------------------------------
#GILANG – 8
“Gilang?”
Muka Tara begitu kaget, melihatku yang sedang berdiri di depan pintunya, di tengah hujan. Aku basah kuyup. Basah sebasah-basahnya. Rasanya begitu pegal dan begitu tidak nyaman, tapi hatiku merasa tenang melihat Tara ada di depanku.
Walaupun mukanya menyiratkan keheranan, tapi tetap aku lega melihat wajahnya. Celana pendek dan T-shirt, serta rambut pendeknya yang terlihat acak-acakan, malah terlihat seperti rumah untukku.
“Gilang… Elo… Bukannya harusnya ada di Bogor?” bingungnya.
“Gue di sini sekarang”
“Ada apa?” matanya sayu, akibat bangun tidur secara tiba-tiba. Walaupun Senin kemarin Red Comet tidak buka, tapi aku tahu dia pasti tidur sangatlah malam, malah mungkin subuh.
Aku terdiam dan menatap wajahnya dengan lekat. Wajah inilah yang kupikirkan sedari tadi. Kenapa aku harus telat menyadarinya? Kenapa aku harus masih terbuai dengan semua kenangan tentang Saras? Sedangkan orang ini, perempuan ini, terus menungguku dengan setia.
“Lo gapapa kan? Gilang?” Tara menggoyangkan lenganku. Lucu, dia mengkhawatirkan diriku. Padahal semalam aku tidur bersama Saras, berusaha untuk tidak memikirkan dirinya. Tapi, dia pasti memikirkanku terus menerus. “Baju lo basah, masuk, cepetan….” dia menarik tanganku ke dalam, dan aku benar-benar membasahi lantai teras dan ruang tamunya.
“Lo kenapa? Kok ada di sini?” dia bingung dan berusaha menurunkan tas ranselku yang benar-benar basah kuyup. Hujan masih dengan awetnya bersuara di luar, melatar belakangi pertemuanku dengan Tara pagi ini. “Copot dulu, kalo isinya kebasahan gimana coba? Hape lo kebasahan gak?” Tara berhasil menurunkan tas ranselku dan segera menaruhnya di sudut ruangan. Dia lalu membalikkan badannya dan menarik tanganku. “Lo musti ganti baju nih…. gak bisa kayak gini… Sakit lo entar..”
Dia menuntunku ke lantai atas, dan dia dengan segera memasukkanku ke dalam kamarnya. Kamar yang baru pertama ini kumasuki, walau aku sudah mengenalnya cukup lama.
“Bentar, gue cari baju dulu buat elo… Jangan duduk di mana-mana ya…” dan dia segera berlalu, meninggalkanku sendiri di sini. Aku benar-benar kebasahan. Rasanya begitu dingin dan lembap, apalagi AC kamar Tara masih menyala dengan teganya.
Aku memperhatikan kamar yang asing buatku ini. Kamar yang mungil, penuh dengan segala pernak-pernik khas Tara. Foto-foto polaroid, dan banyak memorabilia yang berhubungan dengan Red Comet. Aku memperhatikan semuanya tanpa berani bergerak. Dan wajah yang banyak sekali ada di foto-foto polaroid itu adalah wajah kami berdua, tersenyum, tertawa bersama. Dari sejak kami berdua kuliah sampai sekarang.
Berapa tahun aku menghabiskan waktu menunggu Saras? Bahkan setelah bertemu pun, Saras tidak bisa memilih, antara aku atau Aidan. Dan selama itu, Tara tampak selalu menemaniku. Aku tersenyum melihat fotonya dulu. Rambutnya selalu pendek, gayanya selalu menarik. Banyak sekali foto kami berdua. Senyum kami berdua terlihat begitu ceria. Kenapa aku bodoh begini? Tara selalu ada bersamaku, menemaniku di setiap waktu.
Dan aku sudah pernah menyia-nyiakannya.
Akibat nostalgiaku, aku tidak bisa melihat, betapa Tara selalu ada di sampingku. Dia tahu aku ada di Bogor bersama Saras kemarin, tapi begitu melihatku, dia tidak menunjukkan perasaan kesal. Dia malah begitu mengkhawatirkanku. Aku bodoh.
Mendadak, Tara kembali masuk ke kamarnya.
“Nih, kaos sama celana pendek, mudah-mudahan cukup…. Eh bentar, lupa malah ngambil anduk buat elo” Dia kembali berbalik arah, akan keluar kamar.
“Eh?” Dia kaget.
Aku memeluknya secara mendadak.. Aku meraih tubuh mungilnya dan aku memeluknya dengan erat. Aku melingkarkan tanganku di perutnya.
“Gilang?”
“Maaf”
“Maaf kenapa?”
“Maafin gue”
“Kenapa?”
“Karena gue harusnya nyayangin lo doang…”
“….” Tara terdiam, dan dia tidak memberontak. “Ada apa di Bogor?” tanyanya.
“Gue telat. Gue telat mikirnya… Masa lalu itu ternyata cuman buat masa lalu aja, gak ada gunanya di masa sekarang” bisikku ke telinganya langsung.
“Ada apa di Bogor?” tanyanya dengan suara yang lembut.
“Ada elo di pikiran gue terus”
“Gilang…”
“Gue udah gak bisa bohong lagi. Gue salah dengan bareng sama Saras dan gak bareng elo. Gue harusnya bareng sama orang kayak elo…….”
“Tolol” bisik Tara, sambil tersenyum tipis. Suaranya agak bergetar.
“Gue tolol?”
“Iya..”
“Kenapa?”
“Gak tau, pengen aja nyebut gitu” lanjutnya. Aku bisa melihat air matanya turun sedikit, menyusuri pipinya yang lembut itu.
“Gapapa tolol juga”
Tara membalikkan badannya dan memegang pipiku. Dan tanpa ragu, dia mencium bibirku. Dia tak peduli aku basah kuyup. Kami berdua berciuman dengan panasnya. Posisi berdiri kami tidak seimbang, sehingga Tara jatuh terduduk dan aku mengikuti dirinya. Kami lantas berpelukan dan bergumul di atas karpet.
Tidak ada siapa-siapa di sini dan kami berdua tak ingin saling melepas. Kami berciuman dengan agak liar. Aku ingin sekali melumat bibirnya dan memeluk tubuhnya yang mungil itu. Aku ingin sekali menyayanginya. Rasanya aku ingin menebus semua kesalahan yang kulakukan padanya. Aku telah menyia-nyiakan dia. Aku tidak pernah melihat dan menghargai keberadaannya.
Dia selalu ada untukku, menanti aku akan meliriknya. Dan kini, aku tidak hanya akan meliriknya saja. Aku akan memilikinya, dan menjadi bagian dari dirinya.
Aku menimpa badannya, dia tidak berontak, tapi malah ikut larut dalam suasana yang panas ini. Di luar masih hujan dan badanku masih basah kuyup. Tapi kami berdua tidak peduli. Yang ada di dalam pikiran kami hanyalah saling mencium dan saling memeluk. Tara melepaskan ciumanku, dan dia lalu berbisik.
“Basah”
“I know” balasku.
Dan tanpa aba-aba, dia lalu menarik bajuku, berusaha melucuti pakaian basahku. Aku membantunya dan kami tidak terhentikan lagi. Aku menelanjangi setengah atas badanku dan tidak akan mundur lagi. Aku ingin memiliki Tara sepenuhnya. Bukan sebagai teman, bukan sebagai sahabat, tapi lebih dari itu.
Tara dan aku berhasil membuka bajuku. Kini, aku merasakan napasnya, panas tubuhnya, menghangatkan badanku yang dingin. Tara menarik kancing celanaku dan menurunkan resletingnya. Dia tampaknya ingin melucuti baju basah dari badanku.
Bodoh, aku benar-benar bodoh, menyia-nyiakan Tara yang begitu manis dan luar biasa ini. Tidak akan ada lagi perempuan seperti dia.
Dengan cepat, aku sudah bugil total dan Tara masih dalam pakaian rumahannya. Aku benar-benar ingin memeluk dan merasakan kulitnya. Aku ingin segera melucuti dirinya. Tara mendadak memelukku lagi, dia memusatkan seluruh perhatiannya padaku. Kamarnya temaram dan cahaya matahari yang redup karena hujan malu-malu masuk lewat sela-sela curtain.
Kami bergumul dan saling mencium. Bibirnya sungguh terasa sangat manis dan nyaman. Aku sangat merindukan bibirnya. Kami sempat bermesraan, dan kami akan meneruskannya lagi. Kami tidak akan pernah berhenti bermesraan lagi. Entah kenapa, tanpa pakaian di depan Tara rasanya begitu familiar. Kami sudah saling mengenal begitu dekat, sehingga sekarang, aku bugil total di hadapannya pun terasa nyaman.
Tidak ada kecanggungan lagi. Tidak ada malu-malu lagi. Kami berdua sepertinya menyesali berapa banyak waktu yang terbuang saat kami bersama. Sekarang, kami tidak ingin menyesalinya lagi.
Tara duduk di atas pahaku dan dengan perlahan, karena terbawa suasana, dia melepas t-shirtnya. Dia melepasnya dan bisa kulihat kedua payudara mungilnya yang indah dengan langsung. Jantungku berdetak kencang dan aku benar-benar menegang. Dia, di bawah sana, berdiri dengan tegaknya, melihat Tara telanjang dada.
Tubuhnya sangat indah, dan rasanya, dia terlihat seperti bercahaya di ruangan ini. Tara begitu cantik dan indah. Selama ini aku selalu melewatkannya.
Aku meraih pinggangnya dan segera mengambil badannya, memeluknya dengan erat, dan kami naik ke kasur. Tara menimpaku, dan aku menerima badannya. Aku meraihnya, memeluknya, dan tertarik untuk menciumi lehernya.
“Ahh..” dia mendesah berbisik, karena aku mengikuti bau tubuhnya ke lehernya. Aku mencium kulit lehernya dengan pelan, dan mulai merasa excited. Lehernya begitu halus, lembut, dan aku merasakan ada wewangian aneh di dalam kepalaku, yang menuntunku untuk terus melumat lehernya. Tara memeluk kepalaku dan dia tampaknya dengan susah payah berusaha membuka celananya dengan tangan satunya.
Aku lantas memeluk pinggangnya dengan satu tangan, dan mencoba membantunya. Berhasil. Tara bahkan ikut menarik celana dalamnya dan kami berdua benar-benar telanjang total di atas kasur. Seluruh ruangan ini wangi Tara. Dan aku merasakan nikmatnya. Badannya sungguh hangat, dan aku terus-terusan menciumi lehernya. Aku berusaha menutupi seluruh permukaan kulit lehernya dengan bibirku. Dan rasanya aku sungguh-sungguh bernafsu, untuk melepaskan semuanya pagi ini.
Sudah, she’s the one. Aku akan bersamanya seumur hidupku.
“Ngg..” Tara tampaknya kegelian dengan ciumanku. Aku sangat-sangat tidak berpengalaman tapi, aku hanya mengikuti instingku saja.
“Tara…”
“Nn…”
“Maafin gue..”
“I know…”
Dan setelah berbisik seperti itu, aku langsung melumat bibirnya, dan tanganku secara otomatis ingin sekali meremas buah dadanya. Kuberanikan diri untuk melakukannya. Tara kaget, tersentak, tapi dia tampak menikmatinya. Aku berusaha meremas buah dadanya dengan lembut, perlahan, sambil menciumi terus bibirnya yang mungil itu.
Aku benar-benar menikmatinya. Kelaminku sudah begitu tegangnya dan dia tampaknya ingin segera melakukan hal yang pertama akan dia lakukan. Tapi aku begitu menikmati badan Tara. Aku menikmati akumulasi nafsu kami berdua. Kami begitu luwesnya bergumul di kamar tidur ini. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa tidak sewaktu di rumahku? Kenapa tidak kami lakukan ketika di Bandung?
Karena kami biasa bermesraan pada saat itu, sekarang rasanya begitu lancar.
Jariku begitu excited mempermainkan putingnya. Putingnya serasa mengeras dan maju. Jari-jariku tertarik ke sana. Bibir kami berdua bertemu dengan panasnya. Lidah kami berdua saling bermain, menikmati pagi ini. Napas kami berdua memburu, wangi tubuhnya memenuhi hidungku. Dan di kepalaku cuma ada Tara, Tara, dan Tara.
Tara melepaskan ciumanku dan dia menatapku. Tangannya tampak membelai pinggangku, dan lari ke pahaku, terus sampai ke pangkalnya. Secara otomatis dia menyentuh kelaminku dan dia tersenyum lucu dengan napas yang tidak karuan. Dia menggenggamnya dengan lembut dan dia menatapku erat-erat. Tanganku masih ada di buah dadanya. Aku tidak ingin melepasnya.
Kami berpelukan dengan sangat erat. Kelaminku sepertinya menggesek bibir kelaminnya. Rasanya sungguh aneh. Sensasi aneh yang nikmat. Aku ingin sekali merasakannya. Aku menekankan kelaminku ke bibir kelaminnya. Tara sedikit menggelinjang karena geli. Kami saling menatap dan tersenyum, lalu kami saling menggesekkan area intim kami.
Aku menelan ludahku dan menatap wajah Tara. Mulutnya terbuka, napasnya tidak karuan, matanya sayu, dan pipinya memerah. Dia melihatku seakan-akan aku adalah manusia terpenting untuknya di muka bumi ini.
Pemandangan yang lucu. Gilang dan Tara saling menggesekkan alat kelamin mereka. Aku menatap matanya. Aku berada di atas badannya, memeluknya sambil menatap mukanya yang benar-benar sulit untuk menahan kenikmatan pagi ini.
Aku tak tahan lagi.
Tara juga pasti begitu.
“Tara…”
“Nnnh…”
“Boleh?” tanyaku dengan tololnya. Tara mengangguk.
Ya, ini saat pertamaku dengan perempuan. Tara yang pertama untukku. Dan aku tak peduli, aku yang keberapa untuk Tara.
Perlahan, kelaminku mulai kuarahkan ke tempat yang seharusnya. Tara memeluk leherku, dan dia menatapku, mempercayaiku, bahwa aku bisa melakukannya dengannya. Suara hujan membuatku makin bersemangat. Hari ini seperti ditakdirkan untuk kami berdua.
“Nng… Pelan-pelan” aku mengangguk, sambil berusaha melakukan penetrasi ke Tara.
Aku berkonsentrasi dan mengarahkannya ke tempat yang benar, perlahan-lahan.
“Ah!” Tara menggelinjang kecil, ketika kelaminku sedikit demi sedikit masuk kedalam sana. Rasanya benar-benar sempit dan membingungkan untukku. Tara berbaring di kasur dengan pasrahnya sambil memelukku, sementara aku berusaha memasukkan kelaminku ke dalam dirinya. Tara tampak menahan napas sambil menutup matanya. Mungkinkah saat ini adalah yang pertama untuknya juga?
“Nggg… Ah! Nggg… Nnh…” Tara tampak seperti kesakitan.
“Gapapa?” bisikku.
“Ssshh… Aah…” Tara tak menghiraukanku dan dia sepertinya berkonsentrasi ke tubuhku.
“Nggh!” Tara mendesah dengan begitu lantangnya saat kelaminku masuk total. Sial. Seperti ini ternyata rasanya. Rasa hangat dan nikmat menjalar dari kelaminku ke seluruh tubuhku. Dengan perlahan aku mencoba menggerakkan tubuhku, menggauli Tara dengan pelan. Kakiku rasanya lemas. Ada rasa geli-geli aneh yang timbul di telapak kakiku. Rasanya seperti ada kembang api yang berputar-putar di perutku.
Dan di mataku, Tara, yang begitu cantik pagi ini, mengerang dengan perlahan. Dia menikmati setiap gerakanku, sepertinya. Dia memejamkan matanya dengan erat, dan kadang-kadang, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia tetap memeluk leherku, sambil berusaha merasakan seluruh kenikmatan yang ada sekarang.
“Gilang… Ah.. Nhh… Ah….” dia mendesah, menikmati diriku.
Gila. Ini pertama kalinya aku berhubungan dengan perempuan, dan perempuan itu adalah Tara. Napasku terengah-engah, kesulitan mengikuti ritme yang kubuat sendiri. Tak ada alasan lagi untukku untuk memalingkan diriku dari Tara sekarang. Kami sudah bersatu. Kami sedang melakukannya sekarang.
“Nnggh…” aku mengerang tidak karuan, berusaha menerjemahkan kenikmatan yang ada di kelaminku. Aku tidak berani mengintip ke bawah, karena sudah pasti berantakan di bawah sana, kalau ini yang pertama kali untuk Tara.
“Nnn…. Nn….. Ngghh….” Tara tampak keenakan, dan dia benar-benar terasa sangat lembut. Kulitnya begitu halus, dan rasanya di bawah sana, ada kenikmatan yang menjalar dengan deras, ditransfer oleh seluruh aliran darahku. Kelaminku berdenyut di sana, dan rasanya sungguh-sungguh luar biasa. DInding kemaluan Tara menjepit kelaminku tanpa malu malu, dan kami berdua berbagi kenikmatan.
Aku memeluknya dengan erat, dadaku bertemu dengan dadanya, napas kami bersatu dan kami tidak akan terpisahkan lagi.
Kakiku terasa lemas, pinggangku serasa ingin terbang entah ke mana. Rasanya sungguh-sungguh tak terbayangkan. Ternyata seperti ini rasanya. Kelaminku benar-benar menggila di bawah sana. Kulit kami berdua saling bergesekan, dan kami berdua seakan-akan menjadi satu tubuh. Satu tubuh untuk saling menikmati dan menstimulasi.
Tak salah aku menyimpannya selama ini.
Dan tak salah juga aku melepasnya dengan Tara. Rasanya lebih tepat. Rasanya lebih hangat dan manis. Dan aku akan benar-benar menghargai momen ini.
Kenikmatan yang kurasakan benar-benar tidak tertahankan lagi, aku meringis sebisa-bisanya untuk menahan apapun yang harus kutahan. Tapi rasanya benar-benar dimabuk kepayang. Aku tidak bisa melepaskan diriku dari Tara. Aku ingin bersatu terus selamanya. Gerakanku makin tidak karuan, dan rasanya tiap tusukan yang kulakukan, aku menusuk semakin dalam.
Tara meracau, menikmatinya. Suaranya sudah tak jelas, napasnya sudah tak jelas.
“Unnghh…. Gilang… Ah… Ah… Ahh… Ah….” Dia terus-terusan mengerang, bersuara, tak henti-hentinya. Aku benar-benar tidak tahan lagi.
Kombinasi suaranya, dengan kehangatan badannya, kenikmatan di bawah sana, membuatku ingin segera melepaskannya tanpa bisa berpikir.
“Nngg….”
“Gilang… Ah”
Stimulasi macam apa ini. Perutku mual. Tapi rasa mual yang enak. Kepalaku serasa berputar, dan ada kenikmatan surgawi yang kurasakan. Badanku bergerak tak karuan, pantatku terus menggerakkan kelaminku di dalam diri Tara.
Tara mendadak meremas punggungku. Dia meringis sejadi-jadinya.
“Nnhhh… Ahhh.. Ahh….”
“Ah…”
“Ngg….”
Dan saat itu pun tiba. Aku seperti terbawa ke awang-awang. Badanku dan badannya menegang secara bersamaan, dan secara tak sadar, ada cairan hangat yang keluar dari dalam tubuhku, di dalam tubuh Tara. Tara tersentak, meringis, tak bersuara. Mukanya memperlihatkan kenikmatan yang luar biasa.
“Ah!” Aku berteriak pelan, melepaskan diriku di dalam Tara. Tara menegang, memelukku erat, dan dia tampaknya begitu menikmati momen itu.
“Ngghh….” Tara membuang napasnya, dan dia terkulai lemas, bersamaku. Rasanya benar-benar aneh. Aku mengeluarkannya di dalam tubuh Tara. Dan aku benar-benar tidak bisa berpikir.
Napas kami berdua beradu, diam tanpa suara. Aku melihat ke arah wajahnya. Dia masih menutup matanya, dan mengatur napasnya. Dia masih memelukku dan aku masih memeluknya, belum bergerak dari posisi kami sebelumnya.
Aku dan Tara bersatu.
Mendadak aku panik. Aku panik karena aku keluar di tempat yang tidak semestinya. Dengan gerakan kilat aku mencoba mencabut kelaminku dari tubuh Tara.
“Nnh!” Tara kaget dan membuka matanya. Kami melirik berdua ke bawah. Kelaminku berlumuran cairan berwarna putih dan menetes-netes. Bibir kelamin Tara tampaknya basah karena ulahku.
“Shit!” umpatku.
“Sshh…” Tara kembali memelukku dan dia mencium pipiku. “It’s okay”
“Tapi…” aku berbisik kembali.
“Kalau Gilang, gak apa-apa”
“Tapi….”
“Gapapa, Gilang… Fine… Ini yang pertama buat gue juga…. Gue juga bingung…” bisik Tara.
“Pertama?”
“Iya”
“Gue pikir…”
“Enggak, Gilang yang pertama buat Gue” senyum Tara.
“Oh…”
Tara mencium bibirku dengan lembut, dan dia menarik selimut untuk menutupi badan kami berdua.
Aku yang pertama buat Tara ternyata, dan Tara yang pertama untukku.
Ini semua seperti kebetulan yang manis. Ini yang pertama untuk kami berdua. Kami benar-benar seperti jodoh yang sulit dicari. Selalu berdekatan, tapi telat untuk menyadari.
“Gue pikir lo gak akan balik lagi” bisik Tara dengan lemahnya.
“Gue balik lagi”
“Tapi kalo pun enggak, gue bakal terus nunggu” lanjutnya.
“Gue beruntung balik lagi….. Lo kayaknya diciptain buat gue doang” bisikku, mengeluarkan isi pikiranku.
“Apa sih…. But you know…. I love you” bisik Tara.
“I love you too”
Kami berdua, lantas saling berciuman, melupakan semua sirkus gila bersama Saras dan Aidan. Sekarang, pertunjukannya adalah kami berdua dan penontonnya adalah kami berdua. Tidak butuh orang lain lagi. Aku dan Tara sudah bosan jadi penanti dan kami sekarang tidak harus menanti siapapun lagi. Sekarang, kami akan berjalan berdua dan kami akan terus bersatu untuk selamanya.
Gilang dan Tara.
Tidak ada yang lain. Dan masa penantian kami, berakhir.
------------------------------
TAMAT