Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Pensiun Itu Cuma Mitos

Kelanjutan cerita ini baiknya bagaimana...

  • ++

  • ala Drama Korea

  • ala FTV


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Makasih gan :)
Kalo diizinkan emang mau coba fokus ke dramanya

Apalah ane ini cuma kembalian mini market yang diganti permen

yang terakhir itu maksudnya gimana?

Sex Scene bonus kalo menurut pendapat ane. Namanya juga di forum ini.

Semangat menulisnya.
 
Sex Scene bonus kalo menurut pendapat ane. Namanya juga di forum ini.

Semangat menulisnya.

Ane kira SS itu Screenshot hahaha

Iya nih, bentar lagi finishing part 2. Rasanya masih drama2 dulu
Nggak kuat bikinnya kalo brutal hahaha
 
Wah tumben2nya ada yg pake karakter Ikha. Part 1 nya udah ok banget

Dan sepertinya porsi drama bakal lebih banyak ya.
 
Wah tumben2nya ada yg pake karakter Ikha. Part 1 nya udah ok banget

Dan sepertinya porsi drama bakal lebih banyak ya.
bener gan porsi dramanya banyak
ane belum berpengalaman nulis soalnya. Mungkin ini tulisan pertama

Makanya nggak tega kalo mau dibuat seperti para senior yang ceritanya bagus2 hehe
 
Kek nya mantep ini cerita, bagusnya sih ada ++ nya, cuma ga usah buru buru lah, selow aja
 
Part 2.

Lampu tanda kenakan sabuk pengaman akhirnya dipadamkan. Setelah lampu kabin menyala, beberapa penumpang langsung memburu ke arah toilet. Sebagian terlihat tidak bisa menyembunyikan air mukanya, tanda bahwa mereka sudah menunggu-nunggu momen ini karena tidak mampu menahan lebih lama lagi.


Bermodalkan senyum ramahnya, para pramugari dengan luwes menyajikan camilan untuk para penumpang, tidak lama setelah pengumuman melalui pengeras suara oleh pilot dan flight attendant.


“Kak, sebelahnya kosong ya?” ujar Ikha tiba-tiba.


Aku sedikit terkejut. Sejenak aku lupa bahwa ia masih ada di sini.


Camilan yang telah kugenggam dan siap dikunyah langsung kutaruh kembali. Entah kenapa aku menjadi cukup jaim di depannya.


“Ikha pindah situ ya” tambahnya lagi.


Aku dibuat melongo. Namun sedetik kemudian kembali tersadar.


“Di sana kenapa emangnya?” aku menjawab sambil mengernyitkan dahi.


Yaelah jomblo banget sih mau ditemenin juga sok nolak.” Nadanya seketika songong, layaknya kids jaman now. Hal itu semakin lengkap ketika didukung oleh wajahnya yang terkesan malesin (Resting B*tch Face (RBF)?) walaupun sebenarnya tidak selalu seperti itu.


Aku menengok ke arahnya dengan tatapan sinis yang dibuat-buat, “Sendirinya juga jomblo. Eh, nggak ya?”


Yo8OLhLB_o.jpg
QN22rWAV_o.jpg

Dia melengos, mengurungkan niat untuk pindah ke sebelahku.


Ada beberapa detik kosong sampai aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya lagi, “Kha… Ikha… Uui…”


Ia pura-pura tak mendengar sambil perlahan melahap camilannya.


Aku menatapnya dengan tatapan putus asa, “Sorry yaa, khilaf barusan kebawa-bawa masalah itu.”


Tanpa menengok, ia hanya mengangkat bahu sambil terus melahap camilannya.


Kalo masih bahas itu kita pura-pura nggak kenal aja kak.”


Lantas aku tersadar, hal inilah yang membuatnya kecewa saat itu. Ketika kutanyakan soal pacarnya, ia tampak tidak siap untuk memberitahuku. Semua pesanku hanya dibacanya tanpa dibalas satupun juga, dan diakhiri dengan penghapusan akun pribadinya.


Saat itu, aku menginginkan jawaban, namun aku tidak mendapat apapun. Malahan aku menjadi kehilangan segalanya. Sakit sih, tapi nggak berdarah.


Yah, setidaknya, hal itu membuatku lebih dewasa dan belajar menerima keadaan.


Kali ini, aku akan mencoba mengalah. Aku tidak mau liburanku rusak disebabkan oleh hal tak terduga seperti ini. Walau sejujurnya aku sedikit ragu untuk berbicara banyak dengannya. Rasanya seperti mengingat kembali kenangan yang pernah dilupakan. Entah kenapa, semakin lama ia berada di dekatku, semakin cepat pula rasa ragu itu pudar.


Aku pun memutar otak, mencoba mencairkan suasana awkward ini.


“Ke Singapur mau liburan ya kha? Sendirian aja? Sekarang masih di Jeketi kah?”, aku bertanya sekenanya.


“Bawel”, jawabnya singkat.


Kali ini aku yang melengos.


Aku mencoba bersabar. Penerbangan ini masih menghabiskan waktu lebih dari satu jam lagi. Masih ada cukup waktu bagiku untuk meminta maaf dan memperbaiki hubunganku dengannya.


Aku pun dengan cepat menghabiskan camilanku sembari memikirkan cara lain.


“Kakak mau tambah camilannya?”, tiba-tiba saja seorang pramugari mendatangiku.


Aku menjawab sambil tersenyum, “gapapa mbak, cukup. Terima kasih ya.”


“Kalau butuh bantuan, silakan panggil kapan saja ya kak”, ujarnya sambil berlalu pergi membawa nampan berisi sampah para penumpang.


Aku mengangguk sembari tetap memasang wajah ramah. Usiaku memang sudah pertengahan dua puluhan. Namun aku sering dituduh, khususnya oleh yang tidak mengenalku, sebagai anak kuliahan bahkan SMA. Wajah awet muda serta perawakanku yang langsing mampu menipu sebagian besar orang. Tidak seperti pemuda-mulai-makmur-pada-umumnya dalam usia segini yang perutnya memasuki tahap membuncit, membuat mereka terbiasa dipanggil “bapak”.


Ada suara nyinyir berceletuk pelan dari samping, “Cie dipanggil kakak. Giliran sama pramugari aja ramah.” Terdengar penekanan yang jelas pada kata “Pramugari”.


Aku melirik sumber suara tersebut, “Loh, yang dulu cita-citanya jadi pramugari terus tiba-tiba batal itu siapa?”


Ikha mendengus kesal. Dirinya yang semula duduk di dekat lorong seketika itu juga pindah ke dekat jendela, tak lain bermaksud untuk menjauh dariku.


ciqUxwKW_o.jpg





Kemudian hening.





Menghela napas, aku membenturkan kepalaku ke kursi di depanku, lalu menunduk ke bawah.


Rasanya ada aura negatif di dalam kabin yang sama gelapnya dengan langit malam di luar.





=====================================================================================





Rasa kebosanan yang kronis membuatku berulang kali menekan layar in-flight entertainment tanpa tujuan yang jelas. Hampir semua judul film yang tersedia sudah pernah kutonton, sedangkan sisanya tidak cukup menarik perhatianku. Ditambah rasa lelah, hal ini semakin membuatku tidak sabar untuk segera mendarat dan beristirahat di tempat tidur yang nyaman, setelah mandi dengan air panas dan meminum segelas susu pasteurisasi strawberry favoritku.


Aku melirik ke arah Ikha. Ia sepertinya melakukan hal yang tidak jauh berbeda denganku, bahkan wajahnya cenderung terlihat kesal dibandingkan bosan (RBF Mode: On).


Saat aku sempat berpikir bahwa ini kesempatan yang baik untuk meminta maaf, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.


Sadar aku melihat ke arahnya, ia melirikku tajam. Setelah itu ia menghindari kontak mata denganku.


Aku kembali berwajah masam. Siapa sangka akan menjadi seperti ini. Bukannya berhasil meminta maaf, kami malah bertengkar dan ia makin membenciku.


Menit demi menit kembali berlalu dalam kehampaan.


Beberapa penumpang yang tidur terpaksa terbangun saat mendengar pengumuman bahwa sebentar lagi in-flight meals akan segera disajikan. Para pramugari kembali menghampiri setiap penumpang untuk menyajikan in-flight meals. Saat itu terdapat dua pilihan menu yang tersedia, Nasi Kuning beserta Ayam, dan Japanese Menu. Namun, kejadian barusan membuatku tidak begitu berselera makan. Aku pun memilih menu secara acak.


Saat para pramugari sedang mengumpulkan nampan dan sampah bekas in-flight meals para penumpang, pesawat mengalami turbulence yang cukup terasa. Seketika itu juga lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Pilot mengumumkan kepada para penumpang bahwa dikarenakan kondisi cuaca yang buruk, kami untuk sementara tidak diperbolehkan untuk menggunakan kamar kecil dan diharuskan untuk tetap duduk.


Hujan deras yang datang tiba-tiba ini membuat pesawat berguncang hampir setiap beberapa detik. Tanpa melakukan gerakan yang tidak perlu, para pramugari menyelesaikan tugasnya seefisien mungkin agar dapat segera kembali ke posisi mereka masing-masing.


Demi mengusir kebosanan dan mengalihkan perhatianku dari turbulensi ini, terlebih setelah tidak diperbolehkan pergi ke kamar kecil, aku pun mengambil headphone yang sedari tadi masih terbungkus plastik dalam kantong kursi di depanku, bersiap untuk menyambungkannya ke dalam connector pada sandaran tangan sebelah kananku.


CTAAAARR!!


bbOdrHFT_o.jpg


Seketika kilat menyambar disusul oleh suara yang sangat keras, hampir berbarengan. Terasa sangat dekat dengan pesawat.


Langit yang tadinya gelap gulita, memancarkan cahaya putih menyilaukan untuk sesaat. Mengalahkan terangnya lampu kabin yang sedari tadi mendominasi.


Beberapa penumpang secara refleks menyebut nama Tuhan mereka.


Ada yang istigfar, ada pula yang menelungkupkan kedua tangan sambil memejamkan matanya.


Aku sendiri batal mengenakan headphone dan memilih untuk berpegangan cukup erat pada sandaran tangan seat-ku sambil melihat ke luar jendela, menggumamkan doa yang bisa kuingat.


CTAAAARR!!


levnCyVb_o.jpg


Kilat kembali menyambar. Seperti sebelumnya, kali ini pun suaranya tak kalah keras. Membuatku secara refleks memejamkan mata.


Seketika seat-ku bergetar cukup keras.


Namun kali ini bukan disebabkan oleh turbulensi atau getaran dari suara petir, lebih seperti tertabrak sesuatu.


Aku pun menengok penuh rasa curiga, “Ikha?!”


Ikha berdiri gontai di lorong kabin sambil memegangi lututnya. Wajahnya pucat sekali.


Secepat kilat aku melepas sabuk pengaman dan berdiri memapahnya agar dapat secepatnya duduk di sebelahku.


“Kamu kenapa? Sakit?” Aku menatapnya cemas.


Ia terdiam tak menjawab. Keringat dingin sedikit mengucur dari tubuhnya. Napasnya agak memburu.


“Aku panggilin pramugari ya.” Kekhawatiranku semakin meningkat melihatnya seperti itu.


Ketika aku akan bangkit untuk menekan flight attendant call button, Ia memegang tanganku. “Nggak usah kak, Ikha gapapa kok.”


Aku duduk kembali, masih dipenuhi rasa khawatir. Kuberikan botol air mineral yang kusimpan dalam kantong kursi di depanku.


Ia mengambilnya, lalu meminumnya sedikit. Setelah itu wajahnya sedikit membaik, tidak sepucat sebelumnya. “Makasih ya kak…” ucapnya lirih sambil mengembalikan botol air mineral tersebut.


Kubiarkan ia beberapa saat, hingga aku putuskan untuk berbicara dengannya lagi, “jadi sebenernya kamu kenapa?”


Ia kembali diam.


Aku masih menunggu jawaban sambil menahan napas, layaknya pendukung sepakbola saat adu penalti.


“Itu…” ucapnya pelan.


Aku mengernyitkan dahi sambil sedikit mendekatkan telingaku. Sulit mendengar ucapannya dalam turbulensi seperti ini.


“Takut…”


Emang abis nonton film horor?” Aku mencoba menerka.


“Bukan loh… Petir tadi. Mana suaranya kenceng banget lagi… Ikha kan… Takut petir.” Ia menatapku sayu walau tanpa dibegitukan pun matanya memang sudah sipit.


Aku tersenyum kecil. Masih mencoba bertahan untuk tidak tertawa.


“Terus bisa tiba-tiba berdiri di lorong itu gimana ceritanya?” Tanyaku, penasaran.


“Jadi waktu kilat yang pertama Ikha sempet merem sambil tutup kuping. Udah takut banget, tapi kakaknya nggak nengok sama sekali. Ikha nggak enak sebenernya, tadi kan lagi marahan. Masa tiba-tiba damai gitu aja.


Yang kedua tiba-tiba banget, nggak siap… Karena kaget langsung Ikha lari mau duduk di sebelah kakak.


Eh pas baru mau keluar lorong, pesawatnya goyang. Nyungsep deh, kena senderan tangan kursi. Tau sendiri kan Ikha orangnya gampang jatoh.” Ia hampir menangis saat mengatakan itu.


Aku tak kuat lagi menahan untuk tidak tertawa. Inilah yang dinamakan tertawa di atas penderitaan orang lain.


Iiiiih kakak mah loh!” Ia memukul lenganku, kesal.


Mendengar ceritanya, kekhawatiranku hilang begitu saja. Aku lega ia tidak sakit parah seperti yang kukhawatirkan sebelumnya.


“Jadi nggak bisa ‘tiba-tiba damai’ nih?” Ujarku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya sebagai tanda perdamaian.


Ikha melihat sekilas uluran tanganku. “Handshake bayar loh kak.”


Dengan sisa-sisa air mata yang nyaris menetes itu masih sempat-sempatnya ia membuatku kesal.


Yaudah kalo gitu nggak jadi damai.” Aku bermaksud menarik tanganku kembali.


CTAAAARR!!


u59VCzg9_o.jpg


Kilat tiba-tiba kembali menyambar diikuti suara petir yang keras.


Seketika itu juga ia menarik tangan yang kuulurkan tadi, mendekapnya erat ke depan dadanya sambil menunduk dan menutup kedua matanya.


Aku terkejut. Melebihi rasa terkejutku terhadap kilat barusan. Baru kali ini, tanpa diminta, ada orang yang tiba-tiba mendekap erat tanganku seperti sekarang.


Aku merasa tanganku seperti terjepit oleh sesuatu yang lembut.


Apakah Ikha mengenakan jaket berbulu sehingga kain tebal itu menjepit tanganku? Tidak. Ia hanya mengenakan kaos oblong abu-abu lengan pendek. Dan tanganku sekarang sedang berada di…


Duh!


Sebelum telanjur berpikir yang tidak-tidak, aku berusaha menarik tanganku. Namun tak sedikit pun Ikha mengendurkan dekapannya terhadap tanganku. Seperti anak kecil yang tidak rela mainan barunya diambil.


Rasa takut akan petir telah mengalahkan logikanya.


Pergolakan yang terjadi antara tarikan tanganku dan dekapannya ini malah memberi rangsangan aneh di tubuhku, penyebabnya tidak lain adalah jepitan oleh sesuatu yang lembut tersebut pada tanganku.


Tanpa sadar, aku gemetar. Wajahku bersemu merah, karena pikiran yang tidak-tidak itu mulai bermunculan.


Sebagai seorang laki-laki, aku tahu pasti instingku akan dengan senang hati bekerja maksimal di saat-saat seperti ini. Tapi… tidak! Aku tidak akan membiarkan diriku dikalahkan oleh insting naturalku begitu saja.


Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku.


Ada beberapa detik kosong hingga aku memberanikan diri menegur Ikha, “Kha… bisa tolong lepasin tangan kakak?”


Dari nadaku berbicara, aku tahu kalau aku berpura-pura tenang. Bagaimana tidak, sampai sekarang aku masih bisa merasakan detak jantungnya di tanganku yang gemetar.


Ikha perlahan membuka matanya, lalu menatapku lirih. Sambil tetap mendekap erat tanganku, ia masih terlihat agak pucat karena petir barusan.


“Kamu gapapa?” tanyaku padanya.


Ikha mengangguk, sedikit tersenyum walau napasnya agak memburu.


Wajahnya menggoda sekali. Sekilas terlihat seperti salah satu wanita oriental di video yang diperlihatkan temanku waktu itu… tunggu dulu! Kenapa aku malah teringat momen itu. Padahal terjadinya sudah lama sekali. Insting naturalku tampaknya belum mau mengalah sehingga berusaha mati-matian untuk mendapat pengakuan dariku.


Dan sepertinya kali ini insting naturalku melancarkan serangan ultimate-nya kepadaku. Ya, kepada tuannya sendiri. Di mataku sekarang, wajah Ikha yang seperti itu, dengan napas agak memburunya tampak cantik dan semakin menggoda.


Aku pun takluk. Terbawa suasana, perlahan kudekatkan wajahku kepadanya.


Sadar akan hal yang kulakukan, Ia menutup matanya, menanti dengan sabar.


Perlahan tapi pasti, wajahku pun semakin dekat dengan wajahnya...


Di tanganku, aku bisa merasakan jantungnya berdetak semakin cepat, terlebih ketika hembusan napas kami sudah terasa sangat dekat...


“Flight attendants, prepare for landing.”


Aku terkejut, dan kurasa Ikha pun demikian.


Pengumuman persiapan pendaratan oleh pilot tersebut sukses menghentikan kegiatan yang kami lakukan, layaknya Satpol PP yang sedang melakukan penggerebekan.


Tanpa perintah, kami berdua langsung mundur dengan terburu-buru. Ikha kembali ke tempat duduknya di seberang lorong, sementara aku sibuk memasang sabuk pengaman sambil memegangi tanganku yang gemetar.


Hingga pesawat mendarat, kami tidak saling berbicara.


Bersambung.................................................................................
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd