Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
Asik bersambung race ribanon... Yg baru pertama x.baca pasti bingung tokoh2 yg dicerita
 
ohh ternyata si Ai jadinya sama Zul tohh.. kirain jd bini nya Stevan
 
waw, langsung baper baca kisah ini, dari yg senyum2 sendiri pas baca di awal sampai ngeluarin tetesan air mata di sudut mata pas part 3, kebayang sebagai mana rasa sakitnya gilang saat tau kalau wanita yg di tunggu selama 12 tahun ternyata tunangan org yg jd motifator buat gilang dalam bisnis
walau di part 2 udah ada bayangan di part 3 bakal ke buka

aaaaaaaaaaaaaaaaaaa
maafkan saya suhu yg ngelantur ini
komen apa si gw hadeeeeehhhh
 
Bangke....

Benci banget gw baca thread thread macem thread Lo suhu RB.

Benci banget kalo faktanya gw suka sama genre kayak gini...

Rada takut bacanya, soalnya bikin menyayat hati gitu... Pokoknya Lo bangke hu hahaha
 
Non.. cerita lo keren benget. Gw pantengin dari hantaman pertama ampe yang ini. Pro banget deh..
 
penant10.jpg

PENANTI – PART 4

------------------------------

#SARAS – 1

malam_10.jpg

“Kamu gak papa?” pertanyaan Aidan memecahkan keheningan di mobil. Aku mengangguk pelan, memperhatikan jalanan ramai Jakarta malam itu, yang masih asing buatku. Dia menyetir mobilnya dengan pelan, fokus ke jalanan.

“Yang tadi orangnya?” tanya Aidan pelan. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, dan tanpa tendensi.
“Iya” aku menarik napas panjang. Panjang sekali. Aku sudah ingin bicara dengan Gilang dari pertama. Dari pertama aku harusnya bicara. Dari beberapa waktu yang lalu, bukan seperti tadi. Wajahnya pucat sekali, ketika Aidan memperkenalkanku ke dirinya sebagai tunangannya. Gelas wine tadi jatuh begitu saja dan dia langsung menghilang dari pandanganku.

Perlahan, aku mengambil smartphoneku yang ada di dalam tasku. Aku memeriksa notifikasi apa saja yang sudah masuk. Salah satunya pesan dari Ayah.

“Ayah bilang… Nanti jangan langsung pulang, dia mau bicara sama kamu”
“Oke” jawab Aidan dengan tenangnya.

Sedangkan aku tidak bisa tenang. Bayangan kejadian tadi terekam jelas di kepala. Aku menatap kembali ke smartphone, melihat susunan kontak yang ada di media sosial. Nomornya Gilang. Nomor yang baru kudapat setelah sekian lama, 12 tahun lamanya. Aku menatap terus ke nomor tersebut. Tanpa sadar kukulum lidahku sendiri, menunggu entah apa. Tidak ada yang kutunggu.

Di kepalaku semuanya terekam jelas. Kejadian 12 tahun lalu sebelum aku berangkat ke Inggris untuk mulai berkuliah. Janji yang kuucapkan pada Gilang. Janji yang kuucapkan setelah ciuman pertama di dalam hidupku. Masih bisa kurasakan bibirnya walaupun belasan tahun sudah berlalu. Kalau sekarang itu terjadi, mungkin rasa rokok yang akan ada di bibirku, karena kini dia merokok. Tapi dulu, yang ada hanyalah kepolosan kami berdua.

Dan ternyata Gilang masih tetap seperti dulu. Tidak ada yang berubah dari dia. Begitu pula dengan janji yang tiap kata, koma, titik, dan tanda bacanya masih terekam dengan jelas di kepalaku.

Ingatanku masih jelas. Aku juga masih ingat betapa Gilang bersikeras untuk tidak menghubungiku selama aku di Inggris. Dan dia benar-benar membuktikan kata-katanya. Semua orang bilang dia tolol. Tapi walaupun begitu, dia membuktikan bahwa dia bisa melakukannya. Untuk 12 tahun, tidak ada sms. Untuk 12 tahun, tidak ada pesan di media sosial. Untuk 12 tahun, tidak ada email.

Semua kabar tentangnya kudengar dari keluargaku. Semua kabar tentangku, dia dengar dari orang tuanya. Dan orang tuaku sama sekali tidak bercerita sedikitpun cerita tentang Aidan Sjarief.

Dari pertama aku ada di Inggris, Aidan Sjarief sudah mulai mendekatiku. Aku tidak menggubrisnya. Tapi sebagai seseorang yang ambisius dan benar-benar keras kepala, Aidan tidak henti-hentinya mendekatiku. Dengan berbagai cara ia lakukan. Dengan segala macam hal yang mungkin bisa dia lakukan, dia melakukannya.

Literally semua cara.

Jujur, tanpa Aidan, aku tidak bisa menyelesaikan perkuliahan yang berat di Inggris sana. Jujur, tanpa Aidan, aku tidak bisa dengan mudah masuk dalam pergaulan orang-orang di sana. Segala macam koneksi, segala macam bantuan, segala macam kemudahan semua disediakan oleh Aidan tanpa pamrih. Semua dilakukannya dalam senyum. Semua dilakukannya dalam diam.

Dan bukan sekali dua kali, Aidan mendengar tentang keberadaan dan harapan Gilang. Dia sering mendengarnya, dan dia mengerti akan itu. Tidak hanya mengerti, dia memahaminya. Tidak hanya memahami, dia tidak pernah mengeluhkan soal itu.

Semuanya kini sudah terlanjur sampai di sini. Aku melihat cincin di tanganku. Cincin berwarna perak yang melingkar di jari manis tangan kiriku. Cincin pertunangan.

Aku adalah tunangan Aidan Sjarief. Dan aku akan menikah dengannya.

------------------------------

desain11.jpg

“Baru selesai mandi Non?” suara itu mengagetkanku. Aku berkeliaran di ruang makan, tepatnya di depan lemari es. Aku baru saja mengambil air dingin untuk memuaskan dahagaku.
“Iya Mbak” jawabku ke pembantu rumah tanggaku sambil tersenyum.

“Tadi sebelum tidur Bapak titip pesan, katanya besok bangun pagi, sebelum jam sembilan Bapak mau ke kantor Partai..”
“Oke…” aku tersenyum kembali.

Setelah menyelesaikan segala urusan di ruang makan, aku naik ke lantai atas, ke kamarku, menutup pintu dan menguncinya. Aku melepas handuk yang melilit rambutku, sambil berkaca ke cermin, bersiap-siap mengeringkan rambutku. Aku menatap ke sudut ruangan yang itu. Sudut ruangan tempat ciuman pertamaku terjadi.

Ciuman pertama dengan Gilang. Mengingatnya, rasanya hatiku makin kosong. Sekosong tadi, ketika melihat cinta pertamaku pucat, sepucat-pucatnya. Bisa kulihat juga muka kaget teman perempuannya tadi setelah melihat kejadian tadi. Pasti dia tahu segalanya soal aku dan Gilang. Gilang memang begitu. Dia tidak pernah bisa menyembunyikan rasanya kepadaku. Siapapun pasti tahu, bahkan orang yang baru dikenal oleh Gilang pun tahu, kalau dia cuma suka dan sayang pada Saras.

Dari kecil, SD, SMP, SMA, sebelum ada jeda besar selama 12 tahun itu.

Sambil mengeringkan rambutku, ingatanku terbang ke adegan itu.

--

01-110.jpg

“Yakin udah semua?” tanya Gilang.
“Bentar ih…. Jangan ribut mulu, ntar aku malah lupa-lupa…”
“Ntar kalo kelupaan panik kamu di sana”
“Kayak yang gak bisa beli aja di sana” aku menggembungkan pipiku, membuat muka konyol, agar Gilang gemas dan menjitakku atau mencubit pipiku.

“Kamu gak bisa beli Mr. Bobo di sana” ledek Gilang, sambil memegang ‘anak’ kami. Boneka beruang kecil yang sudah belel, sudah ada sedari aku kecil. Waktu aku masih suka main rumah-rumahan sama Gilang, dia selalu berperan sebagai anak kami.

“Loh kok ada di kamu?”
“Hehehe”
“Siniin, aku gak mau dia ketinggalan”
“Lucu amat sih ke Inggris bawa dia”
“Siniin!”

“Gak mau…”
“Gilang nakal!”

“Non… Ini minumnya” mendadak pembantuku masuk, di saat aku lagi rebut-rebutan boneka sama Gilang. Lucu aja. Anak baru lulus SMA, umur bahkan belum 17 pas, lagi rebutan boneka belel sama anak mahasiswa umur 18.

“Taro aja disana Mbak” senyumku yang mencoba bertingkah wajar di depan pembantuku. Pembantu rumah tanggaku menaruh minuman dingin di tempat yang kutunjuk tadi, dan dia senyum mesem-mesem sambil berlalu. Gilang tampak menang. Dia berhasil mempertahankan Mr. Bobo dariku, dan duduk bersandar di dinding kamarku.

Aku menunjukkan muka kesal dan menyusul dirinya, duduk di karpet, di sebelahnya, bersandar ke dinding dan bahunya.

“Ras”
“Apa?”
“Ujan tuh”
“Sono gih hujan-hujanan”
“Biar apa?” tanya Gilang.
“Biar kita dimarahin ayah atau bunda buat terakhir kalinya” tawaku.

“Ntar aja pas kamu balik sini, kita ujan-ujanan lagi” ledek Gilang.
“Aku balik sini gak tau kapan”
“Ya aku tungguin lah?”
“Ngapain nungguin aku? Kalo aku balik bawa pacar bule gimana? Misalnya Shane Filan nya Westlife” aku menjulurkan lidahku ke Gilang.

“Ya kamu putusinlah” tawa Gilang, sambil memangku Mr. Bobo yang tadi dia sembunyikan. Gara-gara kejahilannya, aku harus membuka gembok kombinasi koperku lagi dan memasukkan Mr. Bobo ke dalamnya. Bikin repot saja.

“Terus abis diputusin mau apa?”
“Nikah?”
“Kamu bukan pacar aku yee…” aku menjulurkan lidah ke Gilang.

Hujan makin deras dan bau rumput yang terkena hujan masuk ke dalam ruangan. Aku terdiam dan menatap ke jendela. Aku akan terpisah dengan Gilang, tidak tahu sampai kapan. Entah berapa lama aku akan berada di Inggris. Aku mungkin akan melanjutkan S2 setelah S1. Mungkin habis itu kerja dulu, magang dulu, entahlah.

“Bukan pacar tapi aku nganterin kamu ke mana-mana” senyum Gilang.
“Bukan memang, kamu tukang ojek pribadi”
“Mana ada tukang ojek rumahnya di Pondok Indah”
“Ada, kamu kan”
“Tukang ojeknya boleh gak nikahin penumpangnya?”

Aku tersenyum kecil, menatap mata Gilang dan lantas memegang Mr. Bobo yang ada di tangannya.

“Boleh” jawabku. Gilang tertawa pelan, dia terlihat malu-malu dan mukanya agak memerah. Mungkin aku juga begitu.

“Tapi aku pengen gak ngehubungin kamu pas kamu di Inggris”
“Lagi-lagi soal itu”
“Gak tau kenapa, pengen aja, pasti rasanya lebih deg-degan pas kamu pulang nanti….” lanjut GIlang.
“Gilang, kan gampang, tinggal e-mail, sms, apa susahnya sih?”

“Susah buat aku, emang kita suka sms-an?” tanya Gilang.
“Enggak”
“Kita pernah email-emailan?”
“Enggak”

“Pasti tahan lah, berapa tahunpun…. Anggap aja kayak nungguin kamu pulang dari sekolahan”
“Kalo belasan tahun gimana?”
“Kamu pikir belasan tahun itu lama?” senyum Gilang.
“Lama lho…. Aku kan bakal kangen banget sama kamu…”

“Nanti lewat bokap nyokap kamu aja, atau lewat bokap nyokapku juga bisa” sambung Gilang.
“Oke deh… Gimana papa-nya Mr. Bobo aja ya?” aku menarik Mr. Bobo, mendudukkannya di pangkuanku dan mengelus kepala ‘anak’ kami ini. Gilang menatapku dan dia tak henti-hentinya tersenyum.

“Saras”
“Nn?”

Kami berdua bertatapan dalam diam. Kami saling tersenyum malu-malu. Suara hujan membuat suasana terasa semakin intim. Rasanya seperti cuma ada kami berdua di dunia ini. Cuma Saras dan Gilang. Detik-detik berlalu, dan kamipun tidak bisa melepaskan tatapan ini.

Didorong oleh perasaan yang sangat menggebu-gebu, aku dan Gilang mendekat. Bibir kami berdua bersentuhan. Tidak lama. Sebentar sekali. Satu ciuman yang lembut. Satu ciuman yang manis. Satu ciuman yang cukup untuk membuat seluruh permukaan wajahku terasa memerah. Perasanku seperti terbang ke awang-awang.

“Gilang, suatu hari nanti aku bakal pulang ke Indonesia, kita bakal ketemu lagi, dan kita bakal jadi suami istri. Suami istri seperti zaman kita TK dulu main rumah-rumahan. Zaman aku jadiin boneka beruangku jadi anak kita. Aku janji, Gilang.” aku menatapnya begitu lekat saat aku mengucapkan kalimat itu.

Dia lantas mengangguk. Menutup matanya, menarik napasnya panjang, dan tersenyum ke arahku.

--

bed11.jpg

Rambutku sudah kering dan aku sudah bersiap untuk tidur. Tidur yang tidak kunantikan. Tidur yang akan amat sangat menyiksa. Melihat ekspresi muka Gilang tadi, sesalku bertumpuk hingga sekarang. Kenapa dulu aku tidak langsung memberitahunya? Kenapa ketika dia datang ke rumahku kemarin-kemarin itu aku tidak mengatakan apapun? Kenapa ketika kami jalan berdua di mall setelahnya, aku tidak sanggup bicara apapun?

Sepertinya aku tidak ingin melukainya. Aku tidak ingin membuatnya hancur setelah 12 tahun ini. Tapi tadi, dia sudah luluh lantak sebegitunya. Hancur, berkeping-keping. Itu karena aku tidak memberitahunya.

Kenapa aku terjebak kepada permainan – jangan email jangan nelepon jangan sms jangan apapunnya? Kenapa aku berpikir kalau Gilang sudah tidak sama seperti dulu?

Kenapa seisi Jakarta berubah total, dan hanya Gilang yang tetap sama? Dia tetap sama seperti dulu. Masih dengan tatapan innocentnya, masih dengan harapan-harapannya yang tinggi, masih dengan semua-semua ke-antusiasannya yang seperti anak-anak. Gilang tak berubah. Gilang masih Gilang yang dulu. Dia hanya tambah tua.

Dia masih menungguku. Menungguku yang melukainya. Aku menatap layar smartphoneku dan melempar diriku ke kasurku. Mr. Bobo tergeletak tak tentu arah dan aku meraihnya, menghirup baunya yang apek dan memeluknya.

Aku menatap ke nomer Gilang. Menatapnya lekat-lekat. Aku menelan ludahku. Sekarang jam berapa? Mungkin Gilang belum tidur. Mungkin. Atau mungkin dia sudah tidur. Mungkin.

Gilang.

Selama aku bertemunya setelah aku sampai ke Jakarta, aku tidak bisa menatap matanya dengan lama. Selalu ada perasaan berdosa yang mencekam setiap kali dia tersenyum. Aku tidak bisa menyampaikan kalimat-kalimatku dengan jelas kepadanya. Aku tidak bisa menjelaskan apapun yang mesti kujelaskan.

Aku masih ingat pembicaraanku via telepon dengan Bunda, sebelum aku pulang.

--

773a2d10.jpg

“Gimana dengan Gilang, Saras… Kamu mesti bilang sama dia” aku menelan ludah, melihat ke arah jendela, hujan sedang membasahi pinggiran kota London ini.
“Aku tau Bunda…”
“Ini sudah 12 tahun lamanya, kamu gak bisa diemin dia terus, apalagi dia harus tahu situasi kamu”

“Iya, nanti sesampainya ke Indonesia aku bilang, lusa aku udah naik pesawat kok…”
“Atau mau Bunda sampaikan sekarang ke Gilang?”
“Enggak… Dia nanti gak bakal mau ketemu aku lagi”

“Sudah berkali-kali dibilangin, kasih tahu Gilang, kasih tahu Gilang, sekarang sudah lewat berapa lama? Gak bisa begini terus” sahut ibuku dari Jakarta. Aku duduk di atas kasur, melihat barang-barangku yang sudah tersusun dengan rapi di dalam koper.

“Aku yang bakal bilang, Bunda”
“Saras, kalian sudah dewasa, kalau Bunda bilang, sekarang, Gilang pasti bisa nerima, dan pasti dia masih mau ketemu, masih mau jadi teman kamu… Ini kan sudah lewat berapa tahun?”

“Bunda… Gilang udah ditinggal orang tuanya, terus kalau aku bilang itu sekarang, gimana?”
“Saras, orang tuanya meninggal sudah lama, lagipula Gilang anak yang kuat, dia pasti bisa dengarkan, betul kan?”

“Kalau dia gak mau ketemu aku lagi gimana? Kalau aku dianggap jahat sama Gilang gimana?”
“Makanya kamu bilang sekarang… Jangan biarkan dia seperti itu terus”
“Iya, nanti aku bilang ke Gilang, sesampainya aku di Jakarta… Bilangin ke Eyangnya Gilang, atau ke Gilangnya langsung, untuk datang ke rumah, di hari kedatanganku…”

“Bunda sudah bilang berkali-kali ke kamu…”
“Tolong Saras Bunda… Please.. Biar aku sendiri yang kasih tau dia...” aku memotong omongan ibuku sendiri.

“Hmm… Oke.. Tapi gak bisa begini terus. Kamu harus bilang Gilang cepat atau lambat….”
“Iya”
“Nanti kabari ya kalau sudah mau berangkat lusa…”
“Iya”

Aku menarik napas dan membanting smartphoneku ke kasur. Aku melirik ke arah Mr. Bobo yang masih ada di atas meja. Aku baru akan memasukkannya ke koper menjelang keberangkatan. Hujan, packing, semuanya mengingatkan pada janjiku ke Gilang sebelum aku berangkat ke Indonesia lagi.

Mendadak pintu apartemen sewaanku terbuka, dan sosok itu masuk. Aidan Sjarief. Dia sengaja datang ke Inggris untuk menjemputku. Tentu saja dia menjemputku. Dia tunanganku. Dia pria yang akan kunikahi.

“Dinner”

“I don’t feel like it” jawabku sambil tetap menatap Mr Bobo.
“Harus. Nanti kamu sakit”
“Gapapa, gak lapar”

“Kalau gitu aku ke bawah, cari chinese food, nanti aku bungkusin buat kamu”
“Nevermind. Aku gak makan malam ini juga gak papa”
“Aku jalan ke bawah, nanti aku bungkusin” Aidan lalu keluar, dan dia menghilang dari mataku. Aku terus-terusan menatap ke arah Mr. Bobo. Mr. Bobo, anakku dan Gilang.

--

Aku merasa Mr. Bobo menatapku yang sedang berbaring, terkulai lemah di atas kasur. Kutarik selimut, menutupi badanku dan aku terus merasa diperhatikan oleh boneka beruang apek itu. Dia menatapku dalam diam. Diamnya malam yang sepi. Tidak ada suara angin, tidak ada suara jalanan, yang ada hanya suara air conditioner yang berdengung di dalam kamarku.

Kuraih Mr. Bobo dan membalikkan badannya. Ditatap olehnya membuat perasaan berdosaku terus-terusan muncul. Tapi aku memang telah berdosa. Aku tetap tidak bisa menghilangkan image ciuman pertamaku dengan Gilang di kamar ini. Ciuman yang pelan. Tidak lebih dari sepuluh detik. Tidak lebih dari lima detik malah.

Ah, persetan.

Kubuka lagi layar smartphoneku. Kucari nomer telepon Gilang. Dan dengan nekat, tanpa berpikir panjang, aku menekan nomer teleponnya. Baiklah, ada nada sambung. Aku bangkit dari tidurku dan menunggu suaranya muncul. Aku menunggu.

Aku harap ia mengangkatnya, sebagaimana aku ingin berbicara lagi dengan dirinya.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
Baru beres baca part 3... Dan sesuai dg perkiraan. Konfliknya bikin baper...

Vimana Group... Terdengar seperti Ismaya Group ya hahaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd