Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
Gila emang karya2 suhu ini..
Bisa bawa emosi pembacanya masuk k dalam cerita..

Gk pernah bosan ngebacanya, dan gw sukses maraton baca sampe part 16 dr jam 6 malam td.. Wkwkwk..
Lanjut suhu ditunggu update cerita gilang selanjutnya..

#TimTara
 
So far cuma ada pov tara, gilang, dan saras. Tapi kok ga ada pov aidan yak? Hmm, masih misterius nih
 
Tinggal menanti updatenya, dan menanti ujungnya bakal makin nyesek kagak.
 
Aqua mijon...aqua micin...

Yuk yang jauh mendekat yg dekat merapat

Yg lom beli tiket disegerakan belinya

Menanti PENANTI di hari minggu
 
penant10.jpg

PENANTI – PART 17

#SARAS – 4

antara10.jpg

“Iya Yah, aku sudah ketemu sama orangnya kok. Masih jalan ke satu tempat lagi, nanti aku kabarin”
“Oke.. Cepat jalan ke sananya ya, sudah sore, nanti dia keburu pulang. Kamu tahu sendiri orang partai itu kayak apa kelakuannya”
“Iya Yah”
“Kamu gak apa-apa sendiri di Bogor?”
“Gapapa, aku udah biasa sendiri kan di Inggris?” candaku lewat suara.
“Oke, tapi kalau kamu butuh apa-apa….”

“Aku tau, kasih tau Ayah, Ibu atau Aidan kan… Tenang aja” senyumku. Ya, aku senyum walaupun sedang menelepon. Aku baru saja keluar dari rumah seorang relawan yang akan membantu ayahku dalam kampanyenya nanti. Aku keluar membawa catatan-catatan yang penting dan juga banyak data yang dibutuhkan oleh ayahku.

“Oke… Kabari terus ya….”
“Iya” jawabku setelah berbohong pada Ayah.

Setelah telepon tersebut selesai, aku mematikan smartphoneku dan memasukannya ke dalam tas. Untung saja hari ini aku tidak berdandan seperti biasanya. Mengenakan sneakers, t-shirt, dan jeans sangatlah jauh lebih nyaman untuk bergerak. Aku selalu heran, mengapa aku tidak berpakaian seperti itu saja setiap hari. Kenapa aku harus membuat satu image feminin yang ingin dilihat orang-orang dari diriku?

Sambil berpikir, mataku menatap ke seseorang lelaki yang menemaniku dari tadi pagi di kota hujan ini.

Gilang.

Aku tidak sendiri di kota ini. Gilang dengan segala kesadarannya, mengantarkanku ke tempat-tempat tujuanku selama di Bogor. Dan dia akan menemaniku selama tiga hari ini, dari hari Senin sekarang sampai Rabu lusa.

Dia sedang merokok, bersandar ke mobilku, sambil menatap jalanan dengan tatapan kosongnya, seperti sedang melamunkan sesuatu. Dulu, sewaktu aku masih muda dan tolol, aku selalu mendambakan dirinya menjadi pendamping hidupku. Sekarang, ketika umurku bertambah dan tanggung jawabku menumpuk setinggi langit, membayangkan diriku bersama dengan dirinya membuatku sejenak lepas. Lepas dari tanggung jawabku yang tampaknya terlalu membebani.

Semua isi duniaku, baik bersama orang tuaku maupun Aidan, adalah dunia orang dewasa yang tidak henti-hentinya menimbun diriku dengan tanggung jawab.

“Udah?” tanya Gilang, setelah aku muncul di sudut matanya. Mendadak lamunannya berubah menjadi senyuman. Aku tersenyum balik dan menatapnya dengan tatapan paling kekanak-kanakan yang aku bisa.

Hanya dengan dirinyalah aku bisa kembali ke diriku yang lama. Diriku yang hidup, yang bisa tersenyum dan tertawa, serta menangis semauku. Hanya ada satu orang yang bisa membuatku seperti ini. Gilang. Walaupun kondisinya sekarang jauh dari apa yang kuharapkan, tapi setidaknya aku masih bisa menikmati keberadaan Gilang bersamaku. Seperti sekarang ini. Dia berbesar hati menemaniku selama tiga hari di Bogor ini. Hanya dia yang bisa dan hanya dia yang mau.

“Masih satu tempat lagi, gapapa?” aku bertanya padanya, sambil melihat-lihat layar smartphoneku, memeriksa ke mana aku harus pergi setelah ini.
“Gapapa?”
“Gapapa apa gimana?” aku menekuk jidatku sambil membuka pintu mobil yang tidak terkunci. Gilang mematikan rokoknya dengan injakan kakinya sebelum menyusulku ke dalam mobil.

“Maksudnya… Kenapa kamu mesti nanya aku kenapa-napa atau enggak?” senyum Gilang sambil menyalakan mobilku.

“Haha, kamu kan pasti cape… Jadi aku nanya gitu aja, biar capeknya kamu agak berkurang” aku menjulurkan lidahku. Gerakan yang jarang kulakukan akhir-akhir ini, tidak seperti saat aku remaja dahulu.

“Oh jadi cuman basa-basi?” Mobil mulai berjalan ke tempat selanjutnya.
“Basa-basi buat Gilang”
“Apaan sih kamu…”
“Haha, gapapa… Excited aja pergi berdua kayak gini, rasanya bebas”

“Bebas?” Gilang melirikku dan mendadak senyumnya agak menghilang.
“Eh? Iya, bebas”
“Kenapa bebas?”
“Ya… Gimana ya, rasanya kalau sama kamu itu bisa ngelakuin apapun, dan rasanya aku bisa ngomong apapun yang aku mau…..” jawabku, secara otomatis. Karena rasanya memang begitu.

“Oh… Haha” Gilang tersenyum kembali. Dia kembali berkonsentrasi ke jalanan. Jalanan Bogor yang sesak dipenuhi oleh angkutan umum, apalagi sudah sore. Sore hari seperti ini saatnya orang-orang mulai pulang ke rumah. Dari pekerjaan mereka dan sekolah mereka.

Aku juga ingin pulang ke rumah. Rumah asliku dan keluargaku sekarang terasa seperti sebuah pekerjaan. Hidupku sekarang adalah sebuah pekerjaan yang membosankan dan beberapa titiknya terasa sangat-sangat memuakkan. Ayah dan Ibu, Aidan, dan semuanya. Itu terasa seperti pekerjaan. Pekerjaan yang sangat berat. Pekerjaan yang harus kuhadapi setiap harinya, entah sampai kapan.

Tapi dengan Gilang, rasanya aku bisa menenangkan pikiranku, dan beristirahat.

Dialah rumahku. Rumah yang akan jadi tempatku untuk melepas lelah, sebelum siap kembali untuk menghadapi kehidupan yang menyebalkan. Dan aku, aku benar-benar ingin menjadikan Gilang rumahku selamanya.

------------------------------

y1758710.jpg

“Kayaknya kegedean kamarnya” Gilang memperhatikan kamar yang sudah kupesan untuk kami berdua. Karena kami bepergian bersama, tentunya sudah sewajarnya kami menginap dalam satu kamar. Hatiku benar-benar berdegup kencang, karena ini pengalaman pertamaku menghabiskan malam dengan Gilang. Dia sedang berusaha merogoh ke dalam saku jaketnya, mengeluarkan kotak rokok yang dari tadi menemaninya ketika sedang menungguku.

“Aku juga gak nyangka kalau sebesar ini” senyumku sambil mengambil perlengkapan mandi dari koper kecilku dan berusaha menatanya di kamar mandi. Kamar mandinya pun luas. Ada shower dan bathtub. Aku melihat bayanganku sendiri di cermin kamar mandi. Akhirnya. Bisa berdua saja dengan Gilang untuk beberapa hari. Jauh dari Jakarta, jauh dari Ayah, jauh dari Ibu, dan jauh dari Aidan.

Aku sudah cukup muak. Aku tidak tahan dengan semua kedewasaan yang ada. Biarkan aku menjadi anak kecil lagi, berdua dengan Gilang, sejauh yang bisa kunikmati.

“Besok mulai jam berapa?” tanya Gilang. Dia tampaknya tidak jadi merokok dan memilih untuk duduk di sofa, sambil mempermainkan smartphonenya.
“Besok sih jam 10-an, yang jadi masalah sih bukan besok pagi… Tapi ntar malem, makan di mana ya?” tanyaku sambil tetap melakukan apa yang harus kulakukan.

“Udah males keluar lagi sih”
“Di sini aja?”
“Boleh…. Tapi makanan hotel biasanya mahal” balasnya.
“Mahal dan gak enak? Atau mahal dan enak? Kan belom nyoba”
“Iya sih”

“Ah, tapi makanan manapun kalau dibandingin sama makanan kamu ya jelas kalah” aku berusaha memujinya, dan yang terpuji tersenyum tipis sambil melipat kakinya dan bersandar sebisanya di sofa. Aku ingin bergabung dengannya, tapi aku harus sedikit beres-beres sebelum bisa santai, beristirahat.

Tapi walaupun aku bisa beristirahat, hatiku berdegup dengan kencang. Rasanya seperti mimpi. Menghabiskan malam dengan Gilang. Aku bisa mengenang hari ini sebagai hari yang sangat-sangat menyenangkan dan tidak akan kulupakan seumur hidupku. Semua imajinasiku dengannya ada di dalam kepalaku dan aku tidak bisa lagi menahannya. Aku ingin memilikinya. Aku ingin dimiliki olehnya. Aku ingin melupakan semua hal-hal yang berbau kedewasaan. Dan sekarang, mungkin saat yang tepat.

“Sibuk amat sih?” tanya Gilang, memperhatikanku yang baru saja menyelesaikan urusanku. Aku membalasnya dengan senyuman dan berjalan dengan langkah pasti ke arah sofa, untuk duduk di sebelahnya.

“Sekarang udah enggak” jawabku dengan tenang. Tenang, karena aku ada di sebelah Gilang. Aku bebas untuk tertawa, tersenyum, bercanda, bermalas-malasan, bahkan menangis.

Kami berdua terdiam dalam senyum.

Kami diam cukup lama, menikmati hening dan mendadak tangan kami berdua lalu bersentuhan. Gilang menatap mataku dan aku menatap matanya. Matanya serasa menyedotku, meninabobokanku, menghilangkan perasaan bertaut ke dunia nyata. Selanjutnya, aku benar-benar terbuai. Dia mencium bibirku dengan spontan dan kami berdua berciuman dengan lembut. Gilang menyentuh pipiku dan dia menarik bibirnya. Napasnya bau rokok. Dia tersenyum dan kemudian menarik badanku. Dia memelukku dengan kencang, seakan-akan dia tidak akan melepasku lagi selama-lamanya.

Dan rasanya sungguh hangat. Aku tidak pernah mendapatkan kehangatan yang seperti ini. Rasanya begitu aman, nyaman. Aku merasa bebas. Aku merasa harusnya aku lupa tentang semua yang kutinggalkan di Jakarta.

“Gak akan pernah aku lepas” aku berbisik ke arah telinga Gilang.
“Kalau gak kamu lepas, gimana caranya kita makan malem, tidur, ke wc, mandi, dan segala macemnya”
“Bareng”
“Serius?” tanya Gilang dengan nada excited.

“Serius apanya nih?” bisikku, sambil menghirup aroma rokok di tubuh Gilang. Aku makin hari makin benci dengan semua wewangian lelaki dewasa. Aroma rokok mungkin kubutuhkan untuk membuatku tenang.

“Bareng?”

“Kita kan lagi bareng sekarang” aku melepaskan tanganku dan menjulurkan lidah dengan bermain-main ke arah Gilang.

“Hahaha…. Tapi tau kan maksudku ke arah mana?” tanya Gilang, dengan tatapan yang misterius. Tapi walaupun begitu, senyum masih tersungging di wajahnya.

“Arah ke mananya maksud kamu?” tanyaku balik, berusaha untuk membelokkan arah pembicaraan. Aku sudah bisa mencium pemikiran Gilang.

“Kita, mau gimana?”
“Gimana apanya” senyumku, menghindar.

“Aku sama kamu…. Kita ini apa?”
“Gilang dan Saras?”

“Maksudku, kita statusnya apa? Aku siapanya kamu? Dan terus terang, apa hari ini itu bukti kalau kamu udah bakal ninggalin Aidan dan kita berdua bareng terus?” tanya Gilang, dengan nada suara yang tidak membuatku nyaman.

“Kamu Gilangnya Saras” aku memeluknya lagi, berharap dia berhenti bicara.
“Gak bisa kayak gitu….”
“Apanya yang gak bisa?” bisikku.

“Kalau kamu masih punya tunangan, kita gak bener kayak gini…..” bisik Gilang, membalas ketidakpastianku.

“Hei, yang penting kita bakal bareng di sini…. Gak usah dipusingin kalau soal yang lain…”
“Iya tapi..”
“Gak ada tapi, kita nikmatin aja hari ini sebisa kita, ya?” aku membujuk dirinya untuk meninggalkan isi kepalanya.

“Aku gak bisa berhenti mikirin ini…. Kamu tau kan, kalau Aidan…”
“Stop”

Aku lalu mencium bibirnya, membungkamnya. Aku tidak mau mendengar nama itu untuk saat ini. Aku melumat bibirnya sebisaku. Gilang terdiam, tidak merespons, tapi dia tetap memelukku. Dia mengencangkan pelukannya dan tidak berontak.

Pokoknya, hari ini, hanya ada aku dan Gilang. Tidak boleh ada orang lain, bahkan namanya saja kalau bisa tidak tersebut dalam ucapan kami. Aku tidak ingin mengingat kehidupan dewasaku. Kami berciuman dengan tidak nyamannya, dan aku tak peduli. Yang penting, aku menginginkan Gilang ada di sisiku sekarang. Aku tidak berminat membicarakan dan memikirkan tentang apapun selain Gilang dan hari ini.

------------------------------

16718310.jpg

Aku menatap ke arah cermin di dalam kamar mandi dan aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Rasanya sungguh aneh. Aku benar-benar gugup. Gilang sudah berada di tempat tidur. Aku baru saja selesai mandi, sikat gigi, mengeringkan rambut dan segala macam urusan sebelum tidur lainnya.

Tidak mungkin aku bisa merasa tenang-tenang saja di situasi seperti ini. Tidur sekasur dengan Gilang? Aku tidak pernah membayangkannya. Tunggu. Mungkin pernah. Ketika aku kesepian di Inggris dulu. Tapi sekarang, hal yang sebenarnya akan terjadi.

Sang lelaki yang namanya tadi kusebut sudah selesai mandi, dan ketika aku meninggalkannya untuk pergi mandi tadi, dia sedang merokok di balkon. Sejak makan malam tadi, obrolan kami adalah obrolan-obrolan nostalgia. Aku selalu berusaha, agar dia tidak menyebut-nyebut lagi soal diriku di masa sekarang. Aku sudah sekuat tenaga mengalihkan pembicaraan, setiap dia akan menyebut apapun soal Aidan, Ayah, politik, dan sebagainya.

Aku ingin memilikinya dan melupakan apa yang sekarang kupunya. Waktu yang ada sekarang akan selalu kuingat seumur hidupku, dan rasanya, mimpi yang selama ini kuimpikan tidak akan jadi mimpi lagi.

Akhirnya aku keluar dari kamar mandi, dan menemukan Gilang yang sudah berbaring di atas kasur, memainkan smartphonenya. Aku menatapnya dan tersenyum kecil. Lampu masih terang benderang dan dia pun membalas senyum kecilku dengan senyum juga. Entah mengapa, tatapan matanya menyiratkan bahwa di dalam kepalanya sedang banyak yang ia pikirkan.

“Tidur?” tanyaku sambil terus menatap ke arahnya. Dia mengangguk dan menyimpan smartphonenya di meja. Dia menatapku tanpa henti. Aku, masih dengan senyumku, lantas berjalan untuk mematikan lampu. Sekarang kondisi kamar sudah temaram. Aku memperhatikan siluet Gilang, dan siluet itu benar-benar terlihat nyaman dan menenangkan untukku.

“Kamu udah ngantuk belum?” tanya Gilang, sambil menarik selimut, menutupi badannya dengan selimut tersebut.

“Udah, capek hari ini… Dan mandi air panas bener-bener menyenangkan tadi” jawabku, sambil naik ke tempat tidur, lalu berlindung di balik selimut yang sama. Smartphoneku sudah mati dari tadi, dan aku tidak ingin dia cepat-cepat prima dan menyala lagi. Aku ingin ketenangan bersama Gilang, berdua saja.

“Aneh”

“Apanya yang aneh?” tanyaku sambil tersenyum. Aku dan Gilang berbaring, bersebelahan, kami berdua tidak terpisahkan oleh apapun. Jarak kami berdua kira-kira satu jengkal. Jantungku berdegup kencang, dan suaranya terdengar jelas di telingaku. Darahku mengalir dengan derasnya, dan semua gerakanku terasa sangat-sangat kikuk. Padahal aku sedang tidak bergerak.

“Kita tidur sekasur” bisik Gilang.
“Iya, aneh, kita pernah tidur bareng gak sih sebelum ini?” tanyaku, mencoba mengingat-ingat.
“Ah!”
“Apaan?”

“Inget, waktu aku nemenin kamu ke mana ya, yang kita disetirin sama supir kamu, terus kita tidur di jok belakang, aku inget…..” Gilang memiringkan badannya, menghadap ke arahku. Aku menelan ludahku sendiri, dan aku pun memiringkan badanku ke arah dirinya.

“Itu sengaja aku lupain” Aku memicingkan mataku ke arah lelaki ini.
“Kenapa?”
“Karena waktu itu….”
“Kenapa waktu itu?”
“Kamu ngiler di bahuku!” aku menendang kakinya dengan lembut. Yang ditendang hanya tertawa saja, membuatku makin tak bisa menahan degup kencang jantungku malam ini.

“Hahahaha”
“Kamu lupa?” tanyaku.
“Bagian ngilernya sengaja gak aku inget-inget sih” jawab Gilang dengan manisnya.

“Ada lagi sih kejadian kita tidur bareng lainnya” senyumku, menatap wajahnya yang terlihat teduh malam ini.
“Yang mana?”
“Yang kamu bantuin aku belajar sebelum UAN”
“Oh, itu mah, aku ketiduran karena kamu ngerjain soalnya lama banget dan pas aku kebangun, kamunya malah ikutan tidur, nelungkup gitu di meja” tawa Gilang.

“Diitung tidur bareng dong tapinya?”
“Diitung”

“Jadi ini yang ketiga ya?” tanyaku retoris.
“100 buat Saras” bisik Gilang.
“Kamu tau? Aku selalu ngebayangin ini waktu aku kesepian sendirian di Inggris” aku membalas perkataannya dengan bisikan juga.

Gilang menyunggingkan senyum tipisnya, tapi aku bisa melihat ada hal lain di balik senyumannya itu.

“Kamu beneran kesepian di Inggris?” tanyanya, dengan nada menyelidik. Lagi-lagi soal ini.
“Kalau gak ada kamu, artinya aku sepi” jawabku. “Dan aku pengen banget megang tangan ini” bisikku sambil berusaha meraih tangannya, dan dia membiarkan aku menggenggam telapak tangannya. Rasanya begitu hangat.

“Maksudku…”
“Kita gak perlu ngomongin yang lain selain kita kan?” aku memotong ucapannya dan aku tersenyum sebisaku. “Dan malam ini cuma ada kita berdua kan?” lanjutku. Gilang mengangguk, dan kami berdua bertatapan. Ya, malam ini aku tak butuh orang lain lagi selain Gilang. Aku lantas mengenggam tangannya erat-erat. Tatapan kami terasa makin lama makin dekat, dan akupun bisa merasakan napasnya di wajahku.

Napas yang panas dan bau rokok itu. Napas yang kuidam-idamkan selama ini, di kala tidurku.

Tak menunggu waktu lama lagi, aku lantas mencium lembut bibir lelaki idamanku. Dia menerimanya dengan baik. Kami berdua lantas berpelukan dengan erat, sambil berciuman mesra di atas kasur itu. Gelapnya malam ini membuat kami berdua seperti larut dalam hitamnya.

Di kepalaku cuma ada Gilang, dan dalam pelukanku sekarang, ada Gilang. Aku tak butuh orang lain lagi malam ini. Dan biarlah besok jadi besok. Besok biarlah tetap misteri.

Bibir kami bertemu, saling berdialog tanpa suara. Tidak dapat dipungkiri lagi, kami berdua pasti menikmati momen ini. Aku dan Gilang pasti sudah mendambakan ini sejak berbelas-belas tahun lalu. Dan setelah terpisah dalam kondisi yang tidak nyaman, aku dan dia kini sekarang akan bersatu. Tangan kiri Gilang bergerak perlahan di atas kasur, berusaha memeluk pinggangku. Tangan kanannya terus kugenggam, sambil aku berusaha mendekatkan lagi diriku kepadanya, masuk ke dalam pelukannya.

“Mmmnnhh” Aku bersuara pelan, menikmati sensasi di permukaan bibirku. Napas kami berdua bersatu, dalam gelap. Udara di sekitarku terasa semakin panas, dan ada sedikit rasa geli yang kurasakan di perutku. Gilang melepaskan tanganku dari genggamannya, dan dia benar-benar memelukku dengan erat. Kedua tangannya kini melingkar di pinggangku, membawaku masuk ke dalam alam pelukannya, seakan-akan dia tidak akan pernah melepaskanku lagi dari tangannya.

Dia berguling pelan, dan kini posisi tubuhku berada di bawah tubuhnya. Gilang melepaskan ciumannya, dan matanya benar-benar menatapku dengan dalam.

Tangannya menyingkir dari pinggangku, dan dia bertumpu dengan satu tangannya, dan tangan yang lainnya meraih daguku, lalu membelai pipiku dengan lembut. Dia tersenyum kecil, menatapku terus terusan.

“Kenapa?” tanyaku pelan, setengah berbisik, karena dia diam terlalu lama.
“Gakpapa” bisiknya balik, dan dia menciumku lagi. Aku memeluk badannya, dan aku benar-benar tidak ingin dia melepas ciumannya lagi. Aku ingin dia menciumku terus-terusan malam ini, dan aku benar-benar menginginkan dirinya malam ini. Aku tidak ingin besok datang, aku tidak ingin lusa datang, dan aku benar-benar ingin menghalangi waktu berjalan.

Tubuhnya sedikit menimpa badanku dan aku benar-benar tidak ingin melewatkan momen ini. Momen pertamaku, dan ini harus dengan dirinya, lelaki yang menungguku, lelaki yang menjadikan masa laluku sebagai sebuah memori yang benar-benar ingin kuulang lagi.

Mendadak, dia menjatuhkan dirinya dan kami berguling lagi, berguling pelan dan sekarang aku mendorong pelan badannya, agar aku ada berada di atas dirinya.

Aku beringsut, duduk di pangkuannya, dan aku merasakan ada sesuatu yang mengeras di sana. Aku tersipu malu, karena aku benar-benar tidak menyangka akan merasakannya. Kuambil napas panjang dan akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah ini. Aku meraih ujung baju tidurku, dan menariknya ke atas. Perlahan tapi pasti, aku menelanjangi diriku sendiri.

Aku bisa merasakan mukaku memerah, menahan malu, tapi aku harus meneruskannya, karena ini Gilang. Ini bukan siapa-siapa lagi. Ini Gilang.

Gilang menatapku dengan tatapan kaget. Dia membeku, menatap diriku tajam. Aku duduk di atas pangkuannya, dengan hanya mengenakan celana dalam, setelah aku melempar baju tidurku ke karpet. Tanganku kulipat di depan payudaraku, sambil menunduk. Napasku begitu berat, dan jantungku berdebar dengan kencang. Ini pertama kalinya seorang lelaki melihatku hampir telanjang.

https://ssl.***********/ui/v1/icons/mail/images/cleardot.gif
Bisa kudengar suara Gilang menelan air liurnya, sambil terus menatap ke arah tubuh atasku yang sudah telanjang.

“Saras….”
“Ya?” jawabku pelan.
“…”

Kami berdua terdiam, tapi malam ini harus berlanjut. Aku menimpa tubuhnya dan kami berdua berciuman kembali. Tanganku berusaha untuk melepas baju Gilang, dan dia tampaknya pasrah akan kondisi ini. Dia melepas bajunya dengan bantuanku, dan tanpa banyak berpikir, dia melepas celananya.

Bisa kurasakan mukaku semakin memerah setelah Gilang telanjang bulat. Dengan agak panik, aku berusaha tenang, melihat cinta pertamaku bugil di depanku, dalam posisi kami berpelukan dan berciuman seperti ini. Ada perasaan geli yang aneh ketika aku melihat kelaminnya. Aku tidak bisa membayangkan benda seperti itu akan ada di dalam diriku untuk pertama kalinya.

Tapi ini Gilang, Saras. Ini Gilang. Dan kamu tidak akan menyesal, melakukannya dengan Gilang malam ini. Bukankah ini yang kamu tunggu-tunggu sejak berbelas-belas tahun lalu?

Dan bisikan di dalam kepalaku itulah yang akhirnya memerintah tanganku, untuk membuka celana dalamku, dan sekarang, Gilang dan Saras berpelukan tanpa pakaian. Kami berpelukan dengan erat, dan aku benar-benar merasa kaku. Aku tak berdaya, telanjang bulat di dalam pelukan Gilang. Aku tak berdaya, saat kurasakan benda itu menegang dan menyentuh kulitku. Aku tak berdaya, saat mata Gilang tertuju ke payudaraku, dan aku siap.

Aku siap bersatu dengan dirinya. Aku siap berbagi pengalaman pertamaku dengan Gilang.

Malam ini, akan kuingat sepanjang hidupku.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd