Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Paranada [Nada ke-6]

Status
Please reply by conversation.

BlueTitan

Semprot Addict
Daftar
29 Apr 2018
Post
424
Like diterima
493
Bimabet
Setelah dapat inspirasi, sepertinya akan menulis satu cerita lagi, hehe.

Mohon ijin nambah cerita JKT48 lagi di sf ini ya suhu-suhu sekalian wkwkkw
Semoga terhibur~

Disclaimer :
Cerita ini hanya fiktif belaka, datang dari imajinasi penulis. Kejadian-kejadian dalam cerita ini tidak benar-benar terjadi.

-----

4v5OTItD_o.jpg


---
Index

 
Terakhir diubah:
Intro

Aku memasuki studio yang sudah tidak lagi baru bagiku ini dengan nafas yang terengah selepas Honda Beat biru milikku terparkir. Motor-motor yang kukenali telah berada di halaman tadi, untuk kesekian kalinya aku terlambat untuk latihan. Tanpa bertanya pada Rinto, si penjaga studio yang berjaga, aku langsung membuka pintu ruangan kedap suara dengan papan bertuliskan nomer 1 tertempel disana.

“Hei, sorry, gue t...”

Dan seketika, permainan mereka terhenti.

Tunggu...

Kenapa ada satu orang asing disana?

Aku terdiam, menurunkan tas gitarku perlahan sambil menatap ketiga temanku dengan penuh tanda tanya. Mereka pun nampak saling pandang, seperti melempar giliran pertama untuk menjelaskan sesuatu yang jelas mereka sembunyikan dariku.

“Za, lu boleh pulang,” Jelas Tio, sang vokalis, yang mengambil giliran pertama.

“Loh? Kenapa? Gue kan gitarisnya. Terus itu siapa, heh?” Mataku menunjuk pada seorang laki-laki gondrong yang tidak mau menatap kearahku.

“Dia gitaris baru buat band ini.”

“Baru...?”

Aku terdiam. Perkataan dari Raka, si drummer itu sukses membuatku bungkam dan menelan ludah.

“Hah? Terus... maksud kalian apaan ngajakin gue latihan sek-“

“Biar lo tau. Sebenernya band ini udah enggak butuh gitaris lembek kayak lo. Lo juga telat latihan mulu kan?”

“Hati lo udah enggak di Rock lagi, Za...” Kata Guntur, yang akhirnya membuka mulutnya. “Lo udah enggak kayak dulu.” Lanjutnya.

Tio menghampiriku. Lalu dengan tangan kanannya, menepuk bahuku.

“Reza Wardhana. Maaf, kita enggak bisa mertahanin lo terus. Band ini enggak bakal maju.”

Aku menatap sang frontman itu dengan serius. Dia tidak mengada-ngada. Semua yang terjadi ini bukanlah candaan.

“T-tapi kita bisa kan pake dua gitar? Oke? Enggak apa-apa ini orang masuk ke band ini, tap-“
“Za. Semua udah setuju. Raka, Guntur. Semua sepakat. Lo keluar.”

“Lo enggak bisa mutusin seenaknya gini!”

“Keluar anjing! Kaga punya telinga lu ya?!”

Aku lagi-lagi bungkam, namun masih menatap mata Tio tajam. Tangan ini sudah mengepal erat siap untuk menghantam wajah itu.

“Hhh...” Aku menepis tangannya yang masih menempel di bahuku. “Oke. Gue keluar dari band ini.” Aku jinjing lagi tas gitarku lalu melangkah keluar. Tidak, aku tidak menerima keputusan itu begitu saja. Aku hanya menghormati Tio yang masih aku anggap sebagai sosok pemimpin band ini.

“Tapi... satu kata gue buat kalian,” Aku berhenti tepat didepan pintu, lalu mengangkat lengan kananku tanpa membalik badan. “Bajingan.” Jari tengah itu cukup menyampaikan semua emosiku. Mereka bukan lagi teman yang kukenal. Walau bagaimanapun, alasan konyol mereka itu tidak bisa aku terima.
***​
Dua bulan setelahnya. Sebuah kost di kota Jakarta.

“Za.”

“Kenapa?”

Laki-laki dengan perawakan tinggi kurus itu berdiri di ambang pintu.

“Gue enggak bisa nampung lo terus kayak gini.”

“De, gimana maksud lo?” Aku memposisikan diri duduk di kasur.

“Ya gue gak bisa bayar sewa kosan gue sendirian sedangkan lo cuma bisa nyantai doang. Tiap hari.”

“Gue bisa cari duit kok, bisa. Tung-“

“Lo selalu bilang kayak gitu, bangsat.”

Aku terdiam, tangan kananku mengepal namun masih berada diatas kasur ini.

“Kalau semisal hal itu enggak kejadian. Hidup lo enggak bakal berantakan kayak gini, Za. ****** emang.” Katanya serius, agak sedikit menyerangku. “Maaf. Tapi lo gak bisa disini lagi.” Katanya dengan suara pelan namun tegas.

“De, cuma lo doang temen terakhir gue...”

“Bodo, Za. Malem ini, lo pergi. Gue udah banyak bantu lo, tapi lo tetep enggak berubah.” Perkataan itu menutup komunikasi antar kami berdua di sore ini. Deo menutup pelan pintu itu, pergi keluar entah kemana. Sementara aku, hanya terdiam memandang kearah gitar elektrik milikku yang bersandar di dinding kamar.
***​
6 hari kemudian, sebuah studio musik kecil di Jakarta.

“Za, lu enggak ada niatan balik main musik lagi?”

“...” Aku hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan mas Rangga, si penjaga studio sambil terus merekap pemasukan hari ini.

“Atau gini deh. Pernah kepikiran bikin grup akustik? Kayaknya lagi laku-lakunya.” Katanya memberi saran.

“Enggak mas. Gitar gue udah gue jual kan. Gue udah gak punya band lagi. Dan gue enggak tertarik sama akustik-akustik gitu. Dah, gue udah nyaman jadi penjaga studio kayak gini.”

“Ye, terserah.” Laki-laki berkacamata dan berambut klimis itu lantas bangkit dari bangku. “Tapi, nih. Boleh banget sih lo coba,” dia kembali dengan sebuah selebaran. Mataku yang melirik kertas itu membuat tanganku menghentikan gerakan diatas buku catatan ini.

“Kompetisi Grup Akustik...”

“Gue tau lo suka banget kalau soal akustik-akustikan gitu. Jangan bohong. Pikir-pikir lagi, Za. Gue sebenernya tau potensi lo. Lo itu memang punya bakat di musik. Sayang aja sih.” Dia meletakkan kertas itu tepat disamping buku catatanku. “...Gue mah udah enggak tertarik ikutan kompetisi-kompetisi begituan, ya.” Lanjutnya, sambil mengambil beberapa langkah menuju pintu.

“Udah ya, gue balik dulu. Rekapannya kirim aja ntar ke Whatsapp.” Setelahnya, laki-laki itu pun melangkah keluar studio, dan menutup pintu.

Mataku terpaku pada selebaran itu. Pulpen yang aku pegang tadi aku letakkan, dan tangan ini meraih selebaran itu. Dengan seksama, mata ini menyusur pandang, menangkap informasi-informasi yang tertulis disana.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku tersenyum.

“Sepertinya...dia ada benarnya...”

Seketika, ide datang kedalam benakku. Disana tertulis persyaratan beranggotakan minimal dua orang dan maksimal enam orang. Terhitung masih ada sekitar sebulan lagi waktu yang tersisa sebelum kompetisi ini. Pikiranku menerawang. Walau ada keraguan, namun sepertinya, aku bisa mencobanya.

“Langkah selanjutnya, mencari anggota...”

“... Tapi... siapa saja...?”


Aku menghela nafas, membawaku kembali untuk berpikir. Malam masih panjang. Semoga jawaban itu cepat aku dapatkan.

Bersambung...
 
Ayen : udah sering baca.
Nadila : jarang2 baca.
Awrel : belom pernah baca. (Harapannya nggak pernah baca sebenernya)
Siska : hmm patut di tunggu buat dibaca.
.
.
.
.
Ya boleh lah di tunggu ceritanya. Jadi tandai dulu, semoga bisa jadi sumber inspirasi juga buat nulis, biar gantian. Klak kluk klik kluk~
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd