Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Cinta pertama emang susah dilupakan, tapi harus realitis. Laki-laki harus berani tanggung jawab dengan tindakannya, apalagi cinta pertamanya sungguh menyakitkan (dikhiananti), beda kasus kalau kandasnya bukan karena diri mereka berdua.
 
Terkadang ada org selalu berkaca pd pengalaman hidupnya sehingga susah mup on. Btw di penanti ane mah terserah sama om RB, mau dibawa kemane ...ngikut.
Semangat ya om?
 
Selalu terkesima dengan alur, penokohan dan tema yang di bangun sama suhu @racebannon. Terus bikin karya suhu. Di tunggu cerita lainnya. Cerita matahari dari timur se 2 dimana ya suhu? Masih belum selesai baca ceritanya. Dan juga gimana cerita Ai sama Zul bisa bareng;)

Makin penasaran sama semua cerita dari suhu
 
Terkadang ada org selalu berkaca pd pengalaman hidupnya sehingga susah mup on. Btw di penanti ane mah terserah sama om RB, mau dibawa kemane ...ngikut.
Semangat ya om?

Kalo dibawa ke WC om @mamnu, mau ikut kaga.
 
Saya sudah ikut voting suhu saya kira si gilang ngga bakal milih keduanya saya rasa nanti ada tokoh lain yang baru muncul ketika gilang patah hati dengan tara pas abis tara bilang kejadian waktu gilang mabok...
Itu menurut saya lho suhu..
 
Membuat 3 cerita bersambung yang berkesinambungan
Suhu memang :jempol:
 
PENANTI – PART 10

------------------------------

#GILANG – 4

30239711.jpg

Aku dan Tara berciuman dengan begitu panasnya di atas kasur. Dengan perasaan tak nyaman seperti ini, aku berusaha menghapus semua isi kepalaku. Sialan, kenapa Saras harus ngomong kayak tadi? Kenapa dia mencoba masuk lagi ke kehidupanku, setelah ingkar janji? Dipaksa oleh keadaan, keluarga, atau tidak, itu tetap saja namanya ingkar janji.

Aku tidak ingin peduli lagi pada Saras. Aku hanya ingin menikmati kehidupanku yang sekarang. Dan kenapa, sekarang aku tidak bisa menikmatinya?

Kenapa setiap aku mencium Tara, yang terbayang di kepalaku malah Saras? Ini gak bener. Sudah pasti gak bener.

Egois banget dia bilang. Egois dia bilang dia pengen ngomong. Egois dia bilang perlu bicara, perlu klarifikasi semua tentang pertunangannya. Dan dengan egoisnya dia bilang, masih sayang sama aku, pengennya sama aku, dibanding sama tunangannya. Dia pikir gampang apa, ngelupain omongan kayak gitu? Apalagi yang ngomong itu perempuan yang pergi selama 12 tahun setelah janji bakal menikah denganku. Sialan. Seganas apapun aku mencium bibir Tara sekarang, yang ada di kepalaku adalah rasa bibir Saras 12 tahun yang lalu.

Gak adil. Gak adil banget untuk isi kepalaku dan juga perempuan yang sedang kucium ini.

“Ah..” Tara mengerang pelan, saat aku memindahkan fokus ciumanku ke lehernya. Aku ingin sekali bisa melupakan Saras. Kejadian di rumahku waktu itu mampu membuatku tidak memikirkan Saras lagi. Ciuman pertamaku dengan Tara dan segala hal-hal yang menyangkut bermesraan dengannya, biasanya selalu mampu membuatku melupakan luka akan Saras. Tapi sekarang tidak. Entah mengapa. Semua omongan Saras berulang-ulang di kepalaku dan semua pikiranku seperti fokus ke 12 tahun yang lalu.

“Nnnhh….”

Aku melumat leher Tara dengan ganas. Memusatkan perhatianku kepadanya. Aku benar-benar ingin melupakan Saras. Semua obrolan dengan Saras tadi, membuatku benar-benar bingung.

Apa coba maksudnya, bilang masih sayang. Terus dilanjutkan dengan bilang, kalau dia pengen dibawa pergi, keliling-keliling Jakarta di motor sambil hujan-hujanan. Apa coba maksudnya?

Lebih baik fokus kepada orang yang ada di depanku ini, yang terang-terangan selalu ada di sini. Aku terus menciumi lehernya, mencoba untuk menjelajahi permukaan badannya yang indah dan lembut ini. Aku benar-benar ingin melupakan Saras, tapi kenapa mesti sesulit ini rasanya?

“Gilang.. Ah..” aku bergerak terus ke bawah, dan rasanya buah dadanya sungguh menggoda. Saat kami berpelukan, benda itu selalu terasa di dadaku. Aku membayangkan betapa empuknya mungkin jika aku menciuminya dan sepertinya aku perlu untuk bergerak lebih liar lagi, untuk melangkah lebih jauh. Tanganku lalu masuk ke dalam bajunya, berharap untuk melepasnya. Sepertinya aku harus melakukannya untuk yang pertama kali dengan Tara, agar bayangan Saras menghilang.

Akhirnya aku meminta izin untuk melucuti pakaiannya, sambil berusaha melepasnya.

“Tara… Sori… Gue..” Tara pun mengangguk, mengikuti keinginanku.

KRINGGGG.

Sial. Aku langsung menyingkir dari atas tubuh Tara dan mencari handphoneku. Ah, bukan nomer yang asing. Salah seorang teman akrabku waktu SMA menelponku. Tadi aku tidak berpapasan sama sekali dengan dia.

“Halo?” Sapaku.
“Woi… Lo ke mana tadi kok gak liat?”
“Eh iya, sori, tadi gak ketemu ya? Gue tadi balik ke hotel….”
“Lah, udah balik lagi? Gak pengen ketemu gue yak….” lanjutnya
“Haha, iya pengen istirahat, toh udah ketemu sama yang kawin…. Kenapa?” responsku sambil sedikit bercanda.

“Dan tadi lo gak ikut foto sama kita-kita juga kan…..”
“Oh… Iya gak ikut foto lah, gak sempet, gimana sih” aku berdiri, melangkah ke arah kursi, untuk duduk.
“Kita wajib ketemuan nih abis ini, minum yuk… Gapapa? Ajak gandengan elo sekalian?” ajak temanku.
“Mmmm… Kalo gue sih gapapa ya, ntar gue nanya dulu…. “

“Elonya gimana-gimana gak tapi?” tanyanya lagi.
“Eh, elo nya yang gimana, besok kan Senen? Gak ngantor?”
“Santai, gue ngambil cuti besok hahaha…..”
“Oh…” jawabku pelan.
“Gue jemput ke hotel elo aja ya?”
“Oke, siap, dijemput ke sini juga gapapa…”
“Tungguin oke?”
“Sip…”
“Eh tapi gandengan elo mau ikut gak?”
“Gak tau, makanya, ntar gue kabarin lagi ya?

“Sip, kabarin yak..”
“Ok.. Bye”

Aku menatap Tara yang berbaring menghadap diriku sambil senyum. Dan aku pun tersenyum tipis melihatnya, dengan berusaha menghilangkan pemikiran-pemikiran yang tidak enak soal Saras. Dan aku sempat memikirkan Saras tadi ketika mencium Tara. Sial.

“Siapa?” tanya Tara.
“Temen SMA gue, temen akrab dulu, gak sempet ketemu tadi pas kawinan”
“Oohh…”
“Yah, dia ngajakin ketemuan malem ini, minum-minum, hahaha”
“Mau pergi?” tanya Tara.
“Hmmm… Gak tau, tergantung elo” jawabku.

“Kok tergantung gue? Kan yang diajak elo”
“Ya tergantung, lo kasih gue pergi apa enggak, kalo ngasih ijin, mau ikut apa enggak?” lanjutku, berharap Tara ingin ikut. Aku ingin membuat memori banyak bersama Tara akhir-akhir ini, supaya aku tidak bisa lagi mengingat Saras.

“Haha, kok minta ijin ke gue?”
“Iya lah, kan…” jawabku pelan.
“Kan kenapa?”.

“Ya… Gapapa” Aku senyum lebar, berharap Tara ingin ikut.
“Yaudah, berangkat aja gih sana”
“Ikut?” tanyaku.
“Ke mana dulu?”

“Gak tau, tapi ini orang peminum berat, pasti ngajakin mabok”
“Kalo gitu gue nunggu aja di sini” balas Tara, dan balasan itu, bukan jawaban yang kuharapkan.
“Eh ya jangan lah…” aku berusaha merajuk, mengajaknya.

“Eh ya gapapa kali, pertama kan lo tau gue gak minum, kedua gue takut ganggu lo mau ngobrol nostalgia sambil mabu’ mabu’ an…. Gue nunggu aja di sini, nyuci baju, masak, nyetrika, mandiin anak… Ya gak?” jawab Tara dengan manisnya.

“Apa sih hahahahaha”

“Haha, gapapa, pergi aja, gue nunggu, lagian gue ga bisa nikmatin suasana minum-minum kayak gitu, lo tau sendiri… Asal satu hal… Jangan terlalu mabok, bahaya, besok nyupir gantian, gak enak ntar, pusing ga puguh”

“Yaudah, ntar dia jemput ke sini…..”

Aku menghampiri Tara, duduk di lantai, dan meraih bibirnya. Aku menggenggam tangannya. Aku sungguh ingin menghapus Saras dan menempatkan Tara di dalam kepalaku. Tapi sepertinya harus perlahan. Aku tidak ingin lagi menghadapi Saras, dan ingin terus mengisi memori-memori yang baik soal Tara.

------------------------------

cloud_10.jpg

“CHEERS!!” gelas minuman beradu. Meja yang sepi, karena yang minum cuma dua orang. Aku dan temanku. Hanya dia yang belum kutemui tadi ketika resepsi. Itu karena dia datang terlambat dan aku keburu pulang ke hotel bersama Tara.

“Untung gue besok cuti dan diizinin bini keluar…. Kalo enggak, gak bisa ketemu elo deh”
“Iseng amat ngambil cuti”

“Sekalian, jalan-jalan ke Bandung, dah lama juga ga jalan bawa anak istri” sambungnya sambil menenggak minuman keras yang ada di tangannya. Aku tersenyum melihat Arnold, temanku yang satu ini. Peminum berat, berdarah batak. Dia kuat sekali minum. Orang lain sudah mulai tenggen (bahasa batak = mabuk), dia masih sehat wal afiat. Dan dia sudah mulai minum dari SMA. Sampai sekarang, dia tampaknya masih bergaya hidup seperti itu.

“Nemu aja lo tempat minum deket hotel gue”
“Makanya gue jemput aja tadi…”

“Kok cewek lo gak mau ikut?” tanya Arnold. “Kalo bini gue gak ikut kan karena nemenin anak….”
“Yah… Dia… Gak kuat minum orangnya, gak bisa kena alkohol, lagian, masih agak aneh gue dia disebut cewek gue”

“Terus apa dong? Masa cuma temen diajak ke kawinan keluar kota, lagian kata anak-anak tadi, elo keliatan mesra sama dia” lanjutnya.

“Dia itu temen kuliah gue, terus kita partneran juga di restoran gue…. Dan..”
“Dan apa?”

“Dan akhir-akhir ini, kita jadi deket banget kayak yang kalian semua liat… Mungkin”
“Sejak kapan?”

“Sejak….” aku tidak sanggup menjawabnya. Aku kemudian menenggak minuman keras yang ada di depanku dan membakar rokok yang menemaniku.

“Sejak kapan?”
“Yah…..”

“Sejak Saras tunangan?” tanya Arnold dengan pelan. Matanya menatap mataku dengan tatapan penasaran. Dan aku pun terdiam. Menarik napas. Menarik napas panjang. Menarik napas penyesalan. Menyesal karena tadi bertemu Saras dan menyesal telah mulai memikirkan Saras lagi.

Aku menatap balik ke arah Arnold dan akupun mengangguk.

“Hmm”
“Kenapa Hmm?”
“Lo tau kan, bini gue seangkatan sama Saras?” tanya Arnold.

“Tau..”

“Salah satu alasan gue kenapa rela ngejemput elo buat ngajak ngobrol itu karena….”
“Ada hubungannya soal Saras?”

“Well… Yang pasti, begitu orang-orang tau Saras tunangan, semua jadi mikirin elo katanya….. Dan jujur… Semua mungkin sama kagetnya dengan elo pas tau Saras udah punya tunangan… Dan gue pikir, lo harus tau soal ini…”

“I’m listening” mendadak rasanya deg-degan seperti ini. Aneh. Rasanya aku jadi haus informasi apapun soal Saras. Dan Arnold cukup dekat denganku, jadi dia bisa bicara apapun sampai remnya blong. Hajar aja bang.

“Bini gue, ada di grup wassap kelas-nya waktu kelas tiga dulu. Dan dia waktu kelas tiga itu sekelas sama Saras. Jujur, di grup itu, gak ada satupun berita soal pertunangannya Saras” Arnold melanjutkan ceritanya. “Yang bikin jadi aneh, sesaat sebelum Saras terbang ke Indonesia, yang ada malah rame ngomongin elo”

“Wajar kali, gak ada yang tau dia tunangan, terus semua ngehubung-hubungin apapun soal dia ke gue kan?” tanyaku retoris.

“Kalo gitu wajar. Kalau Saras sendiri yang mulai, itu baru gak wajar” Arnold menunjukkan jarinya ke arahku. Dan dia mengambil kotak rokokku dan mengambil sebatang.

“Gue pikir lo udah berhenti ngerokok” komentarku dengan muka garing, membayangkan apa yang kira-kira ada dalam kepala Saras.
“Kalo ngomongin hal berat, kudu ditemenin nikotin”

“Emang minuman kurang?”

“Kurang berat” senyum Arnold, sambil mengisap rokok, dan menenggak habis minumannya di dalam gelas. Tanpa basa-basi dia langsung mengisi lagi gelasnya dan gelasku juga.

“Jadi… Yang heboh soal gue itu dia sendiri mulainya?” tanyaku, melanjutkan pembicaraan soal Saras.

“Emang lo ga papa dulu gak ngomongin ini? Kasian gue sama elo, kayak diobrak-abrik perasaannya pasti, sama lo juga udah punya gandengan” Arnold tampaknya agak sedikit ngeper.

“Gapapa. Lanjut aja” jawabku dengan muka datar. Rasanya hati ini panik. Panik atas semua informasi tentang Saras. Gila memang kau, wahai pembolak-balik hati. Kenapa di saat aku sudah mulai saling mengisi dengan Tara, semua hal yang aku ingin tahu soal Saras terbuka semuanya?

Mulai dari Saras yang dengan jelas tadi mengatakan bahwa dia masih sayang kepadaku dan sebenarnya orang yang ingin dia nikahi itu adalah aku, dan sekarang….. Arnold cerita seperti ini. Ada sandiwara apa ini? Kenapa mesti ada pertunangan antara Aidan dan Saras kalau begitu caranya? Apakah memang benar-benar ini adalah rekayasa orang tua seperti apa yang Saras katakan kepadaku?

“Ya habis itu, habis dia heboh dan semua udah mikir, kalo dia begitu landing langsung lari ke KUA sama elo…. Eh mendadak ada berita tunangan. Bukan denger dari Sarasnya langsung lagi… Tapi dari… Gimana cara ngomongnya ya…. Itu dari…. Sosmed” Arnold meringis.

“Hmm”

“Bahkan, kata bini gue, di semua akunnya Saras, sebelom tunangan itu, gak ada satupun foto Aidan…. Bahkan adanya malah foto beginian….” Arnold membuka handphonenya. Dia tampak mengutak-atiknya sebentar dan dia sekarang menunjukkan sebuah laman digital yang berisi foto boneka beruang di atas sebuah koper, di dalam sebuah apartemen yang asing bagiku.

Membaca caption fotonya, hatiku sempat berhenti sesaat.

“Mr. Bobo can’t wait to see his papa” dengan emoticon tanda hati sebanyak tiga buah.

“Hmmm” jawabku sambil mengisap rokok lagi. Mataku sepertinya berat. Berat bukan mengantuk. Tapi perasaan ini membuat mataku seperti ingin rontok. Rasanya seperti tulang igamu dicabut dan dilemparkan ke mukamu. Rasanya seperti ada yang menarik kelaminmu sampai copot. Bentuknya sudah tidak karuan, perasaanku malam ini.

“Saras, sejak keluar kabar soal dia tunangan, jadi diem di semua sosmed apapun. Padahal lo tau kan, Saras anaknya ceria, bawel, dan kayak anak kecil… Sekarang dia jadi pendiem dan behavenya jadi aneh, kata bini gue” lanjut Arnold.

“Oh… Ya… Gitu kali ya?” jawabku sambil mematikan rokok, mengambil sebatang lagi, dan membakarnya tanpa jeda. Tak lupa kutenggak minuman keras itu, sambil berharap aku cepat segera mabuk sebelum Saras memenuhi isi kepalaku.

“Lo gak tau apa-apa soal pertunangannya atau apa? Dan gimana lo tadi pas ketemu sama Saras? Anak-anak juga aneh tadi pas ketemu sama Saras, dia jadi bener-bener diem, terus bersikap seperlunya sama orang-orang…. Kayak dua orang yang beda gitu” Arnold meneruskan pertanyaan dan ceritanya.

“Boleh jujur?”
“Iya”

“Gue pertama kali ketemu Saras sama tunangannya itu udah rada lama… Waktu ada acara gathering pengusaha F&B… Tunangannya jadi pembicara, dan sebelum gue tau dia tunangannya Saras, malah gue nyamperin dia, buat ngobrol dan diskusi…” aku tersenyum garing.

“Gila”
“Dan di situ, gue mau dikenalin sama Aidan – tunangannya Saras, ke Saras”
“What?”
“Sakit emang” aku menarik napas, berharap air mata tidak keluar dibawah pengaruh alkohol.

“Oh… Jadi itu pertama kali lo ketemu Saras setelah dia pulang ke Indo?”

“Engga. Gue udah dua kali ketemu sebelum itu. Pertama gue ke rumahnya, bawain burger dari tempat gue. Dan kedua, gue malah sempet ngedate ama dia ke mall” lanjutku dengan nada emosi.

“Dan itu dalam kondisi dia udah punya tunangan?”
“Iya”
“Sakit” balas Arnold. Sambil mungkin dia mengira-ngira apa yang terjadi pada Saras. “Mungkin gak sih ini dijodohin?” tanyanya mendadak.

“Kali”

“Tapi harusnya orang tuanya kan bilang sama elo dulu? Atau Saras bilang ke elo gitu? Kita semua tau kalo elo mutusin buat gak kontak-kontak dia selama di Inggris, tapi kan…. Dia harusnya ngasih tau hal sepenting ini ke elo, minimal dia….”

“Nold” aku menghentikan racauannya. “Itu semua harusnya. Kenyataannya kan enggak. Kenyataannya dia sekarang udah tunangan. Dan udah pasti bakal nikah. It’s over. Gue emang masih mikirin dia, cuman gue udah punya orang laen sekarang….. Gak mau nginget-nginget lagi soal dia….. Terutama pas jaman-jaman sebelum dia ke Inggris” aku berbohong. Pembicaraan ini, dan pertemuan dengan Saras tadi, mampu membuat isi kepalaku cuma dirinya. Dan tadi, ketika aku mencoba untuk meniduri Tara, rasanya sekarang begitu hambar dan aneh. Aku makin bingung atas cara kerja otakku. Bukannya harusnya aku melupakan Saras dan beralih ke Tara.

“Jadi… Cewek yang bareng elo itu… Pelarian?” tanya Arnold.

“Hufff….” aku mengeluarkan napas panjang. “Minum aja mendingan” aku mengisi gelasku dengan penuh lagi. Dan mulai memasukkan cairan dengan kadar alkohol 40% ini ke dalam sistem pencernaanku. Siapa tahu kalau mabuk bisa luka, eh… lupa.

“Kalo pelarian kasian banget dia…”
“Minum aja dah Nold, sayang kalo gak diminum ini” aku menghindar.
“Eh tunggu, gue belom sempet nanya…”
“Nanya apaan?”

“Waktu pas lo ketemu Saras dan tunangannya pertama kali, yang lo cerita di event apalah tadi, lo gimana waktu itu?”

“Biasa aja” Bohong. Elo kabur terus nangis, bangsat.
“Serius”
“Hebat”

“Masa lalu biar jadi masa lalu deh” bohong. Tadi masa lalumu baru saja bilang, kalau sebenarnya dia ingin kamu menjadi masa depannya.

“Eh… Alkohol haram kan ya?” tanya Arnold.
“Iya”
“Tapi gelas kosong, lebih haram lagi….” tawanya sambil menuangkan lagi minuman ke dalam gelasku.

“Haram banget” senyumku. Senyum yang palsu. Kalau bisa, aku jadi ingin bertemu dan bicara panjang lebar soal semuanya. Dengan Saras mungkin. Mungkin.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

12680311.jpg

Aku membuka mataku dengan keadaan pusing. Aku tak sadar, sekarang aku ada di mana. Aku merogoh handphoneku dan melihat jam.

Jam 4 pagi.

Aku melihat ke sekeliling. Ternyata aku ada di kamar tidurku. Di kamar yang kusewa bersama Tara. Aku menarik napas dan merasakan duniaku berputar. Aku tak ingat apa-apa. Pemandangan terakhir yang kulihat adalah trotoar di dekat hotel, dimana aku berusaha memuntahkan isi perutku karena kepalaku sudah terlalu berat dan rasanya mual. Ya, kebanyakan minum. Aku masih ingat Arnold memapahku ke taksi, setelah dari bar.

Tapi selain itu, dan konten percakapan dengan Arnold di bar tadi, aku lupa semuanya. Aku meraih ke samping, berharap menemukan Tara. Tapi tidak ada. Kasurku kosong. Hanya ada aku. Dan aku berusaha duduk, dengan kepala yang beratnya luar biasa ini, aku berusaha meraba-raba isi ruangan. Tara ke mana?

Tak sengaja, di sudut mataku, di sofa yang ada di dalam kamar, ada seonggok tubuh manusia meringkuk, tampak tidur, dengan menggunakan selimut tipis. Punggungnya menghadap keluar. Badannya terlihat tidak nyaman ada di atas sana.

Dengan setengah memaksa, aku bangkit, berjalan terhuyung dan mendekat ke arah sofa. Aku menyentuh badan Tara, dan berbisik ke telinganya.

“Tara…”

“…” Tara hanya terdiam. Matanya terlihat sembap, kelopaknya memerah. Matanya perlahan terbuka dan melirikku dengan gerakan yang pelan.

“Kok tidur di sini?” Tara diam saja. Dia mengalihkan matanya, dan menolak untuk menatapku.

“Hei…” dengan gerakan pelan aku mencoba mencium pipinya.

Dan mendadak aku kaget. Tara menahan dadaku dengan tangannya, menghalangi ciumanku. “Tara?”

Tara menggelengkan kepalanya. Dia menutup matanya lagi dan mendadak air mata keluar, menetes pelan di pipinya. Aku kaget, dan mencoba untuk sadar.

“Lo kenapa?”
“Gapapa… Lo tidur aja lagi, besok kita ngobrol” jawabnya dengan suara serak.
“Sekarang udah besok”
“Stop” Tara menahan badanku yang mencoba memeluknya.

“Tara?”
“Jangan panggil gue lagi….”

“Kenapa? Lo kenapa?” tanyaku bingung.

“Setelah semua ini, kalo lo emang pengennya sama Saras, silakan. Gue cuma jadi pengganggu, jadi jangan pura-pura sayang sama gue lagi” jawabnya dengan suara lirih.

Aku bingung, karena Tara seperti bisa melihat ke dalam pikiranku. Apakah aku mengatakan hal yang tidak harusnya dia dengar ketika mabuk? Karena memang, dalam kondisi mabuk, rem kita bisa blong.

“Apakah gue salah ngomong tadi?”

“Enggak, enggak salah. Yang lo omongin tadi bener. Jadi gue yang salah. Gue yang salah udah ngarep….. Silakan tidur lagi, gak pantes lo ngajak-ngajakin temen elo buat tidur bareng sekasur” jawab Tara dengan suara yang menyedihkan.

“Tara….”
“Gue tadi bilang stop. Jangan coba-coba cium gue lagi…” Tara beringsut, menutupi mukanya dari pandanganku.

“Tara…” aku mencoba lagi untuk memeluknya, atau meraih badannya dalam rangkulanku.
“Jangan maksa…. Please..”
“Tapi..”

“Gue teriak kalo lo maksa-maksa…. Jadi please….. Jangan… Please” tangisnya sambil tetap mengalihkan pandangannya dari diriku.

Aku menyerah. Aku terduduk lemah di depan sofa, menatap punggung Tara, yang tampaknya terluka. Ya. Aku bodoh. Aku sudah kehilangan Saras, dan sekarang aku kehilangan Tara. Aku kehilangan dua orang yang penting dalam hidupku.

Dan ini semua karena pertunangan itu.

Kalau bisa kubatalkan, akan kubatalkan. Sudah terlanjur sampai disini. Sudah terlanjur semuanya rusak. Semuanya sudah menjadi kacau. Sekacau isi kepalaku pagi buta ini, sesaat setelah kehilangan Tara.

Siapapun dan keadaan apapun yang memaksa Saras untuk bertunangan, akan segera kuhancurkan. Dan aku sudah tidak peduli lagi. Tidak peduli.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd