminya yang datang.

Rangga langsung duduk berselonjoran di sofa tamu, terlihat wajahnya yang lusuh dan kusam, di matanya terlihat kantung hitam menandakan dirinya tak tidur semalaman. Ratna pun langsung ke dapur membawakan minum untuk suaminya.

Setelah menyuguhkan Air minum Ratna pun duduk di samping Rangga.

“Rizki tidur di mana ya, Bu? Ayah mengkhawatirkan dia.” keluh Rangga yang tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ratna hanya diam. “Ayah mau menghadap pimpinan dulu dan meminta izin untuk mencari Rizki.” Lanjutnya.

“Nggak usah, Yah. Rizki baik-baik aja, dia tidur di rumah Imah.” Ratna pun akhirnya memberitahukan keberadaan Rizki.

“Fuufuutt... Syukurlah kalo dia baik-baik saja. Andai saja, dia tidur di jalanan Ayah semakin menyesal Bu. Biar nanti Ayah jemput dia ke sana!” ujar Rangga terlihat wajahnya merasa terlepas dari beban bersalah.

“Jangan dulu, Yah! Biar Rizki nenangin dulu di sana, Ibu rasa lebih baik beri dia waktu. Mungkin siang ini, Ibu akan ke rumah Imah. Nganterin kebutuhan Rizki untuk tinggal sementara di sana!”

“Baiklah, Ayah manut aja apa kata Ibu!” Rangga terlihat pasrah.

“Sudah. Sekarang Ayah istirahat dulu sebentar, sebelum ke kantor!” Ratna menarik kepala Rangga agar bersandar di bahunya.

“Maafin Ayah, Bu!” ucap Rangga lirih.

“ke depannya Ibu minta Ayah sedikit berubah. Jangan terlalu keras sama Rizki! Sifat dia itu sama dengan kamu, semakin keras maka semakin keras juga dia melawan.” ujar Ratna sambil memijat tangan Rangga.

“huum.” gumamnya lama-lama terdengar dengkuran halus dari bibir Rangga yang telah tertidur di sandaran Ratna. Ratna mengeserkan kepala Rangga agar tertidur di pangkuannya.

“Ayah dan Anaknya sama-sama keras kepala.” Gumamnya memandang wajah Rangga yang tertidur di pangkuannya, tangannya mengelus kepala Rangga.





Pov Rara



“Met pagiii…!” sapaku seusai mandi pada Angga yang asik memainkan mobil-mobilan yang Papah beli semalam, dengan sedikit merebut mainan di tangannya langsung berlari ke arah dapur.

“Ihh, Teteh!! Siniin atuh, mobilan Angga!” ujarnya sambil mengejarku.



Aku terus berkelit dari tangkapannya. “Wwweeekkk, ayo tangkap Teteh!” cibirku terus menjahili Angga.

“Maaaaaaahhhhhhh….! Teh Rara ini, nakalin Angga!” rengeknya sambil terus mengejar Rara.

Bi Ijah yang sedang mengoles roti untuk sarapan hanya tersenyum melihatku menggoda Angga.

“Mamaaaahhh..!!” Teriak Angga, air matanya mulai berair karena tak sanggup mengejarku.

“Hihihi... Nangis, dasar cengeng!” Ledekku.

Entah mengapa aku sangat suka menggoda Angga hingga ia menangis? Entah karena aku hanya anak tunggal sehingga ingin rasanya mempunyai seorang adik dengan menggoda Angga aku merasakan memiliki seorang adik.

“Rara..! Kamu ini, terus aja nggak bosen-bosen godain Angga!” ujar Aryo yang muncul dari dapur diikuti Mang Husin suami Bi Ijah.

“Hihihi.. Habisnya gemes, kalo nggak bikin nangis Angga.” jawabku sambil memberikan mainannya pada Angga.

“Bapak, Teh Rara na baong..!” ujar Angga melapor pada Bapaknya. Dia langsung berlari setelah menerima mainannya ke arah Bapaknya untuk mengadukan keusilanku.

“Cup.. Cup.. Udah, jangan nangis! Biar Bapak pukul Teh Rara-nya.” Bujuk Mang Husin sambil menggendong Angga.

“Mang, kapan datang? Nggak ketinggalan ‘kan kepunyaan Rara?” sapaku ke Mang Husin lalu duduk di meja makan dengan kaki kiri dinaikan ke atas bantalan kursi sambil mencomot roti yang udah dipersiapkan oleh Bi Ijah.

“Udah dibawa, Non. Ada di mobil!” jawab Mang Husin.

“Ntar turunin, ya! Mau Rara pake,” ucapku sambil mengunyah roti yang tadi kucomot dengan tangan ditopang di atas lutut.

“Kamu tuh, nggak ada anggun-angunnya kayak cewek lainnya.” Papah geleng-geleng kepala ketika melihat posisi dudukku. “Mbokya, kakinya turun toh. Terus kalo ngunyah mulutnya tuh ditutup.” Lanjut Papah mengomentari cara makan dan dudukku.

“Ah, enak gini lebih santai!” Elakku tanpa mengubah gaya.

“Bi..! Telor yang tadi malam dibungkus, udah diplastikin belum? Ntar Rara buang di jalan!” ucapku pada Bi Ijah.

“Udah, Non. Itu dideket pintu dapur!” jawab Bi Ijah sambil menunjuk keluar.

“Oke sip, Bi. Mang, turunin dong sepeda-nya!” Aku beranjak dari kursi makan menuju tempat yang ditunjuk Bi Ijah sambil mengangkat jempol padanya.

“Rara…!!” Aryo kembali memekik, baru tersadar aku akan pakaian yang kukenakan Hihihi… Aku tertawa kecil. Ya, aku hanya memakai baju seragam dengan kaos hitam di dalamnya tanpa mengenakan rok seragam biru hanya menggenakan celana pendek hitam selutut. Kulihat Papah memelototi aku. Aku hanya mencibir dan berlari keluar menuju di mana mobil berada, Mang Husin pun hanya tersenyum melihat kenakalanku pada Papah.

Saat di dalam mobil....

“Ayo mang, cepet turunin!” ujarku yang tak sabar menanti si Nemo, sepeda lipatku yang selalu menemani ke mana kupergi. Mang Husin pun membuka bagasi mobil dan mengeluarkan sepeda lipatku.

“ Haloo nemo…! Udah nggak sabar aku pengen terbang lagi sama kamu.” Kataku mengajak bicara sama sepeda kesayanganku ini. Nemo adalah sepeda yang aku beli dari hasil tabungan yang aku sisihkan dari uang jajanku selama SD. Hhhmm... Tapi kalo boleh jujur, lebih tepatnya sih Papah yang membelikan secara uangku tak sampai sepertiganya dari harga sepeda tapi ada rasa bangga karena ada usahaku di sepeda itu.

Lalu kuperiksa kesiapan sepedaku, mulai dari ban, rem, hingga rantai sepeda agar tak mengalami gangguan di jalan.

“Ok Mang, sip! Nih Mang, gantungin dong di stang!” kataku setelah memeriksa kondisi ban sambil menyodorkan bungkusan plastik berisikan telur busuk pada Mang Husin. Lalu kembali masuk ke dalam rumah.

“Rara..!!” Papah kembali berteriak padaku sambil melotot ke arahku.

“Iya, iya. Rara pake. Ini juga Rara mau pake.” jawabku sembil berlalu menuju kamar, lalu aku memakai rok seragam serta sepatu boot dr m hitam andalanku tak lupa aku pun mengambil topi putih dan jaket jeans belel lalu kukenakan.

“Uiiisss, mantep Rara. Kamu memang garang.” celotehku saat bergaya di depan cermin dengan meleletkan lidah, tak lupa mengacungkan simbol genre musik kesukaanku dengan kedua tanganku.

Langsung setelah beres kembali ke meja belajar.

“PR beres. Buku pelajaran hari ini, hmm... Apa lagi ya…? Ooh ya..!” Aku memasukkan semua ke dalam tas, lalu teringat MP3 player dan headset yang sudah aku persiapkan untuk menemeni saat bersepeda nanti dan mengambilnya di laci meja belajar.

“Udah nggak ada ketinggalan lagi.” Gumamku membatin. Lalu aku kembali menuju ruang makan untuk menghabiskan roti dan susu sekalian berpamitan pada Papah.

Setelah menghabiskan roti dan susu

“Pah, Rara pergi dulu!” pamitku pada Papah sambil mencium tangannya.

“Kamu masih ada bekal jajan?” Tanya Aryo sambil menyodorkan beberapa lembar uang puluhan ribu.

“Pengertian aja, ini Papah..!” jawabku cengengesan sambil mengambil uang. “Lumayan tiga puluh ribu. Hihihi.” Gumamku senang dalam hati.

Dan aku pun tengah bersiap untuk berangkat ke sekolah tapi sebelumnya aku pasang headset pada telingaku dan kuputar lagu yang memang sengaja aku pilih saat ini.

“Rara, its your time!” teriakku dengan menggenjot sepeda diiringi musik dari salah satu grup metal kenamaan dunia.





Van Halen- Jump

I get up
And nothing gets me down
You got it tough
I've seen the toughest all around

And I know
Baby, just how you feel
You've got to roll
With the punches to get to what's real

Tak peduli dengan keramaian Jalan, kuterus berpacu tak kadang sedikit bergaya bernyanyi dan anggukan kepala mengikuti irama dentuman lagu jump dari Van Halen. Tak peduli setiap orang yang kulewati tersenyum menertawakan aksiku mengendarai sepeda, kubalas mereka dengan senyuman layaknya superstar.

Oh can't you see me standing here
I've got my back against the record machine
I ain't the worst that you've seen
Oh can't you see what I mean?



Might as well jump. Jump!
Might as well jump
Go ahead, jump. Jump!
Go ahead and jump


Hari yang kutunggu-tunggu di mana si monyet buluk harus merasakan pembalasan dendam yang kurencanakan tadi malam.

“Hihihi..” Aku pun tertawa di pagi yang cerah ini, membayangkan si monyek buluk yang berkelimpungan menahan malu dari bau telor busuk yang menempel di tubuhnya.

Saat di perempatan jalan menuju sekolah, dari kejauhan seseorang yang merupakan target sasaranku sedang berjalan dengan gaya tengilnya.


Ah-oh, hey you! Who said that?

Baby, how you been?
You say you don't know
You won't know until you begin


So can't you see me standing here
I've got my back against the record machine
I ain't the worst that you've seen
Oh can't you see what I mean?


"Rara... Ini waktunya balas dendam!" Kataku dalam hati. Aku kayuh sepedah agar melaju kencang

100 meter jarak antara aku dan dia.

50 meter lagi.

Aku mempersiapkan bom busuk yang menggantung di stang sepeda dengan posisi siap melempar.

5 meter saat tepat berada di belakangnya.

"HAI, MET PAGI MONYET BULUK..!" sapaku agar si monyet buluk ini menoleh dan benar juga dia menoleh, akhirnya... Plooookkk..... Seiring dia menoleh lemparan bungkusan tepat mengenai wajahnya.

"Huahahaha.... RASAIN LU, BALASAN YANG KEMARIN, YUUU, AHHH! GUE DULUAN... HAHAHA!!" tawaku penuh dengan kemenangan dan terus kukayuh sepedaku meninggalkan dia yang sedang mengumpatku dengan mimik yang begitu lucu saat mencium apa yang menempel di wajahnya.

"Rara kamu bener-bener brilliant." pujiku sendiri diiringi tawa kecil sambil terus bersepeda menuju sekolah seiring musik musik yang kuputar.

Might as well jump. Jump!
Go ahead and jump
Might as well jump. Jump!
Go ahead and jump
Jump!


Might as well jump. Jump!
Go ahead and jump
Get it and jump. Jump!
Go ahead and jump


Jump! Jump! Jump! Jump!





-----


Pov 3rd


Sementara itu sejam sebelumnya di kediaman Halimah. Halimah yang telah bersiap dengan pakaian seragam gurunya, wajahnya hari ini sangatlah berseri. Entah perlakuan Agus yang membuat dirinya bahagia? Dirinya sibuk membuatkan roti dan susu untuk keluarganya. Zazkia, Azkia dan Aulia pun sudah bersiap-siap dengan memakai pakaian seragam SD-nya. Mereka duduk di meja makan menunggu Mamah mereka menyuguhkan sarapan.

“Dek, Kak Rizki di mana? Kok belum keliatan?” tanya Halimah ketika belum melihat kehadiran Rizki.

“Nggak tau Mah. Dari sehabis mandi, Kak Rizky kayak yang bingung tuh..!” jawab Aulia dengan menopang dagu di atas meja makan.

“Zazkia bantuin Mamah dong, ngolesin nih selai kacang, Azk, panggil Papah!” Perintah Halimah pada kedua putrinya sambil menyodorkan roti yang telah diolesi mentega. Zazkia dan Azkia pun menuruti perintah dari Mamah-nya.

“Mah. Kok Mamah, keliatannya beda hari ini sih?” Tanya Aulia yang masih menopang dagu di atas meja memperhatikan Halimah.

“Beda apanya, sayang. Biasa aja.” jawab Halimah acuh tapi tersembul senyum di bibirnya, tangannya sibuk mengaduk susu dalam gelas.

“Tuh ‘kan senyum-senyum sendiri!” tunjuk Aulia.

“Mamah lagi dapet arisan kali, Dek..!” timpal Zazkia.

“Ah, assiiik dong! Ntar malam bisa belanja lagi ke mall.” ujar Aulia.

“Huussshh... Arisan apaan? Nggak, nggak. Udah tadi malam, ke mall-nya. Ntar minggu depan lagi!” jawab Halimah sambil menyodorkan segelas susu pada Aulia.

“Mamah tuh bukan dapet arisan, Tapi mau dapet Dedek baru.” Tiba-tiba Agus ikut nimbrung, berkomentar lalu duduk di samping Halimah.

“Hah!! Yang bener, Pah..!” Serentak ketiga putrinya tak percaya. Dijawab dengan anggukan dengan senyuman menggoda Halimah.

“Enggak, enggak. Mamah capek, nggak mau nambah lagi..!” tolak Halimah dengan memasang muka cemberut, seolah menanggapi candaan suaminya, padahal suaminya tahu bahwa dirinya telah memasang alat kontrasepsi semenjak lahirnya Aulia. Halimah Lalu menyuguhkan segelas kopi susu pada Agus dan sepotong roti.

“Ihhh, Mamah! Azkia ‘kan pengen Adik laki-laki.” Gerutu Azkia sambil mencomot roti di atas meja.

“Iya nih Mamah. Aulia ‘kan pengen jadi kakak.” Sahut Aulia mengaminin Azkia lalu meminum susu. Sedangkan Zazkia melanjutkan mengoles roti.

“Tenang saudari saudari, tunggu tanggal mainnya, sudah kami...” Agus layaknya seorang calon pemimpin menenangkan massa-nya.

“Ihh, Papah! Apa-apaan sih..? Enggak akh, capek! Tiga aja, nggak keurus. Ditinggal kerja terus.” Dumel Halimah sambil melahap roti.

“Tapi kalo bikinnya ‘kan bolehkan Mah.” Dengan nada memelas Agus menyandarkan kepalanya pada bahu Halimah.

“Ihhh, Papah..! nggak malu dilihat anak-anak!” Halimah tersipu malu, melihat kelakuan Agus padanya.

“Biarin, suaminya ini!” Agus lalu mencuri kesempatan mencium pipi Halimah.

“Ihhh, Papah genit! Cium-cium Mamah.” Aulia melihat Agus mencium Halimah.

“Biarin dong, Dek! Udah lama nggak lihat Papah sama Mamah bermesraan.” timpal Zaskia yang telah mengerti atas perubahan sikap Mamah-nya.


Krreeekkk.. Pintu kamar terbuka. Rizki pun keluar kamar, semuanya menoleh pada Rizki yang baru keluar kamar.

“hemmppp.. hump.. huahahaha” Mereka serempak melihat Rizki dan tertawa ngakak.

Rizki yang telah memakai seragam tampak kikuk dengan penampilannya kali ini.

“Hahaha... Kak Rizki, kok pake seragamnya culun banget sih..!” tawa Zazkia ketika melihat Rizki memakai seragam yang serba kekecilan, kameja pada lengannya terlihat ngatung begitu pula bagian bawahnya. Tak beda jauh dengan celana biru yang digunakan sangat ketat dan pendek membuat, nampak aneh penampilannya. Di tangan kanannya menjinjing tas ransel kusam bekas milik Zazkia, masih untung kaus kaki dan sepatunya masih muat dipakainya.

“Tante…!!” Rizki memelas.

“Hihihi.. Itu ‘kan seragam kamu waktu kelas satu, masa dipake sih..?” tawa Halimah.

“Nggak ada lagi, ‘kan Rizki nggak bawa bekel baju seragam. Rizki males sekolah akh, malu!” ujarnya berjalan lemas ke arah meja makan, lalu duduk di samping Zaskia.

“Huss nggak akh..! kamu mesti sekolah, mau tante hukum!” hardik Halimah.

“Hahaha... Sudah, sudah. Untuk sementara, kamu pake dulu seragam itu! Nih, Om kasih uang! Entar di koperasi sekolah kamu beli seragam baru!” ujar Agus sambil merogoh dompet lalu mengeluarkan uang dan disodorkan pada Rizki.

“Tante..!!” Rizki kembali memelas, dia tetap enggan pergi ke sekolah.

“Udah. Bener kata Om-mu, ntar beli di sana ambil uangnya tuh!” tunjuk Halimah.

Dengan ogah-ogahan Rizki pun menerima uang dari Agus, lalu mencomot roti dan memakannya dengan memperlihatkan keengganannya untuk pergi ke sekolah.

“Hihihi... Lucu ya, kalo Kak Rizki lagi ngambek.” celoteh Azkia diiringi tawanya yang cekikikan.

“Iya. Hihihi...” timpal Aulia geli.

“Awas kalian, Kakak bales ntar!” Meskipun sedikit bête Rizki tetep bercanda dengan mengancam Zazkia dan Aulia.

“Sini kalo berani...! weeekk...!” Aulia meleletkan lidahnya.

“Duh, bakalan diledek habis-habisan nih di sekolah!” Gumam Rizki dalam hati sambil melahap roti tetap dengan gaya ngambek memakannya. Yang akhirnya ketiga putri Halimah pun tertawa melihat kelakuan Rizki.

Saat mereka asik sarapan, tiba-tiba...

“Omm, bolehkan Rizki tinggal di sini” tiba tiba Rizki meminta izin pada Agus, membuat Agus sedikit kaget dengan ucapan Rizki, diliriknya Halimah, dan Halimah hanya mengangkatkan bahunya menjawab lirikan Agus.

“Ya, kalo kamu mau tinggal di sini Om nggak keberatan, lagian Om lagi punya program adek baru buat Aulia.” jawab Agus dengan sedikit bercanda, dia sudah mengira Rizki ada masalah di rumahnya dari pada dia tidur di tempat tak jelas lebih baik tinggal di rumahnya.

“Husstt... Papah! Ke mana aja kalo ngomong?” timpal Halimah.

“Assseekkkk....! Kak Rizki tinggal di sini!” Teriak girang Azkia dan Aulia.

“Tapi tetep bobok-nya sama kakak.” ujar Zazkia cuek.

“Ihhhh, Kakak licik...! Gantian dong…!” jawab Azkia.

“Udah, udah. Nanti aja diatur kalo udah pulang sekolah, cepetin makannya udah siang! Ntar kalian kesiangan sekolah! Riz, ntar kamu bareng Tante aja perginya!”

“Hummpp... Nggak akh! Biar Rizki pergi sendiri, malu kalo bareng Tante.” Tolak Rizki yang saat itu sedang minum susu menjadi tersembur keluar dari mulutnya. Rizki merasa malu jika temen-temannya mengetahui dirinya berbarengan dengan Halimah pergi sekolah. Memang selama ini, Rizki tak menceritakan hubungan antara dirinya dan Halimah pada teman sekolahnya.

“Nggak, kamu tuh kalo jalan lelet,. Tiap hari kesiangan. Apa nggak bosen, dihukum tante? Pokoknya bareng!” Paksa Halimah.

“Tapi, Tante..” Kembali Rizki memelas penuh harap.

“Enggak. Sekali enggak tetep enggak. Kamu pergi barengan sama Tante!” Halimah memaksa dengan sedikit melotot pada Rizki membuat Rizki pasrah harus mengikuti kehendak Tante-nya

“Hihihi... Kacian deh, lu!” Ledek Aulia.

Rizki membalas dengan kepalan tangan, tapi tak membuat takut Aulia malah semakin menertawakan Rizki.


Dan akhirnya, mereka pun pergi menuju tempat aktifitas-nya masing-masing. Hanya saja Halimah berbarengan dengan Rizki perginya.






Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd