4
Setalah mengantarkan Inne pulang, aku langsung pulang ke kosan membawa motor Inne hahaha
(yang penting ga terlalu mokondo lah ya ngab.) Semuanya berjalan normal selama aku di kosannya no jamah-menjamah. Aku juga ga terlalu ngebet, inget pola tarik ulur slur
. Hanya saja di sela-sela perbincangan ada kecupan-kecupan. Paling hanya bercakap-cakap bersenda gurau dengan khas kami masing-masing. Sesaat sebelum pulang ya gitu, bibir kami beradu kembali beberapa menit untuk melepas kepulanganku
bangsatlah.
Skiiiippppp…!!!
Setalah di kosan, seperti biasa aku memarkirkan motor Emex milik Inne dengan rapih. Setidaknya parkirku harus rapih untuk menutupi wajahku yang B aja. Aku berjalan ke tangga menuju kamarku. Namun, tiba-tiba ketika melewati kamar yang pintunya sedikit terbuka ada bayangan dari gorden yang bergerak.
“A…, a…,” ucap seseorang di dalam kamar, sepertinya memanggilku.
Aku sontak berhenti dan memastikan menengok ke arah suara itu. Setelah ia keluar oh ternyata Dita.
“A punten ih, mau minta tolong,” ucapnya.
“Eh, Neng. Kenapa?,” tanyaku.
“A, Dita mau ganti lampu tapi tinggi ih ga nyampe gening tinggi banget,” dengan wajahnya yang memelas.
Anjir, wajah khas perempuan Sunda memang ga pernah gagal bro. Ucapku dalam hati.
Tak lama lagi, aku langsung mengiyakan untuk membantu mengganti lampu kamarnya yang redup. Di waktu itu aku dan Dita cukup banyak mengakrabkan diri. Kedeketanku dan Dita tak lebih seperti seorang adik dan kakak karena sifat Dita yang manja dan baru pertama kali jauh dari orang tua. Karena dititipkan oleh orang tuanya. Aku, juga Inne, merasa harus memberikan protect yang lebih padanya. Segitu dulu tentang Dita. (Nanti akan ada sesi khusus untuk Dita).
Setelah beres dan Dita pamit untuk tidur. Aku hanya rebahan sembari menonton serial Peaky Blunders
menunggu kabar dari sahabatku, Cipeng dan Aldi.
Mereka tiba di Jogja sekitar pukul 1 malam, kami makan terlebih dahulu di café resto yang masih buka saat itu sembari beristirahat dan berbicang.
“Udah lama aku gak kesini, Yas. Sekarang udah pada beda bangunannya,” ucap Cipeng seraya menyalakan rokoknya.
“Banyak berubah emang, Peng. Yang ga banyak berubah mah cuman takdir,” kataku sembari tertawa.
“Kosan lu di daerah mana, Yas?” tanya Aldi.
“Di daerah x, Di. Nyari yang agak deketan sama tempat kerja aja sih.”
Kami berbincang melepas rindu sembari tertawa-tawa. Cukup terobati rasa rinduku pada mereka setelah melihat tawanya yang masih sama dalam memoriku. Di hadapanku terlihat motor yang begitu menawan. Yamaha XSR hitam terparkir, motorku yang selalu menemani dalam mengukir cerita. Dan kali ini di kota ini aku akan ditemani lagi oleh motor itu.
Cipeng dan Aldi menginap di kosku. Ukurannya yang lumayan lebar cukup untuk menampung kami. Perbincangan pun berpindah ke sana.
“Enak gini kosannya, Yas,” kata Aldi yang merebahkan tubuhnya di atas kasur.
“Ya lumayan, Di. Yang penting mah bisa istirahat.”
“Anjrit! Wangi cewek,” ucap Aldi yang menyadari parfum Inne masih menempel di sana.
“Itu tandanya udah lupa sama Verra, Di,” Cipeng menimpalinya dengan tertawa.
Aku hanya tertawa saja membiarkan mereka menerka-nerka sendiri.
“Siapa, Yas?” tanya Aldi.
“Temen, tadi ikut istirahat di sini,” jawabku meyakinkan mereka.
“Di istirahatin juga ngga lu nya?” tanya Cipeng tertawa dengan cukup keras.
Saat itu aku menemani mereka sampai subuh, tak tega rasanya jika harus melewatkan malam itu tanpa berbincang malam sembari menikmati anggur kolesom favorit kami. Sebenarnya mereka menyuruhku untuk tidur lebih awal karena besok aku kerja, namun aku tak bisa melewatkannya begitu saja.
Cipeng dan Aldi di Jogja selama tiga hari, sebenarnya aku ingin menemaninya menyusuri kota. Namun, kesibukanku mengatakan lain. Mereka memakluminya, kutawarkan kosku sebagai tempat istirahat, tapi Cipeng memilih untuk mengunjungi kenalannya, Codot.
Hari terakhir di Jogja mereka mengabariku untuk berpamitan, jatah cuti kerjanya telah habis. Kami janjian untuk bertemu di sebuah café yang sudah ditentukan. Waktu itu sekitar pukul 4 sore, aku sengaja izin pulang lebih awal dari kantor untuk segera menuju ke tempat yang sudah disepakati dengan Cipeng dan Aldi.
Segera kupacu motorku, tak lama untuk sampai menuju tempat itu. Karena memang lalu lintas agak sedikit lenggang. Sehingga aku bisa dengan leluasa memacu motorku yang sudah lama tak kutunggangi. Mataku mencari-cari sosok Cipeng dan Aldi. Hingga akhirnya mereka ada di lantai 2, segera aku bergabung menikmati detik-detik kebersamaan.
Tawa dan canda selalu menghiasai di sela-sela perbincangan kami. Niatnya Cipeng dan Aldi akan mulai bergerak menyusuri jalan selepas isya. Wejangan-wejangan Cipeng kudengarkan dengan seksama, begitupun dengan wejangan dari Aldi yang deselingi dengan ledekan-ledekan khasnya.
Ketika kami sedang asyik berbincang dan tertawa, tiba-tiba mataku tertuju kepada sesosok perempuan di meja ujung kanan. Gaya berpakaiannya yang membuatku tertuju padanya. Sesaat setelah aku mengamatinya tetiba ia memalingkan wajahnya ke sebelah kiri, sehingga aku bisa melihat setengah bagian mukanya.
Ya! Tebakan kalian betul. Ia adalah Inne. Dan baru saat itu juga bertemu lagi setelah kejadian tipis-tipis di kosan
. Ya jangan tanya kenapa, apa lagi kalau bukan kesibukan untuk cuan.
Kulihat ia sedang berkumpul dengan teman-temannya. Mungkin para pengajar juga, aku hanya menebaknya secara acak. Mungkin saat itu Inne tak sadar sedang diperhatikan olehku. Karena ia terlihat begitu menikmati perbincangannya.
“Liat siapa, Yas?” tanya Aldi mengagetkanku.
“Eh, ngga, Di,” jawabku setengah tertawa karena sedari tadi Cipeng dan Aldi melihatku sedang memperhatikan seseorang.
“Mulai muncul radar pakboynya nih,” ledek Cipeng menimpali.
“Udah lah, Yas. Tobat-tobat,” kata Aldi mentertawakanku.
Cipeng dan Aldi mengikuti arah pandangku pada Inne dan mereka tertawa secara bersamaan.
“Oh itu? Seleranya beda sekarang mah, Peng,” kata Aldi.
“Mana? Mana?” tanya Cipeng yang belum melihat sosok Inne yang dimaksud oleh Aldi.
“Noh, yang itu,” Aldi mengarahkan muka Cipeng dengan tangannya, sehingga membuat kami tertawa.
“Samperin atuh, Yas. Ajak kenalan, masa seorang Yassar ciut,” Cipeng tertawa.
Aku diam saja tak berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa aku sudah kenal dengan Inne, dan kali itu aku merasa yakin bahwa Inne sudah sangat dekat denganku dan memiliki hubungan yang istimewa.
Kami mulai tertawa lagi dan bercanda, membicarakan bagaimana aku berpacaran dengan mantanku dulu. Menurut Cipeng, mantanku dulu terlalu banyak menyita waktuku, sehingga Cipeng dan Aldi merasa cemburu karena sangat jarang menghabiskan waktu bersamaku. Aku tertawa mendengar ucapan tulus dari mereka berdua.
Diam-diam aku mengirim pesan kepada Inne yang masih asyik berbincang dengan teman-temannya di sebelah kanan kami.
“Inne Ingwie Lestari!” pesanku pada Inne.
Kulihat Inne mengecek ponselnya yang ada di atas meja. Ia segera membalas pesan itu.
“Ya? Ada yang bisa dibantu Mas Yassar?” balas Inne.
“Benerin kerudungnya, Bu. Ga rapi,” balasku.
Kulihat Inne tertawa sembari menutup mulutnya dan keheranan sembari melihat ke kanan kiri untuk mencariku. Namun sepertinya ia tak mendapatiku.
“Ih! Di mana?” tanyanya.
Aku sengaja tak membalasnya dan meneruskan berbincang dengan Cipeng dan Aldi. Aku lihat Inne masih mencari-cariku, namun rupanya sia-sia matanya tak bisa konsentrasi dengan baik.
Selang beberapa menit kemudian ponselku bergetar, kulihat Inne meneleponku. Dengan setengah tertawa aku menerima teleponnya.
“Hahaha di mana ih?” Inne langsung tertawa begitu kuangkat teleponnya.
“Di café,” jawabku setengah tertawa.
“Iya di mana nya!” kata Inne dengan nada seperti mengancam.
“Barat daya.”
“Kanan apa kiri?”
“Parkir.”
Inne langsung melihat ke bawah ke tempat parkir begitu aku mengucapaknnya, sontak aku tertawa cukup keras di sana. Cipeng dan Aldi geleng-geleng kepala melihat tingkahku.
Inne menyadari suara tertawaku dan berhasil menemukanku setelah ia langsung menutup teleponnya. Kulihat Inne dari jauh memandangku kesal dengan ekspresi guru mtk killernya.
Cipeng dan Aldi belum menyadari bahwa aku berbincang dengan Inne di telepon, mereka tak banyak menanyakannya karena sudah biasa dengan tingkahku yang seperti itu.
Akhirnya Inne menyuruhku untuk menghampiri mejanya setelah sebelumnya ia berbincang lagi cukup lama dengan temannya.
“Sini samperin! Kalo berani itu juga.”
Aku tak membalasnya, dan langsung melihat ke arahnya, ia pun menatap ke arahku. Kulihat Inne berdiri, aku pikir ia yang akan menghampiriku. Tapi salah, ia berjalan menuju lantai satu. Aku cukup heran, ia memintaku untuk menghampirinya. Namun, ia sendiri malah pergi ke lantai satu.
“Anda kenapa malah pergi?” tanyaku melalui ponsel.
Setelah menunggu beberapa saat, pesanku tidak dibalas oleh Inne. Sempat terpikir bahwa Inne marah padaku karena sudah aku kerjai. Merasa bersalah yang kurasakan saat itu, aku pun bingung kenapa bisa merasakan perasaan seperti itu ketika melihat Inne pergi tanpa menoleh terlebih dahulu ke arahku.
Selang beberapa menit kemudian kulihat Inne kembali ke lantai dua dan menuju ke arah teman-temannya. Aku langsung memanggilnya.
“Inn!” kataku setengah berteriak.
Inne menoleh dengan muka yang datar.
Aku melambaikan tangan padanya memberi kode agar ia menghampiriku, ia pun mendekat ke mejaku.
Cipeng dan Aldi kaget ketika aku memanggil Inne, mereka saling berpandangan seraya menggelengkan kepalanya.
Inne melihat ke arahku dengan meremas-remas sesuatu di tangannya, ia melemparkan tisu ke arahku setelah sampai.
“Ngeselin!” katanya.
“Abis cek parkiran?” tanyaku.
Inne tertawa, Cipeng dan Aldi masih diam kikuk. Akhirnya kuperkenalkan Inne kepada mereka. Inne ikut duduk dan membaur bersama kami setelah sebelumnya memberikan kode kepada temannya ia mampir dulu di mejaku.
Seperti biasanya Inne begitu supel, dan tidak canggung membuka percakapan dengan Cipeng dan Aldi.
“Kok bisa kalian temenan sama Mas Yassar,” tanya Inne pada Cipeng dan Aldi.
“Kasian, dulunya dia introvert ga punya temen,” jawab Aldi.
“Tapi pas kenal sama aku dia malu-maluin tuh,” kata Inne seraya menoleh ke arahku.
“Emang gitu kalo udah kenal mah, Mbak, Bu Popon juga diajak pinjol,” jawab Cipeng dengan tertawa.
Inne pun tertawa dengan menggelengkan kepala.
“Jadi ini temen-temenmu yang nganterin motor, Yas?” tanya Inne padaku.
“Iya, aneh-aneh kan muka nya? Ga percaya sih,” jawabku dengan datar.
“Eh?” Inne tertawa reflek menutup mulutnya.
Kami pun tertawa pecah saat itu, Inne cepat akrab dengan Cipeng dan Aldi. Sesekali mereka terlihat kagum kepada Inne. Aku bisa menangkapnya melalui sorot mata mereka. Sebagai seorang teman yang sudah mengenali mereka dengan lama aku paham betul reaksi mereka terhadap perempuan.
“Oh jadi parfum si Mbak ini yang nempel di kasur kosan?” tanya Aldi padaku.
Aku tertawa saja diikuti oleh Inne yang mencubit lenganku tanpa melihatnya, ciri khas Inne, no looking cubit
.
“Eh ngga, emang dia aja yang pake parfum cewek,” kata Inne malu-malu.
“Awas, Mbak. Mas Yassar radar pakboynya sudah meluap-luap,” kata Cipeng pada Inne.
“Santai, udah ada pawangnya,” kata Inne dengan tertawa.
Aku pikir itu cuman candaan saja, dan tidak menganggap itu lebih. Meskipun aku cukup terkejut ketika mendengarnya.
Ketika kami sedang berbincang tetiba ada seorang lelaki dari meja teman-teman Inne yang menghampiri. Ia mengenakan kemeja putih dan celana jeans biru.
“Bey, jadi pulang bareng?” ucap lelaki itu pada Inne.
Kulihat tingkah Inne tidak begitu nyaman ketika ditanya oleh lelaki itu.
“Engga, Fer, aku pulang sama temenku,” kata Inne sembari menunjuk ke arahku.
“Oh gitu? Pake motor?” Katanya sembari melirik ke arahku dengan menunjukkan muka yang tidak suka.
“Iya,” jawab Inne singkat.
“Padahal bentar lagi ujan, masa tega ngajak kamu ujan-ujanan,” ucapnya seraya menenteng kunci mobil.
“Ga apa-apa, Fer,” kata Inne dengan datar.
“Ya udah aku duluan, Bey,” ucapnya seraya melirik ke arahku, Cipeng, dan Aldi.
Aku tersenyum padanya, Cipeng dan Aldi menatapnya tak kalah garang.
Lelaki itu mulai menjauh dari pandangan kami yang diam sedari tadi tanpa sepatah kata.
“Wah saingan, Yas,” kata Cipeng.
“Hahaha, saingan ibadah ya?” kataku mencairkan suasana.
Inne masih diam saat itu ketika kami berbincang lagi menikmati menit-menit terakhir sebelum isya. Cipeng mulai memasang sarung tangan dan jaket kulitnya, sedangkan Aldi saat itu menaikan satu kakinya ke atas kursi mengencangkan tali sepatunya.
“Eh kalian langsung pulang lagi ke Bandung?” tanya Inne.
“Iya, Mbak. Nitip Yassar ya, Mbak,” kata Cipeng dengan tersenyum.
“Ingetin jangan mabok terlalu banyak juga, Mbak,” tambah Aldi.
Inne saat itu baru pertama kali mengetahui bahwa aku peminum, dan Inne tidak memperlihatkan kekagetannya.
“Siap, Mas-masku,” kata Inne dengan tersenyum.
“Oh iya, satu lagi, nitip juga biar Yassar bisa lupain mantannya hahaha,” Cipeng tertawa dengan menepuk pundaku.
Aku tertawa mendengar Cipeng, Inne melirik ke arahku seakan seperti meminta kejelasan bahwa itu bukan sebuah candaan.
Setelah Cipeng dan Aldi bersiap-siap kami berjalan menuju ke parkiran. Inne memutuskan untuk pulang bersamaku setelah berpamitan pada temannya. Pertemuan dengan Cipeng dan Aldi begitu mengesankan bagi Inne, karena ia bisa tahu asal-usul dan masa laluku dari mereka tanpa memintanya.
Kurangkul Cipeng yang di sebelah kananku dan Aldi yang di sebelah kiriku.
“Makasih banget, Peng, Di,” kataku.
Cipeng dan Aldi secara bersamaan menepuk pundakku.
“Santai, Yas. Aku banyak utang budi padamu,” kata Cipeng.
“Siapa lagi yang nasehatin kita kalo bukan lu, Yas,” Aldi menimpali.
Melihat itu Inne tersentuh, ia menoleh dan berucap.
“Duh sweet banget kalian, cemburu lah aku,” kata Inne berlari kecil dan menyelundup di sampingku. Sehingga kami berjalan berempat dengan tangan ke pundak masing-masing, kecuali Inne yang melingkarkan tangannya di pinggangku.
Menyadari itu Cipeng kaget karena baru menyadari bahwa Inne sama tinggi dengan dirinya.
“Lah, Yas. Kamu harus sering minum susu, kurangin anggurnya,” seraya melihat ke arahku.
Kami yang menyadari maksud dari Cipeng tertawa bersamaan, Inne begitu puas dengan ledekan Cipeng padaku, ia tertawa paling keras di antara mereka.
Memang Cipeng dan Aldi lebih tinggi dariku, dan mereka cukup kaget ketika meyadari Inne sejajar dengan mereka.
“Wah Inne nunduk dong, Yas?” ledek Aldi padaku.
“Gatau, Di. Belum dicobain.”
“Nanti lah nyobain hahaha,” kataku dengan tertawa yang langsung di cubit oleh Inne.
Kami berpisah di parkiran motor setelah memastikan semuanya baik-baik saja meskipun perasaanku tidak karena akan lama lagi tak berjumpa. Inne naik ke motorku yang sebelumnya memakai helm. Kami berjalan sejajar berdampingan melalui pintu keluar parkir dan berhenti karena arah jalan mengharuskan kami untuk berpisah.
“Hati-hati, Peng, Di!” kataku setelah mereka membelokan motornya ke arah yang berbeda.
“Hati-hati kalian!” teriak Inne.
Cipeng dan Aldi kompak melambaikan tangannya pada kami tanpa menoleh ke belakang. Aku tetap diam menyaksian mereka menghilang dari mataku.
“Yuk!” ajak Inne mengagetkanku.
“Udah nanti juga ketemu lagi,” tambahnya seraya melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Ke mana?” tanyaku pada Inne seraya menoleh ke arahnya.
“Kosanku.”
“Oke.”
“Gas, Mang,” katanya sembari tertawa.