Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bab 39

“Jadi ... ?”

“Benar! Itulah maksud saya memanggil nona ... “

“Saya Rintani.” potong Rintani, “ ... dan ini tunangan saya, Seto Kumolo.”

“Paman boleh menyebut saya Gadis Naga Biru.” ucap gadis berbaju biru laut yang ternyata adalah putri Majikan Wisma Samudera, Ki Dirga Tirta.

Dua orang gadis cantik berbeda kulit itu saling pandang dan seperti sudah satu hati, mereka menganggukkan kepala menyatakan persetujuannya.

“Kami bersedia membantu hingga masalah ini selesai,” ucap Rintani, diplomatis.

“Terima kasih Rintani dan Gadis Naga Biru.” sambung Ki Dalang Kandha Buwana, setelah dengan panjang lebar menjelaskan duduk permasalahan yang saat ini mereka hadapi.

“Gadis Naga Biru? Kau ... Anak dari si Dirga Tirta?” seru Bidadari Berhati Kejam dengan kaget.

“Benar nini! Apakah nini mengenal ayah saya?” tanya si Gadis Naga Biru.

“Tidak kenal dengan pasti, hanya aku kenal dengan muridnya, si Tombak Perak Tapak Maut.
Pemuda itu pernah menolongku beberapa kali saat aku sedang dalam kesulitan,” kata si Bidadari Berhati Kejam.

“Si Tombak Perak Tapak Maut masih terhitung kakak seperguruan saya, nini.”

“Bagaimana denganmu, saudara Seto Kumolo?”

“Selama tidak bertentangan dengan hati nurani dan berpijak di jalan kebenaran, dengan kemampuan terbatas yang saya miliki ... saya bersedia membantu sekuat tenaga hingga masalah tersebut tuntas,” tandas Seto Kumolo dengan tegas.

“Kalau begitu ... delapan orang pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis sudah lengkap semua.
Tinggal menyusun rencana menghadapi serbuan orang-orang Topeng Tengkorak Emas kemari,” tutur Juragan Padmanaba.
“Tapi sebelumnya, saya ingin menanyakan sesuatu pada Nakmas Paksi.”

Pemuda berbaju putih berucap tenang, “Silahkan, Paman Padmanaba.”

Juragan Padmanaba memperbaiki duduknya.

Semua orang yang ada disitu, termasuk si bocah tengil Simo Bangak yang kini sudah ikut dalam pembicaraan duduk dengan tenang di samping Seto Kumolo.
Mungkin karena pantat kirinya sakit, duduknya agak miring ke kanan.

“Sebagai seorang ketua muda dari sebuah aliran besar, yaitu Istana Elang, pernah terdengar bahwa secara turun temurun memiliki sebuah pusaka yang konon kabarnya sanggup mempersatukan seluruh pendekar persilatan aliran lurus.
Dari kabar yang berembus pusaka langka itu dinamakan Pusaka Rembulan Perak.”

“Memang benar, Paman.”

“Nah ... setahuku dari beberapa kitab kuno yang pernah kubaca, pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis ke satu akan memiliki Mutiara Langit Putih, sedangkan pemilik Bintang Penakluk Iblis ke delapan akan memiliki Mutiara Langit Merah.
Kita yang ada disini mengetahui bahwa Nakmas Paksi memiliki tanda bintang ke satu, dan itu artinya bahwa saat Nakmaslah Mutiara Langit Putih.”

“Untuk hal itu saya sendiri kurang begitu paham, paman.
Namun jika yang paman katakan tadi adalah benar, kemungkinan besar bahwa Mutiara Langit Putih adalah sama dengan Pusaka Rembulan Perak. Sebab sudah beberapa kali orang-orang pemilik Rajah Penerus Iblis berusaha untuk mendapatkan benda sakti itu, bahkan sampai kakek saya sendiri nyaris tewas dalam mempertahankan pusaka tersebut agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah.” kata Paksi Jaladara alias si Elang Salju panjang lebar.

“Lalu ... apa tujuan sebenarnya dari orang-orang yang memiliki Rajah Penerus Iblis itu?”

“Yang jelas ... mereka bertujuan mendirikan sebuah kerajaan di atas bumi!”

“Sebuah kerajaan?”

“Benar, sebuah kerajaan!
Tapi bukan sembarang kerajaan, karena kerajaan yang ingin dibangkitkan oleh orang-orang pemilik rajah setan bertanduk sampai sekarang ini masih berdiri megah di alam gaib.” kata Paksi Jaladara.
“ ... yaitu Kerajaan Iblis Dasar Langit!”

“Dan dengan adanya Sepasang Mutiara Langit, maka kerajaan alam gaib itu bisa didirikan di alam manusia, betul begitu?” tebak Bidadari Berhati Kejam, dengan kengerian yang terpatri kuat.

Paksi Jaladara mengangguk pelan.

“Jadi tujuan sebenarnya adalah memindahkan Kerajaan Iblis Dasar Langit di alam gaib ke alam manusia?” tanya Juragan Padmanaba dengan antusias.
Pipa tembakaunya semakin jarang dihisap pertanda ia benar-benar memikirkan apa yang ingin diungkapkannya.

“Betul Paman Padmanaba! Coba paman bayangkan jika makhluk alam gaib bisa hidup bebas merdeka di alam manusia.
mereka bisa berbuat seenak perutnya di tempat ini!” tegas Paksi Jaladara dengan jari telunjuk menghadap ke bawah.

“Gila!”

“Betul-betul melanggar kodrat alam manusia dan alam gaib!”

“Itu namanya menentang hukum langit!” seru Seto Kumolo.

“Kita harus mencegahnya!” kata Rintani dengan nada keras.

“Itulah tujuan kita berkumpul disini!” kata Wanengpati setelah beberapa komentar terlontar keluar,
“Kita harus mencegah terjadinya perpindahan mengerikan itu.”

Begitulah, hingga siang hari pembicaraan hangat penuh keakraban pun mengalir lancar, tentu saja diselingi gelak tawa, apalagi jika bukan ulah konyol Simo Bangak yang memang paling suka bikin ulah.

Akhirnya dibuat keputusan!

Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba dibantu Arjuna Sasrabahu dan Simo Bangak ditugaskan mengungsikan seluruh warga Padukuhan Songsong Bayu ke tempat yang aman, dibantu dengan beberapa orang jagabaya pimpinan Ki Suro.
Mereka mengungsikan penduduk setelah sebelumnya memberi penjelasan tentang keadaan gawat yang sebentar lagi terjadi. Akhirnya dipilihlah tempat pesanggrahan mendiang Penambahan Wicaksono Aji dimana tempatnya cukup luas dan lapang.
Menjelang sore, tugas dua sahabat yang kini berbesanan itu pun selesai.

Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng dan Wanengpati membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang di dapat dari kitab bersampul hitam pemberian mendiang Panembahan Wicaksono Aji.
Rupanya pendeta tua itu sudah bisa memperkirakan segala kemungkinan yang akan menimpa anak yang dikandung Dhandhang Gendhis, istri Wanengpati sehingga membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang bertujuan untuk melindungi anak manusia yang sebentar lagi akan menghirup manis getirnya kehidupan.

Dengan berbekal Mutiara Hastarupa Hastawarna yang diberikan oleh cantrik pendeta sakti itu, yang sebelumnya telah dipesan bahwa jika ada orang memegang kitab bersampul hitam meminta delapan butir mutiara, harus segera diberikan tanpa perlu bertanya.

Begitu Mutiara Hastarupa Hastawarna dilempar ke atas oleh Wanengpati dan Seto Kumolo sesuai dengan petunjuk kitab, mutiara sebesar buah kelapa muda segera melejit ke atas diikuti dengan pancaran delapan warna yang bagai memenuhi angkasa.

Srapp! Srapp!!

Kemudian berputar cepat di langit biru sebanyak delapan kali putaran dan akhirnya memencarkan diri ke delapan arah mata angin, menaungi seluruh wilayah Padukuhan Songsong Bayu, tempat dimana majikan Mutiara Langit Merah berada.
Begitu jatuh ke tanah, langsung meresap masuk dan bersatu dengan bumi!

Akan halnya Ayu Parameswari, Rintani, Gadis Naga Biru dan Nawara yang baru tiba sore itu bersamaan dengan saudara kembarnya serta Sepasang Raja Tua, empat orang gadis yang memiliki pesona kecantikan masing-masing ditugaskan sebagai mata-mata, mengintai segala kemungkinan terjadinya penyusupan.

Memang tujuan utama dari mengungsikan penduduk ke tempat lain adalah untuk mengantisipasi adanya para penyusup, karena bagaimana pun juga yang namanya sebuah pertempuran tidak lepas dari mata-mata yang kirim oleh lawan, namun pihak empat gadis cantik lebih memilih dalam posisi bertahan.

Menjelang petang,
Ayu Parameswari dan Nawara tiba lebih dahulu dan melaporkan bahwa tidak ada gerakan sama sekali dari pihak lawan, lalu diikuti dengan kedatangan Rintani dan Gadis Naga Biru, mengatakan hal yang sama pada si Elang Salju dan Wanengpati yang saat itu masih membahas langkah-langkah yang harus diambil depan pendapa.

Justru melihat kondisi yang serba aman ini, membuat Paksi Jaladara semakin curiga.

"Aneh! Tidak mungkin rasanya jika pihak si Topeng Tengkorak Emas tidak melakukan gerakan apa pun." gumam si Elang Salju setelah menerima laporan para gadis tersebut,
"Harus digunakan cara lain untuk mengetahui apa bentuk gerakan mereka.” Dalam dalam hati ia berkata,
“Bantuan si Perak akan sangat membantu dalam mengatasi hal ini."

"Cara lain? Apa maksud Dimas Paksi?" tanya Wanengpati heran.

"Apa kakang tidak merasa aneh dengan situasi saat ini," urai Paksi Jaladara,
" ... jika dipikir-pikir, tidak mungkin pihak lawan membiarkan benda yang mereka inginkan sudah berada di depan mata, dibiarkan bebas lepas begitu saja. Ini justru mencurigakan!"

"Benar! Ini teramat sangat mencurigakan!" kata Wanengpati, "Entah dengan cara bagaimana mereka akan menyerang kita, sedang Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi besok siang.
Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu!" kata gusar Wanengpati.
Bagaimana tidak gusar, nyawa istri dan anaknya dipertaruhkan demi keselamatan dunia!

"Masih ada satu cara lagi, Kakang Wanengpati."

"Benarkah?" potong Wanengpati, cepat.
"Bagaimana caranya?"

Si Elang Salju hanya tersenyum saja, lalu dua jari telunjuk kiri kanan dimasukkan ke dalam mulut, tepatnya di depan bibir menghisap napas dalam-dalam setelah itu udara dikeluarkan hingga menimbulkan bunyi nyaring.

Suittt!! Suuittt!! Suuitt!!

Tiga suitan panjang terdengar mengangkasa, diikuti dengan tiga gulungan cahaya tipis putih keperakan yang membumbung tinggi ke langit.

"Apa yang dilakukan pemuda berpedang aneh ini?" pikir Wanengpati.

Paksi Jaladara yang saat itu tidak menyandang Pedang Samurai Kazebito, namun pedang panjang dari Negeri Matahari Terbit diletakkan di atas meja yang jaraknya dua jangkauan jauhnya.

"Sobatku sudah datang, Kakang Wanengpati!" kata Paksi Jaladara.

"Sobat yang mana? Aku tidak melihat siapa-siapa?" kata Wanengpati melihat ke sekeliling, namun tidak ditemukan siapa pun juga.

"Dia bukan manusia, ... "

"Bukan manusia? Apa jin? Setan?"

"Sebentar lagi kakang juga tahu." sambung Paksi Jaladara.

Dari arah barat, dimana sang Dewa Surya kembali ke peraduan abadi, terlihat setitik kecil cahaya putih yang semakin lama semakin membesar. Dalam dua tiga helaan napas, sosok yang terbang mengangkasa telah mendekati tempat dimana Paksi Jaladara dan Wanengpati berdiri tegak.

Wuss ... !

Kelebatan angin mengiringi datangnya sosok yang kini sedang berputaran rendah memperdengarkan teriakan nyaring.

Awkkk! Aawwkkk!!

Kemudian, sosok putih keperakan menukik tajam, mengarah ke Paksi Jaladara!

Wess!

"Ha-ha-ha! Kau masih mau coba-coba lagi denganku, ya?" seru Paksi Jaladara sambil berjumpalitan ke belakang dua tiga kali.

Begitu Paksi sejarak lima enam tombak dari tempat berdirinya semula, ia segera berdiri kokoh bersedekap.

Sosok putih keperakan yang serangannya meleset, segera melambung ke atas, lalu terbang rendah dan akhirnya ... hinggap di pundak kiri Paksi!
Seekor burung elang!

Mahkluk mana lagi yang bisa seakrab itu dengan Paksi Jaladara jika bukan si Perak adanya!

"Ha-ha-ha! Bagaimana kabarmu, sobat?" seru Paksi dengan sedikit mendongak ke kiri atas

Kerr! Kerr!! Toook!

Sosok putih keperakan itu mematuk pelan bagian tengah kepala.

"Iya ... iya ... maaf! Saking sibuknya kita jarang bertemu," ucap Paksi sambil mengelus-elus kepalanya yang dipatuk.

Kerr! Krrh!

"Oo ... begitu ya!? Jadi ada utusan dari istana yang akan datang kemari?" kata Paksi.

Tentu saja pembicaraan aneh itu hanya bisa dipahami oleh Paksi Jaladara dan elang berbulu putih mulus.
Mereka berbicara layaknya manusia dengan manusia.

"Hehe, kukira apa? Ternyata cuma elang putih ... " Wanengpati tertawa lirih, tapi dalam hati ia berkata,
" ... butuh waktu lama untuk bisa mendidik penguasa angkasa menjadi sejinak itu. Benar-benar pemuda luar biasa dia!"

'Benar, kakang. Inilah sahabatku. Si Perak namanya." jawab Paksi sambil mengelus punggung si perak dengan tangan kanan lewat belakang kepala.

Si Perak menurunkan kepala dengan leher terjulur ke depan, berkesan memberi hormat pada Wanengpati.

"Elang pintar! Ha-ha-ha!" ucap Wanengpati dengan tawa berderai keras melihat tingkah laku peliharaan Ketua Muda Istana Elang itu.
"Perlu waktu bertahun-tahun agar bisa membuat satwa liar ini bisa mengerti dan memahami bahasa manusia," pikirnya.

"Perak, saat ini keadaan sedang genting! Kau kutugaskan mengawasi dari kejauhan."

Kerrr ... kerr ... !

"Iya, aku juga kangen denganmu tapi tugas ini lebih penting dari sekedar kangen-kangenan," kata Paksi Jaladara sambil membelai lembut kepala si elang, yang langsung mendusal-dusalkan kepala putihnya dengan manja.

Kerrrh ... kerr ... !

"Awasi setiap orang yang menuju ke tempat ini, termasuk juga yang bisa keluar masuk dengan bebas ke tempat ini." kata Paksi pada si perak.
"Jika ada yang mencurigakan, segera kemari. Pergilah!"

Burung elang itu langsung terbang mengangkasa saat mendapat perintah dari majikan mudanya, berputaran sebentar di udara, lalu melesat ke arah timur laut mengeluarkan pekikan nyaring.

Awwwkk ... awwwkk ... !

"Hebat juga kau!"

"Apanya yang hebat?" tanya Paksi, heran.

"Jarang kujumpai orang yang bisa seakrab itu dengan satwa seperti elangmu itu," tutur Wanengpati menerawang ke kejauhan,
"Biasanya yang sering kujumpai adalah harimau atau ular dengan pawangnya, anjing dengan majikannya, tapi baru kali ini aku jumpai elang dengan tuannya."

"Ha-ha-ha! Kakang ini bisa-bisa saja membuat istilah."

"Sebenarnya aku dan Seto Kumolo sudah membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' untuk melindungi padukuhan ini."

"Formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin'?"

"Benar! Formasi ini selain bisa melindungi calon anakku, juga sekaligus melindungi padukuhan ini dari penyusup gaib atau mahkluk halus yang bisa saja disuruh oleh si Topeng Tengkorak Emas."

"Begitu rupanya."

"Sore tadi, ada sejenis demit yang berusaha menyusup masuk, tapi ia terbakar saat menyentuh dinding formasi bagian tenggara." kata Wanengpati.

"Itu artinya mereka memang bertujuan menghancurkan kita luar dalam.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.

-o0o-

Saat malam tiba ...

Semua orang yang terlibat dalam misi mempertahankan Padukuhan Songsong Bayu telah berkumpul semua, kecuali Sepasang Raja, Sepasang Naga Dan Rajawali serta Ayu Parameswari yang terus berpatroli di sekitar padukuhan.
Tentu saja Sepasang Naga Dan Rajawali yang memiliki ilmu pendengaran 'Empat Arah Pembeda Gerak' sangat diperlukan mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Sebab gerakan sekecil apa pun dari pihak musuh, pasti bisa didengar oleh sepasang anak kembar yang memiliki ikatan batin kuat ini.

Akan halnya Sepasang Raja Tua, terutama sekali Raja Pemalas sangat diandalkan penciumannya yang bisa membaui lawan dalam jarak puluhan tombak sekalipun, sedang Raja Penidur memiliki ilmu khas yang bisa mengendus hawa orang-orang yang memiliki kekuatan gaib.

Akan halnya Ayu Parameswari, murid tunggal nini Naga Bara Merah yang memiliki Ilmu ‘Susup Sukma Gaib’, dimana ilmu warisan dari Sang Api ini bisa mengetahui keberadaan segala jenis bangsa gaib, dimanapun mereka berada,meski di liang semut sekalipun!

Kedatangan orang-orang Partai Ikan Terbang sejumlah tiga laki-laki, dua orang utusan Perguruan Perisai Sakti yang sebelumnya telah mereka kenal yaitu Suratmandi dan Wiratsoko serta Ketua Perguruan Perisai Sakti berkenan datang yang berjuluk Perisai Baja Bermata Sembilan yang berusia hampir tujuh puluh tahunan, serta menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah itu tidak luput dari intaian lima jago kelas wahid ini.

Tentu saja mereka harus melalui serangkaian ujian membuktikan bahwa kedatangan mereka ke Padukuhan Songsong Bayu benar-benar murni dalam artian tidak ditunggangi rajah setan bertanduk dan yang penting harus dipastikan bahwa mereka bukan mata-mata musuh!
Setelah yakin dengan maksud dan tujuan mereka semua, barulah tiga belas orang itu diperbolehkan memasuki padukuhan.
Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan suka cita oleh Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba.

-o0o-

Sementara itu, di waktu yang sama namun tempat yang berbeda ...

Di Kerajaan Iblis Dasar Langit, terlihat beberapa orang sedang duduk tenang, menghadapi sebuah singgasana terbuat dari emas murni mengkilat. Dua pegangan kursi berbentuk ukiran ular raksasa dengan sepasang mata yang hijau bersinar.
Ukiran itu begitu hidup dan nyata, seperti menyiratkan bahwa ular itu benar-benar hidup. Justru yang aneh adalah ternyata pada bagian sandaran kursi berwujud seraut wajah seram bermata merah menyala, dimana ukiran itu tidak berwarna hitam tapi berwarna kuning emas serta di tempat pijakan kaki terhampar sebentuk kulit harimau tutul yang besar.
Tiba-tiba, terdengar suara menggema yang berasal dari enam orang yang duduk ditempat itu.

"Salam sejahtera, Maharaja Agung!"

Dan entah darimana datangnya, di kursi yang berbentuk menyeramkan itu telah duduk satu sosok berjubah perak lengkap dengan topeng berwujud tengkorak terbuat dari campuran baja dan perak murni.

Siapa lagi yang disebut Maharaja Agung jika bukan si Topeng Tengkorak Baja alias Raja Diraja Iblis Dasar Langit, orang nomor satu dari Kerajaan Iblis Dasar Langit di alam gaib.

Begitu ia mengusapkan tangan ke wajah, topeng tengkorak langsung lenyap.
Yang terlihat justru seraut wajah tampan dengan sorot mata tajam menyiratkan kekejaman.
Pada wajah tampan itu justru terusik sebentuk lukisan ular bertanduk dari dahi hingga ke leher, kemudian menghilang ke dalam balik jubah peraknya.
Namun yang paling menakutkan bukanlah wajah dengan rajah ular tersebut, tapi hawa pekat yang kian lama kian membuncah menyelimuti balairung itu.

"Enam senopati! Bagaimana persiapan pendirian kerajaan kita di atas bumi?"

Salah seorang senopati yang paling tengah, menyembah dengan khidmat, lalu berkata lantang,
"Lapor, Maharaja Agung! Gusti Pangeran saat ini telah selesai mempersiapkan bekas wilayah Kerajaan Kediri! Bahkan Upacara Panca Makara akan dilaksanakan tepat pada tengah malam ini juga."

"Bagus ... bagus! Jika begitu kita tinggal menjalankan sesuai dengan rencana."

Seorang senopati perempuan berkepala manusia bertubuh ular, menyela pembicaraan.

"Maharaja Agung, maaf saya sedikit menyela pembicaraan."

"Ada apa, Taksaka Sunti?" tanya si Maharaja Agung dengan penuh wibawa.

"Bagaimana dengan Mutiara Langit Merah? Apakah kita harus merebutnya dari tangan manusia-manusia bodoh itu?" tanya siluman ular yang bernama Taksaka Sunti.
“Bagaimana pun juga Mutiara Langit Merah merupakan syarat utama berdirinya kerajaan kita yang agung ini.”
Taksaka Sunti merupakan adik kandung dari Taksaka Abang yang kini sedang membantu Pangeran Nawa Prabancana mempersiapkan Upacara Panca Makara di bekas Kerajaan Kediri.

"Sunti, memangnya manusia-manusia tolol itu bisa apa?" bentak salah seorang yang bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala.

"Berani-beraninya kau buka mulut seperti itu di hadapan Maharaja Agung!"

Dialah yang disebut sebagai Senopati Jaran Panoleh, selain memiliki kesaktian yang tinggi, juga yang paling menggebu-gebu dalam hal berhubungan dengan lawan jenis.

Tentu saja melihat Taksaka Sunti yang cantik dan menggairahkan menimbulkan hasrat membara di dalam dirinya, namun di hadapan sang Maharaja Agung, ia tidak berani berbuat kurang ajar seperti biasanya.

"Sudahlah, Senopati Jaran Panoleh! Apa yang diungkapkan Taksaka Sunti itu memang benar!
Meski mereka manusia tolol, tapi setidaknya dua orang dari kalian telah tewas di tangan manusia-manusia tolol itu," kata Maharaja Agung dengan bijak.

"Siapa yang meragukan kemampuan manusia-manusia tolol itu berarti harus siap kehilangan nyawa!"

Semua yang ada disitu terdiam. Bernapas pun sangat hati-hati, sebab mereka semua merasakan bahwa hawa gaib sang Maharaja Agung semakin pekat saat disindir tentang kematian dua senopati, yaitu Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang.

Seorang yang berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh mirip ekor kalajengking sedang melilit pinggang wajah tirus dengan mata kecil licik, saat ia menyeringai sepasang taring kecil terlihat di sudut bibir, memecahkan keheningan.

"Mohon maaf, Maharaja Agung! Hamba mau melaporkan hal penting."

"Silahkan, Senopati Kala Hitam!"

"Dua orang anak buah saya, Kala Kuning dan Kala Merah baru saja melaporkan keadaan yang ada di luar."

"Teruskan!"

"Kala Merah tewas saat berusaha menyusup ke Padukuhan Songsong Bayu, Paduka!"

"Apakah mereka ketahuan?"

"Tidak, Paduka!"

"Lalu ... bagaimana kala merah bisa tewas?"

"Mereka berdua saya tugaskan untuk mengintai seberapa besar kekuatan lawan, namun saat mendekati sisi tenggara padukuhan, Kala Merah secara tidak sengaja tersengat pagar gaib pemusnah yang dipasang di delapan penjuru dan akhirnya tewas seketika," kata Senopati Kala Hitam.
"Sedang Kala Kuning masih sempat menghindar meski harus mengorbankan tangan kirinya saat ia berusaha menolong kala merah."

"Keparat! Jadi mereka telah menanam pagar gaib?" gumam Senopati Jaran Panoleh.

"Laporkan saja bagian yang penting!" potong si Topeng Tengkorak Baja mendengar laporan yang berbelit-belit.

"Baik, Paduka!
Di padukuhan ternyata telah berkumpul tujuh dari delapan orang pemilik Bintang Penakluk Iblis serta pemilik dari Mutiara Langit Putih juga berada di tempat itu pula," kata Senopati Kala Hitam.

"Apa?" Lima senopati yang lain tersentak kaget.

Tentu saja kaget, sebab dengan satu saja dari pemilik Delapan Bintang Penakluk Iblis sudah bisa membinasakan mereka, kini malah tujuh orang berkumpul sekaligus!

Kali ini para senopati dari istana gaib benar-benar dihadapkan pada situasi yang mengkhawatirkan!

"Tujuh orang pemilik Bintang Penakluk Iblis telah terkumpul?
Kenapa tidak delapan orang?" tanya sang Maharaja Agung dengan heran setelah keterkejutan mendengar berita dari Senopati Kala Hitam.

"Sebab pemilik bintang ke delapan yang juga majikan mutiara langit merah belum lahir!" kata Senopati Kala Hitam pelan.

Maharaja Agung terdiam. Lalu ia berkata dengan suara keras.

"Kurang ajar! Manusia-manusia di atas bumi memang tidak bisa dianggap enteng!" geram Maharaja Agung, lalu ia berdiri dan berkata lantang,

"Apa kalian siap berkorban nyawa demi kejayaan negeri kita?"

"Siap, Paduka! Seluruh jiwa raga!" seru enam senopati dengan mantap.

"Senopati Jaran Panoleh!"

"Siap, Paduka!" kata Senopati Jaran Panoleh sambil berdiri, siap menerima titah.

"Siapkan seluruh Pasukan Kuda Iblis!"

"Laksanakan perintah!" kata Senopati Jaran Panoleh, lalu setelah memberi hormat, ia langsung raib dari tempat itu.

"Senopati Kala Hitam dan Taksaka Sunti!"

"Siap, Paduka!" kata Senopati Kala Hitam dan taksaka sunti bersamaan.

"Siapkan seluruh Kelompok Kala Maut dan Barisan Ular Setan!"

"Laksanakan perintah!" kata Senopati Kala Hitam dan Taksaka Sunti, lalu setelah memberi hormat, ia langsung raib dari tempat itu seperti Senopati Jaran Panoleh.

Pada Senopati Segawon Alas, Senopati Babi Angot dan Senopati Monyet Plangon mendapatkan tugas masing-masing.

Sebentar kemudian, balairung istana sudah sepi.
Yang tersisa hanyalah sang Maharaja Agung yang terduduk lesu.

"Bagaimana pun juga kesempatan ini harus bisa kuraih!
Meski harus mengorbankan beberapa ratus prajurit tangguh tapi cukup sepadan dengan hasil yang bisa diraih," pikirnya, lalu ia berkata lantang, " .... tidak lama lagi ... ya, tidak lama lagi Kerajaan Iblis Dasar Langit akan berdiri megah di muka bumi! Hua-ha-ha-ha!"
Ia tertawa keras, sampai menggetarkan dinding-dinding istana.

Kemudian ia turun dari singgasana, berjalan cepat memasuki sebuah lorong yang berkelok-kelok.
Hingga sampai di sebuah taman sari nan asri dan indah terawat. Didalamnya terdapat sebuah kolam yang besar dan lebar dengan dinding dihiasi batu-batu pualam biru yang bisa memantulkan cahaya kemilau.

Terlihat di tepi kolam sesosok wanita cantik berkulit kuning langsat sedang merendam diri.

Tentu saja beningnya air tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuh menawan terutama sekali sebentuk payudara padat dan kenyal yang membayang jelas.

Wanita cantik bertubuh indah itu tersenyum manis melihat kedatangan sang Maharaja Agung.

Sang Maharaja Agung segera melepas seluruh benda yang melekat ditubuh dan sebentar saja ia sudah masuk ke dalam kolam, dan tanpa banyak kata langsung menyergap bibir merah merekah yang sudah menanti.
Sebentar kemudian dua insan berbeda alam sudah saling pagut dan saling lilit di dalam air, bahkan saat pilar tunggal milik Maharaja Agung menerobos masuk ke dalam gua rimba milik wanita yang ada dalam dekapan tangan kekarnya, seketika melenguh kecil merasakan kenikmatan yang tiada tara saat tonggak keramat besar dan panjang itu berhasil menerobos masuk dan menghentak-hentak di dalam dinding gua kenikmatan.

Kini ... dua insan beda alam sedang menikmati indahnya percumbuan di dalam kolam bening.

Sebenarnya ... siapakah wanita cantik itu?

Dia tak lain adalah Danayi, murid Perguruan Rimba Putih yang kini resmi sebagai Permaisuri Kerajaan!

-o0o-
 
Bab 40

Di bekas Kerajaan Kediri ...

Pangeran Nawa Prabancana atau di kalangan persilatan dikenal sebagai Topeng Tengkorak Emas sedang memimpin upacara Panca Makara.

Delapan orang laki-laki, termasuk didalamnya Nawa Prabancana yang bertindak sebagai Cakra Iswara (pemimpin upacara Aliran Bhirawa Tantra) dan delapan orang perempuan dalam keadaan tanpa busana secuilpun mengelilingi ‘Mukara’ atau tumpeng selamatan. Mukara yang berada ditengah-tengah berisi sesaji yang terdiri daging, ikan dan arak.

Api kuning kemerahan semakin menjilat-jilat liar mengikuti gerak enam belas pasang tangan yang menari-nari dengan irama tertentu.
Kadang meliuk ke kiri, kadang ke kanan, bahkan adanya condong ke depan hingga menyentuh tanah.
Tapak tangan mereka berkali-kali menghentak ke tanah diikuti suara keras.

“Huu ... haaaa ... huuu ... !!”

Begitu berturut-turut teriakan terdengar bagai ingin merobek-robek pekatnya malam.
Kemudian Cakra Iswara berdiri dikuti dengan lima belas orang lainnya berlari-lari kecil mengitari Mukara.
Setelah delapan kali putaran, Nawa Prabancana memungut daging mentah, diikuti dengan yang lain.

Kali ini ritual makan daging (Modsa) dimulai!

Bagai orang kesurupan, mereka makan daging mentah seperti makan ayam panggang.
Memang benar apa yang dikatakan Tabib Sakti Berjari Sebelas bahwa orang yang sering kali meninum darah dan makan daging mentah, sedikit demi sedikit akan kehilangan sifat kemanusiaan dan pada akhirnya berubah menjadi sifat buas yang ada pada binatang.
Sifat bawaan manusia yang sesungguhnya telah berganti haluan menjadi sifat buas yang mengerikan!

Setelah ritual ‘Modsa’ selesai, dilanjutkan dengan ‘Modsia’ (makan ikan).

Mereka berenam belas saling berebutan melahap ikan mentah yang sudah tertata rapi di atas tumpeng.
Sambil tetap berlari-lari kecil, ikan mentah langsung dilahap dengan nikmat.
Benar-benar perbuatan biadab!
Tak lama kemudian, setelah ikan mentah berpindah ke dalam perut, giliran untuk menghilangkan haus, dan satu-satunya benda cair ditempat itu adalah arak.

Ritual ‘Modya’ (minum arak sampai mabuk)!

Bau arak segera menguar kemana-mana. Kali ini teriakan sudah tidak seperti sebelumnya, bahkan setelah sepeminuman teh berlangsung, beberapa orang mulai setengah mabuk.
Cuma Nawa Prabancana saja yang nampak paling kuat takaran minumnya.
Beberapa guci telah berpindah ke dalam perut, tapi ia masih kokoh bagai batu karang.
Saat guci-guci arak telah kosong, mereka segera berpasangan, dan ditempat itu pula terjadilah perbuatan terkutuk!

Ritual ‘Mautuna’ (bersenggama) telah digelar!

Tubuh telanjang saling merapat dan menyatu diiringi dengan desahan nafsu dan lenguhan kenikmatan.
Bahkan beberapa wanita terlihat mengerang kenikmatan saat gua rimba mereka ditikam sebentuk pilar tunggal yang langsung mengaduk-aduk seluruh bagian dalam rongga gua yang telah basah dan lembab oleh cairan surga.

Saat ritual ‘Mautuna’ digelar itulah, hawa gelap segera menyelimuti tempat itu, dan secara perlahan-lahan membentuk satu sosok bayangan raksasa bermata merah menyala dengan dua tanduk besar di atas telinga. Sebuah seringai iblis terpampang dengan jelas.
Setan Bertanduk!

"Bagus! Bagus! Kalian memang benar-benar pengikutku yang sejati!"

Setan Bertanduk tertawa, semakin lama semakin keras bahkan tempat upacara para penganut Tantra sampai bergetar keras.
Akan tetapi getaran keras itu ternyata kalah dengan getaran nafsu yang kian membara.

Setelah puas dengan ritual Mautuna, enam belas orang itu segera mengambil sikap semadi (Mudra) mengelilingi api unggun yang kobaran apinya justru semakin berkobar-kobar.
Cara semadi yang diperlihatkan pengikut Aliran Bhirawa Tantra cukup aneh, dimana laki-laki duduk bersila di tanah sedang posisi perempuan berada di pangkuan dengan muka saling berhadapan, tentu saja pilar tunggal menyatu dengan gua rimba. Setelah itu, sepasang tangan laki-laki mencengkeram sepasang payudara padat yang basah oleh keringat nafsu sedang sepasang tangan perempuan melingkari leher pasangannya.
Mata terpejam dengan napas diatur sepelan mungkin.

Ritual ini dinamakan Mudra Lingga Yoni, semadi penyatuan hawa kehidupan dari masing-masing pasangan setelah nafsu perut dan nafsu syahwat terpenuhi. Sebentar kemudian, suasana sepi menyapa.
Akan tetapi, suasana ini justru membuat Setan Bertanduk menggerak-gerakkan sepasang tanduk di atas kepalanya.

Sratt!

Sebentuk cahaya hitam pekat menyebar, menyelubungi delapan pasang manusia yang menggelar ritual sesat di bekas Kerajaan Kediri. Sebentar kemudian cahaya itu terpecah.

Pyarrr!

Dan membentuk delapan pasang sosok hitam yang sama bentuk dengan setan bertanduk, kemudian masing-masing melesat masuk ke ubun-ubun kepala delapan orang yang sedang Mudra Lingga Yoni.

Blessh! Bleshh!!

Begitu masuk ke dalam ubun-ubun, delapan pasang manusia itu langsung raib tanpa bekas.
Menghilang secara gaib!

"Ha-ha-ha! Sebentar lagi ... sebentar lagi kerajaanku akan berdiri megah di tempat ini!
Kalian Delapan Bintang Iblis Kegelepan yang akan memimpin kerajaanku! Ha-ha-ha!"

Suara tawa keras menggema dan bersamaan dengan itu pula, lenyap juga Setan Bertanduk ditempat itu. Yang tersisa hanyalah api unggun yang nyala apinya mulai redup dan bekas-bekas upacara Panca Makara di tempat itu.

Dan akhirnya ... malam gelap kembali meraja!

-o0o-

Pagi hari saat ayam jantan berkokok ....

Setengah hari sebelum Gerhana Matahari Kegelapan terjadi ...
Dua bayangan berkelebatan cepat membentuk gulungan hitam dan biru yang saling serang silih berganti.
Kadang bayangan biru berhasil mendesak bayangan hitam, namun kadang gantian bayangan hitam dengan serta merta menekan bayangan biru.

"Hiyaa ... "

Teriakan nyaring terdengar saat si bayangan biru menggunakan telapak tangan miring berusaha menebas lawan.

Set!!

Dengan elakan manis, bayangan hitam berhasil membebaskan diri dari sergapan tapak bayangan biru. Namun ia kecele.

Wutt! Wuttz ... !!

Serangan pertama hanya gerak pancing, sedang serangan yang sebenarnya adalah tebasan tangan kiri yang bagai merobek-robek udara.
Serangan tapak mengalir begitu saja bagai aliran sungai, begitu rapat bagai jaring-jaring ikan yang menebar.

Weleh-weleh, serangan.tapaknya begitu gencar," pikir bayangan hitam sambil berkelebatan di antara celah jurus tapak yang datang bagai bandar bandang, sekilas bagai harimau muda yang bergerak lincah.
Bahkan beberapa kali bergulingan di tanah sambil kaki melakukan tendangan menyusur tanah.

Srakk! Srakk!!

Acap kali pula, bayangan hitam bersalto diantara kelebatan tapak yang mengurungnya rapat.

"Bocah ini benar-benar luar biasa! Dia bisa menghindari 'Selaksa Tapak Membelah Laut'-ku," bayangan biru sambil melompat ke atas saat berusaha menghindari samparan kaki lawan.

"He-he-he, kena kau sekarang!" gumam si bayangan hitam.

Lima jari tangan membentuk cakar harimau dan dengan sigap menerjang ke jurusan dada.

Wutt!

Jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' digunakan pada waktu yang tepat saat dimana bayangan biru dalam posisi tidak siap sehabis melakukan lompatan tinggi.
Suara cuitan tajam membelah udara dan langsung menghantam masuk dada lawan.

Si bayangan biru terlonjak kaget mendapati serangan kilat yang mengarah ke dada.

"Brengsek! Bocah ini pasti punya niat jahil padaku!" pikir si gadis memompa cepat hawa tenaga dalam membentuk perisai pelindung.

Bukk! Bukk!

Jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' membentur sebentuk lapisan dinding hawa biru laut yang sejarak sejengkal dari dada bayangan biru.

"Wadaooo ... "

Teriakan nyaring terdengar saat lima jangan si bayangan hitam merah matang.

"Bukankah janjinya hanya pakai peringan tubuh saja tanpa embel-embel tenaga dalam?" semprot si bayangan hitam sambil meniup-niup jari tangannya yang kini segedhe pisang.

Siapa lagi jika bukan Simo Bangak, si bocah tengil dari Bukit Harimau?

"Salah sendiri kenapa kau jahil padaku?" elak si bayangan biru, yang ternyata seorang gadis cantik dengan pita biru mengikat rambut panjang, sewarna dengan baju biru laut bercelana biru tua serta di bagian pinggang terlilit sebuah sabuk hijau garis-garis merah.

Dialah putri tunggal Ki Dirga Tirta yang berjuluk Gadis Naga Biru!

"Jahil bagaimana?" tanya Simo Bangak, karena ia memang benar-benar tidak tahu apa maksud ucapan gadis lawan tandingnya.

Dengan mata sedikit mendelik yang justru semakin menambah kecantikannya, ia berkata,
"jurus seranganmu itu mengarah kesini," katanya sambil menunjuk dada montoknya,
"Apa itu tidak jahil namanya?"

"Lho, memang jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' sasarannya di ulu hati dan dada, kalau mau di kepala ya ... jurus 'Harimau Menggulung Topan'," sahut Simo Bangak sambil tetap membela dirinya bahwa dirinya tidak bersalah sama sekali.
Padahal dalam hatinya ia memaki panjang pendek,
"Gagal dech! Mulanya kupingin meremas dada montok yang menggelembung besar itu, eh ... malah tanganku yang hancur kayak gini.
Nasib ... nasib!"

"Bodo amat! Pokoknya kau mau menjahiliku! Titik!"

"Tidak bisa! Memang jurusku seperti itu! Untuk apa aku menjahilimu? Aku khan masih kecil!"

"Masih kecil?" sahut heran Gadis Naga Biru,
"Iya memang kau masih kecil, tapi otakmu sudah besar!" semprotnya.
"Sekali lagi kau bilang masih kecil, aku remas mulut bawelmu!"

Cep klakep!

Simo Bangak diam seribu bahasa.
Entah mengapa saat ia adu debat dengan gadis usia delapan belas tahunan itu ia selalu kalah.
Padahal adu debat dengan Joko Keling ia selalu menang, meski menang tipis sih.
Apalagi jika ia menggoda Seto Kumolo dan Rintani yang kemana-mana selalu berdua, mulut jahil tidak bakalan berhenti sebelum dua orang kekasih itu pergi dengan muka merah padam.
Bahkan Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba yang notabene terhitung orang tua juga tidak lepas dari sifat jahilnya.
Hanya pada Paksi Jaladara saja bocah gemblung itu tidak bisa menyalurkan hasrat jahilnya.
Entah mengapa ia merasa segan pada pemuda berbaju putih-putih itu.

"Simo, kau itu memang jahilnya tidak ketulungan.
Kalau ketahuan kakekmu, kau pasti bakal direndam di kubangan lumpur tiga hari tiga malam lamanya," seru Paksi Jaladara yang melihat sejarak dua tombak dari arena latih tanding antara Gadis Naga Biru dan Simo Bangak.

"Wah ... aku dikeroyok dua orang nih."
"Siapa yang mengeroyokmu?" Gadis Naga Biru bertanya dengan nada bentak.

Melihat mata melotot besar ke arahnya, Simo Bangak hanya meringis ngeri.

"Amit-amit jabang kodok! Matamu mau keluar tuh," ejek Simo Bangak sambil berlari menjauh.

"E-e-e, bocah sableng! Berani benar kau berkata begitu padaku!
Sinikan mulutmu ... kutabok pulang pergi baru tahu rasa kau!"

Baru saja gadis cantik berbaju biru berniat mengejar, sebuah tangan memegangnya.

"Buat apa kau mengejar bocah sableng itu?" seru si pemuda yang ternyata Paksi Jaladara.

"Tapi kakang ... "

"Apa kau memang sebegitu marahnya pada anak itu?"

"Aku tidak marah padanya.” Katanya kemudian,
“Entah kenapa kalau adu debat dengannya aku merasa senang saja, seperti dia itu adikku sendiri.
Rasanya begitu aneh menurutku. Pokoknya asyik!"

"Apa kau punya seorang atau dua orang adik barangkali?"

"Tidak. Aku anak tunggal. Ibuku meninggal saat aku dilahirkan."

"Maaf kalau begitu."

"Tidak apa-apa kakang," sahut Gadis Naga Biru sambil duduk bersebelahan dengan Paksi Jaladara.
Sesaat keheningan meraja.

"Apa ayahmu, Ki Dirga Tirta tidak menikah lagi?"

"Ayahku terlalu setia pada mendiang ibu." sahut Gadis Naga Biru, pelan.
"Beliau bersumpah hanya menikah satu kali dengan ibuku.
Aku sangat menghargai ketegasan ayahku.
Demikian juga dengan Kakang Wisnu Jelantik murid utama ayah juga tidak bisa merubah pendirian ayah."

"Wisnu Jelantik? Dia ... tunanganmu?" tanya Paksi Jaladara, ada sedikit nada kecewa yang tersamar.

"Bukan! Aku menganggap Kakang Wisnu Jelantik sebagai kakakku sendiri.
Kalau kau mengenal Si Tombak Perak Tapak Maut, dialah orangnya," ucap Gadis Naga Biru.

"Jadi selama ini ... kau hanya menuntut ilmu saja pada ayahmu?"

"Tidak juga. Kadang-kadang aku keluar wisma dan berjalan-jalan beberapa waktu.
Supaya tidak jenuh saja," katanya sambil menoleh ke samping dan pada saat yang bersamaan, sinar mata iindah gadis itu langsung beradu pandang dengan sorot mata elang Paksi Jaladara.

"Sinar mata itu ... begitu menawan dan teduh, seolah berusaha mengaduk-aduk seluruh isi hatiku.
Belum pernah dalam hidupku menjumpai sinar mata yang begitu teduh penuh perlindungan seperti milik Kakang Paksi," batin Gadis Naga Biru sambil berdebar-debar, menatap pandang pemuda yang ada didepannya.

"Apa yang kau lihat?" tanya Paksi Jaladara tiba-tiba.

"Ah .. apa?" sahut Gadis Naga Biru sambil tergagap kaget.

"Apa yang kau lihat di mataku, Retno Palupi?" tanya ulang Paksi Jaladara.

"Ahh ... dari mana kakang Paksi mengetahui nama asliku?
Padahal aku belum mengenalkan nama asliku pada siapa pun yang ada disini," tanya heran si Gadis Naga Biru yang ternyata bernama asli Retno Palupi.

"Aku telah menjenguk isi hatimu," kata Paksi sambil beringsut mendekat,
" ... disana tertulis indah namamu. RETNO PALUPI! Nama yang cantik, secantik orangnya."

Selebar wajah cantk Retno Palupi memerah dadu.

"Apa yang kau lihat di dalam hatiku, Retno Palupi?" tanya ulang Paksi Jaladara untuk ketiga kalinya.

Mata indah Retno Palupi menatap tajam mata elang Paksi.

"Aku melihat ... " kata Retno Palupi menggantung sambil membuat seulas senyuman manis.

Dua lesung pipit terbentuk bagai bulan sabit kembar di pipi halus gadis itu.

Paksi masih menunggu jawaban si gadis.

"Aku hanya melihat ... pemuda nakal yang tengah mempermainkan hati seorang gadis," kata Retno Palupi bangkit berdiri sambil menundukkan wajah, lalu berkelebat cepat ke arah timur.

Blasss!

Paksi Jaladara kaget.
"Waduh .. jangan-jangan dia tersinggung lagi," pikirnya sambil berkelebat cepat, menyusul Retno Palupi ke jurusan timur.

Dua insan itu tidak menyadari bahwa apa yang mereka perbincangkan itu tidak lepas dari pandangan cemburu seorang gadis cantik berbau putih denagn sulaman rajawali di dada kirinya.
Nawara!

"Rupanya Gadis Naga Biru juga jatuh cinta pada Kakang Paksi." pikir Nawala yang bersembunyi di balik pohon.
"Aku kalah selangkah darinya."

Sebenarnya gadis itu sudah ada disitu sejak tadi, bahkan sejak latih tanding antara Gadis Naga Biru dengan bocah dogol Simo Bangak.
Mulanya dia berniat menghampiri Paksi Jaladara, tapi kalah duluan dengan Gadis Naga Biru. Sehingga ia hanya bersembunyi saja di tempat itu.

Baru saja ia membalikkan badan, seseorang telah menghadangnya di depan.

"Nawala!? Kau bikin aku kaget saja!" serunya sambil memegangi tengah dada membusungnya.
Saudara kembar gadis itu menatap dengan tajam.

"apa yang kau lakukan disini?" tanya Nawara setelah debaran jantungnya mereda.
Pemuda itu tetap menatap gadis itu dengan tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya.

Tiba-tiba Nawala mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat Nawara kaget bukan alang kepalang.

"kau ... Juga jatuh cinta dengan Paksi Jaladara?"

"eh, ap ... Apa kau bilang?"

"Nawara, aku tahu siapa dirimu! Kita ini kan bersaudara, apalagi saudara kembar." kata Nawala bijak, "apa yang kau rasakan tentu aku bisa merasakannya dengan pasti."

Gadis itu hanya menunduk.

"Apa aku perlu membicarakan ini pada Paksi?" usul Nawala.

"Jangan Nawala ... jangan!
Aku tidak mau berselang-sengketa dengan Gadis Naga Biru.
Kelihatannya Kakang Paksi juga menyukainya." cegah Nawala sambil memegang tangan Nawala.
"Aku mohon, jangan bilang padanya!"

"Tapi kau ... "

"Aku tahu! Seperti kata guru Naga Sakti Berkait, bahwa cinta itu tidak harus memiliki!" ucap Nawara melepas genggaman tangan saudaranya,
"Baru kali ini aku paham maksudnya, walau aku tetap kukuh dengan prinsipku!"
Gadis itu berprinsip, sekali ia jatuh cinta maka cintanya adalah seumur hidup!

"Itu namanya membabi buta, Nawara!"

"Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan! Lainnya tidak ada!" seru Nawara dengan setitik air mata di sudut matanya.

Pemuda itu langsung memeluk erat saudara kembarnya.
"Kau harus tabah! Harus kuat! Lebih kuat dari gadis mana pun yang aku kenal!" bisiknya. "Dan aku tahu, kau bisa!"

Akhirnya ... bendungan air mata Nawara jebol.
Ia menangis lirih sesenggukan di dada bidang Nawala.
Memang keadaan Nawara saat ini dalam posisi serba sulit.
Di satu sisi ia begitu mengharapkan Paksi Jaladara dan di satu sisi ia harus bersaing dengan gadis lain yang sama-sama mencintai si pemuda.

Kali ini ... jalinan kisah cinta segitiga mereka telah terbuka lebar!
"Sudahlah ... biarkan waktu yang menjawab semuanya," kata Nawala sambil membelai lembut rambut panjang Nawara.
Setelah air matanya kering, Nawara melepas pelukan pada pemuda kembarnya.

"Aku ... kalau nangis jelek ya?" katanya sambil menyusut air mata dengan bibir diruncingkan.

"Tidak, tidak kok! Kau tambah cantik mempesona!" kata Nawala.

"Benar?"

"Ya ... bener-bener cantik," katanya sambil pringas-pringis.

Tentu saja pringas-pringis karena daun telinga kirinya sedikit tertarik ke atas oleh tangan putih seorang gadis.

"Begitu ya? Dibelakangku kau main nggak karuan dengan saudara sendiri, ya?" seru gadis berbaju merah menyala.
"Pakai merayu lagi!?"

Nawara langsung tertawa tergelak-gelak melihat tingkah polah saudara kembarnya yang tersengat di tepat di daun telinga.

Siapa lagi yang berani sekurang ajar itu jika bukan Ayu Parameswari, gadis incaran Nawala!

"Aduhh .. duhh ... Ayu ... lepasin dong ... ntar putus nih ... " ucap Nawala sambil meringis-ringis kesakitan.
Lucunya, meski kesakitan seperti itu, wajahnya justru menunjukkan rasa senang.

"Kalau begitu selamat bersenang-senang!" kata Nawara sambil pergi dari tempat itu,
"Ayu ... jangan buat saudaraku porak-poranda, ya?" serunya dari kejauhan.

"Beres!"
Jempol kanan pun teracung ke atas!

"Heran ... sebenarnya Ayu yang suka menyiksa atau aku yang suka disiksa Ayu, sih?" pikirnya sambil memandangi wajah cantik ada sejangkauan di hadapannya.

"Kalau ngga dilepas ... "

"Kalau ngga di lepas, kenapa!?" bentak Ayu sambil berkacak pinggang. Tentu saja posisi tangan tetap menjewer telinga si pemuda.

"Kalau ngga di lepas, ntar kena ini ... "

Langsung saja bibir Nawala menyumpal bibir Ayu yang setengah terbuka.

Pluuups!

Ayu gelagapan sambil melepas jeweran tangan kirinya saat bibir hangat tanpa permisi yang menutup rapat bibirnya. Rasa hangat langsung menjalari seluruh pori-pori tubuh gadis itu.

Sedetik kemudian ...

Nawala langsung berlari menjauh setelah 'mencuri serang' pada gadis cantik berbaju merah.

"Nawala brengsek! Kurang ajar! Kutu kupret! Babi ngorok!" seluruh caci maki terlontar dari bibir merah Ayu, tubuhnya segera berkelebat cepat mengejar Nawala yang baru saja 'mencuri serang' saat dirinya tidak siap.

Tapi ngomong-ngomong, Ayu Parameswari suka banget lho! (Swear ... dicium lagi juga ngga nolak!)

-o0o-
 
Horor selangkangan, suhu ;) Wow masih panjang yak ceritanya.... kek cerita satunya lagi, yang Si Pemanah Janda :Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd