Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pelangi di Sudut Sumatera

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Setelah mengambil sepeda motor Bonar yang kutitipkan dirumah temanku, aku mampir terlebih dahulu kesebuah wartel dipinggir jalan. Aku berniat untuk menghubungi ibuku. Jika diingat ternyata sudah cukup lama aku tidak menghubungi ibuku. Selain karena kangen mendadak setelah mendengar lagu Ibu dari Iwan Fals dirumah temanku tadi, aku juga ingin membahas terkait masalah bayaran SPP yang deadline nya adalah besok.

Menelpon Jenni? Nanti aja pake telpon koin, itupun kalo inget. Karena aku sudah tau dengan pasti apa yang akan kualami atau dilakukannya padaku nanti. Datang kerumahnya sama saja dengan masuk ke sarang macan, lagipula kondisi wajahku yang sedang berkurang kadar ketampanannya tidak pas untuk di pandang Jenni saat ini.

"haloo.." terdengar suara lembut ibuku diseberang sana. Mendengar suaranya membuatku sejenak terpaku. Selain karena rindu suaranya, aku seketika merasa tidak enak dan tidak tega untuk meminta uang SPP

"Assalamualaikum.." ibu mengucap salam

"waalaikum salam.." aku menjawab salam dengan suara sedikit bergetar

"iya, siapa ini" tanya ibu

"Gilang bu.."

"Gilang siapa ya" tanyanya lagi

"Gilang bu, anak ibu yang paling tampan"

"yang mana ya. Saya gak punya anak namanya.. Siapa tadi? Galang apa Gilang?" ucap ibuku.

"ibu...Gilang bu.." aku merengek

"lho kamu itu cari siapa?" tanya ibuku lagi yang membuatku ragu dan melirik ke layar dalam wartel, memeriksa no telpon yang kutuju siapa tahu aku salah sambung. Padahal aku yakin itu suara ibuku, dan setelah kuperiksa memang benar aku tidak salah menekan nomor.

"iih.. Ibu ini lho, mahal ini bayar wartelnya. Malah becanda aja lho" ucapku cemas jika benar ternyata ibuku telah melupakanku.

"makanya kemana aja kamu. Gak pernah telpon, lama gak pulang. Ibu kan jadi lupa kalo punya anak kamu"

"iya maaf bu. Ibu apa kabar? Bapak Gimana?" tanyaku

"ah.. Ibu lagi bingung ini gara-gara kelakuan Bapakmu itu" keluh ibuku

"bapak kenapa bu?"

"tadi siang naek motor, malah nabrak tukang somay"

"hah? Trus Bapak gimana bu? Gak papa? Bapak dimana sekarang" tanyaku khawatir.

"tuh molor dari tadi, habis makan langsung molor. Apa kamu gak kedengeran dari situ suara ngoroknya yang nyaring?"

"hehe.. Berarti Bapak gak papa ya bu"

"bapakmu ya gak papa. Tapi tukang somaynya lecet-lecet. Minta obatin ke puskes, minta biaya pijet, minta dandanin gerobaknya. Belum lagi terpaksa beli somaynya segerobak. Ahh pusing ibu, mau dikemanain itu somay segerobak" jelas ibuku yang membuatku ikut merasakan kesusahannya. Dan otomatis membuatku tidak tega untuk meminta uang SPP karena pasti hanya akan menambah beban pikirannya.

"uang simpenan ibu jadi kepake untuk nutupin semua itu. Untung gak sampe jual cincin" lanjut ibu

"namanya musibah bu. Yang penting bapak gak papa" ucapku menenangkan ibu

"ya memang gak papa. Tapi ngedenger alasan bapakmu, ibu gak percaya. malah bikin jengkel. Katanya nabrak tukang somay itu gara-gara menghindari tukang jamu yang lewat. Padahal kemungkinan itu karena mata bapakmu aja yang jelalatan ngeliatin tukang jamu gendong. makanya sampe bisa nabrak gitu"

"haha.. Ya gak lah bu" aku coba membela bapak. Ah dasar bapak, sampe segitunya ngeliatin tukang jamu gendong. Pasti dia bukan tukang jamu biasa. Dengan pakaian kebaya ketat dan balutan kain yang membuat pantatnya semakin bahenol, ditambah lagi dengan kilauan bulir keringat di dahi dan leher. Ah anak mu ini maklum padamu pak.

"ya sudah kalo begitu bu, besok Gilang pulang kesana" ucapku yang memutuskan untuk tak jadi membahas masalah uang SPP

"lho memangnya sudah libur? Ujiannya kapan?"

"ujiannya minggu depan bu. Ini mulai minggu tenang. Besok sudah gak belajar lagi, paling cuma....Liat ruangan ujian aja" jelasku yang tidak menceritakan bahwa besok ada hari pembagian kartu ujian.

"oh gitu. Besok pagi atau siang darisana?"

"iya bu, berangkatnya ya sebangunnya bu. Agak siang lah, hehe.. Oh iya bu besok masakin pepes tahu ya"

"iya beres. Hati-hati dijalan. Kebetulan kamu besok pulang, ada yang mau ibu ceritain. Sekalian minta pendapat kamu"

"masalah apa bu?"

"Besok aja ya nunggu kamu udah disini"

"aah.. Ibu bikin penasaran aja kan. Apa sih bu? Gak bisa tidur neh" desakku

"panjang ceritanya, gak cukup kalo cerita di telpon"

"garis besarnya aja bu, intinya lah. Biar gak penasaran"

"hmm intinya aja ya. Lebih rincinya nunggu kamu besok"

"iya bu, siap"

"Warung makan yang kita sewa disini, mau dijual sama yang punya. Berikut tanahnya karna mereka lagi perlu uang"

"jadi?"

"Jadi terpaksa kita harus pindah, gak jualan lagi"

"tapi kan sudah kita sewa setahun bu, masa belum setahun udah mau dijual"

"kalo masalah itu sih, nanti dikembalikan uang sewanya sama mereka. Cuma ibu sayang aja, warung kita udah lancar, rame pelanggannya. Pemasukannya juga lumayan, pikir ibu bisa lah buat biaya kuliah kamu nanti"

"jadi gimana bu?"

"kamu tenang aja, jangan kecil hati. Ibu sama Bapak tetep usahain kamu bisa kuliah"

"kalo itu mah gampang bu. Gak kuliah juga gak papa. Maksud Gilang warung makan ibu gimana kedepannya? Sedangkan pemasukan dari warung itu lumayan untuk perekonomian keluarga kita"

"tetep ibu usahain kamu kuliah. Pokoknya kamu tenang aja, gak usah dipikirin. Kita obrolin besok aja ya nunggu kamu pulang"

"jangan terlalu dipikirin bu. Jangan jadiin beban, Gilang gak harus kuliah kok. Pake ijazah SMA aja masih kepake buat cari kerja"

"benerkan kata ibu, gak cukup ngobrol di telpon. Udahlah besok kita lanjut lagi ya kalo kamu udah pulang"

"iya bu, ibu jangan banyak pikiran ya. salam buat bapak. Assalamualaikum"

"iya. waalaikum salam"

Clekk.. aku menutup gagang telpon yang langsung disambut oleh suara printer yang mencetak struk wartel. Hmm 4.750 mahal amat neh wartel, nelpon bentar doang ampe segitu. Mau naek haji kayaknya yang punya. Sekarang aku harus bagaimana ini, mendengar kesusahan ibuku membuatku tidak mungkin untuk meminta uang SPP. Pinjem mamaknya Bonar, gak enak. Pinjem Bulek Nita, Malu. Beli tuyul seken, udah gak sempet.

Crek crek!! Fiiuuhh... Aku menyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya tinggi-tinggi. Berharap semua bebanku terbang tinggi bersama asap itu. Aku masih berdiri didepan wartel sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Saat sedang melamun aku melihat sebuah mobil sedan hitam yang datang dan berhenti disampingku. Pintu bagian kemudi terbuka dan turunlah seorang wanita usia akhir 30an yang sangat mempesona.

Seperti di film-film, aku memandang kearah kakinya yang turun terlebih dahulu. Lalu memandang naik kearah kaki sampai dadanya. Dan terakhir baru memandang kearah wajahnya. Dari penampilannya menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang berada. Pakaiannya berhijab tapi sangat modis dan terlihat mahal, kulitnya putih bersih, jari lentiknya dihiasi beberapa cincin emas. Aku melihat wajahnya yang putih berkilau minyak. Hmm orang kaya mah beda, mau mukanya berminyak juga tetep keliatan cakep.

Setelah turun dari mobil dan menutup pintunya, dia lalu memandang kearahku. Dipandang oleh wanita dewasa yang mempesona membuatku otomatis mengeluarkan senyum maut andalanku, senyum pepsodent. Setelah menerima senyum mautku, dia mulai bergerak melangkahkan kakinya. Bukan berjalan kearahku, bukan menghampirku, tapi kearah samping wartel yang ternyata sebuah counter hape. Ah sial, mau beli pulsa ternyata.

***

Bonar tampak sedang duduk santai diteras rumahnya saat aku datang. Sorot dari lampu sepeda motor yang menerpa wajahnya membuatnya langsung melihat kedatanganku.
Ciiittt...!! Suara berdecit sepeda motor Bonar yang ku injak dalam.

"wuih di dandanin ya rem nya!?" seru Bonar melihat motornya berhenti dengan mantap

"yoi coy, sebagai bentuk tanggung jawab dan peduli akan keselamatan sahabat baik saya. Saya dandanin neh motor, di bengkel yang montirnya mantan mekanik max biaggi" jawabku sambil turun dari sepeda motor dan duduk disampingnya.

"max biaggi yang pembalap motor grasstrack?"

"itu mah Mat Bagio!"

"hehe sakit gigi ya? Makanya jangan kebiasaan gigitin es batu" ucap Bonar yang melihat bengkak pada pipiku.

"Dikeroyok" sahutku sambil mengusap rahangku yang agak bengkak

"kan udah di bilang berkali-kali, jangan suka ngintip tetangga mandi. Di massa orang kan kamu" Bonar langsung menuduhku yang tidak-tidak

"enak aja, yang ada malah saya yang di intipin mandi" ucapku yang membuat Bonar melengos

"dikeroyok coy.. sama empat orang begundal" ucapku

"begundal siapa? Gimana ceritanya" tanya Bonar antusias. Aku lalu mulai menceritakan kejadian saat aku menghadapi empat orang pendekar golongan hitam dari daerah Mala tadi. Dari awal hingga akhir, kecuali tentang cerita aku dan Mala yang akrab bercengkrama. Bonar sangat serius mendengarkan dan tampak emosi, dia bahkan memberi usulan untuk mencari mereka lagi dan membalasnya. Tak lupa aku juga menceritakan kepada Bonar mengenai warung makan ibu dan tragedi gerobak somay yang disebabkan oleh tukang jamu gendong.

"jadi gimana?" tanya Bonar saat aku menyelesaikan ceritaku dan menutupnya dengan menyeruput gelas kopi Bonar

"yang mana?" tanyaku balik

"anak-anak daerah Mala. Kita cariin aja mereka, samperin ke tempat nongkrongnya"

"gak usahlah, gak perlu. Malah panjang nanti urusannya. Mana kita mau ujian. Sekarang aja saya was-was kalo seandainya mereka lapor polisi atau keluarganya gak terima. Bisa-bisa nasib saya kayak aer di bak mandi, kena ciduk"

"kayaknya gak lah kalo mereka lapor polisi. Kan mereka yang mulai, mereka yang maen keroyok" ucap Bonar

"tetep aja saya khawatir. Makanya malem ini rencananya saya gak tidur dirumah. Buat jaga jaga aja sih takut dicariin polisi atau keluarga mereka"

"yaudah tidur sini aja. Pasti aman lah"

"kalo disini percuma, sama aja bohong. Kalopun dicariin, tau saya gak ada dirumah, mereka pasti nyari kesini"

"iya ya. Jadi mau minep kemana malem ini?" tanya Bonar

"minep rumah Asep aja, anterin ya nanti" sahutku cepat yang tiba-tiba saja terbayang akan bertemu dengan Teh Lia lagi.

"iya ntar saya anterin. Itu pipi bengkak aja, apa ada gigi yang copot?" ucap Bonar

"ngenyut dikit aja, sama gak bisa lebar-lebar buka mulut" ucapku

"kirain ada yang copot giginya. Kalo copot, gigi atas jangan buang keatas"

"hmm malah iklan"

"hehe mau ngenyut juga, kalo cipokan pasti gak kerasa ya ngenyutnya. Besok gimana sekolah?" tanya Bonar lagi

"hah? jadi besok saya gak sekolah, lagian kan udah gak belajar. Besok siang saya mau pulang aja, kangen orangtua" ucapku. Hmm bener juga sih kata Bonar, buktinya tadi waktu sama Mala gak kerasa tuh sakitnya. Hehe..

"Oh gitu, besok kartu ujian kamu saya ambilin aja ya. Wah tadi sore abis saya coy di omelin mamak saya, karena make uang bayaran. Untung masih dikasih lagi. Eh bayaran SPP kamu gimana? katanya tadi gak ke omong mau minta"

"ini uangnya udah ada, besok tolong bayarin ya. Susuknya ambil aja" ucapku sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya diatas meja. Bonar seperti heran melihatnya.

"jual hape" lanjutku singkat setelah melihat rasa heran diwajah Bonar

"hape siapa?"

"hape saya lah. Tadi waktu mau kesini saya mampir dulu ke wartel, disebelah wartel ada toko hape. Sepintas saya dengar ada tante-tante bawa sedan nyari nokia 8250 seken. Tapi disana kosong. Ngedenger itu, saya jadi kepikiran buat jual hape saya untuk bayar SPP. Sisanya lumayan buat bayar biaya dandan gerobak somay" jelasku

"apa gak sayang coy?" tanya Bonar sambil menghitung uang yang kuletakkan diatas meja

"Sayang sih sayang, tapi mau gimana lagi. Urgent ini urusannya. Lagian tante itu cakep banget, ngomongnya lembut lagi. Untung dia gak pake nawar, kalo nawar bisa luluh saya. Gak kuat nolak"

"doyannya kok ama tante-tante, daun muda dong"

"mendingan tante-tante lah, aman. Kalo ama yang muda, bisa kena marah kak seto lho"

"jangan juga muda banget kali! yaudah besok saya bayarin SPP kamu ya. Kartu ujiannya saya ambilin juga sekalian. Ah kampret, susuknya cuma 4 ribu ini!" gerutu Bonar

"lumayan buat beli bensin, itu tadi saya lupa mampir ke pom ngisi bensin"

"sama aja bohong!"

"sori ya coy.." ucap Bonar pelan kemudian

"sori kenapa?"

"gak bisa bantu kamu. Kamu sampe jual hape gitu"

"ya gak papalah, saya juga sadar dirilah udah banyak ngerepotin kamu. Masa' uang SPP juga masih mau ngerepotin kamu"

"kamu tau gak rumah tante itu. Kita cari aja, kita tebus hape kamu. Nanti saya ngomong mamak saya, sapa tau mamak saya ada uang. Kamu pake aja dulu. Atau kita telpon aja dia, pasti nomor kamu masih dipake sama dia" usul Bonar

"udahlah gak usah Nar, malah gak enak saya sama mamak kamu. Udah gak papa, nyantai aja jangan anggep beban buat kamu"

"tetep aja ada ganjelan, karna saya gak bisa bantu kamu"

"namanya hidup coy, pasti ada lika liku. Momentnya aja yang kurang pas. Datengnya barengan"

"yaudah yang sabar aja, pasti nanti ada jalan keluarnya. Mungkin keluarga kamu lagi dikasih cobaan ama Tuhan. sekarang mending kamu sholat dulu aja. Masih bisa kan sholat malem jam segini. Supaya pikiran kamu tenang, abis itu baru kita kerumah Asep" ucap Bonar

"yaudah, makasih ya. Ayo temenin masuk, mau wudhu saya" ajak aku sambil berdiri

"masuk sendiri lah! Biasanya juga nyelonong aja! Saya nyiapain tempat kamu sholat dulu di kamar ya"

"ada sarung bersih Nar?"

"ada, masih baru malahan, belum pernah dipake"

"peci?"

"ya gak ada"

"kiblat nya kearah mana Nar?"

"mana saya tau lah!"

***

"bener ini rumah Asep?" tanya Bonar sambil mematikan mesin motornya

"ho oh"

"kok gelep? Cuma lampu depan yang idup. Kosong kayaknya"

"Assalamualaikum... Sep.. Asep... Maen yuukk.." aku berteriak memanggil.

"jaman udah modern oy, gak perlu teriak-teriak kayak di hutan. Pake hape dong, oiya lupa gak punya hape ya?" ucap Bonar meledek ku lalu mengeluarkan hapenya

"yaudah sms aja" usulku

"telpon aja, pulsa saya banyak. Abis ngisi tadi, lumayan sisaan bayaran SPP saya buat beli voucher"

"tetep ngambil ujung, emak sendiri diakalin" gumamku

"cerewet. Yang penting kalo ditanya mamak saya nanti kamu jangan bilang berapa bayaran sebenernya" sahut Bonar

"males amat, kamu yang nipu kok saya yang harus berbohong"

"halo Sep, Abdi Bonar neh... Kunaon naon sep" Bonar berbicara dengan Asep di telpon

"bade kamana' kok rumah kosong. Ente' aya' orang" Bonar masih melanjutkan dengan bahasa sunda hancurnya

"minep apa minep bahasa sundanya?" bisik Bonar

"bermalam" jawabku

"rencanana kita mau bermalam dirumah kamu sep.... Ho oh ente' naon-naon sih, pengen aja.."

"urang sama Gilang, ente' acan Sep. Ho oh Sep hatur nuhun... Ngapunten ngaririweh nyak Sep" lanjut Bonar lalu mematikan telponnya.

"yuk cabut" ajak Bonar sambil menyalakan motornya

"kemana? Asepnya dimana?" tanyaku

"Asep gak tau kemana"

"lah tadi ngobrol di telpon ngomongin apa?"

"Asep cepet bener sih ngomong sundanya, saya jadi gak ngerti. Ada teteh tetehnya gitu. Tau teteh apa tetek tadi, pokoknya gitulah"

"makanya bahasa indonesia aja tadi, mau sok bahasa sunda segala. Ngerti juga gak! Berarti ngobrol panjang lebar tadi itu gak nyambung?" gerutuku

"intinya Asep gak ada, udah itu aja. Yang laen mah ya gak perlu. Udah cepet naek! Tinggal neh!" ancam Bonar

"ah bleguk sia' Nar" ucapku sambil naik ke boncengan

"kanjut!" sahut Bonar.

"cari makan dulu Nar, laper" ucapku pada Bonar dari belakang boncengan

"oke, mau makan apa? Mie tek tek deket pom bensin ya"

"yang kerenan dikit Nar, sate kambing ama tongseng aja. Mumpung banyak duit neh" sahutku

"oke, sate kabita aja ya. Mantep itu" usul Bonar

"berangkatin" sahutku

Kira-kira perjalanan sepeminuman teh, akhirnya kami sampai disebuah warung sate kambing kabita. Sebuah warung sate dekat taman yang terkenal enak dan selalu ramai pengunjung. Seperti malam ini, kami melihat beberapa pengunjung yang sudah hampir memenuhi semua meja.

"Mal, kambing sepuluh, sama sop buntut ya" ucap Bonar sambil menepuk pundak si Jamal yang sedang sibuk mengipas sate. Sok akrab biar dikasih banyak sop buntutnya.

"kambing lima, ayam lima. Sama tongseng satu Mal" ucapku sambil menepuk pantatnya. Lebih sok akrab biar tongsengnya enggak banyakan kol daripada dagingnya.

"jodoh emang gak kemana..." bisik Bonar dengan senyum mesum saat aku duduk disampingnya. Aku lalu melihat kedepan kearah pandangan matanya. Tampak dimeja seberang depan, duduk seorang cewek yang tempo hari dikirimi surat cinta oleh Bonar, Fitri.

"yoi coy, jodoh emang gak kemana. Gak jauh-jauh duduknya hahaha" ucapku saat mengetahui ternyata Fitri duduk berdua dengan seorang cowok yang sebaya dengannya. Dari gelagat dan gerak geriknya, sepertinya mereka berpacaran.

"kampret! Pantesan surat saya gak dibales! Ah mending makan mie tek tek aja tadi deket pom" gerutu nya

"haha sabar coy sabar.. Cinta tidak harus memiliki. Melihat si dia bahagia dengan yang lain adalah salah satu bentuk bukti cinta kamu kepadanya hahaha" aku meledek Bonar yang sebal melihat kemesraan antara Fitri dan pacarnya. Sepertinya Fitri belum menyadari keberadaan kami.

"kok malah mau sama cowok kayak gitu. Apa coba kurangnya saya dibanding cowok itu"

"banyak! Haha"

"woy Mal! Lama amat sih ngipasnya? Bisa gak!? Lelet bener!" Bonar berteriak melampiaskan kekesalannya kepada Jamal. Membuatnya menjadi pusat perhatian seisi warung, termasuk Fitri dan pacarnya. Bonar lalu menghampiri Jamal dan memeriksa pekerjaannya.

"nah ini balik Mal, gosong nanti. Yang itu udah mateng tuh! Cepet angkat! Awas jadi areng!“ Bonar mengomentari Jamal

"udah coy duduk sini aja, sabar. Sori ya Mal, Bonar ini kalo laper suka gampang kesurupan" sahutku sambil tersenyum pada Fitri yang melihatku. Cowoknya? Melihatku tak senang. Mungkin dikiranya aku tebar pesona dengan pacarnya. Bodo' amat.

"korek korek Mal, ada korek gak" tanya Bonar sambil menyelipkan sebatang rokok dibibirnya.

"ada. Waduh dimana ya" ucap Jamal sambil celingukan mencari koreknya

"ah kelamaan, ini aja neh" ucap Bonar menunjuk bara arang didepannya. Bonar lalu menyalakan rokoknya dengan bara arang yang dijepit dengan gunting dan disodorkan oleh Jamal. Mungkin biar serem didepan cowoknya Fitri.

"jangan lama-lama Mal, apa perlu saya pinjemin kipas sakti istrinya Gu Mo Ong siluman kerbau!" ucap Bonar sambil kembali duduk disampingku.

Sambil menunggu pesanan kami datang, aku dan Bonar beberapa kali mencuri pandang kearah Fitri dan pacarnya. Tampak Fitri yang kikuk dan serba salah kami perhatikan, sementara pacarnya masih tetap berusaha romantis dengan memegang tangan dan sesekali membelai rambut Fitri. Seseolah memamerkannya kepada kami, Sesuatu yang membuat Fitri risih dan emosi Bonar.

"selamat malam bapak ibu mas mas dan mbak mbak, mohon maaf jika kehadiran" ucapan salam pembuka dari seorang pengamen yang baru saja masuk. Pengamen tersebut adalah salah satu rekan kami mengamen. Nama aslinya aku tidak tau, tapi dia biasa dipanggil Ableh. Ucapan salam pembuka itu tidak selesai karena langsung di potong Bonar.

"Bleh Bleh, request lagu gua Bleh" ucap Bonar

"lagu apa coy" tanya si Ableh

"ingin kubunuh pacarmu!" ucap Bonar mantab

"cemburu Bleh, cemburu.. DEWA 19" sahutku

"langsung reff aja Bleh" ucap Bonar ketika Ableh mulai memetikkan intro dari gitarnya. Dengan cekatan jari jemari Ableh mulai memetik gitar, Ableh membawakan lagu itu dengan penuh penghayatan. Tapi penghayatan Ableh masih kalah jauh dengan Bonar yang ikut menyanyi dengan suara sembernya. Bahkan sampai menepuk-nepuk dada dan memejamkan mata saking menghayatinya. Sementara aku hanya cengengesan melihat tingkahnya dan sesekali melihat kearah Fitri dan pacarnya. Fitri tampak makin kikuk, sementara pacarnya menampakkan raut wajah tak suka. Mungkin menyadari bahwa lagu itu di request bonar untuk Fitri.

Selesai lagu tersebut, Cak Eman si pemilik warung membisiki sesuatu ke Ableh sambil memberikan selembar uang lima ribuan. Ableh lalu pergi meninggalkan warung tersebut setelah menyapa kami dengan gerakan alisnya. Sementara itu Cak Eman langsung menghampiriku dan berbisik,

"minta tolong ya, gak enak sama pengunjung laen. Takut keganggu. Nanti gak mau dateng lagi kesini" ucap Cak Eman

"iya Cak, maaf ya Cak" jawabku tak enak. Memang benar ucapan Cak Eman, semua tingkah laku kami mungkin saja mengganggu pengunjung lain, sehingga membuat mereka kapok makan disini lagi.

"apaan?" tanya Bonar

"dikasih diskon 50% sama Cak Eman, tapi diem-diem aja jangan tau yang lain" ucapku berbohong

"oh, oke sip"

"si Fitri kalo pake baju sekolah keliatan cakep. Tapi kalo pake baju biasa gitu, biasa aja ya. Gak menarik" ucapku

"enggak ah, sama aja. Tetep cakep" sahut Bonar

"Fitri mah kutilang darat. Kurus tinggi langsing dada rata. Mending Santi, bahenol. Apalagi kalo pake baju biasa. Beh.. Gini bodinya coy, gitar spanyol" ucapku sambil membentuk angka delapan dengan tanganku, berusaha mengalihkan perhatian Bonar dari Fitri dan melupakan emosinya.

"masa sih? Liat dimana?" tanya Bonar mulai antusias

"waktu kerumah Mala. Sore-sore dia nyiramin kembang, pake tengtop warna ijo. Manteb coy, sampe luber-luber" lanjutku

"celananya?" tanya Bonar makin antusias

"gak pake celana!"

"masa iya?"

"pake rok, ketat. Apalagi rambutnya basah abis keramas. Hmm.. Bikin pengen ikutan keramas juga" ucapku. Mendengar cerita hiperbolaku, Bonar tampak seperti sedang berpikir keras. Entah berpikir apa, mungkin berpikir jorok. Aku kemudian melanjutkan doktrin ku kepada Bonar, dengan tujuan dia mau melupakan Fitri dan melupakan emosinya.

Karena terlalu serius obrolan kami, sampai kami tidak menyadari jika Fitri dan pacarnya sudah tidak ada disana. Bonar tampak sedikit kecewa mengetahui bahwa mereka sudah tidak ada disana. Tapi rasa kecewanya langsung hilang begitu melihat kepulan asap dari sop buntut yang dibawakan Jamal.

Selesai makan dan membayar, yang ternyata beneran diskon 50%. Aku dan Bonar keluar dari warung sambil menghisap rokok. Baru saja selangkah keluar warung, kami berdua terkejut beradu pandang dengan seorang wanita yang kebetulan lewat. Saking terkejutnya membuat Bonar ternganga dan rokoknya terjatuh.

"bagus! Begini ya kerjaan kalian! Enak-enak makan disini, merokok sok gagah!" hardiknya

"maak..." hanya kata itu yang keluar dari mulut Bonar

"sudah bisa cari uang kalian, sok sok merokok begitu! Pulang!" ucapnya sambil menghampiri kami. Aku langsung berdiri kebelakang Bonar, berlindung dari amukan mamaknya.

"malu ah mak, diliatin orang. Jangan marah disini" bisik Bonar

"masih punya malu kau rupanya. Makanya ayo pulang, daripada mamak ngamuk disini. Kau juga pulang Gilang! Sudah malam ini" ucapnya. Aku langsung mengangguk cepat.

"Bonar anter Gilang dulu ya mak, kasian dia pulangnya gimana nanti. Mamak pulang duluan aja, nanti Bonar langsung pulanglah mak" Bonar coba bernegosiasi

"tega kau liat mamak pulang jalan kaki. Malah lebih penting kawan kau yang suka mewek karena cewek ini"

"bukan gitu mak, tadi mamak kesini naek apa"

"naek becak!"

"nah pulangnya naek becak lagi lah mak"

"begitu ya! Mamak jauh-jauh naek becak kesini karna disuruh bapak kau beli martabak. Naek becak karna motor kau bawa kelayapan. Harusnya kau yang beliin ini martabak, bukan mamak. Sekarang kau masih nyuruh mamak naek becak lagi? Dasar bodat kau!" oceh mamak Bonar

"udah Nar pulang aja, saya nanti naek becak aja. Cepetan, daripada mamak kamu berubah jadi seiya empat. Kalo diliat Fitri ama cowoknya gimana? Bisa malu kamu" ucapku

"iya ya, bener juga. Yaudah ayo mak pulang" ucap Bonar sambil berjalan kearah motornya

"kau juga pulang! Buang itu rokok!" bentak mamak Bonar kepadaku, membuatku langsung membuang rokok dan mengangguk-ngangguk seperti boneka di dashboard mobil.

Sepeninggal Bonar dan mamaknya, aku lalu berjalan seorang diri. Berjalan dimalam hari tanpa tau arah dan tujuan. Aku hanya berjalan mengikuti kemana langkah kakiku membawa. Sambil kembali memikirkan beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Memikirkan Mala, Memikirkan Jenni, Bulek Nita, Ibu, Bapak, Nokia 8250 ku yang tampan, warung makan ibu dan tidak ketinggalan juga tukang jamu gendong.

Yang penting sekarang adalah besok aku harus pulang. Selain melihat kondisi bapak, aku juga harus membantu ibu mencari jalan keluar untuk warungnya. Mengenai kuliah ku? Aku tidak memikirkannya. Mungkin memang bukan jalanku untuk kuliah, pake jas almamater, demo dipinggir jalan, gondrongin rambut, dikelilingi mahasiswi cantik dan seksi. Mungkin aku harus mengubur semua angan itu dalam-dalam. Karena aku percaya, jalan hidup seseorang tidak bisa ditebak dan dapat berubah kapanpun dan dengan cara apapun. Dengan kepercayaan itulah aku tetap optimis akan janjiku, sebuah janji akan masa depan, sebuah janji yang akan tetap kuperjuangkan.

***
 
Entah sudah berapa batang rokok yang kuhabiskan selama berjalan, aku melihat kotak rokok ku yang hanya menyisakan satu batang. Kunyalakan dan langsung kubuang bungkusnya sembarangan. Semoga bukan karena itu kotaku tidak memenangkan piala adipura. Karena terlalu banyak berpikir, aku baru menyadari jika didepan ku berjalan saat ini, ada seorang wanita yang sedang menuntun sepeda motornya. Aku melihat ban motornya yang ternyata kempes, mungkin bocor terkena paku. Dia tampak kesusahan, pasti karena berat dan melelahkan mendorong motornya. Jarak antara kami yang hanya sekitar 5 meter, membuatku merasa mengenali siapa wanita itu. Dari rambut dan bentuk tubuhnya, aku yakin 70%.

"bu.." aku menyapanya.

"eh Gilang" ucapnya menoleh dan kaget tak menyangka bertemu denganku disini. Dia lalu menghentikan langkahnya.

"motor bu Imel kenapa?" tanyaku sambil mengambil alih stang motornya. Aku harus cekatan, selain mengamalkan ajaran guru PMP ku, aku juga harus cari muka pada bu Imel. Siapa tahu dengan begini, nilai bahasa inggris ku bisa tinggi.

"gak tau, bocor kayaknya kena paku" jawab bu Imel sambil mengibaskan rambutnya seperti bintang iklan shampo.

"emangnya ibu dari mana malem-malem begini?" tanyaku sambil menyetandarkan motornya dan memeriksa ban belakangnya.

"rencananya mau minep dirumah kawan. Tapi ternyata suaminya pulang dari dinas. Gak enak kan jadinya, takut ganggu. Jadi akhirnya ya terpaksa pulang malem begini" jelasnya sambil ikut berjongkok didekatku. Kedua lututnya yang dirapatkan didada membuat daging dadanya tergencet dan menyembul keatas.

"glek! Kena paku neh bu" ucapku lalu mencabut paku yang menancap dan menunjukkannya kepada bu Imel

"harusnya tadi langsung dicabut bu. Kalo digusur begini bisa ancur ban dalemnya. Gak bisa ditambal" lanjutku

"oh begitu? Emang harus langsung dicabut ya?" tanyanya polos

"iya bu, langsung cabut. Bahaya soalnya kalo lama-lama nancep" jawabku. Ah jawaban macam apa itu, ini pasti efek gencetan lutut bu Imel pada dadanya.

"aach kirain gak papa lama-lama nancep" ucapnya sambil bangkit. Saat bangkit dari jongkoknya otomatis membuat belahan dadanya terlihat oleh mataku yang jeli. Momen belahan dada dan ucapannya yang ada sedikit desahan, membuat onderdil bawahku berkedut manja. Kalo ini pasti efek lima tusuk sate kambing tadi.

"jadi gimana ya. Mana gak ada tukang tambal ban" lanjut bu Imel sambil berkecak pinggang dan menoleh kesana kemari. Menyuguhkan sebuah tontonan indah untuk ku yang masih berjongkok dibawah. Rambutnya yang tergerai, leher jenjangnya yang terpampang dan sepasang buah dada yang tampak makin besar jika dilihat dari bawah.

"deket lapangan sana kayaknya ada bu, tapi gak tau masih buka atau gak" ucapku sambil bangkit, takut gak kuat lama-lama ngeliatnya dari bawah.

"kayaknya gak ada pilihan ya. Mau gak mau harus kesana. Dan mau gak mau kamu harus nemenin ibu. Masa' tega ibu gurunya malem-malem begini dorong motor" ucap bu Imel

"hmm kayaknya sih emang gitu bu. Udah jadi hukum alam kalo cowok ganteng itu suka menolong" jawabku lalu mulai bergerak mendorong sepeda motor bu Imel. Situasi yang sepi karena hampir larut malam merupakan hal yang berbahaya untuk seorang wanita berjalan sendirian. Apalagi bu Imel memakai baju tidur model celana panjang yang ditutupi cardigan bagian atasnya. Pakaian model seperti itu kan biasanya tipis. Dan kalo kena sinar lampu maka akan terlihat membayang celana dalamnya, apalagi kalo celana dalamnya warna cerah atau terang.

"bu, ibu jalannya didepan aja. Jangan dibelakang. Kalo dibelakang takut ilang, saya gak tau" ucapku kemudian

"oh iya" jawab bu Imel lalu berjalan kearah depanku. Darisini aku kemudian aku memperhatikan lenggok pantatnya yang bergerak seiring langkahnya. Pantatnya yang bahenol tampak menggoda dibalik celana tidur tipisnya. Aku makin mempertajam mataku mencoba untuk menembus pandang dan mengetahui warna celana dalamnya. Agak gelap, aku menduga warna hitam dan cetakan pinggirnya meyakinkan ku kalo itu celana dalam berenda. Sebuah sorot lampu mobil dari arah belakang membuat pandanganku semakin jelas dan yakin jika celana dalamnya berwarna hitam.

"lapangan depan sana itu kan" tanya bu imel

"lang, tambal bannya lapangan depan itu kan?" bu Imel mengulangi pertanyaannya karena pertanyaan pertama tak kujawab akibat terpukau memelototi bongkahan pantatnya.

"eh iya bu, hehe" jawabku gugup karena ketahuan mataku sedang memandang pantatnya.

"gelep ya, mana sepi lagi" ucapnya yang lalu berjalan disampingku. Entah karena takut atau karena tidak rela pantatnya kupelototi.

"iya bu, maklum aja. Ini kan lingkungan perumahan baru, jadi masih banyak rumah yang kosong. Lagian ini udah jam 11 lewat"

"daerah sini rawan ya?"

"gak tau bu. Tapi liat sepinya sih ya ngeri juga. Memungkinkan banget untuk tindak kejahatan"

"jangan nakutin ibu deh"

"siapa yang nakutin bu. Ibu kan bisa liat sendiri situasi daerah sini sepi. Yang lewat aja jarang daritadi. Makanya saya heran juga ibu berani malem malem gini mau lewat sini"

"ya ibu kan gak tau kalo mau bocor ban motornya. Niatnya sih emang mau kebut tadi kalo lewat sini. Atau nunggu barengan mobil atau motor. Tapi kamu gak takut kan? Kayaknya gak deh ya"

"takutlah bu. Daritadi dalam hati saya istighfar terus" ucapku. Padahal istighfar karena goyangan pantatnya.

"kok kayaknya kamu tenang banget. Gak ada was-was atau gelisahnya"

"saya udah siap-siap bu. Kalo ada orang jahat saya udah tau harus ngapain. Paling minta motor, saya kasih aja kan bukan motor saya. Minta hape, saya gak punya hape. Minta dompet, isinya cuma kertas lirik lagu. Jadi saya aman" jelasku

"loh loh sama aja kamu ngumpanin ibu kalo gitu"

"ya mau gimana lagi bu, mereka pasti lebih siap. Bisa jadi bawa senjata tajam. Ngelawan juga pasti konyol. Mending kasihin aja daripada nyawa kita taruhannya"

"iya sih.. Tapi.. Mudah-mudahan gak ya. Semoga aman-aman aja"

"iya bu, semoga.. " aku tak melanjutkan perkataan ku karena kulihat didepan sana, disebuah pertigaan jalan yang berjarak masih agak jauh, nampak beberapa orang sedang duduk-duduk dan merokok

"aduh, ada orang" ucap bu Imel cemas sambil mendekatkan dirinya padaku

"tetep jalan aja bu. Kayak biasa aja, jangan keliatan takut. Oh iya hapenya matiin bu, tapi jangan keliatan lampunya nyala. Matiin dari dalem kantong aja" aku mengingatkan bu Imel yang langsung dilaksanakannya.

"kalo diminta, kasih aja ya motornya bu. Toh pecah ban juga" ucapku kemudian

"jangan dong... " jawabnya cemas

"daripada nanti ibu diperkosa rame-rame, gimana?" ucapku menakutinya. Berusaha memberikan kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya.

"hah?" bu Imel ternganga

"ibu mau diperkosa rame-rame?" tanyaku lagi

"eh? emm.. Tapi motornya gak diambil?"

"hah? Ya gak tau bu" ucapku yang kaget mendengar perkataannya. Hmm berarti dia mau ya diperkosa rame-rame.

"cewek coy cewek, ada ceweknya.." ucap salah satu dari orang-orang yang berkumpul itu. Jaraknya yang semakin dekat membuat perkataannya terdengar kami. Membuat bu Imel semakin ketakutan dan merapatkan tubuhnya padaku. Dadanya bahkan beberapa kali tersenggol lenganku. Besar dan empuk. Aku melihat keadaan sekitar, situasi sangat sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat membuatku semakin cemas.

"wuih cakep lagi, montok tuh" temannya menyahuti

"deketin coy, deketin" ucap seorang lagi yang semakin membuat bu Imel merapatkan tubuhnya.

Ketika kami sampai dipertigaan itu, aku menghitung ada 6 orang disana. Dan ternyata salah satunya adalah orang yang kukenal. Orang yang pernah bermasalah denganku. Orang yang memberikan luka pada pelipisku, Andi. Melihat keberadaan Andi disana membuatku jadi bimbang. Antara senang karena akan aman atau khawatir jika dia ternyata masih mendendam kepadaku. Aku coba bersikap santai dan tidak menunjukkan rasa khawatir.

"gangbang coy, gangbang"

"rejeki nomplok dingin-dingin gini"

"ampe pagi, ampe pagi deh" begitulah celetukan mereka yang mulai berdiri semua mendekati kami. Sementara itu bu Imel makin merapatkan pegangan tangannya.

"jiah, beneran si kampret! Pantesan kayaknya kenal. Kirain siapa. Mau kemana coy?" tanya Andi yang membuatku langsung lega dan tersenyum. Dari perkataannya menandakan Andi sudah tidak mendendam kepadaku.

"eh si pitak! nyari tambal ban, bocor neh kena paku" ucapku sambil menghentikan langkah. Mendengar perkataan kami membuat teman-teman Andi terdiam heran, begitu juga bu Imel.

"tambal ban sana masih buka gak ya" tanyaku

"masih. 24 jam disana. Kesana aja. Tapi cewek kamu kasian kalo jalan. Tunggu sini aja, nanti kalo udah selesai kamu jemput kesini lagi" jawab Andi yang membuat bu Imel makin merapatkan tubuhnya.

"guru saya neh! Bisa gak di lulusin ujian saya nanti kalo ditinggal. Makanya terpaksa dibela-belain dorong motor begini" sahutku

"oh gitu. Masa' sih? Tapi bisa ngobrol bentar gak. Ada yang mau saya omongin berdua" ucap Andi

"oh oke" jawabku lalu berjalan berdua bersama Andi agak menjauh. Meninggalkan bu Imel yang awalnya keberatan aku tinggal sendirian.

Aku lalu berbicara empat mata dengan Andi, seperti dugaanku kami membahas mengenai perselisihan kami tempo hari. Intinya kami saling meminta maaf dan melupakan semua kejadian yang terjadi antara kami. Mengenai Jenni, Andi sudah menerima dan merelakannya jika aku yang mendapatkannya. Selama mengobrol berdua, aku sambil memperhatikan keberadaan bu Imel yang tampak sangat gelisah, walaupun teman-teman Andi tidak mengganggunya, hanya memandangi mesum dan celetukan-celetukan menggoda biasa.

"Yaudah sana coy. Masih buka kok tambal bannya. Kasian guru kamu kelamaan nunggu. Ati-ati ya" ucap Andi

"oke coy, makasih ya. Yuk semuanya pamit ya, numpang lewat" ucapku berterima kasih dan berpamitan pada mereka. Selain Andi, tak ada yang menyahutiku, pasti karena kecewa tidak jadi mendapatkan yang montok-montok.

Aku dan bu Imel lalu melanjutkan perjalanan kami. Selama perjalanan bu Imel tidak melepaskan pegangan tangannya padaku. Mungkin masih takut dan khawatir. Aku sih senang-senang saja, selain bikin hangat, dadanya pun makin intens menyundul lenganku.

"itu tadi kawan kamu?" tanya bu Imel

"iya bu"

"ngobrolin apa?"

"maaf ya kalo gak sopan bu. Tadi kami ngomongin ibu" ucapku berbohong

"ngomongin masalah apa?"

"intinya mereka gak percaya kalo ibu ini adalah ibu guru saya. Mereka kira pacar atau temen saya"

"trus?"

"ya mereka mau kenal lebih deket dengan ibu malem ini. Bercengkrama gitu maksudnya"

"Bercengkrama gimana maksud kamu"

"ya gitu lah bu, masak gak ngerti. Kalo saya jelasin nanti ibu bilang saya gak sopan"

"trus kamu bilang apa"

"ya saya bilang kalo ibu ini adalah guru saya. Ketemu dijalan, makanya saya tolongin gini"

"hmm untung mereka percaya ya. Tapi kawan-kawan kamu masih muda gitu kok pikirannya udah gitu ya. Kayak orang dewasa aja"

"ya kalo itu mah gak perlu dewasa bu, naluri lelaki namanya. Lelaki normal mana yang gak berpikir gitu? Malem malem gini suasana sepi, dingin, ngeliat cewek cakep seksi pake baju tidur agak tipis. Pasti tertariklah bu"

"hmm berarti kamu.."

"daritadi kali bu. Saya kan normal hehe.."

"nah itu tambal ban nya bu. Udah aman, ibu udah bisa lepasin tangan saya " ucapku kemudian

"eh iya.." ucap bu Imel yang malu karena sadar dari tadi menempel erat padaku.

Akhirnya sampai juga. Aku tidak bisa membayangkan jika harus menuntun motor lebih jauh lagi. Lebih parah lagi jika harus menuntun sampai rumah bu Imel. Tambal ban ini jadi penyelamatku. Sebuah tambal ban kecil dilapangan sepi. Sebuah tambal ban dengan papan tulisan 24 jam dan "bangunin aja kalo tidur".

Aku lalu menyetandarkan sepeda motor bu Imel dan berjalan kearah seorang pria yang sedang duduk.

"Lay nambal ban, kena paku tuh. Tapi kalo gak bisa ditambal ganti aja ban dalemnya" ucapku

"saya juga lagi nambal ban mas. Tukang tambalnya yang itu" jawab pria itu jutek sambil menunjuk tukang tambal ban yang asli. yang tampak sedang sibuk memasang ban sambil sesekali menguap.

"oh iya, maaf maaf bang" ucapku malu yang disambut cekikikan bu Imel yang lewat disampingku dan langsung duduk di sebuah kursi panjang.

"mirip tukang tambal sih tampangnya" gumamku sambil duduk disamping bu Imel yang langsung membuat bu Imel kembali tertawa.

Sekitar lima menit kemudian, motor si tukang tambal palsu telah selesai. Dia lalu membayar dan tanpa memandang kami langsung pergi ngeloyor tancap gas. Mungkin masih kesal. Sementara si tukang tambal asli kulihat membereskan peralatannya dan kemudian memakai jaket dan menyalakan sepeda motornya.

"lho lho bang, mau kemana? Motor saya gimana?" tanya Bu Imel panik melihat tukang tambal akan pergi

"iya Lay, kok gak ditambal" sahutku

"saya mau pulang mbak, udah hampir jam 12. Nanti ada temen saya kesini. Gantian dia yang jaga"

"over shift?" tanyaku

"iya"

"udah kayak satpam aja Lay, pake over shift" gerutuku.

"saya manusia biasa mas, perlu istirahat. Mana mungkin kuat 24 jam full. Oiya, saya orang jawa, bukan batak. Jadi gak usah manggil Lay! Gak semua tukang tambal ban itu orang batak" protesnya yang tanpa berpamitan langsung pergi meninggalkan kami.

"norak lu mas, ngambekan kayak cewek kesenggol toketnya! Saya aja bukan orang jawa, dipanggil mas gak marah. Ya bu ya?" gerutuku. Bu Imel cuma nepok jidat.

Sambil menunggu kehadiran si penambal shift malam, aku dan bu Imel duduk berdua dan mengobrol. Mengenai sekolahan, ujian dan sebagainya.

"ibu emang dari dulu ya cita-cita pengen jadi guru?" tanyaku berbasa-basi

"kalo dari kecil pengennya jadi pramugari. Semenjak SMA pengen jadi guru, makanya kuliah ambil jurusan keguruan"

"kenapa bu pengen jadi guru? Enakan pramugari, bisa jalan-jalan gratis. Pergi kemana-mana, bahkan ampe luar negri"

"lebih seru aja jadi guru, bisa ketemu macem-macem murid. Hari-harinya lebih rame. Sambil mengenang masa sekolah dulu. Makanya suka lucu aja liat kalian kalo nyontek atau kerja sama waktu ulangan. Cara-cara kalian itu ibu sudah hapal semua, hehe. Dulu tukang nyontek, sekarang ngawasin orang nyontek"

"hehe iya ya. ibu betah ngajar di sekolah kita?"

"betah sih, tapi kayaknya gak lama. Ini rahasia ya, mungkin tahun depan ibu pindah sekolah"

"loh kenapa bu?"

"rencananya ibu mau nikah tahun depan. Jadi pindah kerja yang deket dengan suami"

"oh ibu udah punya calon suami ternyata. Kawan kuliah dulu ya bu?" tanyaku

"iya kawan kuliah dulu, satu kampus tapi beda jurusan"

"wah awet juga ya bu, pacaran dari jaman kuliah"

"ya lumayan sih lama juga 6 tahunan. Itu juga putus nyambung, maklum lah pacaran jarak jauh. Jadi suka berantem, hehe"

"berantem tapi kalo udah ketemu kangen-kangenan ya bu"

"iya sih, biasanya jadwal kita ketemu dua minggu sekali. Dia kesini minep satu atau dua malem. Udahnya pergi lagi"

"wah lumayan lah itu bu, semalem dua malem. Puas juga lah melepas rindunya, hahaha"

"tak! Ngomong apa kamu. Sok ngerti" ucap bu Imel menjitak kepalaku.

"ngertilah bu, muka boleh imut tapi wawasan saya luas" ucapku sambil mengusap kepalaku yang di jitak

"hehe maksud kamu... kamu.. "

"iya bu" jawabku mantab padahal tidak tahu apa yang akan dimaksud bu Imel.

"saya juga paham apa yang terjadi antara ibu sama pak Atmo waktu itu" lanjutku

"ehm itu.."

"ibu sama pak Atmo itu dua orang dewasa, jadi pasti sudah tau semua resiko dan konsekuensinya. Pak Atmo punya keluarga, ibu ada calon suami. Apalagi ibu ada rencana mau nikah dan pindah tahun depan. Paling gak ibu harus pergi dengan cara baik dan meninggalkan nama yang baik juga" ucapku panjang lebar, sementara bu Imel hanya diam dan menunduk.

"saya gak tau gimana jalan hidup ibu. Tapi satu yang pasti bu, dan yang masih saya yakini sampe sekarang. Bahwa yang namanya khilaf itu gak ada. Saya ngomong berdasarkan pengalaman pribadi saya. Kita tau itu salah, kita tau itu beresiko, tapi kita tetep jalanin juga, kita kerjain juga. Pastinya kita harus siap juga dong dengan semua resikonya" lanjutku

"ah ngomong apa sih saya ini. Apa karna suasananya yang sepi trus tengah malem ya. Jadi ngelantur gini saya ngomongnya" ucapku untuk menetralisir keadaan dan menghilangkan kecanggungan bu Imel.

Bu Imel lalu bangkit dari duduknya dan berjalan kearah motornya. Dia lalu membuka jok motornya dan mengambil sesuatu disana. Bu Imel lalu duduk kembali disampingku sambil menyalakan sebatang rokok mild. Aku baru tahu jika ternyata bu Imel merokok juga. Pikirannya yang kalut karena ucapanku dan suasana yang mendukung mungkin membuatnya tidak canggung untuk merokok didepanku.

"fiuuuhh.." bu Imel menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi. Sama seperti perokok lain yang berharap beban pikiran bisa terbang tinggi bersama asap rokoknya.

"neh.." bu Imel menawarkan rokoknya padaku. Langsung kusambut dan menyalakannya. Kapan lagi bisa ngerokok bareng sama guru, cewek lagi!

"saya gak tau apa yang udah kamu sampein ke pak Atmo. Tapi sejak kejadian waktu itu saya sama pak Atmo saling jaga jarak dan gak berkomunikasi lagi. Sebenernya gak ada niat untuk maen gila atau selingkuh dengan dia. Tapi diawalin dengan sering curhatnya saya sama dia dan masalah dengan pacar, lama-lama saya ngerasa nyaman sama dia. Yah terjadi deh hubungan itu. Emang bener sih kata kamu kalo khilaf itu gak ada. Saya bener-bener sadar ngelakuinnya"

"emang curhat itu bahaya sih bu. Bisa munculin rasa nyaman. Kalo udah nyaman ya bisa berkembang ke yang iya iya. Hehe" ucapku berusaha untuk tidak terlalu serius

"iya bener itu. Ini salah satu beratnya atau cobaan untuk hubungan jarak jauh"

"yang penting saling percaya bu, hehe"

"hehe.. Saya ini guru kamu lho. Kok malah kamu yang ngasih saya wejangan. Sok pengalaman! Hmm kenapa kamu kok senyum senyum gitu. Mencurigakan mukanya" ucap bu Imel sambil menangkupkan kedua tangannya menutupi dadanya karena tau aku memandangi dadanya yang membusung.

"hehe ah ibu. Saya itu ngerasa kalo ibu udah ngerasa nyaman aja sama saya. Ibu berani ngerokok didepan saya. ibu udah pake saya saya, gak pake ibu lagi ngobrol sama saya. Suasana yang sepi, cuma kita berdua. Ah jangan salahin kalo otak saya jadi berimajinasi hehe" ucapku cengengesan. Bu Imel lalu memandangku lekat tanpa kata. Entah karena rasa nyaman, atau kedutan lembut diselangkanganku yang membuatku berani membalas tatapan matanya.

"kamu.." Bu Imel tidak melanjutkan ucapannya dikarena ada sorot lampu yang menyinari kami. Ternyata si tukang tambal shift malam yang datang.

Sekitar 15 menit proses penggantian ban dalam sepeda motor bu Imel. Bu Imel minta untuk tidak usah ditambal, tapi ganti ban dalem saja. Dengan alasan sudah terlalu malam dan takut kelamaan. Selesai penggantian ban dalam, aku dan bu Imel langsung menuju kerumah kontrakan bu Imel yang berjarak sekitar 10 menit lagi.

"hmm dingin ya" ucap bu Imel dari belakang boncengan. Entah sengaja atau tidak, dadanya sesekali menyundul punggungku. Membuat pusaka ku menggeliat manja.

"kadang-kadang anget" ucapku sambil agak memundurkan punggung ku kebelakang. Membuat dadanya makin sering menyundul punggungku. Bu Imel hanya diam saja dan sepertinya tidak keberatan dengan tindakanku itu.

Melewati sebuah tanah kosong, aku langsung membelokkan sepeda motor kearah sana. Lalu menghentikan motor ditempat yang sepi dan gelap.

"mau ngapain" tanya bu Imel heran

"kencing bu. gak tahan saya" ucapku lalu turun dari sepeda motor

"dirumah aja, bentar lagi sampe. Udah deket kok"

"kelamaan bu, takut kena kencing batu nanti" ucapku ingin berjalan menjauh kearah semak

"Denger-denger disini angker tau. Saya takut" ucap bu Imel menahan tanganku

"bentar aja bu, tunggu sini aja. Masa' iya mau ikut"

"tapi beneran, saya takut. Jangan tinggalin" rengek bu Imel dengan wajah cemas

"trus gimana, masa iya saya kencing disini bu. Enak di ibu, rugi di saya. Emang saya cowok apaan!?"

"gak papa deh disini aja, kan sepi gak ada orang, gak ada yang liat" ucapnya

"hmm iya deh" ucapku langsung membuka resleting celanaku dan mengeluarkan senjata pamungkasku yang sudah setengah menegang akibat sundulan dada bu Imel dalam perjalanan tadi. Aku sengaja seolah tidak canggung mengeluarkannya didepan bu Imel. Sepintas aku melihat bu Imel hanya memandangi pusaka ku.

"waduh, malah tegang gini. Jadi susah neh keluarnya" ucapku sambil mengurut urut batangku, yang malah membuatnya semakin tegang.

"kalo lagi tegang gitu susah ya" tanya bu Imel yang berdiri disamping motor dekatku, masih memandangi batangku.

"iya bu. Gak akan bisa keluar"

"ah kamu sih pake tegang segala"

"Kebawa suasana sih. Jadi gini deh. Ini semua ya gara-gara ibu" ucapku sambil memandangi bu Imel dan mengocok batangku. Sementara bu Imel makin lekat memandangi batangku

Jarak antara kami yang sangat dekat membuat ku semakin bernafsu dan mempercepat kocokanku. Kondisi yang terjadi saat ini adalah aku yang sedang masturbasi sambil menikmati bu Imel sebagai fantasiku. Hal tersebut tampaknya juga disadari oleh bu Imel, yang tetap lekat memandangi batang pusakaku.

"cepetan.." ucap bu Imel dengan suara paraunya

"saya usahain bu. Tapi susah neh"

"jadi gimana?" tanya bu Imel. Sebuah pertanyaan yang menurutku punya sebuah makna didalamnya.

"harus dikeluarin dulu ini" gumamku sambil mempercepat kocokanku.

"keluarin.. " ucap bu Imel ragu

"sperma nya bu. Mau gak mau, biar bisa lemes. Kalo gak gitu malah sakit batang saya" ucapku vulgar.

"haah.." dengusku putus asa dan menghentikan kocokanku

"kenapa" tanya bu Imel

"susah bu.." ucapku

"yaudah coba lagi. Sapa tau bisa. Agak cepet, saya takut"

"mau saya juga cepet bu, tapi mau gimana lagi. Masih kurang, kecuali ibu.. ibu mau.. Bantu saya" ucapku

"bantu gimana?" tanya bu Imel

"bantu tambah rangsangan" ucapku nekat. Gairah mudaku di suasana dan kondisi mendukung seperti ini membuatku menjadi semakin nekad.

"caranya gimana? Yang penting bisa cepet"

"ibu tolong bantu kocokin, tangan saya pegel. Mungkin kalo di kocokin tangan halus ibu, kontol saya bisa keluar cepet" ucapku makin nekad dan vulgar.

Bu Imel hanya diam dan tertegun mendengar ucapanku. Dia tampak berpikir, sementara matanya tetap memandang kearah kontolku yang sudah tegak mengacung. Merasa tidak ada penolakan dan keberatan, aku langsung meraih tangan bu Imel dan mengarahkannya kearah kontolku. Menggenggamkannya dan mengocoknya disana. Setelah agak lama, tangan bu Imel sudah bergerak sendiri. Aku lalu melepaskan bimbingan tanganku dan mulai menikmati kocokan tangan halusnya.

"sshhh.. ahh.. iya bu.. Begitu bu.. ahh enak bu.." desis ku memberinya semangat.

Merasa tak canggung lagi, bu Imel mulai dengan lancar mengocok dan tidak malu-malu lagi. Dari gerakan dan cara menggenggamnya aku menduga bu Imel sudah sering melakukannya. Bu Imel bahkan sampai menggunakan kedua tangannya. Membelai dan mengusap kepala kontolku diiringi dengan elusan di biji pelirku semakin memberikan kenikmatan padaku. Sementara matanya terus lekat memandangi kontolku.

"aahh iyaah bu.. Terus bu.. Tangan ibu bener-bener enak bu.. Halus.. Lembut.. Kontol saya keenakan bu.." aku kembali mendesis keenakan. Aku lalu menggerakkan tanganku mengusap kedua lengannya untuk menambah daya rangsang padaku.

"emh.. masih lama ya.. Tangan saya pegel.." bisik bu Imel

"lumayan lama kayaknya bu, tapi tangan ibu bener-bener enak. Gimana kalo saya pegang tetek ibu? Biar tambah enak bu, biar cepet" ucapku yang tidak dijawab oleh bu Imel. Tidak mengiyakan tapi tidak juga menolak. Melihat reaksinya tersebut membuatku berani dan mulai mengusap kedua bongkahan dadanya. Dada yang besar dan kencang dalam balutan baju tidur yang tipis.

"emhh tetek ibu gede banget bu.. Sering di remes ya bu? Pentilnya juga pasti gede ya bu, sering di isep" ucapku sambil mulai meremasi dadanya. Secara perlahan, sesikit demi sedikit semakin kuat dan keras.

"aahh.. Sakiitt, pelan-pelan" rintih bu Imel karena dadanya kuremas kuat

"tetek ibu mantep sih bu, gemes saya" jawabku.

Secara tiba-tiba dan tanpa kuminta, bu Imel langsung menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok dihadapan ku. Bu Imel langsung membuka mulutnya lebar-lebar dan langsung memasukkan kontolku kedalam mulutnya.

"emmh.. ah.. ck.. ck.. " bu Imel memaju mundurkan kepalanya, menghisap kuat dan memainkan lidahnya didalam. Memberikan kenikmatan tiada tara pada kontolku.

Aku lalu mencengkram pelan rambutnya, sementara tanganku yang lain meremas dan mengacak-acak dadanya.

" clok clok clok... " suara batang kontolku yang masuk dan mentok kedalam mulutnya. Gerakannya semakin cepat dan liar. Bu Imel makin lama makin mempercepat temponya. Tak dihiraukan batang kontolku yang sudah sangat basah karena liurnya, bahkan sampai menetes ke dagu nya.

Bu Imel makin mempercepat gerakannya, membenamkan dalam-dalam kontolku sampai tenggorokannya. Mulutnya kuat menghisap dan menjepit. Seolah memberikan serangan terakhir dan ingin segera mengakhirinya.

"aah.. ah.. Bu udah dulu bu.. Saya gak tahan bu.. " ucapku coba menahan gerakan kepalanya. Bukannya berhenti, mendengar itu bu Imel tidak menghentikannya. Dia tetap melancarkan serangannya tanpa jeda sedikitpun.

" ah ah ah.. Saya keluar bu.. Keluar..." teriakku sambil mencengkram kepalanya dan menancapkan dalam-dalam kontolku.

"heg heg heg" bu Imel tampak kesulitan menerima semburanku didalam mulutnya.

"aahh..." aku lalu melepaskan cengkraman tanganku dan membelai rambutnya. Bu Imel lalu melepaskan kontolku dari dalam mulutnya. Lalu sambil menatap mataku, glek! Bu Imel tampak menelan habis sperma ku di mulutnya. Setelah itu tanpa kuduga, bu Imel membuka kembali mulutnya dan memasukkan kontolku kedalam mulutnya. Melumat dan membersihkan batang kontolku.

"plop! Ahh.." bu Imel melepaskan kontolku yang sudah dibersihkannya.

"ahh.. Manteb bener bu" pujiku

"udahkan? Udah enak? Ayo pulang" ucap bu Imel sambil berdiri dan merapikan bajunya yang kusut karena ulahku tadi.

"iya bu. Makasih ya. Bener-bener manteb bu" ucapku sambil memakai celanaku lagi dan duduk keatas motor.

"dasar!" ucap bu Imel sambil menjewer pelan telingaku dan duduk diboncengan belakang.

"siap? Berangkat kita bu" ucapku

"iyah. Karna ini udah malem, nanti kamu minep rumah saya aja ya" ucap bu Imel sambil memeluk erat pinggangku

"hah? Minep dirumah ibu?"

"iyah, mau gak..." bisik bu Imel dengan nada manja di telingaku.

"mau bu, mau bangeeett" jawabku bersemangat langsung menyalakan motor dan cepat-cepat menuju rumahnya.

***
 
2scene ya...ayoo...kisanak..
jgn sampe iler semakin tenggelam dlm klasemen dan masuk degradasi...sejak tohir megang sahamnya...
 
Makasih updatenya suhu


Untung bgt si gilang..dapat ciuman mala..perawaan boolnya bulek nita..sm sepongan bu imel..tp kasihan jenny di cuekin gilang :galak::galau:
 
Terakhir diubah:
Haduuuhhbb.....beruntungnya si gilang...bisa nikmatin tubuh montoknya amel nihhhh...jadi :tegang:
 
Wow :mantap: sekian lama akhirnya langsung 3 scene.. :tepuktangan::thumbup. Walau Gilang :kentang: dg Mala dan dapat bekasan tono cuman dapat sunhole bulek Nita. :adek: Sepertinya gilang nginap dg bu Imel bekas pak Atmo bakalan puas ngentot nya nih. :bacol: Makasih hu udah update :beer:
 
Terakhir diubah:
Sekali apdet langsung 3 session oi
Warbyazah suhu ni

Makasih telah mengobati kerinduanku pada sosok mala

Makasihbjuga dah diapdet walau yg trakhir:kentang:
:beer::beer:
 
"mbah...Numpang mbah. Maaf mbah, udah ngga tahan. Jangan dibikin ilang ya mbah, dibikin besar dan panjang aja mbah". Ucapku numpang-numpang meminta ijin pada yang punya wilayah untuk buang air kecil.
Scene ini bikin ngakak... Soalnya dulu di kampung ane juga hampir sama persis apa yang di ceritakan gilang.... wong kito galo.

Asiik gilang makin tebar pesona, bu guru imel sudah masuk perangkap nya bisa secelup dua celup nih....Malah di ajak nginep pula...

Makasih suhu RT atas update nya, agak terbayarkan kangen kami setelah menunggu beberapa lama update nya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd