Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Rara

Sebelumnya nubi memohon maaf, terpaksa nama-nama “teman belajar” dari thread terdahulu, nubi tuliskan lagi di sini.

Nubi berusaha membuat versi tanpa menuliskan nama Husna dan Lily, tetapi benar-benar sulit. 11 draft yang – hampir – tidak punya kohesi dan koherensi..

:D

Btw, akan cukup membantu jika suhu sekalian membaca kembali part akhir Husna dan Lily..

:)
 
Terakhir diubah:
Update 07

***

Lily membelai wajahku. Pagi itu adalah pagi seperti biasanya. Pagi di mana kami selalu sarapan berdua di beranda. Lily duduk di pangkuanku dengan selembar kaos belelnya.

Lily menatapku lembut. Wajah kami begitu dekat, hampir tidak berjarak. Dahi kami saling sandar ketika matanya mengajakku terpejam. Sebelah lengannya tersampir melingkar di bahuku.

Kurasakan nyeri ketika jemarinya meremas rambut yang meriap di belakang tengkukku. Rasa nyeri yang kuharapkan berlangsung tanpa henti, yang - dengan sia-sia - kuharapkan membuatku teralih dari rasa perih yang lebih dalam. Rasa perih ketika menyadari bahwa saat ini adalah kali terakhir aku bisa memeluk wanita yang benar-benar kucintai.

Bibirku dan Lily saling menemukan dalam pejam, saling melumat perlahan. Kuluman demi kuluman berlalu, ditingkahi oleh gumaman Lily yang terisak perlahan.

“Ouch..” Lily merintih ketika tanpa sengaja kugigit bibirnya.

“Maaf..”

Ciuman itu terinterupsi. Kuusap pipinya yang bersemu merah. Aku memaksakan diri tersenyum dan berkata,

“Kamu semestinya bahagia, sebentar lagi akan menikah, haha..”

Plak..

Lily menepuk pipiku perlahan, lalu berubah mengusap, seperti biasa. Wajahnya dipaksa tersenyum, tetapi otot pipinya terlalu kaku oleh gerak menuju tangis, sehingga ekspresi yang tampak adalah ekspresi nyengir yang mengibakan.

Terbukalah pemahaman baru bagiku, bahwa kebatuan sekeras apapun yang ada dalam diri lelaki selalu kalah oleh airmata wanita terkasih..

Kupeluk Lily lebih erat, kuciumi pipi dan lehernya.

“Ssshhh.. Cukup, Ly, jangan begitu.. Jelek, tauk.. Kayak orang lagi sembelit..”

Kali ini Lily sulit menahan tawa. Tawa singkat seperti tersedak tetapi cukup meredakan suasana.

“Kamu yah.. Raja tega.. Rasain nih..” Lily mencubiti pinggangku dengan gemas.

“Ouch! Hey, hey, stop! Haha..”

Aku hendak bangkit berdiri ketika Lily menahan tubuhku, menolakku hingga tersandar kembali. Lily bergerak cepat, menegakkan tubuh, mengangkat siku dan melepaskan kaosnya dalam satu sentakan. Payudaranya yang membusung nampak berkilau memantulkan sinar pagi yang menerobos diagonal dari kisi-kisi.

“Kamu sadar kan, Nan, ini terakh.. Mmmmmhhhh…”

Kusambar bibirnya sebelum kalimatnya selesai. Kulumat dengan lembut, diselingi gigitan-gigitan perlahan. Percikan rasa sakit dalam ciuman mesra menyadarkanku bahwa setiap diri punya benih masokis di dalamnya, dalam porsi yang berbeda-beda.

“Mmmmmmmhhhh.. Ahhhh, Nanta..”

Lily menengadahkan wajah, menarik diri dari ciuman yang memutuskan aliran udara. Kuturunkan kecupan ke lehernya yang bersih. Kuhirup wangi keringatnya, dengan harum teh hijau yang samar-samar mencampuri. Lily mendesah dan menarik wajahku lebih dalam, menapaki kulitnya, membawa bibirku turun menuju dua bola kembarnya.

“Mmmmmmhhhh.. Nanta.. Gigitin.. Aaahhh..”

Lily merintih ketika puting susunya kujepit dengan bibir. Kumainkan lidahku di sela geligiku yang turut menekan permukaan kulitnya yang merah muda. Sebagian pikiranku mengingatkanku untuk berhenti. Menyeru tertahan bahwa Lily - pada dasarnya - bukan lagi milikku. Namun sebagian lagi mengingatkanku tentang besarnya perasaanku padanya. Tidak pernah benar-benar jelas bagiku, pikiran mana yang mewakili akal sehatku.

Namun pagi itu Lily menghilangkan semua keraguanku untuk bercumbu. Lily menuntunku, merenggut satu per satu kain yang melekat di tubuhku, lalu duduk mengangkangiku.

Pakaian kami berceceran di lantai, dan sepotong lagi - entah apa - tersampir di meja yang kini dibelakanginya. Lily duduk menunggangi tubuhku, seperti kebiasaannya pada pagi lain sebelumnya. Kedua lengannya memeluk leherku, membenamkan wajahku di belahan dadanya.

Perlahan-lahan Lily menggerakkan pinggulnya, maju dan mundur, memberi stimulus pada batang kelelakianku yang terhimpit di antara pangkuanku dan selangkangannya. Kugerakkan posisi dudukku hingga ujung tubuhku tepat mengenai ambang vaginanya yang mulai lembab. Lily terus bergerak, wajahnya menengadah, terus-menerus menghindari tatapanku.

Kusandarkan tubuhku ke belakang, telapak tanganku menangkup bulatan pinggulnya, memberi dukungan pada gerakannya yang mulai menemukan ritmenya.

Aku dan Lily tahu, birahi kami saat ini tidak akan pernah benar-benar memuncak. Percintaan kali ini bukan pengejaran kenikmatan orgasmik seperti biasa. Maka tidak menunggu lama, Lily meraih penisku, mengarahkan ujungnya memasuki tubuhnya dari bawah.

“Aaaaaaahhhhhh..”

Kami mendesah bersama, bergerak dalam ritme mendesak yang sama. Udara pagi memanas, bulir keringat bermunculan dari pori-pori tubuhku dan tubuhnya.

Seperti joki, Lily menjepit tubuhku dengan dua pahanya yang putih jenjang. Kakinya menapak mantap, menolak lantai saat bergerak ke atas, lalu menjatuhkan diri pada tarikan gravitasi. Pengulangan gerakan yang memberi efek tusukan dangkal. Sesekali pinggulnya digerakkan menggeser maju dan mundur, saat menginginkan hujaman yang lebih dalam.

“Oooohhhhh.. Nan.. Aaaaahhh..”

Kurasakan denyutan yang semakin lama semakin kuat di area bawah tubuhku. Kukeraskan remasanku di kedua buah pantatnya, berusaha mendorongnya menjauh tepat waktu, namun Lily mengunci kedua pahanya di pinggangku, dan..

“Li, Aaaaaaaahhhhhhh..”

Tubuhku menghentak beberapa kali, ketika - tak terhindarkan - semburan nutfahku membasahi dinding rahim Lily. Kuangkat wajahku, Lily membungkamku dengan bibirnya,

“Mmmmmmhhh.. Jangan bicara.. Biarkan saja.. Hmmmmmhhh..”

Menit-menit berlalu, Lily masih mendekap wajahku di dadanya. Kami menenangkan napas cukup lama, sampai dentang jam kayu di ruang tamu menyadarkan kami pada waktu. Lily menunduk, mengecup bibirku sekilas lalu berkata,

“Kamu harus ingat, Nan, jangan lagi pernah jadiin cewek sebagai pilihan, ketika dia menjadikanmu satu-satunya di hatinya..”

“Kamu pulang yah, Nan..”

Aku mengangguk. Hari ini adalah hari pertama bagiku di mana “pulang” tidak lagi berarti “bersama Lily.”

Kami berpakaian dalam diam. Ketika Lily mengantarku keluar, kusadari bahwa pagi itu, ada rasa sedih yang mengiringi percintaan kami. Dalam perjalanan pulang, kurasakan suara di sekitarku menghilang berganti keheningan.

***

Hari Sabtu setelah itu, keluarga Nurhadi benar-benar datang melamar Lily. Pernikahan mereka direncanakan dilangsungkan dua bulan setelahnya. Lily masih cukup santun dengan terus memberiku kabar perkembangannya.

Pada kesempatan tertentu saat sedang sendirian, seringkali suara di sekitarku tiba-tiba menghilang lagi. Mungkin karena rasa hampa putus cinta, haha..

Karenanya kutenggelamkan diri dalam kesibukan mengajar dan aktifitas sosial. Kuarahkan pikiranku jauh dari Lily dan segala hal yang membuatku - bisa - menyesali diri.

Aku menghadiri pernikahan Lily bersama Hasrul, sahabatku. Aku turut bahagia untuknya, dan berharap lupa pada sakitnya perpisahan.

Namun masa lalu terkadang bisa memberi kejutan.

***

Kedua kakakku - Daeng Rosi dan Daeng Iga, semenjak berkeluarga - tidak lagi tinggal di rumah Bapak. Sehari-hari hanya aku dan kedua orangtuaku yang ada di rumah. Tetapi waktuku lebih banyak kuhabiskan di luar rumah saat berpisah dengan Lily.

Sejak pensiun bapakku menyibukkan diri dengan beragam hobi. Mulai dari botani, beternak unggas, koleksi batu permata hingga utak-atik mesin motor dan mobil.

Sesekali bapak dan ibuku mengunjungi cucu-cucunya selama beberapa hari. Minggu ini mereka mengunjungi Mahesa dan Mahesworo, cucu-cucu mereka dari Daeng Iga, kakakku yang kedua. Bapak dan ibuku baru akan pulang sore nanti.

Aku tahu, pada malam hari biasanya bapakku akan mengutak-atik - lagi - mobil tuanya. Karenanya, kusiapkan alat-alatnya dan kususun dengan rapi di dekat pintu garasi.

Aku masih di garasi ketika sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Dari pintu garasi yang letaknya di samping bangunan rumah utama, kuamati sesosok wanita setengah baya turun dan melangkah perlahan memasuki halaman, berdiri termangu sebelum mengetuk pintu. Hajjah Bunga, ibu dari Husna.

“Assalamu ‘alaikum..”

“Wa ‘alaikumussalam..”

Hajjah Bunga terkejut menoleh ke samping, menatapku lekat-lekat yang melangkah menghampirinya dari garasi. Kekagetan yang membuatku heran, sebab suaraku tidak begitu besar saat menjawab salamnya.

“Mari masuk, Pung..” sambungku, mendahuluinya memasuki ambang pintu menuju ruang tamu.

Pung atau Puang adalah sapaan umum penghormatan di kalangan keluarga Bugis.

Hajjah Bunga nampak mematung sesaat sebelum mengikutiku ke ruang tamu, duduk di depanku, dan masih tergugu - juga - sesaat sebelum tergagap bertanya.

“P-puang Andi ada, Nak?”

Yang dimaksudkannya adalah bapakku.

“Etta sedang ke rumah daeng saya, Pung Haji. Petang nanti mungkin baru pulang. Ada pesan yang bisa saya sampaikan, Pung Haji?”

“Oh, jika begitu, tolong sampaikan, kami sekeluarga mengharapkan kedatangannya besok malam, duduk-duduk di rumah..”

“Baik Pung, akan disampaikan. Ohya, duduk-duduk dalam rangka apa gerangan, Pung Haji?”

“B-besok malam itu acara mappacci untuk pernikahan adek, Nak..”

Mappacci dahulu adalah upacara pembubuhan daun pacar (daun pacci) di tangan calon pengantin wanita, yang dilakukan pada malam hari sebelum akad nikah keesokannya. Pada masa kini, acaranya biasanya diganti dengan pengajian, nama mappacci tinggal simbol semata.

Aku mulai paham mengapa sikap Hajjah Bunga begitu kaku sejak tadi. Hajjah Bunga memang tahu tentang hubunganku - dulu - dengan Husna. Sejauh apa? Itu yang aku tidak pasti. Tetapi aku tetap memasang poker face terbaikku, dan untuk tidak menambah kecanggungan, aku menahan diri dengan tidak bertanya tentang calon suami Husna.

“Waahh.. Andi Husna? Alhamdulillah.. Saya turut bersyukur.. Insya Allah akan saya sampaikan kepada Etta, Pung Haji..” jawabku sambil tersenyum lebar sekali.

“Iya, Nak, tolong disampaikan. Kami akan sangat senang kalau Puang Andi bisa datang, karena saya dengar-dengar belakangan ini beliau sudah susah keluar malam karena alasan kesehatan..”

“Iya, Pung Haji. Memang begitu belakangan ini. Maklum, usianya semakin tua. Jadi kalau acara malam, biasanya Etta meminta saya menggantikan. Tapi semoga besok beliau bisa datang ke rumah Pung Haji..”

Sekali lagi wajah Hajjah Bunga dengan jelas menunjukkan ekspresi yang tidak biasa. Wajahnya menegang dan tertegun.

Kami berbasa-basi sejenak sebelum dia berpamitan.

Sesaat sebelum membuka pintu mobilnya, Hajjah Bunga kembali mematung dan berbalik tiba-tiba, mengejutkanku yang berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Lalu katanya dengan mata basah,

“Kalau Puang Andi tidak bisa datang, mohon tidak usah digantikan, Nak..”

Mataku terkunci ke matanya. Lalu sebutir air jatuh dari sana, membuatku trenyuh, bingung dan salah tingkah. Suaranya bergetar oleh tangis ketika melanjutkan,

“Saya tahu, sesuatu pernah terjadi di antara Nak Nanta dengan Husna..”

Hajjah Bunga berusaha - namun gagal - mengendalikan diri. Diusapnya matanya dengan telapak tangannya yang gemetar. Air matanya bercucuran tanpa tertahan lagi. Aku sepenuhnya menjadi patung batu yang bisu.

“Saya tidak tahu detailnya, dan saya tidak berani mencari tahu bahkan tidak berani menebak..”

“..tetapi saya tahu, bahwa Nak Nanta sudah mencabut kebahagiaan dari diri Husna..”

”Ini semua salah Kak Nanta..” Terngiang suara Husna yang terisak.

Aku melangkah mendekat,

“Pung Haji, mar..”

“Nak, jangan..”

Hajjah Bunga melangkah mundur, tangisnya semakin deras, bahunya berguncang saat memaksa diri terus berbicara,

“Nak, tolong jangan muncul lagi di hadapan Husna. Tolong pergi sepenuhnya dari kehidupannya..”

”Kakak sebenarnya bukan “pergi” ninggalin adek. Yang tepat adalah Kak Nanta “tidak pernah benar-benar “di sini”,”

Aku masih berdiri lama di depan rumahku ketika mobil Hajjah Bunga menghilang dari pandangan. Tiba-tiba kusadari bahwa keheningan yang sering terjadi di sekelilingku disebabkan oleh munculnya suara denging dalam telingaku. Denging yang keras sehingga menyamarkan suara-suara lainnya.

Takkan pernah kulupakan kata-kata terakhir Hajjah Bunga sebelum menghilang ke dalam mobilnya dan meluncur pergi. Kalimat yang seharusnya kusadari sebelum kukenalkan putrinya pada kefanaan surgawi dan perihnya patah hati..

“Husna layak bahagia..”

***

Entah mengapa sore itu aku tiba-tiba merindukan Citra. Wanita periang namun memiliki sikap yang keibuan.

(Sadarkah kita para pria, bahwa saat sedang gundah, tanpa sadar ingatan kita hampir selalu terarah pada sosok ibu? :) )

Mungkin oedipus dalam diriku yang mendorongku meraih ponsel dari saku, lalu mengetik sebaris pesan yang kemudian kukirimkan kepada Citra, tanpa ragu.

Lalu Citra membalasnya,

Aku di kampus. Boleh, ke sini aja, jemputanku juga belum datang kok.. :)


Kupacu kuda besiku menuju kampus Citra, meninggalkan rumahku yang masih sepi dan terkunci.

***

“Jadi? Ada apa nih tumben-tumbennya kamu pengen ketemu?” Citra bertanya.

Kami duduk bersisian di sebuah bangku panjang dengan naungan menyerupai bentuk halte. Saat tiba tadi, kudapati Citra menugguku di sini, di area parkir Fakultas Kedokteran Gigi. Sudah berlalu sejam kami mengobrol sejak aku datang tadi.

“Nggak. Kangen aja.. Haha..” Jawabku sekenanya.

“Lagi banyak pikiran yah, mukamu kusut kayak rambut Thor, hihi..”

“Banyak pikiran? Haha.. Bukan aku banget..” kataku menghindar.

Kami terus mengobrol dengan santai. Perlahan pikiranku sedikit teralihkan dari kejadian yang men-depresi-kan dua bulan yang lalu (berpisah dari Lily) dan beberapa saat yang sebelumnya (obrolan dengan Hajjah Bunga).

Hari mulai petang. Terbawa oleh suasana gurauan, tanganku merangkul bahu Citra, ditepisnya dengan sopan. Mata kami bersitatap sejenak, namun Citra segera mengalihkan pandangan. Lalu kulakukan hal terbodoh dengan mendekatkan wajahku ke wajahnya.

Citra menarik diri sesaat sebelum bibir kami bersentuhan.

“Ta, sudahlah.. Ini gak berhasil..”

“Apa yang gak berhasil? Kita saling menghendaki.. Kita gak bisa berpura-pura gak ada yang terjadi di antara kita di Pattukku Limpoe.. Kita sal..”

“Nanta!” Citra menukas.

“Kita bercanda di sungai. Dan kamu lihat aku lebih dari yang seharusnya. Tapi Cuma itu. Dan cukup itu saja, Nanta..”

Citra nampak memelas berbicara. Matanya mulai basah.

“Tapi, malam itu, di dangau itu..”

“Iya, kita ciuman! Dan itu salah, Ta, akan ada yang rusak kalau kita lebih dari itu dan tidak berhenti!”

“Tapi kita memang lebih dari ciuman malam itu, Ra!” Aku hampir berteriak, lalu suaraku berubah bisikan,

“..kita make love malam itu..”

Wajah Citra berubah penuh heran. Bibirku mengulang kalimat yang sama, dengan nada berbeda,

“Kita make love malam itu, kan?”

Citra menatap mataku dalam-dalam. Ekspresi wajahnya begitu rumit; kasihan, penasaran dan.. takut?

“Gak ada yang terjadi malam itu, Ta.. Kita ciuman. Ya. Tapi hanya itu. Itu dan semuanya adalah kesalahan. Setelahnya aku pulang duluan karena kamu bilang masih ingin menikmati malam..”

Benarkah? Duh, Batara Maraja.. ada apa dengan pikiran ata-mu ini?

Sebuah mobil berbelok memasuki area parkir dan berhenti di depan gedung Dekanat. Dua sosok keluar dan berjalan menghampiri kami. Citra menghela napas, meraih tasnya dan berbisik,

“Ta, lupakan aku. Seperti aku yang bakal lupain kamu setelah hari ini..”

Citra berjalan menyambut dua sosok itu, yang salah satunya berlari kecil merentangkan kedua tangan dan berseru riang,

“Mamaaaa..!”

“Hai, sayaaaaaang..!”

Mereka berpelukan. Bertiga mereka berjalan menuju pulang. Keluarga bahagia yang - dengan egois - nyaris kuhancurkan.

Denging itu semakin keras..

***

Sekali lagi kuraih ponselku. Biasanya, pelarian dan pengalihan terbaik adalah sahabat. Kutelepon Hasrul, sahabat terdekatku yang tinggal di blok sebelah di kompleksku.

Hasrul menjawab pada deringan pertama.

“Yo cappo’, ada apa?” katanya di ujung telepon.

“Ngopi yo’, suntuk ini..”

“Yaaah.. sorry cappo’, aku baru saja keluar nih, mau ngantar nyokap ke kondangan.. haha.. ntar aja tengah malam, gimana?”

“Oke deh, gapapa.. hati-hati nyetir, cappo’..” jawabku lesu.

“Beres.. sepulang nanti kukabari. Lagian kamu pacaran saja dulu, haha..” katanya tertawa.

“Pacaran apaan?”

“Lha itu, pas keluar tadi aku lewat depan rumahmu, kulihat cewekmu turun dari mobil trus masuk rumahmu..” Hasrul menjelaskan.

“Cewekku? Cewek yang mana?” tanyaku.

“Cewek yang waktu itu di Apparalang. Yang kalian basah-basahan pas kita ketemu di pantai itu lho.. Yang ada kakakmu jug..”

Kuputuskan sambungan.

Hara???

Kupacu motorku pulang..

***

Mobil kak Tirta terparkir di depan rumahku. Berarti benar, yang dilihat Hasrul memang Hara.

Kok Hara bisa tahu alamat ini? Dan dia mau apa ke sini?

Pertanyaan itu mengisi kepalaku yang masih penuh denging.

Kukenali sepatu Hara di teras depan, juga sandal kulit Daeng Rosi.

Tumben Daeng Rosi berkunjung sendiri malam-malam.

Tidak ada orang di ruang tamu. Mungkin Hara masuk dan terus ke ruang tengah atau beranda samping. Aku masuk ke ruang tengah yang juga kosong.

Kuintip musholla, ibuku sedang mengaji menunggu waktu Isya. Biasanya bapakku sedang di garasi jam segini, mengutak-atik mobilnya.

Aku berjalan terus ke arah dalam, belum melihat Hara dan mulai merasa - lebih - heran. Aku selangkah lagi dari ambang ruang makan ketika kudengar bisikan-bisikan. Aku berjalan pelan, lalu berdiri menyamping, berusaha mendengarkan.

Dari tempatku berdiri, kulihat Daeng Rosi sedang berdiri dan berbicara dengan seseorang di ruang makan. Wajah dan gaya kakakku itu menunjukkan dia sedang bersitegang dengan seseorang.

Pertengkaran mereka yang dilakukan dengan berbisik, ditambah denging di telingaku membuatku sulit menangkap kata-kata yang mereka ucapkan.

Seketika lawan bicara Daeng Rosi merangsek maju, mendorong tubuh Daeng Rosi ke arah meja, lalu merapatkan tubuh dengan paksa.

Kulihat dengan jelas, Hara dan kakakku berciuman dengan panas.

Aku berbalik. Berusaha tidak mengeluarkan suara saat berlari.

Daeng Rosi??? Bagaimana mungkin???

Kakiku bergerak sendiri, berbelok dari ruang tengah menuju garasi. Kulihat pintu mobil bapakku yang terbuka. Dengan cepat aku masuk dan duduk di belakang kemudi.

Daeng Rosi dan Hara??? Sejak kapan???

Kepalaku terlalu penuh untuk mencerna apa yang baru saja kulihat. Husna, Lily, Citra dan sekarang Hara. Semesta seperti berkomplot memurukkanku.

”Atau karma.” Kata sebuah suara dalam kepalaku.

Kulirik ke bawah kemudi, kunci mobil terpasang di tempatnya. Aku tidak bisa berpikir di sini. Kunyalakan mesin, kutarik tuas persneling.

Bukkk!

Suara benturan teredam terdengar ketika mobil itu malah bergerak kencang ke belakang. Aku salah menempatkan tuas ke gigi mundur. Saat mengubah posisi, instingku mengambil alih.

Segera aku turun dari mobil dan menengok ke belakang.

Wajah bapakku yang berlumur darah adalah pemandangan terakhir yang dilihat kepalaku dalam kewarasan..

***

Mungkin terjelaskan beratnya bagi nubi menuliskan bagian ini..

Tetapi nubi berharap, semoga tetap terhibur, suhu sekalian..
 
Terakhir diubah:
dari banyak tawa dalam update kali ini, tp sedih yang mendalam saatku baca, sedihnya itu... hik hik hik, cappo' semoga di akhir cerita pembaca mendapatkan akhir yang menyenangkan
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
I know what did you feel when you write this brother...
It's so really really hard to say, right?

Disamping itu, aku jadi ngerti sama ini :

Pelatihku memandangiku dan Hara dengan wajah datar. Aku terlalu mengenal mata itu untuk tahu, itu tatapan seorang kakak yang malu.
Dia adalah satu dari beberapa tokoh yang dihormati di lingkungan tempat tinggalku. Selain menjadi pelatih sepakbola, dia juga merupakan anggota dewan pembina Ikatan Pencak Silat tingkat Kota Makassar. Juga seorang guru agama yang disegani.
Perawakannya tinggi dan ramping. Wajahnya tampan, hampir cantik, menyamarkan usianya yang 11 tahun lebih tua dariku. Orang-orang bilang, wajahnya adalah versi lelaki dari ibuku.
Namanya Bauk Rosichan Mappatunru. Sapaannya Daeng Rosi. Ya, suhu sekalian, dia kakak sulungku (see 8th update of Husna and Lily)
***
Rasa malu karena tertangkap basah – literally basah – hanyalah awal dari serangkaian peristiwa. Rangkaian kejadian yang membalikkan duniaku dan menjatuhkanku ke dalam lubang hitam karma yang merenggut semuanya; keluarga, cinta bahkan kewarasanku.


Sama yg ini :
Hara belum membalas sms-ku. Dia pulang ke kota asalnya berminggu-minggu yang lalu, pada hari ketika Daeng Rosi menangkap basah kami berdua di Pantai Apparalang. Sejak saat itu tidak ada kabar darinya. Telepon hanya diangkat sekali, menghabiskan obrolan yang tidak lebih dari sekadar basa-basi.
Originally Posted by :
”Hey, how’s life there?” Aku bertanya
“Baik-baik saja semuanya..”
Terdiam. Keheningan yang mengapung lama.
“Tau Tilly Bagshawe gak?” Aku bertanya lagi.
“Siapa?”
“Itu penulis muda. Dia nulis novel yang ngelanjutin novel-novelnya Sidney Sheldon. Bahkan ada novelnya yang dibuat berdasarkan naskah Sidney Sheldon yang belum pernah diterbitkan. Baca deh, pasti suka.”
“Hoo, yang itu.. Heeh, aku tahu. Kemarin sudah beli. Cuma belum sempat baca.”
Jawaban Hara menambah kecanggungan yang sudah lebih dulu ada.
Berbalas-balas sms juga sama kakunya. Seperti ada yang salah. Entah bagaimana rasanya dari sisi Hara, setidaknya itu yang kurasa.
Tetapi memang aku tidak boleh berharap lebih. Toh, kami memang hanya sekadar teman. Teman dalam definisi Hara sendiri. Definisi yang kupilih untuk tidak – mau – mengerti.
 
Kan bisa jadi crot ini Husna, atau bisa juga dia menceritakan kehidupan masa lalu suaminya.
Seperti dulu ada penulis yg memceritakan kehidupan masa lalu istrinya saat belum menikah, namanya Theriot kalo gak salah


Suhu Nos jago ngarang euy. Mestinya nulis cerita; tentang seorang wanita yang menulis cerita dengan sudut pandang suaminya..

:pandaketawa:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd