Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

PARASITE (ver. 46)

ane tunggu updatenya hu, mantab. sex scenes yg detail dan panjang seems unrealistic, mungkin lebih baik kalo short, hot and with real emotion
 
ane tunggu updatenya hu, mantab. sex scenes yg detail dan panjang seems unrealistic, mungkin lebih baik kalo short, hot and with real emotion

Masa ngeseks bentar doang? Impoten kali,,
Ngesexs tu ga cuman genjot" doang anjay..
Justru sex scene bntr itu ga real, dmn" orng ngesex dinikmati bkn buru" :D
Plus lu bilang minta detail, lah gmn mau ngasi detailnya klo lu minta scene short..
 
Terakhir diubah:
kayak baca novel sih ini, ga sabar nunggu SSnya guru les sama muridnya. hahaha *ups
 
Sedih dahye ga bisa di exe pdhl nakal bgt, apa bakal dinaikin umurnya biar bisa ikut?

Beberapa detail nanti terpaksa kudu diubah demi konformitas dengan aturan Semprot 😁

Lihat aja ntar gimana...
Lagi isolasi corona ini jadi sementara blm bisa update karena bahannya lagi ada di tempat lain 😅😅

Semoga semua sabar menanti
 
semoga ada layar orgy antar anggota keluarga Kim, dan adegan lesbian si nyonya rumah dengan Ki-jung wkwkwkwk
 
Ceritanya mantep suhu numpang ngecroot dimari wkwkwkwk
 
Beberapa detail nanti terpaksa kudu diubah demi konformitas dengan aturan Semprot 😁

Lihat aja ntar gimana...
Lagi isolasi corona ini jadi sementara blm bisa update karena bahannya lagi ada di tempat lain 😅😅

Semoga semua sabar menanti
Semangat suhu ditunggu Kijung X Miss park :p
 
Act 3: Rumah di Atas Bukit

Disclaimer
Demi menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku pada Semprot.com, maka sebagian detail dari original screenplay akan diubah, terutama untuk menjaga supaya tidak ada konten underage dalam cerita. Pembaca diharapkan untuk maklum

Annyeonghaseyo, Yeorobun. Kali ini kembali bersamaku, Kim Ki-woo imnida.

Hari semakin malam saat Min-hyuk akhirnya mengantarkan Ki-jung pulang. Aku jujur selalu agak kesal setiap kali Min-hyuk pergi berdua saja dengan Ki-jung. Semua bermula ketika aku tak sengaja mengintip mereka berdua sedang bersetubuh di kamar. Ah, sudahlah, aku tak mau membahas detailnya, hanya saja itu membuatku cukup kesal. Apalagi setelah kutemukan celana dalam milik Ki-jung yang terdapat bercak darah di keranjang cucian. Hhh...

Namun entah bagaimana aku tidak bisa marah pada Min-hyuk. Dia mungkin satu-satunya sahabatku yang paling dekat, meski jalan pertemanan kami tak selalu mulus. Dia juga membantuku supaya bisa tidur dengan teman sekelasku, seperti Lee Seo-yeon dan Sung Ji-an. Jadi, entah kenapa saat melihat Min-hyuk menyetubuhi Ki-jung, yang tertanam pada pikiranku hanyalah bahwa ini balas jasaku kepada Min-hyuk.

Fuck! Kakak macam apa aku ini?? Bukannya membela kehormatan adiknya yang sedang direnggut keperawanannya oleh cowok lain, aku malah hanya melihat saja... Lebih parah lagi, aku pun coli saat melihatnya! Aku membayangkan yang sedang berada di atas Ki-jung itu bukan Min-hyuk, tapi aku!

Kaleng bir kuremas hingga gepeng kemudian kulempar ke arah tong sampah. Mengenai pinggirannya, lalu terpantul jatuh ke tanah. Dengan gontai, aku berjalan ke seberang jalan untuk memungutnya, saat kudengar suara motor Min-hyuk mendekat.

Aku menoleh, Ki-jung tengah mendekap Min-hyuk dengan erat seolah tak mau lepas. Hatiku terasa panas melihatnya, Ki-jung-ku, memberi perhatian kepada cowok lain, sahabatku sendiri. Rasanya seperti besi panas yang ditusukkan ke dalam jantungku. Tahu karakter Gong Yoo sebagai Kim Shin dalam "Goblin", bukan? Mungkin begitulah rasanya. Hanya saja entah kenapa, aku bisa menahan api itu, dan malah melambai dengan ramah.

"Masih bangun?" tanya Min-hyuk
"Ya, begitulah" jawabku, berusaha menahan emosiku.
"Oppa nungguin aku ya?" tanya Ki-jung dengan nada setengah manja, setengah meledekku.
"Kepedean kamu, udah sono mandi ganti baju, muka ampe lepek gitu" kataku dengan nada ketus.
"Biarin, wek! Eh, aku bawa Chimaek lho, Abeoji ama Eomma masih bangun?"
"Masih, sono kasihin ke mereka"
"Arasseo, Oppa ganteng" Ki-jung memeletkan lidahnya padaku.

Ki-jung bergerak dengan riang Sekesal apa pun aku padanya, entah kenapa aku tak bisa marah padanya. Begitu juga kepada Min-hyuk. Padahal aku tentu saja tahu apa yang mereka lakukan. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku pun pelan-pelan mengikuti Ki-jung ke dalam, ketika...

"Ki-woo, ikut sebentar yuk" Min-hyuk memanggilku
"Tapi, oleh-olehmu..."
"Nanti kubelikan khusus buat kamu, sekarang ikut aku bentar, ada yang pengen kuomongin"

Entah kenapa aku menurut saja kepada Min-hyuk, dan langsung naik ke motornya. Min-hyuk membawaku ke sebuah minimarket yang berada di depan kawasan perumahan. Dia menyuruhku 2 botol soju ditambah semua yang enak untuk menemani minum, dia yang bayar tentu saja. Aku pun membeli banyak cemilan berat, toh pakai uang dia ini. Kami berdua duduk di meja berpayung tepat di luar minimarket itu.

"Orang tuamu kayaknya sehat banget" kata Min-hyuk ketika aku menuangkan soju ke gelasnya.
"Iya, sehat banget, tapi nggak punya kerjaan aja"

Aku menenggak sojuku.

"Ki-jung nggak lanjut kuliah?"

Aku terdiam sejenak. Ada sedikit rasa sakit yang menusuk ketika dia menyebut nama Ki-jung.

"Mana bisa," kataku sambil menuang soju, "uangnya saja tidak ada"

Kembali kutenggak sojuku, dan Min-hyuk hanya diam saja melihatnya. Saat kuambil beberapa keripik dan sekerat daging kering, Min-hyuk mengeluarkan hapenya. Dia tampak mencari-cari sesuatu sebelum akhirnya menunjukkannya padaku.

"Kiyopchi?"

Itu adalah foto profil dari akun SNS seorang gadis muda. Kuakui, sekilas melihatnya saja, gadis itu memang cantik, juga imut.

"Muridmu apa temenmu?"
"Muridku, namanya Park Da-hye, dia baru lulus SMA"

Aku terkagum. Bisa juga si Min-hyuk ini dapat murid gadis muda, cantik, imut, baru lulus SMA pula.

"Dia agak lemah dalam Bahasa Inggris, jadi selama ini aku menjadi guru les Bahasa Inggris-nya. Nah, aku mau kamu gantiin aku sebagai guru lesnya"
"Lha? Ngapain?"
"Eh, ini ngajar anak orang kaya, lho. Upahnya gede"

Aku masih belum paham, hanya menuangkan soju ke gelasnya.

"Anaknya baik koq, masalahnya, aku ntar kudu ke Amerika buat pertukaran pelajar"
"Hah? Kamu mau ke Amerika?"
"Iya, sekitaran bulan depan lah. Jadi aku ke sini itu ya sekalian pamitan. Si Da-hye ini kudu dapet nilai bagus dalam ujian CSAT berikutnya, tapi Bahasa Inggris ama Matematika-nya agak lemah. Kalau dia nggak lulus CSAT lagi, susah buat dia bisa kuliah ntar. Jadi ya, aku pengen kamu yang nerusin buat ngajarin dia"
"Bukannya temen kuliah kamu banyak ya, koq minta tolongnya ke aku, yang kuliah aja enggak?"
"Kamu pikir aja sendiri. Temen-temen kuliahku itu orangnya muka mesum semua. Ngeri aku ngebayangin Da-hye dideketin ama cowok-cowok hidung belang itu. Jijik banget"

Min-hyuk meludah ke jalanan untuk menunjukkan rasa jijiknya. Aku diam saja dan mengangguk-angguk.

"Suka ya, kamu ama dia?" tanyaku.

Raut muka Min-hyuk mendadak kaku, seperti seseorang yang baru saja kena tembak tepat di jantung. Tapi kemudian dia pun tertawa.

"Nggak sia-sia kamu jadi sahabatku, Ki-woo. Kamu emang yang paling ngerti aku. Jujur sih, aku serius ama dia. Pengennya sih ntar kalau dia udah beneran kuliah, aku pengen pacarin dia yang bener-bener. Tapi sebelumnya, aku pengen kamu ngejagain dia. Kalau kamu yang jagain, aku tenang lah pokoknya"
"Kalau kamu ama Ki-jung gimana?"

Min-hyuk terdiam sejenak, meminum sojunya sebelum menjawab.

"Aku juga pengennya serius ama Ki-jung, masalahnya ada beberapa hal yang pasti ngehalangin. Ayahku, kamu tahu kan? Dia emang gak keberatan aku temenan ama kamu, atau ama Ki-jung, tapi kalau mau serius, yaah..."

Benar sekali, dan itu sungguh kenyataan yang amat pahit. Sebagai orang berada, Min-hyuk menjadi tidak bebas dalam memilih dengan siapa dia harus bersanding. Dalam hal ini, Ki-jung menjadi korban sesungguhnya, namun aku sudah bisa perkirakan ini semenjak dulu.

Salah satu alasan aku tidak marah Min-hyuk menodai Ki-jung adalah karena aku tahu bahwa mereka berdua saling mencintai, hanya saja... Hhh... Perkara ini bagaikan sebuah cerita dalam K-drama. Pelik sekali.

"Makasih nih ya, kamu udah percaya ama aku," kataku, "cuman, aku kudu pura-pura jadi anak mahasiswa, gitu?"

Min-hyuk menghela napas.

"Gini, Ki-woo, coba kamu mikir deh, kalau ditambah pas kamu ikut wamil, kamu udah 4 kali ikut ujian CSAT. Grammar, Vocabulary, Composition, Conversation; soal Bahasa Inggris kamu puluhan kali lebih baik daripada temen-temen kuliahku, yang tahunya cuman mabuk-mabukan doang."
"Iya juga sih"
"Makanya itu"
"Tapi yakin nih mereka bisa terima? Aku kan bukan mahasiswa"
"Ya pura-pura aja lah, kamu kan tahu gimana mahasiswa itu. Lagian kamu tenang aja, aku bakal rekomendasiin kamu koq. Tambah lagi gini, ibunya... Gimana ya ngomongnya, pemikirannya sederhana. Masih muda, terus mikirnya juga sederhana"
"Bentar, maksudnya sederhana gimana nih?"
"Duh, susah deh ngejelasinnya, pokoknya kamu pasti bakal suka deh, aku aja suka"

Aku manggut-manggut saja.

"Jadi gimana nih? Deal?"
"Ya, boleh deh"
"Nah, gitu dong"

Min-hyuk menepuk-nepuk pundakku.

"Oh ya, Ki-jung punya bakat seni, kan? Katanya jago Photoshop ya, dia?"
"Iya, jago banget."
"Ya udah, suruh aja dia bikin surat pernyataan palsu, pakai Universitas Yonsei aja deh, soalnya aku udah bilang gitu, jadi biar gampang"
"Yakin nih gak bakal apa-apa?"
"Udah deh, kamu percaya ama aku, kan? Gak bakalan apa-apa"

Iya sih, aku memang percaya pada Min-hyuk. Aku lalu meminum sojuku kembali.

"Tapi gimana kalau misal, ini misal nih ya, gimana kalau aku malah suka ama dia, terus pengen aku... You know lah"
"Aku potong nanti tititmu!"

Aku terdiam sambil mengangguk. Tapi kemudian Min-hyuk tertawa terbahak-bahak dan kembali menepuk bahuku.

"Bercanda, Bro. Kamu kayak nggak tahu aku aja deh, kita kan sahabatan udah lama, dan kita juga udah banyak berbagi macem-macem. Kalau kamu emang mau nyicipin dia ya silakan aja, aku ikhlas deh kalau kamu yang nyobain duluan. Jadi nyantai aja kamu, arasseo?"
"Ne, arasseo"
"Ya asal kamu inget aja, aku serius pengin nikahin dia, jadi ya ntar kalau aku udah balik, kamu balikin dia ke aku, arasseo?"

Aku pun tertawa bersama Min-hyuk, dan kami saling bersulang. Kalau perkara ini berhasil, sepertinya masa depan keluargaku akan bisa lebih cerah.

=====================

Besoknya, aku dan Ki-jung pergi ke warnet untuk melakukan pemalsuan, ah annieyo, "mencetak secara mandiri" surat keterangan dari "Universitas Yonsei". Kebetulan Min-hyuk sudah memberikan semua informasi yang harus kuketahui untuk bisa dimasukkan ke dalamnya.

Dengan piawai, Ki-jung menggunakan keahliannya dalam Photoshop untuk membuat segala yang biasa ada dalam sebuah surat keterangan. Untuk ini, kami meniru surat keterangan milik Min-hyuk, yang juga telah disertakan. Aku sungguh takjub melihat bagaimana dia bisa dengan begitu ahli melakukan ini.

"Gila, kalau kamu sehebat ini, kamu bisa masuk jurusan Seni, lho"
"Diam kamu, Oppa" kata Ki-jung sambil mengisap rokoknya.
"Heh! Dilarang merokok di sini!" kata si Ahjumma yang bertugas membersihkan area warnet.
"Oh iya, maaf"

Ki-jung langsung mengambil sebuah bekas ramyeon cup, entah milik siapa, dan mematikan rokoknya di sana, sebelum menyerahkannya pada si Ahjumma. Dalam sekejap, surat keterangan palsu itu jadi, nyaris tak bisa dibedakan dengan surat keterangan yang otentik, lengkap dengan stempel merahnya. Bahkan saat kuperlihatkan pada Abeoji, dia pun tampak takjub dengan hasil karya Ki-jung.

"Kira-kira di Oxford ada nggak ya jurusan Pemalsuan Dokumen?" gumam Abeoji, "kalau ada, pasti Ki-jung sudah menjadi mahasiswa terbaik."

Bahkan setelah keesokan harinya, Abeoji masih takjub dengan hasil karya Ki-jung itu. Kayaknya emang kudu dipigura aja nih, suratnya, hehehe.

"Dia memang hebat, Abeoji," kataku yang sudah berpakaian rapi untuk menuju ke wawancara pekerjaanku.

"Heh, anak kita itu mau wawancara," kata Eomma, "doain dia kek, biar keterima gitu"
"Baiklah, Adeul-a, pokoknya Abeoji bangga kepadamu apa pun yang terjadi," kata Abeoji, "walau kamu wawancara bawa-bawa surat palsu."

Aku tersenyum dan menatap ke arah Abeoji.

"Abeoji, ini nggak kuanggap sebagai surat palsu," kataku, "anggap saja ini seperti panjar, karena tahun depan, aku pasti bakal masuk ke universitas ini."
"Wah, bagus sekali, rupanya kamu sudah punya rencana."
"Yah... Anggep aja aku hanya mencetaknya setahun lebih cepat. Aku pergi dulu ya."

Dengan diiringi tatapan bangga Abeoji dan Eomma, aku pun melangkah dengan ringan menuju sesuatu yang aku yakin akan menjadi pengubah nasibku.

=====================

Sesuai dengan arahan dari Min-hyuk, aku menuju ke rumah Keluarga Park, tempat tinggal Park Da-hye, muridnya, yang berada di wilayah Seongbuk-dong, Seoul. Sekadar informasi saja, Seongbuk-dong, yang terletak di Gunung Namsan, adalah wilayah yang dihuni oleh kaum elite Korea, termasuk para pejabat dan chaebol, walau tak sebanyak di Pyeongchang-dong.

Dan memang begitulah keadaannya. Dengan tak adanya angkutan umum yang mencapai wilayah ini, satu-satunya cara masuk ke perumahan di sini adalah dengan mobil atau taksi, atau Uber, atau kalau lagi pengin olahraga, ya jalan kaki. Masalahnya jarak antara halte bus terdekat jauh, dan wilayah perumahan di atas perbukitan artinya kita benar-benar harus mendaki untuk mencapainya. Dan itulah yang kulakukan...

Sambil menahan lelah, aku agak kebingungan mencari yang mana rumah Keluarga Park. Wajar, karena Park adalah salah satu dari tiga marga paling umum di Korea, setelah Lee dan Kim. Min-hyuk hanya memberikan arahan untuk mencari rumah Tn. Nathan Park, CEO dari sebuah perusahaan IT paling terkenal di Korea Selatan saat ini. Tapi itu saja tak menjamin rumahnya mudah ditemukan. Bayangkan saja, rumah-rumah di sini rata-rata dipagari oleh tembok yang tinggi dan tebal, hanya menyisakan pintu masuk kecil serta pintu untuk garasi. Tinggi pagar temboknya jangan ditanya, orang juga bakal susah buat manjat, karena bisa hampir 2-3 kali tinggi orang normal.

Namun dengan sedikit keberuntungan, aku pun berhasil menemukan rumahnya. Dari luar tak terlihat apa-apa selain tembok tebal warna kelabu, dengan pintu tersembunyi dan interkom untuk berkomunikasi dengan orang di dalam rumah, yang sekaligus berfungsi sebagai bel. Setelah sedikit merapikan penampilan, aku pun menekan tombol interkom.

"Siapa ya?" kata suara wanita dari balik interkom.
"Da-hye Eommonim? Annyeonghaseyo, saya datang atas rekomendasi dari Min-hyuk..."
"Ah, iya. Silakan masuk, kami sudah menunggu."
"Baik"

Suara seperti sirine terdengar bersamaan dengan pintu yang langsung terbuka. Aku tertegun sejenak, mengagumi sistem yang baru pertama kali kulihat ini. Aku pun kemudian melongok ke dalam yang ada di balik pintu yang terlihat berat ini. Awalnya hanya ada tangga beton yang dihiasi oleh jejeran bambu hias di sisinya, saat kususuri hingga ke atas, aku pun tertegun karena ujung tangga itu adalah sebuah lahan yang amat luas, dengan rumah megah yang bagiku terlihat mirip istana, dengan halamannya yang luas, hijau dan dari balik pepohonan hiasnya kita bisa melihat sekelumit pemandangan Gunung Namsan, ditemani oleh suara belasan sprinkler yang menjaga rumputnya tetap hijau. Sejenak aku merasa bahwa saat naik tangga ini aku seperti terbang dan melihat Istana Langit langsung.

"Annyeonghaseyo!" suara yang tadi terdengar di interkom pun memanggilku yang tengah mengagumi rumah ini.

Aku berbalik dan melihat seorang wanita setengah baya mengenakan baju cokelat tengah berada di ambang pintu.

"Annyeonghaseyo, Samonim" sapaku sambil membungkuk hormat.
"Oh, saya bukan nyonya rumahnya. Saya cuman pembantu di sini. Silakan masuk."

Aku membungkuk kembali lalu berjalan menuju ke arahnya.

"Saya Kevin" kataku memperkenalkan diri.
"Saya Moon-gwang, ayok silakan masuk"
"Halamannya bagus banget, ya"
"Di dalam juga bagus, koq. Yuk, masuk"

Moon-gwang kemudian memanduku melewati koridor rumah yang sebagian terbuat dari kaca sehingga orang yang ada dalam rumah pun masih bisa melihat pemandangan di luar, berbeda jauh dari rumah semibasemen-ku yang satu-satunya pemandangan ke luar hanya dari jendela di satu sisi dinding saja, dan sisanya terasa lembap, pengap, serta berjamur.

"Kamu tahu nggak yang namanya Arsitek Namgoong? Dia terkenal banget, lho. Nah, dia itu dulu pernah tinggal di sini. Bahkan dia juga yang merancang rumah ini..."

Wanita itu berhenti di ambang pintu yang menuju ke tangga masuk ke interior rumah, kemudian melompat dan mengambil sebuah anak panah mainan yang tertempel di atasnya. Dari situ aku tahu bahwa pasti di rumah ini ada anak kecil yang doyan main panah-panahan.

Dalam hati aku berpikir bahwa luas rumahku saja tidak ada seperlimanya dari rumah ini. Bagaimana orang bisa tinggal di rumah seluas ini?

"...tapi ya sekarang begini keadaannya, kayak taman bermain anak" katanya sambil mencabut anak panah mainan yang ada di lantai.

"Kamu silakan duduk di sini dulu ya, saya panggilkan Nyonya Park dulu"

Aku mengagumi ruang amat besar tanpa sekat yang menyatukan dapur, sepen, dan ruang makan. Bahkan ruangan ini saja sudah melebihi luas total rumahku. Ada beberapa foto di sana, termasuk kliping dari majalah Times yang dipigura, menunjukkan sang tuan rumah, Nathan Park, sebagai figur yang amat dikenal dalam bidang industri teknologi dan telekomunikasi. Di sebelahnya ada foto keluarga mereka. Nathan Park, Ny. Park, lalu Da-hye, dan adiknya Da-hye yang aku tidak tahu namanya. Da-hye terlihat amat manis dalam foto ini, sekaligus juga amat polos. Namun yang membuatku agak takjub adalah Ny. Park yang masih terlihat cantik dan muda, sekalipun sudah punya anak yang besar-besar.

Ny. Park dan Da-hye... Cocok banget ini ibu dan anak kalau jadi bintang bokep JAV tema Mother and Daughter. Omo, Ki-woo, kamu mikir apaan sih?? Pasti gara-gara udah lama nggak nonton bokep nih.

Tak beberapa lama, Ny. Park pun datang. Wajahnya tampak agak sendu, agak bosan, kalau boleh kubilang, namun masih tetap saja cantik. Sambil memangku anjingnya, dan dengan tutur kata yang anggun berwibawa, Ny. Park hanya sedikit berbasa-basi denganku sebelum akhirnya memeriksa dokumen yang memang sudah kusiapkan di depan meja. Entah kenapa, di tengah kharisma seorang nyonya chaebol, aku tetap saja menangkap kesan seorang wanita yang lugu dan polos padanya.

"Sebenarnya aku nggak gitu peduli sama dokumennya," kata Ny. Park sambil meletakkan dokumenku, "yang penting adalah kamu direkomendasikan oleh Min-hyuk, itu saja"

Aku terdiam memperhatikan.

"Tapi kamu juga harus tahu, bahwa Min-hyuk itu orangnya pintar, juga pandai dalam mengajar. Walau masih belum bisa mengangkat nilai Da-hye, tapi Da-hye suka dengan cara mengajarnya. Aku juga puas dengannya"

Kuperhatikan saat berkata begitu, Ny. Park terasa agak mengawang. Mau tak mau aku pun bertanya dalam hati apa maksud kalimat terakhirnya tadi ya?

"Dia sebenarnya luar biasa, dan aku masih inginnya dia terus di sini buat ngebantuin Da-hye sampai lulus CSAT, tapi dia malah tiba-tiba kuliah ke luar negeri. Sayang banget, padahal aku juga suka ama dia, bakal kangen sekali mungkin"

Pembicaraan kami terhenti sejenak ketika Moon-gwang menyajikan minuman. Ny. Park memberi isyarat padaku dengan matanya, mempersilakanku untuk minum. Senyumnya manis sekali saat dia melakukan itu.

"Mungkin ini agak nggak sopan ya, tapi aku harus bilang soal ini juga. Kalau kamu nggak bisa sama bagusnya seperti Min-hyuk, maka kamu nggak bisa kerja di sini"

Dia mengatakannya sambil tersenyum lebar. Aku tertegun sejenak. Bagaimana bisa sesuatu yang begitu kelam diucapkan dengan sebuah senyuman yang begitu lebar? Juga begitu manis... Oh, andai saja aku bisa mengulum bibir indah itu... *sial, kamu mikir apa sih??*

Tapi kalau dipikir sih sebenarnya wajar saja. Mereka sudah cukup nyaman dengan Min-hyuk, mana mau kalau gantinya lebih jelek. Kalau aku jadi mereka pun pasti aku nggak akan mau.

"Jadi begini, maksudku adalah, aku mau ikut mendampingimu saat pelajaran hari ini. Aku mau ngelihat gimana cara kamu mengajar Da-hye. Is it okay with you?"

Aku mengangguk saja. Permintaan yang agak aneh, tapi wajar saja. Artinya untuk hari ini aku harus memberikan yang terbaik, apalagi dengan Ny. Park yang cantik ini. Tapi aku tak boleh kehilangan konsentrasi. Min-hyuk sudah mewanti-wanti supaya aku harus bersikap "seprofesional dan setegas mungkin" pada hari pertama. Setelah itu, kalau berhasil, segala sesuatu setelahnya bakal "terbuka" begitu saja. Aku masih nggak ngerti maksudnya menekankan pada kata "terbuka", tapi buat kali ini aku nggak boleh hilang konsentrasi sedikit pun.

=====================

Pertemuan pertamaku dengan (calon) muridku, Park Da-hye, tidaklah terlalu istimewa. Dia cantik, mirip seperti versi muda dari ibunya, dengan kulit yang lebih putih, tentu saja, mungkin karena dia jarang keluar dari rumah. Namun yang kuperhatikan pertama kali adalah dia juga mewarisi sifat polos dari ibunya. Sifat yang membuatnya terlihat amat murni dan menggoda, bagai pualam yang belum terjamah sama sekali.

Da-hye tak banyak bicara, dan cenderung menurut saja saat kuajar. Mungkin sekilas ini karena sikapnya yang cenderung pemalu, namun kalau dari pengamatanku, ini karena ada ibunya yang tengah mengamati di sini. Saat kulihat matanya, seperti ada api yang membara, mata seorang pemburu, yang sepertinya tengah menilaiku dari atas ke bawah, ujung kaki ke ujung kepala, walau tanpa kata-kata. Ada sedikit cercah kecurigaan, mungkin karena aku bukanlah Min-hyuk, dan dia ingin tahu seberapa berkualifikasinyakah diriku, setidaknya menurut standarnya.

Setahuku, orang biasa yang diberi pandangan mata itu cenderung akan menjadi grogi, salah tingkah, atau malah sadar tak sadar membalasnya dengan memberikan pandangan mesum, tapi tidak untukku. Aku tak boleh kalah, dan aku harus menjadi patung batu tegar yang tak bisa dia baca atau pengaruhi. Bukan hanya karena ini pesan dari Min-hyuk, tapi juga karena pandangannya ini hampir sama seperti pandangan Ki-jung adikku, hanya saja lebih polos, lebih penasaran, dan lebih terkekang. Aku sudah amat paham bagaimana menghadapi pandangan seperti itu. Soal Ny. Park, dia cenderung tak melakukan apa-apa, jadi tak begitu masalah, walau aku yakin dia menungguku berbuat kesalahan.

Berhubung fokusnya adalah membuat supaya Da-hye bisa lulus CSAT, aku memulainya dengan menyuruhnya mengerjakan soal-soal dari panduan CSAT. Mungkin karena Keluarga Park termasuk kaya, mereka punya banyak buku-buku mengenai kisi-kisi pelajaran Bahasa Inggris untuk CSAT. Aku cukup memilih satu yang sekiranya masih bersih dan belum diutik-utik dan menyuruhnya untuk mengerjakan. Aku juga ingin mengetahui seberapakah kemampuannya dan apa saja yang menjadi kelemahannya dalam Bahasa Inggris, sebelum akhirnya memutuskan harus bagaimana dalam mengajarnya.

Nyaris tak ada pembicaraan, baik dari aku, Da-hye, ataupun Ny. Park sepanjang Da-hye mencoba mengerjakan soalnya. Aku ingin berkonsentrasi penuh soal ini, dan kurasa Ny. Park paham... Atau sebenarnya dia tidak paham dan hanya bersikap seolah dia paham, entahlah, aku saat ini lebih fokus untuk menakar kemampuan Da-hye dalam mengerjakan soal, bukan untuk yang lain. Walau, tak dapat dipungkiri di tengah keheningan ruangan ini aku mulai membayangkan juga yang tidak-tidak.

"Kamu mau ganti jawaban lagi di soal nomor 24?" tanyaku saat kuperhatikan dia mulai kembali membuka halaman yang tadi sudah lewat lalu mencoret jawaban yang tadi sudah dia tulis.

Da-hye tak menjawab, hanya menggaruk-garuk kepalanya saja.

"Kamu sudah mengerjakan semua soal tapi masih kembali lagi ke nomor 24?"
"Iya, Saem" jawab Da-hye pelan.

Tanpa berpikir panjang, aku pun memegang tangan Da-hye. Da-hye tampak agak terkejut, namun dia diam saja, seolah ini sesuatu yang dia nantikan. Justru Ny. Park yang terlihat amat terkejut.

"Kamu kayaknya bimbang, ya? Kenapa?" tanyaku.
"I-Iya, Saem, grogi soalnya kalau dilihatin ama Saem" jawab Da-hye.
"Grogi kenapa?"
"Habisnya Saem ganteng sih. Iya kan, Eommonim?"

Kulihat Ny. Park hanya mengangguk saja, tapi napasnya tampak agak tertahan seolah menantikan sesuatu.

"Kamu harus ngatasin rasa grogi itu biar bisa tenang saat mengerjakan ujian"
"Iya, Saem, tapi boleh nggak aku ciuman ama Saem? Kayaknya itu bakal bikin aku tenang dikit, daripada kebayang-bayang terus, Saem"
"Boleh aja, ibumu gimana?"
"Eommonim, boleh ya?"

Da-hye meminta dengan tatapan mata polosnya pada ibunya. Entah apa yang terjadi, dia mengangguk saja dengan permintaan putrinya itu.

Lalu tanpa basa-basi, Da-hye langsung mencium bibirku. Awalnya hanya sekadar kecupan biasa, tapi kemudian saat bibirnya terbuka, aku pun menyelipkan lidahku masuk ke dalam mulutnya. Walau awalnya agak kaget, namun lidah mungil Da-hye akhirnya mentaut dan mengait lidahku yang bergerilya di dalam mulutnya. Bunyi kecipak pun terdengar cukup jelas, sejenak aku lupa kalau kami tak sendirian di kamar ini.

"Saem, sekarang gantian, jantungku yang dag dig dug nggak karuan"
"Wah, gawat, itu harus diperiksa"
"Tolong diperiksa ya, Saem"
"Tanya dulu sama Eommonim kamu"
"Eommonim, boleh kan?"

Ny. Park tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk agak sembarangan. Kulihat tangannya sudah mulai memegang dadanya sendiri. Da-hye pun segera memegang tanganku dan meletakkannya pada dadanya. Terasa mungil dan pas segenggaman, kenyal, seperti dada gadis yang sedang ranum-ranumnya. Dia menarik napas panjang saat kuremas perlahan dada itu. Bahkan dari balik beha dan kemejanya pun masih bisa kurasakan bentuk menonjol putingnya yang tampaknya masih malu-malu.

"Jadi dadaku kenapa, Saem? issh"
"Belum ketahuan nih, kayaknya harus dipegang langsung gitu"
"Boleh gak kalau Kevin Saem pegang dadaku langsung, Eommonim?"
"I-Iyah, bo-boleh.."

Ny. Park tampaknya tidak fokus, karena kini dia mulai meremas dadanya sendiri, bahkan saat Da-hye membuka kancingnya, Ny. Park pun mengikutinya. Aku tak begitu menggubris apa yang dilakukan oleh Ny. Park karena aku sedang fokus pada Da-hye sekarang. Pelan-pelan, Da-hye memelorotkan kemejanya, lalu mengangkat behanya, dan terlihatlah dada mungil yang telah membuatku gemas, dengan puting pink kemerahan dan malu-malu menyembul.

Aku pun meremas dada Da-hye, sambil jempolku memainkan putingnya. Da-hye pun menarik napas panjang-panjang saat kumainkan dadanya.

"Aaah... Saem... Issh... Geli, Saem"
"Tahan ya, biar Saem ilangin penyakitnya"
"I-Iyah, Saem issh... Kalau udah diilangin aku ntar bisa pinter ya, Saem? Aaah..."
"Iya, pokoknya kamu nurut aja, Saem lagi bikin supaya kamu pinter"
"Iyah... Aaaahh... Saem, punyaku diapain itu??"

Aku tak menjawab, karena sedang sibuk mengulum puting Da-hye yang menggemaskan itu. Da-hye mendesah keenakan, dan tanpa sadar, aku sudah melucuti pakaiannya. Kulitnya yang putih itu tampak bersinar di tengah cahaya matahari yang masuk ke kamarnya.

"Da-hye, kayaknya masalahnya bukan di dada kamu deh"
"Oh? Terus di mana, Saem?"
"Biasanya masalah kayak gini sumbernya di bawah, jadi dari bawah naik ke atas, makanya bikin jantung berdebar-debar"
"Terus ngatasinnya gimana, Saem?"
"Harus diobati langsung dari sumbernya, coba buka celana kamu"

Da-hye diam, tapi dengan polosnya dia membuka celana sekaligus celana dalamnya, memperlihatkan memeknya yang pink dengan rambut tipis dan imut itu. Aku sudah tak mempedulikan bagaimana keadaan Ny. Park. Yang di pikiranku kini hanyalah menyetubuhi Da-hye yang imut ini. Aku membuka retsleting celanaku dan mengeluarkan kontolku yang sudah setengah tegang. Da-hye tampak melotot melihatnya.

"Dipegang dulu, Sayang, biar nyetel dulu ama badan kamu"

Tanpa membantah, tangan mungil Da-hye pun melingkar menggenggam kontolku. Halus sekali, dan mungil, walau masih kaku, namun perlahan-lahan dia bisa juga membuat kontolku ini semakin mengeras.

"Ih, ujungnya basah, Saem" kata Da-hye.
"Nah, ini tandanya obatnya udah siap, Sayang, cepat buka kaki kamu"

Masih dengan polosnya, Da-hye pun membuka kedua kakinya hingga terlihatlah jelas memeknya yang bagaikan garis tipis itu, seolah menunggu untuk diterobos. Aku pun merebahkan Da-hye di ranjangnya, kemudian kuciumi memeknya sambil kujilati dan lidahku menotol-notol masuk.

"Aah... Geli, Saem"
"Ditahan ya, ini biar obatnya semakin ampuh. Kamu mau pinter kan?"
"Iya, Saem, mau"

Setelah kurasa cukup basah dan licin, aku pun menempatkan kontolku yang masih mengeluarkan cairan mazi ke arah pintu memek Da-hye. Aku melihat ke samping dan ternyata Ny. Park sudah telanjang, berdiri tak jauh di dekatku dan Da-hye. Payudaranya masih bagus, walau agak kendor, dan dia pun mendekatiku.

"Maaf, Da-hye, Eommonim duluan ya, yang nyobain punya Saem kamu"
"Tapi, Eommonim..."

Ny. Park langsung mendorongku menjauh dari Da-hye dan menubrukku. Tangannya meremas-remas kontolku dengan ahlinya, sambil bibirnya memagut. Astaga, ganas sekali ini...

=====================

Imajinasiku pun terhenti. Ya, itu tadi hanyalah imajinasi yang muncul sekilas saja di dalam benakku. Aku pun kembali ke realitas dan sadar, bahwa aku masih memegang tangan Da-hye. Baik Da-hye maupun Ny. Park masih bingung menantikan apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Sial banget! Untung aja dari tadi aku memasang wajah datar, jadi nggak kelihatan kalau sedang berimajinasi mesum.

Tanpa mengubah ekspresi mukaku, aku pun mulai bicara untuk memecah situasi ini.

"Andai ini ujian beneran, dan ini adalah soal pertama, maka kamu akan berantakan dari awal"

Aku lalu mengangkat tangan Da-hye sambil jari telunjuk dan jari tengah menekan pada pergelangannya.

"Lihat ini. Detak jantungmu kenceng banget."

Da-hye hanya melihatku dengan pandangan mata gugup, menantikan apa yang akan kulakukan. Aku sendiri tetap melakukan kontak mata dengan Da-hye. Aku berusaha untuk tak memikirkan betapa lembut tangannya saat kupegang. Tidak, jangan hari ini.

"Detak jantung nggak bakal bohong. Begini, ujian itu seperti membuka jalan di hutan. Sekali kamu kehilangan momentum, maka habislah sudah. Aku nggak peduli, jawaban kamu di soal nomor 24 itu apa, bener apa enggak, yang penting kamu harus kuasai dan kalahkan keseluruhan ujianmu. Itu yang penting."

Da-hye masih menatapku, seolah terhipnotis.

"Yang kau butuhkan adalah fokus... Fokus, arasseo?"

Suasana terdiam sejenak, lalu aku pun menurunkan tangan Da-hye dan mengembalikannya pada posisinya. Bagus, penyelamatan yang bagus, Ki-woo. Setidaknya kamu nggak jadi guru mesum yang sange ama muridnya, kayak Kakek Sugiono. Hehehe.

=====================

"Aku cukup puas ama caramu mengajar Da-hye tadi, Kevin, jadi kamu mulai sekarang bisa menjadi gurunya Da-hye" kata Ny. Park begitu kami menyelesaikan sesi tadi.

"Terima kasih, Samonim"
"Si Min-hyuk udah bilang kan, soal jadwal dan pembayarannya?"
"Oh, sudah, Samonim"
"Oke, aku ulangin lagi ya, pembayarannya sebulan sekali, waktu lesnya 3 kali seminggu masing-masing 2 jam. Besarannya aku samain aja ama upahnya Min-hyuk, tapi jelas ada tambahan sedikit sesuai inflasi"
"Wah, terima kasih banyak, Samonim"
"Jangan panggil samonim, jadi berasa tua banget aku. Panggil noona aja ya kalau pas nggak ada orang"
"Oh, baik"

Aku segera menghitung uang yang diberikan oleh Ny. Park pada amplop dengan jari yang tergetar. Ya, bahkan upah yang diberikan ini jauh lebih besar daripada upah melipat kotak pizza tempo hari.

"Kenapa? Kurang ya, jumlahnya?" tanya Ny. Park.
"Oh, tidak. Cukup koq, noona"
"Kalau kurang bilang aja terus terang, nanti aku kasih tambahan. Aku tahu koq pasti susah buat kamu apalagi masih mahasiswa begini"
"Eh, maksudnya?"
"Min-hyuk udah cerita koq, katanya keluarga kamu lagi kesulitan uang juga ya, makanya kamu ambil kerjaan kayak gini"
"Oh, begitu"
"Jadi kalau emang mau tambahan, bilang aja ya, gak usah sungkan"

Ny. Park tersenyum sambil memegang tanganku. Kurasakan tangannya cukup halus, membuatku merinding.

"Terima kasih, Noona"

Aku membungkuk memberi hormat, lalu Moon-gwang pun datang menyambut kami dengan sepiring penuh buah-buahan segara.

"Sini, kuperkenalkan pada Moon-gwang. Ini Kevin, sudah resmi jadi guru bahasa Inggris Da-hye."
"Iya, Samonim, tadi kita sudah kenalan. Pokoknya Kevin saem kalau ada apa-apa langsung bilang aja, ya. Kalau lapar juga bilang, biar saya bikinin makanan"
"Iya, salam kenal"
"Pokoknya kalau ada apa-apa, bilang sama Moon-gwang, soalnya dia tahu rumah ini lebih baik daripada aku" kata Ny. Park.

Baru kami berbincang tiba-tiba sebuah panah mainan meluncur ke tengah-tengah kami. Ny. Park sampai terkejut melihatnya. Aku menoleh ke puncak tangga, dan seorang anak kecil, mungkin usia SD memakai pernak-pernik seperti orang Indian, tampak cengengesan sambil membawa busur panah mainan.

"Da-song, jangan nakal!" teriak Ny. Park.

Tapi bukannya menurut, Da-song malah menembakkan sebuah panah mainan lagi ke arah ibunya sebelum akhirnya kabur. Untunglah panah itu tidak mengenai Ny. Park. Moon-gwang pun segera mengejar Da-song, sehingga sekali lagi meninggalkan kami berdua.

"Kevin saem, maaf banget ya, Da-song emang nakal begitu"
"Oh, nggak apa-apa, namanya juga anak kecil"
"Ada yang mau ditanyain lagi, Saem?"

Aku terdiam sejenak. Omongan mengenai tambahan uang, bagiku yang memang kekurangan uang, jelas amat menggoda. Tapi, masa iya baru dapet bayaran udah minta nambah? Ngelunjak banget itu namanya.

"Sementara sih, enggak, Noona"
"Arasseo, tapi kalau ada perlu apa-apa langsung bilang, ya"
"Ne."

Pembicaraan kami pun terhenti ketika Moon-gwang datang bersama Da-song.

"Da-song, beri salam dulu sama Kevin saem, dia bakal jadi Guru Bahasa Inggris noona kamu"

Tapi Da-song malah langsung melepaskan diri dan lari saja sambil cengengesan, dan Moon-gwang kembali mengejarnya.

"Aduh, pusing nih kadang-kadang kalau pas lagi nakal gitu"
"Tidak apa-apa, yah, anak kecil"
"Dia ini lagi suka ama Indian, soalnya pemandu pramukanya dulu sering main peran Indian, jadi ya beginilah. Sampai-sampai aku beliin dia panah Indian dari Amerika langsung, biar dia seneng"
"Dia gampang tertarik begitu ya?"
"Begitulah, padahal dulu aku masukin pramuka biar dia tenang dan fokus, eh malah begini jadinya"

Aku dan Ny. Park pun tertawa melihat tingkah konyol Da-song yang bermain dengan Moon-gwang.

"Oh ya, les selanjutnya juga jam segini?"
"Iya, jam segini, nggak kurang atau lebih ya"
"Siap, Noona
"Psst! Kalau ada orang panggilnya samonim, jangan noona"

================================
Daftar Istilah dalam Bahasa Korea
================================


  • Kiyopchi = Manis, imut, untuk menyebut manis pada paras seseorang.
  • Adeul = Panggilan orang tua kepada anak laki-lakinya.
  • Chaebol = Taipan, konglomerat, bangsawan bisnis Korea.
  • Samonim = Nyonya.
  • Saem = Guru, juga merupakan kependekan dari kata seonsaengnim.

================================
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd