Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Part terakhir. Berakhirnya Petualangan

Para rombongan timnas telah tiba di tanah air. Satu persatu pemain turun dari pesawat dan berjalan melewati para fansnya yang kebanyakan para wanita selalu setia menunggu sejak beberapa jam hanya untuk menyambut pahlawan tanah air yang sudah mengharumkan nama bangsa.

Di antara para cewek itu ada Annisa. Dia berada di kerumunan sambil membawa sebuket bunga sebagai tanda selamat.

Hingga saat sosok Justin lewat, Annisa buru-buru mendesak kerumunan. "Kak Justin!" seru Annisa.

Meski suara imut itu berasal dari banyaknya lautan manusia, tapi Justin masih mampu mengenali suara Annisa.

Tangan Annisa terulur ke depan. Dengan cekatan Justin menariknya sampai Annisa berhasil lolos dari kerumunan itu. Beberapa cewek-cewek labil tampak protes saat Justin, sang idola malah menggandeng seorang wanita.

"Ngapain kamu ikut-ikutan jadi cewek alay, sih?" ucap Justin seraya merangkul bahu Annisa.

Annisa cemberut tapi tak ayal membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggang Justin.

"Dasar kakak. Disambut bukannya terima kasih malah dikatain anak alay, nih buat kakak!" sungut Annisa sembari memberikan buket bunga yang sudah susah payah ia beli sebelum sampai ke bandara.

Justin mencium bunga tersebut kemudian mencium kepala Annisa. "Ehmm... wanginya sama. Kamu gak mandi pake kembang, kan?"

Annisa tidak menjawab, malah mencubit pinggang Justin sampai-sampai lelaki itu memekik kesakitan.

Saat sedang berjalan, Annisa menoleh ke belakang. Dia seperti sedang mencari seseorang. Justin sebenarnya tahu apa yang Annisa cari tapi dia diam saja.

Dia tahu Annisa sedang berperang dengan egonya sendiri. Namun hingga mereka keluar dari bandara Annisa terus saja bungkam.

"Kamu ikut rombongan kakak, ya?" Annisa menggeleng. "Enggak usah, kak. Tadi emang niatnya mau nyambut aja di bandara. Kamu pulang naik taksi aja."

Justin mencebik. Lelaki itu mengambil ponselnya lalu memesan taksi online. Tanpa banyak protes Annisa ikut dengan Justin ke markas untuk mengambil mobilnya. Selanjutnya mereka pulang.

Sepanjang perjalanan Annisa hanya membuka tutup menu di ponselnya. Beberapa kali mulutnya sudah terbuka seperti ingin bicara namun berakhir tanpa suara.

"Kenapa? Kamu dari tadi mau nanyain Randy, kan? Tapi gengsi." Annisa yang mati-matian menahan pertanyaan itu seperti terkena head shot.

Wajahnya berubah panik, lalu otaknya berpikir untuk mengelak hal itu. "Ih, siapa bilang? Enggak kok. Aku lagi mikirin pelajaran kemarin itu tentang apa, ya?"

Justin malah tertawa terbahak-bahak melihat Annisa salah tingkah. "Hahaha, Annisa--Annisa... kenapa gak jujur aja, sih! Kamu makin keliatan imut deh kalo lagi salting kek gitu."

Annisa mendesah. Sumpah wajahnya malah memerah, kenapa di saat seperti ini justru anggota tubuhnya seolah ikut menjelaskan jika dari tadi dia memang ingin tahu dimana Randy.

"Ishh...kakak, nih!" Akhirnya adegan berakhir dengan kepala Justin menjadi sasaran geprekan botol kosong yang entah sejak kapan sudah ada di dashboard mobilnya.

Sudah kepalang basah, bukannya Justin menjelaskan soal keberadaan Randy, lagi-lagi Justin tidak bergeming, membuat Annisa meremas-remas tangannya sendiri begitu gemas ingin mengacak-acak rambut Justin.

"Kak!"

"Hmm?!"

Exhale Inhale dua kali. Sepertinya dia harus menurunkan egonya kali ini. Annisa kembali menatap Justin dengan tatapan tajam.

"Randy dimana?" tanya Annisa dengan kecepatan yang tinggi.

"Hah?! Apa?" Justin pura-pura tidak dengar. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah kiri.

Gigi-gigi Annisa mengerat saking kesalnya tapi ia masih mencoba bersabar. "Kakakku tersayang. Aku mau tanya, Randy dimana, ya? Kok gak keliatan?"

"Oh, si Randy toh," jawab Justin santai. Padahal wanita di sampingnya sudah memasuki mode siluman kuda.

"Dia masih di Filipina, ikut seleksi buat gabung ke CSKA Moscow. Paling dua hari lagi dia pulang."

Justin menoleh. " Eh, ngomong-ngomong kenapa kok kamu nanyain Randy? Kakak kira kamu ngambek sama dia gak mau ketemu."

"Gak tau deh! Eh, kok kakak pulang-pulang dari Filipina jadi nyebelin, sih?" Justin terkekeh mendengar ucapan Annisa yang sedang tersenyum kecut.

Tak terasa karena saking asiknya menggoda Annisa, tahu-tahu mereka sudah sampai di depan rumah Justin.

"Yok, masuk!" ajak Justin. Dia memutari mobilnya untuk membukakan pintu untuk Annisa.

"Kok ke sini? Kirain mau nganterin aku pulang." Dengan berdecak kesal Annisa keluar dari mobil.

"Lah emang kakak tadi ada bilang mau nganterin kamu, gitu?" Justin menutup pintu mobil dan berjalan santai memasuki rumahnya.

Annisa hanya bisa mengelus dadanya. "Hufhhh...sabarrr..."

Wanita itu mengikuti langkah Justin. Mendadak Justin menarik tangan Annisa untuk masuk ke dalam sebuah kamar.

"Eh, kak! Mau ngapain?!" tanya Annisa panik. Pasalnya lelaki itu menariknya dengan senyuman yang sulit diartikan.

"Jangan kak! Aku gak mau!" Annisa mencoba sekuat tenaga untuk menahan kakinya agar tidak terus bergeser.

Namun apalah daya kekuatan Annisa sama sekali tidak sebanding dengan Justin. Malah Annisa bisa saja diangkut seperti karung beras. Akhirnya Annisa pasrah saja.

Ketika masuk ke sana Annisa justru terdiam. Bukan karena dia sudah benar-benar pasrah mau diapakan saja oleh Justin, tapi karena dia mencium aroma yang cukup familiar.

Justin kemudian menyalakan lampu. Annisa menatap ke sekeliling kamar tersebut yang kelihatan rapi dan bersih dengan sprei ranjang berwarna biru bermotif golden state warrior.

"Ini kamarnya Randy," ujar Justin.

Dengan segera Annisa memutar badannya ke arah Justin. "Apa? Jadi Randy tinggal sama kakak di sini?"

"Iya, tapi bentar lagi udah enggak di sini. Dia katanya mau pindah. Entah pindah kemana yang jelas enggak di Bandung lagi, malah kabar terakhir dia mau main di Rusia. Udah mantep pengin move on dari yang ada di sini katanya," jelas Justin sedikit menyindir Annisa.

Wajahnya mengarah ke dinding kamar, namun bola matanya melirik ke arah Annisa yang sedang menunduk. Beberapa kali nafas wanita itu terasa berat.

"Udah lah Annisa, jujur aja kalo kamu masih pengin Randy tetep di sini. Ngomong terus terang mumpung belum terlambat," batin Justin.

"Kak, aku boleh pake kamar ini gak? Sampai Randy pulang," celetuk Annisa tanpa disangka-sangka.

"Kamu mau nginep di sini?" Justin bertanya dan Annisa hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab.

"Ya udah, kalo butuh kakak, kakak ada di kamar kakak."

"Makasih, kak." Annisa dengan kemauannya sendiri memeluk Justin. Lelaki itu mengelus belakang kepala Annisa lalu menciumnya dengan penuh perhatian.

•••

Setelah ngikutin seleksi akhirnya Randy pulang ke Indonesia dengan wajah berseri. Pasalnya dia lolos dan mendapatkan kontrak trial selama tiga bulan bersama CSKA Moscow.

Di bandara, Justin sudah menunggunya. Tangannya terlipat di depan dengan punggung bersandar di tembok.

"Sini, biar gue bawa kopernya," ucap Justin membuat Randy melongo tidak percaya. Bahkan setelah beberapa detik Justin berjalan di depannya, Randy masih saja terdiam.

"Nunggu apa, lu?" Justin menoleh ke belakang.

"Nggak!"

Mereka berjalan tanpa obrolan sama sekali. Meskipun Justin tidak berkata apa-apa tapi Randy paham jika dia sedang tidak mau di ajak bicara. Itu loh, ekspresi wajahnya benar-benar datar.

"Kesambet setan apa, lu?" Tanya Randy ketika keduanya sudah berada di mobil Justin.

Justin memutar kepalanya, hanya sebentar kemudian kembali fokus ke jalanan.

"Tiba-tiba nawarin diri buat jemput, terus bawain koper, terus sekarang diem kayak patung." Randy berbicara tanpa melihat ke arah Justin. Pandangannya mengarah ke luar jendela.

Justin malah terkekeh. "Entar lu juga tau," jawab Justin menambah rasa penasaran Randy.

Sisa perjalanan dilalui dalam diam. Mereka seperti dua orang asing yang tidak kenal. Canggung.

Hingga perjalanan yang terasa lama pun akhirnya mereka sampai juga di tujuan.

"Lu masuk dulu, gih! Pintunya gak dikunci. Gue mau pergi ada urusan penting. Gak sampe tengah malem udah balik."

Tanpa banyak protes Randy keluar dari mobil dan mengambil kopernya di dalam bagasi. Sesaat kemudian mobil sudah berbalik arah dan menjauh dari pandangan.

"Dasar aneh," ungkap Randy dalam hati.

Dia masuk ke dalam rumah. Suasana gelap di ruang tamu tapi remang-remang di ruang tengah dengan lampu meja yang menyala di atas meja tv.

Sedikit menghapus dahaga, Randy ke dapur untuk meneguk segelas air. Semuanya masih tampak normal. Hanya aneh ketika Justin meninggalkan rumah dalam keadaan tanpa dikunci.

Randy mulai berjalan ke kamarnya. Mandi, ganti pakaian, terus tidur. Itu yang ada di pikiran Randy saat ini. Meski perjalanan tidak begitu melelahkan, tapi Randy tidak bisa menahan kantuknya lagi.

Lelaki itu masuk. Namun baru beberapa derajat daun pintu terbuka, ia melihat sinar lampu dari lampu tidur yang menyala.

"Perasaan pas berangkat semua lampunya gue matiin, deh. Masa sih Justin masuk ke kamar gue? Mau ngapain coba."

Pintu semakin lebar terbuka. Mata Randy semakin luas menatap ke sekeliling kamar. Dan matanya membulat sebentar, lalu menyipit dengan dahi yang berkerut ketika melihat sosok wanita sedang tertidur di atas ranjangnya.

"Apa sih? Justin bawa cewek ke rumah, terus disuruh tidur di kamar gue? Kamar dia aja kayak lapangan bola, cukup buat dua puluh orang," gerutu Randy dalam hati.

Randy melirik putri tidur itu yang dalam posisi memunggunginya. Mengenakan piyama tidur berwarna abu-abu. Rambutnya digerai panjang.

Wanita itu pun tak terusik dengan langkah kaki Randy yang semakin dekat. Ketika Randy memutari ranjang demi melihat siapa perempuan itu, matanya sontak melebar.

"Annisa?!" ujar Randy dengan suara yang sedikit tinggi.

Ya, orang yang dipanggil namanya itu langsung membuka mata. Seperti orang sedang kena grebeg, Annisa kelabakan dan bangkit dari tidurnya sesegera mungkin.

"E...ehh...Randy?! Ka...kamu udah pulang?!" tanya Annisa gagap. Pasalnya Justin tidak mengatakan apapun kalau Randy akan pulang malam ini.

Justin hanya bilang kalau dia akan keluar sebentar untuk membeli cemilan di minimarket. Annisa benar-benar tidak mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Randy saat ini.

Wajah kusam, muka berminyak, rambut awut-awutan. Annisa betulan sedang berada pada penampilan terburuknya, dan sekarang dia malah ketemu Randy?

Oh, tidak! Harusnya tadi ia cuci muka dulu, malah ketiduran. Kalau Justin yang melihat sih dia bodo amat. Mau mukanya seperti topeng monyet juga dia tidak peduli. Tapi ini Randy!

Ya, Annisa juga tidak tau kenapa dia ingin tampil cantik di depan Randy. Minimal wajahnya tidak kusam. Tapi sekarang Randy mungkin malah ilfeel terhadap dirinya.

"Aku belum pulang, kok. Aku masih di Filipina," jawab Randy sambil terkekeh geli. Wajah Annisa semakin memerah karena malu.

"A...aku ke kamar mandi dulu." Buru-buru Annisa pergi menuju kamar mandi yang letaknya berada di luar kamar Randy.

Pria itu hanya tersenyum melihat Annisa salah tingkah. Annisa membasuh mukanya di wastafel. Menatap mukanya sendiri di cermin.

"Awas aja kak Justin! Randy pulang gak bilang-bilang dulu!" kesal Annisa. Dia kemudian menenangkan diri. Mengontrol perasaannya yang kini tidak karuan.

Setelah agak segar, Annisa kembali ke kamar Randy. Untuk apa? Padahal dia bisa saja tidak perlu masuk. Duduk di sofa, nonton tv, atau malah langsung pulang saja. Jam segini ojek online masih banyak yang beroperasi. Tapi entah mengapa Annisa memilih kembali.

Di sana, Randy sudah berganti pakaian dengan kaos singlet muscle cut, dan celana bokser setengah paha. Annisa malah tertegun melihat pemandangan itu. Di saat seperti ini bulu romanya malah berdiri dan kulitnya menjadi sangat sensitif. Tubuhnya tidak bisa diajak kerjasama.

Randy yang tengah duduk di tepi ranjang bagian bawah sambil memainkan ponselnya pun mengangkat kepalanya. Melihat kehadiran Annisa, dia tersenyum seraya melemparkan HP-nya ke atas ranjang.

Annisa berjalan mendekati Randy. Berusaha setenang mungkin. Wanita itu mendaratkan bokongnya di tepi kasur tepat di sebelah Randy.

Di saat itu suasana malah menjadi canggung. Keduanya masih bungkam. Annisa meremasi jari-jarinya sendiri yang berkeringat.

"Apa kabar?" Setelah waktu berjalan setengah menit, Randy akhirnya membuka suara.

"Em...baik." Setelah itu kembali diam. Sekitar lima belas detik kemudian Annisa menoleh, menatap wajah Randy.

"Katanya, ada yang mau kamu omongin sama aku? Waktu itu..." Annisa tidak melanjutkan kata-katanya. Dia tidak mau mengingatkan Randy peristiwa di mall waktu itu ketika dia pergi meninggalkan Randy begitu saja tanpa mau mendengarkan ucapannya sama sekali.

"Aku pikir kamu gak mau lagi ketemu sama aku." Ucapan Randy membuat Annisa merasa tidak enak dan menyesal. Dia tahu sikapnya waktu itu kekanak-kanakan.

Annisa sudah membuka mulutnya untuk meminta maaf, tetapi Randy sudah terlanjur pergi keluar kamar. Hanya sebentar dia kembali dengan membawa sebuah kotak kecil berwarna merah.

Randy menarik kursi beroda empat yang terletak di depan meja komputer. Memposisikannya tepat di depan Annisa, lalu duduk di sana. Randy menyorongkan benda itu ke depan.

"Ini..." Kata-kata Annisa terhenti. Randy membuka kotak merah itu. Mata Annisa melebar kala melihat sebuah cincin yang amat cantik tersuguh di dalamnya.

"Ini cincin?" tanya Annisa. Sumpah jantungnya saat itu berdetak di luar kendali. Apa maksudnya ini? Jangan-jangan...

"Bukan, ini kelereng," jawab Randy sambil terkekeh geli.

Annisa melotot sambil mencebikkan bibirnya. Bisa-bisanya bercanda di situasi seperti ini. Merusak suasana saja.

"Lagian kamu aneh. Udah tau ini cincin, masih nanya lagi."

"Bukan gitu! Maksudnya, tujuan kamu kasih liat cincin ini buat apa?" gerutu Annisa.

Randy masih terkekeh, sesaat kemudian dia menghela nafas dalam. "Cincin ini warisan dari nenekku. Tadinya cincin ini dikasih ke ibuku sama ayahku. Tapi setelah ayahku meninggal dan ibuku nikah lagi, cincin ini diminta sama nenekku lagi."

Randy sedikit menjeda. "Terus sebelum nenekku meninggal, beliau mewasiatkan aku buat kasihkan cincin ini untuk wanita yang aku cintai. Dan nama pertama yang terlintas di pikiranku itu namamu."

Randy mengangkat kepalanya menatap wajah Annisa yang memerah. "Jadi, mau kan kamu, aku pakaikan cincin ini demi almarhumah nenekku. Ini permintaan terakhir aku. Setelah itu kamu mau buang atau kamu jual itu terserah kamu. Dan aku bakalan pergi dari hidupmu selamanya. Setidaknya aku bisa pergi dengan tenang."

"Randy, kamu ngomongnya kayak orang mau meninggal aja!" Annisa cemberut. Dia pun tak tau kenapa, Randy bilang kalau dia mau pergi membuat dadanya sesak. Padahal itu kan yang diinginkan Annisa. Lepas dari bayang-bayang Randy. Tapi kok rasanya tidak rela.

"Kan emang aku mau pergi ke Rusia. Aku dapat kontrak trial dari klub basket di sana. Kalo beneran, aku jadi orang Indonesia pertama yang main di euro league."

Mata Annisa berpendar. Menatap wajah Randy dan cincin itu secara bergantian. Jadi Randy pergi meninggalkan dirinya bukan hanya untuk move on, tapi untuk mengembangkan karirnya juga. Kalau begitu tidak ada alasan lagi untuk Annisa menahan Randy di sini.

"Kenapa kamu kasih cincin ini ke aku? Kenapa gak kamu kasih ke calon istrimu nanti?"

"Nenekku bilang buat kasih cincin ini ke wanita yang aku cintai, bukan wanita yang aku nikahi," jelas Randy.

"Jadi, boleh kan?" Sekali lagi Randy meminta ijin untuk memasangkan cincin tersebut di jari manis Annisa.

Bulu mata Annisa yang lentik bergerak ketika matanya berkedip beberapa kali. Dalam waktu beberapa detik dia akhirnya mengangguk.

Tangannya terulur dengan jari jemari yang lurus ke depan. Randy memandangi tangan itu sambil tersenyum.

Dia pun menggenggam telapak tangan Annisa dengan tangan kirinya. Mengambil cincin tersebut. Jantung Annisa berdegup kencang saat jari manisnya perlahan masuk melewati lingkaran logam tersebut.

Annisa merasa seperti sedang dilamar oleh orang yang ia cintai. Jika saja hal ini benar-benar jadi kenyataan, pasti dia amat sangatlah bahagia.

Hingga cincin itu tersemat cantik di jari manisnya, Randy melepaskan tangannya. Menghembuskan nafas lega.

"Makasih, ya," ujar Randy. Saat itu, jika saja situasinya berbeda, mungkin Annisa akan langsung memeluk Randy dengan kebahagiaan yang amat besar.

Namun ini bukan seperti yang dibayangkan, bukan sebuah lamaran yang romantis, ini hanya sebuah wasiat untuk dilakukan.

Randy berdiri. Dia merasa semuanya sudah selesai. Ia berbalik hendak pergi dari kamar itu.

"Tunggu, Randy!" cegat Annisa membuat Randy mengurungkan niatnya.

Badannya kembali berotasi hingga mereka berhadapan sekarang. "Aku juga punya sesuatu yang mau aku kasih," katanya.

Randy diam tak bersuara, menunggu Annisa melanjutkan kata-katanya. Wanita itu menunduk, tangannya bergerak naik ke arah kancing paling atas piyamanya.

Meloloskan satu butir kancing dari pengaitnya, lalu dilanjutkan yang kedua. Randy dapat melihat belahan payudara Annisa yang putih dan mulus.

"Annisa, kamu mau ngapain?" Annisa cuek. Perempuan itu lanjut ke kancing yang ketiga. Kini bra berwarna hitam terlihat mengintip dari dalam piyama tidur Annisa.

"Annisa, kamu gak perlu ngelakuin ini." Randy memegang kedua bahu Annisa. Sekarang Annisa berhenti kemudian menengadah ke atas.

Annisa berjalan ke samping ranjang. Posisinya memunggungi Randy. Dia melanjutkan ke kancing keempat sampai semuanya terlepas.

"Gimana kalo aku yang mau? aku yang minta. Apa kamu mau kasih?" Kini Annisa berdiri dengan baju piyama yang terbuka di bagian depan, tapi Randy hanya bisa melihat punggung Annisa.

Annisa membelai bahunya, menyingkap piyamanya hingga bahu yang melekuk indah itu terlihat samar.

Tidak tahu sejak kapan tetapi Randy sudah berada tepat di belakang Annisa. Nafasnya terasa menerpa tengkuk Annisa.

"Kamu yakin?" tanya Randy. Annisa tidak pernah melisankan jawabannya. Sebagai gantinya dia berbalik hingga mereka berhadapan.

Jakun Randy naik turun melihat tubuh Annisa bagian depan yang terlihat sebagian. Annisa diam saja ketika Randy melepaskan piyama itu dari badannya.

"Kamu bisa berhenti kapan aja kalo kamu mau, just let me know," ujar Randy. Annisa hanya bisa mengangguk pelan.

Tubuh Annisa bergetar saat kedua tangan Randy mendarat di sisi pinggangnya. Tangannya sendiri ia berikan ke dada bidang Randy.

Annisa mengangkat wajahnya ketika jarak mereka semakin dekat dan tangan Randy mulai sedikit meremas pinggang Annisa.

Randy mencondongkan badannya ke arah depan untuk meraih bibir Annisa yang begitu ranum dan mempesona.

Cuppp...

Waktu seolah berhenti kala kedua bibir mereka bertemu. Tidak ada lumatan, tidak ada pagutan. Hanya saling menempel antara benda lunak itu.

Saking hikmatnya sampai-sampai Annisa tidak sadar bibirnya terus maju ketika wajah Randy mundur. Tautan di antara bibir mereka terpisah. Annisa akhirnya membuka mata.

"Ran," panggil Annisa lirih. Sangat lirih hingga Randy pun tak bisa dengan jelas mendengar. Pandangannya terus mengarah ke bibir Randy, seolah terus menginginkan semua itu terjadi lagi.

Randy menatap wajah Annisa yang penuh keinginan. Tidak dipungkiri lagi bahwa Annisa benar-benar sangat menginginkannya saat ini. Bahkan ketika Randy kembali mendekatkan wajahnya, Annisa sama sekali tidak bergerak menghindar.

Hingga kedua ujung hidung mereka bertemu, Annisa meredupkan penglihatannya. Mulutnya mulai terbuka dengan nafas sedikit memburu.

Randy kembali mencium bibir Annisa yang langsung disambut oleh wanita itu dengan penuh antusias. Kini bukan cuma ciuman biasa, melainkan sebuah lumatan kecil yang membuat Annisa mendesah nikmat.

"Mmmssscccppp...ssscccppp..." Tangan Annisa bergerak ke bagian belakang kepala Randy. Meraup segenggam rambut lalu menekannya ke arah dirinya.

Tangan Randy tidak tinggal diam. Mengelus pinggang hingga merayap di bagian punggung Annisa untuk meraih pengait bra-nya.

Cukup dengan satu tangan Randy mampu melepaskan kaitan itu sehingga cup bra milik Annisa meloncat ke atas.

Pagutan di bibir mereka otomatis berhenti. Randy mengalihkan fokusnya ke dua gunung kembar milik Annisa yang begitu indah.

Annisa sendiri yang melemparkan penutup dadanya ke sembarang arah hingga kini tubuh bagian atasnya polos. Sepasang payudara Annisa menggantung sempurna di sana, dengan dihiasi dua nipple berwarna pink sebagai toppingnya.

Randy membungkuk. Pertama dia telusuri leher Annisa yang dieksplor oleh pemiliknya sendiri, kemudian mulai turun ke dada dan berakhir di nipple sebelah kiri.

"Aaccchhh...!!!" desah Annisa ketika bibir Randy mencaplok puting miliknya.

Annisa membusungkan dadanya serta menekan kepala Randy. Gelitikan lidah Randy betulan membuat Annisa mabuk kepayang. Putingnya semakin menegang karena ulah Randy.

Karena kesulitan Randy membungkuk terus, pria itu mengangkat Annisa lalu menjatuhkannya di atas ranjang.

Annisa terlihat sangat pasrah. Tidak ada niat sedikitpun untuk menutupi area sensitif di dadanya. Dia malah semakin membusung. Randy tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Dia menyedot nipple Annisa kanan dan meremas payudara kirinya, lalu bergantian hingga dada Annisa basah karena air liur Randy.

"Engghhh...Rhannn..." gumam Annisa tak jelas. Pinggang Randy sudah dikunci oleh kaki Annisa sehingga sulit bergerak.

Annisa menarik-narik ujung kaos Randy ke atas. Randy tahu maksud Annisa. Dengan gerakan cepat Annisa mampu melepaskan kaos muscle cut dari tubuh pria itu setelah dibantu oleh Randy.

Lelaki itu bangkit. Menarik celana Annisa berserta dalamannya. Jakun Randy naik turun melihat pemandangan indah di depannya.

Randy bersimpuh di depan kewanitaan Annisa yang sudah meneteskan air cinta. Randy melebarkan paha Annisa. Seperti ada nyawa di sana, vagina Annisa berkedut-kedut seperti sedang kehausan.

Randy tidak tahan melihatnya. Dia langsung mencaplok dan menyedot cairan cinta Annisa yang terus membanjir.

"Aaccchhh...Randyyyy...!!!" Hanya itu kata yang mampu terucap dari bibir Annisa. Selanjutnya hanya desahan penuh kenikmatan yang keluar.

Annisa menggoyang-goyangkan pantatnya. Terangkat lalu dibanting lagi ke ranjang. Tubuhnya terbakar oleh bara api nafsu yang meletup-letup.

Tarian lidah Randy di bibir kewanitaannya benar-benar membuat Annisa terbang ke angkasa. Rasanya sungguh memabukkan.

Sampai ketika pada suatu titik, Annisa melengkingkan suaranya. "Aawwwnggghhhh...!!!"

Serrr...serrr...serrr...serrr...

Annisa mencapai orgasme pertamanya malam itu. Nafasnya memburu, matanya sayu menatap Randy yang sudah berdiri dengan wajah yang mengkilap terkena cipratan air cintanya.

Randy menarik tangan Annisa hingga terduduk di tepi ranjang. Pandangan Annisa langsung tertuju pada celana bokser Randy yang menggembung di bagian tengahnya.

Randy sengaja diam untuk melihat apa yang akan dilakukan Annisa. Secara naluriah Annisa memegang tonjolan itu lalu mengelusnya ke atas bawah. Randy mendesis lirih namun tetap tidak bergerak.

Annisa menarik turun celana Randy dan boom. Senjata tegap yang tersembunyi kini muncul dengan gagahnya.

Jika dulu Annisa merasa malu dan risih saat melihat kelamin laki-laki, namun kini dia menatapnya penuh damba, seolah-olah benda itu adalah sesuatu hal yang sangat istimewa.

Dia menggenggam penuh di tangannya. Tampak besar, panjang dan berurat. Annisa tanpa dikomandoi mengecup puncak helm pink milik Randy yang sudah mengeluarkan cairan precum.

"Ouhhh...sssshhh..." Randy mendesah nikmat kala bibir mungil dan lidah basah Annisa meliak-liuk di area sekitar lubang kencingnya.

Annisa mengulum, menghisap, dan memasukkan benda itu ke dalam mulutnya. Bagi Randy, rasanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Itu bukan yang pertama untuk Randy, tapi selalu jadi yang spesial jika Annisa yang melakukannya.

Hampir saja Randy jebol hanya dari oral Annisa. Dia mendorong wanita itu hingga kembali rebahan. Ditatapnya wajah wanita dewasa yang sedang berbaring di atas ranjang dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun.

Annisa terlihat begitu menggoda dengan kedua genggaman tangannya berada di bawah dagu. Randy memegang kedua lutut Annisa yang mengapit.

Ia tersenyum penuh arti. "Annisa, ini terakhir kalinya aku kasih kesempatan kamu buat berubah pikiran. Mau lanjut apa udahan?" tanya Randy.

Perlahan paha Annisa mulai terbuka menampakkan inti tubuhnya yang merekah. Itu bukan Randy yang melebarkan paha Annisa, melainkan Annisa sendiri yang melakukannya.

Bukankah itu sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Randy? Pasalnya Annisa terlalu malu untuk mengungkapkan dengan kata-kata.

Randy kembali menarik sudut bibirnya. "Your chance is up. Sekarang gak ada lagi kesempatan buat lolos."

Annisa bukannya takut malah semakin melebarkan pahanya membuat bibir kewanitaannya yang semula hanya berupa garis vertikal kini terbuka menampilkan lubang kecil yang berdenyut-denyut memompa cairan miliknya semakin banyak keluar.

Sial! Randy benar-benar tidak tahan melihatnya. Apalagi ketika memandang wajah Annisa yang merah namun begitu innocent.

Randy menempelkan ujung kepala helmnya di pintu gua basah yang sudah siap untuk dimasuki. Dia gesek-gesekkan sejenak di sepanjang bibir kewanitaan Annisa. Dia berusaha sabar untuk tidak masuk lebih dulu.

"Ssshhh...uuuhhh..." desis Annisa sambil menggigit bibir bawahnya. Matanya fokus ke arah dua kelamin mereka yang bergesekan.

Dadanya berdebar kencang menanti proses penetrasi yang akan dilakukan Randy. Namun sampai satu menit Randy tak kunjung juga untuk memasukkannya.

Hal itu membuat Annisa geregetan. Pasalnya dinding-dinding vaginanya sudah sangat gatal. Bahkan cairan miliknya sudah banjir dan siap melumasi senjata Randy untuk bertempur.

"Ran! Ihhh...!!!" rengek Annisa. Randy hanya bergumam menimpali rengekan Annisa.

"Randy, please lah!" Annisa meremas lengan Randy lalu memukulnya lirih. Bahkan beberapa kali dia menaikan pinggulnya untuk menjemput benda panjang itu namun Randy tak peduli. Dia malah menyentil-nyentil biji yang ada di bagian atas lubang itu yang membuat Annisa semakin tersiksa.

"Randy!" ujar Annisa. "Apa?" Randy mengangkat kedua alisnya. Pandangan mereka bertemu.

"Masukin sekarang, Randy. Please!" mohon Annisa. Entah kenapa kata-kata itu begitu indah terngiang-ngiang di telinga Randy.

"Bantuin, dong. Aku gak bisa nemuin lubangnya," goda Randy. Annisa tidak mau ambil pusing saat itu. Tubuhnya sudah panas ingin segera disiram.

Annisa menggenggam kejantanan Randy lalu mengarahkannya tepat di mulut vaginanya. Setelah pas, dengan perlahan Randy mendorong ular berbisanya masuk ke dalam sarangnya yang sudah lama tidak ia sambangi.

"Ssshhh...aaaccchhh...ngilu Ran!" ungkap Annisa menahan rasa perih saat benda itu masuk. Randy berhenti, lalu kembali menekan.

"Aaahhh...Rhannn..." Annisa hanya bisa meremas bahu Randy. Menancapkan kukunya di kulit pria itu sambil mendesis.

Sempit, rasanya seperti memasuki seorang perawan saja. Randy pun merasakan remasan dinding vagina Annisa yang begitu mencengkeram miliknya.

Randy berhenti untuk mengambil nafas lalu dia kembali mendorongnya hingga mentok. "Ssshhh...uuuhhh..." Nikmat rasanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Randy memeluk Annisa saat penyatuan mereka terjadi. Randy mencium pipinya. Mata wanita itu tertutup sedangkan mulutnya terbuka.

"Annisa," panggil Randy lirih. "Hmm?" Annisa sedikit membuka mata. Wajah Randy tepat berada di depannya. Nafas lelaki itu menerpa dirinya. Annisa mengangkat kepalanya sedikit untuk mencium bibir Randy yang masih ada pada jangkauan.

Mereka berciuman, bertukar saliva. Tangan Annisa melingkar di leher Randy. Pria itu mulai menarik kejantanannya sampai ujung gundulnya saja yang tersisa di dalam, kemudian kembali menghentakkan ke palung terdalam di inti tubuh Annisa.

"Aaccchhh...Rhannn, ehemmm..." desah Annisa penuh rasa nikmat. Awalnya pelan, lalu berubah menjadi lebih cepat.

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...

Setiap gerakan yang Randy lakukan membuat seluruh syaraf di tubuhnya meremang. Cengkraman dinding vagina Annisa betul-betul luar biasa. Tidak pernah Randy merasakan kewanitaan sesempit Annisa, meskipun mereka sudah sering melakukannya dulu.

Annisa juga merasakan hal yang sama. Kejantanan Randy bag mesin bor yang menggaruk seluruh sisi dalam dinding kewanitaannya. Rasa gatalnya berubah menjadi sengatan-sengatan kecil yang menghasilkan hormon dopamine. Membuat dirinya ingin terus melakukannya.

Mulut Randy hinggap di mana pun dia inginkan. Bibir, leher, payudara, semua sudah menjadi sasarannya. Annisa pun tidak peduli lagi jika tubuhnya penuh cap merah hasil dari Randy.

Dirinya sudah sepenuhnya tenggelam dalam kenikmatan yang mereka buat. Sepertinya Annisa tidak akan pernah menyesali atas pilihan yang dia pilih di malam itu. Meskipun itu artinya mereka melakukan itu untuk yang terakhir kalinya.

Annisa yang angan-angannya sedang berada di awan mulai sedikit tersadar. Dia menunduk, melihat apa yang sedang dilakukan Randy. Ternyata lelaki itu sedang asyik menyusu di payudara kanannya sambil terus memacu di bagian bawah.

Annisa meremas payudara kirinya hingga menggembung. "Ran, yang kiri juga dong. Entar iri." Ucapan itu keluar dari mulut Annisa begitu saja.

Ucapan yang sedetik kemudian disesalinya seumur hidup. Karena Randy berhenti menyusu bukan untuk berpindah ke yang satunya, namun untuk menertawai perkataannya barusan.

"Hahaha...Annisa, kamu ini bisa ngelawak juga, mana ada pentil iri, yang ada jadi gede sebelah," canda Randy diselingi tawa renyah.

Sumpah demi apapun Annisa sangat malu kala itu. Untuk menutupi rasa malunya, Annisa menjambak rambut belakang Randy, lalu mendorongnya ke sisi payudara sebelah kiri agar muka mesum lelaki itu segera lenyap dari pandangan.

Benar saja, Randy seperti anak kecil yang lupa apa yang tadi dia ucapkan setelah mendapatkan asupan asi dari ibunya. Menyedot dan menggigit-gigit kecil nipplenya, serta meremas payudara sebelah kanan.

Annisa menepuk-nepuk dahinya sendiri saat Randy tidak melihat. Merutuki dirinya sendiri yang keceplosan bicara.

Namun itu tak berlangsung lama, karena Annisa mulai hanyut dalam irama goyangan pinggul Randy. Annisa terus menatap ke arah Randy. Rasanya pemandangan puting payudaranya yang sedang di hisap oleh Randy menjadi hiburan tersendiri baginya.

Randy berhenti. Ternyata bergerak dengan tempo yang cepat dan dalam waktu yang lama cukup menguras tenaganya. Dia akhirnya membalikkan posisi mereka.

Kini Randy duduk di tepi ranjang sedangkan Annisa duduk di atas pahanya dengan dua kemaluan mereka tidak pernah berpisah sama sekali.

Annisa tahu ini gilirannya untuk beraksi. Pertama dia maju mundurkan bokongnya, jadi batang perkasa Randy yang ada di dalam bergerak seperti persneling mobil.

Kenikmatan dirasakan oleh keduanya. Annisa kembali mencium bibir Randy. Mereka berciuman layaknya kekasih hati yang telah lama tidak bertemu. Annisa mendominasi permainan kali ini.

Dia mulai menaik turunkan tubuhnya sehingga kejantanan Randy keluar masuk dengan sangat mudah. Kedua tangan Randy berfungsi menopang dua bokong bulat Annisa guna membantu wanita itu untuk bergerak.

Plokkk...plokkk...plokkk...

Cleppp...cleppp...cleppp...


Bunyi kedua kelamin itu begitu nyaring dibandingkan suasana malam yang hening saat itu.

Hanya beberapa menit Annisa sudah merasa sesuatu akan meledak di dalam inti tubuhnya. Maka dia percepat gerakannya sendiri.

"Aaaccchhh...Randy, iyaahhh...aaahhh..."

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...

"Acchhh...acchhh...aaccchhh...!!!"

Tubuh Annisa menegang kala syaraf dinding-dinding vaginanya berkontraksi untuk bersiap memompa seluruh cairannya keluarga, dan...

Serrr...serrr...serrr...serrr...serrr...

Badai orgasmenya datang dengan dahsyat menggulungnya dalam kenikmatan yang tiada tara. Annisa hanya bisa memeluk Randy erat sambil menggigit bahu pria itu.

"Huhhhh...huhhh...huhhh..." Nafas Annisa tersengal-sengal. Namun kepuasan terpancar dari wajah ayunya yang dipenuhi dengan keringat.

Randy ikutan memeluk Annisa. Mengelus punggungnya yang basah. Dapat ia rasakan detak jantung Annisa yang begitu cepat karena adrenalinnya terpacu barusan.

Sebenarnya dia juga sedang merasakan kenikmatan, tetapi Randy tidak mau egois. Dia memberikan kesempatan Annisa untuk menyelesaikan klimaksnya dulu.

"Annisa," bisik Randy di telinga Annisa. Wanita itu belum beranjak sejak orgasmenya mereda. Annisa masih asik merebahkan kepalanya di bahu Randy yang sebelumnya ia gigit.

"Hmm?!" gumam Annisa. Akhirnya wajah cantik itu terangkat. Merah, kusut, berantakan. Itulah yang tergambar di muka Annisa, tapi Randy tetap menyukainya.

"Kamu cantik," ujar Randy sambil tersenyum. Bukannya terkesan, Annisa malah memukul bahu Randy seraya merengek.

Aduh, mode manjanya keluar, lagi. "Apaan, sih! Orang jelek gini dibilang cantik." Annisa mengangkat bokongnya hingga penyatuan dua kelamin mereka terlepas menyisakan lendir yang begitu kental dan licin jatuh dari lubang senggama Annisa menuju ke kejantanan Randy.

Annisa merangkak di atas ranjang, lalu ambruk memunggungi Randy. Posisinya meringkuk dengan kaki ditekuk ke depan. Rasanya sungguh lelah dan hampir tak dapat bergerak.

Randy menyusulnya. Membaringkan tubuhnya tepat di belakang Annisa. Memeluknya penuh kasih sayang. Annisa memejamkan mata kala itu. Nafasnya mulai tenang.

"Annisa." Randy menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Annisa. Mencium pipinya membuat Annisa akhirnya melirik sekilas.

Dia pikir Randy ingin meminta lagi, karena sebelumnya pria itu sama sekali belum ejakulasi. Tapi ternyata Annisa salah, Randy mengecupnya sekali lagi, dan mengatakan. "Selamat tidur, ya. Makasih buat hadiah terakhirnya."

Hati Annisa seperti mencelos. Dia langsung berbalik ketika Randy hendak pergi dari kamar itu kemudian menahan pergelangan tangannya.

"Randy, tunggu!" ungkap Annisa dengan wajah memohon.

"Jangan tinggalin aku!" lanjutnya. Annisa lalu buru-buru merevisi kata-katanya. "Maksudku, untuk malam ini aja."

Biarlah dia menebalkan mukanya. Annisa hanya berpikir bagaimana caranya menahan Randy untuk tidak pergi meninggalkannya malam ini, termasuk memberikan setiap inci tubuhnya. Dia butuh Randy.

Pria itu pun mengangguk. "Ya udah, sekarang tidur, gih." Annisa kembali pada posisinya dengan Randy memeluknya dari belakang.

Saking takutnya ditinggal, Annisa sampai harus menggenggam punggung tangan Randy yang melingkar di perutnya.

Tangan kiri Randy terulur lurus sebagai bantalan kepala Annisa. Mereka berpelukan dengan tubuh yang sama-sama polos.

"Ran, masih tegang?" tanya Annisa. "Udah agak lemes, kok. Gak papa, kamu tidur aja."

Annisa menggenggam kejantanan pria itu yang masih setengah berdiri. Menjepitnya di antara kedua pahanya. Hal itu secara otomatis membuat ular Randy kembali terbangun dan mengeras lagi.

"Keras lagi, Ran."

"Iya, soalnya kamu jepit, sih."

"Masukin lagi, ya Ran." Itu bukan sebuah perintah untuk Randy, tapi untuk tangannya sendiri.

Benar saja, kini tangan Annisa sudah memposisikan kejantanan Randy di celah masuk inti tubuhnya. Randy tinggal mendorongnya dan benda itu otomatis masuk.

Iya, hanya dimasukkan. Lelaki itu tidak menggerakkannya sama sekali. Randy menepuk-nepuk bagian samping paha kanan Annisa. Seperti seorang ayah yang sedang menimang-nimang anaknya agar cepat tertidur.

"Ran."

"Hmm?"

"Maaf soal di mall waktu itu. Aku kekanak-kanakan banget, ya? Padahal kamu cuma mau ngomongin soal cincin ini."

Randy tersenyum seraya mengelus perut polos Annisa. "Gak papa. Aku kalo jadi kamu mungkin bakalan ngelakuin hal yang sama, kok. Aku tau kesalahanku gede banget dan gak bisa termaafkan. Untuk itu aku minta maaf untuk yang terakhir kalinya."

Annisa memindahkan tangan Randy yang ada di perutnya ke payudara sebelah kiri. Meremas punggung tangan Randy yang secara otomatis Randy juga meremas benda kenyal itu.

"Sebenernya aku masih pengin terus sama kamu, Ran. Entah berapa kali kamu menghancurkannya, kesempatan itu akan selalu ada. Tapi betapa egoisnya aku kalo nahan karir kamu demi diri aku sendiri," batin Annisa.

Randy mencium tengkuk Annisa seraya meremas payudaranya. Wanita itu pasrah. Apalagi ketika pinggul Randy mulai bergerak maju mundur, dia mulai mendesah dan pikirannya semakin menghilang.

Pelukan Randy semakin erat ketika tempo gerakan semakin cepat. "Emmmhhh...ssshhh...aaaccchh...Rhannn..." desahnya.

Kepala Annisa ditengokkan ke belakang lalu sesaat kemudian mereka berciuman dengan sangat romantis.

Baik keringat maupun saliva mereka sudah bercampur menjadi satu. Mereka melakukannya sampai beberapa menit hingga Annisa merasa hampir mencapai orgasme lagi.

"Aaccchhh...Randyyy..***k kuattt... aaccchhh..."

Sama dengan Annisa, Randy pun sudah berada di ujung tanduk. Namun dia bimbang untuk mencabutnya atau tidak karena dia tidak memakai kondom.

"Aaccchhh...Annisa, aku mau keluar, dimana?"

Annisa tidak menjawab karena pikirannya sedang terfokus kepada ledakan yang sebentar lagi akan terjadi di dalam inti tubuhnya.

"Aaaccchhh...Randyyy, aku nyhampeee...!!!"

Serrr...serrr...serrr...serrr...serrr...

Puncak kenikmatan berhasil diraih oleh Annisa. Tubuhnya mengejang hebat. Randy yang mendengar lenguhan Annisa menjadi gagal untuk menahan orgasmenya. Apalagi di dalam, kejantanannya seperti diperas habis oleh otot-otot kewanitaan Annisa.

"Aaaarrrggghhh...!!!"

Crottt...crottt...crottt...crottt...

Berkali-kali tembakan, bermiliar-miliar sel sperma ia suntikkan ke dalam rahim Annisa. Randy memegangi kepalanya. Bagaimana ini? Dia keluar di dalam Annisa. Pasti wanita itu akan marah padanya. Tapi seriusan, kontraksi dinding kewanitaan Annisa benar-benar menghancurkannya. Tidak ada vagina sehebat milik Annisa. Bahkan, cassanova seperti dirinya pun sampai takluk di hadapan wanita itu.

Randy sedikit mendorong pinggang Annisa, lalu menarik lepas kejantanannya dari situ. Terlihat cairan putih kental mengalir dari lubang senggama Annisa turun ke pantatnya dan jatuh di atas sprei miliknya.

Setelah berhasil menormalkan detak jantung mereka, Annisa memutar badannya ke arah Randy. Lelaki itu sudah bersiap kena semprot oleh Annisa karena keluar di dalam rahimnya.

Tapi dugaannya salah. Annisa justru memeluk Randy dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Randy. Kakinya mendarat di atas senjata Randy yang mulai melemas. Tampak raut kepuasan dari ekspresi Annisa.

"Annisa."

"Hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Annisa.

"Maaf aku keluar di dalem, gak pake pengaman lagi."

"Gak papa," jawabnya cuek. Annisa semakin mengeratkan pelukannya. Berhubung tidak ada selimut, Annisa berusaha mencari kehangatan dari suhu badan Randy.

Randy menatap Annisa dengan muka bingung. Kenapa Annisa bisa setenang itu?

"Aku lagi aman, kok. Jadi kamu bisa sepuasnya keluar di dalem aku," lanjutnya menjelaskan soal kebingungan Randy.

"Oh," balasnya singkat. Randy membalas pelukan Annisa. Mengecup puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. Dia tidak bisa membayangkan jika malam ini adalah malam terakhirnya bersama Annisa.

Tapi itu jauh lebih baik. Tanpa dirinya, Annisa akan jauh lebih bahagia dan berkembang. Annisa akan melupakan masa lalunya yang kelam. Annisa berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari dirinya.

"Annisa."

"Apalagi?" Annisa sedikit mendongak.

"Aku boleh minta satu permintaan lagi, gak?" tanya Randy dengan wajah serius.

"Apa itu?" Sejenak Randy terdiam, membuat Annisa mengangkat kepalanya lebih tinggi.

"Aku minta, saat aku pergi nanti, kamu harus lebih bahagia. Kamu kembali jadi Annisa yang dulu. Versi Annisa saat sebelum aku dateng ke dalam hidupmu. Annisa yang jutek, yang susah diajak kenalan, yang selalu jaga jarak sama cowok." Randy terkekeh. Dia jadi teringat tentang pertemuan awal dengan Annisa. Dia mengejarnya mati-matian. Benar-benar Annisa yang sangat sulit untuk ditaklukkan.

Annisa bungkam. Dia kembali merebahkan kepalanya di dada Randy. Pandangannya mengarah ke pintu kamar yang tertutup. Tapi pikirannya terbang entah kemana.

"Maaf, Ran. Aku gak bisa menjanjikan itu. Karena aku sendiri juga gak yakin bisa lewati ini semua tanpamu," batin Annisa.

"Ran, jujur aku gak pernah menyesal udah pernah kenal sama kamu. Kita akhiri semuanya malam ini. Aku mau sebuah perpisahan yang gak akan aku lupakan seumur hidup," ungkap Annisa seraya bangkit dan menindih Randy.

"Annisa, aku tau aku udah banyak salah sama kamu. Tapi satu yang harus kamu tau. Aku cinta sama kamu," ungkap Randy tulus.

"Aku juga, cinta sama kamu," balas Annisa.

Tanpa sepatah katapun mereka berdua tahu apa yang mereka inginkan saat itu. Annisa menurunkan badannya, mencium bibir Randy untuk yang kesekian kalinya.

Mereka mengungkapkan segala rasa yang ada di hati mereka malam itu. Mereka melakukannya lagi dan lagi, seperti tiada hari esok. Entah sudah berapa kali Annisa mengalami orgasme. Hingga mereka kelelahan dan tertidur sambil berpelukan.

•••

Additional part

"Udah gak ada barang yang ketinggalan?" tanya Justin saat dia dan Randy sudah berada di bandara.

Justin memang membantu Randy packing untuk terbang ke Rusia. Di sana hanya ada Justin yang melepas kepergian Randy.

"Selalu ada yang ketinggalan di sini tapi gak bisa gue bawa, yaitu cintaku," ujar Randy sambil menyentuh dadanya sok mellow.

Justin tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah Randy yang baginya sangatlah cringe.

"Jijik gue liat lu kek gitu, anjirrr..." balas Justin sambil seolah seperti orang mau muntah.

Randy cuma tersenyum kecil. Sekali lagi dia menoleh ke arah pintu masuk bandara, siapa tahu dia mendapati seseorang yang ia harapkan datang, paling tidak untuk mengucapkan salam perpisahan. Tapi nihil.

Randy menghela nafas kecewa. Mereka pun mencari tempat duduk karena bawaan Randy cukup banyak. Dua koper dan satu tas ransel raksasa. Seperti mau pindahan. Padahal di Rusia sana dia bisa membeli barang-barang perlengkapan, tidak harus membawanya dari Indonesia.

Beberapa kali Randy mencoba menghubungi semua orang, tapi yang ada hanya ucapan di dalam pesan. Icha juga tidak bisa datang karena usia kandungannya sudah memasuki trimester ketiga.

Dan Annisa? Sejak tadi pagi ponselnya tidak bisa dihubungi. Bahkan terakhir dilihat kemarin pukul dua siang.

"Ran, gue ke toilet dulu, ya. Kalo pesawatnya udah mau berangkat, lu langsung naik aja gak usah nungguin gue."

"Ya emang lu mau ikut ke Rusia? Kalo mau langsung pulang juga gak papa. By the way thanks ya buat semuanya. Lu sahabat paling the best sedunia. Gue gak tau gimana cara balesnya."

Justin menepuk pundak Randy. "Gak usah lu pikirin. Ini semua udah takdir kita ketemu. Cukup harumkan nama Bangsa di sana." Justin menepuknya sekali lagi sebelum beranjak.

Setelah kepergian Justin, Randy kembali merenung. Tak bisa dipungkiri melepas semua kenangan yang ada di Bandung tidak semudah yang dipikirkan. Banyak sekali yang terjadi di sini. Semua memori terus membekas sampai kapanpun.

Di sisi lain Justin berjalan ke sebuah sudut di bandara itu, bukan toilet ataupun pintu keluar. Dia sedikit memutar.

"Hayooo...ngapain di sini, ya?!" Sentak Justin kepada seseorang yang diam-diam mengintip di sana.

"Astaghfirullah, kakak! Bikin kaget aja!" kesal orang tersebut yang tak lain adalah Annisa.

"Wkwkwk...lagian kamu bukannya nyamperin kita malah ngintip-ngintip gitu, entar bintitan, loh."

Annisa mencubit pinggang Justin. "Ya, tapi gak usah pake ngagetin gitu bisa, kan?"

"Hehehe...iya-iya, ya udah ngapain di sini, yuk dari tadi udah ditungguin Randy." Justin menarik tangan Annisa tetapi langsung ditahan oleh perempuan itu.

"Eh, jangan, kak! Aku di sini aja."

"Kenapa?" Justin bertanya dengan kening berkerut.

"Aku takut goyah, kak. Aku gak bisa."

"Annisa, kakak yakin kalo kamu yang minta Randy buat tetep tinggal di sini, dia pasti mau. Sekarang gak ada waktu lagi, Randy mau berangkat."

Annisa menatap Justin tajam. "Oh, ya? Dan mengubur cita-cita dan karirnya? Cuma demi aku?" Annisa menggeleng.

"Aku gak bisa egois, kak. Aku tau sekarang pasti sulit, tapi nanti, lama-kelamaan aku pasti bisa kok lupain Randy. Aku cuma butuh waktu."

Justin hanya bisa menghela nafas dalam. Ternyata hubungan percintaan sahabatnya jauh lebih rumit daripada kisah cintanya sendiri.

"Terserah kamu, deh. Kakak cuma gak mau kamu menyesali ini seumur hidup. Kita gak tau Randy bakalan pulang kapan. Mungkin juga dia bakalan punya pacar di sana, nikah, lalu punya anak," ucap Justin.

Sungguh, ucapan Justin sama sekali tidak menghiburnya. Malah semakin membuat Annisa down.

Kini Annisa tidak bisa menahan air matanya untuk keluar. Justin jadi serba salah. Dia sadar kalau sudah salah bicara.

"Annisa, maksud kakak bukan gitu...kakak..."

"Itu bahkan jauh lebih baik, kan? Semua orang pasti juga nanti akhirnya bakalan ketemu sama jodoh mereka. Begitu juga Randy dan aku."

"Annisa, maafin kakak!" Justin menarik tangan Annisa dan memeluknya erat. Di situ tangis Annisa pecah.

"Kakak cuma pengin kamu dapet yang terbaik. Kakak gak mau kamu sedih terus. Kakak tau kamu pengin Randy terus di sini."

Annisa tersenyum di balik tangisnya. "Makasih ya, kak, udah perhatian sama aku. Aku pastiin aku baik-baik aja, kok. Aku juga akan jalani hidupku sendiri dengan siapapun nanti."

•••

Pengumuman keberangkatan terdengar dari pengeras suara bandara. Itu adalah pesawat Randy. Sudah saatnya dia pergi. Dia bangkit dari duduknya, bersiap untuk memasuki pesawat yang akan membawanya jauh dari kota Bandung.

Baru tiga langkah kakinya berjalan tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya.

"Randy!" Randy pun mencari sumber suara. Dia tidak bisa berekspresi lebih kalau itu suara Icha atau Annisa, apalagi Aira. Karena suara itu berasal dari seorang pria.

Seorang lelaki paruh baya berlari cepat sambil tergopoh-gopoh. "Pak Karso?" Randy mengernyitkan dahinya menatap pria yang sedang ngos-ngosan itu.

"Randy, bapak mau kasih tau sesuatu sebelum kamu pergi."

"Apa itu, pak?"

Pak Karso menegakan badannya. Sambil bernafas tersengal-sengal dia mencoba berbicara.

"Randy, asalkan kamu tau. Anak yang ada di dalam kandungan nak Icha itu anak kamu," ungkap pak Karso lugas.

Randy masih diam memahami kata-kata pak Karso. Lelaki paruh baya itu kembali melanjutkan. "Nak Icha bohong waktu bilang anak itu anaknya bapak. Karena bapak dan nak Icha sama sekali gak pernah melakukannya. Dia cuma melakukannya sama orang yang dia cintai, yaitu sama kamu, Randy."

"Sebenernya bapak gak boleh bilang sama kamu, tapi liat nak Icha terus-terusan murung bapak gak tega."

Randy tersenyum. "Saya sudah tau kalo anak di rahim Icha itu anak saya. Tapi saya bisa apa kalo Ichanya sendiri yang gak mau mengakui saya ayah kandung anaknya?"

"Dia pasti punya alasan."

"Iya, saya tau alasannya. Maka dari itu saya titipkan Icha, Aira, sama anak saya yang belum lahir sama bapak, ya. Saya tetep bakalan kasih nafkah mereka meskipun saya gak di sini. Saya gak akan lepas tanggung jawab."

"Ka...kamu serius?" tanya pak Karso.

Randy hanya mengangguk. Setelah itu pengumuman keberangkatan kembali terdengar. "Kalo gitu saya pamit dulu, pak. Assalamualaikum," ucap Randy dibalas salam juga dari pak Karso.

Inilah akhir petualangan kisah Randy menjadi Casanova. Semuanya telah berakhir. Iya berakhir, tapi...

The End
 
Masih setia untuk menu ggu petualangan casanova di negri beruang merqh , atau kah ada kejutan annisa memyusul ke sana
 
Tengkyu updatenya hu.
Ini beneran tamat ni hu gada season berikutnya?
Yahh... annisa...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd