Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Suhu ryu petualanganya papa buana sama om ron di share di sini dong hu
Jadi pengen tau asal mula kekuatan keluarga satria dari mana :pandaketawa:
 
Suhu ryu petualanganya papa buana sama om ron di share di sini dong hu
Jadi pengen tau asal mula kekuatan keluarga satria dari mana :pandaketawa:
waduh, gan. ane dulunya buat ceritanya dalam format manga. itupun masih culun abis waktu SMA duluuuuu banget. ada mencapai 4 volume tankoubon. masih disimpan tuh sama wf di lemari. ngegambarnya pun langsung di kertas F4 dilipat 2 jadi dapat 4 halaman pake pulpen pilot warna hitam... Ahhh... *masa muda yang menyenangkan*
 
waduh, gan. ane dulunya buat ceritanya dalam format manga. itupun masih culun abis waktu SMA duluuuuu banget. ada mencapai 4 volume tankoubon. masih disimpan tuh sama wf di lemari. ngegambarnya pun langsung di kertas F4 dilipat 2 jadi dapat 4 halaman pake pulpen pilot warna hitam... Ahhh... *masa muda yang menyenangkan*

yah itu enak hu jalan ceritanya dah tamat dari gambar jdi tulisan tambah bumbu ss sedikit
Ngomomg apa sih ane :bata: :benjol:
:ampun: suhu bukan y ane sok jago emang nulis itu susah buktinya ane g bisa nulis barang satu paragrafpun
Ane hanya penikmat bacaan suhu ryu yah siapa tahu suhu ryu mau berbagi :ampun:
Tamat quest
Rilis kembar nakal ya hu :pandaketawa:
:pandajahat: :banzai:
 
Kayaknya 3 hari sekali kelamaan deh...
 
========
QUEST#11
========​

Maria tidak terlihat saat makan siang. Begitu juga dengan beberapa anggota senior yang akan selalu mengelilinginya; seperti Merry, Gladys dan Ambar. Hera dan Meisya ada bersama beberapa anggota pemula dan menengah duduk di meja kekuasaan klub renang.
Sementara aku duduk tidak bersama mereka. Aku tidak suka eksklusivitas dan meja terpisah yang klub renang ciptakan untuk mereka. Seolah dinding pemisah kasta yang rasis. Aku duduk bersama Deswita dan Marisa di tengah kantin. Duduk di posisi agar aku bisa melihat siapa yang keluar masuk kantin. Maria tidak terlihat...
"Beneran, Tria?" kata Deswita berbisik penasaran. Pastinya ia telah dengar berita itu. Bahwa aku dan Maria melakukan pertaruhan. Aku pemenangnya dan Maria kalah. Sebagai hukuman Maria harus menyembahku saat jam makan siang di kantin ini.
"Beneran apa, sih?" kataku mengelak dan melirik melon super Marisa yang ditopangkannya di atas meja saat berpangku tangan melamun.
"Tarohanmu sama Maria itu, loh?" katanya gemes.
"Ah... Taruhan apa? Dosa tarohan itu... Judi!" kataku sok suci. Aku tahu sumber beritanya bisa dipercaya.
"Jangan sok keren gitu, lu sama gua, Tria?" gemes Deswita kupermainkan terus. "Bener gak sih?" desaknya lagi.
"Apaan sih yang kalian omongin?" tanya Marisa kepo–pengen tahu informasi. Ia tetap menopangkan dadanya di meja tanpa sadar. Sepasang melon itu nemplok di meja.
"Tentang kebenaran sejati... Mas Wahyu-mu itu homo..." kataku bercanda kelewatan.
"Ah... Elu, Tria? Mengalihkan pembicaraan... Maria?... Maria? Bener gak kalau Maria kalah tarohan dan harus menyembah elu disini sekarang?" kata Deswita mendekatkan mulutnya ke telingaku agar aku bisa dengar dengan jelas.
"Geli, Des... Kuping gue sensitif banget loh... Gue jadi horny, nih..." kataku bercanda terus.
"Kupingmu sensitif, Tria? Langsung horny?" tanya Marisa penasaran dan malah mengabaikan informasi tentang Maria barusan. Deswita malah merajuk dan melipat tangannya di depan dada dengan kesal.
"He-em... Kalau elu... Toge-mu itu yang sensitif, kan?" kataku menunjuk melon supernya dengan bibir dimonyongkan.
"Iya... Sensitif banget... Eh... Gak-enggak, ding?" katanya malah kaget terlambat. Lucu aku melihat ekspresi kedua teman baruku ini yang membuatku tertawa geli.
Tapi walau begitu, perhatianku tidak lepas dari siapa yang keluar masuk kantin. Maria belum kelihatan. Akan kutunggu jandamu... Eh... Akan kutunggu dirimu. Xixixixi.
--------​
Menjelang bel tanda istirahat makan siang berakhir, pukul 12:56. Maria akhirnya muncul juga sendirian. Ia berjalan dengan mantap dengan langkah lebar-lebar memasuki pintu kantin yang dibuka lebar.
Ia berhenti sejenak memperhatikan situasi dan menemukanku yang duduk di meja tengah ruangan. Mata kami bertemu. Ada rasa marah yang sangat panas di matanya. Rasanya pandangannya bisa membakar seluruh dunia ini berserta seluruh isinya hanya dengan pandangan sengitnya.
Begitu menemukanku, ia kembali berjalan, memutari meja yang menghalangi dan berhenti tepat di depan meja yang kupakai beramai-ramai dengan siswi Hati Murni lain.
Deswita dan Marisa sampai terbengong melihat Maria berdiri menghampiri kami. Ini sungguh diluar kebiasaannya. Aku duduk menyamping, menunggu aksinya. Seluruh pasang mata di kantin ini sekarang terpaku pada Maria yang sekarang ada di hadapanku. Seluruh siswi tanpa kecuali, guru, staf administrasi, petugas kantin. Semuanya.
Semuanya menunggu apa yang akan terjadi.
"Maria... Tunggu apa lagi?" kataku tersenyum lebar penuh kemenangan. Kutunggu reaksinya.
Dan saat kukira ia akan memukul wajah cantikku ini dengan gerakan cepat, Maria jatuh bersimpuh ke lantai. Keningnya dijejakkan ke lantai berdebu dan berpasir ringan. Kedua tangannya menahan tubuhnya dan lutut menapak.
Seluruh nafas seperti berhenti di kantin ini karena kagetnya semua orang. Pasti semua mata membelalak kaget, seperti Deswita dan Marisa di dekatku. Tak percaya kalau ini akan terjadi.
Ini suatu peristiwa yang sangat langka dan luar biasa. Akan selalu diingat dan dibicarakan selama beberapa tahun ke depan. Diceritakan turun temurun pada anak cucu dan generasi mendatang. Yang terakhir itu sudah keterlaluan memang. Keterlaluan boong.
"... aku mengaku kalah darimu..." katanya tegas.
Setelah itu ia bangkit dari sembahnya, balik badan dan pergi dari kantin ini dengan langkah lebarnya.
Untung ini masih siang, kalau tidak akan terdengar suara jangkrik menggesek kakinya ke sayap hingga berderik-derik. Tetap begitu sampai beberapa lama dan kesunyian dipecahkan oleh bunyi bel penanda waktu makan siang berakhir dan kegiatan belajar mengajar dilanjutkan kembali.
Semuanya bergerak dan bergerak mengalir melewati meja yang kududuki. Untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu, siapa gerangan yang telah mengalahkan Maria hingga gadis itu harus merendahkan diri dan menyembah inferior.
Kupasang wajah paling manisku. Moga-moga bukan senyum mesum yang keluar.
Pastinya setelah ini aku akan menjadi selebritis baru di sekolah ini. Seorang siswi baru yang mampu menaklukkan Maria, siswi dengan status yang spesial di Hati Murni dengan klub renangnya. Semua orang pasti akan mau berteman dan dekat denganku sebagai siswi populer baru.
Tiap sekolah pasti mempunyai kultus begini, siswa dan siswi populer akan selalu dikitari teman-teman yang mengidolakan dan membanggakan sang selebritis lokal itu. Si populer ini biasanya cantik atau ganteng, pintar, jago olahraga, kaya raya atau super lucu.
Nah kalau aku... Kriteria populer yang kuraih masuk dari segi kontroversial-nya. Secara aku gak cantik-cantik amat. Apalagi pintar atau jago di bidang tertentu. Kontroversi bisa menaklukkan si populer yang sudah ada sebelumnya.
Mabuk popularitas sejatinya memang melenakan. Kau akan terbuai oleh gelombang kesenangan sesaat itu. Untung saja aku tidak memasuki fase Hyper Ventilated hingga dehidrasi. Xixixixi
Kantin sudah kosong dan yang tertinggal hanya aku dan petugas kantin di balik konter-nya.
"XOXAM... Dimana dia?" tanyaku secara telepati dengan CORE pribadiku yang kukerahkan untuk mengikuti Maria. Lalu aku mendapat proyeksi bayangan apa yang sedang dilihat XOXAM. Aku melihat apa yang sedang dilihat CORE-ku itu.
"Disana kau rupanya..." gumamku menemukan Maria.
--------​
"Bagaimana lo bisa masuk?" kaget Maria melihatku sudah ada di tepian kolam renang milik sekolah ini. Maria sedang berenang malas-malasan di dalam kolam hanya dengan pakaian dalam saja. "Semua jalan masuk sudah kukunci dari dalam..."
"Ah... Tak usah kau pikirkan caraku masuk kemari..." kataku berjalan perlahan sambil menenteng sebuah batang kayu sapu yang kusandarkan di bahuku. Kuketuk-ketuk bahuku dengan kayu itu sembari berjalan menyisiri tepi kolam.
"Elo mau membalas gue dan membuat gue merasakan dinginnya kolam ini?" tuduhnya langsung dengan berang. Mukanya ketat sekali.
"Heh? Kau kira aku membawa kayu ini untuk menghalangimu keluar dari kolam? Memukulmu? Lha... aku cuma memakainya untuk memukul bahuku yang pegel, kok..." kataku ngeles dan semakin kuketuk-ketuk ke kedua bahuku bergantian. "Lagipula... caraku tidak seperti itu..."
Byur!
Dengan cepat aku nyemplung ke dalam kolam setelah sebelumnya kulepas seragamku, meninggalkan hanya pakaian dalam juga.
"Huahh... Seger, ya?" kataku setelah muncul di permukaan dekat dengan Maria.
Bukan buatan kaget Maria melihat semua tingkahku. Ini mungkin juga diluar perkiraannya. Aku melakukan ini juga dengan spontan dan penuh improvisasi dengan melakukan persis apa yang dilakukan Maria.
"Kalau bolos... kau selalu kemari, ya?" tanyaku tanpa menatapnya. Aku hanya berenang-renang ria. Renang gaya kodok. Berenang yang penting mengapung berputar-putar. "Tempat bolosmu keren... seluas ini hanya untukmu sendiri..." kataku menengadah ke langit-langit kolam indoor yang tinggi.
"Tapi kalau semua jalan masuk dikunci dari dalam begini... tidak akan ada yang bisa masuk kecuali yang sudah ada di dalam sini sebelumnya, kan?" kataku memberinya jawaban pertamanya, bagaimana aku bisa masuk. Lalu aku mencoba berenang gaya punggung. Aku malah kelelep.
"Apa kau tidak mau bertanya... bagaimana aku bisa bertahan di kolam ini tadi malam?... Apa kau kira aku menyuap semua penjaga itu?... Merayu mereka dengan tubuhku?... Atau memohon sambil menangis sejadi-jadinya?" kataku yang tenggelam dan timbul tiap kalimatnya. Aku berada di bagian kolam yang sedalam 2.20 meter.
"Oh... Tidak... Tadi malam saat pergantian shift penjaga... kau datang sendiri kemari untuk melihat keadaanku... So sweeeeett..." kataku lalu menyemburkan air dari mulutku berputar seperti komidi putar.
"HENTIKAN KEBODOHAN LO ITU!" hardik Maria berang.
"Waduh!... Kaget aku..." ini aku beneran kaget loh. Suer.
Maria beranjak berenang menuju tepi. Kemungkinan besar ia akan menyingkir dariku.
"MARIA! TUNGGU, MARIAAA!" teriakku lalu berenang membabi-buta. (Apa ada yang tahu bagaimana berenang membabi-buta? Mengayunkan tangan dan kaki sembarangan hingga air terciprat kemana-mana? Ini lebih tentang gaya berenang. Gaya bebas di kolam renang akan berbeda bila dilakukan di sungai, danau, empang ataupun laut. Air kolam yang relatif bersih tidak bisa dibandingkan dengan kualitas air di penampungan air alami seperti sungai, danau, empang atau laut. Benar! Tidak bisa diduga. Bisa bersih–bisa tidak bersih. Jadi kalau berenang di kolam renang dan menggunakan gaya bebas, seyogyanya, perenang akan membenamkan sebagian besar kepala dan mengambil nafas seperlunya dengan memalingkan wajah ke sisi tubuh. Di sungai/danau/empang/laut, hal ini tidak bisa dilakukan. Tubuh perenang akan sedikit ditegakkan hingga kepala selalu mencuat di atas permukaan air dan tangan serta kaki digerakkan seperti biasa. Dengan begitu perenang akan selalu tau apa yang ada di depannya. Entah itu perenang lain, karang, kayu atau bahkan tokai.)
Maria melindungi dirinya dengan kedua lengannya dari seranganku. Sebenarnya hanya air-air yang terciprat hasil gerakanku. Ia mengira aku akan menyerangnya.
"Maria? Kenapa?" tanyaku begitu aku sudah dekat di sampingnya. Kedua matanya terpejam erat dan tangan melindungi kepala dengan bersilang.
Sebelah matanya mengintip apa yang kulakukan karena air tidak terciprat lagi. Kedua tangannya turun dari persilangannya. "Apa mau lo??" tanyanya ketus. Auch!
"Jangan tinggalin aku sendirian... Kukira tadi ada laba-laba di punggungku..." kataku melongok ke belakang punggungku.
"Bodoh! Mana ada laba-laba di air..." hardiknya.
"Tapi ada kaki-kaki kecil panjang menggaruk-garuk punggungku tadi..." kataku melihat kanan-kiri kalau-kalau laba-laba itu muncul lagi.
"Itu rambut lo sendiri, anak idiot!" makinya.
"Ooh... Masa?" jawabku dengan tampang bego. Kugapai rambut basah sepunggungku yang kuikat dengan karet gelang. Kugoyang-goyang ke punggungku.
"Eh... Iya... Rambutku sendiri..." kataku malus. Malu sekali.
Muka Maria masih ketat menatapku. Tapi samar-samar aku sempat melihat senyum simpulnya. Setidaknya itu yang kubayangkan. Sejak beberapa insiden lalu, ia tak pernah bersikap manis lagi padaku.
"Apa Maria masih marah padaku?" kataku perlahan. Tidak seperti biasanya aku memakai nada seperti ini. Ini mode merayu. Ciee...
"Cih... Kenapa gue harus marah sama lo? Gue sudah bilang elo tidak akan betah di sekolah ini... Gue gak akan tinggal diam sampai elo keluar dari sekolah ini! Paham??" serunya.
"Maaf soal yang di kantin tadi... Aku tidak tau kalau itu membuat Maria malu... sampe harus bolos kemari... Maaf, ya?" kataku dengan nada memelas dan muka ditekuk dalam serta inferior.
"MAAF? Lu kira membuat gue menyembah elo di depan orang satu sekolah bisa diselesaikan dengan maaf? Enak banget? Elu mati sampe seratus kali juga tidak bisa mengganti rasa malu gue ini, TAU??" hardiknya dan menunjuk-nunjuk jidatku dengan jari telunjuknya.
"Maaf, Maria... Aku juga gak sempat ke kamarmu seperti yang kamu mau... Tapi kemarin malam aku sudah berencana pergi ke kamarmu... Tapi kau menyuruhku terus berendam di kolam... Gimana, dong?" kataku memelas.
"Sudah tidak perlu lagi..." ketusnya. "Elo bisa gaul terus sama si kutu buku itu atau si toked gede itu sekalian... Jangan coba-coba masuk ke klub renang lagi!" ultimatum Maria sengit sekali. (Si kutu buku mungkin Deswita karena ia sering ke perpustakaan untuk memakai internet di sana dan si toked gede pasti Marisa)
"Jadi aku dikeluarkan?" kataku tambah memelas. Kasihan sekali.
"Anggap saja elo tidak pernah masuk... Sudah!" katanya melengos dan menuju tepian kolam.
"Tolong, Maria!" kataku mencegahnya pergi dengan memeluk lengan dan tubuhnya. Kuharap ia segera merasakannya.
"Lepaskan! Lepaskan, anak idiot!" makinya berang. Ia menggerakkan tubuh kekar berotot gempalnya untuk lepas dari dekapanku. Tapi tidak bisa...
Tanganku sudah menelusup masuk ke dalam bra yang dipakainya dari bawah. Kuremas-remas payudara sekalnya perlahan. Memancingnya...
"Lepaskan tangan lo! Lepas!" desaknya merasa risih. Putingnya sudah mengeras karena pilinan jariku. Jempol dan jari telunjuk tangan kanan dan kiri bekerja ritmis seirama. Setelah dipilin, disentil-sentil bersamaan masih di dalam kungkungan bra-nya.
"Aaahhnn..."
Aku menghembuskan nafas hangat ke lehernya. Lalu kujilati kulit lehernya yang masih lembab karena air kolam. Tengkuknya langsung meremang menonjolkan pori-porinya yang mengembang. Hembusan hangat nafasku lalu menjalar ke telinganya saat wajahku mendesak rambut hitam sebahunya ke samping.
Maria hampir menyerah saat cuping telinganya kukulum. Lidahku melata di dalam telinganya hingga basah. Tanganku terus bekerja mempermainkan dadanya di dalam bra. Tangannya sendiri mulai melepas usahanya menyingkirkan tanganku.
Tubuh Maria mulai rileks dengan melakukan gerakan lemah bergoyang. Dadaku yang kudesakkan padanya mulai menggesek punggungnya. Tangannya mulai menjamah paha dan pinggulku.
Karena ia sudah tidak melawan lagi, bra miliknya kusingkap ke atas hingga payudaranya tidak terbungkus lagi. Putingnya terlihat tegang mencuat.
Kuremas-remas lembut kedua payudaranya dengan puting dijepit jari. Maria mulai mendesah. "Aahh..." Kupingnya masih kukulum dan kujilat. Pantatnya kutekan-tekan. Tangan Maria masuk meremas-remas pantatku. Kurasa ia sudah siap...
Begitu tanganku kurenggangkan, Maria langsung berbalik badan dan menyambar mulutku. Dipeganginya daguku dan dilumatnya bibirku dengan ganas. Mulutnya menelan kedua bibirku dan menyedotnya. Dihisap-hisapnya mulutku dengan penuh nafsu. Lidahnya lalu menyeruak masuk dan mengaduk isi mulutku. Tangannya yang sebelah lagi melepas kait BH-ku.
Dada kami saling mendesak bergencetan. Maria menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa hingga puting kami saling bersinggungan. Hangat tubuh kami berdua mengalahkan sejuk air kolam ini.
Tangannya di daguku dilepas dan ia mengangkat kaki kananku; berpegang erat di lipatan lutut lalu didesakkannya perutnya pada selangkanganku yang masih terlindungi celana dalam basah.
Menjawab itu, satu tanganku kuarahkan kebawah melewati bahan kain CD-nya dan satu jariku langsung menemukan belahan bibir vaginanya yang masih terasa dingin di rendaman air kolam. Maria terkesiap.
Jari tengahku langsung memainkan klitorisnya. Berputar-putar dan menyentil cepat. Kemaluannya mulai hangat. Mata Maria langsung terpejam dan mulutnya meringis seksi. Kulumat mulutnya.
"Ooohh..." desahnya.
Ia hanya bisa merangkulkan kedua tangannya ke leherku saat mulutnya kulumat dan vaginanya kuobok-obok. Jari tengahku sudah masuk ke dalam liang senggamanya. Ujung jariku sudah bermain di dalamnya. Mengorek-ngorek titik G-Spot-nya dengan jari yang kutekuk.
"Triaaaahhh..." desahnya lemas seiring getar tubuhnya akibat serbuan jariku yang bermain cepat di dalam liang senggamanya. Kudekap tubuhnya yang diserang orgasme agar tidak lepas dariku dan tenggelam.
Kedua kakinya kuangkat dan kukaitkan ke pinggangku. Ia menurut saja kala kugendong tubuh lemasnya ke pinggiran kolam. Kepalanya rebah lunglai di bahuku. Nafasnya hangat menerpa kulit punggungku yang terbuka.
"Enak, Maria?" tanyaku saat beberapa saat lagi langkahku di dalam kolam mencapai tepian.
"He-eh..." jawabnya sederhanan saja dengan dengusan lemah. Nafasnya masih hangat.
Maria diam saja saat kulambungkan tubuhnya keluar dari air dan terduduk di tepian kolam. Aku tetap di dalam kolam dengan posisi berdiri di antara kedua kakinya. Ia memalingkan wajahnya.
"Apa ada yang bilang kamu lucu kalau sedang begitu?" kataku memegangi kedua pahanya yang padat. CD-nya agak awut-awutan. Bra-nya juga masih di atas dada hingga kedua payudaranya menggantung indah.
"Biarin..." jawabnya.
"KIta lompatin aja kunjunganku ke kamarku itu... Tapi Maria mau, kan memaafkanku? Pertama... Membuat begitu banyak masalah hingga Maria marah padaku... Kedua... Menyebabkan Maria malu berat di kantin tadi... Ketiga... Tidak kunjung datang ke kamarmu... Mau, kan?" kataku sambil menggoyang-goyang pahanya.
"Ya... Tapi yang di kantin tadi belum..." sahutnya masih membuang muka.
"Loh... Maafin masak setengah-setengah gitu? Gak ikhlas maafinnya, Maria..." kataku.
"Terserah..." jawabnya khas anak perempuan yang lagi ngambek.
"Emm... Lagi ngambek nih ceritanya? Harus dilembutkan lebih-lebih lagi, nih!" ujarku mencari cara. Kulebarkan kedua kakinya dan kubenamkan mukaku ke selangkangannya.
"Aahhnn..." keluhnya kegelian. Hidungku kegesek-gesekkan ke gembungan bahan kain CD basah Maria. Belahannya segera terbentuk dan aroma khas kewanitaan segera menyeruak keluar.
"Maafin, gak?" kataku melepas wajahku sebentar dari jepitan pahanya.
"Gak!" jawabnya. Ia malah bersandar kebelakang dengan kedua sikunya. Kakinya membuka lebar. Meminta oral yang lebih dahsyat.
"Heehh... Rasain ini!" kataku membenamkan wajahku kembali ke selangkangan dua paha liat itu.
"OOohhh... Uuhhh... Mmmhh..." desahnya keenakan.
Kusibak kain CD-nya ke samping hingga mulutku langsung berhadapan dengan vaginanya yang menganga menantang. Vaginanya sudah lembab oleh pelumas.
Kusedot klitoris mungilnya yang sudah keras. Maria sampai melonjak mengangkat pantatnya mendapat sruputan bibirku. Klitorisnya kujepit dengan bibir lalu disentil cepat dengan ujung lidah. Maria menggelepar keenakan.
Belahan bibir luar vaginanya kulebarkan agar aku bisa melihat lebih jelas isi dalam kemaluannya. Liang senggama sempitnya berkedut-kedut mengeluarkan cairan kental. Melubrikasi tiap sentuhan mesra padanya. Bersiap-siap. CD-nya sudah lepas!
Cairan itu kujilat-jilat dengan rakus. Rasanya asin dan beraroma seperti pisang, asam dan tajam. Lidahku kuruncingkan dan kutusukkan ke dalam liang kewanitaannya. Maria melenguh-lenguh keenakan.
Ia sudah berbaring di lantai dingin tepian kolam sambil meremas-remas dadanya sendiri. Jilatanku makin liar dan lebar. Kusapu mulai dari anus sampai bagian atas tulang pubik-nya. Hasilnya Maria semakin menggelepar keenakan. Kedua pahanya yang dibuka lebar kuelus-elus untuk rangsangan tambahan.
Bakatku untuk membuat wanita orgasme dengan mudah kembali muncul tanpa kunanti. Hanya dengan jari yang kuputar di lututnya, Maria mengejang tiba-tiba. Punggungnya melengkung dan pahanya menjepit kepalaku dengan kuat. Kukunya dicengkramkan di atas lantai keras tak perduli.
"UUOOAaaahhhh!" serunya dengan tubuh berkejat-kejat tak teratur.
Kubuka kakinya yang masih membekap kepalaku dan kembali meraba lututnya dengan jari. Ia kembali berkejat-kejat walau lebih lemah. Biar ia merasakan nikmatnya orgasme sepuasnya.
Lemah kakinya lunglai di tepian kolam. Sebagian betisnya terendam air. Basah dan tak berdaya. Dari bukaan vaginanya mengalir perlahan cairan bening yang kujilati. Maria protes pelan kala lidahku kembali singgah di kemaluannya yang sangat sensitif saat ini.
"Maafin aku, ya, Maria?" kataku seperti tak merasa bersalah. Semoga dengan cara ini, ia bisa melepaskan egonya.
"He-em..." katanya lemah.
"Aseek..." balasku senang.
Aku memanjat keluar dan duduk di samping Maria yang masih berbaring di lantai dingin. Tetapi tubuhnya masih hangat oleh kenikmatan seksual barusan.
"Gantian, ya?" katanya berusaha bangkit.
"Gak usah, Maria... Kamu masih lemes, gitu..." tolakku dengan menahan bahunya dan mencegahnya bangkit. "Tiduran aja terus... Gak pa-pa, kok..."
"Tapi aku pengen gituin elo, Tria..." rengeknya.
"Ya... Nanti aja... Kita ngobrol-ngobrol dulu, boleh?" kataku.
"He-em..." katanya menurut dan tidak memaksa bangkit lagi. Aku tahu ia sedang memperhatikan payudaraku yang bergayut walau tidak begitu besar.
"Aku gak jadi dikeluarkan dari klub, kan?" mulaiku. Aku menendang-nendang air di depanku. Maria dari tadi terus memperhatikanku.
"Mm... Setelah yang tadi... gak jadi, deh!" kata Maria ringan. Ia tersenyum lebar.
"Setelah anumu kuobok-obok, ya? Hi... hi... hi..." kataku tertawa geli.
"Makanya gue maunya gantian elo yang gue obok-obok..." katanya bangkit dan menjawil dadaku. Ia mungkin sudah sangat ingin melakukannya. Penasaran dengan dadaku.
"Jangan, Maria... Aku masih perawan..." candaku sok imut dengan menyilangkan tangan di depan dada.
Kami berdua tertawa-tawa. Seakan tidak pernah ada masalah di antara kami berdua.
--------​
"Maria mulai kapan ikut klub renang?" tanyaku mulai interview-ku. Ini untuk mendalami karakter dan latar belakang targetku.
"Sejak masuk... Kelas VII... Hampir enam tahun-lah..." jawabnya. Ia juga menendang-nendang air di hadapan kami.
"Wah sudah lama, ya? Banyak, dong piala sama medalinya?" kagumku.
"Ada banyak di kamar... Elo belum jadi ke kamar gue, kan?... Liat sendiri, deh nanti..." katanya cukup bangga pada pencapaiannya.
"Dulu... waktu pertama masuk... apa yang membuat Maria pengen masuk klub renang..." tanyaku lebih jauh. Semoga dia mau terbuka. Memang ini terlalu cepat. Tapi tidak salah mencobanya.
"Klub renang dari dulu sudah asik seperti ini... Jadi gue yang masih imut begitu pengen aja masuk klub renang... Klub renang selalu klub nomer satu di Hati Murni..." jawabnya bangga dengan pilihannya.
"Mm... Maria... Mau nanya juga, nih? Apa dari dulu klub renang ini selalu jadi basis... lesbian?" tanyaku agak ragu. "Jangan tersinggung, loh?"
"Kenapa? Aku gak marah, kok... Memang seperti itu... Dari dulu juga seperti ini... Aku juga awalnya tidak mau... Tapi akhirnya mau... Elo coba aja dulu... Elo juga keliatannya suka, kan?" kata Maria ternyata tidak tersinggung dengan pertanyaanku tadi.
"Apa Maria tidak punya pacar?... Maaf, loh... Hera sama Meisya... Gladys sama Ambar... Merry sama siapa, tuh namanya?" tanyaku lagi. Aku tidak tahu nama pacar Merry itu.
"Merry sama Niken..." kata Maria melengkapi ketidak tahuanku. "Sekarang ini tidak ada... Makanya aku mau Tria yang jadi pacarku... Mau, ya?" malah Maria langsung menembakku.
"Pacar?" kagetku.
"Ya... Apa elo sudah punya cowo di luar sana?" selidik Maria. "Yang kudengar kalau elo sering berpindah-pindah sekolah dan tempat tinggal... Akan sulit punya cowo..." simpulnya sendiri.
"Aku tidak punya cowok..." jawabku singkat dan padat. Ini jelas! Karena aku tidak punya pacar cowok. Yang kupunya adalah banyak cewek. Koleksi cewek tepatnya. Kalau maksudnya pacar cewek, di hatiku hanya ada Carrie saat ini.
"Itu bagus... Terus tidak ada salahnya, kan coba pacar cewe?" rayunya.
"Karena di sini tidak ada cowoknya?" kataku mencoba menggali jalan pikiran para pelaku lesbianisme ini. Apakah ini karena situasi dan kondisi lingkungan? Atau kebutuhan? Atau memang desakan dari kelainan karena penyimpangan hormon dan ketertarikan semata?
"Salah satunya..." jawabnya.
"Apa Maria pernah coba pacaran dengan cowok?" ungkapku. Ini tentang pengalamannya. Kalau ia sudah ada di sini sejak kelas VII (lulus SD), pasti ia tidak akan pernah lagi berinteraksi lagi dengan remaja pria seumuran dengannya. Pengalaman berbaurnya dengan laki-laki akan terbatas pada guru-guru pria yang ada di sekolah ini saja dan jumlahnya sangat sedikit. (Mayoritas bejat pula)
"Cowo, kan manusia yang menyebalkan... Maunya menang sendiri... dan juga tak berperasaan!" ketusnya.
"Wow?" kagetku melihat ledakan emosinya. "Cewek juga, kan juga manusia yang menyebalkan, mau menang sendiri dan juga tak berperasaan..." lanjutku menimpali tuduhannya. Tidak salah, sih perkataannya. Tapi tidak semuanya. Aku tidak begitu. Papaku juga tidak. Oom Ron tidak juga. Kebanyakan lelaki di keluargaku sangat bertanggung jawab pada tugas dan keluarganya.
"Tapi semua cowo menyebalkan!" sergahnya.
"Mm... Tidak semua cowok, Maria... Mungkin ada yang begitu menyebalkan... Sangat menyebalkan mungkin... Tapi tidak semuanya... Papaku cowok yang baik... Orang tua yang menyenangkan... Ngerti sama anak-anaknya..."
"Papa gue cowo paling brengsek di seluruh dunia!" sergahnya meledak.
"O-K..." gumamku pelan. Ia punya masalah dengan orang tua lelakinya. Apa ini seperti masalah seperti dengan April beberapa bulan lalu? ZODIAC CORE pertamaku yang dimiliki April memiliki kasus seperti ini. April sangat haus belaian kasih sayang papanya hingga menyebabkannya membayangkan semua pria yang dekat dengannya lekat dengan figur papa. Tiap mereka pergi, April akan mencari lagi sosok lain dan kemudian kembali kecewa. Father Complex Syndrome.
"Papamu tidak pernah punya waktu untukmu?" tebakku. Aku enggan memakai SHADOW MIND untuk mengetahui ini padahal akan lebih mudah karena sekarang ini, semua memori kenangan buruk tentang papanya akan ada di permukaan pikirannya.
"Orang itu meninggalkan mama gue waktu gue dan adik gue masih kecil untuk kawin sama perempuan yang lebih cantik dan lebih kaya... Mama gue patah hati dan mabuk-mabukan sampai jatuh pada lelaki bejat lainnya... Kawin dan punya anak lagi... Papa tiri gue kawin lagi dengan perempuan lain dan meninggalkan anaknya untuk dibesarkan mama gue sampe sekarang... Mama gue kerja keras banting tulang membesarkan kami berempat sementara papa tiri brengsek itu malah enak-enakan di penjara minta duit terus sama mama gue... Apa cowo gak brengsek??!" serunya mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Maria mengepalkan tangannya berapi-api. Matanya sembab dan mulai merah.
Aku tak mampu berkata-kata. Suaraku tak sanggup keluar. Penderitaan Maria dan keluarganya sangat berat. Aku hanya bisa mendinginkan dan meredakan amarahnya dengan dekapan eratku. Kupeluk ia dengan seluruh tubuhku. Kukecup pelipisnya. Tubuhnya hangat.
--------​
"3-36..." gumamku begitu aku ada di dalam kamar ini. Susunannya sama persis seperti kamarku bersama Hera dan Meisya; dan kamar-kamar lainnya.
Yang membuatnya berbeda adalah di sini hanya ada dua ranjang single bed. Posisi ranjang ketiga dipenuhi oleh berbagai barang berupa kotak-kotak berbagai ukuran, gulungan terpal plastik, tumpukan buku dan kertas, beberapa kantong plastik dan juga tas yang ditutup kain lebar bekas sprai.
Satu ranjang yang posisinya sama dengan milikku di 3-41, diisi oleh seorang siswi cantik bernama Ranti. Ia juga anggota klub renang dan ia langsung pergi begitu kami berdua masuk kamar ini. Sementara ranjang milik Maria ada di posisi yang sama dengan milik Meisya. Sehingga ruang kosong yang diisi barang-barang itu ada di tengah kamar.
Pada bagian ranjang Maria, ia menambahkan tirai penutup dari kain. Memisahkan ia dari bagian lain kamar. Dunianya sendiri. Yang pasti juga tidak akan berani diganggu siapapun. Ide bagus juga, nih. Kenapa Hera dan Meisya tidak meniru ini, ya?
"Eh... Ide bagus, nih... Pakai tirai begini..." kataku menyibak tirai pemisah itu dan aku sudah ada di dalamnya. Susunan daerah privasi Maria ini kurang lebih sama saja dengan yang lain. Yang berbeda adalah rak buatan sendiri yang menampung banyak piala dan medali yang pernah dimenangkannya. Meja belajarnya juga biasa saja; beberapa buku, alat tulis dan beberapa figura foto dan lainnya digantung di dinding.
"Gue juga niru kamar senior dulu..." jawabnya sambil membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti. Aku duduk di kursi belajarnya.
"Senior yang ini?" tanyaku menunjuk pada foto di dinding berukuran paling besar dan menyolok dibanding yang lainnya. Ada foto Maria yang lebih muda bersama seorang gadis cantik berambut panjang dalam balutan seragam sekolah Hati Murni. Senyum senior Maria itu sejuk dan menenangkan. Sedang Maria hanya tersenyum kecil tetapi kelihatan ia sangat bahagia di dalam foto itu. Seperti seorang fans yang berhasil berfoto bareng artis idola pujaannya.
"He-em... Itu kak Frissa... Ia tamat 3 tahun lalu... Ia sekarang kuliah di UGM Jogya jurusan Kedokteran... Ini dulu juga bekas tempat tidurnya... Aku dulu tidur di tempat tidur Ranti sana..." jelasnya mendekat dengan memegang baju gantinya.
"Jadi setelah ia lulus... kau ambil tempat tidurnya kak Frissa ini..." simpulku. Ia memang fans senior itu.
"Ya... Begitulah... Kak Frissa adalah siswi paling cemerlang di Hati Murni... Selalu juara umum... Medali emas Sea Games... Pinter... Cantik... Dia juga ketua klub renang sebelum aku... Piala dan medalinya lebih banyak dari yang pernah kumenangkan... Dia memang bintang..." jelasnya.
"Wow? Maria sepertinya kangen dengan kak Frissa ini, ya? Apa aku perlu meninggalkan kalian berdua saja... He... he... he..." candaku.
"Ah, elu..." balasnya menonjok ringan lenganku.
"Mau kemana?" tanyaku yang memandanginya yang beranjak keluar dari kungkungan tirai pemisah ini.
"Ganti baju... di kamar mandi..." jawabnya memberi tanda menunjuk ke arah kamar mandi kamar ini.
"Yah... Maria... Kayak sama siapa aja... Ganti pakaian pake ke kamar mandi segala..." kataku. Apa dia masih kikuk? "Di sini aja, napa?" sambungku.
"Ng?" jawabnya ragu. "Di sini aja?" pastinya lagi.
"Malu, ya? Kan udah keliatan semua... Masak masih malu juga?" kataku. Kuraih kancing teratas kemeja putihku dan kubuka semuanya. Kulepas seragam itu tanpa ragu di depannya. Aku sudah tidak memakai BH dari tadi karena semua pakaian dalamku dan Maria basah saat berenang barusan.
"Pinjem celana dalam Maria, dong?" pintaku. Maria masih melongo memandangi tubuh bagian atasku yang telanjang. Aku berdiri dan meloloskan rok tartan itu juga. Sehingga aku bugil di depannya.
Maria meneguk ludah.
Kubuat diriku jadi sebegitu lancang dan membuka lemari pakaiannya. Pakaiannya disusun bertumpuk berlipat berdasarkan jenisnya. Kemeja, kaos, celana jeans, celana kain, celana pendek, CD dan juga BH. Sementara seragam sekolahnya digantung di hanger beserta beberapa pakaian yang terlihat penting dan mahal.
"Pinjem yang ini, ya?" kataku mengambil CD teratas yang berwarna kuning muda. Segera kupakai dan ternyata cukup pas. Lalu kemudian kupilih sebuah kaos T-Shirt berwarna putih dan juga kupakai. Nyaman...
Aku lalu duduk di atas ranjangnya dan membuat diriku nyaman dengan menunggunya berganti pakaian.
Dengan ragu-ragu Maria melepas pakaiannya hingga ia juga bugil di depanku. Aku ajak ia berbicara agar ia tidak tegang dan lebih rileks. Berhasil juga ia mengganti pakaiannya di depanku. Ia memakai kaos T-Shirt juga tanpa BH dan celana pendek. Kujangkaukan tanganku mengajaknya duduk bersamaku di atas ranjangnya.
"Kita ngobrol-ngobrol, ya?" kataku saat ia sudah duduk di depanku.
"Ngobrolin apa?" katanya kikuk.
"Ng... Apa aja... Kemarin-kemarin Maria nyuruh aku kemari mau ngapain?" tanyaku balik.
"Mm... mm.. Itu... Anu..." katanya bingung tambah kikuk.
"Ah... Aku ingat!" seruku. "Maria bilang kalau aku spesial karena hanya padaku Maria mau mulai menyerang... Kalau anggota baru lainnya... Maria hanya nonton aja dari jauh... Benar, kan?" kataku ingat kata-katanya beberapa hari lalu saat audisi masuk klub renang waktu itu.
"Benar..." jawabnya singkat.
"Kenapa? Kenapa aku berbeda bagi Maria?" desakku.
"Gak tau... Gue gak tau?" jawabnya. Ia masih belum juga paham. Apa yang membuatnya tertarik padaku.
"Apa karena aku cantik? Ranti itu (teman sekamarnya) bahkan lebih cantik dariku... Apa karena aku seksi? Yani jauh lebih seksi dariku... Jadi apa?" rongrongku terus.
"Tria berbeda aja... berbeda dari yang lain..." lanjutnya.
"Berbeda? Apa? Apa aku keliatan banget terlihat seperti cowok, ya?" tebakku. Mungkin karena aura kelaki-lakianku masih kental. Tulen, loh?
"Mungkin... Tapi Tria cewe tetapi ada yang sangat berbeda... Gue tidak tau apa... Pokoknya berbeda aja..." bingungnya sendiri.
"Gini, loh... Kita kodratnya ditakdirkan berpasang-pasangan... Berpasangannya-pun berbeda jenis... Semua juga begitu untuk mendapatkan keseimbangan... Ada postif dan negatif... Ada siang dan malam... Ada baik dan buruk... Ada laki-laki dan perempuan... Ada Yin dan Yang... Ada terang dan gelap... O... Itu hampir sama dengan siang-malam tadi... Intinya semua berpasangan..." mulaiku.
"Aku sih tidak masalah dengan preferensi seksual kalian kalau kalian lebih menyukai sesama jenis... Perempuan suka perempuan... Aku fine-fine aja... Itu hak kalian semua... Yang kupertanyakan adalah alasannya... Apa alasannya kalian menyukai sesama jenis... Alasan mendasar... Apa tidak menyalahi kodrat? Moga-moga cuma karena masalah situasional saja karena tidak ada cowok sepantaran kita di sini..." lanjutku.
"OK... Maria beralasan kalau semua laki-laki itu brengsek karena mendapat dua contoh dari dua figur ayah brengsek yang menelantarkan keluargamu... OK... Dua lelaki itu memang brengsek... Tapi tidak semua lelaki brengsek, kan?... Papaku lelaki paling baik di dunia menurutku... Jadi stereotip semua lelaki brengsek Maria sudah dipatahkan oleh papaku dan lelaki-lelaki baik lainnya... Itu tidak menjadi alasan yang kuat, kan?" kataku. "Silahkan..." aku memberinya kesempatan berbicara.
"Kenapa Tria sangat bersemangat membicarakan masalah ini? Tidak pernah ada yang membicarakan preferensi seksual ini sebelumnya... Tria seperti menentang praktek... praktek lesbian ini... Tapi Tria tadi bercinta denganku seperti lesbian sejati lainnya... Apa korelasinya?" Maria malah mempertanyakan motifku.
"Bagus... Itu pertanyaan yang sangat bagus sekali... Bagaimana kalau kukatakan kalau aku ini sebenarnya cowok tulen yang sedang menyamar menjadi cewek? Bukankah itu artinya aku bukan lesbian karena aku bercinta denganmu seperti hubungan cowok kepada cewek biasa?" jawabku mencoba memancingnya. Coba lihat apa reaksinya kalau mendengar hal aneh seperti ini.
"Ah. Tria becanda mulu. Kalo cuma nyamar masa sampe titit-tititnya juga ikut dibuang trus diganti meki begitu. Gak lucu, ah!" jawabnya termakan bualanku yang sebenarnya kebenaran.
"Beneran, loh..." lanjutku tak menyerah.
"Gue gak percaya kalau Tria nyamar begitu. Cari alasan yang lebih canggih, kek? Apa gitu?" katanya tetap tak percaya.
"Kalau begini... Sebenarnya di dalam jiwaku berontak sifat maskulin yang lebih dominan. Aku terperangkap di dalam tubuh yang salah sejak lahir. Aku lebih menganggap diriku sebagai lelaki yang berpenampilan feminin..." cobaku kemudian. Sepanjang bualanku, ia tetap memandangi mataku. Seolah mencoba menilai kebenaran kata-kataku.
"Itu lebih bagus... Suer, itu lebih masuk akal..." katanya mulai tersenyum lagi.
"Jadi kalau dengan alasan itu, aku boleh dekat dengan Maria, ya?" kataku lagi. "Boleh, gak?" tembakku.
"Hmm... Gimana, ya? Mmm?" katanya malu-malu sambil menunduk dan memainkan bibirnya ke kanan-kiri miring. Sumpah! Kalau begitu, ia terlihat jauh lebih menarik daripada muka juteknya yang dipamerkannya beberapa hari terakhir saat kami bersiteru. Imut-imut gimana, gitu.
"Maria lagi gak dekat dengan siapa-siapa, kan?" tanyaku mencoba mengorek isi hatinya. Apakah keinginannya sama dengan keinginanku. Walau samar-samar dengan pembacaan yang rumit dengan SHADOW MIND, aku bisa yakin kalau ia suka padaku.
"Kita coba jalan dulu, ya?" jawabnya akhirnya. Padahal dari pembicaraan kami pertama, dia duluan yang nembak aku. Apa dia lupa, ya karena terlalu senang.
"Hmm... Bagus, deh..." kataku coba memberikan senyum terbaikku. "Apa Maria percaya dengan pengakuanku tadi?" tanyaku kembali.
"Yang mana? Yang kalau sifat maskulin-mu lebih dominan di perangkap tubuhmu ini?" katanya tentang alasan versi keduaku.
"Ya, yang itu. Apa Maria percaya itu?" pastiku lagi.
"Terserah Tria mau buat alasan apapun... Mungkin itu memang benar... Tria memang terliat berbeda dengan kami-kami ini. Kami memang suka sejenis... cewe sama cewe... Tapi Tria berbeda sendiri walau memang juga suka cewe... Tria suka aku, kan?" bebernya. Baru kali ini ia menggunakan kata aku. Bagus, kah ini? Mudah-mudahan.
"Ya... Ada alasan kenapa aku suka Maria... Ini alasan utamanya. Aku suka Maria sebagaimana cowok seharusnya menyukai cewek... Ini tentang kodrat tadi yang kubicarakan kalau semua berpasang-pasangan. Seorang lelaki seharusnya mempunyai pasangan seorang perempuan. Aku yang lelaki memang sudah sewajarnya suka pada perempuan. Entah suka secara perasaan, seksual, fisikal atau mental. Pokoknya suka saja. Itulah yang wajar... Apa Maria setuju dengan ini?" kataku lagi tentang prinsip dasar ini.
"Itu... Sewajarnya memang begitu... Itu karena Tria menganggap diri Tria itu cowo, kan? Kalau begitu, itu benar. Aku setuju..." jawabnya.
"OK. Bagus. Sekarang kita sudah sepaham. Prinsipnya sudah kita setujui bersama-sama. Aku yang jadi cowoknya... dan Maria sebagai ceweknya... Begitu, ya?" kataku seperti membagi peran dalam permainan anak-anak dulu. Permainan pura-pura membentuk keluarga. Ada yang berperan sebagai suami, istri, anak, babu, tukang kebun dan lain-lainnya.
"Kalau Tria maunya begitu... Aku cewenya..." katanya dengan senyum tertahan, menahan tawa lebar karena ini semua mulai terdengar lucu.
"Kenapa? Lucu, ya?" tanyaku memperhatikan wajahnya.
"Tria lucu, ih. Masa kaya bagi-bagi peran drama aja? Memang kalau jadi cowonya, Tria bisa punya titit?" kata Maria mulai tergelak konyol oleh fantasinya sendiri.
"Bisa kuusahhakan, Maria... Eh, kalian biasanya pake apa? Dildo gitu?" tanyaku pengen tahu cara bercinta hardcore mereka. Karena yang kualami sendiri masih dalam tahap petting. Tidak ada benda-benda tertentu yang mereka pakai sebagai alat bantu misalnya dildo, vibrator atau timun sekalian.
"Ya... biasanya sih cuma pake mulut. Petting-petting aja... Paling banter masukin jari... Tapi sudah cukup puas, kok" katanya tetapi masih ada yang disembunyikannya.
"Masa, sih?" desakku.
"A-ah, Tria. Ganjen, ah. Kamu yang tiap hari sama Hera dan Meisya... mereka biasanya pake alat, gak?" katanya mengalihkan pembicaraan dari dirinya.
"Yang sering kulihat mereka berdua pake gaya gunting gitu... Meki sama meki diadu. Digesek-gesek gitu..." kataku mengingat apa sering kulihat kala menangkap basah mereka berdua di kamar.
"Sebenarnya Hera punya vibrator... Dia beli waktu di Bali kemarin. Entah sudah dipake atau belum? Katanya mau kasih kejutan untuk Meisya..." bisiknya mendekatkan mulutnya ke telingaku. Aku bergidik geli. Bukan karena tentang vibratornya tapi karena nafas hangatnya di telingaku.
"Vibrator? Yang gede?" mencontohkan ukuran perkiraanku dengan tangan. Sekitar 15 cm.
"Yang kecil... Bulat eh oval... Ada kabel ke tempat batrenya" jelas Maria memberi petunjuk ukuran vibrator itu dengan jari membulat. Berdiameter 4-5 cm.
"Kalo Maria punya, gak?" kataku melirik ke lemari pakaiannya. Kalau ia punya benda semacam itu, pasti akan disembunyikan di sana.
"Ih, apaan, sih? Gak lah... Untuk apa benda begituan. Yang biasa-biasa aja napa?" katanya kheki. Tapi ia keliatannya salah tingkah yang membuatku semakin yakin kalau sebenarnya ia memiliki satu atau dua alat pemuas itu. Apa yang dilakukannya saat sendiri di ranjang ini kala nafsunya tiba-tiba naik. Yang paling mudah adalah masturbasi dengan tangan atau dengan bantuan alat. Pertanyaannya, alatnya apa sekarang?
 
Bimabet
yah itu enak hu jalan ceritanya dah tamat dari gambar jdi tulisan tambah bumbu ss sedikit
Ngomomg apa sih ane :bata: :benjol:
:ampun: suhu bukan y ane sok jago emang nulis itu susah buktinya ane g bisa nulis barang satu paragrafpun
Ane hanya penikmat bacaan suhu ryu yah siapa tahu suhu ryu mau berbagi :ampun:
Tamat quest
Rilis kembar nakal ya hu :pandaketawa:
:pandajahat: :banzai:
kalau kembar nakal nanti aja deh... ane fokus dulu ke quest#12 dan ending quest ini...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd