Kenangan bukan suatu yang pasti indah. Aku yang memiliki masa lalu pahit tak akan terbayang apa yang dinamakan masa depan.
Petruk. Bukan tokoh pewayangan jawa, tapi itu namaku. Nama yang aneh dan asing bagi orang kota seperti kalian!!
Aku yang sejak mulai bisa mengingat, aku anak "sial" yang tinggal di atas kandang kambing juragan kaya. Aku dipelihara bagaikan ternak. Kenapa demikian? Awalnya pun aku tak tahu, aku hanya menjalani hidup untuk hari ini tak pernah berpikir bahkan ada hari esok. Bermain? Maaf, entah sejak kapan tapi dalam ingatanku setiap hari adalah untuk bekerja. Mencari rumput, membersihkan kebun sudah kulakukan sejak kecil. Karena apa? Jelas demi jatah makan dari Sang Juragan.
Kulit hitam dan sangat tinggi mungkin kalian pikir itu wajar karena terlatih dari kecil. Tidak kawan, aku hitam entah keturunan siapa. Aku besar di desa terpencil di jawa yang manusianya masih kolot. Kulit para pejuang nafkah yang berdinas tiap hari di sawah pun tak sehitam kulitku.
Kulit ku seperti arang, legam.
Mungkin benar kata Lek Parjo, seorang buruh tani yang pernah berkisah tentang keluarga asliku. Berliau berkisah, ibuku dulu merantau entah kemana dan pulang dengan perut besar lalu meninggal saat aku lahir. Dan mungkin itu yang membuat nenekku, yang seharusnya menyayangiku sebagai cucu semata wayangnya malah depresi dan berlaku seperti oranh sesat. Iya nenekku, diceritakan sejak aku lahir, beliau lalu melakukan hal aneh dan mistik setiap hari. Namun diumurku yang baru 100hari, nenekku dibunuh warga desa lantaran akan melakukan rintual persembahan. Kalian tahu apa yang beliau persembahkan? Sayangnya itu aku.
Aku yang bodoh tak sekolah ini pun sampai berpikir, kenapa aku bisa bertahan sampai 100hari? Bahkan sekarang aku masih hidup!
Tubuhku yang bongsor dan berwarna hitam legam ini kerap kali dilihat seperti aib, atau bahkan najis. Ironi sekali. Mungkin mereka pikir aku jelmaan genderuwo.
Aku memiliki nama Petruk bukan dari orang tuaku. Memangnya apa yang kalian harapkan dari nenek yang akan menjadikan cucunya sebagai tumbal?? Haha
Aku masih ingat betul kala itu. Awal aku punya nama. Loh jadi sebelumnya aku dipanggil apa? Heh! Ya itu aku, si tanpa nama. Jika ada seruan "heh!" Aku pasti menoleh.
Petruk. Nama yang sangat terkenal di masyarakat jawa. Tokoh pewayangan yang bertubuh tinggi dan kurus. Aku mendapat nama itu karena seorang mbak cantik dari kota. Ia dan teman2nya mengadakan sunatan massal. Mbak itu bingung kenapa aku dipanggil hanya dengan "heh" atau "tole" bagi yang masih punya nurani.
Mbak cantik itu bernama Niken, sosok yang akan aku tanam dalam hatiku. Meski awalnya jijik dengan penampakanku dan terkesan asal memberikan nama, tapi aku sangat berterima kasih. Meski sesaat setelah aku disunat, mbak Niken jadi tersenyum manis padaku. Aku tak tahu kenapa bisa berubah. Tapi memang ada sedikit kegaduhan saat aku disunat. Aku tak tahu karena aku takut dan menutup mata. Tapi telingaku mendengar suara-suara perempuan berbunyi "barang bagus, bibit bagus, kecepetan aku kesini".
Bagaimana? Belum kawan. Kenangan pahit tidak sesingkat itu.
Aku tak tau berapa umurku, tapi saat itu anak juragan yg sepertinya sebaya denganku setiap pagi pergi dengan berbaju putih merah. Aku? Tidak lah.. aku kerja membersihkan kebun, halaman dan kandang ternak. Tapi siang itu aku haus, juraganku ki Harja dan keluarganya mungkin lupa memberiku jatah makan dan minum hari itu jadi aku hanya minum dari air sumur serti perut yg kosong belum makan. Ambil sendiri? Tidak kawan, aku tak dijinkan masuk bahkan aku tak tahu isi rumah mereka seperti apa.
Saat tengah hari aku berinisiatif untuk mengambil kelapa muda untuk ganjal perutku. Lumayan kan?
Tapi sial atau beruntungnya, Ki Harja sedang dikebun tanpa sepengetahuanku yg sedang menuruni pohon kelapa sambil membawa kelapa muda karena kalau dijatuhkan pasti berbunyi dan bahkan mungkin pecah, aku tak mau itu terjadi.
"Truk! Mau buat apa itu?" hardik Ki Harja. "Anu ndoro, saya belum makan" jawabku dengan penuh ketakutan. "Ya sudah kamu makan, habiskan dan jangan kamu ulangi. Kelapa itu buat dijual kalau sudah tua!" balas Ki Harja dengan nada tingginya. "Iya ndoro" aku masih takut. Aku pun memakannya selepas Ki Harja pergi, tak ku sisakan lah. Lapar Pak!!
Saat itu aku berpikir bahwa ternyata Ki Harja adalah orang mulia karena merelakan kelapa mudanya dimakan olehku. Tapi aku salah, saat jadwal panen kelapa berikutnya, aku diperintahkan untuk jadi pemanen. Aku, seorang anak yang masih sebaya dengan anaknya itu. Yang masih pakai baju putih merah setiap harinya. Sudah dia suruh jadi tukang panjang untuk panen kelapa. Tapi mau apa? Ya kerjakan lah daripada gak dapat jatah makan.
Hari hari ku lalui dengan bekerja keras demi meneruskan hidup. Kini aku sudah punya bulu di kemaluan!! kata bapak-bapak buruh yg biasa bertemu denganku saat kerja, itu merupakan tanda aku sudah dewasa. Aku bahagia sekali kala itu, aku bisa sampai diumur yg mereka katakan sudah dewasa.