Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Bimabet
ya bro. kekurangan bahan nih... jd terpaksa harus dibuat jadwal begini Senin-Kamis begini. ampun-ampun klo nanti Quest#12 Pisces nanti jadi...
.
.
.
.
.
seminggu sekali...
ampyuuuun.

Bukan masalah besar Suhu...sminggu skali tu dah cepet banget mnurut ane ditngah keterbatasan bahan dr suhu...dan skaligus membuat pembaca yang setia smkin rindu...
 
itu si satria gk ke ganggu ama melon nya itu goyang-goyang :ngiler:
 
Waktuku masuk ke kamarku di 3-41, Hera dan Meisya sepertinya juga baru selesai dengan ritual cumbu pagi mereka. “Pagi, Lovebirds?” sapaku.
“Pagi, Tria...” sapa balik Hera yang tersenyum melihatku masuk. Meisya diam saja dan menunduk dan menutup dirinya dengan handuk tebal.
“Aku mandi duluan, ya? Badanku lengket semua, nih...” kataku tanpa sungkan lagi melepas seluruh pakaianku. Mengumpulkannya jadi satu dan memasukkannya ke keranjang pakaian kotorku. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhku dengan shower.
Segeeerrr...
Aku masih bisa merasakan sedotan mulut Maria di puting payudaraku. Rasanya geli dan nikmat. Kuremas-remas dadaku sembari air dingin shower terus mengguyur. Rambutku kukeramas dengan shampo wangi rekomendasi Putri. Kemudian kubaluri diriku dengan busa sabun cair dan kugosok dengan spon pinjaman milik Hera.
Selesai mandi kukeringkan tubuhku lalu keluar kamar mandi dengan membalut pinggangku saja dengan handuk. Kebiasaan sehabis mandi seorang cowok yang bertelanjang dada. Akhirnya aku mendapat pandangan heran Hera dan Meisya yang melongo melihat dadaku tanpa penutup sama sekali.
“Kenapa? Heran, ya?” tanyaku saat mata mereka mengikutiku sampai aku membuka lemari pakaianku. “Apa aku seksi banget, ya begini?” godaku pada keduanya. Yang pertama kukenakan adalah CD.
“Tadi malam... Tria nginep di tempat Maria?” tanya Hera hati-hati.
“Ya... Betul sekali... Kami sudah baikan... Aku yang jadi cowoknya... Seperti kamu, Her...” jawabku merapikan tali braku yang melintir. Kuposisikan cup bra agar pas menampung kedua payudaraku.
“Eh... Apa kalian pernah pake dildo-dildo-an gitu, gak? Enak banget, loh...” kataku saat memastikan bagian depan rok tartan ini. Lalu kaki masuk satu per satu. Restletingnya ada di bagian samping kiri rok tartan.
“Sangat well-recommend, deh...” lanjutku lalu memakai kemeja putih seragam sekolah berlogo Hati Murni di dada kiri. Kancing satu per satu kumasukkan ke lubangnya. Lalu bagian bawah kemeja itu kusisipkan ke dalam rok tartan. Rok kuangkat sedikit agar ujung bawah kemejaku bisa kutarik hingga rapi. Seragam sekolah selesai dipakai. Tinggal ngurus rambut yang masih basah dan make-up seadanya. Bego, ya? Harusnya rambut duluan yang diurus. Dikeringkan atau dibalut handuk.
Dasar perempuan jadi-jadian...
--------​
Kehidupanku di sekolah ini sudah mulai tenang dan normal dengan sudah kutaklukkannya Maria. Di kalangan anggota klub renang, aku sudah cukup eksis sebagai pasangan Maria, sang ketua klub. Tidak hanya itu jabatanku, kemampuan renangku yang cukup cepat bisa mengalahkan catatan waktu tercepat Maria sekalipun saat latihan terakhir itu.
Yang menjadi pikiranku sekarang ini adalah masalah Revolusi itu. Hera dan Meisya kembali mendesakku untuk mengungkapkan itu. Apalagi dengan status tidak langsungku yang cukup berpengaruh saat ini.
Hari ini, hari Kamis. Latihan keduaku bersama klub renang. Apa pada saat itu saja, ya kusampaikan rencana revolusi ini? Tapi siapa aku? Apakah aku benar-benar punya hak bersuara di forum itu?
Sejauh ini aku memang sudah sukses membuat kericuhan dan kehebohan di klub elit sekolah Hati Murni ini. Membuat kepala dinas pendidikan kota tercebur kolam, konfrontasi frontal langsung dengan Maria, memenangkan taruhan dengan Maria yang membuatnya bersujud padaku dan sekarang jadian dengan Maria.
Tidak ada salahnya kalau aku membuat kericuhan baru, kan? Kalau tidak berhasil, aku tidak rugi...
--------​
“Permisi semuanya...” seruku memecah perbincangan semuanya setelah latihan hari ini sampai sore. Semua anggota klub renang duduk-duduk di tepi kolam sambil minum air mineral dan berbincang ngalor-ngidul-ngulon-wetan.
Aku mengacungkan tanganku tinggi-tinggi ke atas berusaha mendapatkan perhatian semua orang. Semua anggota klub renang. Baik junior, menengah maupun senior. Aku sampai berdiri dan berjalan ke tengah-tengah kumpulan terbanyak anggota klub renang berada.
“Ada apa, Tria? Ada yang ingin kamu sampaikan atau tanyakan?” tanya Maria walau tak semanis tadi malam yang kuingat tapi ada senyum tipis di mulutnya. Mungkin untuk menjaga wibawa.
“Ya... Ada... Terima kasih, ketua... Begini. Saya ada beberapa uneg-uneg yang sangat mengganggu pikiran saya belakangan ini...” mulaiku dengan rencana Revolusi ini. Hera dan Meisya menatapku tajam, berharap rencana ini bisa terlaksana.
“Coba bagi uneg-uneg-mu itu... siapa tau kami bisa membantumu... Apalagi kamu itu masih baru di sini...” kata Maria berbaik hati. Ini perubahan drastis bagi Maria. Kalau sebelumnya, aku pasti sudah didamprat abis-abisan.
“Tentang prestasi klub renang yang membanggakan sekolah kita ini... Saya sangat takjub sekali sekaligus heran... Mungkin saja saya salah jadi tolong dikoreksi... Saya lihat perolehan medali emas selama tiga tahun terakhir ini terus menurun... Walaupun tetap mendapat medali emas tersebut... tetapi hanya diperoleh dari satu individu saja... Tak lain dan tak bukan adalah ketua klub renang kita sendiri... Saudara ketua Maria orangnya... Mohon maaf bagi anggota-anggota yang lain... Junior, menengah dan terutama senior... Karena hanya anggota senior yang diikut sertakan dalam pertandingan sejenis turnamen atau kejuaran... Yang terakhir saya dengar... target kita pada Kejuaran antar klub tingkat Regional bulan Maret nanti adalah Juara Umum. Apa itu tidak muluk-muluk? Bagaimana mungkin kita mengirim semua perenang kita dan hanya Maria yang mendapat emas sementara yang lain paling banter dapat perak. Juara Umum itu sangat mustahil dari segi statistik...” seruku sejelas-jelasnya. Ini pasti akan sangat menohok semua anggota senior. Mengguncang!
“Itu uneg-uneg-ku yang pertama... Yang kedua... Status anak emas klub renang di sekolah tercinta kita ini... Sepintas lalu memang sangat menyenangkan... Guru-guru tidak mau mengusik kita dan tanpa belajar sekeras siswi lain, kita tetap mendapat nilai bagus... Minimal B minus! Untuk apa semua itu? Semua nilai-nilai palsu itu tidak akan ada gunanya kalau kita keluar dari sekolah ini dan terjun langsung di masyarakat... Mereka tidak perduli dengan megahnya klub renang kita ini... Bisa apa kita di luar sana? Siapa sekarang juara Umum di sekolah ini? Seorang cewek yang tidak ikut klub manapun, kan? Kata temanku–sebaran siswi 10% yang tak ikut klub manapun. Selama hampir seminggu di sekolah ini dan dua kali latihan bersama klub renang... hampir tidak pernah kudengar ajakan belajar bareng, diskusi bersama, kerja kelompok... Hei! Kita di sini untuk belajar untuk menjadi berguna suatu hari nanti. Kalau Maria sendiri mungkin di masa depannya akan berhasil sebagai atlit renang yang hebat... Tapi kita-kita ini? Yang sekalipun gak pernah dapat medali emas? Apa yang kita bisa lakukan? Membuat masa depan kita sendiri menjadi suram? Belajar seadanya walau dapat nilai bagus tapi di dunia nyata diluar sana kita gagal!” kataku semakin bersemangat. Kolam renang indoor ini senyap. Hanya suaraku yang terdengar membahana. Aku tidak yakin kalau pengaruh PROVOKE-ku terikut atau tidak kali ini.
“Yang paling berbahaya... Kehancuran perlahan klub renang yang sama-sama kita cintai ini. Kenapa kehancuran klub? Maria sebagai satu-satunya pemeroleh medali emas di klub ini... mau tidak mau harus keluar! Maria, aku sendiri dan beberapa anggota senior sudah kelas XII semua, kan? Sebentar lagi akan ujian akhir, kan? Tamat! Selesai! Dan bye-bye klub renang Hati Murni! Kenapa? Karena setelah sepeninggal Maria, tidak ada lagi anggota yang bisa memenangkan medali emas. Berapa lama klub bisa bertahan begitu? Setahun-dua tahun? Aku tidak bermaksud menakut-nakuti kalian... Terutama kalian para junior... Kalian bisa ucapkan selamat tinggal pada status anak emas seperti sekarang ini... Guru-guru dan mungkin sekolah akan sudah bosan menunggu prestasi yang tak kunjung datang... Pemalas-pemalas yang sudah terbiasa tidak belajar akan terkaget-kaget dapat nilai D... Itulah yang akan segera terjadi. Sekian dari saya. Terima kasih atas kesempatannya...” kataku lalu mundur dari tengah kerumunan orang banyak dan berbaur dengan yang lain.
Lalu mulai terdengar gumaman kecil. Berawal dari bisik-bisik kanan-kiri. Bergunjing dan berkomentar. Lalu pekikan kaget mulai terdengar di sana-sini. Terperangah tak percaya dan mulai sudah kericuhannya. Aku tak begitu mengantisipasi keadaan ini. Tapi kira-kira inilah yang sudah dibayangkan Meisya.
Hera dan Meisya mendekatiku. Hera menepuk bahuku tanpa suara. Tapi dari ekspresinya aku bisa menangkap makna, ‘Kau sudah mengatakannya, teman. Kita liat kemana ini akan berujung’
Meisya hanya manggut-manggut memperhatikan sekelilingnya. Menunggu tanggapan dan reaksi orang-orang.
“Semuanya harap tenang...” kata Maria menengahi keadaan yang mulai tak pasti. Ia berjalan dengan tegas ke tengah kerumunan. Tempat tadi aku berdiri.
“Satryani... Kita baru saja kenal... Tapi pemikiranmu sudah banyak mengubahku... Secara pribadi aku mengakui kalau semua yang kau katakan tadi itu benar adanya... Tidak ada yang salah sama sekali... Masalah medali emas... Itu betul... Masalah anak emas tadi juga betul... Apalagi masalah kita akan segera meninggalkan sekolah dan klub... Sangat betul sekali...” ungkap Maria ternyata hatinya sangat terbuka.
“Dan karenanya... dengan ini saya menyatakan diri mengundurkan diri sebagai ketua klub renang mulai saat ini dan mengusulkan pemilihan ketua baru secepatnya...” lanjutnya sangat mengejutkan. Wajahnya terlihat tulus dan sabar. Berbeda sekali dengan kebiasaannya. Apakah ada yang pernah melihat sosoknya ini sebelumnya?
“Mariaaa... Jangan, Mariaaa... Jangan berhenti...” sahut suara tak rela dari barisan depan.
“Siapa yang bisa menggantikanmu, Maria?” seru yang lainnya sebagai jawaban menolak.
“Tetaplah sebagai ketua klub, Mariaaa...” cetus lainnya yang sudah puas dengan keadaan ini.
“Apa yang saya putuskan ini sudah final. Yang disampaikan Tria tadi... itu semuanya betul... Karena sekarang terjadi kekosongan ketua klub renang... alangkah baiknya kalau kita memilih ketua baru secepatnya... sekarang juga kalau memungkinkan...” katanya tetap kukuh dengan pendiriannya. Ini sudah sesuai rencana. Memang semua kepengurusan senior harus segera diganti dengan pengurus baru. Pengurus yang lebih segar.
“Maria... Tidak harus secepat itu? Pengunduran dirimu itu terlalu terburu-buru... Tidak harus mengundurkan diri hanya karena omongan anak baru ini, kan?” kata Merry maju. Ia yang menjabat sebagai wakil ketua merasa sangat keberatan dengan keputusan Maria ini.
“Merry... dan kalian semua para pengurus yang sekarang duduk di kelas akhir... sebaiknya juga ikut mengundurkan diri seperti yang baru saja aku lakukan... Ini semua demi klub renang... Kita bisa tetap membangun klub di sisa waktu kita yang tinggal beberapa bulan ini... Para adik-adik kita ini yang harus kita dukung untuk tetap memajukan klub renang yang sama-sama kita banggakan... Kalau kita tetap bertahan di kepengurusan... tidak akan ada perkembangan yang berarti...” ujar Maria menatap pada Merry dan jajaran pengurus lainnya yang berkumpul pada satu kerumunan.
“Ya... aku setuju pemilihan ketua baru secepatnya...” kata Hera menyeruak maju memberikan pendapatnya.
“Aku juga setuju...” Meisya juga maju dengan suara merdunya. Keduanya sungguh kompak dan saling melengkapi. Beberapa anggota senior dan juga beberapa pengurus melirik keduanya dengan berbagai ekspresi. Hera memang bukan pengurus klub renang tetapi ia juga masih menjabat sebagai ketua OSIS. Sedang Meisya hanyalah anggota seksi peralatan klub.
“Kalau begitu... yang setuju diadakan pemilihan ketua baru sekarang juga... acungkan tangan ke atas!” seru Hera mengambil komando sebagai ketua para siswi di sekolah ini karena kekosongan ketua klub renang saat ini.
Mulai tangan-tangan terangkat ke udara dari barisan belakang. Mayoritas adalah siswi-siswi muda dari kelas junior. Lalu menjalar ke barisan tengah dan depan.
“Baiklah itu sudah cukup banyak... Sebaiknya kita mulai acara penentuan calon ketua klub renang... Ada yang ingin mencalonkan diri? Atau mencalonkan seseorang? Ayo silahkan!” seru Hera antusias sekali sambil berjalan mondar-mandir mengangkat tangannya memancing para anggota untuk memberi masukan.
“Hanya saja sebaiknya calon-calon ini tidak dari kelas 12 yang akan segera lulus... Maksimal kelas 11...” imbuh Hera menambahkan persyaratannya.
Lalu mulai terdengar seruan nama-nama yang dicalonkan untuk kandidat ketua klub renang. Beberapa nama sampai berulang beberapa kali hingga terkumpul tiga nama yang mengerucut tertinggal. Karena ada beberapa nama yang menolak menjadi kandidat karena berbagai macam alasan.
Ketiga nama tersebut diminta maju ke depan untuk memperkenalkan diri juga untuk dinilai anggota lainnya yang akan segera memilih.
Selembar kertas kecil berstempel resmi klub renang segera beredar kepada tiap anggota klub renang. Satu anggota mempunyai hak suara harus memilih diantara ketiga kandidat tadi. Pilihan ditulis di kertas tadi dan dikumpulkan di sebuah kotak kardus bekas air mineral. Lipatan kertas kemudian dihitung ulang untuk verifikasi jumlah kehadiran anggota klub renang agar keabsahan pemilihan ini menjadi kuat dan tanpa indikasi kecurangan.
Jumlahnya tepat 163 lipatan kertas sesuai dengan jumlah anggota yang hadir sore ini. Hera yang tetap menjadi pembawa acara dari awal lalu membuka satu per satu lipatan suara itu. Sebuah whiteboard dibawa ke arena pemilihan dan Meisya yang akan mencatat perolehan suara dengan spidolnya.
Tiga nama itu antara lain; 1. Wiwid 2. Fiona 3. Vina. Ketiganya duduk di kelas 11 dan sudah merupakan anggota senior. Ketiganya terlihat mempunyai semangat dan ambisi tersendiri. Dalam banyak hal itu adalah hal bagus dan semoga saja tidak mengimplikasi buruk ke depannya.
Drama kejar-mengejar angka terjadi antara ketiga nama kandidat ketua klub renang baru. Awalnya Vina memimpin disusul Wiwid dan Fiona. Lalu disusul oleh Fiona yang melejit lalu mandek dan ditumbangkan Wiwid. Kembali Vina memimpin perolehan angka lalu dibayang-bayangi oleh Fiona dan angka Wiwid meningkat tajam.
Akhirnya satu nama mendapat suara terbanyak dengan selisih tipis dari dua kandidat lainnya. 58:54:51. Nama itu adalah Fiona.
Fiona sebagai baru ketua klub yang terpilih dengan suara terbanyak. Ia diminta maju dan Maria menyambutnya dengan senyum lebar yang kunilai cukup tulus. Mungkin ia sudah mengetahui kapasitas kemampuan Fiona yang dirasanya cukup untuk memimpin klub ini untuk setahun kedepannya.

========
QUEST#11
========​

“Ini semua ide Meisya dan Hera... Aku hanya sebagai pelaksana saja...” jelasku pada Maria. Sepasang kekasih itu juga ada di kamar ini sebagai pelengkap penjelasanku ini.
Maria mengalihkan pandangannya pada Meisya dan Hera yang berdiri dekat pintu. “Benar begitu?” tanyanya. Tetapi nadanya tidak menakutkan.
“Benar, Mar... Itu ide kami berdua... Kami pikir kalau Tria yang akan bisa melakukan revolusi ini dengan aman... karena kau sudah baikan dengannya... Sori, Mar...” kata Hera walau dengan takut-takut. Meisya memegangi tangannya.
“Gue gak tau apa tujuan asli kalian orang berdua... Tapi memang ada benarnya dan memang sudah saatnya aku mundur sebagai ketua... Dan elu, Her... Elu juga harus segera mundur dari ketua OSIS segera kalau begitu...” kata Maria dengan nada tenang walau ada diksi mengancam di dalamnya.
“Ya... Itu sudah ada di program OSIS... Rapatnya akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini...” jawab Hera lega.
“Gue tau otaknya adalah elu Meis... Hera tidak akan bisa berfikir sampe situ... Sori juga, Her... Kita buka-bukaan aja... Apa tujuan benda yang kalian sebut Revolusi ini? Elu yang ngomong Meisya... bukan Hera!” kata Maria tegas masih membawa wibawanya sebagai mantan ketua klub.
Wah? Ada agenda di balik ini semua? Aku jadi terjebak di dalam pusaran politik kepentingan kalau begitu. Hera dan Meisya saling lirik untuk beberapa saat dan sepertinya Meisya menyiapkan dirinya untuk berbicara jujur.
“Semua ini masalah uang, Maria...” mulai Meisya menjelaskan dengan suara merdunya. Uang?
“Bendahara klub kita yang lama pasti akan kelimpungan dengan laporan keuangan klub yang harus diserah terimakan ke pengurus barunya nanti tanpa persiapan... Sejumlah uang telah dipakainya pribadi selama ini... Kau pasti tidak tau itu, kan?” jelas Meisya.
“Ambar?” kesah Maria baru sadar.
“Ya... Ambar sudah memakai uang klub untuk keperluan pribadinya selama ini, Maria... Mungkin awalnya ia hanya pinjam sedikit-sedikit yang akan dikembalikannya begitu ia mendapat kiriman dari keluarganya... Tetapi karena berbagai hal... itu tidak dilakukannya... Aku baru menyadari ini saat pembelian peralatan rutin klub kita... Ia membeli barang yang kualitasnya jauh dari yang biasanya untuk mengurangi total pembelian untuk menutupi penggelapannya...” jelas Meisya.
“Meisya tidak mau skandal korupsi ini membuat kita semua malu, Maria... Jadi ia menyiapkan skenario ini untuk menutup semuanya rapat-rapat...” sambung Hera mendukung rencana pacarnya. “Ambar dan semua yang terlibat masalah ini pasti akan menyiapkan laporan keuangan kalau keuangan klub sehat-sehat saja...”
“Siapa saja yang terlibat masalah keuangan ini?” geram Maria.
“Aku tidak mau spekulasi terlalu jauh... Anggap saja Ambar dan wakilnya Gladys...” kata Meisya tentang kecurigaannya.
“Apa Merry juga ikut terlibat? Dia yang paling sering kutugaskan memeriksa laporan keuangan...” desak Maria tentang mantan wakilnya itu.
“Curigaku juga begitu karena ia selalu yang meng-ACC semua pembelian dan keputusan tentang keuangan...” jawab Meisya.
“Jadi semua barang-barang ini-pun sudah di-mark up harganya...” kata Maria menyibak kain penutup yang melindungi tumpukan barang-barang di samping ranjangnya itu. Ada beberapa karung beras, tepung, gula, kopi, berbagai peralatan berkemah dan beberapa barang di dalam kotak.
Kami lalu memeriksa barang-barang yang dipersiapkan untuk latihan fisik di gunung minggu depan. Beras murah bau apek dan berkutu, tepung terigu menggumpal yang hampir expired, gula pasir berwarna kekuningan yang rasanya sedikit pahit, tenda tipis tanpa lapisan dalam, sleeping bag KW sekian, panci kaleng dan bermacam-macam barang murah berkualitas jelek yang tidak seharusnya dibeli.
“Kalau kita ungkapkan ini semua, kita juga bakal kena imbasnya...” kata Meisya pada Maria yang sedang berfikir.
“Kalau kita ungkap ini... seakan-akan kita melimpahkan kesalahan kita pada pengurus baru... Bukan begitu?” kata Maria mengambil kesimpulan.
Hera dan Meisya mengangguk.
“Berapa total pembelian semua barang-barang ini?” tanya Maria pada Meisya.
“Totalnya hampir 3 juta setengah...” jawab Meisya. “Itu lumayan banyak...”
“Gue khawatir kalau mereka juga sudah melakukan pembayaran untuk urusan lainnya... Seperti sewa bis untuk kita pergi nanti... Kalau caranya seperti ini... bisa-bisa kita nanti naik bis reot atau bahkan truk bak terbuka...” kata Maria tercenung.
“Ini tidak bisa dibiarkan...” kataku. “Urusan pribadi apa, sih si Ambar itu sampe make uang kas klub begitu?” tanyaku pada Meisya yang tak mau jauh-jauh dari Hera.
“Aku belum sampai menyelidiki sejauh itu, Tria... Aku tidak tau...” jawabnya singkat tak berani menatapku.
“Kita tanya pada orangnya saja...” seru Maria lalu beranjak keluar dari kamarnya. Sepertinya Maria emosi sekali. Hera memberiku kode agar mengikutinya. Keduanya menutupi barang-barang itu lagi dengan kain dan menyusul keluar.
--------​
“Maria... Jangan sampe banyak yang tau masalah ini... Pelan-pelan aja...” bisikku saat aku berhasil menyusulnya yang sedang mengintai keberadaan Ambar malam ini. Ia hanya diam. Hera dan Meisya kularang ikut.

Ambar - Gladys
Ambar bersama Gladys baru saja kembali dari kantin dan menuju kamar mereka di 3-156. Bergandengan tangan keduanya berjalan riang dan bersenda gurau. Kami mengikutinya dari belakang tetapi tetap bungkam.
Saat keduanya hendak membuka pintu kamar, Gladys baru menyadari kalau kami berdua ada di belakangnya. Maria mendorong keduanya ke dalam kamar. Aku ikut masuk dan memeriksa isi kamar. Penghuni ketiga kamar ini sedang tidak ada dan kukunci pintu kamar dengan gerendel saja.
“A-ada apa, Maria?” tanya Gladys gugup seakan merasa bersalah. Ambar malah diam saja tetapi mukanya ketat.
“Uang kas klub elu gunakan untuk apa, Ambar?” tanya Maria rapat pada Ambar. Tinggi keduanya hampir sama sehingga keduanya berdiri berhadap-hadapan.
“Ada apa ini, Maria? Apaan yang elu tanya? Semua sudah berakhir... kita bukan pengurus lagi...” kata Ambar berusaha mengelak. Dari gelagatnya terlihat ada yang disembunyikan.
Aku yang berdiri di depan pintu jelalatan memperhatikan isi kamar ini. Di atas meja belajar keduanya ada sebuah HP teranyar masing-masing; setipe, merk dan warna. Netbook, kamera DLSR, dan juga game portable.
“Gue tanya sekali lagi dan elu jawab yang jujur sama gue... Uang kas elu pake untuk apa aja?” ulang Maria.
“Ya, untuk klub renang kita-lah!” jawabnya sengit takut tersudut.
“Tapi kenapa barang-barang untuk kita latihan fisik di gunung minggu depan itu busuk semua, heh? Elu mau makan nasi berkutu begitu? Tidur di tenda tipis begitu? Sleeping bag sekali pake robek begitu? HEH? APA MAU LU?” teriak Maria tak sabar lagi.
Ambar dan Gladys menciut di depan Maria diteriaki begitu.
“Elu berdua udah beli barang-barang ini pakek duit yang kalian berdua tilep dari kas, ya kan?” tunjuk Maria pada benda-benda elektronik di atas meja belajar itu.
“Sembarangan elu ngomong, Maria? Apa buktinya?” tantang Ambar tak mau kalah.
“Buktinya ada di kamar gue! Elu liat tuh barang-barang yang gak bisa dipake itu! Apaan tuh barang busuk semua... Busuk seperti elu-elu orang!” damprat Maria.
“Sebentar Maria... HP mahal itu cuma barang seken... Kamera DLSR itu juga seken... Semua gadget ini seken... Mereka cuma kepengen punya gadget-gadget mahal ini walaupun barang bekasnya sekalipun... Uang kas yang mereka tilep dari kas tidak terlalu banyak... Bukan begitu... Ambar? ... Gladys?” potongku.
“Eh! Elu gak usah ikut-ikutan deh!” hardik Gladys padaku.
“Jaga bacot lo berdua!” sergah Maria meradang marah.
“Tidak perlu marah-marah Maria... Kalian berdua... Urusan ini bisa jadi panjang dan... juga bisa pendek... Terserah kalian berdua mau pilih yang mana...” kataku berusaha menenangkan suasana yang cukup panas ini.
“Kalau kalian mau yang panjang... kami tinggal melaporkan ini ke pihak yang berwenang... Kepala sekolah misalnya... Kalau yang pendek... Kembalikan uang yang sudah kalian ambil dari kas klub kita... Jual kembali gadget-gadget ini contohnya... dan semua orang tidak perlu tau kejadian ini... Kalian pilih yang mana?” kataku memberi dua pilihan solusi. Kupandangi mereka berdua dengan pandangan biasa aja tetapi dengan gerogotan SHADOW MIND yang memasuki pikiran. Mereka sangat bimbang dan juga takut. Ancaman ke pihak sekolah bisa berimbas pada pemecatan. Juga bisa melebar ke ranah hukum.
Ambar dan Gladys saling pandang dengan kernyitan dahi yang berkerut-kerut. Seolah melakukan telepati yang hanya keduanya yang terhubung.
“Begini saja... Kalian kami beri waktu dua hari untuk mengembalikan uang klub... Kalau kutaksir... semua gadget ini akan bernilai sekitar... katakanlah 9-10 jutaan... Kembalikan 10 juta uang klub, ganti barang-barang busuk untuk latihan fisik itu dan kami akan melupakan ini semua... Paham?” kataku mengambil kesimpulan.
“Ayo, Maria... Kita biarkan mereka bekerja...” ajakku balik badan dan menarik bahu Maria untuk keluar dari kamar ini. Maria sepertinya akan mengatakan sesuatu tetapi aku mendorongnya melewati pintu dan menutupnya kembali.
“Kenapa cuma 10 juta?” bisik Maria. “Pasti lebih dari segitu...” lanjutnya tidak puas. Kami masih di depan pintu kamar.
“Ngejual semua gadget itu sampe 10 juta aja pasti kepala mereka sudah puyeng... Biar mereka pontang-panting nyari kekurangannya... Cukup awasi saja apa yang mereka lakukan mulai sekarang... Kalau tiba-tiba ada barang atau duit yang hilang mereka pasti pelakunya...” bisikku juga menarik Maria agar menjauh dari sana.
“Gimana mereka ngejual gadget-gadget itu dari sini? Online? Ini asrama, loh?” kata Maria saat kami berjalan menjauh.
“Itu urusan mereka... Pokoknya kita sudah kasih waktu 2 hari untuk mengembalikan duit 10 juta atau urusan jadi panjang kemana-mana. Titik!” kataku lagi.
“Benar juga... Gak ada gunanya marah-marah... Makasih, Tria. Malah kamu yang nyelesein masalah ini...” katanya menggandeng tanganku erat.
“Biasa aja, Maria... Ini masalah klub-ku juga, kan?” kataku dan kami segera berlalu kembali ke kamar Maria.
--------​
Benar saja. Dalam dua hari Ambar dan Gladys menyerahkan uang sebesar 10 juta rupiah di dalam sebuah amplop besar berwarna coklat yang dilipat dan diikat karet gelang. Uang pecahan berbagai nominal itu dijadikan 10 ikatan masing-masing satu juta. Barang-barang tak layak pakai yang diperuntukkan sebagai logistik latihan fisik di gunung minggu depan juga sudah diganti dengan yang layak pakai. Bukan kualitas nomor satu memang tetapi sudah memadai.
Wajah keduanya tampak kuyu dan lesu. Mungkin karena lelah sebab kurang istirahat dalam menjual alat-alat elektronik idaman itu, pinjam sana pinjam sini, nego sana nego sini. Untung tidak terdengar ada sesuatu yang hilang; barang berharga atau uang dari penghuni asrama.
Kami yakin kalau Merry dan pacarnya Niken juga ikut terlibat masalah ini karena kami jarang bertemu pasangan itu. Mungkin menghindar atau juga ikut pontang-panting mengumpulkan uang pengganti.
Tak masalah. Yang penting tak ada yang mengetahui hal ini kecuali orang-orang tertentu saja. Semua aman. Uang kas klub aman. Semua senang. Aku bisa ngentot dengan tenang juga.
Perkembangan baru dengan kepengurusan baru klub renang yang sudah terbentuk cukup menjanjikan. Walau masih ada campur tangan para pengurus lama yang ikut bantu-bantu untuk meringankan jalannya organisasi.
Latihan diperbanyak menjadi tiga kali dalam seminggu dari yang awalnya dua kali saja. Ini untuk menggenjot stamina dan kemampuan setiap anggota lebih baik lagi. Saat tidak ada latihan, sekarang mulai dilakukan belajar bersama antar anggota klub. Diskusi pelajaran dan tes-tes belajar untuk memperkuat sisi akademis yang lemah selama ini. Pesertanya kebanyakan adalah anggota tahun akhir yang tak lama lagi akan menjalani ujian akhir.
Termasuk aku dan Maria. Banyak sekali ketinggalan yang kami alami. Aku sendiri kuakui memang banyak tertinggal di berbagai pelajaran karena aku sering tidak fokus dalam belajar walau tubuh penggandaanku tetap hadir di sekolah dan studi jalan terus. Memang dasarnya aku memang cukup bebal dalam menerima pelajaran walau tidak bodoh-bodoh amat. Yang aku yakin bisa tangkap adalah pelajaran bahasa Indonesia, Inggris dan sedikit Biologi (aku ambil jurusan IPA). Lha apa kabarnya Matematika, Fisika dan Kimia?
Aku usulkan pada Maria untuk meminta bantuan pada pihak luar klub renang karena selama ini sudah terlalu lama terbuai keadaan. Kemampuan akademis para anggota klub renang di bawah rata-rata jadi akan logis mencari bantuan dari luar klub.
Contohnya juara umum saja berasal dari sebaran 10% siswi yang tidak ikut klub manapun di sekolah ini. Itu artinya siswi-siswi pintar dan berprestasi akademis adanya di luar klub renang semua.
Negosiasi dan pendekatan mulai dilakukan setelah dilakukan semacam survei kecil-kecilan tentang siapa saja yang bisa dimintai tolong untuk membantu anggota klub renang dalam bidang pelajaran sekolah.
“Kalau yang ini... biar aku yang handle...” kataku mengenali nama yang kukenali dari daftar ini.
--------​
“Des... Lu harus bantuin kami, ya?” kataku di kantin malam itu. Ia masih duduk sendiri di tempatnya biasa sambil minum kopi instan.

Deswita
“Aduhh... Kaget aku! Kamu Tria? Wah... yang udah deket sama Maria... Kagak pernah nongol lagi ngegosip lagi disini?” katanya menggodaku.
“Iya, nih. Jangan digosipin, ya?” bisikku. “Aku lagi dekat sama Maria, nih...” sambungku lagi.
“Trus... bantuin apa?” ingatnya.
“Bantuin kami belajar bersama tiap malam, ya?” kataku sambil merangkul bahunya.
“Belajar? Gak salah dengar kupingku?” heran Deswita. Keningnya sampai berkerut-kerut.
“Iya belajar. Gak salah dengar kuping lo... Sekarang lagi ada revolusi di klub kami... Semua dirombak habis-habisan. Lo pasti udah dengar, kan? Jangan pura-pura gak up-date-lah...” kataku meremas bahunya menegaskan maksudku.
“Kami butuh semua bantuan yang kami bisa dapatkan termasuk dari orang pintar seperti kamu Deswita... Jangan nyangkal kalau yang kemaren lu bilang Juara umum yang gak ikut klub manapun itu adalah elu sendiri...” kataku menunjuk jidatnya.
“He... he... he... Ketauan, ya?” katanya terkekeh sambil memukul-mukul pelan meja.
“Kok bisa elu yang tiap malam keluyuran di perpustakaan untuk maen Youtube nonton boyband... ngegosip sana-sini di kantin bisa pinter sampe juara umum... Itu gimana ceritanya, heh?” tanyaku menekan pelipisnya bercanda dengan ujung jari sampai terdorong.
“Gak tau, deh... Pokoknya aku pinter banget... Ha... ha... ha... Aku juga belajarnya biasa-biasa aja... cuma di kelas doang... Ngerjain PR sama tugas seperti yang lain... Gak ada yang istimewa...” katanya merendah sampai merebahkan pipinya di meja.
“Udah, deh. Gak usah songong kek gitu... Pokoknya mulai besok abis makan malam, elu kujemput di kamarmu trus ngajarin kita-kita di aula di depan perpustakaan... Tempatnya netral, kan?” kataku tembak langsung tak menunggu persetujuannya.
“Loh? Ngajarin kalian semua?” kagetnya bangkit dari rebahan kepalanya.
“Iya... Aku janji, deh... Kami gak akan grepe-grepein kamu... Suer, deh!” kataku mengangkat tangan kanan dan dua jari tanda V.
“Bukan! Bukan itu masalahnya... Kalian ada berapa orang? Kalau ratusan... gimana caranya aku ngajarin semua? Kalau satu dua orang sih OK...” jelasnya.
“Ya enggak ratusan kami semua kalee... Elu juga gak sendirian yang ngebantu kami... Ada yang lain juga sedang dinego... Ada beberapa kelompok belajar yang dibuat... Anak kelas XII dibagi beberapa kelompok... Nah elu pegang satu kelompok itu... Supaya lu tenang, aku ada di kelompok itu, deh sama Maria...” kataku menjelaskan lebih terang sistem yang kami sudah rumuskan ini.
“Janji, ya? Awas kalau enggak...” katanya sambil mengacungkan tinjunya yang dikepal erat ke hidungku. Senangnya ternyata ia sangat membantu. Gak salah aku menjadikannya teman.
“Eh... Ada gosip terbaru apa?” tanyaku mulai rumpi. Xixixi.
Ternyata tak ada yang tak terdeteksi oleh ratu gosip Deswita. Ini tentang masalah Ambar, Gladys, Merry dan Niken yang sudah menggelapkan uang kas klub renang. Entah dari mana ia mendapatkan berita ini. Padahal hanya segelintir orang saja yang tau masalah ini. Disamping keempat orang itu; ada aku, Maria, Hera dan Meisya saja yang tahu hal ini. Aku jadi penasaran dengan nara sumber Deswita. Untung saja mulut Deswita tak seember yang kukira hingga ia hanya menikmati berita itu untuk dirinya semata.
 
Ah kan.....sebel kalo kurang panjang updatenya
 
Menanti update berikutnya... :galau: gak sabar ane suhu ryu... :hua: :hua: :hua: ayolah tambahin updatenya suhu ryu... :banzai:
 
Bimabet
1500 di amanin :haha:
wah udah sampe1500an...
Bukan masalah besar Suhu...sminggu skali tu dah cepet banget mnurut ane ditngah keterbatasan bahan dr suhu...dan skaligus membuat pembaca yang setia smkin rindu...
ini udah masuk penulisan Quest#12. masih setup sih. klo dipost juga paling dua x saja. RL menyita waktu. sempat ngetik malah di gawean aja, di rumah gak bisa, direcokin trus sm penghuni. semoga cepat bisa selesai tepat waktu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd