Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PPKM (Perempuan Pelayan Kakek & Mamang)

Untuk menemani malam minggu Anda semua dan sebagai camilan sembari menunggu cerita hebat lainnya

Home (Index Halaman)
Episode 5 : Pengamanan Daun Muda


Episode 6 : Silsilah Keturunan Mesum





Hana Datang ke Bang Jae Sebagai 'Tamu'


Mendapatkan gadis belia dengan tubuh putih mulus dan sedang ranum-ranumnya tentu sangat menyenangkan untuk pria tua seperti Bang Jae. Tubuhku benar-benar digunakan dan dimaanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Bang Jae. Dia tinggal call atau WA aku untuk menemaninya di luar jadwal sekolah, dan tentu karena aku sendiri yang mengakui sebagai properti ekslusif milik Bang Jae, tanpa pikir panjang aku selalu datang dan memberikan tubuh sintalku untuk jadi sarana pelampiasan nafsu Bang Jae baik untuk disenggamai, disodok dari belakang, ‘disuapi' air maninya, atau sekedar menemaninya jaga sekolah malam hari (pastinya dia melarangku untuk mengenakan pakaian secuil pun, kecuali alas kaki, dan menemaninya naik turun lantai dan berkeliling sekolah.
Memang dasar aku nya yang ‘penyakitan', aku malah deg-deg ser rasanya. Apalagi kalau baru mulai jalan dari pos karena masih bisa kelihatan dari luar gerbang sekolah. Bang Jae pun beralasan ingin mengenalkanku dengan penghuni halus sekolah. Makin sering kutemani Bang Jae berkeliling sekolah dalam kondisi bugil, rasa takutku semakin hilang malah penasaran apa makhlus halus bertanya-tanya kenapa ada manusia begitu ‘excited' berkeliling di tempat umum tanpa busana ? Atau mungkin malah ada setan yang nafsu denganku ? Hmmmm... Selain menemani dan melayani nafsu Bang Jae saat dia kerja, tentu aku juga main kucing-kucingan dengan orang tuaku.
Kalau orang tuaku sedang di luar kota lagi, begitu akhir pekan, atau Jumat sore, aku langsung ngacir ke rumah Bang Jae untuk mengurusi aki-aki yang akan menjadi suamiku nanti. Gila, anak SMA mana yang begitu senang akan mendapatkan aki-aki menjadi suami? Kayaknya Cuma aku seorang.. Tentu aku mengurus kebutuhan sehari-harinya, apalagi kebutuhan ranjang. Celah vagina dan anusku seakan sudah menjadi ‘sarung' ideal untuk penis Bang Jae.
“hehe...aneh jadinya...liat neng Hana pakai baju gini....”.
“weee...”, aku hanya menjulurkan lidahku untuk menjawab seraya tetap berpakaian karena baru saja selesai kami mengumbar nafsu bersama di pos setelah Bang Jae WA aku hanya dengan kata “neng, dingin...”.

Hihihi, namanya juga jablay penyuka aki-aki, tanpa pikir panjang, aku langsung mengampiri Bang Jae di sekolah dan melepaskan nafsu bersama pria tua ini.
“nanti ketemu lagi ya, weekend".
“neng Hana mau nginep lagi"?, tanyanya sumringah.
“iya, Bang...hehehe...pokoknya siap-siap Bang Jae nggak bisa tidur aja....”, ujarku nakal.
“oooh siap...siapa takut...”.
“bye, Baang....”, aku mengecup kedua sisi pipinya. Begitu sampai rumah, kulihat ayah dan ibu tertidur di depan tv. Uhh, so sweet mereka. Ibu tertidur di bahu Ayahku. Sepertinya mereka kelelahan sekali.
“Mah, Pah....pindah ke dalem giih...”.
“eeh...Hana...kamu udah pulang?”, tanya Ibuku yang setengah bangun.
“Iya, Mah...udah...nanti Hana yang kunci pintu n jendela....”.
“hooaahmm...iya...”. Aku tak berani berbicara dekat-dekat karena aku takut mulutku yang bau sperma tercium oleh Ibuku.
“Pah...yuk...lanjut...di kamar". Dengan langkah gontai dan setengah bangun, mereka masuk ke kamar. Sepertinya mereka benar-benar kelelahan. Semenjak hidup kami berubah, mereka memang lebih pontang-panting kerja. Pergi sana pergi sini. Sebenarnya bagus sih, tapi jadi kasihan sama mereka. Sementara mereka lelah bekerja untuk mencari uang, anak mereka satu-satunya ini malah asik ‘bermain selangkangan' dengan aki-aki. Tapi berkat selangkanganku juga, hidup kami yang tadinya bercukupan jadi berlebih. Aku jadi bingung, aku harus merasa bersalah atau bangga. T.T

Weekend pun menjelang, aku berangkat malam hari setelah pamit ke orang tua ku dengan izin menginap di rumah teman. Mudah-mudahan mereka tidak tahu kalau anak gadis mereka satu-satunya ini,, dalam 3 hari ke depan akan menjadi pelayan nafsu aki-aki tua yang bahkan umurnya cocok menjadi bapak dari Bapakku.
Setelah call-call an dengan Bang Jae untuk menunggu sepi, aku pun sampai dan langsung memasukkan motorku. Dikarenakan pelayan nafsunya sudah datang, Bang Jae tentu langsung melucuti pakaiannya. Dan sebagai pelayan nafsu yang tahu diri, aku pun juga melepaskan semua pakaian yang menempel di tubuh mulusku. Aki-aku tua ini langsung menyergapku dan menggotongku ke kamar, sudah sangat bernafsu untuk menggunakan tubuh sintalku yang putih mulus ini sebagai alat ‘konversi' nafsu ke rasa nikmat di malam ini. Tubuh belia nan ranumku pun habis digeluti dan dinikmati Bang Jae sampai dini hari seperti biasa. Payudara, pantat, wajah, apalagi daerah intimku sudah tak karuan belepotan sperma Bang Jae. Habis ‘ternodai' lah tubuhku kalau sudah menginap di rumah Bang Jae.

Bangun pagi adalah jalan ninjaku. Aku bangun terlebih dahulu. Biasa, aku berjalan agak sedikit ngilu karena selangkanganku habis disogrok-sogrok penis Bang Jae semalaman.
“eeh...kamu siapa ?”. Mataku langsung terbelalak kaget, saat di dapur ada seorang bapak-bapak.
“ba..bapak siapa?”, ucapku masih belum menyambung otakku. Tatapan matanya ke arah tubuhku yang tidak tertutup apa-apa dengan kerak-kerak noda sperma dimana-mana. Begitu, otakku tersambung. Aku langsung ngacir kabur masuk ke dalam kamar lagi.
“braak !!”.
“eh ada apa neng??”, spontan Bang Jae terbangun.
“a...ada...bapak-bapak di dapur....”.
“siapa?”.
“nggak tau...”.
Jantungku berdebar-debar karena tubuh telanjangku yang penuh noda sperma terlihat oleh bapak-bapak yang tak kukenal ditambah rasa takut akan di grebek warga.
“coba Abang liat...”. Bang Jae pun keluar kamar, aku langsung menutup pintu lagi.
“ooh kamu Din...Bapak kirain siapa....”, samar-samar kudengar dari balik pintu kamar karena kamar dan dapur jaraknya tidak begitu jauh.
“tadi cewek siapa, Pak? Telanjang lagi....”.
“ooh...sini, Bapak ceritain....”.
Sepertinya mereka berdua berjalan menuju ke sofa depan.
“neng.....neng mandi dulu sana...nanti Abang jelasin...”.
“ii..iya...”.

Aku celingak celinguk melihat keadaan di luar kamar, kayaknya mereka sudah tidak ada di dapur. Aku langsung cebar cebur mandi dan bergegas langsung ke kamar lagi untuk berpakaian. Aku yang memang niat menginap untuk jadi gundik nafsu Bang Jae, tidak membawa pakaian yang pantas untuk bertemu tamu. Paling hanya sekedar kaos oblong dan celana gemas. Mau tidak mau, aku mengenakan itu.
“neng Hana...sini sebentar....”, teriak Bang Jae.
“iyaa, Pak !!, jawabku.
“sini duduk....”. Aku pun duduk di samping Bang Jae. Aku sama sekali merasa tidak enak berpakaian seperti ini. Apalagi tadi aku bertemu dengan bapak ini tanpa mengenakan apapun dengan noda sperma dimana-mana. Haduuuh !! Nggak berani natap matanya. Mudah-mudahan nggak di laporin RT.
“jadi kenalin...neng Hana...ini Syarifudin....panggilannya Udin...anak nya Abang...”. Aku langsung menatap Bang Jae. Memang dia bilang punya anak, tapi nggak bilang umurnya.
“Ha...Hana....”.
“saya Udin, neng...”.
“maaf sebelumnya, Pak".
“oh...iya, neng...nggak apa-apa".
“nah, Din...ini si neng cantik ini...calon Bapak....bakal jadi ibu lo yang baru...”. Pak Udin nampak sekali bingung, heran, dan tidak percaya sama sekali.
“serius, Pak?”.
“lah iya...kan dari dulu...lo nyuruh Bapak buat cari istri lagi...buat nemenin Bapak...”.
“tapi kan dari dulu Bapak nggak pernah mau....”.
“ya beda lah, Din...lo liat aja kalo dapet yang kayak gini...masa Bapak nggak buru-buru tangkep...hehehe".
“ya justru itu saya bingung...kalo seumuran Bapak atau nggak beda jauh sih nggak apa-apa, Pak...tapi ..maaf, Neng...umur neng berapa?”.
“18, Pak”.
“tuh, Pak. Masih 18 tahun..kalau ada yang tau, Bapak bisa dipenjara..”.




Hana Mengobrol Dengan Udin



“nggak, Pak. Ini atas dasar suka sama suka...”, jawabku.
“noh tuh denger...gue nggak maksa".
“kamu serius, neng?”.
“iya, Pak. Saya sebenernya berhutang budi sama Pak Jae. Karena peristiwa gaib yang saya alami. Kalau nggak ada Pak Jae. Saya mungkin udah meninggal. Dan setelah saya ngobrol-ngobrol...saya kepincut sama Pak Jae...”, tukasku agak mempersingkat cerita.
“tapi neng udah bilang ke orang tua neng?”.
“belum, Pak. Lagipula saya udah bilang ke Pak Jae...nunggu saya lulus dulu baru nikah....”.
“tapi...kenapa tadi...”.
“iiih...lo mah...udah tua juga...kagak ngerti juga....gue test drive lah....”. Pak Udin memegang keningnya sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ah, bingung saya mesti ngomong apa, Pak".
“yaudah nggak usah bingung. Kan gue yang jalanin ini...dan lo nggak usah pusing mikirin Bapak lagi...”.
“iya, Pak...kalo lagi libur, saya ke sini untuk jaga n rawat Pak Jae".
“...”.
Pak Udin tidak mengatakan apa-apa. Pastilah susah dicerna orang lain untuk mengetahui seorang gadis SMA yang bahkan baru duduk di kelas 1, dengan senang hati mengatakan akan menjadi istri dari seorang aki-aki. Dan nampaknya memang Bang Jae belum menceritakan sepenuhnya kisahku ke anaknya ini.
“yaudah...mending kita sarapan aja dulu lah...neng...tolong siapin ya. Si Udin bawa makanan di dapur tuh".
“iya, Pak...”. Layaknya seorang istri yang baik, aku pun menyajikan sarapan ke aki-aki calon suamiku ini dan juga anaknya. Dan karena aku sudah sering merasakan pandangan laki-laki, aku bisa menangkap mata Pak Udin memperhatikan gerak-gerikk dari pinggir mataku.

Pakaianku yang memang tergolong untuk pakaian santai di rumah ini tentu agak longgar dan cukup terbuka, menampilkan mulusnya kulitku. Bukannya sombong atau apa, tapi aku pakai pakaian tertutup saja, pandangan mata lelaki terpaku padaku. Apalagi aku sedang memakai pakaian santai begini.
“ayo, Pak. Dimakan...”. Sambil makan, aku agak bingung sambil geli juga. Aku, gadis umur 18. Kalo memang jadi, nanti setelah lulus, aku akan jadi ibu tiri dari seorang bapak-bapak.
Hihihi, aneh banget. Selama makan, Pak Jae mengobrol biasa dengan Pak Udin layaknya Ayah yang sedang menanyakan kabar anaknya.
Tapi Pak Udin tetap sesekali melirikku, entah emang penasaran dengan lekuk tubuhku atau masih tak percaya, bapaknya bisa ngegaet gadis SMA sepertiku menjadi calon istrinya. Aku membereskan makanan dan piring kotor setelah makan, mereka berdua pergi keluar, mungkin mau merokok. Mungkin karena rumah Bang Jae agak di pojokan jadinya jarang orang lewat. Aku bisa leluasa membereskan rumah, menyapu dan mengepel layaknya seorang istri yang sedang senggang. Tentu aku berpakaian, mana berani aku beberes rumah dengan bugil, takut ada yang melihat. Aku beristirahat dengan menonton tv, tak lama kemudian Pak Udin kembali.

“lho...Bapak kemana?”.
“tadi katanya mau pergi dulu sebentar”.
“oooh". Aduuh, jadi berdua doang. Awkward niih. >.<
Tapi bukan Hana namanya kalau nggak bisa ajak ngobrol.
“ya udah Pak. Istirahat dulu...”.
“i..iya, neng..”, jawabnya masih agak sungkan. Aku yakin, dia pun bingung bagaimana harus bersikap kepadaku. Di lain sisi, aku masih SMA yang lebih pantas menjadi anaknya. Tapi di sisi lain, ayahnya sudah deklarasi langsung di depannya sendiri kalau aku ini calon ibu tirinya. Pasti perasaannya campur aduk.
“Pak Udin mau minum apa, Pak?”.
“nggak usah, neng...saya mau cuci piring aja di belakang...”.
“tenang, Pak...udah beress...”, jawabku sambil menepuk dada.
“mm...kalo gitu, saya mau nyapu aja...”.
“udah rapiiih juga”, jawabku senyum.
“luar juga ?”.
“udah beres pokoknya, Pak. Tinggal leha-leha".
“mm...”.
“ayo sini, Pak. Istirahat dulu aja...”.
Dengan agak segan, dia duduk di sampingku. Menurutku, bukan karena segan tidak mau, tapi lebih ke tidak enak denganku apalagi pagi ini dia melihatku dalam keadaan telanjang, dan ku yakin dia pasti bingung melihatku yang sepertinya biasa saja.
“Bapak sering ke sini, Pak?”.
“seminggu..sekali, neng...”.
“nengokkin Bapak ?”.

“iya, neng...kasian Bapak sendirian...sekalian saya bantu-bantu beres-beres dikit...”. Oke, kayaknya bisa nih ice breaking ku, sudah ketemu pembahasannya.
“saya denger Bapak udah berkeluarga ya, Pak?”.
“iya, neng...”.
“anak berapa, Pak?”.
“Cuma satu, neng...”.
“nggak nambah lagi, Pak?”.
“bukannya nggak mau neng, tapi nggak bisa...”.
“lho kenapa, Pak?”.
“iya...jadi kata dokter...setelah lahiran anak pertama...istri saya udah nggak kuat mengandung anak lagi...saya nggak paham istilah dokternya, pokoknya istri saya sakit terus harus diangkat rahimnya gitu, neng....”.
“ya ampunn...maaf, Pak. Saya nggak tau...”.
“iya, neng...nggak apa-apa".
“terus anaknya umur berapa sekarang ?”.
“14 tahun, neng. Baru kelas 2 SMP".
“ooh gitu....btw, Bapak sendiri juga anak tunggal ya?”.
“iya, Bapak Cuma punya satu anak aja, ya saya ini...”.
“kalau saya liat, Pak Udin deket banget ya sama Bapak...”.

“ya selayaknya anak sama Bapak, Neng. Dan saya nyaksiin perjuangan Bapak sama Ibu dalam ngebesarin saya. Padahal saya udah bertekad mau ngebahagiain Bapak sama Ibu. Tapi apa mau dikata, saya nggak bisa apa-apa, neng. Saya cuma tukang pijat aja", keluh kesahnya.
“tapi saya yakin, Bapak bangga sama Pak Udin kok...pernah cerita ke saya, dia punya anak yang selalu bantuin dia kapanpun dan bahkan bantu cari uang padahal masih sekolah". Terlihat raut wajahnya yang mulai sedih, mungkin mengenang mendiang ibunya dan perjuangan Bang Jae dulu.
“iya, neng. Makasih...”.
Hmm, tak mau berlarut ke arah pembicaraan sedih, aku berinisiatif mengganti topik.
“maaf ya, Pak. Pak Udin jadi keinget masa lalu".
“ah iya, nggak apa-apa, neng. Tapi saya juga minta maaf, padahal baru aja kenal tapi saya malah cerita sedih ke neng...”.
“nggak apa-apa, Pak. Lagian kan kita bakal jadi keluarga..hehehe...”.
“soal itu.....apa neng yakin ?”.
“maksudnya?”.
“iya, Bapak saya kan udah tua...aki-aki malah...dan juga nggak punya harta apa-apa...kenapa neng mau jadi calon istri Bapak saya?”.
“hihihi...nggak tau, Pak...jodoh ketemu tua kali, Pak...”, candaku.
“....”.

“ya udah saya ceritain detailnya aja ya, Pak....”.
Aku pun mulai bercerita aku berkenalan dengan Bang Jae kemudian peristiwa aku ketempelan sampai disembuhkan oleh Bang Jae. Dan tadinya aku ragu mau menceritakan penyimpangan seksualku, tapi karena sudah kepalang tanggung tadi pagi dia melihatku keluar dari kamar Bang Jae tanpa mengenakan apapun, aku pun menceritakannya. Mungkin karena kejadian tadi pagi, dia langsung percaya.
“...berarti neng Hana ini...lebih suka sama bapak-bapak berumur gitu ya....”.
“iya, Pak. Hehehe....saya juga bingung....”.
“baru kali ini saya ketemu cewek kayak neng...”.
“hmmm...makanya, Pak..saya sendiri juga bingung...”. Tentu percakapan kami barusan mengubah suasana.
“berarti neng udah pernah gituan sama Bapak?”, tanyanya mulai berani.
“hihihi...sering, Pak....sampe ngilu kadang..”.
Aku yakin pikirannya pasti langsung travelling, membayangkan tubuh ranum nan putih mulusku bisa dinikmati sepuasnya oleh ayahnya yang sudah bangkotan.
“oh iya, Pak...Pak Udin bisa pijet kan ya?”.
“bisa, neng. Kenapa ? Neng pegel?”.
“iya, nih, Pak....bahu...”.
“yaudah neng...sini saya pijet...”.
“sekalian aja deh, Pak...nggak cuma bahu aja...”.
“semua badan, neng ?”.
“iya, bisa kan, Pak?”.
“bisa sih neng...tapi nggak apa-apa??”.
“nggak apa-apa. Yaudah pijetnya di kamar Bang Jae aja ya...”.
“iya, neng...”.
“nanti saya panggil kalau saya udah siap...”.
“iya, neng". Tentu aku melepaskan pakaian, hanya bersisa pakaian dalam saja. Kalian tau kan? Saat ini, akal sehatku sudah kalah oleh penyimpanganku.
“Pak Udin...udah siap, Pak !!”, teriakku dari dalam kamar.
“misi, neng...”.




Hana Bersiap Untuk Dipijat



Dia nampak tertegun sejenak melihatku tidur tengkurap hanya mengenakan bh dan celana dalam saja.
“Neng mau pake handuk?”.
“udah...nggak apa-apa, Pak..tanggung...”.
“maaf ya, neng...”, izinnya sebelum mulai memijat bahuku.
“mmm.....enak banget, Pak....”, eluhku pelan menikmati pijatan Pak Udin di bahuku.
Memang beda rasanya waktu dipijit ibu atau ayahku dibanding dengan pijatan profesional seperti Pak Udin. Leher, tengkuk, dan kepalaku dipijat dengan sangat telaten. Saking enaknya, aku rasa aku sedikit tertidur sebentar. Aku terbangun karena merasa bongkahan pantatku sedang diremas-remas dan seperti direkahkan.
“kenapa pantat saya, Pak?”.
“aah...aah...enn..gggak, Neng....”, Pak Udin langsung gelagapan dan memindahkan tangannya ke atas pantatku.
“Pak Udin ngeremes-remes pantat saya?”.
“een...nggak, Neng...”
“saya bisa bedain lho...”.
“aah...nng...iya, maaf, neng...Saya khilaf...”.
“jangan di ulang lagi ya...nanti saya bilangin Bapak....”.
“ii....ya, neng...maafin saya....”.
“lagian kan Bapak udah punya istri...masih grepein saya...apalagi saya calon ibu Pak Udin...”.
“ma...maaf, neng...saya udah lama nggak liat dan sentuh cewek, neng...jadi kurang kontrol nafsu".
“lho? Kenapa emang, Pak?”.
“saya nggak tau...pokoknya semenjak diangkat rahimnya, istri saya tuh udah nggak kayak dulu lagi...sering marah-marah...nggak pernah mau diajak tidur bareng...yah pokoknya udah beda lah...”.
“hmm...terus emang nggak ada pelanggan pijet yang cewek gitu, Pak?”.
“jarang yang mau lah, neng...kebanyakan bapak-bapak...paling ada kalo nggak emak-emak ya nenek-nenek...baru kali ini, saya mijet cewek kayak neng...”.
“maksudnya?”.

“iyaa...neng Hana masih muda terus cantik banget....”.
“ya tapi kan saya calon istri Bapaknya Pak Udin...”.
“i..iya, neng...makanya saya minta maaf banget....janji nggak bakal keulang...”.
“huuh...awas ya...”.
“ii..ya, neng...”.

Dia pun meneruskan memijatku dengan agak hati-hati dari sebelumnya. Jika menyentuh daerah yang agak ‘rawan', dia hanya memijat sekadarnya.
“tapi, Pak....badan saya bagus nggak?”, tanyaku memecah kesunyian.
“aa..ah..nngg...”, aku yakin Pak Udin kebingungan menjawabku yang tiba-tiba bertanya seperti itu. Antara mau jawab jujur atau menghindari pertanyaan.
“jawab lah, Pak...”.
“nng....ii..ya, neng...”.
“bagus mananya?”.
“se...semuanya, neng....”.
“hihihi...bisa aja....terus Pak Udin jealous nggak ngebayangin Bapaknya Pak Udin bisa bebas nge grepein saya ?”, tanyaku lebih mengundang.
“nngg....”.
“jawab jujur, Pak...”.
“iiya, neng...saya kira, neng malah diguna-guna awalnya...”.
“hihihi....ya mirip juga sih hihihi....”.
“saya minta maaf ya neng...”.
“kenapa minta maaf?”.
“udah ngeremes pantat neng tadi....”.
“hihii...saya cuma bercanda kok, Pak....abis tiba-tiba main remes aja...” .
“iya, neng maaf....”. Pak Udin pun melanjutkan pijatannya dengan sangat hati-hati sampai selesai.

“aduuuh...enak banget, Pak...seger...ilang semua pegel-pegelnya...emang top Pak Udin...”.
“hehe...makasih, neng...”.
“yaudah saya pakai pakaian dulu yaa....takut Bapak keburu dateng...ntar disangka ngapa-ngapain kita...”.
“iya, neng....kalo gitu saya keluar dulu...”. Begitu berpakaian, dan lanjut ngobrol dengan Pak Udin, tak lama Bang Jae datang.
“darimana, Bang?”, tanyaku
“balikin barang temen sebentarr...”.
“oooh....mau minum lagi?”.
“boleh deh, teh anget aja".
“sebentar yaaa...”. Sekejap aku kembali dengan teh anget.
“aaah mantaap".
“neng...biasa...kalau sore-sore santai gini...biasanya ngapain?”.
Aku tersenyum ke Bang Jae. Dengan santainya, aku duduk bersimpuh di depan Bang Jae, kubuka kaitan dan resleting celana Bang Jae. Dibantu Bang Jae yang mengangkat pinggulnya sedikit, aku mudah melorotkan celana & celana kolor Bang Jae. Keluarlah ‘sang jantan' di hadapanku meski masih tertidur.
“ee...saya pulang dulu, Pak...”, seakan merasa tak enak melihatku yang akan berbuat mesum dengan ayahnya, Pak Udin izin mau pulang, sementara aku, sebagai budak seks yang baik, tak menghiraukan Pak Udin karena sedang menciumi setiap sudut ‘tuan kecil'ku ini dengan mesra.
“eh lo ngapain pulang. Udah tungguin dulu sini...gue masih mau ada tanya sama lo, Din....”.
“ta...tapi...neng Hana....”.
“ah udah nggak apa-apa....emang tugasnya...hahahaha", ucap Bang Jae begitu puas ketawa lepas karena pasti dia merasa sangat bangga bisa menunjukkan dirinya yang sedang diemut oleh gadis SMA kepada anaknya.
“lagian kalo udah ngeliat barang Bapak...neng Hana nggak bakal bisa di ganggu.....wahahahaha".




Hana Sibuk Dengan Tongkat Ajaib



Uugh, kuping dan wajahku terasa panas, namun juga menggelitik secara bersamaan. Mereka yang seakan tidak memperdulikanku seakan hal yang lumrah membuat rasa malu campur birahiku ini benar-benar membuat nafsu semakin melonjak tinggi. Rasanya tubuhku semakin memanas mendengar mereka mengobrol dengan biasa sementara aku menjalankan tugasku untuk ‘melumat' kejantanan Bang Jae layaknya seorang betina yang baik. Ya meski kudengar Pak Udin mengobrol dengan agak terbata-bata. Pastilah dia agak canggung dengan situasi seperti ini. Bahkan aku pun, yang memiliki komplikasi penyakit seksual menyimpang ini, merasa sangat malu luar biasa. Namun, aku bisa menekannya dengan berfokus kepada selangkangan ‘pejantan tua'ku ini.
“oooh....emang mantep....sepongan kamu, neeng...”. Aku membuka mulutku lebar-lebar agar Bang Jae bisa leluasa menggunakan mulutku sebagai ‘alat pompa' penisnya.
“cllkk cllkkk”. Sebagai ‘boneka seks' yang sudah terlatih, aku pun duduk bersimpuh dan senang hati menerima hujaman penis Bang Jae berkali-kali yang sedang terlihat begitu keenakan menikmati kerongkonganku.
“hhh....”, aku segera mengatur nafas begitu Bang Jae melepaskan cengkraman tangannya di kepalaku dan selesai mencekokiku dengan penisnya. Dengan sigap, aku genggam batang penis Bang Jae dan mulai kujilati area antara pangkal kantung zakar dengan anusnya yang membuat sang pemilik gemetar kecil.
“uuuh...geli-geli enak, neng...”. Kemudian, ku mulai jilati area di bawah kepala penisnya.
“kontol Abang enak ya, neng".
“enak banget, Bang..hhh...", jawabku spontan di sela-sela aktifitasku yang sedang mengempeng kepala penis Bang Jae.
“kalo gitu...mau peju?”.

“mauuu....”, jawabku manja seakan sudah tak ada Pak Udin padahal dia masih ada di belakangku, diam terpaku.
“uuuhhhhhh !!!!”, sperma Bang Jae pun langsung terbang ke arah wajahku, sepertinya dia memang sengaja mau ‘mewarnai’ wajahku di depan anaknya.
“ooaah mantaaap !!!”.
“sllpp...sslppp...”. Bunyi ku yang sedang membersihkan pentungan milik Bang Jae.
“emang paling mantep sepongannya neng Hana....”. Aku tersenyum manis ke Bang Jae.
“eh, Din...malem ini lo nggak kemana-mana kan?”.
“nng...nggak sih, Pak. Kenapa emangnya, Pak?”
“kan Bapak jaga....kasian neng Hana sendirian di sini...”.
“Lo mau nggak nginep di sini?”.
“nngg...tapi saya mesti bilang Yani, Pak....”.
“oh yaudah, lo telepon aja dulu...”.
“yaudah, bentar saya telepon dulu, Pak". Pak Udin pun keluar rumah.
“ayo neng, buka baju...”.
“semuanya, Bang ?”.
“iya...”. Tanpa menanyakan alasannya layaknya budak seks yang baik, aku pun mulai melucuti diriku sendiri sampai bugil.

Terlihat dari ekspresinya yang terkejut, Pak Udin pasti tak mengira begitu dia masuk lagi, aku sudah dalam keadaan tak berbusana sedikitpun dan secara refleks yang cepat, dia menutup pintu kembali
“nah...kalo gitu...Bapak titip neng Hana ke lo ya, Din...”.
Pak Udin diam terpaku, setiap pelosok tubuhku seakan dijelajahi oleh mata Pak Udin. Tiga lelaki yabg sudah pernah menjamah tubuhku termasuk Bang Jae mengakui kalau tubuhku ini memang benar-benar memanjakan mata pria. Tubuh sintal, putih mulus, pantat bulat kenyal, dan payudara besar bulat nan membusung seakan memang dibuat untuk tempat pelampiasan nafsu para lelaki.
Ditambah leher dan kaki jenjang bagai model serta wajah yang begitu cantik membuat mereka (tiga pria tua yang pernah dan sedang menjadi ‘pemilik' tubuhku) bilang seakan sudah berada di surga saat tidur denganku. Tentu Pak Udin tak ada bedanya, nafsu ingin menjarah tubuhku segera tergambar jelas di wajahnya.
“neng....malem ini, Udin gantiin Abang ya...”.
“iya, Bang...”, jawabku tersenyum dan mengedipkan mata ke Pak Udin.
Akhirnya aku tahu kenapa waktu itu Bang Jae menanyakan kepadaku, apakah aku keberatan kalau dia ingin berbagi kenikmatan tubuhku dengan orang lain. Rupanya itu dengan anaknya sendiri. Sebagai fasilitas penyaluran nafsu Bang Jae, tentu aku tak berhak menolak permintaan atau perintahnya jika tak membahayakan nyawaku dan aku pun juga bisa merealisasikan fantasiku mempunyai 2 pejantan sekaligus dan lebih gilanya lagi, mereka adalah ayah & anak.
“ini bisa lo cipok n sepong barang lo....”, ujar Bang Jae seraya mengusap-usap bibirku.
“ini bisa lo remes n kenyot sampe kempot...”, tambahnya sembari meremas-remas payudaraku dari belakang.

“ini...bisa lo remes-remes juga sama lo tabok sekenceng-kencengnya....PLOKKKHH !!!”, bongkahan pantat kananku jadi sasaran. Duuh, pedes juga, dalam hatiku.
“nah yang nii...sini gue bilangin....”. Bang Jae menarik Pak Udin kemudian jongkok di depanku sehingga wajah mereka berdua tepat di selangkanganku, benar-benar menganggapku sebagai mainan seks saja dan vaginaku hanya sekedar ‘barang’.
“lebarin kakinya, neng". Sesuai instruksi, aku melebarkan kedua kakiku.
“mulus kan?”, ucap Bang Jae sambil mengusap-usap selangkanganku.
“yang ini...bisa lo kobel, lo kokop...kalo mau lo colok, genjot, celup-celup juga boleh...”. Gila !!, aku benar-benar merasa seperti hanya sekedar mainan seks yang sedang di perkenalkan ke pengguna baru saja. Rasanya benar-benar direndahkan namun juga terasa begitu menggairahkan.
“tapi inget....yang ini nggak boleh lo siram peju...”, jelas Bang Jae sambil sedikit melebarkan bibir vaginaku.
“dari dulu kan lo pengen punya adek....nah nanti ini jadi tempat produksi adek lo....barang 2 atau 3 lah....abis itu baru deh lo tambahin cucu gue pake ini juga....”, tutur Bang Jae mengelus-elus bibir vaginaku.




Tubu Hana Diperkenalkan ke Udin Oleh Bang Jae



“betul kan neng?”
“iya, Bang...memek Hana punya Bang Jae....kalau Bang Jae emang mau minjemin memek Hana ke Pak Udin buat nambah cucu...Hana siap...", jawabku tersenyum.
“tuuh kan....mantep banget emang nih si neng bidadari ini...”.
“ok, mau siap-siap dulu...inget ya Din...kalo ketauan lo buang peju di memek calon ibu yang cantik ini...gue potong burung lo....”.
“ii..ya, Pak". Aku yakin Pak Udin sedang bingung sekarang dengan situasi saat ini, otaknya pasti nge hang untuk menghadapi obrolan saat ini. Aku masuk ke dalam kamar bersama Bang Jae untuk membantunya bersiap-siap dan juga membawakan bekal untuknya, sementara Pak Udin masih duduk terbengong di ruang tamu. Sepertinya otaknya masih memproses yang baru saja terjadi.
“kenape lo, Din ?”.
“ng..nggak, Pak...”. Dia hanya memperhatikanku yang sedang menjilati jari kaki Bang Jae satu per satu sebelum ku lap dengan payudaraku dan tisu.
“noh liat kan..belum jadi bini aja.. udah poll banget pelayanannya..gimana kalo udah jadi ibu lo...disayang banget deh....”, tukasnya.
“Bang...tongkatnya belom...”.
“oh iya...tolong ambilin, neng cantik....”.
“iya, Bang...”. Aku pun keluar kamar perlahan dengan membawa tongkat satpam Bang Jae.
“hmmm.....haruuuum....”, ujar Bang Jae mengendus tongkatnya yang baru saja ia cabut dari liang vaginaku. Ya betul, SOPku ketika membawakan tongkat tonfa milik Bang Jae yakni dengan vaginaku. Untungnya tongkat tonfa Bang Jae adalah yang pendek jadi bisa masuk ke dalam liang senggamaku.
“yaudah Abang pergi dulu yaa....”, pamitnya sebelum mulai melumat habis bibirku dan mengulum lidahku kemudian jongkok dan mencium bibir kemaluanku.

“cupph....besok pagi, kalau Abang pulang..siap ya di colok...hehehe....n kalau si Udin nakal buang ludah di dalem....gigit aja burungnya...”, pesan Bang Jae seakan mengobrol dengan daerah intimku.
“Din...selama ini Bapak nggak bisa ngasih apa-apa ke lo....nah kebetulan ada neng Hana yang cantik...anggep aja...kado dari Bapak....lo bisa pake neng Hana sampe puas....tapi inget, kalo sampe buang peju di dalem memek neng Hana...gue potong barang lo”.
“ii....ya, Pak”.
“udah ya...Bapak pergi dulu ya...”.
“iya, Bang..ati-ati", ujarku seraya menutup pintu cepat-cepat takut kelihatan orang karena aku dalam keadaan bugil.
“kok bengong, Pak?”.
“ii...ni beneran, neng ?”, mungkin maksudnya hal yang dibicarakan Bang Jae barusan. Sambil tersenyum nakal, aku berjalan ke arahnya dengan menggoda.
“ini bukan mimpi, Pak...”.
“ta..tapi, neng....”.
“sshhh...”, kuletakkan jari telunjukku di mulutnya.
Tanpa ragu, aku langsung melumat bibirnya. Kucumbu dan kuselipkan lidahku masuk ke dalam mulutnya. Awalnya dia hanya diam, namun cuma sebentar, insting laki-lakinya mulai mengambil alih, dia mulai membalas pagutan bibirku dan balik melumat bibirku. Jadilah kami bercumbu dan saling melumat bibir. Hei, tidak ada akan pria tua normal yang bisa menahan diri ketika dicium gadis SMA yang sudah bugil bukan?
“biar Pak Udin yakin ini bukan mimpi...sini ikut saya....”, ucapku setelah melepas ciuman kami yang membuat benang liur terhubung antara mulutku dan mulutnya. Aku pun menarik tangannya agar dia mengikutiku berjalan ke arah sofa. Kudorong perlahan dia untuk duduk. Tentu aku langsung duduk bersimpuh di depannya.
“biar Pak Udin yakin ini bukan mimpi...sekalian saya mau liat punya Pak Udin...hihihihi". Dia tak berkata apa-apa. Entah dia masih tidak yakin atau terpaku tak percaya, yang pasti badannya refleks terangkat untuk memudahkanku melepas celananya.
“hihihi....gemuuk....”, komentarku manja melihat tonjolan di celana kolor Pak Udin. Kutempelkan wajahku dan kuhirup aroma kelelakian Pak Udin dari selangkangannya.
“ee..ee...neng...bau, neng....”.
“saya suka...”, jawabku tersenyum kemudian kususul dengan kecupan manja beberapa kali di tonjolan celana kolornya.

“hihihi....gemuk...”, jawabku spontan melihat kepunyaan Pak Udin. Bang Jae bertipe ‘penusuk', sedangkan Pak Udin ini lebih bertipe ‘penyumbat'. Meski aku seorang hiper seks, tapi baru 4 ‘senjata tumpul’ yang pernah kulihat. Dari tipe payung atau besar di kepala, kurus di batang milik Pak Karso, tipe normal milik Kek Wiryo sampai tipe besar panjang milik Bang Jae, dan sekarang tipe gemuk milik Pak Udin. Aku jadi semakin penasaran ingin melihat bentuk-bentuk lainnya dari benda kebanggaan milik pria ini. Hihihi..
“kenalan dulu aah...”.
Aku mulai mencumbui sekujur batang beserta kantung zakar Pak Udin yang membuat pemiliknya sedikit bergidik kegelian sambil keenakan. Kutempelkan juga hidungku untuk mengendus-endus aroma selangkangan Pak Udin. Tentu tak sedap, tapi sangat membangkitkan gairahku yang menyimpang ini seolah bau selangkangan om-om dan kakek-kakek menjadi aroma pembangkit gairah bagiku.
“eemm....”, aku mulai mengemut pucuk kepala penisnya. Kuempeng seperti sedang mengemut permen lolipop.
Bibir bawah dan bibir atasku kumainkan sambil sesekali kucolek lubang kencingnya dengan lidahku.
“duuhh...enaak...bangethh, neeng....di sepong....enak bangethh.... ”. Padahal baru kuempengin saja ‘jamur pink’nya, tapi Pak Udin kelihatan begitu bergidik keenakan, jangan-jangan...
“Pak Udin...belum pernah disepong, Pak?”, tanyaku menatap matanya seraya menepuk-nepukkan penisnya ke pipiku.
“be..belum pernah, neng”, jawabnya agak malu. Entah malu, entah menyesal.
“emang istri Bapak...nggak mau apa gimana?”, tanyaku santai sembari memberikan ciuman-ciuman lembut ke sekujur batang kejantanannya.
“iya...neng...”, jawabnya agak sedikit berkedut-kedut.
“kolot atau gimana, Pak?”.
“nggak tau, neng....jijik katanya... “.

“iissh.... Masa ama punya suami sendiri jijik... Duuh.. Kasian banget Pak Udin... Padahal menurut Hana.... Fungsi mulut istri cuma 2.. Fungsi kedua yaitu ngomelin suami, tapi fungsi utamanya ya ini....nge manjain barangnya suami kayak gini... “, ucapku sebelum mulai menciumi mulai dari pangkal kantung zakar dekat anus nya sampai ke lipatan antara kantung zakar dengan batang penisnya.
Tentu Pak Udin berkedut kecil berkali-kali sambil melirih keenakan, apalagi aku tambah dengan sapuan lidah tanpa putus di setiap sudut kantung zakarnya senti demi senti, dan tak lupa kumasukkan ke dalam mulutku, per biji nya maupun kantung buah pelirnya secara kesuluruhan yang tentu kusambut dengan belaian manja lidahku yang membuat si pemilik menggelinjang dan tak mendesah karuan.
Namanya masih ‘perjaka’ dalam hal diemut perempuan, sensitifitasnya sangat tinggi, padahal masih ada teknik yang belum kugunakan.
“pokoknya Pak Udin tenang aja... Sekarang udah ada Hana.... Urusan bersihin kontol pake mulut... Serahin ke Hana... Hihihi... Lagian kan ini nanti jadi penerus Bang Jae kalo Bang Jae udah bosen buang peju di rahim Hana.. Kan ini penerusnya... “, ucapku sambil mengelus-elus ‘topi daging’ Pak Udin.
“tapi kalau nanti Hana udah lulus... Terus Pak Udin nggak sabar... Nego sama Bang Jae yaa... Biar boleh patungan peju di perut Hana... Hihihihi... “, kicauku tambahan sebelum aku mulai membeli kepala dan leher penis milik anak calon suamiku ini. Calon suamiku seumuran dengan kakekku, anaknya seumuran dengan ayahku dan kini kejantanannya sedang kubelai-belai dengan lidah, memang aku lebih rendah dari jablay manapun.

“neengghh...oohhhhh”, lenguhnya yang kuyakin sedang menikmati lidahku yang sedang menari-nari manja di sekitaran ‘jamur pink’ miliknya sambil sesekali kupanaskan sosisnya dengan mulutku yang naik turun mengurut perlahan batangnya.
“aaakhhhh!!!”, hanya sebentar kurasakan berkedut-kedut sebelum tiba-tiba semburan air menembak pangkal kerongkonganku.
Bukan Hana namanya, kalau aku kaget cuma karena tiba-tiba ditembak air mani seperti ini. Sperma yang sudah seperti air putih bagiku karena sering ku tenggak tiap hari langsung ku tampung dengan mulutku meski akhirnya menetes keluar dari pinggiran mulutku karena saking banyaknya. Rasa dan aroma air maninya begitu kuat. Tapi tidak sekuat rasa sperma Bang Jae yang bertahun-tahun tidak di ‘ekstrak’ dari tempatnya. Mungkin Pak Udin lebih sekitar 2-4 mingguan tidak dikuras dari kantungnya. Gila, apa saking seringnya minum sperma, aku jadi bisa menebak umur sperma?
Dan bahkan setelah pertama kali aku meminum sperma Bang Jae waktu itu, tubuhku terasa segar dan enteng. Apa tubuhku secara alamiah sudah menjadikan air mani pria sebagai supplemen tubuh? Ya memang sih sperma itu penuh protein, tapi ya nggak dijadiin suplemen juga kayaknya. Tapi nggak apa-apa sih, selama ada ‘supplier’nya hihihi... Toh aku juga suka dengan rasa amis, asin, sedikit manis dari sperma.




Lelehan Mani Udin



“ssrpph... “, aku pun membersihkan batang dan terutama pucuk penisnya, ku korek sisa air mani yang mungkin tertinggal di lubang kecil penis Pak Udin.
“ma..maaf..neng...nggak bisa nahan...”, tapi dia terdiam melihatku membuka mulutku sebelum menelan keseluruhan cairan putihnya yang tertampung di mulutku ini.
“di... ditelen, neng? Nggak jijik? ”.
“mmm.... Enak, Pak.... favorit Hana malah.... “, jawabku begitu nakal seraya memutar lidah sekitar mulutku untuk membersihkan sekitaran bibirku yang mungkin ada air mani yang tersisa di situ.
*huuufft....lega, neng....makasih banyak, neng....hehehe“, ucapnya seraya duduk lebih santai dengan wajah yang menunjukkan ekspresi lega.
Aku tahu kok ekspresi wajah itu. Ekspresi lega yang didapatkan setelah akhirnya merasakan lagi diberikan kenikmatan oleh pasangan. Karena rasanya sungguh beda, memuaskan nafsu dengan sendiri dibandingkan dengan pasangan, rasanya sungguh lain.
“Hana juga makasih, Pak....udah dikasih peju....hehehe”, bisikku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Aku bisa merasakan Pak Udin masih agak kaku dan canggung dengan situasi ini. Ya tentu saja sih, kondisi dimana ada seorang gadis SMA yang terang-terangan mengakui akan jadi istri dari bapak kandungnya yang sudah umur 60an, dan setelah itu bapaknya malah membolehkan calon istrinya yang masih belia ini untuk dicabuli sesuka hatinya, si anak kandung.
Jujur, aku pun sebenarnya bingung harus bagaimana, tapi bukan Hana namanya kalau tidak bisa mengatasi ‘social awkwardness” seperti ini.
“udah lama ya, Pak nggak dikeluarin? “.
“ii...iya, neng...setahunan ada barang kali....”.
“lama juga ya....”, ups, aku salah duga sepertinya. Oke, akan kutambahkan rasa & kekentalan sperma Pak Udin yang ada di lidah dan tenggorokanku sebagai referensi pria yang tidak ejakulasi selama kurang lebih setahun hihihi.
“istri Bapak nggak bantuin keluarin gitu, Pak? “.
*nggak, neng...kasian dia capek dagang tiap hari...”.
“oooh...dagang apa, Pak?”, kami mengobrol secara biasa padahal pemandangan seorang gadis SMA yang putih mulus tanpa busana apapun sedang ngelendot ke bapak-bapak tua pastilah tak umum terjadi.
“yaa gado-gado, pecel, ketoprak gitu, neng...buat bantu-bantu saya cuma tukang pijet soalnya....”.
“ooh....tapi ya seharusnya bantuin gitu....sekedar handjob aja gitu....”.
“saya nya yang nggak minta, neng....”.
“lah kenapa, Pak?”.

“nggak berani neng.....istri saya kalo udah capek..***lak banget....”.
“hmm....”.
Dari cerita Pak Udin, aku bisa menebak profil istrinya. Kemungkinan besar, istrinya memang agak kolot dan rasanya kupikir agak frustasi juga. Dari segi ekonomi, mungkin nomor dua atau tiga. Aku rasa lebih ke arah karena tidak bisa punya anak lagi, ditambah Pak Udin yang nampaknya terlalu penurut atau ‘baik’ sehingga kurang dominan ke istrinya jadi kurang greget kalau melayani suaminya.
Bagi pembaca cowok yang membaca cerita ini, inget lho ya. Dominan ke istri bukan berarti kasar atau gimana, tapi lebih in-charge di kehidupan berumah tangga alias bukan suami yang mencla mencle atau iya-iya aja karena secara peraturan tidak tertulis, peran lelaki lebih ke pemimpin, jadi kalau suaminya yang nurut-nurut aja, biasanya sang istri secara alamiah akan lebih dominan di keluarga, tapu ya nggak semuanya loh yaa.
Apalagi urusan di ranjang, laki-laki yang terlalu ‘lembek’ jadi membuat pasangan wanitanya agak malas. Well, sepertinya aku menemukan peranku....hehehe.
Akan kuubah Pak Udin, setidaknya untuk urusan pergumulan dulu deh....hihihi
“tapi kok neng Hana bisa tau saya udah lama nggak keluar pejunya....”.
“hihihi....rasanya agak mirip sama kayak Bang Jae pas pertama kali Hana ngerasain pejunya....hehehe”.
“oo..ooh...”.
“n Bang Jae....biasanya nggak puas kalo Hana keluarin pejunya pake mulut doang...”.
“tapi....kalo saya boleh, neng?”, tampaknya dia mulai memunculkan niat untuk menggunakan tubuhku sebagai pelepas nafsunya yang sudah tertimbun selama setahun ini.
“Bapak boleh pake Hana sepuasnya....Hana nggak bakal nolak diapain aja”, bisikku manja sembari membelai dan mengelus ‘perkakas’ Pak Udin yang mulai setengah bangun. Matanya kelihatan membara, perasaan canggung pun sudah mulai tersingkir oleh hawa nafsu.
“eiits....”, aku menghentikan laju bibir Pak Udin yang menuju ke arah bibirku.
“kok...nggak boleh, neng?”, tanyanya dengan ekspresi agak heran.
“kan tadi Hana baru nenggak peju Pak Udin...bau peju...emang Pak Udin mau?”, peringatku.
“oh iya...hehhe....tapi yang laen boleh kan, neng?”.
“sepuasnya....hehehe”, jawabku nakal.

“emmm.....”, Pak Udin mulai dengan mencumbui leherku dan menjilatinya, tangan kirinya begitu aktif meraba-raba payudaraku.
Putingku dimainkannya bagai analog di stik ps yang begitu asik dimainkan.
“hihi....geli, Pak....”, tawaku manja menerima cumbuan penuh nafsu Pak Udin di leherku.
“neng Hana....haruummm...wangiii....”, nampaknya Pak Udin sangat menyukai aroma tubuhku. Tak hentinya aku menggeliat, menggelinjang ke sana kemari menahan geli campur nikmat dari cumbuan dan jilatan lidah Pak Udin di leherku.
“bulet banget, neng...kenyel banget pula....”, pujinya sambil begitu asik meremas-remas kedua buah payudaraku.
Sapuan lidahnya di permukaan payudaraku yang putih mulus cukup membuat aliran listrik kecil mengejutkan tubuhku dan tanpa pikir panjang, dia bergantian mencaplok areola ku. Kedua puting yang telah mengeras semakin membuat ‘kemasan susu’ku semakin sensitif sehingga semakin cepat rasa nikmat menjalar ke sekujur tubuhku, apalagi remasan, pijatan pada payudaraku serta pilin dan plintir ke ‘kuncup susu’ku yang sedang tak ia emut sungguh membuatku merasa semakin tenggelam di rasa nikmat foreplay ini.
“ampun, Pak....hihi..aampunn...gelii...”, eluhku manja saat Pak Udin menjilati ketiak kananku tanpa ampun. Puas membalurkan liurnya bergantian ke payudara dan ketiakku, dia mulai ‘turun bukit’, ciuman & jilatannya semakin menurun ke perut dan tentu tujuan utamanya adalah ‘celah’ selangkanganku.
“kenapa, Pak?”, aku refleks bertanya karena dia berhenti sejenak padahal sebentar lagi, lidahnya mengenai ‘bukit gundul’ milikku dan tentu tubuhku seakan sudah menantikannya sebetulnya.
Tanpa menjawab, dia menaikkan kedua kakiku ke atas sofa dan melebarkannya selebar-lebarnya sehingga kedua kakiku seperti membentuk huruf M, dia duduk dan tepat memposisikan wajahnya di depan pangkal pahaku dan menyibakkan bibir vaginaku dengan kedua jarinya.




Kemaluan Hana yang Mengunggah Selera



“bagus banget, neng...memek neng Hana mulus, pink lagi...bikin ngiler...”.
“hihihi..kirain kenapa...”.
“pantesan Bapak jadi seger n hepi tiap hari...dikasih memek mantep begini....”.
“nah sekarang giliran Pak Udin juga biar seger n hepi..hehehe”, ujarku bagai pelacur.
“kenapa baru sekarang sih ketemu sama neng Hana...si cantik mulus kayak gini...”.
“yaa kan emang Pak Udin lahir duluan...wee”.
“beruntung banget, Bapak sama saya bisa ketemu neng Hana...”.
“hehehe...emang udah jodoh kali, Pak...”.
“berarti nanti ini ya, pabrik bayi nya?”.
“iyaa...pabrik bayi khusus Bang Jae & Pak Udin...tapi karena Hana masih harus sekolah...sementara jadi tempat angetin burung Bang Jae & Pak Udin dulu aja yaa...hihihi”, ucapku yang memang sudah memantapkan hati untuk menjadikan rahimku sebagai tempat produksi keturunan dari Ayah & Anak tunggal ini.
“bapak cicipin ya...”.
“jangan sungkan ya...hehehe”.
“wangiii, neng...”, kata Pak Udin sesuai tarikan napas yang begitu dalam dengan hidung yang menempel erat di bibir vaginaku.

“hhh..mmmm”, tubuhku mulai bergetar kecil saat kecupan-kecupan mesra Pak Udin di layangkan di sekitar area intimku disusul dengan sapuan lidahnya di permukaan vaginaku.
Ya memang tidak sehandal mendiang Kek Wiryo yang setiap hari menyantap vaginaku layaknya makanan pokok dan seluwes Bang Jae yang mulai terbiasa ‘menggerogoti’ selangkanganku tiap harinya, tapi tetap saja kombinasi cumbuan mesra, sapuan lidah manja, dan kilikan jari Pak Udin membuatku mendesah nikmat sampai memegangi kepalanya agar tidak beranjak dari selangkanganku sampai aku melirih panjang tanda orgasme.
“uummmmhhh...”, tubuhku mengejang dan berkedut-kedut dari rasa nikmat yang kurasakan.
“eeeehhh...lagii...Pak???”, tanyaku ketika lidah Pak Udin mulai menyelip masuk lagi ke dalam liang vaginaku.
“eeehmmm...ooommmhhh....”, desahku menjadi-jadi, suara becek dari cairan vaginaku dan seruputan kencang Pak Udin bercampur dengan suara desahanku.
Lidahnya semakin liar bergrilya dan mengulik-ngulik lubang kewanitaanku sampai aku menggelinjang ke sana kemari dan melirih tak karuan sampai orgasme kembali.
“eenn..hh..”, belum selesai aku merasakan puncak nikmatku, lidah Pak Udin semakin intens mengubek-ngubek vagina bahkan sampai lubang anusku, di sapu juga olehnya.
“ampuunn, Pakh....Pak..hhhh...”, pintaku merasa sungguh lemas setelah orgasme untuk yang kelima kalinya. Kutarik ucapanku sebelumnya, aku sampai menyerah dibuatnya hanya dari lidahnya.

“hehe...maaf, neng...nggak nyangka memek neng...gurih banget kayak santen terus manis-manis asin gitu...jadi lupa diri...”. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya.
“ngg....nggak..apa..apa..hhh...Pak...cuma lemes aja...”.
“kalau gitu, sini biar Bapak gendong ke kamar...”.
Layaknya istri yang sudah siap untuk digarap suaminya, aku pun merangkulkan tanganku di lehernya dan dia sigap mengangkat tubuhku ke kamar. Padahal kalau memang sampai terjadi nanti, aku, gadis SMA yang bugil dan lemas setelah 5x orgasme ini, akan menjadi ibu tirinya tapi seakan tak keberatan cenderung pasrah juga untuk melayani nafsu calon anak tirinya ini. Yah, memang ayahnya juga yang memberikan tubuhku sebagai hadiah ke anaknya ini, jadi ya mau gimana.
Pak Udin pun perlahan meletakkan tubuh mulusku dengan daerah intim yang berlumuran liurnya ini perlahan ke atas kasur kemudian mencium bibirku lembut.
“calon ibuku sayang...izin untuk nyobain memeknya ya...”, bisiknya sangat cabul di kupingku.
“iya, calon anakku sayang...memek ini emang khusus buat ayah kamu dan kamu”, jawabku sama cabulnya.
“pelan-pelan yaa...”, ucapku setelah agak merasa khawatir setelah kuncup penis Pak Udin yang tebal itu mulai menyeruak masuk ke dalam liang kewanitaanku.
“uuh...sempit banget memeknya, Bu...jadi nyangkut”.

“hhngg....punya kamu yang tebel, Nak...”, ucapku mengikuti alur pembicaraannya sebagai ibu & anak tiri yang sedang bersenggama untuk pertama kali. Aku sampai menggigit bibir bawahku sambil sedikit merasa nyeri merasakan batang tebal penis Udin yang memaksa masuk dan membuat dinding vaginaku mengembang lebih dari biasanya.
Ayahnya spesialis mentok, anaknya spesialis nyangkut. Aku jadi agak ngeri kalau sampai-sampai mereka berdua meminta untuk menyodokku dari depan & belakang secara bersamaan. Bisa-bisa nggak bisa jalan aku nanti.
“oooh....sempit...anget banget....”, eluhnya.
Sementara aku masih mengontrol nafas untuk membuat tubuh rileks dan agar liang kewanitaanku menyesuaikan dengan ‘pelanggan tipe baru’nya ini. Dengan tertancapnya penis Pak Udin ini, sudah resmi empat penis pria paruh baya yang ter ‘registrasi’ di alat kawinku ini. Dan tentu ke depannya, anggota baru ini bakal lebih sering ‘plug & play’ dengan alat kawinku.
Aku bisa melihat wajahnya keliatan begitu meresapi himpitan dinding vaginaku ke batang penisnya. Mungkin dia baru bisa merasakan lagi betapa hangat dan nikmatnya tubuh seorang gadis, terlebih lagi gadis muda yang sedang ranum-ranumnya sepertiku.
Karena meski masih punya istri, namun istrinya sudah tidak lagi mau melayaninya, ya sudah aku saja yang menggantikan tugas istrinya karena memang hakekat kenapa wanita diciptakan dengan tubuh yang indah adalah sebagai tempat ‘bermain’ laki-laki untuk penyaluran nafsu duniawi.
Jika seorang istri sudah tidak mau menjalankan tugas utamanya itu, maka harusnya sudah tidak bisa dianggap sebagai istri.
“sakit ya, Bu?”.
“ngilu dikit, anakku sayang....”, jawabku tetap melanjutkan peran.

Aku tidak tahu apakah memang Pak Udin mempunyai fantasi terpendam berhubungan dengan ibunya atau tidak, tapi yang pasti pria paruh baya mana yang kuat menahan godaan dari gadis SMA yang rela dan senang hati melebarkan selangkangannya untuk di coblos, ditambah lagi peran sebagai ibu tiri.
Kalau tidak salah ingat, banyak kok film JAV yang mengambil tema seperti ini, bedanya dengan kasusku, gadis SMA yang menjadi peran ibu tiri sementara pria bangkotan yang menjadi peran anak tiri.
“ummmhh....hhmmmppp....”.
Pak Udin mulai mencumbuku mesra seraya mulai menggerakkan ‘cacing tebal’ miliknya di liang senggamaku. Saat dia menarik penisnya, vaginaku seakan ikut ketarik dan ikut terdorong saat ia mendorong masuk penisnya.
Baru kali ini kurasakan sih, tapi vaginaku yang sudah sangat terlatih ‘merengkuh’ penis para pria bangkotan yang pernah menjadi pemilik tubuhku pun tentu tak terlalu kewalahan, apalagi belakangan ini, rahimku sering di sodok sampai mentok di pangkal leher rahimku oleh ‘alat sodok’ milik Bang Jae jadi aku yakin liang senggamaku akan cepat menyesuaikan diri dan membentuk ‘cetakan’ yang tepat.
Bedanya dengan yang dulu, hanya satu tipe yang keluar masuk rahimku dalam kurun waktu beberapa bulan, kali ini ada 2 tipe penis yang berbeda 180 derajat yang akan sering ‘check in-check out’ di area intimku ke depannya. Semoga saja, rahimku pintar menyesuaikan bentuk ‘cetakan’ yang tepat sesuai penis yang sedang berkunjung sehingga membuat pemiliknya bisa merem melek mendapatkan nikmat yang maksimal.




Hana Sedang 'Digaruk' Udin



“teruusshh..sayaaangg....hhh....genjott...hhh...yang cepeet..... “, racauku yang semakin merasa nikmat dari gesekan penis Pak Udin dengan dinding rahimku yang semakin cepat.
“kalau....Bapak...lagi...jaga....biar Udin yang genjot...Mamah....”, ucapnya terpatah-patah.
“IYAAAHHHH!!!!, teriakku sekalian melepas orgasme seketika karena tembakan sperma Pak Udin melesak masuk ke dalam rahimku dengan kencang dan berkali-kali. Kami yang sudah berpeluh keringat, berpelukan erat dengan tubuh yang sama-sama berkedut-kedut karena sedang meresapi orgasme berbarengan sementara ‘burung’ Pak Udin masih muntah beberapa kali di dalam liang senggamaku. Usai sesi orgasmenya selesai, dia pun bergulir ke samping dan tidur di sebelahku.
“maaf, neng...”, aku langsung mengunci mulutnya dengan jari telunjukku.
“nanti aja...istirahat dulu...capek...”. Aku pun memeluk Pak Udin erat layaknya seorang istri yang lemas karena telah ‘dikalahkan’ oleh suaminya. Ya kurasa aku memang kalah sih, skornya kan 2-6. Aku 6x orgasme dibuatnya, mana mungkin aku tidak lemas. Jujur baru kali ini, aku orgasme sampai 5x hanya karena jilatan di selangkanganku. Aku tidak tahu dengan Pak Udin, tapi mataku terasa berat dan tidak kuat menahan kantuk.
“hangat....”, gumamku dalam hati merasakan air mani Pak Udin yang menggenang di dalam rahimku dan mungkin ‘kecebong’nya sedang berlarian ke sana kemari mencari sel telurku untuk dibuahi.
“nngggg......”, erangku merenggangkan tubuhku.
“udah bangun, neng?”.
“eh maaf, Pak...saya ketiduran...”, wajah paruh baya Pak Udin menjadi pemandanganku di waktu bangun hari ini. Aku merasa area intimku sangat lengket.

“Pak Udin nggak tidur?”.
“tidur kok, neng...saya juga baru bangun....”.
“hehehe..***ra-gara Pak Udin....geragotin punya Hana sampai KO....Bang Jae aja belum pernah bikin Hana KO...”.
“hehehe...maaf, neng....udah lama banget nggak ngerasain gituan ama cewek...eh sekalinya gituan, sama neng Hana yang cakep n mulus banget.....udah gitu selangkangan neng Hana bikin ngiler....jadi kalap saya....hehehe”.
“uuuh dasar....nggak Bapak...nggak anak...sama-sama kalap ngeliat Hana....”.
“ya iya lah, neng....cowok mana yang nggak beringas ngeliat cewek secantik neng Hana bugil di depan mata..udah gitu, semua-muanya mulus bening terawat, sampe memek n pentilnya pink...nggak mungkin kalo nggak jadi kalap, neng...soalnya kesempatan sekali seumur idup, neng...”.

“hihihi...Pak Udin bisa aja....”.
Aku mengusap-ngusap daerah intimku yang terasa lengket dengan sperma Pak Udin yang mulai mengering.
“neng...itu...saya bener-bener minta maaf...neng...”, ucapnya memelas.
“saya kebablasan...nggak bisa nahan...memek neng Hana sempit banget...nggak kuat saya nahan ngecrot....tolong neng, jangan lapor ke Bapak....”.
Aku tersenyum nakal dan mencolek vaginaku yang ‘berhiaskan’ air mani Pak Udin kemudian memasukkannya ke mulutku. Dia hanya terbengong melihatku.
“mm...nggak apa-apa, Pak...itung-itung salam kenal sama punya Hana....”, bisikku menggoda seraya mulai mengusap-usap lembut kepala penisnya.
“ini bukan kesempatan sekali seumur idup, tapi bisa berkali-kali....”, godaku di telinganya.
“bo...boleh lagi, neng?”.
“kalau ini masih kuat....siapa takut...”, tantangku yang mulai membelai dan mengocok pelan batang penisnya yang mulai setengah bangun.
“Pak Udin....mau nyobain belakang?”.
“maksud neng?”.
“yaa lewat pantat...”.
“ha? Serius neng?”.
“iyaaa...soalnya kalau Bang Jae bilang nggak afdol kalo belum sodok pantat Hana....”.
“be..beneran, neng?”.
“Pak Udin jijik ya?”.
“ha? Justru saya nggak percaya kalau neng Hana mau di sodok pantatnya...soalnya saya malah penasaran banget rasanya gimana....istri saya nggak pernah mau....”.
“hihihi...beda sensasinya lho....Pak Udin tenang aja....Hana selalu cuci kok pantat Hana....”.
“percaya, neng....kan tadi udah bapak kilik-kilik pake lidah...”.
“oh iyaa...hihihi...”.

Dengan gerakan perlahan begitu binal, aku pun memposisikan tubuhku menungging sampai pantatku terangkat ke atas dan perut rata dengan kasur. Karena seringnya posisi ‘doggy style’ begini, aku sudah mahir dan tahu cara posisi yang benar untuk mempersembahkan bagian bawah tubuhku kepada laki-laki yang akan merengkuh kenikmatan dariku sehingga dia mendapat dua pilihan dari celah selangkanganku, apakah itu relung vagina yang memang sejatinya berfungsi sebagai ‘sarung’ atau ‘tempat menumbuk’ bagi penis pria atau sedikit tantangan dari ‘gua hitam’ yang sejatinya lebih untuk tempat keluar bukan tempat masuk.
“heekkhhh....”, aku menahan ngilu ketika ‘helm daging’ Pak Udin yang tebal mulai mendobrak masuk lubang anusku. Padahal sudah kubantu dengan menarik pantatku ke samping untuk merekahkan lubang pantatku agar lebih lebar menerima ‘tamu’ barunya ini, tapi tetap saja terasa perih.
“sempit..banget...neng....gilaaaaak....”.
“pelan-pelan, Pak......”.
Untungnya Pak Udin pengertian, tak langsung ia hujamkan begitu saja penis tebalnya itu ke rectumku tapi ada sedikit jeda waktu sebelum ia mendorong masuk kembali penisnya hingga akhirnya amblas tertelan oleh ‘lubang hitam’ku. Terasa perih, ngilu, dan sungguh penuh di anusku. Dengan penis Bang Jae, hanya bisa setengahnya saja. Dengan penis Pak Udin, bisa sepenuhnya tertanam namun terasa begitu penuh sesak dan ngilu.
“oookhh!! Sempit banget, neng...mantaaabbbhh!!”.
“jangan gerak dulu ya, Pak”, ucapku sambil berusaha tersenyum karena masih merasa agak ngilu.

Ekspresinya sama persis dengan Bang Jae. Mungkin mereka baru pertama kali merasakan lubang pantat wanita. Ya wajar sih, anal seks memang agak tabu dan tak banyak wanita yang mau disodomi seperti ini. Aku yakin ini pengalaman pertama Pak Udin merojoki anus seorang gadis sama seperti Bang Jae waktu itu.
“pelan-pelan gerak, Pak”, izinku kepada Pak Udin untuk menyalakan ‘piston’nya yang sedang menyesakki liang anusku.
“sa...sakit ya, neng?”, tanya Pak Udin yang sepertinya memperhatikan raut wajahku yang menggit bibir bawah dan menahan ngilu.
“nggak apa-apa, Pak...”.
“ganti aja neng, kasian neng Hana...”, nampaknya dia juga merasakan penisnya yang seperti ‘stuck’ di dalam lubang pantatku, susah untuk ditarik dan disodok kembali masuk.
“ntar juga enak, Pak...hehehe”, ucapku.
“tapi, neng...”.
“udah, Pak Udin tenang aja...tugas utama Hana emang bikin Pak Udin enak...”.
“duuh neeng...bener-bener neng Hana...cewek yang diimpi-impiin cowok deh....ploook!!! “, ujarnya diiring tepukan kencang pada bongkahan pantatku yang putih mulus.
“neng Hana mau poliandri nggak?”.
“maksudnya 2 suami?”.
“iyaa...abis nikah sama Bapak...nikah sama saya juga...”.
“kan Pak Udin masih punya istri?”.
“halah..***mpang lah itu nanti...”.
“hihihi...dasarr...tapi lucu juga kali yaa...jadi istri dari bapak sama anak....hihihi”.
“setuju berarti neng?”.
“tanya Bang Jae dulu laah....Hana sih oke-oke aja....kan Bang Jae emang udah bilang....selain dia mau pake Hana buat lahirin adek-adeknya Pak Udin...dia juga nyuruh Pak Udin tambahin cucu buat dia pake memek Hana juga...hihihi”, ucapku tak bermoral dan sangat merendahkan martabatku sendiri seakan aku hanyalah ‘sarana’ untuk mencetak bayi untuk Bapak & Anak ini.
“oh iya...ok deh...nanti tanya sama Bapak deh...”.
“mmm....ngilu nya udah ilang nih, Pak....hehehe”, kodeku.
“woooo..***ssss!!!!”. Mulailah penis tebal Pak Udin menggenjot anusku. Tubuhku benar-benar maju mundur, ketarik dan kedorong sesuai gerakan penis Pak Udin karena memang benae-benar nyangkut di rectumku.
“aaahhhmm...Paakk....terussshhh....enaaakkkhhhh”, tentu eranganku itu semakin menyalakan semangat Pak Udin untuk merojoki anusku.




Pantat Hana Dikail Udin



“Plok!!! Plokkh!!!”, tentu bunyi dentuman antara selangkangan Pak Udin dan bongkahan pantat kenyalku begitu terdengar di antara selingan eluhan dan kicauan kami berdua. Aku sudah masa bodo terdengar warga sekitar atau tidak karena memang meskipun tiap malam aku ‘dihajar’ Bang Jae, tidak ada yang menegur atau apa, sepertinya memang agak jauh dari rumah lain sehingga tidak terdengar.
Tubuh kami tentu sudah berpeluh keringat seakan sehabis mandi. Gairah nafsu antara pria paruh baya yang mengintimi gadis SMA memang tiada dua ‘panas’nya. Sesekali, Pak Udin menarik kedua tanganku ke belakang seperti sedang ‘mengendarai’ku sehingga aku hanya bertumpu pada lututku dan hantaman penisnya semakin terasa di anusku. Sesekali dia juga menarik tubuh bagian atasku ke atas, mendekatinya untuk mencumbuku dan menjilati leherku sambil bermain daging kembarku yang kenyal dengan nafsunya.
“AAAKKHH!!!! PLOKKHH!!!!”, hujaman terakhir begitu kuat sampai aku terdorong bersama penis Pak Udin, dan seketika relung anusku terasa ditembak disusul rasa hangat.
“hhh...hhhh...”, kami sama-sama mengatur nafas, meskipun aku orgasme duluan.
“enak...banget....nenghh.....makasihhh....”, pujinya.
Aku hanya tersenyum. Karena kakiku yang terasa lemas, posisi Pak Udin berada di atasku benar-benar menindihku dengan penis yang masih berdenyut-denyut dibantu dinding anusku mengurut ‘isi’nya keluar. Momen sunyi kenikmatan pun tercipta antara seorang pria paruh baya yang baru saja mengobrak-abrik pantat dari seorang gadis SMA berkulit putih mulus, bertubuh jenjang, sintal dan merupakan bunga sekolah ini. Mungkin takut aku tak bisa bernafas, Pak Udin agak sedikit mengangkat tubuhnya, tapi rasanya penisnya kok masih ‘keras’.

“neng capek nggak?”, sepertinya dia sudah bisa mengatur nafasnya.
“ke...ke...napa...Pak?”, tanyaku yang masih agak tersengal-sengal.
“boleh sodok pantat lagi, neng?”.
“hihihi.....ketagi...han ya?”.
“iya, neng...hehehe”. Aku pun mengangkat kepalaku dan menarik leher Pak Udin ke bawah untuk berbisik kepadanya.
“sodok lobang Mama sepuasnya, anakku sayang”, ucapku binal dan ditambah sedikit ‘bumbu’.
Ucapanku ibarat minyak ke ‘api nafsu’ Pak Udin. Jadilah relung anusku menerima hujaman-hujaman batang kejantanan Pak Udin kembali sampai akhirnya dia berejakulasi lagi di dalam anusku dengan posisi menindihku lagi. Barulah setelah beristirahat sebentar, ‘senjata tebal’ Pak Udin itu ditarik keluar dari anusku. Terasa begitu ‘bolong’ pantatku.
“nanti sodobol lagi neng....abis ini...”. Aduh mati gue, gue sih sok-sokan ngomong gitu tadi, bisa dower nih nanti pantat gue.
“gimana kalo....crot di dalem lagi, Pak?”, rayuku.
“maksudnya di dalem memek, neng?”.
“iyaa...”, plis donk mau...kalau nggak, ntar gue nggak bisa nahan pup.
“nggak apa-apa, neng? Nanti kalau sampai neng Hana hamil duluan ama saya? Bapak nanti mencak-mencak...”.
“nggak apa-apa, Pak...ya berarti Bang Jae nambah cucu duluan....hihihi....nanti abis itu Hana makin repot deh...”.
“kenapa, neng?”.
“ya pasti Hana nggak bakal bisa keluar kamar...dipejuin terus sama Bang Jae...sampe hamil gara-gara keduluan sama Pak Udin hehehe...”.
“aduh neng...neng Hana tau banget caranya bikin cowok ngaceng...Cabul banget neng ngomongnya....tanggung jawab dong ibuku sayang...”.
“hehehe...tenang anakku. Sini biar mama bantu lemesin itunya hihihi...”, ujarku seraya membuka lebar kedua kakiku dan menepuk-nepuk pangkal pahaku seakan memanggil ‘ular’ Pak Udin untuk masuk ke dalam ‘goa’nya untuk bermain & beristirahat di dalam.

Tentu tanpa perlu waktu panjang, Pak Udin langsung ‘mencolok’ relung kewanitaanku dengan penisnya. Dasar calon anak tiri kurang ajar!!! Bukannya dengan cara mengobrol dan sharing cerita, proses perkenalan dan ramah tamah dengan calon ibu tirinya malah asik menggesek kelamin calon ibu tirinya ini.
Yah memang Bapaknya sih yang nyuruh!. Lelehan sperma yang kembali keluar dari bibir vaginaku menandakan usainya ‘proses ramah-tamah’ seorang gadis SMA yang akan menjadi ibu tiri dengan calon anak tirinya yang sudah paruh baya. Memang nafsu pria paruh baya yang tertahan itu sungguh ‘bahaya’, dengan tubuh beliaku pun, aku selalu kewalahan membantu mereka melampiaskan nafsu.
Yah setidaknya, dari 4 pria tua yang telah ter-‘registrasi’ pada rahimku dan telah setor sperma yang sudah diserap tubuhku ini, semuanya seperti itu.
“makasih banyak neng....setelah bertahun-tahun nggak ngerasain enaknya begituan ama cewek...puas banget ama neng Hana...”.
“sama, Pak. Hana juga ngerasain enak juga...hehehe...tapi jangan sampe Bang Jae tau yaa...kalau calon bininya ini dipejuin memeknya sama anaknya sendiri padahal udah dilarang....”
“pasti lah itu neng....”.




Vagina Hana 'Dihias' Udin



“tidur yuk, Pak...Hana lemes...”. Kami pun tidur berpelukan dengan tubuh penuh keringat dan lelehan sperma yang sedikit mengalir keluar dari vagina & anusku pertanda perkenalan dan registrasi penis Pak Udin sebagai ‘warga baru’ dari tubuh beliaku yang putih mulus dan montok ini telah berhasil.
Dan aku pun yakin, otot-otot dinding vagina & anusku sedang bekerja untuk membuat ‘cetakan’ yang pas bagi batang kejantanan Pak Udin karena akan sering berkunjung kembali. Sial, pastinya Bang Jae & Pak Udin nanti bakalan ngeroyok gue nih, pikirku yang sudah membayangkan aku harus beli kursi roda karena pasti tak bisa jalan untuk beberapa hari jika batang panjang & batang tebal ini masuk bersamaan ke dalam tubuhku berkali-kali semalaman suntuk.
Memikirkan aku yang memakai kursi roda dan tak bisa berjalan, darahku langsung mendidih karena akal liarku berimajinasi kalau sampai benar kejadian seperti itu, aku akan sungguh-sungguh menjadi ‘boneka seks’ karena tak bisa berjalan dan pasrah dengan hujaman & hantaman ‘tongkat pukul’ milik Pak Udin & Bang Jae setiap harinya dan hanya digunakan sebagai pabrik bayi untuk pembuatan adik Pak Udin dan cucu untuk Bang Jae sampai mereka puas. Aaakhhh gilaaa otak gue!!! Udah bodo amat, ntar urusan itu....gue capek... Aku pun akhirnya tertidur setelah berusaha keras menghilangkan fantasi ‘sakit’ku itu.

“wiih...seger banget lo mukanye...”, aku yang sedang di dapur yang memang dekat kamar Bang Jae, bisa mendengar suara Bang Jae yang nampaknya di depan pintu kamar.
“iya, Pak...hehehe...”.
“mejuin Hana berapa kali lo semalem?”.
“lima kali, Pak...”.
“beuh..banyak juga...”.
“iya, Pak...abisnya neng Hana...cakep n mulus banget....jadi nggak bisa nahan ngaceng...hehehe...”.
“terus pas lo entotin gimana?”.
“jago banget goyangnya, Pak....nggak bisa nahan ngecrot lama-lama. Bapak bener-bener hoki bisa dapetin neng Hana jadi calon bini...”.
“oh iya lah. Bapak lo ini, hokinya gede. Wahahahaha”.
“dan setelah ada Hana yang ngurusin kontol Bapak, Bapak jadi seger tiap hari, badan rasanya enteng, pokoknya nggak kerasa lemes lah. Lo gimana, Din? Badan jadi enteng juga kan?”, tambah Bang Jae.
“iya, Pak. Enteng dan lega rasanya. Ngewe sama neng Hana kayak balik jadi muda lagi....”. Sial, meskipun aku menyimpang, tapi agak merasa malu juga dibicarakan seperti itu, namun tentu juga ada perasaan bangga di diriku yang ‘sakit’ ini.
“nah kan makanya....kan bini lo udah menopause juga tuh...daripada lo nggak ngencrot-ngencrot...paling banter...lo coli....mending lo ke sini...lo ewe dah tuh calon ibu tiri lo... “.
“serius, Pak?”.
“iya, serius gue. Tiap hari juga boleh...itung-itung hadiah buat lo...udah nurut sama gue dari masih kecil...nggak neko-neko...n biar deket juga sama ibu tiri lo nanti...wahahaha”.
“neng Hananya nggak keberatan, Pak?”.
“nggak...demen dia malah....kalo gue yang nyuruh, pasti mau dia...”.
“apaan sih, Bang?”, tanyaku sembari lewat membawa sarapan ke ruang depan.
“eh ini jablay mulus kita...dari tadi di belakang toh... PLOK!!!”, ucapnya sambil menampar keras pantatku yang tidak tertutup apapun.
“noh liat Din..***ra-gara lo sodok semaleman, calon ibu tiri lo sampe ngangkang gitu jalannya....”.
“iya nih ngilu....”, jawabku dari ruang depan sebelum kembali ke arah dapur lagi.
“sini bentar, neng...”.




Jae Menggerayangi 'Boneka' nya



Bang Jae pun memposisikan diriku yang memang bugil ini di depan Pak Udin, dia memelukku dari belakang dan mulai meraba-raba tubuhku.
“nih neng...si Udin masih nggak enakan..takut neng nggak mau katanya..”.
“kan udah tugasnya ibu...ngerawat suami sama anak-anaknya...hihihi”, jawabku sembari mengedipkan mata.
“nah tuh...denger sendiri kan lo...pokoknya kalo lo mau buang peju...ini calon ibu tiri lo siap jadi wadahnya...wahahahaha....bener kan, neng?”.
“iyaa, daripada terbuang percuma, mending buat Hana pejunya... .”, ucapku yang malah semakin merendahkanku sendiri. Ide yang menganggap diriku sendiri hanya sebagai alat ekstraksi sperma atau wadah pembuangan air mani khusus lansia memang benar-benar mengalirkan rasa yang berbeda di sekujur tubuhku, seperti tersengat listrik kecil dan sekaligus terasa panas. Ini adalah salah satu kondisi psikologis yang merupakan ‘hadiah’ saat aku menjadi budak seks Kek Wiryo.
“HAHAHA!!! Emang mantep nih neng Hana”, tawa Bang Jae lepas.
“tapi inget Din...lo nggak boleh buang peju di marih...”, Bang Jae memperingatkan Pak Udin sembari mengelus-elus perutku.
“ini udah gue tekin....gue mau bikin adek buat lo...2 biji...wakakakak....”. Aku dan Pak Udin sempat lihat-lihatan sebentar, Bang Jae tidak tahu kalau anak kandungnya ini sudah menggenangi rahimku tadi malam, 2x pula.
“iya, Pak...saya janji...yang penting...saya masih terus bisa ketemu sama ibu tiri saya yang cantik ini...”, jawab Pak Udin disusul cubitan pada payudara kananku.
Entah karena sudah menggumuliku semalaman dan menginjeksi cairan kejantanannya ke dalam tubuhku sehingga sudah mulai berani atau karena akhirnya nafsu nya yang selama ini bertahun-tahun terbendung akhirnya terlampiaskan melalui tubuhku, Pak Udin nampaknya jadi lebih luwes dan tidak canggung lagi kepadaku.

“siip dah kalo gitu...nah nanti baru dah..***ntian lo bikin adek buat anak lo biar nggak kesepian kayak lo pas kecil....hahaha”.
“selang seling aja, Pak...pertama Bapak yang hamilin neng Hana...abis itu saya...”.
“enak aja....kagak ada...gue mau bikin anak dulu 2 biji pake memeknya si cantik satu ini...abis itu baru terserah...”.
Malu sekaligus terangsang ku mendengarnya. Tubuhku khususnya rahimku tak ubahnya hanya seperti alat untuk produksi anak saja bagi Bang Jae yang bisa ia pinjamkan sesuka hatinya dengan berkata seperti itu. Memang nampaknya bisa menghamili gadis muda sepertiku adalah impian terbesar kebanyakan pria berumur lanjut, yah setidaknya dari lansia yang pernah memiliki tubuhku, semuanya sangat berhasrat membuatku hamil.
Ditambah juga, aku yang sangat bergairah ketika berimajinasi bahwa aku benar-benar hamil oleh pria lanjut usia sehingga sangat sering aku bilang bahwa aku tak keberatan bahkan juga sangat menginginkan untuk dihamili, tapi ya setidaknya aku lulus SMA dulu biar tak terlalu kena sanksi sosial, meskipun aku tahu kalau berhubungan intim dengan pria yang seumuran ayahku bahkan kakekku harusnya sudah menimbulkan sanksi sosial juga untukku dan orang tuaku, tapi jika sampai ketahuan hehehe...kalau hamil kan beda urusannya, karena benar-benar akan terlihat dari luar ketika perutku sudah membesar.
“siap kan neng?”, tanya Bang Jae tiba-tiba mengagetkanku.

“iya iya...”, jawabku senyum.
“gimana kalau nanti di campur aja....peju Bang Jae sama peju Pak Udin...biar nyampur sekalian...hihihi...”, jawabku begitu ‘gila’.
“gila....calon bini gue emang liar banget....ngaceng jadinya...”, aku merasakan tonjolan yang di gesek-gesekkan Bang Jae ke belahan pantatku yang terekspos bebas.
“ayok lah Din...gue tusuk dari depan...lo dari belakang...kita sodok barengan sampe jablay mulus yang satu ini nggak bisa jalan...”.
“ayo, Pak....biar si cantik ini tau diri....kerjaannya godain om-om sama aki-aki terus sampe ngaceng....”, timpal Pak Udin.
“eeitsss!!! Ntar dulu....”.
“kenapa, neng? Takut?”, tantang Bang Jae dengan senyum liciknya.
“siapa juga yang takut...”, ucapku sambil melepaskan diri dari pelukan Bang Jae.
“terus kenapa?”.
“sarapan dulu lah...Hana lapeer tau...emang dikiranya nggak laper...abis di sodok-sodok semaleman ama Pak Udin...”.
“hehe...”, Pak Udin hanya tertawa kecil.
“oh iya juga...Abang juga laper...”.
“yaudah...daripada grepein Hana terus...mending bantuin bawa sarapannya ke depan...”.
“okeh...”.
Usai bergotong royong menyajikan sarapan di ruang depan, kami pun makan bersama. Meski tak mengenakan apapun, dengan santainya aku sarapan bersama bapak & anak yang lebih cocok menjadi kakek & ayahku ini.
Aku satu-satunya yang bugil sementara bapak & anak ini berpakaian lengkap, pastilah pemandangan yang akan mengejutkan mata bagi siapapun yang melihatnya. Tentu sembari makan, tak henti-hentinya mereka berdua melecehkanku dengan obrolan jorok mereka.
Mulai dari sesi sharing pengalaman Pak Udin menyetubuhiku berkali-kali tadi malam, bagian tubuhku yang paling sensitif, tarian erotisku, lubang pantatku, kemampuan ranjangku yang seperti bintang porno, dan lainnya yang cukup membuat kupingku panas dan mendidih antara urat maluku dan urat nafsuku, mereka mengobrol tentangku seakan aku hanyalah boneka seks yang kebetulan ada di dekat mereka saat ini.

Uggghh!! “panas” rasanya. Usai sesi melecehkanku, Pak Udin pun membantuku membereskan dan mencuci piringnya, aku sembari berkhayal, apakah fantasiku sebentar lagi akan terwujud yakni digumuli lebih dari satu pria sekaligus? Terbayang fantasi seksualku tentang Bang Jae & Pak Udin yang menancapkan ‘jarum super’ mereka melalui vagina dan anusku secara bersamaan sehingga aku tak ada pilihan selain pasrah terjepit di antara mereka dan menerima sodokan demi sodokan mereka yang terorganisir dengan baik.
Uggh, gatal sekali rasanya area intimku. Tiba-tiba Pak Udin memelukku dari belakang dengan kedua tangannya melingkar di pinggangku.
“saya beruntung bisa ketemu sama neng Hana...”.
“hihi...kenapa tiba-tiba, Pak?”.
“ya saya akhirnya bisa ngerasain lagi...hangat dan harumnya tubuh wanita....udah gitu...secantik dan semulus neng...”.
“hihihi...bisa aja, Pak...pokoknya mulai sekarang, kalau lagi pengen buang peju, cari Hana....hehehe...”.
“makasih banyak, neng....”.
“duuuh...yang lagi mesra-mesraan sama ibu tiri...”, ejek Bang Jae yang tiba-tiba ke dapur.
“eh...Bapak...”, spontan dia melepaskan pinggangku.
“Bang...sini...bentar...”.
“kenapa, neng?”.
“sekarang Hana lagi nggak subur....”, bisikku ke Bang Jae.
“maksudnya?”.

“kalau Abang mau...Bang Jae boleh crot di dalem sepuasnya”, bisikku begitu menantang karena merasa tak enak sudah membiarkan Pak Udin buang sperma di rahimku tadi malam, sementara Bang Jae belum pernah lagi setelah pertama kali kami berhubungan intim.
“serius, neng?”. Aku pun tersenyum manja.
“eh Din...bini lo nyariin nggak tuh? Semaleman lo nggak pulang kan? “.
“iya, Pak. Saya mau pamit pulang”, sepertinya Pak Udin bisa membaca situasi dan paham apa yang akan dilakukan ayahnya ini kepadaku.
“yaudah saya pamit dulu ya, Pak. Neng...”.
“iya, Pak. Ati-ati ya...”. Begitu, Pak Udin keluar, Bang Jae langsung mendekap tubuh bugilku.
“jadi tadi ada yang nantangin Abang?”, tanyanya sembari meremas kencang pantat kenyalku.
“hihihi...di bisikkin boleh crot di dalem...anaknya langsung di usir...”.
“biarin lah....lagian si Udin udah puas ngewein neng Hana semaleman kan?”.
“iya...hehehe...”.
“kalo gitu...hupphh..”, Bang Jae langsung menggendongku layaknya pangeran menggendong sang putri.
“sini....biar Abang bikin luber memek nih....”.
“sampe belepotan, Bang...”, bisikku menantangnya.
“siaap”. Tak perlu kuceritakan lagi kan? Sudah pada tahulah apa yang akan terjadi pada siswi SMA yang bugil dan tak henti-hentinya memancing nafsu pria tua di rumah yang kosong, yang ada hanya mereka berdua? Sudah pasti kabut nafsu langsung menyebar antara siswi SMA dan satpam sekolah yang sudah lansia ini dan hanya satu misi yakni membanjiri rahim si gadis SMA dengan air mani sebanyak-banyaknya.




Hana Tak Pernah Rapih di Rumah Jae



Home (Index Halaman)
Episode 7a : Patungan Air Mani
 
Terakhir diubah:
Untuk menemani malam minggu Anda semua dan sebagai camilan sembari menunggu cerita hebat lainnya

Home (Index Halaman)
Episode 5 : Pengamanan Daun Muda


Episode 6 : Silsilah Keturunan Mesum





Hana Datang ke Bang Jae Sebagai 'Tamu'


Mendapatkan gadis belia dengan tubuh putih mulus dan sedang ranum-ranumnya tentu sangat menyenangkan untuk pria tua seperti Bang Jae. Tubuhku benar-benar digunakan dan dimaanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Bang Jae. Dia tinggal call atau WA aku untuk menemaninya di luar jadwal sekolah, dan tentu karena aku sendiri yang mengakui sebagai properti ekslusif milik Bang Jae, tanpa pikir panjang aku selalu datang dan memberikan tubuh sintalku untuk jadi sarana pelampiasan nafsu Bang Jae baik untuk disenggamai, disodok dari belakang, ‘disuapi' air maninya, atau sekedar menemaninya jaga sekolah malam hari (pastinya dia melarangku untuk mengenakan pakaian secuil pun, kecuali alas kaki, dan menemaninya naik turun lantai dan berkeliling sekolah.
Memang dasar aku nya yang ‘penyakitan', aku malah deg-deg ser rasanya. Apalagi kalau baru mulai jalan dari pos karena masih bisa kelihatan dari luar gerbang sekolah. Bang Jae pun beralasan ingin mengenalkanku dengan penghuni halus sekolah. Makin sering kutemani Bang Jae berkeliling sekolah dalam kondisi bugil, rasa takutku semakin hilang malah penasaran apa makhlus halus bertanya-tanya kenapa ada manusia begitu ‘excited' berkeliling di tempat umum tanpa busana ? Atau mungkin malah ada setan yang nafsu denganku ? Hmmmm... Selain menemani dan melayani nafsu Bang Jae saat dia kerja, tentu aku juga main kucing-kucingan dengan orang tuaku.
Kalau orang tuaku sedang di luar kota lagi, begitu akhir pekan, atau Jumat sore, aku langsung ngacir ke rumah Bang Jae untuk mengurusi aki-aki yang akan menjadi suamiku nanti. Gila, anak SMA mana yang begitu senang akan mendapatkan aki-aki menjadi suami? Kayaknya Cuma aku seorang.. Tentu aku mengurus kebutuhan sehari-harinya, apalagi kebutuhan ranjang. Celah vagina dan anusku seakan sudah menjadi ‘sarung' ideal untuk penis Bang Jae.
“hehe...aneh jadinya...liat neng Hana pakai baju gini....”.
“weee...”, aku hanya menjulurkan lidahku untuk menjawab seraya tetap berpakaian karena baru saja selesai kami mengumbar nafsu bersama di pos setelah Bang Jae WA aku hanya dengan kata “neng, dingin...”.

Hihihi, namanya juga jablay penyuka aki-aki, tanpa pikir panjang, aku langsung mengampiri Bang Jae di sekolah dan melepaskan nafsu bersama pria tua ini.
“nanti ketemu lagi ya, weekend".
“neng Hana mau nginep lagi"?, tanyanya sumringah.
“iya, Bang...hehehe...pokoknya siap-siap Bang Jae nggak bisa tidur aja....”, ujarku nakal.
“oooh siap...siapa takut...”.
“bye, Baang....”, aku mengecup kedua sisi pipinya. Begitu sampai rumah, kulihat ayah dan ibu tertidur di depan tv. Uhh, so sweet mereka. Ibu tertidur di bahu Ayahku. Sepertinya mereka kelelahan sekali.
“Mah, Pah....pindah ke dalem giih...”.
“eeh...Hana...kamu udah pulang?”, tanya Ibuku yang setengah bangun.
“Iya, Mah...udah...nanti Hana yang kunci pintu n jendela....”.
“hooaahmm...iya...”. Aku tak berani berbicara dekat-dekat karena aku takut mulutku yang bau sperma tercium oleh Ibuku.
“Pah...yuk...lanjut...di kamar". Dengan langkah gontai dan setengah bangun, mereka masuk ke kamar. Sepertinya mereka benar-benar kelelahan. Semenjak hidup kami berubah, mereka memang lebih pontang-panting kerja. Pergi sana pergi sini. Sebenarnya bagus sih, tapi jadi kasihan sama mereka. Sementara mereka lelah bekerja untuk mencari uang, anak mereka satu-satunya ini malah asik ‘bermain selangkangan' dengan aki-aki. Tapi berkat selangkanganku juga, hidup kami yang tadinya bercukupan jadi berlebih. Aku jadi bingung, aku harus merasa bersalah atau bangga. T.T

Weekend pun menjelang, aku berangkat malam hari setelah pamit ke orang tua ku dengan izin menginap di rumah teman. Mudah-mudahan mereka tidak tahu kalau anak gadis mereka satu-satunya ini,, dalam 3 hari ke depan akan menjadi pelayan nafsu aki-aki tua yang bahkan umurnya cocok menjadi bapak dari Bapakku.
Setelah call-call an dengan Bang Jae untuk menunggu sepi, aku pun sampai dan langsung memasukkan motorku. Dikarenakan pelayan nafsunya sudah datang, Bang Jae tentu langsung melucuti pakaiannya. Dan sebagai pelayan nafsu yang tahu diri, aku pun juga melepaskan semua pakaian yang menempel di tubuh mulusku. Aki-aku tua ini langsung menyergapku dan menggotongku ke kamar, sudah sangat bernafsu untuk menggunakan tubuh sintalku yang putih mulus ini sebagai alat ‘konversi' nafsu ke rasa nikmat di malam ini. Tubuh belia nan ranumku pun habis digeluti dan dinikmati Bang Jae sampai dini hari seperti biasa. Payudara, pantat, wajah, apalagi daerah intimku sudah tak karuan belepotan sperma Bang Jae. Habis ‘ternodai' lah tubuhku kalau sudah menginap di rumah Bang Jae.

Bangun pagi adalah jalan ninjaku. Aku bangun terlebih dahulu. Biasa, aku berjalan agak sedikit ngilu karena selangkanganku habis disogrok-sogrok penis Bang Jae semalaman.
“eeh...kamu siapa ?”. Mataku langsung terbelalak kaget, saat di dapur ada seorang bapak-bapak.
“ba..bapak siapa?”, ucapku masih belum menyambung otakku. Tatapan matanya ke arah tubuhku yang tidak tertutup apa-apa dengan kerak-kerak noda sperma dimana-mana. Begitu, otakku tersambung. Aku langsung ngacir kabur masuk ke dalam kamar lagi.
“braak !!”.
“eh ada apa neng??”, spontan Bang Jae terbangun.
“a...ada...bapak-bapak di dapur....”.
“siapa?”.
“nggak tau...”.
Jantungku berdebar-debar karena tubuh telanjangku yang penuh noda sperma terlihat oleh bapak-bapak yang tak kukenal ditambah rasa takut akan di grebek warga.
“coba Abang liat...”. Bang Jae pun keluar kamar, aku langsung menutup pintu lagi.
“ooh kamu Din...Bapak kirain siapa....”, samar-samar kudengar dari balik pintu kamar karena kamar dan dapur jaraknya tidak begitu jauh.
“tadi cewek siapa, Pak? Telanjang lagi....”.
“ooh...sini, Bapak ceritain....”.
Sepertinya mereka berdua berjalan menuju ke sofa depan.
“neng.....neng mandi dulu sana...nanti Abang jelasin...”.
“ii..iya...”.

Aku celingak celinguk melihat keadaan di luar kamar, kayaknya mereka sudah tidak ada di dapur. Aku langsung cebar cebur mandi dan bergegas langsung ke kamar lagi untuk berpakaian. Aku yang memang niat menginap untuk jadi gundik nafsu Bang Jae, tidak membawa pakaian yang pantas untuk bertemu tamu. Paling hanya sekedar kaos oblong dan celana gemas. Mau tidak mau, aku mengenakan itu.
“neng Hana...sini sebentar....”, teriak Bang Jae.
“iyaa, Pak !!, jawabku.
“sini duduk....”. Aku pun duduk di samping Bang Jae. Aku sama sekali merasa tidak enak berpakaian seperti ini. Apalagi tadi aku bertemu dengan bapak ini tanpa mengenakan apapun dengan noda sperma dimana-mana. Haduuuh !! Nggak berani natap matanya. Mudah-mudahan nggak di laporin RT.
“jadi kenalin...neng Hana...ini Syarifudin....panggilannya Udin...anak nya Abang...”. Aku langsung menatap Bang Jae. Memang dia bilang punya anak, tapi nggak bilang umurnya.
“Ha...Hana....”.
“saya Udin, neng...”.
“maaf sebelumnya, Pak".
“oh...iya, neng...nggak apa-apa".
“nah, Din...ini si neng cantik ini...calon Bapak....bakal jadi ibu lo yang baru...”. Pak Udin nampak sekali bingung, heran, dan tidak percaya sama sekali.
“serius, Pak?”.
“lah iya...kan dari dulu...lo nyuruh Bapak buat cari istri lagi...buat nemenin Bapak...”.
“tapi kan dari dulu Bapak nggak pernah mau....”.
“ya beda lah, Din...lo liat aja kalo dapet yang kayak gini...masa Bapak nggak buru-buru tangkep...hehehe".
“ya justru itu saya bingung...kalo seumuran Bapak atau nggak beda jauh sih nggak apa-apa, Pak...tapi ..maaf, Neng...umur neng berapa?”.
“18, Pak”.
“tuh, Pak. Masih 18 tahun..kalau ada yang tau, Bapak bisa dipenjara..”.




Hana Mengobrol Dengan Udin



“nggak, Pak. Ini atas dasar suka sama suka...”, jawabku.
“noh tuh denger...gue nggak maksa".
“kamu serius, neng?”.
“iya, Pak. Saya sebenernya berhutang budi sama Pak Jae. Karena peristiwa gaib yang saya alami. Kalau nggak ada Pak Jae. Saya mungkin udah meninggal. Dan setelah saya ngobrol-ngobrol...saya kepincut sama Pak Jae...”, tukasku agak mempersingkat cerita.
“tapi neng udah bilang ke orang tua neng?”.
“belum, Pak. Lagipula saya udah bilang ke Pak Jae...nunggu saya lulus dulu baru nikah....”.
“tapi...kenapa tadi...”.
“iiih...lo mah...udah tua juga...kagak ngerti juga....gue test drive lah....”. Pak Udin memegang keningnya sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ah, bingung saya mesti ngomong apa, Pak".
“yaudah nggak usah bingung. Kan gue yang jalanin ini...dan lo nggak usah pusing mikirin Bapak lagi...”.
“iya, Pak...kalo lagi libur, saya ke sini untuk jaga n rawat Pak Jae".
“...”.
Pak Udin tidak mengatakan apa-apa. Pastilah susah dicerna orang lain untuk mengetahui seorang gadis SMA yang bahkan baru duduk di kelas 1, dengan senang hati mengatakan akan menjadi istri dari seorang aki-aki. Dan nampaknya memang Bang Jae belum menceritakan sepenuhnya kisahku ke anaknya ini.
“yaudah...mending kita sarapan aja dulu lah...neng...tolong siapin ya. Si Udin bawa makanan di dapur tuh".
“iya, Pak...”. Layaknya seorang istri yang baik, aku pun menyajikan sarapan ke aki-aki calon suamiku ini dan juga anaknya. Dan karena aku sudah sering merasakan pandangan laki-laki, aku bisa menangkap mata Pak Udin memperhatikan gerak-gerikk dari pinggir mataku.

Pakaianku yang memang tergolong untuk pakaian santai di rumah ini tentu agak longgar dan cukup terbuka, menampilkan mulusnya kulitku. Bukannya sombong atau apa, tapi aku pakai pakaian tertutup saja, pandangan mata lelaki terpaku padaku. Apalagi aku sedang memakai pakaian santai begini.
“ayo, Pak. Dimakan...”. Sambil makan, aku agak bingung sambil geli juga. Aku, gadis umur 18. Kalo memang jadi, nanti setelah lulus, aku akan jadi ibu tiri dari seorang bapak-bapak.
Hihihi, aneh banget. Selama makan, Pak Jae mengobrol biasa dengan Pak Udin layaknya Ayah yang sedang menanyakan kabar anaknya.
Tapi Pak Udin tetap sesekali melirikku, entah emang penasaran dengan lekuk tubuhku atau masih tak percaya, bapaknya bisa ngegaet gadis SMA sepertiku menjadi calon istrinya. Aku membereskan makanan dan piring kotor setelah makan, mereka berdua pergi keluar, mungkin mau merokok. Mungkin karena rumah Bang Jae agak di pojokan jadinya jarang orang lewat. Aku bisa leluasa membereskan rumah, menyapu dan mengepel layaknya seorang istri yang sedang senggang. Tentu aku berpakaian, mana berani aku beberes rumah dengan bugil, takut ada yang melihat. Aku beristirahat dengan menonton tv, tak lama kemudian Pak Udin kembali.

“lho...Bapak kemana?”.
“tadi katanya mau pergi dulu sebentar”.
“oooh". Aduuh, jadi berdua doang. Awkward niih. >.<
Tapi bukan Hana namanya kalau nggak bisa ajak ngobrol.
“ya udah Pak. Istirahat dulu...”.
“i..iya, neng..”, jawabnya masih agak sungkan. Aku yakin, dia pun bingung bagaimana harus bersikap kepadaku. Di lain sisi, aku masih SMA yang lebih pantas menjadi anaknya. Tapi di sisi lain, ayahnya sudah deklarasi langsung di depannya sendiri kalau aku ini calon ibu tirinya. Pasti perasaannya campur aduk.
“Pak Udin mau minum apa, Pak?”.
“nggak usah, neng...saya mau cuci piring aja di belakang...”.
“tenang, Pak...udah beress...”, jawabku sambil menepuk dada.
“mm...kalo gitu, saya mau nyapu aja...”.
“udah rapiiih juga”, jawabku senyum.
“luar juga ?”.
“udah beres pokoknya, Pak. Tinggal leha-leha".
“mm...”.
“ayo sini, Pak. Istirahat dulu aja...”.
Dengan agak segan, dia duduk di sampingku. Menurutku, bukan karena segan tidak mau, tapi lebih ke tidak enak denganku apalagi pagi ini dia melihatku dalam keadaan telanjang, dan ku yakin dia pasti bingung melihatku yang sepertinya biasa saja.
“Bapak sering ke sini, Pak?”.
“seminggu..sekali, neng...”.
“nengokkin Bapak ?”.

“iya, neng...kasian Bapak sendirian...sekalian saya bantu-bantu beres-beres dikit...”. Oke, kayaknya bisa nih ice breaking ku, sudah ketemu pembahasannya.
“saya denger Bapak udah berkeluarga ya, Pak?”.
“iya, neng...”.
“anak berapa, Pak?”.
“Cuma satu, neng...”.
“nggak nambah lagi, Pak?”.
“bukannya nggak mau neng, tapi nggak bisa...”.
“lho kenapa, Pak?”.
“iya...jadi kata dokter...setelah lahiran anak pertama...istri saya udah nggak kuat mengandung anak lagi...saya nggak paham istilah dokternya, pokoknya istri saya sakit terus harus diangkat rahimnya gitu, neng....”.
“ya ampunn...maaf, Pak. Saya nggak tau...”.
“iya, neng...nggak apa-apa".
“terus anaknya umur berapa sekarang ?”.
“14 tahun, neng. Baru kelas 2 SMP".
“ooh gitu....btw, Bapak sendiri juga anak tunggal ya?”.
“iya, Bapak Cuma punya satu anak aja, ya saya ini...”.
“kalau saya liat, Pak Udin deket banget ya sama Bapak...”.

“ya selayaknya anak sama Bapak, Neng. Dan saya nyaksiin perjuangan Bapak sama Ibu dalam ngebesarin saya. Padahal saya udah bertekad mau ngebahagiain Bapak sama Ibu. Tapi apa mau dikata, saya nggak bisa apa-apa, neng. Saya cuma tukang pijat aja", keluh kesahnya.
“tapi saya yakin, Bapak bangga sama Pak Udin kok...pernah cerita ke saya, dia punya anak yang selalu bantuin dia kapanpun dan bahkan bantu cari uang padahal masih sekolah". Terlihat raut wajahnya yang mulai sedih, mungkin mengenang mendiang ibunya dan perjuangan Bang Jae dulu.
“iya, neng. Makasih...”.
Hmm, tak mau berlarut ke arah pembicaraan sedih, aku berinisiatif mengganti topik.
“maaf ya, Pak. Pak Udin jadi keinget masa lalu".
“ah iya, nggak apa-apa, neng. Tapi saya juga minta maaf, padahal baru aja kenal tapi saya malah cerita sedih ke neng...”.
“nggak apa-apa, Pak. Lagian kan kita bakal jadi keluarga..hehehe...”.
“soal itu.....apa neng yakin ?”.
“maksudnya?”.
“iya, Bapak saya kan udah tua...aki-aki malah...dan juga nggak punya harta apa-apa...kenapa neng mau jadi calon istri Bapak saya?”.
“hihihi...nggak tau, Pak...jodoh ketemu tua kali, Pak...”, candaku.
“....”.

“ya udah saya ceritain detailnya aja ya, Pak....”.
Aku pun mulai bercerita aku berkenalan dengan Bang Jae kemudian peristiwa aku ketempelan sampai disembuhkan oleh Bang Jae. Dan tadinya aku ragu mau menceritakan penyimpangan seksualku, tapi karena sudah kepalang tanggung tadi pagi dia melihatku keluar dari kamar Bang Jae tanpa mengenakan apapun, aku pun menceritakannya. Mungkin karena kejadian tadi pagi, dia langsung percaya.
“...berarti neng Hana ini...lebih suka sama bapak-bapak berumur gitu ya....”.
“iya, Pak. Hehehe....saya juga bingung....”.
“baru kali ini saya ketemu cewek kayak neng...”.
“hmmm...makanya, Pak..saya sendiri juga bingung...”. Tentu percakapan kami barusan mengubah suasana.
“berarti neng udah pernah gituan sama Bapak?”, tanyanya mulai berani.
“hihihi...sering, Pak....sampe ngilu kadang..”.
Aku yakin pikirannya pasti langsung travelling, membayangkan tubuh ranum nan putih mulusku bisa dinikmati sepuasnya oleh ayahnya yang sudah bangkotan.
“oh iya, Pak...Pak Udin bisa pijet kan ya?”.
“bisa, neng. Kenapa ? Neng pegel?”.
“iya, nih, Pak....bahu...”.
“yaudah neng...sini saya pijet...”.
“sekalian aja deh, Pak...nggak cuma bahu aja...”.
“semua badan, neng ?”.
“iya, bisa kan, Pak?”.
“bisa sih neng...tapi nggak apa-apa??”.
“nggak apa-apa. Yaudah pijetnya di kamar Bang Jae aja ya...”.
“iya, neng...”.
“nanti saya panggil kalau saya udah siap...”.
“iya, neng". Tentu aku melepaskan pakaian, hanya bersisa pakaian dalam saja. Kalian tau kan? Saat ini, akal sehatku sudah kalah oleh penyimpanganku.
“Pak Udin...udah siap, Pak !!”, teriakku dari dalam kamar.
“misi, neng...”.




Hana Bersiap Untuk Dipijat



Dia nampak tertegun sejenak melihatku tidur tengkurap hanya mengenakan bh dan celana dalam saja.
“Neng mau pake handuk?”.
“udah...nggak apa-apa, Pak..tanggung...”.
“maaf ya, neng...”, izinnya sebelum mulai memijat bahuku.
“mmm.....enak banget, Pak....”, eluhku pelan menikmati pijatan Pak Udin di bahuku.
Memang beda rasanya waktu dipijit ibu atau ayahku dibanding dengan pijatan profesional seperti Pak Udin. Leher, tengkuk, dan kepalaku dipijat dengan sangat telaten. Saking enaknya, aku rasa aku sedikit tertidur sebentar. Aku terbangun karena merasa bongkahan pantatku sedang diremas-remas dan seperti direkahkan.
“kenapa pantat saya, Pak?”.
“aah...aah...enn..gggak, Neng....”, Pak Udin langsung gelagapan dan memindahkan tangannya ke atas pantatku.
“Pak Udin ngeremes-remes pantat saya?”.
“een...nggak, Neng...”
“saya bisa bedain lho...”.
“aah...nng...iya, maaf, neng...Saya khilaf...”.
“jangan di ulang lagi ya...nanti saya bilangin Bapak....”.
“ii....ya, neng...maafin saya....”.
“lagian kan Bapak udah punya istri...masih grepein saya...apalagi saya calon ibu Pak Udin...”.
“ma...maaf, neng...saya udah lama nggak liat dan sentuh cewek, neng...jadi kurang kontrol nafsu".
“lho? Kenapa emang, Pak?”.
“saya nggak tau...pokoknya semenjak diangkat rahimnya, istri saya tuh udah nggak kayak dulu lagi...sering marah-marah...nggak pernah mau diajak tidur bareng...yah pokoknya udah beda lah...”.
“hmm...terus emang nggak ada pelanggan pijet yang cewek gitu, Pak?”.
“jarang yang mau lah, neng...kebanyakan bapak-bapak...paling ada kalo nggak emak-emak ya nenek-nenek...baru kali ini, saya mijet cewek kayak neng...”.
“maksudnya?”.

“iyaa...neng Hana masih muda terus cantik banget....”.
“ya tapi kan saya calon istri Bapaknya Pak Udin...”.
“i..iya, neng...makanya saya minta maaf banget....janji nggak bakal keulang...”.
“huuh...awas ya...”.
“ii..ya, neng...”.

Dia pun meneruskan memijatku dengan agak hati-hati dari sebelumnya. Jika menyentuh daerah yang agak ‘rawan', dia hanya memijat sekadarnya.
“tapi, Pak....badan saya bagus nggak?”, tanyaku memecah kesunyian.
“aa..ah..nngg...”, aku yakin Pak Udin kebingungan menjawabku yang tiba-tiba bertanya seperti itu. Antara mau jawab jujur atau menghindari pertanyaan.
“jawab lah, Pak...”.
“nng....ii..ya, neng...”.
“bagus mananya?”.
“se...semuanya, neng....”.
“hihihi...bisa aja....terus Pak Udin jealous nggak ngebayangin Bapaknya Pak Udin bisa bebas nge grepein saya ?”, tanyaku lebih mengundang.
“nngg....”.
“jawab jujur, Pak...”.
“iiya, neng...saya kira, neng malah diguna-guna awalnya...”.
“hihihi....ya mirip juga sih hihihi....”.
“saya minta maaf ya neng...”.
“kenapa minta maaf?”.
“udah ngeremes pantat neng tadi....”.
“hihii...saya cuma bercanda kok, Pak....abis tiba-tiba main remes aja...” .
“iya, neng maaf....”. Pak Udin pun melanjutkan pijatannya dengan sangat hati-hati sampai selesai.

“aduuuh...enak banget, Pak...seger...ilang semua pegel-pegelnya...emang top Pak Udin...”.
“hehe...makasih, neng...”.
“yaudah saya pakai pakaian dulu yaa....takut Bapak keburu dateng...ntar disangka ngapa-ngapain kita...”.
“iya, neng....kalo gitu saya keluar dulu...”. Begitu berpakaian, dan lanjut ngobrol dengan Pak Udin, tak lama Bang Jae datang.
“darimana, Bang?”, tanyaku
“balikin barang temen sebentarr...”.
“oooh....mau minum lagi?”.
“boleh deh, teh anget aja".
“sebentar yaaa...”. Sekejap aku kembali dengan teh anget.
“aaah mantaap".
“neng...biasa...kalau sore-sore santai gini...biasanya ngapain?”.
Aku tersenyum ke Bang Jae. Dengan santainya, aku duduk bersimpuh di depan Bang Jae, kubuka kaitan dan resleting celana Bang Jae. Dibantu Bang Jae yang mengangkat pinggulnya sedikit, aku mudah melorotkan celana & celana kolor Bang Jae. Keluarlah ‘sang jantan' di hadapanku meski masih tertidur.
“ee...saya pulang dulu, Pak...”, seakan merasa tak enak melihatku yang akan berbuat mesum dengan ayahnya, Pak Udin izin mau pulang, sementara aku, sebagai budak seks yang baik, tak menghiraukan Pak Udin karena sedang menciumi setiap sudut ‘tuan kecil'ku ini dengan mesra.
“eh lo ngapain pulang. Udah tungguin dulu sini...gue masih mau ada tanya sama lo, Din....”.
“ta...tapi...neng Hana....”.
“ah udah nggak apa-apa....emang tugasnya...hahahaha", ucap Bang Jae begitu puas ketawa lepas karena pasti dia merasa sangat bangga bisa menunjukkan dirinya yang sedang diemut oleh gadis SMA kepada anaknya.
“lagian kalo udah ngeliat barang Bapak...neng Hana nggak bakal bisa di ganggu.....wahahahaha".




Hana Sibuk Dengan Tongkat Ajaib



Uugh, kuping dan wajahku terasa panas, namun juga menggelitik secara bersamaan. Mereka yang seakan tidak memperdulikanku seakan hal yang lumrah membuat rasa malu campur birahiku ini benar-benar membuat nafsu semakin melonjak tinggi. Rasanya tubuhku semakin memanas mendengar mereka mengobrol dengan biasa sementara aku menjalankan tugasku untuk ‘melumat' kejantanan Bang Jae layaknya seorang betina yang baik. Ya meski kudengar Pak Udin mengobrol dengan agak terbata-bata. Pastilah dia agak canggung dengan situasi seperti ini. Bahkan aku pun, yang memiliki komplikasi penyakit seksual menyimpang ini, merasa sangat malu luar biasa. Namun, aku bisa menekannya dengan berfokus kepada selangkangan ‘pejantan tua'ku ini.
“oooh....emang mantep....sepongan kamu, neeng...”. Aku membuka mulutku lebar-lebar agar Bang Jae bisa leluasa menggunakan mulutku sebagai ‘alat pompa' penisnya.
“cllkk cllkkk”. Sebagai ‘boneka seks' yang sudah terlatih, aku pun duduk bersimpuh dan senang hati menerima hujaman penis Bang Jae berkali-kali yang sedang terlihat begitu keenakan menikmati kerongkonganku.
“hhh....”, aku segera mengatur nafas begitu Bang Jae melepaskan cengkraman tangannya di kepalaku dan selesai mencekokiku dengan penisnya. Dengan sigap, aku genggam batang penis Bang Jae dan mulai kujilati area antara pangkal kantung zakar dengan anusnya yang membuat sang pemilik gemetar kecil.
“uuuh...geli-geli enak, neng...”. Kemudian, ku mulai jilati area di bawah kepala penisnya.
“kontol Abang enak ya, neng".
“enak banget, Bang..hhh...", jawabku spontan di sela-sela aktifitasku yang sedang mengempeng kepala penis Bang Jae.
“kalo gitu...mau peju?”.

“mauuu....”, jawabku manja seakan sudah tak ada Pak Udin padahal dia masih ada di belakangku, diam terpaku.
“uuuhhhhhh !!!!”, sperma Bang Jae pun langsung terbang ke arah wajahku, sepertinya dia memang sengaja mau ‘mewarnai’ wajahku di depan anaknya.
“ooaah mantaaap !!!”.
“sllpp...sslppp...”. Bunyi ku yang sedang membersihkan pentungan milik Bang Jae.
“emang paling mantep sepongannya neng Hana....”. Aku tersenyum manis ke Bang Jae.
“eh, Din...malem ini lo nggak kemana-mana kan?”.
“nng...nggak sih, Pak. Kenapa emangnya, Pak?”
“kan Bapak jaga....kasian neng Hana sendirian di sini...”.
“Lo mau nggak nginep di sini?”.
“nngg...tapi saya mesti bilang Yani, Pak....”.
“oh yaudah, lo telepon aja dulu...”.
“yaudah, bentar saya telepon dulu, Pak". Pak Udin pun keluar rumah.
“ayo neng, buka baju...”.
“semuanya, Bang ?”.
“iya...”. Tanpa menanyakan alasannya layaknya budak seks yang baik, aku pun mulai melucuti diriku sendiri sampai bugil.

Terlihat dari ekspresinya yang terkejut, Pak Udin pasti tak mengira begitu dia masuk lagi, aku sudah dalam keadaan tak berbusana sedikitpun dan secara refleks yang cepat, dia menutup pintu kembali
“nah...kalo gitu...Bapak titip neng Hana ke lo ya, Din...”.
Pak Udin diam terpaku, setiap pelosok tubuhku seakan dijelajahi oleh mata Pak Udin. Tiga lelaki yabg sudah pernah menjamah tubuhku termasuk Bang Jae mengakui kalau tubuhku ini memang benar-benar memanjakan mata pria. Tubuh sintal, putih mulus, pantat bulat kenyal, dan payudara besar bulat nan membusung seakan memang dibuat untuk tempat pelampiasan nafsu para lelaki.
Ditambah leher dan kaki jenjang bagai model serta wajah yang begitu cantik membuat mereka (tiga pria tua yang pernah dan sedang menjadi ‘pemilik' tubuhku) bilang seakan sudah berada di surga saat tidur denganku. Tentu Pak Udin tak ada bedanya, nafsu ingin menjarah tubuhku segera tergambar jelas di wajahnya.
“neng....malem ini, Udin gantiin Abang ya...”.
“iya, Bang...”, jawabku tersenyum dan mengedipkan mata ke Pak Udin.
Akhirnya aku tahu kenapa waktu itu Bang Jae menanyakan kepadaku, apakah aku keberatan kalau dia ingin berbagi kenikmatan tubuhku dengan orang lain. Rupanya itu dengan anaknya sendiri. Sebagai fasilitas penyaluran nafsu Bang Jae, tentu aku tak berhak menolak permintaan atau perintahnya jika tak membahayakan nyawaku dan aku pun juga bisa merealisasikan fantasiku mempunyai 2 pejantan sekaligus dan lebih gilanya lagi, mereka adalah ayah & anak.
“ini bisa lo cipok n sepong barang lo....”, ujar Bang Jae seraya mengusap-usap bibirku.
“ini bisa lo remes n kenyot sampe kempot...”, tambahnya sembari meremas-remas payudaraku dari belakang.

“ini...bisa lo remes-remes juga sama lo tabok sekenceng-kencengnya....PLOKKKHH !!!”, bongkahan pantat kananku jadi sasaran. Duuh, pedes juga, dalam hatiku.
“nah yang nii...sini gue bilangin....”. Bang Jae menarik Pak Udin kemudian jongkok di depanku sehingga wajah mereka berdua tepat di selangkanganku, benar-benar menganggapku sebagai mainan seks saja dan vaginaku hanya sekedar ‘barang’.
“lebarin kakinya, neng". Sesuai instruksi, aku melebarkan kedua kakiku.
“mulus kan?”, ucap Bang Jae sambil mengusap-usap selangkanganku.
“yang ini...bisa lo kobel, lo kokop...kalo mau lo colok, genjot, celup-celup juga boleh...”. Gila !!, aku benar-benar merasa seperti hanya sekedar mainan seks yang sedang di perkenalkan ke pengguna baru saja. Rasanya benar-benar direndahkan namun juga terasa begitu menggairahkan.
“tapi inget....yang ini nggak boleh lo siram peju...”, jelas Bang Jae sambil sedikit melebarkan bibir vaginaku.
“dari dulu kan lo pengen punya adek....nah nanti ini jadi tempat produksi adek lo....barang 2 atau 3 lah....abis itu baru deh lo tambahin cucu gue pake ini juga....”, tutur Bang Jae mengelus-elus bibir vaginaku.




Tubu Hana Diperkenalkan ke Udin Oleh Bang Jae



“betul kan neng?”
“iya, Bang...memek Hana punya Bang Jae....kalau Bang Jae emang mau minjemin memek Hana ke Pak Udin buat nambah cucu...Hana siap...", jawabku tersenyum.
“tuuh kan....mantep banget emang nih si neng bidadari ini...”.
“ok, mau siap-siap dulu...inget ya Din...kalo ketauan lo buang peju di memek calon ibu yang cantik ini...gue potong burung lo....”.
“ii..ya, Pak". Aku yakin Pak Udin sedang bingung sekarang dengan situasi saat ini, otaknya pasti nge hang untuk menghadapi obrolan saat ini. Aku masuk ke dalam kamar bersama Bang Jae untuk membantunya bersiap-siap dan juga membawakan bekal untuknya, sementara Pak Udin masih duduk terbengong di ruang tamu. Sepertinya otaknya masih memproses yang baru saja terjadi.
“kenape lo, Din ?”.
“ng..nggak, Pak...”. Dia hanya memperhatikanku yang sedang menjilati jari kaki Bang Jae satu per satu sebelum ku lap dengan payudaraku dan tisu.
“noh liat kan..belum jadi bini aja.. udah poll banget pelayanannya..gimana kalo udah jadi ibu lo...disayang banget deh....”, tukasnya.
“Bang...tongkatnya belom...”.
“oh iya...tolong ambilin, neng cantik....”.
“iya, Bang...”. Aku pun keluar kamar perlahan dengan membawa tongkat satpam Bang Jae.
“hmmm.....haruuuum....”, ujar Bang Jae mengendus tongkatnya yang baru saja ia cabut dari liang vaginaku. Ya betul, SOPku ketika membawakan tongkat tonfa milik Bang Jae yakni dengan vaginaku. Untungnya tongkat tonfa Bang Jae adalah yang pendek jadi bisa masuk ke dalam liang senggamaku.
“yaudah Abang pergi dulu yaa....”, pamitnya sebelum mulai melumat habis bibirku dan mengulum lidahku kemudian jongkok dan mencium bibir kemaluanku.

“cupph....besok pagi, kalau Abang pulang..siap ya di colok...hehehe....n kalau si Udin nakal buang ludah di dalem....gigit aja burungnya...”, pesan Bang Jae seakan mengobrol dengan daerah intimku.
“Din...selama ini Bapak nggak bisa ngasih apa-apa ke lo....nah kebetulan ada neng Hana yang cantik...anggep aja...kado dari Bapak....lo bisa pake neng Hana sampe puas....tapi inget, kalo sampe buang peju di dalem memek neng Hana...gue potong barang lo”.
“ii....ya, Pak”.
“udah ya...Bapak pergi dulu ya...”.
“iya, Bang..ati-ati", ujarku seraya menutup pintu cepat-cepat takut kelihatan orang karena aku dalam keadaan bugil.
“kok bengong, Pak?”.
“ii...ni beneran, neng ?”, mungkin maksudnya hal yang dibicarakan Bang Jae barusan. Sambil tersenyum nakal, aku berjalan ke arahnya dengan menggoda.
“ini bukan mimpi, Pak...”.
“ta..tapi, neng....”.
“sshhh...”, kuletakkan jari telunjukku di mulutnya.
Tanpa ragu, aku langsung melumat bibirnya. Kucumbu dan kuselipkan lidahku masuk ke dalam mulutnya. Awalnya dia hanya diam, namun cuma sebentar, insting laki-lakinya mulai mengambil alih, dia mulai membalas pagutan bibirku dan balik melumat bibirku. Jadilah kami bercumbu dan saling melumat bibir. Hei, tidak ada akan pria tua normal yang bisa menahan diri ketika dicium gadis SMA yang sudah bugil bukan?
“biar Pak Udin yakin ini bukan mimpi...sini ikut saya....”, ucapku setelah melepas ciuman kami yang membuat benang liur terhubung antara mulutku dan mulutnya. Aku pun menarik tangannya agar dia mengikutiku berjalan ke arah sofa. Kudorong perlahan dia untuk duduk. Tentu aku langsung duduk bersimpuh di depannya.
“biar Pak Udin yakin ini bukan mimpi...sekalian saya mau liat punya Pak Udin...hihihihi". Dia tak berkata apa-apa. Entah dia masih tidak yakin atau terpaku tak percaya, yang pasti badannya refleks terangkat untuk memudahkanku melepas celananya.
“hihihi....gemuuk....”, komentarku manja melihat tonjolan di celana kolor Pak Udin. Kutempelkan wajahku dan kuhirup aroma kelelakian Pak Udin dari selangkangannya.
“ee..ee...neng...bau, neng....”.
“saya suka...”, jawabku tersenyum kemudian kususul dengan kecupan manja beberapa kali di tonjolan celana kolornya.

“hihihi....gemuk...”, jawabku spontan melihat kepunyaan Pak Udin. Bang Jae bertipe ‘penusuk', sedangkan Pak Udin ini lebih bertipe ‘penyumbat'. Meski aku seorang hiper seks, tapi baru 4 ‘senjata tumpul’ yang pernah kulihat. Dari tipe payung atau besar di kepala, kurus di batang milik Pak Karso, tipe normal milik Kek Wiryo sampai tipe besar panjang milik Bang Jae, dan sekarang tipe gemuk milik Pak Udin. Aku jadi semakin penasaran ingin melihat bentuk-bentuk lainnya dari benda kebanggaan milik pria ini. Hihihi..
“kenalan dulu aah...”.
Aku mulai mencumbui sekujur batang beserta kantung zakar Pak Udin yang membuat pemiliknya sedikit bergidik kegelian sambil keenakan. Kutempelkan juga hidungku untuk mengendus-endus aroma selangkangan Pak Udin. Tentu tak sedap, tapi sangat membangkitkan gairahku yang menyimpang ini seolah bau selangkangan om-om dan kakek-kakek menjadi aroma pembangkit gairah bagiku.
“eemm....”, aku mulai mengemut pucuk kepala penisnya. Kuempeng seperti sedang mengemut permen lolipop.
Bibir bawah dan bibir atasku kumainkan sambil sesekali kucolek lubang kencingnya dengan lidahku.
“duuhh...enaak...bangethh, neeng....di sepong....enak bangethh.... ”. Padahal baru kuempengin saja ‘jamur pink’nya, tapi Pak Udin kelihatan begitu bergidik keenakan, jangan-jangan...
“Pak Udin...belum pernah disepong, Pak?”, tanyaku menatap matanya seraya menepuk-nepukkan penisnya ke pipiku.
“be..belum pernah, neng”, jawabnya agak malu. Entah malu, entah menyesal.
“emang istri Bapak...nggak mau apa gimana?”, tanyaku santai sembari memberikan ciuman-ciuman lembut ke sekujur batang kejantanannya.
“iya...neng...”, jawabnya agak sedikit berkedut-kedut.
“kolot atau gimana, Pak?”.
“nggak tau, neng....jijik katanya... “.

“iissh.... Masa ama punya suami sendiri jijik... Duuh.. Kasian banget Pak Udin... Padahal menurut Hana.... Fungsi mulut istri cuma 2.. Fungsi kedua yaitu ngomelin suami, tapi fungsi utamanya ya ini....nge manjain barangnya suami kayak gini... “, ucapku sebelum mulai menciumi mulai dari pangkal kantung zakar dekat anus nya sampai ke lipatan antara kantung zakar dengan batang penisnya.
Tentu Pak Udin berkedut kecil berkali-kali sambil melirih keenakan, apalagi aku tambah dengan sapuan lidah tanpa putus di setiap sudut kantung zakarnya senti demi senti, dan tak lupa kumasukkan ke dalam mulutku, per biji nya maupun kantung buah pelirnya secara kesuluruhan yang tentu kusambut dengan belaian manja lidahku yang membuat si pemilik menggelinjang dan tak mendesah karuan.
Namanya masih ‘perjaka’ dalam hal diemut perempuan, sensitifitasnya sangat tinggi, padahal masih ada teknik yang belum kugunakan.
“pokoknya Pak Udin tenang aja... Sekarang udah ada Hana.... Urusan bersihin kontol pake mulut... Serahin ke Hana... Hihihi... Lagian kan ini nanti jadi penerus Bang Jae kalo Bang Jae udah bosen buang peju di rahim Hana.. Kan ini penerusnya... “, ucapku sambil mengelus-elus ‘topi daging’ Pak Udin.
“tapi kalau nanti Hana udah lulus... Terus Pak Udin nggak sabar... Nego sama Bang Jae yaa... Biar boleh patungan peju di perut Hana... Hihihihi... “, kicauku tambahan sebelum aku mulai membeli kepala dan leher penis milik anak calon suamiku ini. Calon suamiku seumuran dengan kakekku, anaknya seumuran dengan ayahku dan kini kejantanannya sedang kubelai-belai dengan lidah, memang aku lebih rendah dari jablay manapun.

“neengghh...oohhhhh”, lenguhnya yang kuyakin sedang menikmati lidahku yang sedang menari-nari manja di sekitaran ‘jamur pink’ miliknya sambil sesekali kupanaskan sosisnya dengan mulutku yang naik turun mengurut perlahan batangnya.
“aaakhhhh!!!”, hanya sebentar kurasakan berkedut-kedut sebelum tiba-tiba semburan air menembak pangkal kerongkonganku.
Bukan Hana namanya, kalau aku kaget cuma karena tiba-tiba ditembak air mani seperti ini. Sperma yang sudah seperti air putih bagiku karena sering ku tenggak tiap hari langsung ku tampung dengan mulutku meski akhirnya menetes keluar dari pinggiran mulutku karena saking banyaknya. Rasa dan aroma air maninya begitu kuat. Tapi tidak sekuat rasa sperma Bang Jae yang bertahun-tahun tidak di ‘ekstrak’ dari tempatnya. Mungkin Pak Udin lebih sekitar 2-4 mingguan tidak dikuras dari kantungnya. Gila, apa saking seringnya minum sperma, aku jadi bisa menebak umur sperma?
Dan bahkan setelah pertama kali aku meminum sperma Bang Jae waktu itu, tubuhku terasa segar dan enteng. Apa tubuhku secara alamiah sudah menjadikan air mani pria sebagai supplemen tubuh? Ya memang sih sperma itu penuh protein, tapi ya nggak dijadiin suplemen juga kayaknya. Tapi nggak apa-apa sih, selama ada ‘supplier’nya hihihi... Toh aku juga suka dengan rasa amis, asin, sedikit manis dari sperma.




Lelehan Mani Udin



“ssrpph... “, aku pun membersihkan batang dan terutama pucuk penisnya, ku korek sisa air mani yang mungkin tertinggal di lubang kecil penis Pak Udin.
“ma..maaf..neng...nggak bisa nahan...”, tapi dia terdiam melihatku membuka mulutku sebelum menelan keseluruhan cairan putihnya yang tertampung di mulutku ini.
“di... ditelen, neng? Nggak jijik? ”.
“mmm.... Enak, Pak.... favorit Hana malah.... “, jawabku begitu nakal seraya memutar lidah sekitar mulutku untuk membersihkan sekitaran bibirku yang mungkin ada air mani yang tersisa di situ.
*huuufft....lega, neng....makasih banyak, neng....hehehe“, ucapnya seraya duduk lebih santai dengan wajah yang menunjukkan ekspresi lega.
Aku tahu kok ekspresi wajah itu. Ekspresi lega yang didapatkan setelah akhirnya merasakan lagi diberikan kenikmatan oleh pasangan. Karena rasanya sungguh beda, memuaskan nafsu dengan sendiri dibandingkan dengan pasangan, rasanya sungguh lain.
“Hana juga makasih, Pak....udah dikasih peju....hehehe”, bisikku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Aku bisa merasakan Pak Udin masih agak kaku dan canggung dengan situasi ini. Ya tentu saja sih, kondisi dimana ada seorang gadis SMA yang terang-terangan mengakui akan jadi istri dari bapak kandungnya yang sudah umur 60an, dan setelah itu bapaknya malah membolehkan calon istrinya yang masih belia ini untuk dicabuli sesuka hatinya, si anak kandung.
Jujur, aku pun sebenarnya bingung harus bagaimana, tapi bukan Hana namanya kalau tidak bisa mengatasi ‘social awkwardness” seperti ini.
“udah lama ya, Pak nggak dikeluarin? “.
“ii...iya, neng...setahunan ada barang kali....”.
“lama juga ya....”, ups, aku salah duga sepertinya. Oke, akan kutambahkan rasa & kekentalan sperma Pak Udin yang ada di lidah dan tenggorokanku sebagai referensi pria yang tidak ejakulasi selama kurang lebih setahun hihihi.
“istri Bapak nggak bantuin keluarin gitu, Pak? “.
*nggak, neng...kasian dia capek dagang tiap hari...”.
“oooh...dagang apa, Pak?”, kami mengobrol secara biasa padahal pemandangan seorang gadis SMA yang putih mulus tanpa busana apapun sedang ngelendot ke bapak-bapak tua pastilah tak umum terjadi.
“yaa gado-gado, pecel, ketoprak gitu, neng...buat bantu-bantu saya cuma tukang pijet soalnya....”.
“ooh....tapi ya seharusnya bantuin gitu....sekedar handjob aja gitu....”.
“saya nya yang nggak minta, neng....”.
“lah kenapa, Pak?”.

“nggak berani neng.....istri saya kalo udah capek..***lak banget....”.
“hmm....”.
Dari cerita Pak Udin, aku bisa menebak profil istrinya. Kemungkinan besar, istrinya memang agak kolot dan rasanya kupikir agak frustasi juga. Dari segi ekonomi, mungkin nomor dua atau tiga. Aku rasa lebih ke arah karena tidak bisa punya anak lagi, ditambah Pak Udin yang nampaknya terlalu penurut atau ‘baik’ sehingga kurang dominan ke istrinya jadi kurang greget kalau melayani suaminya.
Bagi pembaca cowok yang membaca cerita ini, inget lho ya. Dominan ke istri bukan berarti kasar atau gimana, tapi lebih in-charge di kehidupan berumah tangga alias bukan suami yang mencla mencle atau iya-iya aja karena secara peraturan tidak tertulis, peran lelaki lebih ke pemimpin, jadi kalau suaminya yang nurut-nurut aja, biasanya sang istri secara alamiah akan lebih dominan di keluarga, tapu ya nggak semuanya loh yaa.
Apalagi urusan di ranjang, laki-laki yang terlalu ‘lembek’ jadi membuat pasangan wanitanya agak malas. Well, sepertinya aku menemukan peranku....hehehe.
Akan kuubah Pak Udin, setidaknya untuk urusan pergumulan dulu deh....hihihi
“tapi kok neng Hana bisa tau saya udah lama nggak keluar pejunya....”.
“hihihi....rasanya agak mirip sama kayak Bang Jae pas pertama kali Hana ngerasain pejunya....hehehe”.
“oo..ooh...”.
“n Bang Jae....biasanya nggak puas kalo Hana keluarin pejunya pake mulut doang...”.
“tapi....kalo saya boleh, neng?”, tampaknya dia mulai memunculkan niat untuk menggunakan tubuhku sebagai pelepas nafsunya yang sudah tertimbun selama setahun ini.
“Bapak boleh pake Hana sepuasnya....Hana nggak bakal nolak diapain aja”, bisikku manja sembari membelai dan mengelus ‘perkakas’ Pak Udin yang mulai setengah bangun. Matanya kelihatan membara, perasaan canggung pun sudah mulai tersingkir oleh hawa nafsu.
“eiits....”, aku menghentikan laju bibir Pak Udin yang menuju ke arah bibirku.
“kok...nggak boleh, neng?”, tanyanya dengan ekspresi agak heran.
“kan tadi Hana baru nenggak peju Pak Udin...bau peju...emang Pak Udin mau?”, peringatku.
“oh iya...hehhe....tapi yang laen boleh kan, neng?”.
“sepuasnya....hehehe”, jawabku nakal.

“emmm.....”, Pak Udin mulai dengan mencumbui leherku dan menjilatinya, tangan kirinya begitu aktif meraba-raba payudaraku.
Putingku dimainkannya bagai analog di stik ps yang begitu asik dimainkan.
“hihi....geli, Pak....”, tawaku manja menerima cumbuan penuh nafsu Pak Udin di leherku.
“neng Hana....haruummm...wangiii....”, nampaknya Pak Udin sangat menyukai aroma tubuhku. Tak hentinya aku menggeliat, menggelinjang ke sana kemari menahan geli campur nikmat dari cumbuan dan jilatan lidah Pak Udin di leherku.
“bulet banget, neng...kenyel banget pula....”, pujinya sambil begitu asik meremas-remas kedua buah payudaraku.
Sapuan lidahnya di permukaan payudaraku yang putih mulus cukup membuat aliran listrik kecil mengejutkan tubuhku dan tanpa pikir panjang, dia bergantian mencaplok areola ku. Kedua puting yang telah mengeras semakin membuat ‘kemasan susu’ku semakin sensitif sehingga semakin cepat rasa nikmat menjalar ke sekujur tubuhku, apalagi remasan, pijatan pada payudaraku serta pilin dan plintir ke ‘kuncup susu’ku yang sedang tak ia emut sungguh membuatku merasa semakin tenggelam di rasa nikmat foreplay ini.
“ampun, Pak....hihi..aampunn...gelii...”, eluhku manja saat Pak Udin menjilati ketiak kananku tanpa ampun. Puas membalurkan liurnya bergantian ke payudara dan ketiakku, dia mulai ‘turun bukit’, ciuman & jilatannya semakin menurun ke perut dan tentu tujuan utamanya adalah ‘celah’ selangkanganku.
“kenapa, Pak?”, aku refleks bertanya karena dia berhenti sejenak padahal sebentar lagi, lidahnya mengenai ‘bukit gundul’ milikku dan tentu tubuhku seakan sudah menantikannya sebetulnya.
Tanpa menjawab, dia menaikkan kedua kakiku ke atas sofa dan melebarkannya selebar-lebarnya sehingga kedua kakiku seperti membentuk huruf M, dia duduk dan tepat memposisikan wajahnya di depan pangkal pahaku dan menyibakkan bibir vaginaku dengan kedua jarinya.




Kemaluan Hana yang Mengunggah Selera



“bagus banget, neng...memek neng Hana mulus, pink lagi...bikin ngiler...”.
“hihihi..kirain kenapa...”.
“pantesan Bapak jadi seger n hepi tiap hari...dikasih memek mantep begini....”.
“nah sekarang giliran Pak Udin juga biar seger n hepi..hehehe”, ujarku bagai pelacur.
“kenapa baru sekarang sih ketemu sama neng Hana...si cantik mulus kayak gini...”.
“yaa kan emang Pak Udin lahir duluan...wee”.
“beruntung banget, Bapak sama saya bisa ketemu neng Hana...”.
“hehehe...emang udah jodoh kali, Pak...”.
“berarti nanti ini ya, pabrik bayi nya?”.
“iyaa...pabrik bayi khusus Bang Jae & Pak Udin...tapi karena Hana masih harus sekolah...sementara jadi tempat angetin burung Bang Jae & Pak Udin dulu aja yaa...hihihi”, ucapku yang memang sudah memantapkan hati untuk menjadikan rahimku sebagai tempat produksi keturunan dari Ayah & Anak tunggal ini.
“bapak cicipin ya...”.
“jangan sungkan ya...hehehe”.
“wangiii, neng...”, kata Pak Udin sesuai tarikan napas yang begitu dalam dengan hidung yang menempel erat di bibir vaginaku.

“hhh..mmmm”, tubuhku mulai bergetar kecil saat kecupan-kecupan mesra Pak Udin di layangkan di sekitar area intimku disusul dengan sapuan lidahnya di permukaan vaginaku.
Ya memang tidak sehandal mendiang Kek Wiryo yang setiap hari menyantap vaginaku layaknya makanan pokok dan seluwes Bang Jae yang mulai terbiasa ‘menggerogoti’ selangkanganku tiap harinya, tapi tetap saja kombinasi cumbuan mesra, sapuan lidah manja, dan kilikan jari Pak Udin membuatku mendesah nikmat sampai memegangi kepalanya agar tidak beranjak dari selangkanganku sampai aku melirih panjang tanda orgasme.
“uummmmhhh...”, tubuhku mengejang dan berkedut-kedut dari rasa nikmat yang kurasakan.
“eeeehhh...lagii...Pak???”, tanyaku ketika lidah Pak Udin mulai menyelip masuk lagi ke dalam liang vaginaku.
“eeehmmm...ooommmhhh....”, desahku menjadi-jadi, suara becek dari cairan vaginaku dan seruputan kencang Pak Udin bercampur dengan suara desahanku.
Lidahnya semakin liar bergrilya dan mengulik-ngulik lubang kewanitaanku sampai aku menggelinjang ke sana kemari dan melirih tak karuan sampai orgasme kembali.
“eenn..hh..”, belum selesai aku merasakan puncak nikmatku, lidah Pak Udin semakin intens mengubek-ngubek vagina bahkan sampai lubang anusku, di sapu juga olehnya.
“ampuunn, Pakh....Pak..hhhh...”, pintaku merasa sungguh lemas setelah orgasme untuk yang kelima kalinya. Kutarik ucapanku sebelumnya, aku sampai menyerah dibuatnya hanya dari lidahnya.

“hehe...maaf, neng...nggak nyangka memek neng...gurih banget kayak santen terus manis-manis asin gitu...jadi lupa diri...”. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya.
“ngg....nggak..apa..apa..hhh...Pak...cuma lemes aja...”.
“kalau gitu, sini biar Bapak gendong ke kamar...”.
Layaknya istri yang sudah siap untuk digarap suaminya, aku pun merangkulkan tanganku di lehernya dan dia sigap mengangkat tubuhku ke kamar. Padahal kalau memang sampai terjadi nanti, aku, gadis SMA yang bugil dan lemas setelah 5x orgasme ini, akan menjadi ibu tirinya tapi seakan tak keberatan cenderung pasrah juga untuk melayani nafsu calon anak tirinya ini. Yah, memang ayahnya juga yang memberikan tubuhku sebagai hadiah ke anaknya ini, jadi ya mau gimana.
Pak Udin pun perlahan meletakkan tubuh mulusku dengan daerah intim yang berlumuran liurnya ini perlahan ke atas kasur kemudian mencium bibirku lembut.
“calon ibuku sayang...izin untuk nyobain memeknya ya...”, bisiknya sangat cabul di kupingku.
“iya, calon anakku sayang...memek ini emang khusus buat ayah kamu dan kamu”, jawabku sama cabulnya.
“pelan-pelan yaa...”, ucapku setelah agak merasa khawatir setelah kuncup penis Pak Udin yang tebal itu mulai menyeruak masuk ke dalam liang kewanitaanku.
“uuh...sempit banget memeknya, Bu...jadi nyangkut”.

“hhngg....punya kamu yang tebel, Nak...”, ucapku mengikuti alur pembicaraannya sebagai ibu & anak tiri yang sedang bersenggama untuk pertama kali. Aku sampai menggigit bibir bawahku sambil sedikit merasa nyeri merasakan batang tebal penis Udin yang memaksa masuk dan membuat dinding vaginaku mengembang lebih dari biasanya.
Ayahnya spesialis mentok, anaknya spesialis nyangkut. Aku jadi agak ngeri kalau sampai-sampai mereka berdua meminta untuk menyodokku dari depan & belakang secara bersamaan. Bisa-bisa nggak bisa jalan aku nanti.
“oooh....sempit...anget banget....”, eluhnya.
Sementara aku masih mengontrol nafas untuk membuat tubuh rileks dan agar liang kewanitaanku menyesuaikan dengan ‘pelanggan tipe baru’nya ini. Dengan tertancapnya penis Pak Udin ini, sudah resmi empat penis pria paruh baya yang ter ‘registrasi’ di alat kawinku ini. Dan tentu ke depannya, anggota baru ini bakal lebih sering ‘plug & play’ dengan alat kawinku.
Aku bisa melihat wajahnya keliatan begitu meresapi himpitan dinding vaginaku ke batang penisnya. Mungkin dia baru bisa merasakan lagi betapa hangat dan nikmatnya tubuh seorang gadis, terlebih lagi gadis muda yang sedang ranum-ranumnya sepertiku.
Karena meski masih punya istri, namun istrinya sudah tidak lagi mau melayaninya, ya sudah aku saja yang menggantikan tugas istrinya karena memang hakekat kenapa wanita diciptakan dengan tubuh yang indah adalah sebagai tempat ‘bermain’ laki-laki untuk penyaluran nafsu duniawi.
Jika seorang istri sudah tidak mau menjalankan tugas utamanya itu, maka harusnya sudah tidak bisa dianggap sebagai istri.
“sakit ya, Bu?”.
“ngilu dikit, anakku sayang....”, jawabku tetap melanjutkan peran.

Aku tidak tahu apakah memang Pak Udin mempunyai fantasi terpendam berhubungan dengan ibunya atau tidak, tapi yang pasti pria paruh baya mana yang kuat menahan godaan dari gadis SMA yang rela dan senang hati melebarkan selangkangannya untuk di coblos, ditambah lagi peran sebagai ibu tiri.
Kalau tidak salah ingat, banyak kok film JAV yang mengambil tema seperti ini, bedanya dengan kasusku, gadis SMA yang menjadi peran ibu tiri sementara pria bangkotan yang menjadi peran anak tiri.
“ummmhh....hhmmmppp....”.
Pak Udin mulai mencumbuku mesra seraya mulai menggerakkan ‘cacing tebal’ miliknya di liang senggamaku. Saat dia menarik penisnya, vaginaku seakan ikut ketarik dan ikut terdorong saat ia mendorong masuk penisnya.
Baru kali ini kurasakan sih, tapi vaginaku yang sudah sangat terlatih ‘merengkuh’ penis para pria bangkotan yang pernah menjadi pemilik tubuhku pun tentu tak terlalu kewalahan, apalagi belakangan ini, rahimku sering di sodok sampai mentok di pangkal leher rahimku oleh ‘alat sodok’ milik Bang Jae jadi aku yakin liang senggamaku akan cepat menyesuaikan diri dan membentuk ‘cetakan’ yang tepat.
Bedanya dengan yang dulu, hanya satu tipe yang keluar masuk rahimku dalam kurun waktu beberapa bulan, kali ini ada 2 tipe penis yang berbeda 180 derajat yang akan sering ‘check in-check out’ di area intimku ke depannya. Semoga saja, rahimku pintar menyesuaikan bentuk ‘cetakan’ yang tepat sesuai penis yang sedang berkunjung sehingga membuat pemiliknya bisa merem melek mendapatkan nikmat yang maksimal.




Hana Sedang 'Digaruk' Udin



“teruusshh..sayaaangg....hhh....genjott...hhh...yang cepeet..... “, racauku yang semakin merasa nikmat dari gesekan penis Pak Udin dengan dinding rahimku yang semakin cepat.
“kalau....Bapak...lagi...jaga....biar Udin yang genjot...Mamah....”, ucapnya terpatah-patah.
“IYAAAHHHH!!!!, teriakku sekalian melepas orgasme seketika karena tembakan sperma Pak Udin melesak masuk ke dalam rahimku dengan kencang dan berkali-kali. Kami yang sudah berpeluh keringat, berpelukan erat dengan tubuh yang sama-sama berkedut-kedut karena sedang meresapi orgasme berbarengan sementara ‘burung’ Pak Udin masih muntah beberapa kali di dalam liang senggamaku. Usai sesi orgasmenya selesai, dia pun bergulir ke samping dan tidur di sebelahku.
“maaf, neng...”, aku langsung mengunci mulutnya dengan jari telunjukku.
“nanti aja...istirahat dulu...capek...”. Aku pun memeluk Pak Udin erat layaknya seorang istri yang lemas karena telah ‘dikalahkan’ oleh suaminya. Ya kurasa aku memang kalah sih, skornya kan 2-6. Aku 6x orgasme dibuatnya, mana mungkin aku tidak lemas. Jujur baru kali ini, aku orgasme sampai 5x hanya karena jilatan di selangkanganku. Aku tidak tahu dengan Pak Udin, tapi mataku terasa berat dan tidak kuat menahan kantuk.
“hangat....”, gumamku dalam hati merasakan air mani Pak Udin yang menggenang di dalam rahimku dan mungkin ‘kecebong’nya sedang berlarian ke sana kemari mencari sel telurku untuk dibuahi.
“nngggg......”, erangku merenggangkan tubuhku.
“udah bangun, neng?”.
“eh maaf, Pak...saya ketiduran...”, wajah paruh baya Pak Udin menjadi pemandanganku di waktu bangun hari ini. Aku merasa area intimku sangat lengket.

“Pak Udin nggak tidur?”.
“tidur kok, neng...saya juga baru bangun....”.
“hehehe..***ra-gara Pak Udin....geragotin punya Hana sampai KO....Bang Jae aja belum pernah bikin Hana KO...”.
“hehehe...maaf, neng....udah lama banget nggak ngerasain gituan ama cewek...eh sekalinya gituan, sama neng Hana yang cakep n mulus banget.....udah gitu selangkangan neng Hana bikin ngiler....jadi kalap saya....hehehe”.
“uuuh dasar....nggak Bapak...nggak anak...sama-sama kalap ngeliat Hana....”.
“ya iya lah, neng....cowok mana yang nggak beringas ngeliat cewek secantik neng Hana bugil di depan mata..udah gitu, semua-muanya mulus bening terawat, sampe memek n pentilnya pink...nggak mungkin kalo nggak jadi kalap, neng...soalnya kesempatan sekali seumur idup, neng...”.

“hihihi...Pak Udin bisa aja....”.
Aku mengusap-ngusap daerah intimku yang terasa lengket dengan sperma Pak Udin yang mulai mengering.
“neng...itu...saya bener-bener minta maaf...neng...”, ucapnya memelas.
“saya kebablasan...nggak bisa nahan...memek neng Hana sempit banget...nggak kuat saya nahan ngecrot....tolong neng, jangan lapor ke Bapak....”.
Aku tersenyum nakal dan mencolek vaginaku yang ‘berhiaskan’ air mani Pak Udin kemudian memasukkannya ke mulutku. Dia hanya terbengong melihatku.
“mm...nggak apa-apa, Pak...itung-itung salam kenal sama punya Hana....”, bisikku menggoda seraya mulai mengusap-usap lembut kepala penisnya.
“ini bukan kesempatan sekali seumur idup, tapi bisa berkali-kali....”, godaku di telinganya.
“bo...boleh lagi, neng?”.
“kalau ini masih kuat....siapa takut...”, tantangku yang mulai membelai dan mengocok pelan batang penisnya yang mulai setengah bangun.
“Pak Udin....mau nyobain belakang?”.
“maksud neng?”.
“yaa lewat pantat...”.
“ha? Serius neng?”.
“iyaaa...soalnya kalau Bang Jae bilang nggak afdol kalo belum sodok pantat Hana....”.
“be..beneran, neng?”.
“Pak Udin jijik ya?”.
“ha? Justru saya nggak percaya kalau neng Hana mau di sodok pantatnya...soalnya saya malah penasaran banget rasanya gimana....istri saya nggak pernah mau....”.
“hihihi...beda sensasinya lho....Pak Udin tenang aja....Hana selalu cuci kok pantat Hana....”.
“percaya, neng....kan tadi udah bapak kilik-kilik pake lidah...”.
“oh iyaa...hihihi...”.

Dengan gerakan perlahan begitu binal, aku pun memposisikan tubuhku menungging sampai pantatku terangkat ke atas dan perut rata dengan kasur. Karena seringnya posisi ‘doggy style’ begini, aku sudah mahir dan tahu cara posisi yang benar untuk mempersembahkan bagian bawah tubuhku kepada laki-laki yang akan merengkuh kenikmatan dariku sehingga dia mendapat dua pilihan dari celah selangkanganku, apakah itu relung vagina yang memang sejatinya berfungsi sebagai ‘sarung’ atau ‘tempat menumbuk’ bagi penis pria atau sedikit tantangan dari ‘gua hitam’ yang sejatinya lebih untuk tempat keluar bukan tempat masuk.
“heekkhhh....”, aku menahan ngilu ketika ‘helm daging’ Pak Udin yang tebal mulai mendobrak masuk lubang anusku. Padahal sudah kubantu dengan menarik pantatku ke samping untuk merekahkan lubang pantatku agar lebih lebar menerima ‘tamu’ barunya ini, tapi tetap saja terasa perih.
“sempit..banget...neng....gilaaaaak....”.
“pelan-pelan, Pak......”.
Untungnya Pak Udin pengertian, tak langsung ia hujamkan begitu saja penis tebalnya itu ke rectumku tapi ada sedikit jeda waktu sebelum ia mendorong masuk kembali penisnya hingga akhirnya amblas tertelan oleh ‘lubang hitam’ku. Terasa perih, ngilu, dan sungguh penuh di anusku. Dengan penis Bang Jae, hanya bisa setengahnya saja. Dengan penis Pak Udin, bisa sepenuhnya tertanam namun terasa begitu penuh sesak dan ngilu.
“oookhh!! Sempit banget, neng...mantaaabbbhh!!”.
“jangan gerak dulu ya, Pak”, ucapku sambil berusaha tersenyum karena masih merasa agak ngilu.

Ekspresinya sama persis dengan Bang Jae. Mungkin mereka baru pertama kali merasakan lubang pantat wanita. Ya wajar sih, anal seks memang agak tabu dan tak banyak wanita yang mau disodomi seperti ini. Aku yakin ini pengalaman pertama Pak Udin merojoki anus seorang gadis sama seperti Bang Jae waktu itu.
“pelan-pelan gerak, Pak”, izinku kepada Pak Udin untuk menyalakan ‘piston’nya yang sedang menyesakki liang anusku.
“sa...sakit ya, neng?”, tanya Pak Udin yang sepertinya memperhatikan raut wajahku yang menggit bibir bawah dan menahan ngilu.
“nggak apa-apa, Pak...”.
“ganti aja neng, kasian neng Hana...”, nampaknya dia juga merasakan penisnya yang seperti ‘stuck’ di dalam lubang pantatku, susah untuk ditarik dan disodok kembali masuk.
“ntar juga enak, Pak...hehehe”, ucapku.
“tapi, neng...”.
“udah, Pak Udin tenang aja...tugas utama Hana emang bikin Pak Udin enak...”.
“duuh neeng...bener-bener neng Hana...cewek yang diimpi-impiin cowok deh....ploook!!! “, ujarnya diiring tepukan kencang pada bongkahan pantatku yang putih mulus.
“neng Hana mau poliandri nggak?”.
“maksudnya 2 suami?”.
“iyaa...abis nikah sama Bapak...nikah sama saya juga...”.
“kan Pak Udin masih punya istri?”.
“halah..***mpang lah itu nanti...”.
“hihihi...dasarr...tapi lucu juga kali yaa...jadi istri dari bapak sama anak....hihihi”.
“setuju berarti neng?”.
“tanya Bang Jae dulu laah....Hana sih oke-oke aja....kan Bang Jae emang udah bilang....selain dia mau pake Hana buat lahirin adek-adeknya Pak Udin...dia juga nyuruh Pak Udin tambahin cucu buat dia pake memek Hana juga...hihihi”, ucapku tak bermoral dan sangat merendahkan martabatku sendiri seakan aku hanyalah ‘sarana’ untuk mencetak bayi untuk Bapak & Anak ini.
“oh iya...ok deh...nanti tanya sama Bapak deh...”.
“mmm....ngilu nya udah ilang nih, Pak....hehehe”, kodeku.
“woooo..***ssss!!!!”. Mulailah penis tebal Pak Udin menggenjot anusku. Tubuhku benar-benar maju mundur, ketarik dan kedorong sesuai gerakan penis Pak Udin karena memang benae-benar nyangkut di rectumku.
“aaahhhmm...Paakk....terussshhh....enaaakkkhhhh”, tentu eranganku itu semakin menyalakan semangat Pak Udin untuk merojoki anusku.




Pantat Hana Dikail Udin



“Plok!!! Plokkh!!!”, tentu bunyi dentuman antara selangkangan Pak Udin dan bongkahan pantat kenyalku begitu terdengar di antara selingan eluhan dan kicauan kami berdua. Aku sudah masa bodo terdengar warga sekitar atau tidak karena memang meskipun tiap malam aku ‘dihajar’ Bang Jae, tidak ada yang menegur atau apa, sepertinya memang agak jauh dari rumah lain sehingga tidak terdengar.
Tubuh kami tentu sudah berpeluh keringat seakan sehabis mandi. Gairah nafsu antara pria paruh baya yang mengintimi gadis SMA memang tiada dua ‘panas’nya. Sesekali, Pak Udin menarik kedua tanganku ke belakang seperti sedang ‘mengendarai’ku sehingga aku hanya bertumpu pada lututku dan hantaman penisnya semakin terasa di anusku. Sesekali dia juga menarik tubuh bagian atasku ke atas, mendekatinya untuk mencumbuku dan menjilati leherku sambil bermain daging kembarku yang kenyal dengan nafsunya.
“AAAKKHH!!!! PLOKKHH!!!!”, hujaman terakhir begitu kuat sampai aku terdorong bersama penis Pak Udin, dan seketika relung anusku terasa ditembak disusul rasa hangat.
“hhh...hhhh...”, kami sama-sama mengatur nafas, meskipun aku orgasme duluan.
“enak...banget....nenghh.....makasihhh....”, pujinya.
Aku hanya tersenyum. Karena kakiku yang terasa lemas, posisi Pak Udin berada di atasku benar-benar menindihku dengan penis yang masih berdenyut-denyut dibantu dinding anusku mengurut ‘isi’nya keluar. Momen sunyi kenikmatan pun tercipta antara seorang pria paruh baya yang baru saja mengobrak-abrik pantat dari seorang gadis SMA berkulit putih mulus, bertubuh jenjang, sintal dan merupakan bunga sekolah ini. Mungkin takut aku tak bisa bernafas, Pak Udin agak sedikit mengangkat tubuhnya, tapi rasanya penisnya kok masih ‘keras’.

“neng capek nggak?”, sepertinya dia sudah bisa mengatur nafasnya.
“ke...ke...napa...Pak?”, tanyaku yang masih agak tersengal-sengal.
“boleh sodok pantat lagi, neng?”.
“hihihi.....ketagi...han ya?”.
“iya, neng...hehehe”. Aku pun mengangkat kepalaku dan menarik leher Pak Udin ke bawah untuk berbisik kepadanya.
“sodok lobang Mama sepuasnya, anakku sayang”, ucapku binal dan ditambah sedikit ‘bumbu’.
Ucapanku ibarat minyak ke ‘api nafsu’ Pak Udin. Jadilah relung anusku menerima hujaman-hujaman batang kejantanan Pak Udin kembali sampai akhirnya dia berejakulasi lagi di dalam anusku dengan posisi menindihku lagi. Barulah setelah beristirahat sebentar, ‘senjata tebal’ Pak Udin itu ditarik keluar dari anusku. Terasa begitu ‘bolong’ pantatku.
“nanti sodobol lagi neng....abis ini...”. Aduh mati gue, gue sih sok-sokan ngomong gitu tadi, bisa dower nih nanti pantat gue.
“gimana kalo....crot di dalem lagi, Pak?”, rayuku.
“maksudnya di dalem memek, neng?”.
“iyaa...”, plis donk mau...kalau nggak, ntar gue nggak bisa nahan pup.
“nggak apa-apa, neng? Nanti kalau sampai neng Hana hamil duluan ama saya? Bapak nanti mencak-mencak...”.
“nggak apa-apa, Pak...ya berarti Bang Jae nambah cucu duluan....hihihi....nanti abis itu Hana makin repot deh...”.
“kenapa, neng?”.
“ya pasti Hana nggak bakal bisa keluar kamar...dipejuin terus sama Bang Jae...sampe hamil gara-gara keduluan sama Pak Udin hehehe...”.
“aduh neng...neng Hana tau banget caranya bikin cowok ngaceng...Cabul banget neng ngomongnya....tanggung jawab dong ibuku sayang...”.
“hehehe...tenang anakku. Sini biar mama bantu lemesin itunya hihihi...”, ujarku seraya membuka lebar kedua kakiku dan menepuk-nepuk pangkal pahaku seakan memanggil ‘ular’ Pak Udin untuk masuk ke dalam ‘goa’nya untuk bermain & beristirahat di dalam.

Tentu tanpa perlu waktu panjang, Pak Udin langsung ‘mencolok’ relung kewanitaanku dengan penisnya. Dasar calon anak tiri kurang ajar!!! Bukannya dengan cara mengobrol dan sharing cerita, proses perkenalan dan ramah tamah dengan calon ibu tirinya malah asik menggesek kelamin calon ibu tirinya ini.
Yah memang Bapaknya sih yang nyuruh!. Lelehan sperma yang kembali keluar dari bibir vaginaku menandakan usainya ‘proses ramah-tamah’ seorang gadis SMA yang akan menjadi ibu tiri dengan calon anak tirinya yang sudah paruh baya. Memang nafsu pria paruh baya yang tertahan itu sungguh ‘bahaya’, dengan tubuh beliaku pun, aku selalu kewalahan membantu mereka melampiaskan nafsu.
Yah setidaknya, dari 4 pria tua yang telah ter-‘registrasi’ pada rahimku dan telah setor sperma yang sudah diserap tubuhku ini, semuanya seperti itu.
“makasih banyak neng....setelah bertahun-tahun nggak ngerasain enaknya begituan ama cewek...puas banget ama neng Hana...”.
“sama, Pak. Hana juga ngerasain enak juga...hehehe...tapi jangan sampe Bang Jae tau yaa...kalau calon bininya ini dipejuin memeknya sama anaknya sendiri padahal udah dilarang....”
“pasti lah itu neng....”.




Vagina Hana 'Dihias' Udin



“tidur yuk, Pak...Hana lemes...”. Kami pun tidur berpelukan dengan tubuh penuh keringat dan lelehan sperma yang sedikit mengalir keluar dari vagina & anusku pertanda perkenalan dan registrasi penis Pak Udin sebagai ‘warga baru’ dari tubuh beliaku yang putih mulus dan montok ini telah berhasil.
Dan aku pun yakin, otot-otot dinding vagina & anusku sedang bekerja untuk membuat ‘cetakan’ yang pas bagi batang kejantanan Pak Udin karena akan sering berkunjung kembali. Sial, pastinya Bang Jae & Pak Udin nanti bakalan ngeroyok gue nih, pikirku yang sudah membayangkan aku harus beli kursi roda karena pasti tak bisa jalan untuk beberapa hari jika batang panjang & batang tebal ini masuk bersamaan ke dalam tubuhku berkali-kali semalaman suntuk.
Memikirkan aku yang memakai kursi roda dan tak bisa berjalan, darahku langsung mendidih karena akal liarku berimajinasi kalau sampai benar kejadian seperti itu, aku akan sungguh-sungguh menjadi ‘boneka seks’ karena tak bisa berjalan dan pasrah dengan hujaman & hantaman ‘tongkat pukul’ milik Pak Udin & Bang Jae setiap harinya dan hanya digunakan sebagai pabrik bayi untuk pembuatan adik Pak Udin dan cucu untuk Bang Jae sampai mereka puas. Aaakhhh gilaaa otak gue!!! Udah bodo amat, ntar urusan itu....gue capek... Aku pun akhirnya tertidur setelah berusaha keras menghilangkan fantasi ‘sakit’ku itu.

“wiih...seger banget lo mukanye...”, aku yang sedang di dapur yang memang dekat kamar Bang Jae, bisa mendengar suara Bang Jae yang nampaknya di depan pintu kamar.
“iya, Pak...hehehe...”.
“mejuin Hana berapa kali lo semalem?”.
“lima kali, Pak...”.
“beuh..banyak juga...”.
“iya, Pak...abisnya neng Hana...cakep n mulus banget....jadi nggak bisa nahan ngaceng...hehehe...”.
“terus pas lo entotin gimana?”.
“jago banget goyangnya, Pak....nggak bisa nahan ngecrot lama-lama. Bapak bener-bener hoki bisa dapetin neng Hana jadi calon bini...”.
“oh iya lah. Bapak lo ini, hokinya gede. Wahahahaha”.
“dan setelah ada Hana yang ngurusin kontol Bapak, Bapak jadi seger tiap hari, badan rasanya enteng, pokoknya nggak kerasa lemes lah. Lo gimana, Din? Badan jadi enteng juga kan?”, tambah Bang Jae.
“iya, Pak. Enteng dan lega rasanya. Ngewe sama neng Hana kayak balik jadi muda lagi....”. Sial, meskipun aku menyimpang, tapi agak merasa malu juga dibicarakan seperti itu, namun tentu juga ada perasaan bangga di diriku yang ‘sakit’ ini.
“nah kan makanya....kan bini lo udah menopause juga tuh...daripada lo nggak ngencrot-ngencrot...paling banter...lo coli....mending lo ke sini...lo ewe dah tuh calon ibu tiri lo... “.
“serius, Pak?”.
“iya, serius gue. Tiap hari juga boleh...itung-itung hadiah buat lo...udah nurut sama gue dari masih kecil...nggak neko-neko...n biar deket juga sama ibu tiri lo nanti...wahahaha”.
“neng Hananya nggak keberatan, Pak?”.
“nggak...demen dia malah....kalo gue yang nyuruh, pasti mau dia...”.
“apaan sih, Bang?”, tanyaku sembari lewat membawa sarapan ke ruang depan.
“eh ini jablay mulus kita...dari tadi di belakang toh... PLOK!!!”, ucapnya sambil menampar keras pantatku yang tidak tertutup apapun.
“noh liat Din..***ra-gara lo sodok semaleman, calon ibu tiri lo sampe ngangkang gitu jalannya....”.
“iya nih ngilu....”, jawabku dari ruang depan sebelum kembali ke arah dapur lagi.
“sini bentar, neng...”.




Jae Menggerayangi 'Boneka' nya



Bang Jae pun memposisikan diriku yang memang bugil ini di depan Pak Udin, dia memelukku dari belakang dan mulai meraba-raba tubuhku.
“nih neng...si Udin masih nggak enakan..takut neng nggak mau katanya..”.
“kan udah tugasnya ibu...ngerawat suami sama anak-anaknya...hihihi”, jawabku sembari mengedipkan mata.
“nah tuh...denger sendiri kan lo...pokoknya kalo lo mau buang peju...ini calon ibu tiri lo siap jadi wadahnya...wahahahaha....bener kan, neng?”.
“iyaa, daripada terbuang percuma, mending buat Hana pejunya... .”, ucapku yang malah semakin merendahkanku sendiri. Ide yang menganggap diriku sendiri hanya sebagai alat ekstraksi sperma atau wadah pembuangan air mani khusus lansia memang benar-benar mengalirkan rasa yang berbeda di sekujur tubuhku, seperti tersengat listrik kecil dan sekaligus terasa panas. Ini adalah salah satu kondisi psikologis yang merupakan ‘hadiah’ saat aku menjadi budak seks Kek Wiryo.
“HAHAHA!!! Emang mantep nih neng Hana”, tawa Bang Jae lepas.
“tapi inget Din...lo nggak boleh buang peju di marih...”, Bang Jae memperingatkan Pak Udin sembari mengelus-elus perutku.
“ini udah gue tekin....gue mau bikin adek buat lo...2 biji...wakakakak....”. Aku dan Pak Udin sempat lihat-lihatan sebentar, Bang Jae tidak tahu kalau anak kandungnya ini sudah menggenangi rahimku tadi malam, 2x pula.
“iya, Pak...saya janji...yang penting...saya masih terus bisa ketemu sama ibu tiri saya yang cantik ini...”, jawab Pak Udin disusul cubitan pada payudara kananku.
Entah karena sudah menggumuliku semalaman dan menginjeksi cairan kejantanannya ke dalam tubuhku sehingga sudah mulai berani atau karena akhirnya nafsu nya yang selama ini bertahun-tahun terbendung akhirnya terlampiaskan melalui tubuhku, Pak Udin nampaknya jadi lebih luwes dan tidak canggung lagi kepadaku.

“siip dah kalo gitu...nah nanti baru dah..***ntian lo bikin adek buat anak lo biar nggak kesepian kayak lo pas kecil....hahaha”.
“selang seling aja, Pak...pertama Bapak yang hamilin neng Hana...abis itu saya...”.
“enak aja....kagak ada...gue mau bikin anak dulu 2 biji pake memeknya si cantik satu ini...abis itu baru terserah...”.
Malu sekaligus terangsang ku mendengarnya. Tubuhku khususnya rahimku tak ubahnya hanya seperti alat untuk produksi anak saja bagi Bang Jae yang bisa ia pinjamkan sesuka hatinya dengan berkata seperti itu. Memang nampaknya bisa menghamili gadis muda sepertiku adalah impian terbesar kebanyakan pria berumur lanjut, yah setidaknya dari lansia yang pernah memiliki tubuhku, semuanya sangat berhasrat membuatku hamil.
Ditambah juga, aku yang sangat bergairah ketika berimajinasi bahwa aku benar-benar hamil oleh pria lanjut usia sehingga sangat sering aku bilang bahwa aku tak keberatan bahkan juga sangat menginginkan untuk dihamili, tapi ya setidaknya aku lulus SMA dulu biar tak terlalu kena sanksi sosial, meskipun aku tahu kalau berhubungan intim dengan pria yang seumuran ayahku bahkan kakekku harusnya sudah menimbulkan sanksi sosial juga untukku dan orang tuaku, tapi jika sampai ketahuan hehehe...kalau hamil kan beda urusannya, karena benar-benar akan terlihat dari luar ketika perutku sudah membesar.
“siap kan neng?”, tanya Bang Jae tiba-tiba mengagetkanku.

“iya iya...”, jawabku senyum.
“gimana kalau nanti di campur aja....peju Bang Jae sama peju Pak Udin...biar nyampur sekalian...hihihi...”, jawabku begitu ‘gila’.
“gila....calon bini gue emang liar banget....ngaceng jadinya...”, aku merasakan tonjolan yang di gesek-gesekkan Bang Jae ke belahan pantatku yang terekspos bebas.
“ayok lah Din...gue tusuk dari depan...lo dari belakang...kita sodok barengan sampe jablay mulus yang satu ini nggak bisa jalan...”.
“ayo, Pak....biar si cantik ini tau diri....kerjaannya godain om-om sama aki-aki terus sampe ngaceng....”, timpal Pak Udin.
“eeitsss!!! Ntar dulu....”.
“kenapa, neng? Takut?”, tantang Bang Jae dengan senyum liciknya.
“siapa juga yang takut...”, ucapku sambil melepaskan diri dari pelukan Bang Jae.
“terus kenapa?”.
“sarapan dulu lah...Hana lapeer tau...emang dikiranya nggak laper...abis di sodok-sodok semaleman ama Pak Udin...”.
“hehe...”, Pak Udin hanya tertawa kecil.
“oh iya juga...Abang juga laper...”.
“yaudah...daripada grepein Hana terus...mending bantuin bawa sarapannya ke depan...”.
“okeh...”.
Usai bergotong royong menyajikan sarapan di ruang depan, kami pun makan bersama. Meski tak mengenakan apapun, dengan santainya aku sarapan bersama bapak & anak yang lebih cocok menjadi kakek & ayahku ini.
Aku satu-satunya yang bugil sementara bapak & anak ini berpakaian lengkap, pastilah pemandangan yang akan mengejutkan mata bagi siapapun yang melihatnya. Tentu sembari makan, tak henti-hentinya mereka berdua melecehkanku dengan obrolan jorok mereka.
Mulai dari sesi sharing pengalaman Pak Udin menyetubuhiku berkali-kali tadi malam, bagian tubuhku yang paling sensitif, tarian erotisku, lubang pantatku, kemampuan ranjangku yang seperti bintang porno, dan lainnya yang cukup membuat kupingku panas dan mendidih antara urat maluku dan urat nafsuku, mereka mengobrol tentangku seakan aku hanyalah boneka seks yang kebetulan ada di dekat mereka saat ini.

Uggghh!! “panas” rasanya. Usai sesi melecehkanku, Pak Udin pun membantuku membereskan dan mencuci piringnya, aku sembari berkhayal, apakah fantasiku sebentar lagi akan terwujud yakni digumuli lebih dari satu pria sekaligus? Terbayang fantasi seksualku tentang Bang Jae & Pak Udin yang menancapkan ‘jarum super’ mereka melalui vagina dan anusku secara bersamaan sehingga aku tak ada pilihan selain pasrah terjepit di antara mereka dan menerima sodokan demi sodokan mereka yang terorganisir dengan baik.
Uggh, gatal sekali rasanya area intimku. Tiba-tiba Pak Udin memelukku dari belakang dengan kedua tangannya melingkar di pinggangku.
“saya beruntung bisa ketemu sama neng Hana...”.
“hihi...kenapa tiba-tiba, Pak?”.
“ya saya akhirnya bisa ngerasain lagi...hangat dan harumnya tubuh wanita....udah gitu...secantik dan semulus neng...”.
“hihihi...bisa aja, Pak...pokoknya mulai sekarang, kalau lagi pengen buang peju, cari Hana....hehehe...”.
“makasih banyak, neng....”.
“duuuh...yang lagi mesra-mesraan sama ibu tiri...”, ejek Bang Jae yang tiba-tiba ke dapur.
“eh...Bapak...”, spontan dia melepaskan pinggangku.
“Bang...sini...bentar...”.
“kenapa, neng?”.
“sekarang Hana lagi nggak subur....”, bisikku ke Bang Jae.
“maksudnya?”.

“kalau Abang mau...Bang Jae boleh crot di dalem sepuasnya”, bisikku begitu menantang karena merasa tak enak sudah membiarkan Pak Udin buang sperma di rahimku tadi malam, sementara Bang Jae belum pernah lagi setelah pertama kali kami berhubungan intim.
“serius, neng?”. Aku pun tersenyum manja.
“eh Din...bini lo nyariin nggak tuh? Semaleman lo nggak pulang kan? “.
“iya, Pak. Saya mau pamit pulang”, sepertinya Pak Udin bisa membaca situasi dan paham apa yang akan dilakukan ayahnya ini kepadaku.
“yaudah saya pamit dulu ya, Pak. Neng...”.
“iya, Pak. Ati-ati ya...”. Begitu, Pak Udin keluar, Bang Jae langsung mendekap tubuh bugilku.
“jadi tadi ada yang nantangin Abang?”, tanyanya sembari meremas kencang pantat kenyalku.
“hihihi...di bisikkin boleh crot di dalem...anaknya langsung di usir...”.
“biarin lah....lagian si Udin udah puas ngewein neng Hana semaleman kan?”.
“iya...hehehe...”.
“kalo gitu...hupphh..”, Bang Jae langsung menggendongku layaknya pangeran menggendong sang putri.
“sini....biar Abang bikin luber memek nih....”.
“sampe belepotan, Bang...”, bisikku menantangnya.
“siaap”. Tak perlu kuceritakan lagi kan? Sudah pada tahulah apa yang akan terjadi pada siswi SMA yang bugil dan tak henti-hentinya memancing nafsu pria tua di rumah yang kosong, yang ada hanya mereka berdua? Sudah pasti kabut nafsu langsung menyebar antara siswi SMA dan satpam sekolah yang sudah lansia ini dan hanya satu misi yakni membanjiri rahim si gadis SMA dengan air mani sebanyak-banyaknya.




Hana Tak Pernah Rapih di Rumah Jae



Home (Index Halaman)
Thanx suhu.. Semoga sehat Dan sukses selalu atas update nya
 
Sedikit bocoran dong itu hana jadi nikah sama aki aki ndak....?bocoran nya dong
 
Nuomeizi pensi kyk nya hu, di weibo nya udh gk aktif lgi, mungkin nikah trus pindah negara
Oh iya ya ? Padahal bening nya enak diliat..klo yang lain terlalu unnatural aja. Krn udh gk ada nuo mei zi, lg olengnya ke Zhu Ke Er sama Mei Qi gw hahaha
Thanx suhu.. Semoga sehat Dan sukses selalu atas update nya
Siaap, thanks suhuh
Mamtapppp gann
Siaap, Gan. Thx msh mau nunggu hahaha
Mancroooot ... Hana makin binal
Makasih updatenya om @TheGreatMag
Yoi...Hana makin menggila
Pas crot nya
Pake susu gk tuh?
Sedikit bocoran dong itu hana jadi nikah sama aki aki ndak....?bocoran nya dong
Gw demen ending yg nggak happy ending sh, terlalu cliche bagi gw hehehe
Hana mantappp
Sedaap
 
Bimabet
Uwooghh updetnya semakin ajib si hanaahg
Setuju suhu letsgo to unexpected ending hihihihihi
:beer::beer::beer::beer:
Semoga jd termasuk salah satu legend kbb
Hihihihi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd